“Dalam beberapa hari mendatang Kakanda akan mengemban tugas jauh. Kakanda akan melakukan perjalanan ke wilayah timur. Selama kita tidak bertemu, Kakanda akan selalu berdoa untuk kesehatan dan ketentramanmu. Namun sebaliknya, Kakanda pun mohon doamu agar selama perjalanan Kakanda tiada kurang suatu apa pun,” kata Banyak Angga.
“Melakukan perjalan ke wilayah timur?” gumam gadis itu masih menatap kakaknya.
“Betul Dinda…”
“Di mana saja Kakanda berada, doaku selalu menyertaimu. Namun kalau boleh saya bertanya, ada keperluan apakah Kakanda melakukan perjalanan ke wilayah timur?” tanya Nyi Mas Banyak Inten penuh perhatian.
Sebelum menjawab, Banyak Angga menghela napas sejenak. Sepasang matanya menerawang ke hamparan rumput hijau.
“Bukan untuk mengejar ilmu atau pun sekedar mencari pengalaman. Namun Kakanda melakukan perjalanan ke timur adalah semata demi kepentingan negara,” gumam Banyak Angga dengan tatapan masih jauh menerawang ke depan.
“Semua orang berkata demi negara. Padahal apa yang Kakanda akan lakukan barangkali penuh dengan bahaya,” tutur Nyi Mas Banyak Inten setengah bergumam.
“Tidak melakukan apa-apa pun bahaya selalu mengancam, Adinda,” potong Banyak Angga sambil menjelaskan alasan rencana perjalanan ini.
“Negara amat membutuhkan orang-orang kuat dalam mempertahankan keberadaannya. Banyak dari mereka bertebaran begitu saja. Ada yang belum sempat terhimpun, namun ada juga yang tercerai-berai karena berbagai kemelut dan permasalahan. Tiada terhimpunnya kekuatan ini hanya akan membahayakan keselamatan negara. Apalagi kalau diingat bahwa kekuatan negara agama baru, baik yang ada di timur mau pun yang ada di barat semakin hari semakin besar jua.
Dinda mungkin masih bisa mengingatnya, betapa pada sepuluh tahun silam ada lima belas orang perwira tangguh yang dilepas menuju wilayah timur, hingga kini mereka tidak pernah kembali. Kita bahkan menganggap mereka hilang atau tewas. Belakangan punggawa muda ini membawa khabar dari timur, bahwa para perwira kita masih hidup tapi dalam keadaan terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Mereka tak bisa turun gunung karena semua lubang untuk mencapai kaki gunung telah ditutup pasukan musuh. Mereka harus kita tolong. Itulah sebabnya Kakanda akan melakukan penyelidikan ke sana,” kata Banyak Angga.
Nyi Mas Banyak Inten menatap tajam ke arah Pragola ketika kakaknya selesai membeberkan permasalahan ini. Tatapan gadis itu demikian tajam menyorot dan menembus jantung pragola, membuat pemuda itu terhenyak. Mengapa gadis itu demikian tajam menatap? Tidakkah dia sanggup menerawang isi hatinya? Kalau benar begitu, tidakkah gadis itu telah mengetahui kebohongan yang dia beritakan ini? Pragola segera menundukkan wajah. Dia tak sanggup melawan tatapan tajam ini.
“Banyak yang harus Kakanda kerjakan di wilayah timur kelak. Selain akan menyelidiki kebenaran berita ini, Kakanda pun akan berupaya mencari beberapa orang penting yang sekiranya mau diajak membantu membela negara. Di wilayah timur, Kakanda akan mencari Ksatria Ginggi. Atau bahkan kalau mungkin, Kakanda pun akan mencari Ki Darma,” kata Banyak Angga.
Nyi Mas Banyak Inten tidak memberikan komentar atau pun menatap kakaknya. Yang dia kerjakan hanyalah duduk terpekur dengan dada halus turun naik karena menghela napas.
“Kakanda memaklumi kalau Adinda memiliki perasaan tidak senang terhadap Ginggi. Tapi apa pun yang terjadi, pemuda itu sebetulnya memiliki kepribadian tinggi. Dia adalah pemuda yang baik. Dia cinta dan mau berkorban untuk Pajajaran tanpa secuil pun pamrih di hatinya. Itulah sebabnya, Kakanda akan berusaha mencarinya walau tak punya keyakinan untuk menemukannya. Pemuda itu hilang bagaikan tertelan bumi sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam itu,” kata Banyak Angga memangku tangan dengan alis berkerut.
Tak ada komentar dari Nyi Mas Banyak Inten. Pragola yang mendengarkan percakapan mereka mempunyai kesimpulan bahwa pernah ada suatu masalah yang menyangkut antara Nyi Mas Banyak Inten dengan Ksatria Ginggi. Masalah apakah ini, tentu Pragola pun ingin sekali mengetahuinya.
“Hari sudah mendekati senja. Lihatlah ribuan kelelawar yang datang dari arah Gunung Salak telah terbang menuju kemari. Kakanda harus mohon diri sebab Adinda tentu memiliki kesibukan khusus pada menjelang malam ini,” kata Banyak Angga sambil bangun dari duduknya.
Pragola pun ikut mengangkat tubuhnya. Sementara Nyi Mas Banyak Inten masih tetap duduk di hamparan tikar pandan.
“Mari Kakanda antar hingga ke halaman mandala, Adinda…” ajak Banyak Angga.
“Silahkan Kakanda pulang, saya bisa berjalan sendiri,” jawab Nyi Mas Banyak Inten pelan.
Sambil sedikit menghela napas, Banyak Angga mencoba meninggalkan paseban, diikuti oleh Pragola di belakang. Beberapa tindak mereka melangkah, terdengar Nyi Mas Banyak Inten berkata pelan,
”Kakanda pasti bisa menemukan Ksatria Ginggi…”
Banyak Angga mendadak menghentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang menatap adiknya yang juga sama tengah menatap adiknya yang juga sama tengah menatap dirinya.
“Kau maksudkan Ginggi masih hidup?”
Nyi Mas Banyak Inten mengangguk.
“Maksudmu…kau pernah bertemu pemuda itu?”
Banyak Angga menatap tajam dan tak sabar sebab Nyi Mas Banyak Inten belum juga memberikan jawaban tambahan.
“Sejak sepuluh tahun yang lalu, sudah tiga kali dia datang ke sini…” kata Nyi Mas Banyak Inten pelan.
“Maksudmu, dia beberapa kali datang ke Pakuan?”
“Tidak pernah ke Pakuan, sebab kalian tidak pernah tahu akan kedatangannya. Tanpa diketahui oleh seluruh penghuni mandala, beberapa kali dia mencoba menemui saya. Setahun sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam, dia menemui saya di sini. Selang dua tahun kemudian dia datang lagi ke sini. Kedatangannya yang terakhir adalah pada tiga tahun silam…” kata Nyi Mas Banyak Inten lagi.
“Kalau begitu benar, Ginggi masih ada. Dan perkiraan Kakanda juga benar, dia tak mungkin melupakan Pakuan begitu saja,” kata Banyak Angga. ”Hanya yang Kakanda herankan, mengapa Ginggi hanya mau bertemu denganmu saja? Mengapa dia tak ingin menjumpai aku atau Ayahanda?” tanya Banyak Angga heran sambil menatap wajah adiknya.
Dan Pragola melihat, betapa wajah Nyi Mas Banyak Inten bersemu merah serta menunduk dalam ketika ditatap kakaknya. Melihat Nyi Mas Banyak Inten kian menunduk, Banyak Angga semakin menatapnya dengan penuh selidik.
“Melakukan perjalan ke wilayah timur?” gumam gadis itu masih menatap kakaknya.
“Betul Dinda…”
“Di mana saja Kakanda berada, doaku selalu menyertaimu. Namun kalau boleh saya bertanya, ada keperluan apakah Kakanda melakukan perjalanan ke wilayah timur?” tanya Nyi Mas Banyak Inten penuh perhatian.
Sebelum menjawab, Banyak Angga menghela napas sejenak. Sepasang matanya menerawang ke hamparan rumput hijau.
“Bukan untuk mengejar ilmu atau pun sekedar mencari pengalaman. Namun Kakanda melakukan perjalanan ke timur adalah semata demi kepentingan negara,” gumam Banyak Angga dengan tatapan masih jauh menerawang ke depan.
“Semua orang berkata demi negara. Padahal apa yang Kakanda akan lakukan barangkali penuh dengan bahaya,” tutur Nyi Mas Banyak Inten setengah bergumam.
“Tidak melakukan apa-apa pun bahaya selalu mengancam, Adinda,” potong Banyak Angga sambil menjelaskan alasan rencana perjalanan ini.
“Negara amat membutuhkan orang-orang kuat dalam mempertahankan keberadaannya. Banyak dari mereka bertebaran begitu saja. Ada yang belum sempat terhimpun, namun ada juga yang tercerai-berai karena berbagai kemelut dan permasalahan. Tiada terhimpunnya kekuatan ini hanya akan membahayakan keselamatan negara. Apalagi kalau diingat bahwa kekuatan negara agama baru, baik yang ada di timur mau pun yang ada di barat semakin hari semakin besar jua.
Dinda mungkin masih bisa mengingatnya, betapa pada sepuluh tahun silam ada lima belas orang perwira tangguh yang dilepas menuju wilayah timur, hingga kini mereka tidak pernah kembali. Kita bahkan menganggap mereka hilang atau tewas. Belakangan punggawa muda ini membawa khabar dari timur, bahwa para perwira kita masih hidup tapi dalam keadaan terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Mereka tak bisa turun gunung karena semua lubang untuk mencapai kaki gunung telah ditutup pasukan musuh. Mereka harus kita tolong. Itulah sebabnya Kakanda akan melakukan penyelidikan ke sana,” kata Banyak Angga.
Nyi Mas Banyak Inten menatap tajam ke arah Pragola ketika kakaknya selesai membeberkan permasalahan ini. Tatapan gadis itu demikian tajam menyorot dan menembus jantung pragola, membuat pemuda itu terhenyak. Mengapa gadis itu demikian tajam menatap? Tidakkah dia sanggup menerawang isi hatinya? Kalau benar begitu, tidakkah gadis itu telah mengetahui kebohongan yang dia beritakan ini? Pragola segera menundukkan wajah. Dia tak sanggup melawan tatapan tajam ini.
“Banyak yang harus Kakanda kerjakan di wilayah timur kelak. Selain akan menyelidiki kebenaran berita ini, Kakanda pun akan berupaya mencari beberapa orang penting yang sekiranya mau diajak membantu membela negara. Di wilayah timur, Kakanda akan mencari Ksatria Ginggi. Atau bahkan kalau mungkin, Kakanda pun akan mencari Ki Darma,” kata Banyak Angga.
Nyi Mas Banyak Inten tidak memberikan komentar atau pun menatap kakaknya. Yang dia kerjakan hanyalah duduk terpekur dengan dada halus turun naik karena menghela napas.
“Kakanda memaklumi kalau Adinda memiliki perasaan tidak senang terhadap Ginggi. Tapi apa pun yang terjadi, pemuda itu sebetulnya memiliki kepribadian tinggi. Dia adalah pemuda yang baik. Dia cinta dan mau berkorban untuk Pajajaran tanpa secuil pun pamrih di hatinya. Itulah sebabnya, Kakanda akan berusaha mencarinya walau tak punya keyakinan untuk menemukannya. Pemuda itu hilang bagaikan tertelan bumi sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam itu,” kata Banyak Angga memangku tangan dengan alis berkerut.
Tak ada komentar dari Nyi Mas Banyak Inten. Pragola yang mendengarkan percakapan mereka mempunyai kesimpulan bahwa pernah ada suatu masalah yang menyangkut antara Nyi Mas Banyak Inten dengan Ksatria Ginggi. Masalah apakah ini, tentu Pragola pun ingin sekali mengetahuinya.
“Hari sudah mendekati senja. Lihatlah ribuan kelelawar yang datang dari arah Gunung Salak telah terbang menuju kemari. Kakanda harus mohon diri sebab Adinda tentu memiliki kesibukan khusus pada menjelang malam ini,” kata Banyak Angga sambil bangun dari duduknya.
Pragola pun ikut mengangkat tubuhnya. Sementara Nyi Mas Banyak Inten masih tetap duduk di hamparan tikar pandan.
“Mari Kakanda antar hingga ke halaman mandala, Adinda…” ajak Banyak Angga.
“Silahkan Kakanda pulang, saya bisa berjalan sendiri,” jawab Nyi Mas Banyak Inten pelan.
Sambil sedikit menghela napas, Banyak Angga mencoba meninggalkan paseban, diikuti oleh Pragola di belakang. Beberapa tindak mereka melangkah, terdengar Nyi Mas Banyak Inten berkata pelan,
”Kakanda pasti bisa menemukan Ksatria Ginggi…”
Banyak Angga mendadak menghentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang menatap adiknya yang juga sama tengah menatap adiknya yang juga sama tengah menatap dirinya.
“Kau maksudkan Ginggi masih hidup?”
Nyi Mas Banyak Inten mengangguk.
“Maksudmu…kau pernah bertemu pemuda itu?”
Banyak Angga menatap tajam dan tak sabar sebab Nyi Mas Banyak Inten belum juga memberikan jawaban tambahan.
“Sejak sepuluh tahun yang lalu, sudah tiga kali dia datang ke sini…” kata Nyi Mas Banyak Inten pelan.
“Maksudmu, dia beberapa kali datang ke Pakuan?”
“Tidak pernah ke Pakuan, sebab kalian tidak pernah tahu akan kedatangannya. Tanpa diketahui oleh seluruh penghuni mandala, beberapa kali dia mencoba menemui saya. Setahun sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam, dia menemui saya di sini. Selang dua tahun kemudian dia datang lagi ke sini. Kedatangannya yang terakhir adalah pada tiga tahun silam…” kata Nyi Mas Banyak Inten lagi.
“Kalau begitu benar, Ginggi masih ada. Dan perkiraan Kakanda juga benar, dia tak mungkin melupakan Pakuan begitu saja,” kata Banyak Angga. ”Hanya yang Kakanda herankan, mengapa Ginggi hanya mau bertemu denganmu saja? Mengapa dia tak ingin menjumpai aku atau Ayahanda?” tanya Banyak Angga heran sambil menatap wajah adiknya.
Dan Pragola melihat, betapa wajah Nyi Mas Banyak Inten bersemu merah serta menunduk dalam ketika ditatap kakaknya. Melihat Nyi Mas Banyak Inten kian menunduk, Banyak Angga semakin menatapnya dengan penuh selidik.
“Dinda, apakah memang Ginggi datang ke sini hanya karena Dinda semata?” tanya Banyak Angga semakin menatap tajam.
Tidak ada jawaban, kecuali wajah putih bersih itu semakin tenggelam di dalam kerudung putih.
“Terimaksih kau mau bantu Kakanda perihal ini…” kat Banyak Angga pada akhirnya.
Dan tanpa bertanya lagi dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Banyak Angga mohon diri dari mandala. Pragola pun segera mengikutinya dari belakang. Namun sebelum jauh benar, Pragola sempat berpaling ke belakang. Nampak Nyi Mas Banyak Inten masih duduk di atas tikar sambil kepalanya tertunduk.
***
INI adalah malam pertama Pragola menginap di puri Yogascitra. Tujuan kelompoknya untuk menyusup menjadi “orang Pakuan” berhasil sudah. Dan barangkali, kelompoknya pun akan semakin bersyukur bila mendapatkan kenyataan bahwa dia sudah demikian “dekat” dengan tokoh penting di Pakuan. Pangeran Yogascitra adalah tokoh maha penting. Pangeran tua ini mungkin merupakan tokoh kuat yang berpengaruh di istana. Bukan saja karena jabatannya sebagai penasihat Raja, tapi yang lebih penting dari itu, Pangeran Yogacitralah yang nampaknya memiliki ambisi kuat agar keberadaan Pajajaran tetap dipertahankan.
Keinginannya ini, sepertinya telah melebihi kehendak Raja sendiri. Bila Sang Prabu Nilakendra mencoba mempertahankan keberadaan negara dengan cita-cita “seadanya” saja, adalah kebalikannya dari cita-cita pangeran tua itu. Pangeran Yogascitra bercita-cita mengembalikan keberadaan Pajajaran dengan menghimpun kekuatan militer, sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh Sang Prabu.
Tindakan dan kebijaksanaan Pangeran Yogascitra amat membahayakan. Paling tidak, akan menjadi penghalang besar bagi negara baru dalam mencoba melumpuhkan Pajajaran.
Kalau ingin melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya. Ternyata kepala ular di Pajajaran bukan Sang Prabu sendiri, melainkan penasihatnya. Jadi Pragola harus berpikir, untuk melumpuhkan Pajajaran, bukan mengarahkan perhatian pada Sang Prabu Nilakendra, melainkan kepada penasihatnya ini. Sudahkah Pangeran Yudakara menyadari akan hal ini?
Belum habis Pragola berpikir, di atas wuwungan kamar di mana dia bermalam, terdengar suara keresekan halus. Itu bukan suara ranting pohon yang menjulur ke atas genteng sirap, melainkan sesuatu yang bergerak, yang sedang melangkah. Langkah orangkah? Musuh atau bukan, Pragola belum bisa menentukannya, sebab kendati pun yang berada di atas adalah kawan, pasti mereka akan datang secara sembunyi.
Pragola hanya berjaga-jaga saja, yaitu memadamkan pelita minyak jarak dan mencoba membuka daun jendela. Dengan memadamkan pelita dan membuka jendela, gerakan di luar rumah akan terawasi. Urat-urat di tubuh pemuda itu nampak menegang ketika sebuah bayangan hitam dengan amat cepat meloncat lewat lubang jendela. Pragola tidak sembrono untuk menyerang begitu saja sebelum tahu apa maksud kedatangan bayangan hitam itu.
“Pragola, aku datang!” desis sebuah suara.
Pragola hapal, itu adalah suara Pangeran Yudakara. “Oh… selamat datang, Pangeran!” desis Pragola pula.
Dia segera duduk bersila sambil tetap membiarkan suasana kamar tetap gulita. Pemuda itu mengerti untuk apa Pangeran Yudakara datang malam-malam. Tentu dia ingin mendapatkan sesuatu keterangan darinya.
“Senja tadi saya diajak Raden Banyak Angga mengunjungi mandala…” tutur Pragola sesudah menyembah hormat.
“Aku tahu, setiap saat pemuda itu mengunjungi adiknya di sana. Tapi adakah khabar yang patut engkau khabarkan padaku?”
“Banyak Angga hanya ingin memberi tahu akan rencana kepergiannya ke wilayah timur. Ada pengetahuan tambahan, Nyi Mas Banyak Inten mengatakan bahwa Ksatria Ginggi beberapa kali pernah mengunjunginya. Ini hanya menandakan bahwa lelaki yang dikhabarkan sakti itu masih hidup dan merupakan gangguan bagi gerakan kita. Apalagi Banyak Angga ke wilayah timur bermaksud mencari orang itu,” kata Pragola.
Pangeran Yudakara mengangguk-angguk. Kemudian diam sejenak seperti tengah berpikir sesuatu.
“Bagaimana perkara ajakan Banyak Angga agar saya ikut serta ke wilayah timur?” tanya Pragola kemudian.
“Sebetulnya itu di luar rencana kita. Tapi kau jalankan saja. Tapi kendati begitu, kita harus berani memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada yang sekiranya sesuai dengan tujuan semula,” kata Pangeran Yudakara.
Kemudian pangeran ini berdiri dan lalu-lalang di seputar ruangan. “Tujuan kita datang ke Pakuan ini di samping mencari titik-titik kelemahan Pakuan, juga mencoba menghalangi rencana penghimpunan kekuatan mereka. Engkau di sana kelak harus bisa meyakinkan bahwa belasan perwira yang terkepung di Puncak Gunung Cakrabuana benar bukan bualan semata. Ini perlu, supaya di hari kemudian ada pasukan yang menyusul ke sana. Kau mengerti maksudku?”
“Saya mengerti, Pangeran…” kata Pragola. ”Tapi bagaimana halnya bila saya tidak berhasil meyakinkan Banyak Angga?” tanyanya.
“Itu adalah suatu kegagalan. Namun kendati begitu, belum terlambat untuk memperbaikinya. Kalau belakangan Banyak Angga mendapatkan kebohongan ini, bahkan mencurigaimu, maka tindakanmu satu-satunya adalah melenyapkan pemuda itu,” kata Pangeran Yudakara.
“Membunuhnya?”
“Ya…!”
Pragola terpana mendengarnya.
Kerling Kasih Layang Kingkin
Pagi-pagi benar Pragola sudah dijemput oleh seorang jagabaya. Petugas itu mengabarkan bahwa Banyak Angga memanggilnya.
“Di mana beliau menunggu saya, Paman?” tanya Pragola yang nampak sudah mengenakan pakaian baru, yaitu baju kampret warna nila, ikat kepala hitam dan celana sontog yang warnanya sama dengan ikat kepalanya.
“Raden Banyak Angga memanggilmu dan menanti di paseban puri Yogascitra. Bahkan Pangeran tua pun sudah berada di sana. Barangkali ada sesuatu hal penting yang harus disampaikan kepadamu…” kata jagabaya sopan.
Pragola hanya mengangguk-angguk sebagai tanda mengerti. Padahal di dalam hatinya pemuda itu penuh tanda tanya. Benar saja, sepagi ini kedua anak-beranak sudah duduk-duduk di paseban. Pangeran Yogascitra duduk di atas kursi jati berukir. Dia menggunakan pakaian senting beludru warna hitam yang dihiasi ornamen emas pada sisi-sisinya. Kepalanya diiket dengan iket sawit. Celana panjang berpasmen hampir tertutupi oleh kain kebat batik jenis lereng dan udan liris.
Duduk bersila di hadapannya adalah Banyak Angga yang dengan anggunnya menggunakan pakaian baju kurung kain halus warna biru tua. Dia pun memakai tutup kepala jenis iket sawit. Celananya jenis komprang warna hitam. Pemuda itu begitu gembira ketika melihat Pragola datang diiringkan jagabaya.
“Masuklah Pragola,” ujarnya dengan senyum khas.
Pragola segera duduk bersila di samping Banyak Angga, namun agak sedikit ke belakang.
“Saya menghaturkan sembah, Pangeran…” kata Pragola menyembah hormat yang dianggukkan oleh Pangeran Yogascitra dengan cukup ramah.
“Adakah sesuatu yang diperlukan sehingga sepagi ini saya perlu menghadap ke sini?” tanya Pragola hati-hati.
“Ah, tidak perlu benar,” Banyak Angga yang menjawabnya. ”Lihatlah kabut pagi di Puncak Gunung Salak, begitu indahnya, bukan? Kalau tak ada kesibukan yang sangat, setiap pagi kami duduk-duduk di sini menikmati udara pagi sambil mencicipi hidangan. Ayahanda setuju bila engkau ikut mencicipi hidangan di sini…”
“Ah… Raden tidak perlu berlebihan kepada saya. Kedudukan saya begitu rendah bila dibandingkan dengan keluarga di puri ini…’ kata Pragola merendah.
“Lihatlah Ayahanda, begitu mirip dan begitu jauh bedanya…” kata Banyak Angga membingungkan Pragola.
Pemuda ini segera menatap Pangeran Yogascitra. Kebetulan pangeran tua itu pun tengah menatapnya. Pragola bingung dan heran sebab Pangeran Yogascitra menatapnya dengan penuh perhatian. Pragola memang tidak mengerti, mengapa mereka menatapnya seperti itu.
“Kalau diperhatikan dengan seksama, memang ada kemiripan,” gumam Pangeran Yogascitra masih menatap Pragola.
“Hanya bedanya sikap dan tindak-tanduk Pragola ini amat sopan dan terlalu hati-hati dalam menghadapi siapa saja,” tutur Banyak Angga yang juga sama memperhatikan Pragola, membuat pemuda itu semakin bingung.
“Kalau tak kau ingatkan, aku tak bisa membanding-bandingkan seperti apa yang kau lakukan, Angga…” gumam Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk. Hatinya bingung tapi juga was-was dan curiga. Jangan-jangan rahasia dirinya telah terbongkar. Itulah sebabnya, kendati tindak-tanduk kedua orang itu tidak menampakkan orang yang memendam rasa curiga terhadapnya, Pragola perlu hati-hati. Urat-urat nadinya menegang keras, siap melakukan sesuatu.
“Maafkan kalau sikap kami membuatmu bingung, Pragola…” kata Banyak Angga tersenyum.
Pragola diam saja.
“Engkau mirip seseorang yang aku kenal, anak muda. Entah mengapa, bila ditilik dengan seksama wajahmu mirip Ginggi, ksatria bengal yang pada sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Pakuan,“ kata pangeran Yogascitra.
Pragola terkejut dengan pernyataan mereka ini. Dia mirip Ksatria Ginggi? Mirip apanya?
“Lihatlah sepasang matanya yang bulat berbinar. Lihat pula dagunya yang runcing dan hidungnya yang agak mancung. Kalau saja rambutnya berombak ikal, tak pelak lagi, dia adalah Ginggi kedua,” kata Raden Banyak Angga sambil menilik-nilik wajah Pragola.
Bergetar dada pemuda itu. Dirinya mirip Ksatria Ginggi? Yang benar saja. Lelaki itu adalah musuh besarnya, sebab dialah yang mengakibatkan Ki Sudiraja, gurunya, tewas. Pragola merasa, seumur hidup belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi kalau dirinya harus dipersamakan dengannya, jelas menolak. Hanya saja, kendati hatinya tak suka, Pragola tak bisa memperlihatkan perasaannya ini.
Itulah sebabnya dia hanya menunduk saja ketika kedua orang anak-beranak itu terus berbincang-bincang. Baik Pangeran Yogascitra mau pun Raden banyak Angga tengah menduga-duga, bagaimana rupa Ginggi sekarang, sebab yang tadi dikatakan punya kemiripan dengan wajah Pragola adalah wajah Ginggi pada sepuluh tahun silam.
“Itulah sebabnya dalam perjalanan ke wilayah timur kelak, engkau harus berusaha menemukan Ginggi,” tutur Pangeran Yogascitra.
Mendengar ucapan ayahandanya ini, Raden Banyak Angga seperti diingatkan akan sesuatu hal.
“Ayahanda, ada sesuatu yang menarik pada adikku Banyak Inten dan rasa-rasanya erat kaitannya dengan saudara Ginggi,” kata Raden Banyak Angga kemudian.
Nampak Pangeran Yogascitra melirik dan agak mengerutkan dahinya. “Apakah itu, anakku?”
“Adikku seperti tahu mengenai Saudara Ginggi!” jawab Raden Banyak Angga balik menatap ayahandanya.
“Begitukah?” Pangeran Yogascitra masih mengerutkan dahinya.
Kemudian Raden Banyak Angga mengabarkan pertemuan kemarin sore dengan Nyi Mas Banyak Inten. Ketika dia memberi tahu bahwa dalam melakukan perjalanan ke wilayah timur nanti akan juga mencari Ginggi, Nyi Mas Banyak Inten mengatakan bahwa sebetulnya pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi mandala.
“Maksudmu, pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi Pakuan semenjak peristiwa besar sepuluh tahun silam itu?” tanya Pangeran Yogascitra penuh perhatian.
“Tidak persis begitu, sebab Ginggi tak pernah memperlihatkan diri di Pakuan ini. Dia hanya datang secara diam-diam untuk menemui adikku di kompleks mandala,” kata Banyak Angga lagi.
Untuk beberapa saat Pangeran Yogascitra diam mematung. Dahinya terus berkerut-kerut sebagai tanda berpikir.
“Dia datang ke Pakuan dengan diam-diam, tak mau ketemu siapa pun kecuali dengan putriku. Kira-kira, kemungkinan apakah yang terjadi pada dirinya, Angga?” tanya Pangeran Yogascitra setengah bergumam.
“Menurut Ayahanda sendiri bagaimana?” Banyak Angga balik bertanya.
“Tak ada dugaan lain, selain pemuda itu tertarik pada adikmu…” kata Pangeran Yogascitra.
“Saya sendiri pun menduga begitu,” sambung Banyak Angga.
Hening sejenak. Sementara itu, sang surya telah muncul di balik pepohonan. Suara berbagai burung pun terdengar berkicau-merdu. Kabut di Puncak Gunung Salak sedikit-sedikit sudah mulai menipis sehingga gugusan-gugusan gunung itu nampak menghitam legam.
“Mari kita pergi ke mandala…” kata Pangeran Yogascitra tiba-tiba.
“Sepagi ini, Ayahanda? Semua pendeta pasti masih melantunkan doa-doa. Tak baik kita mengganggu mereka,” tutur Banyak Angga heran.
“Tidak mengapa. Kita tak akan mengganggu mereka,” jawab Pangeran Yogascitra. Pangeran tua itu segera berdiri diikuti Banyak Angga. “Tidak mengapa, engkau pun boleh ikut serta, Pragola…” kata pangeran itu menatap Pragola.
“Kehadiran saya hanya akan mengganggu saja,” tutur Pragola pelan, padahal di dalam hatinya dia ingin sekali ikut ke mandala.
“Tidak akan mengganggu, bahkan sebaliknya berguna, sebab engkau kelak akan bersama-sama mencari Ginggi,” tutur Banyak Angga.
Pragola gembira dengan ajakan kedua orang itu, sebab semakin banyak yang dia ketahui di sini, akan semakin baik bagi penyelidikannya. Maka ketiga orang itu beriringan menuju kompleks mandala.
Seperti biasa, kaum laki-laki yang mengunjungi mandala atau asrama pendeta wanita ini, hanya bisa diterima di paseban saja. Dan kendati dengan rasa heran karena sepagi ini sudah ada yang berkunjung, seorang Jagabaya dengan hormatnya tetap melayani keinginan tamu. Jagabaya memberitahu tetua mandala perihal kedatangan tamu penting ini.
Harus agak lama menunggu sebab sejak subuh hari sampai matahari memancar biasanya para pendeta berkumpul di kuil untuk berdoa dan menerima ceramah berupa santapan rohani. Namun begitu selesai kegiatan rutin, Nyi Mas Banyak Inten segera menuju ruangan paseban.
“Semoga kesehatan dan keselamatan bertumpah-ruah kepadamu, ayahanda…“ kata Nyi Mas Banyak Inten halus namun dengan nada datar saja.
“Duduklah anakku. Sudah lama aku tak bertemu engkau dan ingin sekali ayahanda bercakap-cakap denganmu…” ujar Pangeran Yogascitra mempersilakan Nyi Mas Banyak Inten duduk di hamparan tikar panda.
“Tentu ada sesuatu yang amat penting yang menyebabkan ayahanda berkunjung ke sini sepagi ini…” tutur Nyi Mas Banyak Inten, duduk bersimpuh sambil membereskan kain kerudung putihnya.
“Engkau sudah benar-benar seperti pendeta sehingga bisa menebak tujuanku datang ke sini…” ujar pangeran Yogascitra tersenyum kecil.
Nyi Mas Banyak Inten hanya tetunduk-tunduk saja.
“Memang ada sesuatu yang ingin ayahanda rundingkan denganmu, anakku…” kata Pangeran Yogascitra menatap tajam gadis berpakaian serba puih itu.
“Merundingkan sesuatu dengan saya? Tidak kelirukah itu ayahanda, sedangkan bagi seorang pendeta tak ada sesuatu yang bernama masalah. Artinya, sesuatu rundingan yang melibatkan saya sungguh tidak perlu,” tutur Nyi Mas Banyak Inten, masih bernada halus namun isinya sedikit menyengat.
Pangeran Yogascitra hanya menanggapinya dengan senyum tipis. “Benar sekali, perundingan hanya menandakan adanya satu masalah. Ayahanda juga tahu, sudah tak ada permasalahan hidup yang mendera kaum pendeta. Namun bukan berarti pendeta harus membutakan mata dan menulikan telinga terhadap keadaan sekililing. Pendeta yang ada di Pakuan adalah warga Pajajaran dan mereka punya hak dan kewajiban dalam merawat negri dan mempertahankan keberadaannya,” kata Pangeran Yogacitra masih dengan senyum tipisnya.
Nyi Mas Banyak Inten hanya menunduk saja.
“Bahkan ayahanda datang ke sini bukan ingin bertemu dengan pendeta, namun dengan anakku sendiri. Bukankah sampai saat ini engkau masih mengakuiku sebagai ayahandamu, Nyi Mas?” kata Pangeran tua itu masih menatap Nyi Mas Banyak Inten dengan perasaan kasih sayang.
“Sepeninggal ibunda, kini hanya ayahanda orang tua saya seorang yang wajib saya hormati dan taati,” tutur Nyi Mas Banyak Inten, membuat Pangeran Yogascitra puas mendengarnya.
“Terimakasih bila begitu. Kebahagian yang paling sempurna bagi orangtua adalah adanya rasa hormat dan taat dari seorang anaknya,” sahut Pangeran Yogascitra gembira.
Namun sebaliknya, selintas Pragola bisa melihat perubahan wajah gadis itu kendati hanya sedikit. Pemuda itu yang duduk di belakang Raden Banyak Angga menduga-duga bahwa gadis itu merasa terperangkap oleh ucapannya sendiri.
“Ayahanda sebagai seorang ayah, ingin meminta sesuatu darimu sebagai seorang anak,” tutur Pangeran tua itu, ”Ini permintaan pribadi tapi bukan untuk kepentingan pribadi. Permintaan ayahanda untuk kepentingan negara semata,” lanjutnya.
Tidak ada jawaban, kecuali wajah putih bersih itu semakin tenggelam di dalam kerudung putih.
“Terimaksih kau mau bantu Kakanda perihal ini…” kat Banyak Angga pada akhirnya.
Dan tanpa bertanya lagi dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Banyak Angga mohon diri dari mandala. Pragola pun segera mengikutinya dari belakang. Namun sebelum jauh benar, Pragola sempat berpaling ke belakang. Nampak Nyi Mas Banyak Inten masih duduk di atas tikar sambil kepalanya tertunduk.
***
INI adalah malam pertama Pragola menginap di puri Yogascitra. Tujuan kelompoknya untuk menyusup menjadi “orang Pakuan” berhasil sudah. Dan barangkali, kelompoknya pun akan semakin bersyukur bila mendapatkan kenyataan bahwa dia sudah demikian “dekat” dengan tokoh penting di Pakuan. Pangeran Yogascitra adalah tokoh maha penting. Pangeran tua ini mungkin merupakan tokoh kuat yang berpengaruh di istana. Bukan saja karena jabatannya sebagai penasihat Raja, tapi yang lebih penting dari itu, Pangeran Yogacitralah yang nampaknya memiliki ambisi kuat agar keberadaan Pajajaran tetap dipertahankan.
Keinginannya ini, sepertinya telah melebihi kehendak Raja sendiri. Bila Sang Prabu Nilakendra mencoba mempertahankan keberadaan negara dengan cita-cita “seadanya” saja, adalah kebalikannya dari cita-cita pangeran tua itu. Pangeran Yogascitra bercita-cita mengembalikan keberadaan Pajajaran dengan menghimpun kekuatan militer, sesuatu yang tidak pernah dipikirkan oleh Sang Prabu.
Tindakan dan kebijaksanaan Pangeran Yogascitra amat membahayakan. Paling tidak, akan menjadi penghalang besar bagi negara baru dalam mencoba melumpuhkan Pajajaran.
Kalau ingin melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya. Ternyata kepala ular di Pajajaran bukan Sang Prabu sendiri, melainkan penasihatnya. Jadi Pragola harus berpikir, untuk melumpuhkan Pajajaran, bukan mengarahkan perhatian pada Sang Prabu Nilakendra, melainkan kepada penasihatnya ini. Sudahkah Pangeran Yudakara menyadari akan hal ini?
Belum habis Pragola berpikir, di atas wuwungan kamar di mana dia bermalam, terdengar suara keresekan halus. Itu bukan suara ranting pohon yang menjulur ke atas genteng sirap, melainkan sesuatu yang bergerak, yang sedang melangkah. Langkah orangkah? Musuh atau bukan, Pragola belum bisa menentukannya, sebab kendati pun yang berada di atas adalah kawan, pasti mereka akan datang secara sembunyi.
Pragola hanya berjaga-jaga saja, yaitu memadamkan pelita minyak jarak dan mencoba membuka daun jendela. Dengan memadamkan pelita dan membuka jendela, gerakan di luar rumah akan terawasi. Urat-urat di tubuh pemuda itu nampak menegang ketika sebuah bayangan hitam dengan amat cepat meloncat lewat lubang jendela. Pragola tidak sembrono untuk menyerang begitu saja sebelum tahu apa maksud kedatangan bayangan hitam itu.
“Pragola, aku datang!” desis sebuah suara.
Pragola hapal, itu adalah suara Pangeran Yudakara. “Oh… selamat datang, Pangeran!” desis Pragola pula.
Dia segera duduk bersila sambil tetap membiarkan suasana kamar tetap gulita. Pemuda itu mengerti untuk apa Pangeran Yudakara datang malam-malam. Tentu dia ingin mendapatkan sesuatu keterangan darinya.
“Senja tadi saya diajak Raden Banyak Angga mengunjungi mandala…” tutur Pragola sesudah menyembah hormat.
“Aku tahu, setiap saat pemuda itu mengunjungi adiknya di sana. Tapi adakah khabar yang patut engkau khabarkan padaku?”
“Banyak Angga hanya ingin memberi tahu akan rencana kepergiannya ke wilayah timur. Ada pengetahuan tambahan, Nyi Mas Banyak Inten mengatakan bahwa Ksatria Ginggi beberapa kali pernah mengunjunginya. Ini hanya menandakan bahwa lelaki yang dikhabarkan sakti itu masih hidup dan merupakan gangguan bagi gerakan kita. Apalagi Banyak Angga ke wilayah timur bermaksud mencari orang itu,” kata Pragola.
Pangeran Yudakara mengangguk-angguk. Kemudian diam sejenak seperti tengah berpikir sesuatu.
“Bagaimana perkara ajakan Banyak Angga agar saya ikut serta ke wilayah timur?” tanya Pragola kemudian.
“Sebetulnya itu di luar rencana kita. Tapi kau jalankan saja. Tapi kendati begitu, kita harus berani memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada yang sekiranya sesuai dengan tujuan semula,” kata Pangeran Yudakara.
Kemudian pangeran ini berdiri dan lalu-lalang di seputar ruangan. “Tujuan kita datang ke Pakuan ini di samping mencari titik-titik kelemahan Pakuan, juga mencoba menghalangi rencana penghimpunan kekuatan mereka. Engkau di sana kelak harus bisa meyakinkan bahwa belasan perwira yang terkepung di Puncak Gunung Cakrabuana benar bukan bualan semata. Ini perlu, supaya di hari kemudian ada pasukan yang menyusul ke sana. Kau mengerti maksudku?”
“Saya mengerti, Pangeran…” kata Pragola. ”Tapi bagaimana halnya bila saya tidak berhasil meyakinkan Banyak Angga?” tanyanya.
“Itu adalah suatu kegagalan. Namun kendati begitu, belum terlambat untuk memperbaikinya. Kalau belakangan Banyak Angga mendapatkan kebohongan ini, bahkan mencurigaimu, maka tindakanmu satu-satunya adalah melenyapkan pemuda itu,” kata Pangeran Yudakara.
“Membunuhnya?”
“Ya…!”
Pragola terpana mendengarnya.
Kerling Kasih Layang Kingkin
Pagi-pagi benar Pragola sudah dijemput oleh seorang jagabaya. Petugas itu mengabarkan bahwa Banyak Angga memanggilnya.
“Di mana beliau menunggu saya, Paman?” tanya Pragola yang nampak sudah mengenakan pakaian baru, yaitu baju kampret warna nila, ikat kepala hitam dan celana sontog yang warnanya sama dengan ikat kepalanya.
“Raden Banyak Angga memanggilmu dan menanti di paseban puri Yogascitra. Bahkan Pangeran tua pun sudah berada di sana. Barangkali ada sesuatu hal penting yang harus disampaikan kepadamu…” kata jagabaya sopan.
Pragola hanya mengangguk-angguk sebagai tanda mengerti. Padahal di dalam hatinya pemuda itu penuh tanda tanya. Benar saja, sepagi ini kedua anak-beranak sudah duduk-duduk di paseban. Pangeran Yogascitra duduk di atas kursi jati berukir. Dia menggunakan pakaian senting beludru warna hitam yang dihiasi ornamen emas pada sisi-sisinya. Kepalanya diiket dengan iket sawit. Celana panjang berpasmen hampir tertutupi oleh kain kebat batik jenis lereng dan udan liris.
Duduk bersila di hadapannya adalah Banyak Angga yang dengan anggunnya menggunakan pakaian baju kurung kain halus warna biru tua. Dia pun memakai tutup kepala jenis iket sawit. Celananya jenis komprang warna hitam. Pemuda itu begitu gembira ketika melihat Pragola datang diiringkan jagabaya.
“Masuklah Pragola,” ujarnya dengan senyum khas.
Pragola segera duduk bersila di samping Banyak Angga, namun agak sedikit ke belakang.
“Saya menghaturkan sembah, Pangeran…” kata Pragola menyembah hormat yang dianggukkan oleh Pangeran Yogascitra dengan cukup ramah.
“Adakah sesuatu yang diperlukan sehingga sepagi ini saya perlu menghadap ke sini?” tanya Pragola hati-hati.
“Ah, tidak perlu benar,” Banyak Angga yang menjawabnya. ”Lihatlah kabut pagi di Puncak Gunung Salak, begitu indahnya, bukan? Kalau tak ada kesibukan yang sangat, setiap pagi kami duduk-duduk di sini menikmati udara pagi sambil mencicipi hidangan. Ayahanda setuju bila engkau ikut mencicipi hidangan di sini…”
“Ah… Raden tidak perlu berlebihan kepada saya. Kedudukan saya begitu rendah bila dibandingkan dengan keluarga di puri ini…’ kata Pragola merendah.
“Lihatlah Ayahanda, begitu mirip dan begitu jauh bedanya…” kata Banyak Angga membingungkan Pragola.
Pemuda ini segera menatap Pangeran Yogascitra. Kebetulan pangeran tua itu pun tengah menatapnya. Pragola bingung dan heran sebab Pangeran Yogascitra menatapnya dengan penuh perhatian. Pragola memang tidak mengerti, mengapa mereka menatapnya seperti itu.
“Kalau diperhatikan dengan seksama, memang ada kemiripan,” gumam Pangeran Yogascitra masih menatap Pragola.
“Hanya bedanya sikap dan tindak-tanduk Pragola ini amat sopan dan terlalu hati-hati dalam menghadapi siapa saja,” tutur Banyak Angga yang juga sama memperhatikan Pragola, membuat pemuda itu semakin bingung.
“Kalau tak kau ingatkan, aku tak bisa membanding-bandingkan seperti apa yang kau lakukan, Angga…” gumam Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk. Hatinya bingung tapi juga was-was dan curiga. Jangan-jangan rahasia dirinya telah terbongkar. Itulah sebabnya, kendati tindak-tanduk kedua orang itu tidak menampakkan orang yang memendam rasa curiga terhadapnya, Pragola perlu hati-hati. Urat-urat nadinya menegang keras, siap melakukan sesuatu.
“Maafkan kalau sikap kami membuatmu bingung, Pragola…” kata Banyak Angga tersenyum.
Pragola diam saja.
“Engkau mirip seseorang yang aku kenal, anak muda. Entah mengapa, bila ditilik dengan seksama wajahmu mirip Ginggi, ksatria bengal yang pada sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Pakuan,“ kata pangeran Yogascitra.
Pragola terkejut dengan pernyataan mereka ini. Dia mirip Ksatria Ginggi? Mirip apanya?
“Lihatlah sepasang matanya yang bulat berbinar. Lihat pula dagunya yang runcing dan hidungnya yang agak mancung. Kalau saja rambutnya berombak ikal, tak pelak lagi, dia adalah Ginggi kedua,” kata Raden Banyak Angga sambil menilik-nilik wajah Pragola.
Bergetar dada pemuda itu. Dirinya mirip Ksatria Ginggi? Yang benar saja. Lelaki itu adalah musuh besarnya, sebab dialah yang mengakibatkan Ki Sudiraja, gurunya, tewas. Pragola merasa, seumur hidup belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi kalau dirinya harus dipersamakan dengannya, jelas menolak. Hanya saja, kendati hatinya tak suka, Pragola tak bisa memperlihatkan perasaannya ini.
Itulah sebabnya dia hanya menunduk saja ketika kedua orang anak-beranak itu terus berbincang-bincang. Baik Pangeran Yogascitra mau pun Raden banyak Angga tengah menduga-duga, bagaimana rupa Ginggi sekarang, sebab yang tadi dikatakan punya kemiripan dengan wajah Pragola adalah wajah Ginggi pada sepuluh tahun silam.
“Itulah sebabnya dalam perjalanan ke wilayah timur kelak, engkau harus berusaha menemukan Ginggi,” tutur Pangeran Yogascitra.
Mendengar ucapan ayahandanya ini, Raden Banyak Angga seperti diingatkan akan sesuatu hal.
“Ayahanda, ada sesuatu yang menarik pada adikku Banyak Inten dan rasa-rasanya erat kaitannya dengan saudara Ginggi,” kata Raden Banyak Angga kemudian.
Nampak Pangeran Yogascitra melirik dan agak mengerutkan dahinya. “Apakah itu, anakku?”
“Adikku seperti tahu mengenai Saudara Ginggi!” jawab Raden Banyak Angga balik menatap ayahandanya.
“Begitukah?” Pangeran Yogascitra masih mengerutkan dahinya.
Kemudian Raden Banyak Angga mengabarkan pertemuan kemarin sore dengan Nyi Mas Banyak Inten. Ketika dia memberi tahu bahwa dalam melakukan perjalanan ke wilayah timur nanti akan juga mencari Ginggi, Nyi Mas Banyak Inten mengatakan bahwa sebetulnya pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi mandala.
“Maksudmu, pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi Pakuan semenjak peristiwa besar sepuluh tahun silam itu?” tanya Pangeran Yogascitra penuh perhatian.
“Tidak persis begitu, sebab Ginggi tak pernah memperlihatkan diri di Pakuan ini. Dia hanya datang secara diam-diam untuk menemui adikku di kompleks mandala,” kata Banyak Angga lagi.
Untuk beberapa saat Pangeran Yogascitra diam mematung. Dahinya terus berkerut-kerut sebagai tanda berpikir.
“Dia datang ke Pakuan dengan diam-diam, tak mau ketemu siapa pun kecuali dengan putriku. Kira-kira, kemungkinan apakah yang terjadi pada dirinya, Angga?” tanya Pangeran Yogascitra setengah bergumam.
“Menurut Ayahanda sendiri bagaimana?” Banyak Angga balik bertanya.
“Tak ada dugaan lain, selain pemuda itu tertarik pada adikmu…” kata Pangeran Yogascitra.
“Saya sendiri pun menduga begitu,” sambung Banyak Angga.
Hening sejenak. Sementara itu, sang surya telah muncul di balik pepohonan. Suara berbagai burung pun terdengar berkicau-merdu. Kabut di Puncak Gunung Salak sedikit-sedikit sudah mulai menipis sehingga gugusan-gugusan gunung itu nampak menghitam legam.
“Mari kita pergi ke mandala…” kata Pangeran Yogascitra tiba-tiba.
“Sepagi ini, Ayahanda? Semua pendeta pasti masih melantunkan doa-doa. Tak baik kita mengganggu mereka,” tutur Banyak Angga heran.
“Tidak mengapa. Kita tak akan mengganggu mereka,” jawab Pangeran Yogascitra. Pangeran tua itu segera berdiri diikuti Banyak Angga. “Tidak mengapa, engkau pun boleh ikut serta, Pragola…” kata pangeran itu menatap Pragola.
“Kehadiran saya hanya akan mengganggu saja,” tutur Pragola pelan, padahal di dalam hatinya dia ingin sekali ikut ke mandala.
“Tidak akan mengganggu, bahkan sebaliknya berguna, sebab engkau kelak akan bersama-sama mencari Ginggi,” tutur Banyak Angga.
Pragola gembira dengan ajakan kedua orang itu, sebab semakin banyak yang dia ketahui di sini, akan semakin baik bagi penyelidikannya. Maka ketiga orang itu beriringan menuju kompleks mandala.
Seperti biasa, kaum laki-laki yang mengunjungi mandala atau asrama pendeta wanita ini, hanya bisa diterima di paseban saja. Dan kendati dengan rasa heran karena sepagi ini sudah ada yang berkunjung, seorang Jagabaya dengan hormatnya tetap melayani keinginan tamu. Jagabaya memberitahu tetua mandala perihal kedatangan tamu penting ini.
Harus agak lama menunggu sebab sejak subuh hari sampai matahari memancar biasanya para pendeta berkumpul di kuil untuk berdoa dan menerima ceramah berupa santapan rohani. Namun begitu selesai kegiatan rutin, Nyi Mas Banyak Inten segera menuju ruangan paseban.
“Semoga kesehatan dan keselamatan bertumpah-ruah kepadamu, ayahanda…“ kata Nyi Mas Banyak Inten halus namun dengan nada datar saja.
“Duduklah anakku. Sudah lama aku tak bertemu engkau dan ingin sekali ayahanda bercakap-cakap denganmu…” ujar Pangeran Yogascitra mempersilakan Nyi Mas Banyak Inten duduk di hamparan tikar panda.
“Tentu ada sesuatu yang amat penting yang menyebabkan ayahanda berkunjung ke sini sepagi ini…” tutur Nyi Mas Banyak Inten, duduk bersimpuh sambil membereskan kain kerudung putihnya.
“Engkau sudah benar-benar seperti pendeta sehingga bisa menebak tujuanku datang ke sini…” ujar pangeran Yogascitra tersenyum kecil.
Nyi Mas Banyak Inten hanya tetunduk-tunduk saja.
“Memang ada sesuatu yang ingin ayahanda rundingkan denganmu, anakku…” kata Pangeran Yogascitra menatap tajam gadis berpakaian serba puih itu.
“Merundingkan sesuatu dengan saya? Tidak kelirukah itu ayahanda, sedangkan bagi seorang pendeta tak ada sesuatu yang bernama masalah. Artinya, sesuatu rundingan yang melibatkan saya sungguh tidak perlu,” tutur Nyi Mas Banyak Inten, masih bernada halus namun isinya sedikit menyengat.
Pangeran Yogascitra hanya menanggapinya dengan senyum tipis. “Benar sekali, perundingan hanya menandakan adanya satu masalah. Ayahanda juga tahu, sudah tak ada permasalahan hidup yang mendera kaum pendeta. Namun bukan berarti pendeta harus membutakan mata dan menulikan telinga terhadap keadaan sekililing. Pendeta yang ada di Pakuan adalah warga Pajajaran dan mereka punya hak dan kewajiban dalam merawat negri dan mempertahankan keberadaannya,” kata Pangeran Yogacitra masih dengan senyum tipisnya.
Nyi Mas Banyak Inten hanya menunduk saja.
“Bahkan ayahanda datang ke sini bukan ingin bertemu dengan pendeta, namun dengan anakku sendiri. Bukankah sampai saat ini engkau masih mengakuiku sebagai ayahandamu, Nyi Mas?” kata Pangeran tua itu masih menatap Nyi Mas Banyak Inten dengan perasaan kasih sayang.
“Sepeninggal ibunda, kini hanya ayahanda orang tua saya seorang yang wajib saya hormati dan taati,” tutur Nyi Mas Banyak Inten, membuat Pangeran Yogascitra puas mendengarnya.
“Terimakasih bila begitu. Kebahagian yang paling sempurna bagi orangtua adalah adanya rasa hormat dan taat dari seorang anaknya,” sahut Pangeran Yogascitra gembira.
Namun sebaliknya, selintas Pragola bisa melihat perubahan wajah gadis itu kendati hanya sedikit. Pemuda itu yang duduk di belakang Raden Banyak Angga menduga-duga bahwa gadis itu merasa terperangkap oleh ucapannya sendiri.
“Ayahanda sebagai seorang ayah, ingin meminta sesuatu darimu sebagai seorang anak,” tutur Pangeran tua itu, ”Ini permintaan pribadi tapi bukan untuk kepentingan pribadi. Permintaan ayahanda untuk kepentingan negara semata,” lanjutnya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment