Nyi Mas Banyak Inten sambil tetap tertunduk nampak mengulum senyum tipis.
“Yang datang ke sini adalah seorang ayah, namun yang meminta adalah seorang pejabat negara, untuk kepentingan negara pula. Sedang saya yang duduk bersimpuh ini harus tetap bertindak sebagai seorang anak. Tidak apa. kalau itu demi kebaikan kita semua, saya siap menunggu perintah ayahanda…” tutur gadis itu masih dengan senyum tipisnya, namun membuat wajah Pangeran Yogascitra sedikit memerah.
“Ayahanda sebetulnya merasa malu. Tapi apa boleh buat, yang Ayahanda pikirkan selalu saja urusan negara. Jadi, kendati dengan hati yang berat karena malu, Ayahanda terpaksa mengajukan permintaan kepadamu, anakku…” kata Pangeran Yogascitra pada akhirnya.
“Sampaikanlah segera, apa yang ingin Ayahanda sampaikan, agar segala permasalahan bisa kita selesaikan dengan baik,” pinta Nyi Mas Banyak Inten.
“Anakku, Ayahanda dengar khabar, bahwa pemuda Ginggi beberapa kali pernah berkunjung ke mari, namun tanpa orang lain tahu. Ini hanya menandakan, bahwa pemuda itu punya kepentingan khusus denganmu…” kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten nampak sedikit memerah pipinya. Dia terus menunduk.
“Engkau harus tahu anakku, bahwa pemuda itu sebenarnya amat diharapkan kehadirannya. Pakuan membutuhkan orang pandai di saat kedudukannya sedang terjepit. Jadi kalau engkau mau ikut membela negara, bujuklah dia agar sudi datang ke istana dan tidak sembunyi-sembunyi seperti sekarang ini,” kata pangeran tua itu.
“Saya belum mengerti, apa yang dimaksud Ayahanda…” tutur gadis itu setelah sekian lama mematung.
“Ya, undanglah dia agar mau tinggal di Pakuan,”
“Saya tidak bisa memaksakan kehendak kepada orang lain, Ayahanda. Apalagi Ginggi pernah berkata kepada saya, benci kepada urusan kenegaraan. Kalau tidak karena saya, dia tidak mau memasuki wilayah Pakuan…” kata gadis itu.
“Itulah kunci agar pemuda itu mau ke Pakuan, anakku,”
“Maksud Ayahnda?”
“Sebagai orang tua, Ayahanda mengerti apa yang ada di hati anak muda. Ginggi selalu berusaha dengan diam-diam memasuki mandala karena cintanya kepadamu. Ayahanda yakin, pemuda itu amat mengharapkanmu, jadi berilah dia kesempatan, anakku,” kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten mengatupkan kelopak matanya. Dia terpaksa merangkapkan sepasang tangannya dan bibirnya bergerak-gerak seperti mengucapkan sebuah doa.
“Semoga kita semua mendapatkan pengampunan Hyang atas segala kekeliruan yang kita lakukan…” bisiknya.
“Berupaya membela negara bukanlah sebuah kekeliruan, anakku,” tutur Pangeran Yogascitra dengan mimik khawatir.
“Tapi Ayahanda harus ingat, saya adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan kehidupan duniawi. Pendeta telah melepaskan segala keterkaitan dengan urusan dunia. Itulah sebabnya tadi saya katakan tidak bisa memaksakan kehendak,” tutur gadis itu masih menunduk dan sedikit mengatupkan matanya sehingga garis hitam lentik bulu mata semakin terlihat menebal.
Hening beberapa lama, sehingga suara kicauan burung di pagi cerah amat terdengar nyaring. Banyak Angga duduk bersila tegak sambil sepasang tangan bersilang di dada. Nampak sekali ada kerutan di dahi menyimak percakapan ayahnya dan adiknya ini. Sedangkan Pragola yang bersila di belakangnya duduk tenang kendati hatinya amat tertarik dengan situasi di ruangan paseban ini.
“Ayahanda sadar bahwa kedudukanmu sekarang adalah pendeta. Pendeta muda yang tak sempat banyak makan asam-garam kehidupan. Dan engkau pun adalah pendeta muda yang kependetaannya karena perintah orang lain,” tutur Pangeran Yogascitra hampir bergumam dan matanya menerawang kejauhan.
“Saya mengakuinya ayahanda. Kependetaan saya karena perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Beliau adalah raja di raja. Semua orang wajib mentaati perintahnya. Mentaati perintahnya Ratu adalah bagian dari pembelaan terhadap negara,” kata Nyi Mas Banyak Inten masih tetap menunduk.
“Bagus sekali bila engkau menyadari hal ini, anakku,” tutur Pangeran Yogascitra dengan wajah cerah sehingga membuat bingung gadis itu.
“Untuk kepentingan negara pula, maka pada suatu saat engkau akan diperintah Ratu untuk melepaskan kependetaannya lagi,” kata Pangeran Yogascitra kemudian.
Nyi Mas Banyak Inten amat terkejut dengan pernyataan ayahandanya ini, sehingga dengan serta-merta gadis itu mengangkat muka.
“Sang Prabu Nilakendra adalah seorang agamawan yang baik. Setiap waktunya dihabiskan di kuil. Saya tidak percaya bila beliau mau mempermainkan agama,” tutur gadis itu.
“Siapa yang akan mempermainkan agama? Tidak ada seorang pun yang menyuruhmu keluar dari agama karuhun (nenek moyang). Berhenti dari kependetaan bukanlah berarti keluar dari anutan agama. Engkau akan diminta untuk melepaskan keagamaan hanya karena kepentingan negara semata. Bukankah engkau pernah katakan bahwa agamawan juga punya kewajiban membela negara?” tutur Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten tidak menimpali perkataan ayahandanya. Yang dia kerjakan hanyalah bersedakap, merangkapkan kedua telapak tangannya. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Namun semua orang tahu, gadis itu memendam satu kedukaan. Sampai tiba saatnya rombongan kecil itu meninggalkan kompleks mandala, gadis itu tidak pernah berkata apa-apa kendati hanya satu dua patah kata.
“Adikku memang gadis malang…” gumam Banyak Angga di tengah jalan sesudah mereka berpisah dengan Pangeran Yogascitra.
Pragola mendapatkan, betapa murung wajah pemuda itu. Apakah karena ini memikirkan nasib adiknya ataukah lebih dari itu, Pragola tidak bisa menduga dengan tepat. Namun yang dia perlu bersyukur, pemuda bangsawan itu nampaknya sudah begitu percaya kepadanya. Secara politis ini amat menguntungkan sebab dalam hal-hal tertentu terasa membantu tugas-tugasnya dalam upaya menyelidiki situasi Pakuan.
Sepanjang jalan menuju puri, tak habis-habisnya Banyak Angga mempercakapkan kemalangan Nyi Mas Banyak Inten.
“Aku tahu, selama hampir sepuluh tahun ini adikku memendam duka yang sangat karena urusan cinta,” tutur pemuda itu.
Dan tanpa diminta Pragola, Banyak Angga memaparkan peristiwa tragis yang pernah dialami gadis itu sepuluh tahun silam.
Menurut penuturan pemuda itu, dulu Nyi Mas Banyak Inten dicintai dua lelaki. Yang satu adalah Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan Pajajaran, satunya lagi adalah pemuda bangsawan bernama Raden Suji Angkara. Dicintai oleh Raja sama dengan perintah yang harus ditaati. Namun secara pribadi, rupanya gadis ini memilih Suji Angkara. Namun belakangan, banyak orang mengetahi bahwa pemuda bangsawan itu bermoral bejat.
“Ayahanda sebetulnya merasa malu. Tapi apa boleh buat, yang Ayahanda pikirkan selalu saja urusan negara. Jadi, kendati dengan hati yang berat karena malu, Ayahanda terpaksa mengajukan permintaan kepadamu, anakku…” kata Pangeran Yogascitra pada akhirnya.
“Sampaikanlah segera, apa yang ingin Ayahanda sampaikan, agar segala permasalahan bisa kita selesaikan dengan baik,” pinta Nyi Mas Banyak Inten.
“Anakku, Ayahanda dengar khabar, bahwa pemuda Ginggi beberapa kali pernah berkunjung ke mari, namun tanpa orang lain tahu. Ini hanya menandakan, bahwa pemuda itu punya kepentingan khusus denganmu…” kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten nampak sedikit memerah pipinya. Dia terus menunduk.
“Engkau harus tahu anakku, bahwa pemuda itu sebenarnya amat diharapkan kehadirannya. Pakuan membutuhkan orang pandai di saat kedudukannya sedang terjepit. Jadi kalau engkau mau ikut membela negara, bujuklah dia agar sudi datang ke istana dan tidak sembunyi-sembunyi seperti sekarang ini,” kata pangeran tua itu.
“Saya belum mengerti, apa yang dimaksud Ayahanda…” tutur gadis itu setelah sekian lama mematung.
“Ya, undanglah dia agar mau tinggal di Pakuan,”
“Saya tidak bisa memaksakan kehendak kepada orang lain, Ayahanda. Apalagi Ginggi pernah berkata kepada saya, benci kepada urusan kenegaraan. Kalau tidak karena saya, dia tidak mau memasuki wilayah Pakuan…” kata gadis itu.
“Itulah kunci agar pemuda itu mau ke Pakuan, anakku,”
“Maksud Ayahnda?”
“Sebagai orang tua, Ayahanda mengerti apa yang ada di hati anak muda. Ginggi selalu berusaha dengan diam-diam memasuki mandala karena cintanya kepadamu. Ayahanda yakin, pemuda itu amat mengharapkanmu, jadi berilah dia kesempatan, anakku,” kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten mengatupkan kelopak matanya. Dia terpaksa merangkapkan sepasang tangannya dan bibirnya bergerak-gerak seperti mengucapkan sebuah doa.
“Semoga kita semua mendapatkan pengampunan Hyang atas segala kekeliruan yang kita lakukan…” bisiknya.
“Berupaya membela negara bukanlah sebuah kekeliruan, anakku,” tutur Pangeran Yogascitra dengan mimik khawatir.
“Tapi Ayahanda harus ingat, saya adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan kehidupan duniawi. Pendeta telah melepaskan segala keterkaitan dengan urusan dunia. Itulah sebabnya tadi saya katakan tidak bisa memaksakan kehendak,” tutur gadis itu masih menunduk dan sedikit mengatupkan matanya sehingga garis hitam lentik bulu mata semakin terlihat menebal.
Hening beberapa lama, sehingga suara kicauan burung di pagi cerah amat terdengar nyaring. Banyak Angga duduk bersila tegak sambil sepasang tangan bersilang di dada. Nampak sekali ada kerutan di dahi menyimak percakapan ayahnya dan adiknya ini. Sedangkan Pragola yang bersila di belakangnya duduk tenang kendati hatinya amat tertarik dengan situasi di ruangan paseban ini.
“Ayahanda sadar bahwa kedudukanmu sekarang adalah pendeta. Pendeta muda yang tak sempat banyak makan asam-garam kehidupan. Dan engkau pun adalah pendeta muda yang kependetaannya karena perintah orang lain,” tutur Pangeran Yogascitra hampir bergumam dan matanya menerawang kejauhan.
“Saya mengakuinya ayahanda. Kependetaan saya karena perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Beliau adalah raja di raja. Semua orang wajib mentaati perintahnya. Mentaati perintahnya Ratu adalah bagian dari pembelaan terhadap negara,” kata Nyi Mas Banyak Inten masih tetap menunduk.
“Bagus sekali bila engkau menyadari hal ini, anakku,” tutur Pangeran Yogascitra dengan wajah cerah sehingga membuat bingung gadis itu.
“Untuk kepentingan negara pula, maka pada suatu saat engkau akan diperintah Ratu untuk melepaskan kependetaannya lagi,” kata Pangeran Yogascitra kemudian.
Nyi Mas Banyak Inten amat terkejut dengan pernyataan ayahandanya ini, sehingga dengan serta-merta gadis itu mengangkat muka.
“Sang Prabu Nilakendra adalah seorang agamawan yang baik. Setiap waktunya dihabiskan di kuil. Saya tidak percaya bila beliau mau mempermainkan agama,” tutur gadis itu.
“Siapa yang akan mempermainkan agama? Tidak ada seorang pun yang menyuruhmu keluar dari agama karuhun (nenek moyang). Berhenti dari kependetaan bukanlah berarti keluar dari anutan agama. Engkau akan diminta untuk melepaskan keagamaan hanya karena kepentingan negara semata. Bukankah engkau pernah katakan bahwa agamawan juga punya kewajiban membela negara?” tutur Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten tidak menimpali perkataan ayahandanya. Yang dia kerjakan hanyalah bersedakap, merangkapkan kedua telapak tangannya. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Namun semua orang tahu, gadis itu memendam satu kedukaan. Sampai tiba saatnya rombongan kecil itu meninggalkan kompleks mandala, gadis itu tidak pernah berkata apa-apa kendati hanya satu dua patah kata.
“Adikku memang gadis malang…” gumam Banyak Angga di tengah jalan sesudah mereka berpisah dengan Pangeran Yogascitra.
Pragola mendapatkan, betapa murung wajah pemuda itu. Apakah karena ini memikirkan nasib adiknya ataukah lebih dari itu, Pragola tidak bisa menduga dengan tepat. Namun yang dia perlu bersyukur, pemuda bangsawan itu nampaknya sudah begitu percaya kepadanya. Secara politis ini amat menguntungkan sebab dalam hal-hal tertentu terasa membantu tugas-tugasnya dalam upaya menyelidiki situasi Pakuan.
Sepanjang jalan menuju puri, tak habis-habisnya Banyak Angga mempercakapkan kemalangan Nyi Mas Banyak Inten.
“Aku tahu, selama hampir sepuluh tahun ini adikku memendam duka yang sangat karena urusan cinta,” tutur pemuda itu.
Dan tanpa diminta Pragola, Banyak Angga memaparkan peristiwa tragis yang pernah dialami gadis itu sepuluh tahun silam.
Menurut penuturan pemuda itu, dulu Nyi Mas Banyak Inten dicintai dua lelaki. Yang satu adalah Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan Pajajaran, satunya lagi adalah pemuda bangsawan bernama Raden Suji Angkara. Dicintai oleh Raja sama dengan perintah yang harus ditaati. Namun secara pribadi, rupanya gadis ini memilih Suji Angkara. Namun belakangan, banyak orang mengetahi bahwa pemuda bangsawan itu bermoral bejat.
Hanya di muka umum saja pemuda itu menampilkan dirinya sebagai orang terhormat. Sedangkan di belakang itu, secara sembunyi-sembunyi Suji Angkara melakukan hal-hal tidak terpuji, yaitu menyatroni kamar-kamar gadis untuk menggerayangi keperawanan mereka. Setiap gadis yang menolak, mengalami nasib buruk karena dibunuhnya.
Adalah pemuda Ginggi yang pertama kali membongkar rahasia keburukan perilaku Suji Angkara. Malah ketika Nyi Mas Banyak Inten dilarikan pemuda itu, Ginggilah yang menggagalkannya. Dan secara tidak langsung, Ginggi pulalah yang membunuh pemuda bejat itu. (baca episode “Senja jatuh di Pajajaran”).
“Adikku seperti menderita kehancuran. Dia dicintai Raja tapi juga mencintai seorang pemuda yang belakangan diketahui berperangai buruk…” gumam Banyak Angga sedih.
“Itulah sebabnya Nyi Mas memilih memasuki kehidupan mandala,” kata Pragola tiba-tiba.
“Adikku gadis penurut. Apa yang diperintahkan orangtua selalu ditaatinya. Begitu pun perintah yang diberikan Ratu. Sang Ratu Sakti memerintahkan adikku supaya tinggal di mandala dan adikku menurut saja. Padahal aku berpikir, ketika itu belum saatnya adikku memasuki kehidupan dimana orang meninggalkan kehidupan duniawi. Waktu itu adikku baru berumur lima belas atau enam belas tahun”, tutur Banyak Angga.
“Jadi karena dulu memasuki kehidupan mandala oleh sebuah perintah, maka sekarang pun orang boleh memerintahkan dia untuk keluar lagi dari sana,” gumam Pragola.
Banyak Angga menoleh dan menatap sejenak. Kemudian berpaling lagi ke arah lain dan terdengar mengeluh.
“Kami malu harus melakukan hal seperti itu. Rasanya benar pendapat adikku, demi kepemtingan akal-akalan (politik) agama dipermainkan. Dulu Ratu memerintahkan adikku memasuki mandala demi harkat dan kehormatan Ratu. Sekarang ayahanda akan menggunakan wewenang Ratu untuk mengeluarkan adikku dari mandala. Semua hanya akal-akalan untuk kepentingan negara…” gumam Banyak Angga lagi.
Pragola hanya mengangguk-angguk tanpa dia sendiri pun mengerti apa makna dari anggukannya ini. Sampai keduanya berpisah, tak ada lagi percakapan di antara mereka. Banyak Angga mengatakan hanya mengatakan bahwa suatu saat Pragola harus siap ikut melakukan perjalanan ke wilayah timur. Banyak Angga pulang ke purinya, sedangkan Pragola kembali ke kesatriaan (asrama prajurit).
***
Malam itu Pragola tidak kemana-mana sebab ada surat rahasia yang dikirimkan Pangeran Yudakara bahwa tengah malam Pangeran itu akan mengunjungi dirinya. Namun manakala malam semakin larut, yang ditunggu tidak pernah ada. Pragola menjadi gelisah. Adakah sesuatu yang menjadi penghalangnya?
Pangeran Yudakara ini memang tengah bermain api, pikir Pragola sambil tiduran di sebuah dipan kayu. Betapa tidak, dia adalah kerabat Kandagalante Sunda Sembawa yang tewas dalam upaya pemberontakan di Pakuan sepuluh tahun silam. Hanya karena tidak terbukti melakukan persekongkolan dengan Sunda Sembawa saja yang menyebabkan Pangeran Yudakara lolos dari kecurigaan dari pihak Pakuan.
Menurut pengetahuan Pragola yang bisa didapatkan melalui Paman Manggala, pada peristiwa sepuluh tahun silam Pangeran Yudakara memang tidak terlibat, bahkan sama sekali tidak tahu menahu perihal rencana pemberontakan yang dilakukan Sunda Sembawa.
Dulu, untuk memperkuat wilayah timur dari rongrongan Demak dan Cirebon, pihak Pakuan setuju untuk membangun kekuatan militer di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa, yaitu Sagaraherang. Sagaraherang terlalu dekat ke Sumedanglarang yang sudah dipengaruhi kekuasaan Cirebon. Dengan dana yang amat besar yang disisihkan dari seba (pajak) tinggi dari rakyat, kekuatan militer dibangun di Sagaraherang.
Namun, apa yang yang diharap pihak Pakuan, lain yang dikerjakan Sunda Sembawa. Sunda Sembawa memanfaatkan pembangunan kekuatan militer di sana bahkan untuk keperluan dirinya sendiri dalam melawan Pakuan. Sunda Sembawa ingin memanfaatkan situasi. Dia tahu, rakyat banyak yang membenci Sang Prabu Ratu Sakti karena tindakan-tindakannya yang kejam terhadap rakyat. Sunda Sembawa, Ratu Sakti tidak pantas menjadi penguasa Pakuan sebab yang lebih pantas adalah dirinya. Baik Ratu Sakti mau pun Sunda Sembawa masih sama-sama keturunan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543). Menurutnya, adalah keliru bila Pakuan dipegang oleh Ratu Sakti (1543-1551).
Pangeran Yudakara selamat dari persekongkolan hanya karena Sunda Sembawa tidak percaya kepadanya. Menurut Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara yang beristrikan wanita Sumedanglarang dianggap punya hubungan dengan Sumedanglarang dan dianggap pula ada hubungan dengan Cirebon. Sedangkan Sunda Sembawa, kendati bertekad ingin meruntuhkan Sang Prabu Ratu Sakti, bukan berarti ingin bergabung dengan Cirebon. Bahkan Sunda Sembawa punya cita-cita, seandainya dirinya bisa menduduki istana, maka tujuan utamanya adalah mengembalikan wilayah-wilayah Pajajaran yang sudah direbut Banten dan Cirebon.
Pemberontakan yang dilakukan Sunda Sembawa gagal total sebab ternyata Pakuan lebih kuat. Masih banyak orang-orang pandai yang secara tak resmi bukan perwira atau pun petugas istana, namun mau berjuang menjaga keselamatan Pakuan. Salah satu di antaranya adalah Ginggi yang kini banyak disanjung dalam cerita pantun di seantero Pakuan dan wilayah Pajajaran pada umumnya.
Pangeran Yudakara beruntung tidak dicurigai pihak Pakuan karena selain tidak percaya Sunda Sembawa, juga hubungan dengan Sumedanglarang seperti “lepas” hanya karena istrinya meninggal dunia.
Pihak Pakuan mendapatkan berita, bahwa Pangeran Yudakara tidak pernah lagi berhubungan dengan Sumedanglarang sesudah istrinya tiada. Belakangan, dia dipercaya Pakuan untuk menjadi penguasa Sagaraherang saja. Sebagai penguat kedudukan, wilayah Sagaraherang yang dulu hanya dikuasai pejabat setingkat kandagalante (barangkali setingkat kewedanaan kini), oleh Pakuan akan ditingkatkan kedudukannya sampai ke tingkat kabupatian, sebuah tingkatan wilayah yang hampir sama dengan Sumedanglarang atau Kabupatian Banten yang kini dikuasai Cirebon dan Demak.
Usaha perluasan status wilayah ini mungkin sedikit berlebihan, mengingat Sagaraherang belumlah seramai Sumedanglarang, apalagi bila harus disamakan dengan Banten yang sedikit demi sedikit telah merebak menjadi pusat perdagangan internasional yang dikelola pemerintahan agama baru.
Namun rupanya tindakan-tindakan Pakuan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Sagaraherang adalah wilayah rawan. Kedudukannya terlalu dekat dengan pengaruh-pengaruh Cirebon. Untuk menjaga kekuasaan Cirebon terus merebak ke wilayah barat, maka Sagaraherang perlu diperkuat. Pertimbangan yang kedua, Sagaraherang letaknya sedikit agak di utara. Sedangkan wilayah utara adalah wilayah perdagangan. Dulu milik Pajajaran, sekarang milik Cirebon. Jalur yang kini sudah dikuasai orang lain ini hingga kini masih bermanfaat untuk orang-orang Pajajaran.
Politik adalah politik tapi dagang tetap dagang. Orang-orang Cirebon yang menguasai perdagangan di wilayah pesisir utara, tetap saja butuh konsumen sebanyak-banyaknya, siapa pun adanya. Mungkin saja pihak pihak penguasa Cirebon secara politis melarang orang-orangnya melayani konsumen dari Pajajaran. Tapi pada kenyataannya, kaum pedagang di pesisir utara tetap berhubungan dengan penduduk pedalaman. Barangkali Pakuan akan memanfaatkan situasi seperti ini agar kelak di kemudian hari, yaitu bila saatnya Pajajaran kuat kembali, jalur perdagangan ini bisa dikuasai lagi.
Pertimbangan ketiga mengapa Sagaraherang akan dipersiapkan kedudukannya setingkat kabupatian, adalah semata untuk “membujuk” Pangeran Yudakara agar benar-benar menjadi “orang Pajajaran”. Penguasa Pakuan berprinsip, melumpuhkan harimau bukan melawannya dengan kekerasan, melainkan dengan memberinya kasih-sayang. Ini sesuai dengan prinsip yang dianut Sang Prabu Nilakendra yang tidak menyukai kekerasan, Raja ini tetap berprinsip bahwa kekerasan hanya akan mendatangkan kekerasan, sebaliknya kehalusan budi akan pula mendatangkan kehalusan budi.
Pangeran Yudakara adalah kerabat Sunda Sembawa, juga pernah dekat dengan pihak Sumedanglarang. Tapi di lain pihak, Pakuan juga mendapatkan bahwa pangeran berusia setengah baya ini punya pengaruh besar di Sagaraherang. Amatlah berbahaya orang berpengaruh seperti dia menjadi musuh Pakuan. Walaupun hubungannya dengan Sunda Sembawa tidak terlalu dekat, namun terbunuhnya kandagalante ini di Pakuan sedikit banyaknya akan mempengaruhi perasaan Pangeran Yudakara.
Bila pangeran setengah baya ini tidak dibujuk dengan kekuasaan tinggi bisa-bisa melakukan pembalasan. Itulah sebabnya, seusai pemberontakan Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara segera diangkat Pakuan sebagai penggantinya. Tidak itu saja, kekuasaan pangeran ini bahkan ditingkatkan, tidak lagi sebatas sebagai kandagalante yang hanya membawahi beberapa orang cutak (camat) saja, melainkan akan diangkat menjadi kepala wilayah sejenis kabupatian seperti versi Cirebon dalam menyusun pemerintahan.
Pangeran Yudakara akan diangkat semacam penguasa kabupatian timbul dari gagasannya sendiri yang dilontarkan kepada penguasa Pakuan. Bahwa sebenarnya tidak pantas Sagaraherang yang dimiliki Pakuan hanya berupa kandagalante sebab daerah rawan ini menghadapai banyak tantangan di kiri kanannya. Menurut Pangeran Yudakara, Kerajaan Sumedanglarang membawahi beberapa nagari (semacam kota), yaitu Sumedang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura dan Parakanmuncang.
Sagaraherang hanyalah sebuah wilayah kandagalante di sebuah nagari bernama Ciasem saja. Nagari Ciasem sebenarnya sudah masuk pengaruh Cirebon. Jadi betapa bahayanya bila kedudukan Sagaraherang yang masih dikuasai Pajajaran bila kekuatannya tidak ditingkatkan, padahal nagarinya saja sudah masuk pengaruh Cirebon, begitu pun ibu nagarinya, Sumedanglarang.
Kemana Pangeran Yudakara ini akan melakukan perluasan daerah, Pragola sendiri tidak begitu mengerti. Sebab kalau benar Sagaraherang harus ditingkatkan kedudukannya, harus ada perluasan daerah dan ini berarti mencari penyakit dengan Cirebon.
Pragola memang tidak mengerti akan jalan pikiran pangeran yang kini menjadi majikannya itu. Bila disimak rencana-rencana kerja Pangeran Yudakara yang disampaikan kepada pihak Pakuan, seolah-olah pangeran ini berpikir untuk kepentingan Pajajaran. Padahal Pragola sendiri tahu, Pangeran Yudakara hari-hari belakangan ini berada di Pakuan adalah karena bekerja untuk kepentingan Cirebon. Apa pula maksud sebenarnya dari rencana-rencana Pangeran Yudakara ini?
Inilah yang Pragola anggap pangeran itu bermain api. Dia tengah mempermainkan kepercayaan orang-orang Pakuan yang diberikan kepadanya. Dan kemudian kebijaksanaannya dalam mengusulkan perluasan Sagaraherang juga diperkirakan akan menjadi teka-teki pihak Cirebon bila hal ini tidak dirundingkan benar-benar di antara mereka. Pragola semakin risau sesudah malam hampir menjelang dinihari yang di tunggu tidak juga muncul.
Pragola sudah kenal peringai majikannya, yaitu tak pernah ada janji janji yang dilanggar. Jadi mestinya Pangeran Yudakara malam ini datang berkunjung padanya, kecuali ada gangguan. Gangguan apakah itu? Kalau begitu, Pragola harus cepat tanggap terhadap keadaan. Bila didesak oleh keadaan darurat, Pragola boleh berbuat inisiatif.
Sekarang pun dia anggap ada dalam suasana darurat. Jadi kendati pun Pangeran Yudakara melarang dia mengunjungi puri di mana pangeran itu tinggal, Pragola akan mengunjunginya. Pemuda itu harus memeriksa keselamatan majikannya. Itulah sebabnya, sesudah berpikir sejenak, Pragola segera mengganti pakaiannya. Kini dia memakai pakaian serba hitam. Dia memakai baju kurung tangan panjang dan celana pangsi. Ikat kepalanya terbuat dari kain lebar berwarna hitam pula.
Pragola keluar melalui lubang jendela secara diam-diam. Ada beberapa penjaga yang duduk terkantuk-kantuk di gardu. Tapi hal ini tidak membuat kesukaran bagi dirinya. Jangankan penjaga yang tengah mengantuk, sedangkan mereka yang berjaga-jaga penuh saja bisa dilewati dengan mudah oleh ilmu yang dia miliki. Pragola menyelinap di antara kuta (benteng) dan semak, atau bahkan juga bergayut dan meloncat di atas dahan sawo dan nangka. Sesekali dia harus meloncat-loncat di atas wuwungan dan atap sirap.
Setibanya di kompleks puri di mana Pangeran Yudakara tinggal, Ginggi harus semakin hati-hati bergerak. Bukan karena penjagaan di sana amat ketat, namun dia lakukan hanya sebagai persiapan saja dari berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan.
Puri itu sunyi-senyap, seolah tak ada penghuni di sana. Namun ilmu hiliwir sumping yang dia miliki mendapatkan kenyataan lain. Hiliwir sumping adalah ilmu yang biasa dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti Pajajaran. Ini adalah semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus, kecil atau pun jauh. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki, semakin banyak gunanya, bahkan bisa menyerap dan mendengarkan satu suara dari berbagai ragam suara yang dalam suatu waktu terdengar bersamaan.
Pragola belum sepandai itu dalam menyaring suara yang diinginkan. Tapi di sela-sela suara binatang malam, dia pun ada mendengar suara percakapan manusia. Datangnya dari tempat yang agak terpencil. Mungkin dari ruangan belakang, mungkin juga dari kompleks taman. Dan karena tahu suara itu datangnya dari arah depan, maka dengan amat hati-hati, Pragola mendekati tempat itu.
Benar saja, suara tersebut datangnya dari taman puri yang terletak jauh di belakang dan sedikit tersembunyi karena rimbunnya pepohonan serta tingginya benteng puri. Dengan mata hati-hati Pragola meloncat ke atas wuwungan sebuah bangunan dan melihat ke tengah taman di mana di sana terdapat sebuah bale-kambang. Bale-kambang adalah sebuah bale peristirahatan yang berada di tengah kolam.
Dari jarak sekitar empat puluh depa (1 depa = 1,698 meter), Pragola sanggup menyaksikan, bahwa di atas bale-bale itu ada dua orang duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang amat jelas, dialah Pangeran Yudakara. Namun seorang lagi Pragola tak tahu siapa dia.
Kendati sedang duduk bersila, namun laki-laki itu tentu bertubuh jangkung, sedikit tinggi besar. Laki-laki itu berpakaian serba hitam, ikat kepalanya bahkan hampir-hampir menutupi sepasang telinga dan sebagian pipinya. Kalau dia adalah seorang tamu, maka laki-laki itu datang seperti tak ingin diketahui oleh orang lain.
Ada kumis tebal menghiasi bibirnya. Hidung laki-laki itu mancung tapi sedikit melengkung di punggung hidungnya. Pragola tak bisa menaksir, berapa usia laki-laki asing itu. Namun melihat betapa hati-hatinya Pangeran Yudakara berhadapan dengan laki-laki itu, hanya menandakan bahwa orang lelaki itu bukan orang sembarangan. Mungkin dia seorang tokoh penting. Tokoh penting dari Cirebonkah? Oh pasti bukan bila mendengar percakan mereka.
“Cirebon tidak boleh punya inisiatif melakukan penyerbuan kepada Pakuan,” desis laki-laki itu dengan nada datar tapi terasa pasti dan bernada perintah.
“Mengapa tidak boleh?” tanya Pangeran Yudakara.
“Karena hanya Bantenlah yang akan melakukan penyerbuan.”
“Ya, mengapa hanya Banten yang boleh menyerang Pakuan?”
“Karena Bantenlah yang terkuat. Jadi hanya Bantenlah yang akan sanggup meruntuhkan kekuasaan Pajajaran,” sahut laki-laki itu.
“Banten pun masih di bawah Demak. Tentu sebelumnya kalian harus berunding dulu dengan mereka,” kata Pangeran Yudakara.
Terdengar laki-laki itu tertawa mengejek. “Demak sudah berantakan, tidak ada apa-apanya lagi. Sebentar lagi Banten akan memisahkan diri dari Demak dan berdiri sebagai negara merdeka,” katanya lagi.
”Sombong!” dengus Pangeran Yudakara.
“Kesombongan yang dilakukan oleh orang kuat adalah wajar, tapi kesombongan yang dilakukan oleh orang lemah adalah musibah. Kalian orang Cirebon harus hati-hati, sejak dulu kekuatan Cirebon hanya mengandalkan Demak semata. Cirebon sanggup merebut tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran, termasuk merebut Banten, hanya karena bantuan Demak semata. Sekarang karena terlalu seringnya cekcok dalam perebutan kekuasaan, Demak sudah lemah, sehingga otomatis Cirebon pun tak punya daya. Kalian hanya bisa besar bila mau kerjasama dengan Banten. Itulah sebabnya hanya akan berupa musibah bila Cirebon bersombong diri hendak mencoba menundukkan Pajajaran,” tutur lelaki itu masih dengan nada angkuh.
Dari atas wuwungan Pragola melihat tubuh Pangeran Yudakara menegang tegak tak bergerak. Sepasang telapak tangannya terkepal erat di atas pahanya. Pragola menduga, tegangnya otot-otot Pangeran Yudakara karena akan melakukan suatu gerakan. Benar saja, belum rampung Pragola berpikir, terlihat Pangeran Yudakara melakukan gerakan cepat. Sepasang tangannya yang tadi berada di atas pahanya ditarik ke belakang untuk dengan cepat didorong lagi ke depan dengan jari-jari terbuka lebar.
Pragola mengerti, ini adalah serangan pukulan dengan menggunakan tenaga dalam. Pemuda ini belum pernah melihat Pangeran Yudakara bermain jurit. Paman Manggala yang mengabarkan bahwa pangeran ini memiliki kepandaian tinggi. Seberapa jauh kepandaiannya, Pragola sendiri tidak bisa mengira-ngira. Hanya saja ketika sepasang tangan itu didorong ke depan, sepertinya ada angin deras bertiup. Ini terlihat dari ujung iket (ikat kepala) lelaki yang diserangnya nampak bergoyang dan berkibar dengan cepatnya.
Melihat kenyataan ini, Pragola menduga, tenaga pukulan Pangeran Yudakara pasti besar dan mantap. Pukulan itu dilayangkan secepat kilat dan mengarah dada lawan. Pragola terkejut, ini serangan mematikan, apalagi hanya dilakukan dalam jarak yang kurang dari satu depa saja. Laki-laki asing yang duduk bersila di depannya pasti bakal celaka sebab tak akan punya kesempatan untuk berkelit.
“Pangeran Yudakara ternyata bisa bertindak kejam. Dalam satu gerakan saja ingin sekaligus membunuh lawan…” pikirnya dalam hati.
Namun Pragola kecele kalau dia menduga lelaki asing itu akan hancur dadanya karena serangan dahsyat itu. Jangankan terluka, kena saja tidak. Memang ajaib kalau serangan mendadak itu bisa digagalkan. Lelaki asing itu tidak beranjak dari duduknya. Namun dengan cepat dan enteng dia melempar tubuh ke belakang, seperti orang yang hendak tidur telentang tapi dengan gerakan amat cepat. Lelaki itu telentang sejajar dengan pelupuh (lantai kayu) sehingga luput dari serbuan pukulan mengarah dada.
Tahu serangannya gagal, Pangeran Yudakara mencoba menarik kembali sepasang tangannya yang terlanjur menyodok ke depan. Namun sebelum sempat melakukan hal itu, lelaki asing itu segera melakukan sesuatu gerakan. Sambil tubuh masih telentang dia melakukan gerakan sepasang kaki, menggunting dan mencapit kedua belah tangan Pangeran Yudakara.
Kembali Pragola terkejut. Ini adalah serangan balasan yang tak kalah kejamnya. Kalau sepasang kaki lelaki asing itu “menggunting” dengan pengerahan tenaga penuh, sepasang tangan Pangeran Yudakara akan patah terpotong-potong.
Rupanya pangeran itu pun menyadari akan bahaya ini. Maka sebelum lelaki asing itu mencoba mengeluarkan tenaganya, Pangeran Yudakara segera menggerakkan kakinya. Yang tadinya sudah bersila, diubahnya menjadi sodokan ke daerah berbahaya dari bagian tubuh lawan. Si lelaki asing masih tak kehilangan akal. Sebelum serangan itu menohok telak, dia segera menarik keras sepasang kakinya yang masih menjepit tangan Pangeran Yudakara. Rupanya tarikan keras itu sengaja hendak melemparkan tubuh Pangeran Yudakara. Dan usahanya ini berhasil sebab Pangeran Yudakara tak menduga sama sekali. Tubuh pangeran itu terlontar keluar bale-bale melewati atas tubuh lelaki asing tersebut.
Pangeran Yudakara tidak kuasa menahan tubuhnya yang terlontar, padahal ke mana dia jatuh adalah permukaan kolam yang airnya tentu dingin menusuk tulang. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara cipratan air karena tertimpa tubuh pangeran itu. Suara riakan air disusul oleh dengus dan tawa mengejek lelaki asing itu yang nampak sudah berdiri bertolak pinggang di atas bale-kambang.
Adalah pemuda Ginggi yang pertama kali membongkar rahasia keburukan perilaku Suji Angkara. Malah ketika Nyi Mas Banyak Inten dilarikan pemuda itu, Ginggilah yang menggagalkannya. Dan secara tidak langsung, Ginggi pulalah yang membunuh pemuda bejat itu. (baca episode “Senja jatuh di Pajajaran”).
“Adikku seperti menderita kehancuran. Dia dicintai Raja tapi juga mencintai seorang pemuda yang belakangan diketahui berperangai buruk…” gumam Banyak Angga sedih.
“Itulah sebabnya Nyi Mas memilih memasuki kehidupan mandala,” kata Pragola tiba-tiba.
“Adikku gadis penurut. Apa yang diperintahkan orangtua selalu ditaatinya. Begitu pun perintah yang diberikan Ratu. Sang Ratu Sakti memerintahkan adikku supaya tinggal di mandala dan adikku menurut saja. Padahal aku berpikir, ketika itu belum saatnya adikku memasuki kehidupan dimana orang meninggalkan kehidupan duniawi. Waktu itu adikku baru berumur lima belas atau enam belas tahun”, tutur Banyak Angga.
“Jadi karena dulu memasuki kehidupan mandala oleh sebuah perintah, maka sekarang pun orang boleh memerintahkan dia untuk keluar lagi dari sana,” gumam Pragola.
Banyak Angga menoleh dan menatap sejenak. Kemudian berpaling lagi ke arah lain dan terdengar mengeluh.
“Kami malu harus melakukan hal seperti itu. Rasanya benar pendapat adikku, demi kepemtingan akal-akalan (politik) agama dipermainkan. Dulu Ratu memerintahkan adikku memasuki mandala demi harkat dan kehormatan Ratu. Sekarang ayahanda akan menggunakan wewenang Ratu untuk mengeluarkan adikku dari mandala. Semua hanya akal-akalan untuk kepentingan negara…” gumam Banyak Angga lagi.
Pragola hanya mengangguk-angguk tanpa dia sendiri pun mengerti apa makna dari anggukannya ini. Sampai keduanya berpisah, tak ada lagi percakapan di antara mereka. Banyak Angga mengatakan hanya mengatakan bahwa suatu saat Pragola harus siap ikut melakukan perjalanan ke wilayah timur. Banyak Angga pulang ke purinya, sedangkan Pragola kembali ke kesatriaan (asrama prajurit).
***
Malam itu Pragola tidak kemana-mana sebab ada surat rahasia yang dikirimkan Pangeran Yudakara bahwa tengah malam Pangeran itu akan mengunjungi dirinya. Namun manakala malam semakin larut, yang ditunggu tidak pernah ada. Pragola menjadi gelisah. Adakah sesuatu yang menjadi penghalangnya?
Pangeran Yudakara ini memang tengah bermain api, pikir Pragola sambil tiduran di sebuah dipan kayu. Betapa tidak, dia adalah kerabat Kandagalante Sunda Sembawa yang tewas dalam upaya pemberontakan di Pakuan sepuluh tahun silam. Hanya karena tidak terbukti melakukan persekongkolan dengan Sunda Sembawa saja yang menyebabkan Pangeran Yudakara lolos dari kecurigaan dari pihak Pakuan.
Menurut pengetahuan Pragola yang bisa didapatkan melalui Paman Manggala, pada peristiwa sepuluh tahun silam Pangeran Yudakara memang tidak terlibat, bahkan sama sekali tidak tahu menahu perihal rencana pemberontakan yang dilakukan Sunda Sembawa.
Dulu, untuk memperkuat wilayah timur dari rongrongan Demak dan Cirebon, pihak Pakuan setuju untuk membangun kekuatan militer di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa, yaitu Sagaraherang. Sagaraherang terlalu dekat ke Sumedanglarang yang sudah dipengaruhi kekuasaan Cirebon. Dengan dana yang amat besar yang disisihkan dari seba (pajak) tinggi dari rakyat, kekuatan militer dibangun di Sagaraherang.
Namun, apa yang yang diharap pihak Pakuan, lain yang dikerjakan Sunda Sembawa. Sunda Sembawa memanfaatkan pembangunan kekuatan militer di sana bahkan untuk keperluan dirinya sendiri dalam melawan Pakuan. Sunda Sembawa ingin memanfaatkan situasi. Dia tahu, rakyat banyak yang membenci Sang Prabu Ratu Sakti karena tindakan-tindakannya yang kejam terhadap rakyat. Sunda Sembawa, Ratu Sakti tidak pantas menjadi penguasa Pakuan sebab yang lebih pantas adalah dirinya. Baik Ratu Sakti mau pun Sunda Sembawa masih sama-sama keturunan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543). Menurutnya, adalah keliru bila Pakuan dipegang oleh Ratu Sakti (1543-1551).
Pangeran Yudakara selamat dari persekongkolan hanya karena Sunda Sembawa tidak percaya kepadanya. Menurut Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara yang beristrikan wanita Sumedanglarang dianggap punya hubungan dengan Sumedanglarang dan dianggap pula ada hubungan dengan Cirebon. Sedangkan Sunda Sembawa, kendati bertekad ingin meruntuhkan Sang Prabu Ratu Sakti, bukan berarti ingin bergabung dengan Cirebon. Bahkan Sunda Sembawa punya cita-cita, seandainya dirinya bisa menduduki istana, maka tujuan utamanya adalah mengembalikan wilayah-wilayah Pajajaran yang sudah direbut Banten dan Cirebon.
Pemberontakan yang dilakukan Sunda Sembawa gagal total sebab ternyata Pakuan lebih kuat. Masih banyak orang-orang pandai yang secara tak resmi bukan perwira atau pun petugas istana, namun mau berjuang menjaga keselamatan Pakuan. Salah satu di antaranya adalah Ginggi yang kini banyak disanjung dalam cerita pantun di seantero Pakuan dan wilayah Pajajaran pada umumnya.
Pangeran Yudakara beruntung tidak dicurigai pihak Pakuan karena selain tidak percaya Sunda Sembawa, juga hubungan dengan Sumedanglarang seperti “lepas” hanya karena istrinya meninggal dunia.
Pihak Pakuan mendapatkan berita, bahwa Pangeran Yudakara tidak pernah lagi berhubungan dengan Sumedanglarang sesudah istrinya tiada. Belakangan, dia dipercaya Pakuan untuk menjadi penguasa Sagaraherang saja. Sebagai penguat kedudukan, wilayah Sagaraherang yang dulu hanya dikuasai pejabat setingkat kandagalante (barangkali setingkat kewedanaan kini), oleh Pakuan akan ditingkatkan kedudukannya sampai ke tingkat kabupatian, sebuah tingkatan wilayah yang hampir sama dengan Sumedanglarang atau Kabupatian Banten yang kini dikuasai Cirebon dan Demak.
Usaha perluasan status wilayah ini mungkin sedikit berlebihan, mengingat Sagaraherang belumlah seramai Sumedanglarang, apalagi bila harus disamakan dengan Banten yang sedikit demi sedikit telah merebak menjadi pusat perdagangan internasional yang dikelola pemerintahan agama baru.
Namun rupanya tindakan-tindakan Pakuan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, Sagaraherang adalah wilayah rawan. Kedudukannya terlalu dekat dengan pengaruh-pengaruh Cirebon. Untuk menjaga kekuasaan Cirebon terus merebak ke wilayah barat, maka Sagaraherang perlu diperkuat. Pertimbangan yang kedua, Sagaraherang letaknya sedikit agak di utara. Sedangkan wilayah utara adalah wilayah perdagangan. Dulu milik Pajajaran, sekarang milik Cirebon. Jalur yang kini sudah dikuasai orang lain ini hingga kini masih bermanfaat untuk orang-orang Pajajaran.
Politik adalah politik tapi dagang tetap dagang. Orang-orang Cirebon yang menguasai perdagangan di wilayah pesisir utara, tetap saja butuh konsumen sebanyak-banyaknya, siapa pun adanya. Mungkin saja pihak pihak penguasa Cirebon secara politis melarang orang-orangnya melayani konsumen dari Pajajaran. Tapi pada kenyataannya, kaum pedagang di pesisir utara tetap berhubungan dengan penduduk pedalaman. Barangkali Pakuan akan memanfaatkan situasi seperti ini agar kelak di kemudian hari, yaitu bila saatnya Pajajaran kuat kembali, jalur perdagangan ini bisa dikuasai lagi.
Pertimbangan ketiga mengapa Sagaraherang akan dipersiapkan kedudukannya setingkat kabupatian, adalah semata untuk “membujuk” Pangeran Yudakara agar benar-benar menjadi “orang Pajajaran”. Penguasa Pakuan berprinsip, melumpuhkan harimau bukan melawannya dengan kekerasan, melainkan dengan memberinya kasih-sayang. Ini sesuai dengan prinsip yang dianut Sang Prabu Nilakendra yang tidak menyukai kekerasan, Raja ini tetap berprinsip bahwa kekerasan hanya akan mendatangkan kekerasan, sebaliknya kehalusan budi akan pula mendatangkan kehalusan budi.
Pangeran Yudakara adalah kerabat Sunda Sembawa, juga pernah dekat dengan pihak Sumedanglarang. Tapi di lain pihak, Pakuan juga mendapatkan bahwa pangeran berusia setengah baya ini punya pengaruh besar di Sagaraherang. Amatlah berbahaya orang berpengaruh seperti dia menjadi musuh Pakuan. Walaupun hubungannya dengan Sunda Sembawa tidak terlalu dekat, namun terbunuhnya kandagalante ini di Pakuan sedikit banyaknya akan mempengaruhi perasaan Pangeran Yudakara.
Bila pangeran setengah baya ini tidak dibujuk dengan kekuasaan tinggi bisa-bisa melakukan pembalasan. Itulah sebabnya, seusai pemberontakan Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara segera diangkat Pakuan sebagai penggantinya. Tidak itu saja, kekuasaan pangeran ini bahkan ditingkatkan, tidak lagi sebatas sebagai kandagalante yang hanya membawahi beberapa orang cutak (camat) saja, melainkan akan diangkat menjadi kepala wilayah sejenis kabupatian seperti versi Cirebon dalam menyusun pemerintahan.
Pangeran Yudakara akan diangkat semacam penguasa kabupatian timbul dari gagasannya sendiri yang dilontarkan kepada penguasa Pakuan. Bahwa sebenarnya tidak pantas Sagaraherang yang dimiliki Pakuan hanya berupa kandagalante sebab daerah rawan ini menghadapai banyak tantangan di kiri kanannya. Menurut Pangeran Yudakara, Kerajaan Sumedanglarang membawahi beberapa nagari (semacam kota), yaitu Sumedang, Ciasem, Pamanukan, Indramayu, Sukapura dan Parakanmuncang.
Sagaraherang hanyalah sebuah wilayah kandagalante di sebuah nagari bernama Ciasem saja. Nagari Ciasem sebenarnya sudah masuk pengaruh Cirebon. Jadi betapa bahayanya bila kedudukan Sagaraherang yang masih dikuasai Pajajaran bila kekuatannya tidak ditingkatkan, padahal nagarinya saja sudah masuk pengaruh Cirebon, begitu pun ibu nagarinya, Sumedanglarang.
Kemana Pangeran Yudakara ini akan melakukan perluasan daerah, Pragola sendiri tidak begitu mengerti. Sebab kalau benar Sagaraherang harus ditingkatkan kedudukannya, harus ada perluasan daerah dan ini berarti mencari penyakit dengan Cirebon.
Pragola memang tidak mengerti akan jalan pikiran pangeran yang kini menjadi majikannya itu. Bila disimak rencana-rencana kerja Pangeran Yudakara yang disampaikan kepada pihak Pakuan, seolah-olah pangeran ini berpikir untuk kepentingan Pajajaran. Padahal Pragola sendiri tahu, Pangeran Yudakara hari-hari belakangan ini berada di Pakuan adalah karena bekerja untuk kepentingan Cirebon. Apa pula maksud sebenarnya dari rencana-rencana Pangeran Yudakara ini?
Inilah yang Pragola anggap pangeran itu bermain api. Dia tengah mempermainkan kepercayaan orang-orang Pakuan yang diberikan kepadanya. Dan kemudian kebijaksanaannya dalam mengusulkan perluasan Sagaraherang juga diperkirakan akan menjadi teka-teki pihak Cirebon bila hal ini tidak dirundingkan benar-benar di antara mereka. Pragola semakin risau sesudah malam hampir menjelang dinihari yang di tunggu tidak juga muncul.
Pragola sudah kenal peringai majikannya, yaitu tak pernah ada janji janji yang dilanggar. Jadi mestinya Pangeran Yudakara malam ini datang berkunjung padanya, kecuali ada gangguan. Gangguan apakah itu? Kalau begitu, Pragola harus cepat tanggap terhadap keadaan. Bila didesak oleh keadaan darurat, Pragola boleh berbuat inisiatif.
Sekarang pun dia anggap ada dalam suasana darurat. Jadi kendati pun Pangeran Yudakara melarang dia mengunjungi puri di mana pangeran itu tinggal, Pragola akan mengunjunginya. Pemuda itu harus memeriksa keselamatan majikannya. Itulah sebabnya, sesudah berpikir sejenak, Pragola segera mengganti pakaiannya. Kini dia memakai pakaian serba hitam. Dia memakai baju kurung tangan panjang dan celana pangsi. Ikat kepalanya terbuat dari kain lebar berwarna hitam pula.
Pragola keluar melalui lubang jendela secara diam-diam. Ada beberapa penjaga yang duduk terkantuk-kantuk di gardu. Tapi hal ini tidak membuat kesukaran bagi dirinya. Jangankan penjaga yang tengah mengantuk, sedangkan mereka yang berjaga-jaga penuh saja bisa dilewati dengan mudah oleh ilmu yang dia miliki. Pragola menyelinap di antara kuta (benteng) dan semak, atau bahkan juga bergayut dan meloncat di atas dahan sawo dan nangka. Sesekali dia harus meloncat-loncat di atas wuwungan dan atap sirap.
Setibanya di kompleks puri di mana Pangeran Yudakara tinggal, Ginggi harus semakin hati-hati bergerak. Bukan karena penjagaan di sana amat ketat, namun dia lakukan hanya sebagai persiapan saja dari berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan.
Puri itu sunyi-senyap, seolah tak ada penghuni di sana. Namun ilmu hiliwir sumping yang dia miliki mendapatkan kenyataan lain. Hiliwir sumping adalah ilmu yang biasa dimiliki oleh tokoh-tokoh sakti Pajajaran. Ini adalah semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus, kecil atau pun jauh. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki, semakin banyak gunanya, bahkan bisa menyerap dan mendengarkan satu suara dari berbagai ragam suara yang dalam suatu waktu terdengar bersamaan.
Pragola belum sepandai itu dalam menyaring suara yang diinginkan. Tapi di sela-sela suara binatang malam, dia pun ada mendengar suara percakapan manusia. Datangnya dari tempat yang agak terpencil. Mungkin dari ruangan belakang, mungkin juga dari kompleks taman. Dan karena tahu suara itu datangnya dari arah depan, maka dengan amat hati-hati, Pragola mendekati tempat itu.
Benar saja, suara tersebut datangnya dari taman puri yang terletak jauh di belakang dan sedikit tersembunyi karena rimbunnya pepohonan serta tingginya benteng puri. Dengan mata hati-hati Pragola meloncat ke atas wuwungan sebuah bangunan dan melihat ke tengah taman di mana di sana terdapat sebuah bale-kambang. Bale-kambang adalah sebuah bale peristirahatan yang berada di tengah kolam.
Dari jarak sekitar empat puluh depa (1 depa = 1,698 meter), Pragola sanggup menyaksikan, bahwa di atas bale-bale itu ada dua orang duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang amat jelas, dialah Pangeran Yudakara. Namun seorang lagi Pragola tak tahu siapa dia.
Kendati sedang duduk bersila, namun laki-laki itu tentu bertubuh jangkung, sedikit tinggi besar. Laki-laki itu berpakaian serba hitam, ikat kepalanya bahkan hampir-hampir menutupi sepasang telinga dan sebagian pipinya. Kalau dia adalah seorang tamu, maka laki-laki itu datang seperti tak ingin diketahui oleh orang lain.
Ada kumis tebal menghiasi bibirnya. Hidung laki-laki itu mancung tapi sedikit melengkung di punggung hidungnya. Pragola tak bisa menaksir, berapa usia laki-laki asing itu. Namun melihat betapa hati-hatinya Pangeran Yudakara berhadapan dengan laki-laki itu, hanya menandakan bahwa orang lelaki itu bukan orang sembarangan. Mungkin dia seorang tokoh penting. Tokoh penting dari Cirebonkah? Oh pasti bukan bila mendengar percakan mereka.
“Cirebon tidak boleh punya inisiatif melakukan penyerbuan kepada Pakuan,” desis laki-laki itu dengan nada datar tapi terasa pasti dan bernada perintah.
“Mengapa tidak boleh?” tanya Pangeran Yudakara.
“Karena hanya Bantenlah yang akan melakukan penyerbuan.”
“Ya, mengapa hanya Banten yang boleh menyerang Pakuan?”
“Karena Bantenlah yang terkuat. Jadi hanya Bantenlah yang akan sanggup meruntuhkan kekuasaan Pajajaran,” sahut laki-laki itu.
“Banten pun masih di bawah Demak. Tentu sebelumnya kalian harus berunding dulu dengan mereka,” kata Pangeran Yudakara.
Terdengar laki-laki itu tertawa mengejek. “Demak sudah berantakan, tidak ada apa-apanya lagi. Sebentar lagi Banten akan memisahkan diri dari Demak dan berdiri sebagai negara merdeka,” katanya lagi.
”Sombong!” dengus Pangeran Yudakara.
“Kesombongan yang dilakukan oleh orang kuat adalah wajar, tapi kesombongan yang dilakukan oleh orang lemah adalah musibah. Kalian orang Cirebon harus hati-hati, sejak dulu kekuatan Cirebon hanya mengandalkan Demak semata. Cirebon sanggup merebut tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran, termasuk merebut Banten, hanya karena bantuan Demak semata. Sekarang karena terlalu seringnya cekcok dalam perebutan kekuasaan, Demak sudah lemah, sehingga otomatis Cirebon pun tak punya daya. Kalian hanya bisa besar bila mau kerjasama dengan Banten. Itulah sebabnya hanya akan berupa musibah bila Cirebon bersombong diri hendak mencoba menundukkan Pajajaran,” tutur lelaki itu masih dengan nada angkuh.
Dari atas wuwungan Pragola melihat tubuh Pangeran Yudakara menegang tegak tak bergerak. Sepasang telapak tangannya terkepal erat di atas pahanya. Pragola menduga, tegangnya otot-otot Pangeran Yudakara karena akan melakukan suatu gerakan. Benar saja, belum rampung Pragola berpikir, terlihat Pangeran Yudakara melakukan gerakan cepat. Sepasang tangannya yang tadi berada di atas pahanya ditarik ke belakang untuk dengan cepat didorong lagi ke depan dengan jari-jari terbuka lebar.
Pragola mengerti, ini adalah serangan pukulan dengan menggunakan tenaga dalam. Pemuda ini belum pernah melihat Pangeran Yudakara bermain jurit. Paman Manggala yang mengabarkan bahwa pangeran ini memiliki kepandaian tinggi. Seberapa jauh kepandaiannya, Pragola sendiri tidak bisa mengira-ngira. Hanya saja ketika sepasang tangan itu didorong ke depan, sepertinya ada angin deras bertiup. Ini terlihat dari ujung iket (ikat kepala) lelaki yang diserangnya nampak bergoyang dan berkibar dengan cepatnya.
Melihat kenyataan ini, Pragola menduga, tenaga pukulan Pangeran Yudakara pasti besar dan mantap. Pukulan itu dilayangkan secepat kilat dan mengarah dada lawan. Pragola terkejut, ini serangan mematikan, apalagi hanya dilakukan dalam jarak yang kurang dari satu depa saja. Laki-laki asing yang duduk bersila di depannya pasti bakal celaka sebab tak akan punya kesempatan untuk berkelit.
“Pangeran Yudakara ternyata bisa bertindak kejam. Dalam satu gerakan saja ingin sekaligus membunuh lawan…” pikirnya dalam hati.
Namun Pragola kecele kalau dia menduga lelaki asing itu akan hancur dadanya karena serangan dahsyat itu. Jangankan terluka, kena saja tidak. Memang ajaib kalau serangan mendadak itu bisa digagalkan. Lelaki asing itu tidak beranjak dari duduknya. Namun dengan cepat dan enteng dia melempar tubuh ke belakang, seperti orang yang hendak tidur telentang tapi dengan gerakan amat cepat. Lelaki itu telentang sejajar dengan pelupuh (lantai kayu) sehingga luput dari serbuan pukulan mengarah dada.
Tahu serangannya gagal, Pangeran Yudakara mencoba menarik kembali sepasang tangannya yang terlanjur menyodok ke depan. Namun sebelum sempat melakukan hal itu, lelaki asing itu segera melakukan sesuatu gerakan. Sambil tubuh masih telentang dia melakukan gerakan sepasang kaki, menggunting dan mencapit kedua belah tangan Pangeran Yudakara.
Kembali Pragola terkejut. Ini adalah serangan balasan yang tak kalah kejamnya. Kalau sepasang kaki lelaki asing itu “menggunting” dengan pengerahan tenaga penuh, sepasang tangan Pangeran Yudakara akan patah terpotong-potong.
Rupanya pangeran itu pun menyadari akan bahaya ini. Maka sebelum lelaki asing itu mencoba mengeluarkan tenaganya, Pangeran Yudakara segera menggerakkan kakinya. Yang tadinya sudah bersila, diubahnya menjadi sodokan ke daerah berbahaya dari bagian tubuh lawan. Si lelaki asing masih tak kehilangan akal. Sebelum serangan itu menohok telak, dia segera menarik keras sepasang kakinya yang masih menjepit tangan Pangeran Yudakara. Rupanya tarikan keras itu sengaja hendak melemparkan tubuh Pangeran Yudakara. Dan usahanya ini berhasil sebab Pangeran Yudakara tak menduga sama sekali. Tubuh pangeran itu terlontar keluar bale-bale melewati atas tubuh lelaki asing tersebut.
Pangeran Yudakara tidak kuasa menahan tubuhnya yang terlontar, padahal ke mana dia jatuh adalah permukaan kolam yang airnya tentu dingin menusuk tulang. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara cipratan air karena tertimpa tubuh pangeran itu. Suara riakan air disusul oleh dengus dan tawa mengejek lelaki asing itu yang nampak sudah berdiri bertolak pinggang di atas bale-kambang.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment