Lelaki itu segera meloncat dari tempat itu. Namun sebelumnya masih mengeluarkan peringatan agar orang-orang Cirebon jangan sembrono melakukan tindakan bodoh.
“Kau katakan kepada Susuhunan Cirebon, bahwa mereka sudah tak punya kekuatan lagi,” kata lelaki itu, meloncat ke atas benteng dan pergi dari tempat itu.
Tinggallah Pangeran Yudakara berdiri di atas kolam sebatas pusar. Tubuhnya nampak menggigil. Mungkin karena kedinginan, tapi bisa juga marah karena merasa terhina.
Pragola tak mau menolong atau mendekati tempat itu. Dia tak ingin majikannya tahu akan kehadirannya. Oleh sebab itulah sebelum kahadirannya diketahui, Pragola segera mengundurkan diri dari tempat itu secara diam-diam. Pemuda itu harus segera kembali ke kesatrian (asrama prajurit) takut kalau-kalau Pangeran Yudakara datang mengunjunginya seperti pangeran itu janjikan kepadanya.
Sudah hampir subuh tapi ternyata Pangeran Yudakara belum juga muncul. Pragola berpikir, pangeran itu gagal mengunjunginya karena peristiwa semalam. Mungkin dia lebih memilih tinggal di puri untuk memendam kemarahannya, atau kekecewaannya oleh kejadian malam tadi. Kecewa? Ya, betapa tidak. Dengan amat mudahnya Pangeran Yudakara dilumpuhkan lelaki asing itu. Padahal menurut pengetahuannya, Pangeran Yudakara adalah perwira pandai. Pangeran itu kini lebih memikirkan rasa kecewanya ketimbang ingat akan janjinya untuk mengunjungi kamar Pragola.
Pragola sejenak terhenyak karena mengubah jalan pikirannya. Mungkin Pangeran Yudakara bukan kecewa karena kekalahannya, melainkan oleh ucapan-ucapan lelaki asing itu yang terdengar sombong dan pongah. Orang itu berkata penuh ejekan bahwa Cirebon adalah negara lemah dan jangan sembrono mengusik Pajajaran. Yang berhak dan mampu menyerbu Pakuan hanyalah Banten. Tentu saja ini merupakan tamparan pedas kepada Pangeran Yudakara yang tengah menjalankan tugas penyelidikan dari Cirebon dalam upaya melumpuhkan Pakuan.
Pragola agak mengeryitkan dahi ketika mengingat kembali ucapan lelaki asing itu. Orang itu angkuh dan sengaja merendahkan Cirebon. Padahal seingatnya, antara Cirebon dan Banten tak pernah ada percekcokan. Keduanya sama-sama merupakan pusat kekuatan kehidupan agama baru tapi juga keduanya sama-sama merupakan bekas wilayah kekuasaan Pajajaran.
Cirebon lebih dahulu melepaskan diri (1511), sedangkan Banten baru belakangan dibebaskan Demak dan Cirebon dari kekuatan penguasa agama lama pada tahun 1525. Namun Pragola juga mendengar khabar dari sana-sini bahwa semakin hari Banten semakin mencuat ke permukaan. Ada kecenderungan dia lebih kuat ketimbang negara yang pertama kalinya membebaskannya, yaitu Demak. Banten menjadi pusat perdagangan negara agama baru sehingga sanggup melakukan pembangunan besar-besaran, sementara Demak malah terjerumus ke dalam kancah perpecahan dan perebutan kekuasaan di antara sesamanya.
Harus diakui, kini hanya Bantenlah negara yang terkuat di antara mereka. Namun kendati demikian, Pragola berpikir tak seharusnya orang Banten mencemoohkan Cirebon, sebab hal ini hanya akan mengundang perpecahan sesama negara agama baru.
Siapakah lelaki asing yang datang malam-malam ke hadapan Pangeran Yudakara itu? Benarkah dia utusan Banten dan sengaja meremehkan Cirebon? Benarkah Banten melarang Cirebon melakukan penyerbuan ke Pakuan karena menyangsikan kekuatan Cirebon? Pragola tidak sanggup menduga-duga. Yang pasti, bila ucapan orang Banten itu dilaporkan oleh Pangeran Yudakara ke Cirebon, tentu akan mengundang perpecahan.
Sampai cuaca menjadi terang tanah, Pangeran Yudakara tidak pernah muncul mengunjungi dirinya. Pragola pun akhirnya terlena dan tidur pulas sampai siang hari.
Baru pada esok malamnya Pangeran Yudakara mengunjungi kesatrian. Pangeran itu minta laporan Pragola, sejauh mana dia melakukan penyelidikan di sekitar puri Yogascitra. Serta-merta Pragola melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya. Dia mengatakan bahwa nampaknya Pangeran Yogascitra semakin bersemangat untuk mengumpulkan orang-orang pandai dalam upaya memperkuat Pakuan. Dikatakannya, betapa Pangeran Yogascitra berupaya keras hendak mencari Ksatria Ginggi.
“Ada khabar dari putrinya yang tinggal di mandala, bahwa beberapa kali lelaki bernama Ginggi itu pernah mengunjunginya, sehingga menimbulkan penafsiran kepada Pangeran Yogascitra bahwa lelaki itu mencintai putrinya,” kata Pragola.
“Lanjutkan…”
“Karena perkiaraan ini, Pangeran Yogascitra akhirnya menyuruh putrinya untuk menerima cinta pemuda itu, dengan harapan bisa membujuk orang itu untuk mau tinggal di Pakuan,” lanjut Pragola.
Pangeran Yudakara hanya mengangguk dan mendengus. Hening sejenak. Pangeran yang jadi majikan Pragola ini nampak merenung dan mengerutkan dahi seolah-olah lagi berpikir keras.
“Kita butuh berhadapan dengan pemuda itu, tapi tidak di Pakuan ini…” gumamnya.
Giliran Pragola yang mengerutkan dahi tanda tak mengerti akan tujuan Pageran Yudakara.
“Orang itu berbahaya. Ingat peristiwa penyerbuan Sagaraherang pada sepuluh tahun silam (1551). Kegagalan gerakan itu salah satu di antaranya karena hadangan pemuda bernama Ginggi. Jadi kita perlu menghadapinya sebelum masuk Pakuan,” kata Pangeran Yudakara.
“Bagaimana caranya, padahal kita tidak tahu di mana dia berada. Kita pun belum jumpa dengan orang itu sehingga kita belum tahu wajahnya,” kata Pragola.
“Besar kemungkinan kita bisa berjumpa, asalkan engkau selalu ikut ke mana orang-orang puri Yogascitra pergi,” tutur pangeran itu.
Pragola mengetuk jidatnya sendiri karena kebodohannya. Mengapa tidak bisa mencari lelaki bernama Ginggi, bukankah Pangeran Yogascitra akan berupaya mencarinya? Dia bisa membonceng kepada usaha mereka.
“Saya mengerti rencanamu, Pangeran…” kata Pragola menyembah.
“Tugas kita adalah satu, mencoba mengganggu tujuan orang Pakuan dalam upaya memupuk kembali kekuatan mereka. Jangan biarkan orang-orang pandai berkumpul di Pakuan. Usaha kita adalah menghadang orang yang akan memperkuat Pakuan. Itulah sebabnya, tujuan awal kita, yaitu membawa dan membujuk sepasukan perwira Pakuan ke wilayah timur dengan dalih untuk menolong rekan-rekan mereka yang terjebak di Puncak Cakrabuana harus berlangsung dengan lancar,” kata Pangeran Yudakara.
“Sesudah kekuatan Pakuan lemah, apa yang akan dilakukan selanjutnya, Pangeran?” tanya Pragola.
“Banyak rencana besar bila Pakuan bisa kita kuasai…” gumam Pangeran Yudakara. Matanya berbinar-binar dan sorotnya jauh ke depan.
Selanjutnya Pangeran Yudakara memberikan petunjuk agar Pragola semakin dekat dengan orang-orang puri Yogascitra. Bahwa kemungkinan besar Pragola akan melakukan perjalanan panjang ke wilayah timur bersama mereka, kendati sebelumnya tidak masuk dalam rencana, kini harus dilaksanakan dengan baik. Baik bukan untuk kepentingan Pakuan, melainkan untuk tugas-tugas dari misi yang diembankan.
“Engkau harus ikut mereka dan selesaikanlah tugasmu dengan baik,” kata Pangeran Yudakara.
Pragola mengerti akan ucapan ini. Maksudnya tentu hanya satu, yaitu menghadang orang-orang yang diperlukan Pakuan untuk memasuki dan memperkuat dayo (ibukota) tersebut. Tentu ada berbagai cara untuk mencegah mereka. Salah satu diantaranya dan merupakan pilihan terakhir adalah membunuh mereka.
“Hati-hati, orang-orang yang diundang Pakuan adalah orang-orang digjaya. Tugas yang akan engkau kerjakan ini tentu berat,” tutur Pangeran Yudakara.
Sesudah memberikan beberapa petunjuk, seperti biasa Pangeran Yudakara pergi dari tempat itu secara diam-diam. dia keluar lewat jendela dan meloncat ke atas wuwungan.
“Kau katakan kepada Susuhunan Cirebon, bahwa mereka sudah tak punya kekuatan lagi,” kata lelaki itu, meloncat ke atas benteng dan pergi dari tempat itu.
Tinggallah Pangeran Yudakara berdiri di atas kolam sebatas pusar. Tubuhnya nampak menggigil. Mungkin karena kedinginan, tapi bisa juga marah karena merasa terhina.
Pragola tak mau menolong atau mendekati tempat itu. Dia tak ingin majikannya tahu akan kehadirannya. Oleh sebab itulah sebelum kahadirannya diketahui, Pragola segera mengundurkan diri dari tempat itu secara diam-diam. Pemuda itu harus segera kembali ke kesatrian (asrama prajurit) takut kalau-kalau Pangeran Yudakara datang mengunjunginya seperti pangeran itu janjikan kepadanya.
Sudah hampir subuh tapi ternyata Pangeran Yudakara belum juga muncul. Pragola berpikir, pangeran itu gagal mengunjunginya karena peristiwa semalam. Mungkin dia lebih memilih tinggal di puri untuk memendam kemarahannya, atau kekecewaannya oleh kejadian malam tadi. Kecewa? Ya, betapa tidak. Dengan amat mudahnya Pangeran Yudakara dilumpuhkan lelaki asing itu. Padahal menurut pengetahuannya, Pangeran Yudakara adalah perwira pandai. Pangeran itu kini lebih memikirkan rasa kecewanya ketimbang ingat akan janjinya untuk mengunjungi kamar Pragola.
Pragola sejenak terhenyak karena mengubah jalan pikirannya. Mungkin Pangeran Yudakara bukan kecewa karena kekalahannya, melainkan oleh ucapan-ucapan lelaki asing itu yang terdengar sombong dan pongah. Orang itu berkata penuh ejekan bahwa Cirebon adalah negara lemah dan jangan sembrono mengusik Pajajaran. Yang berhak dan mampu menyerbu Pakuan hanyalah Banten. Tentu saja ini merupakan tamparan pedas kepada Pangeran Yudakara yang tengah menjalankan tugas penyelidikan dari Cirebon dalam upaya melumpuhkan Pakuan.
Pragola agak mengeryitkan dahi ketika mengingat kembali ucapan lelaki asing itu. Orang itu angkuh dan sengaja merendahkan Cirebon. Padahal seingatnya, antara Cirebon dan Banten tak pernah ada percekcokan. Keduanya sama-sama merupakan pusat kekuatan kehidupan agama baru tapi juga keduanya sama-sama merupakan bekas wilayah kekuasaan Pajajaran.
Cirebon lebih dahulu melepaskan diri (1511), sedangkan Banten baru belakangan dibebaskan Demak dan Cirebon dari kekuatan penguasa agama lama pada tahun 1525. Namun Pragola juga mendengar khabar dari sana-sini bahwa semakin hari Banten semakin mencuat ke permukaan. Ada kecenderungan dia lebih kuat ketimbang negara yang pertama kalinya membebaskannya, yaitu Demak. Banten menjadi pusat perdagangan negara agama baru sehingga sanggup melakukan pembangunan besar-besaran, sementara Demak malah terjerumus ke dalam kancah perpecahan dan perebutan kekuasaan di antara sesamanya.
Harus diakui, kini hanya Bantenlah negara yang terkuat di antara mereka. Namun kendati demikian, Pragola berpikir tak seharusnya orang Banten mencemoohkan Cirebon, sebab hal ini hanya akan mengundang perpecahan sesama negara agama baru.
Siapakah lelaki asing yang datang malam-malam ke hadapan Pangeran Yudakara itu? Benarkah dia utusan Banten dan sengaja meremehkan Cirebon? Benarkah Banten melarang Cirebon melakukan penyerbuan ke Pakuan karena menyangsikan kekuatan Cirebon? Pragola tidak sanggup menduga-duga. Yang pasti, bila ucapan orang Banten itu dilaporkan oleh Pangeran Yudakara ke Cirebon, tentu akan mengundang perpecahan.
Sampai cuaca menjadi terang tanah, Pangeran Yudakara tidak pernah muncul mengunjungi dirinya. Pragola pun akhirnya terlena dan tidur pulas sampai siang hari.
Baru pada esok malamnya Pangeran Yudakara mengunjungi kesatrian. Pangeran itu minta laporan Pragola, sejauh mana dia melakukan penyelidikan di sekitar puri Yogascitra. Serta-merta Pragola melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya. Dia mengatakan bahwa nampaknya Pangeran Yogascitra semakin bersemangat untuk mengumpulkan orang-orang pandai dalam upaya memperkuat Pakuan. Dikatakannya, betapa Pangeran Yogascitra berupaya keras hendak mencari Ksatria Ginggi.
“Ada khabar dari putrinya yang tinggal di mandala, bahwa beberapa kali lelaki bernama Ginggi itu pernah mengunjunginya, sehingga menimbulkan penafsiran kepada Pangeran Yogascitra bahwa lelaki itu mencintai putrinya,” kata Pragola.
“Lanjutkan…”
“Karena perkiaraan ini, Pangeran Yogascitra akhirnya menyuruh putrinya untuk menerima cinta pemuda itu, dengan harapan bisa membujuk orang itu untuk mau tinggal di Pakuan,” lanjut Pragola.
Pangeran Yudakara hanya mengangguk dan mendengus. Hening sejenak. Pangeran yang jadi majikan Pragola ini nampak merenung dan mengerutkan dahi seolah-olah lagi berpikir keras.
“Kita butuh berhadapan dengan pemuda itu, tapi tidak di Pakuan ini…” gumamnya.
Giliran Pragola yang mengerutkan dahi tanda tak mengerti akan tujuan Pageran Yudakara.
“Orang itu berbahaya. Ingat peristiwa penyerbuan Sagaraherang pada sepuluh tahun silam (1551). Kegagalan gerakan itu salah satu di antaranya karena hadangan pemuda bernama Ginggi. Jadi kita perlu menghadapinya sebelum masuk Pakuan,” kata Pangeran Yudakara.
“Bagaimana caranya, padahal kita tidak tahu di mana dia berada. Kita pun belum jumpa dengan orang itu sehingga kita belum tahu wajahnya,” kata Pragola.
“Besar kemungkinan kita bisa berjumpa, asalkan engkau selalu ikut ke mana orang-orang puri Yogascitra pergi,” tutur pangeran itu.
Pragola mengetuk jidatnya sendiri karena kebodohannya. Mengapa tidak bisa mencari lelaki bernama Ginggi, bukankah Pangeran Yogascitra akan berupaya mencarinya? Dia bisa membonceng kepada usaha mereka.
“Saya mengerti rencanamu, Pangeran…” kata Pragola menyembah.
“Tugas kita adalah satu, mencoba mengganggu tujuan orang Pakuan dalam upaya memupuk kembali kekuatan mereka. Jangan biarkan orang-orang pandai berkumpul di Pakuan. Usaha kita adalah menghadang orang yang akan memperkuat Pakuan. Itulah sebabnya, tujuan awal kita, yaitu membawa dan membujuk sepasukan perwira Pakuan ke wilayah timur dengan dalih untuk menolong rekan-rekan mereka yang terjebak di Puncak Cakrabuana harus berlangsung dengan lancar,” kata Pangeran Yudakara.
“Sesudah kekuatan Pakuan lemah, apa yang akan dilakukan selanjutnya, Pangeran?” tanya Pragola.
“Banyak rencana besar bila Pakuan bisa kita kuasai…” gumam Pangeran Yudakara. Matanya berbinar-binar dan sorotnya jauh ke depan.
Selanjutnya Pangeran Yudakara memberikan petunjuk agar Pragola semakin dekat dengan orang-orang puri Yogascitra. Bahwa kemungkinan besar Pragola akan melakukan perjalanan panjang ke wilayah timur bersama mereka, kendati sebelumnya tidak masuk dalam rencana, kini harus dilaksanakan dengan baik. Baik bukan untuk kepentingan Pakuan, melainkan untuk tugas-tugas dari misi yang diembankan.
“Engkau harus ikut mereka dan selesaikanlah tugasmu dengan baik,” kata Pangeran Yudakara.
Pragola mengerti akan ucapan ini. Maksudnya tentu hanya satu, yaitu menghadang orang-orang yang diperlukan Pakuan untuk memasuki dan memperkuat dayo (ibukota) tersebut. Tentu ada berbagai cara untuk mencegah mereka. Salah satu diantaranya dan merupakan pilihan terakhir adalah membunuh mereka.
“Hati-hati, orang-orang yang diundang Pakuan adalah orang-orang digjaya. Tugas yang akan engkau kerjakan ini tentu berat,” tutur Pangeran Yudakara.
Sesudah memberikan beberapa petunjuk, seperti biasa Pangeran Yudakara pergi dari tempat itu secara diam-diam. dia keluar lewat jendela dan meloncat ke atas wuwungan.
Namun ternyata rencana untuk melakukan perjalanan ke wilayah timur seperti apa yang direncanakan Raden Banyak Angga tidak bisa dilaksanakan secara cepat. Pragola mendapatkan kabar bahwa untuk melancarkan usaha itu menghadapi banyak hambatan. Pangeran Yogascitra sebagai penasehat Raja, ternyata malah mendapat teguran dari Sang Prabu Nilakendra. Entah siapa yang melaporkan, yang jelas Sang Prabu akhirnya mengetahuinya bahwa telah berlangsung sebuah perundingan rahasia tanpa mengikut sertakan dirinya. Namun pada prinsipnya, raja ini setuju bahwa pajajaran harus kuat.
“Tapi kekuatan negara hanya menitik beratkan pada kekuatan militer hanya melahirkan pertumpahan darah belaka. Yang merasa kuat dalam militer, cenderung selalu melakukan peperangan. Karena punya kekuatan militer, kadang-kadang kita selalu ikut campur kepada urusan orang lain. Atau mungkin selalu punya ambisi untuk menundukan orang lain. Jangan samakan saya dengan ayahanda Ratu Sakti atau pun dengan kakek buyut Sang Surawisesa. Saya tidak berambisi untuk menaklukan orang lain, apalagi berupaya merebut mengaruh dan kekuasaannya,” tutur Sang Prabu Nilakendra.
“Namun Paduka, negara memperkuat militer bukan berarti kita harus punya ambisi dalam melakukan peperangan. Militer pun bisa berguna dalam mempersatukan persatuan bangsa. Bangsa yang merasa aman dan terlindungi akan memiliki ketentraman hidup. Pihak negara lain pun akan merasa segan untuk mengganggu. Barangkali juga mereka akan merasa takut karena kekuatan kita. Itulah sebabnya, saya selalu mengajukan usul-usul seperti itu,” tutur Pangeran Yogascitra.
“Pembangunan kekuatan militer secara besar-besaran tentu memerlukan dana besar. Tegakah kita mengganggu kesejahteraan rakyat dengan memungut pajak-pajak tinggi hanya untuk menbangun kehidupan militer? Rakyat sudah cukup berat. Sesudah tujuh pelabuhan penting milik kita dikuasai musuh, mata pencaharian rakyat hanya tertumpu kepada pertanian semata.
Kalau pun ada kehidupan perdagangan, hanya terbatas di antara mereka saja, tak seperti masa puluhan tahun silam, dimana Pajajaran bisa melakukan perdagangan antar negara. Ini menyebabkan keuangan negara terbatas, begitu pun penghasila rakyat. Jadi, betapa kejamnya kita, bila memaksakan kehendak memperkuat militer yang butuh dana tinggi sambil menyengsarakan rakyat,” tutur Raja.
Pertemuan antar Raja dan penasihat ini, di mata Pragola hanya menimbulkan kesan bahwa di antara pejabat Pakuan sebenarnya sudah tak ada persatuan lagi. Perundingan rahasia di puri Yogascitra yang belakangan diketahui Raja, hanya membuktikan bahwa sudah tak ada kesatuan pendapat lagi di antara mereka. Barangkali masih banyak pejabat yang masa pendiriannya dengan Pangeran Yogascitra. Tapi yang tak setuju dengan gagasan pangeran itu pun ternyata ada.
Dan kesimpulan dari semua ini, hanya menerangkan bahwa Pajajaran sudah kian melemah juga. Inilah saatnya pajajaran dihancurkan. Inilah saatnya Dayo Pakuan diserang. Tapi siapakah yang harus menyerang, Cirebon ataukah Banten?
Berpikir sampai di sini, Pragola sendiri bingung. Apa yang diketahuinya malam itu, dimana ada pertikaian kecil antara Pangeran Yudakara dan lelaki asing dari wilayah Banten tersebut, hanya menandakan telah terjadi semacam persaingan di antara mereka dalam menentukan siapa yang paling mampu menundukan Pajajaran dan Pragola merasa khawatir, sebab malam itu nampaknya Pangeran Yudakara amat terpukul.
Bukan saja terpukul karena malam itu dia dikalahkan lelaki asing tersebut, tapi juga terpukul karena kenyataan ini. Banten memang lebih kuat dari Cirebon. Lantas bila benar begitu kenyataannya, mau apa Pangeran Yudakara? Mengapa pula ada semacam persaingan di antara mereka padahal setahunya, antara Banten dan Cirebon tak pernah ada pertikaian. Kalau memang begitu, pertikaian siapakah ini? Ingatan Pragola kembali mengulang perjalanannya dari mulai awal hingga dia tiba di pusat Kerajaan Pajajaran ini.
Perjalanannya terlalu jauh. Padahal kalau dia pikir, sebetulnya urusannya sederhana saja, yaitu ingin berupaya membalas dendam akan kematian ayah-bunda dan gurunya. Kedua orang tuanya mati karena sakit-sakitan setelah kehilangan anak pertama karena peperangan.
Sebelum dia dilahirkan ke dunia, orang tuanya punya anak tunggal, laki-laki usia tiga atau empat tahun. Datanglah bencana peperangan. Kacutakan Waringin diserbu prajurit Pajajaran karena menolak membayar seba (pajak Tahunan). Cutak (setingkat camat) Wirajaya yaitu ayahanda Pragola, merasa punya alasan untuk menolak permintaan seba dari Pakuan sebab Karatuan Talaga, di mana kacutakan itu berada, sudah lama masuk wilayah Cirebon.
Akan halnya para petugas muhara (penarik pajak) dari Pakuan masih juga mencoba menarik pajak, karena Kacutakan Waringin letaknya ada di perbatasan dan lebih dekat kepada wilayah Pajajaran ketimbang ke pusat kekuasaan Cirebon atau pun ke Talaga. Di saat-saat keuangan Pakuan makin menipis, Sang Mangabatan Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu mencoba menarik pajak kepada wilayah-wilayah yang masih bisa diambil pajaknya.
Banyaknya wilayah Pakuan berpaling ke Cirebon dan meninggalkan kewajiban membayar pajak. Ini merupakan kerugian bagi Pakuan. Itulah sebabnya, wilayah-wilayah yang berani mati bergabung dengan Cirebon, tapi yang sebenarnya kedudukan mereka lebih dekat ke wilayah Pakuan ketimbang ke Cirebon, oleh pihak Pakuan ditekan. Bagi yang membangkang tak ada pilihan lain kecuali digempur oleh prajurit Pakuan.
Itulah yang terjadi kepada Kacutakan Waringin. Waringin yang sebagian besar penduduknya sudah berganti memeluk agama baru yang disebarkan oleh Cirebon, diserbu Prajurit Pakuan. Banyak terjadi korban jiwa dalam pertempuran yang tak seimbang ini. dalam kancah pertempuran ini, Cutak Wirajaya dan istrinya berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi putra tunggalnya yang masih bocah hilang entah kemana.
Banyak penduduk mengabarkan, anak itu ada di tengah kancah pertempuran. Dia tengah bermain di saat prajurit Pajajaran datang menyerbu. Dan ketika anak itu hendak pulang ke rumah, di tengah jalan terjebak pertempuran. Semua orang menduga anak itu kemungkinan ikut tewas. Namun ketika diadakan pemeriksaan di bekas reruntuk pertempuran, tidak diketemukan mayat bocah laki-laki.
Tapi mati atau pun tidak anak itu, yang jelas, kedua orang tuanya tidak berhasil mendapakannya kembali. Bocah itu hilang tak terbekas dan telah membuat kesedihan yang sangat. Semenjak saat itulah Cutak Wirajaya selalu sakit-sakitan, begitu pun istrinya. Ketika istrinya mengandung anak kedua juga dalam keadaan sakit-sakitan, begitu pun di saat melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak bernama Pragola. Sedangkan Cutak Wirajaya meninggal satu tahun kemudian.
“Ayahandamu meninggal karena jiwanya tertekan. Sebagai cutak dia tak sanggup menyelamatkan rakyatnya. Belum pulih rasa penderitaannya karena serangan orang Pakuan, sudah ditimpa kemalangan lagi karena kematian istri yang tercintanya,” tutur Ki Guru Sudireja lagi.
Puluhan tahun sejak peristiwa itu, bocah yang hilang bernama Ginggi tak pernah dipermasalahkan lagi, kecuali dendam yang berlarut-larut. Pragola misalnya, secara tidak disadarinya telah memendam dendam berat kepada orang-orang Pajajaran. Kebenciannya terhadap orang Pajajaran karena membuat penderitaan kepada keluarganya belumlah terobati. Belakangan dendam bertambah besar ketika gurunya sendiri menjadi korban pertempuran melawan prajurit Pakuan. Semakin membara api yang ada di dada pemuda itu. Dan api tak mungkin padam sebelum dendam terbalaskan.
Untunglah Paman Manggala telah mendekatkan Pragola kepada Pangeran Yudakara. Pemuda itu seperti aliran air yang mendapatkan salurannya. Paman Manggala mengabarkan bahwa untuk menuju sukses dalam melakukan perlawanan kepada orang-orang Pajajaran haruslah bergabung dengan Pangeran Yudakara, sebab pangeran calon penguasa Kabupatian Sagaraherang ini akan bekerja untuk kepentingan Cirebon dalam upaya untuk meruntuhkan kerajaan agama lama bernama Pajajaran itu.
Tapi begitulah yang terjadi. Mengikuti rencana Pangeran Yudakara rasanya bertele-tele. Dia tak boleh bertindak semaunya kecuali atas perintah dan sepengetahuan Pangeran Yudakara. Lebih bertele-tele dari itu, Pangeran Yudakara ternyata punya rencana besar yang tidak pernah terpikirkan kepentingannya, terutama untuk Pragola. Pemuda ini memang benci orang-orang Pajajaran tapi tak pernah terpikir untuk menghancurkan atau merebut negri itu.
Rasanya pekerjaan tersebut terlalu besar dan akan makan waktu lama. Yang ingin dia kerjakan hanyalah mencari biang keladi kerusuhan, terutama yang menyangkut kampung halamannya. Pragola pernah melakukan penyelidikan, peristiwa penyerbuan orang-orang Pajajaran pada puluhan tahun silam ke Waringin berlangsung amat tidak terpimpin. Menurut berita yang sampai, penyerbuan itu tidak dilengkapi perintah langsung dari Pakuan, melainkan hanya kehendak dari penguasa yang diserahi tugas menarik pajak. Itulah sebabnya untuk bisa mengumpulkan pajak, mereka main tekan dan main serbu kepada yang membangkang.
Bertolak dari keterangan ini, Pragola hanya akan mencari mereka yang terlibat saja, kalau hal ini memang memungkinkan. Pragola juga tadinya hanya akan mencoba mencari siapa-siapa saja perwira Pakuan yang melakukan pengeroyokan sehingga menewaskan Sudireja, gurunya. Barangkali ksatria bernama Ginggi akan dimasukkan sebagai musuh yang harus dilawan, mengingat orang ini ada kaitannya walau secara tidak langsung.
Sepuluh tahun silam Ki Sudireja ikut bergabung menyerang Pakuan. Namun usaha ini gagal karena Pakuan banyak dikawal orang pandai. Salah satu di antaranya adalah Ksatria Ginggi. Ki Sudireja melarikan diri namun terus dikejar hingga akhirnya terjebak ke tengah kepungan para perwira Pakuan. Dalam pertempuran tidak seimbang. Ki Sudireja tewas. Pragola mengelompokkan Ksatria Ginggi sebagai musuhnya, sebab secara tidak langsung lelaki itu ikut menggagalkan perjuangan Ki Sudireja.
Namun, begitulah yang dipikirkan Pragola. Sebenarnya dia kurang tertarik untuk terjun ke urusan akal-akalan (politik). Menurutnya, perjuangan Pangeran Yudakara adalah perjuangan politik. Salah satu pihak ingin menguasai pihak lainnya. Dalam hal ini, Cirebon ingin menguasai Pakuan.
Peperangan yang diakibatkan oleh pertentangan politik selalu berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup rakyat. Hancurnya penduduk Kacutakan Waringin pada puluhan tahun silam sebetulnya adalah korban dari permainan politik juga. Wilayah Waringin diperebutkan oleh Cirebon dan Pakuan sehingga timbul pertempuran. Padahal bagi rakyat yang tidak tahu apa-apa, ikut ke mana sebetulnya sama saja.
Permainan politik juga suka mengacaukan arti kebersamaan. Pragola mendapatkan contoh ini dari hasil pertemuan antara Pangeran Yudakara dengan lelaki asing di puri Yudakara tempo hari. Sudah jelas antara Cirebon dan Banten tak punya permasalahan. Namun dari percakapan kedua orang itu, ternyata telah tercipta semacam persaingan dalam memperlihatkan citra dan kualitas pribadi masing-masing.
Bila melihat sepak-terjang Pangeran Yudakara yang mencoba meneliti dan mencari kelemahan Pakuan, ada kecenderungan Cirebon berniat mengganggu dan menyerang Pakuan. Namun nyatanya niat ini pun dipegang Banten. Bahkan dengan pongahnya, lelaki yang diduga datang dari wilayah Banten itu mengatakan, hanya Bantenlah yang sanggup menyerbu dan menduduki Pakuan dan bukannya Cirebon yang dikatakan sudah lemah.
Pragola gundah dengan jalan pikirannya ini. Akan dilanjutkankah pengabdiannya kepada Pangeran Yudakara? Kalau dia melepaskan diri, bisakah dia bergerak sendiri? Pragola ingat pula, dia bisa menyelundup ke Pakuan karena jasa Pangeran Yudakara juga. Kalau bergerak sendiri, belum tentu bisa masuk ke Pakuan, terlebih-lebih untuk bisa memasuki puri Yogascitra. Padahal dia menilai, penelusurannya dalam upaya mendekatkan diri kepada musuh-musuhnya bisa dilakukan lewat pintu puri Yogascitra ini.
“Aku masih perlu bergabung dengan Pangeran Yudakara…” pikirnya kemudian.
Berpikir sampai di sini, akhirnya Pragola mengembalikan lagi rencana semula. Dia akan tetap mengikuti apa perintah pangeran itu. Entah kapan akan melakukan perjalanan kembali ke wilayah timur. Namun selama berada di Pakuan ini, di samping bertindak atas komando Pangeran Yudakara, Pragola pun akan bergerak berdasarkan naluri sendiri, naluri untuk mendapatkan musuh-musuhnya.
***
Tidak terasa satu tahun telah berlalu. Selama itu tidak ada peristiwa penting yang ada kaitannya dengan urusan penyerbuan ke Pakuan. Perwira Goparana dan Jayasasana tetap berdiam di istana, bertindak sebagai pengawal Raja. Dalam satu tahun ini, hanya tiga kali melakukan pertemuan rahasia secara bersama-sama, sedang biasanya, yang menemui Pragola hanyalah Pangeran Yudakara.
Namun selama satu tahun berada di Pakuan, sebenarnya Pragola telah banyak mendapatkan hal-hal penting yang perlu dicatatnya. Catatan ini telah melahirkan penilaian dan pandangan terhadap keberadaan Pakuan pada kurun waktu belakangan ini. Benar seperti yang dikatakan orang, bahwa penguasa Pakuan yang sekarang seperti kurang berambisi mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan.
Ada semacam frustasi yang melanda negri ini. Sebagian rakyat seperti menderita kekecewaan berat melihat keadaan. Di setiap obrolan baik secara tersembunyi mau pun terang-terangan, banyak orang mengatakan bahwa zaman keemasan Pajajaran telah sirna. Kaum prepantun selalu melantunkan lagu duka. Bila pun mereka bertutur perihal kebesaran, itu adalah kebesaran masa silam.
Para orang tua banyak memaparkan kebesaran Sang Prabu Ratu Jaya Dewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) karena keberhasilannya membangun Pakuan sehingga di bawah kepemimpinannya rakyat sejahtera. Mereka membesar-besarkan keberadaan masa lalu mungkin karena rindu akan zaman yang tak kembali, atau juga disodorkan sebagai cemoohan kepada keadaan masa kini.
Di anrata sesama pejabat terjadi saling salah-menyalahkan. Mereka lebih banyak membicarakan mengenai kelemahan orang lain ketimbang berupaya mengubah keadaan. Akibat dari kemelut di antara sesamanya, maka tujuan utama untuk mensejahterakan rakyat tidak pernah berhasil. Para pandita hanya menghabiskan waktunya di kuil. Mereka berupaya untuk tidak melakukan kesalahan dan kerjanya mensucikan diri di tempat terpencil tanpa melirik kiri-kanan, tanpa ingin tahu apakah orang lain hidupnya benar atau tidak. Tak peduli orang lain berlaku salah, yang penting dirinya benar.
Itulah sebabnya, kendati mereka hafal isi kitab Darma Siksa. Siksa Kandang Karesian, Pasuk Tapa, Mahapawitra, Siksa Guru, Dasa Sila, Jagad Upadrawa dan berbagai ajaran moral lainnya, kesemuanya hanya untuk santapan mereka saja. Orang lain, rakyat misalnya, terserah mereka mau apa, barangkali sikap ini dilakukan karena di saat-saat gencarnya penyebaran agama baru, kebijaksanaan Raja sejak turun-temurun tak pernah berubah. Mereka tidak melarang atau tidak memaksakan kehendak kepada rakyat dalam menentukan kepercayaan.
Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama
anu eudeuk dipilih
pi’eun salajuna hirup
anu dicaram soteh
palah-pilih teu puguh pilih
mimiti milih agama ieu
laju milih agama itu
laju bosen… milih deui
(Raja Pajajaran tak melarang
rakyat memilih agama
yang mesti dipilih
untuk kelancaran hidup
yang memang dilarang
terlalu banyak memilih dan asal memilih
mula-mula memilih satu agama
kemudian memilih agama yang lain lagi
sesudah bosan…memilih yang baru lagi!)
Kaum pendeta membiarkan ke mana rakyat mau memilih. Yang setia kepada agama lama, mereka mempertahankan kesetiaannya tanpa diperintah. Yang tertarik kepada agama baru mereka pun pindah agama tanpa kesulitan. Namun karena kebebasan yang diberikan ini, banyak rakyat akhirnya bimbang tidak ikut ke mana-mana. Jadilah mereka orang frustasi sebab hidup tanpa pegangan. Hidup tak beraturan menyebabkan kesejahteraan pun tak terurus. Ada orang yang pandai dan memanfaatkan kepandaiannya untuk diri sendiri sambil merugikan orang lain. Tanpa pegangan hidup yang benar, mereka menjadi orang serakah. Tak terkecuali kaum pedagang atau pun petani.
Wong huma darpa mamangan
tan igar yan tan pepelakan
(Kaum petani menjadi serakah
tidak merasa senang
bila tidak bertanam sesuatu)
Petani sudah mengubah sikap. Bila dulu mereka bertani hanya untuk bertahan sekadar tidak lapar atau tidak perlu meminta kepada orang lain, kini malah berupaya memperkaya diri sebesar-besarnya. Sikap serakah ini terjadi setelah mereka melihat banyak orang menderita sengsara karena kebodohannya.
Ngajadikeun gaga sawah
tikap ulah sangsara
jaga rang nyieun kebon
tihap malah ngundeur ka huma beet
ka huma laga sakalih
hama na beunang urang laku sadu
cocobana tihap malah hasil
mulah tihap muksur
pakarang ulah tihap nginjeum
simbut cawet malah kasaratan
hakan inum ulah kakurangan
anak-ewe pituturan
sugan dipajar durpala siksa
(Membuta sawah ladang
agar tidak sengsara
membuat kebun agar tidak terpaksa
meminta ke ladang umum
ternak agar tidak membeli
perkakas agar tidak meminjam
pakaian agar tidak cumpang-camping
makan-minum jangan kekurangan
anak-istri beri nasihat
agar tidak dikatakan buta aturan)
Ini adalah ajaran moral bagian dari Siksa Kandang Karesian, filsafat orang Pajajaran yang disusun pada zaman Sri Baduga maharaja ( 1462-1521 M). Ajaran semacam ini hanya gencar dilakukan kaum pendeta di dalam kuil saja. Sedangkan rakyat yang jauh dari kuil cenderung sudah tak menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan sikap ini bukan terjadi karena orang berganti agama, melainkan karena sikap frustasi melihat keadaan negara saja.
“Tapi kekuatan negara hanya menitik beratkan pada kekuatan militer hanya melahirkan pertumpahan darah belaka. Yang merasa kuat dalam militer, cenderung selalu melakukan peperangan. Karena punya kekuatan militer, kadang-kadang kita selalu ikut campur kepada urusan orang lain. Atau mungkin selalu punya ambisi untuk menundukan orang lain. Jangan samakan saya dengan ayahanda Ratu Sakti atau pun dengan kakek buyut Sang Surawisesa. Saya tidak berambisi untuk menaklukan orang lain, apalagi berupaya merebut mengaruh dan kekuasaannya,” tutur Sang Prabu Nilakendra.
“Namun Paduka, negara memperkuat militer bukan berarti kita harus punya ambisi dalam melakukan peperangan. Militer pun bisa berguna dalam mempersatukan persatuan bangsa. Bangsa yang merasa aman dan terlindungi akan memiliki ketentraman hidup. Pihak negara lain pun akan merasa segan untuk mengganggu. Barangkali juga mereka akan merasa takut karena kekuatan kita. Itulah sebabnya, saya selalu mengajukan usul-usul seperti itu,” tutur Pangeran Yogascitra.
“Pembangunan kekuatan militer secara besar-besaran tentu memerlukan dana besar. Tegakah kita mengganggu kesejahteraan rakyat dengan memungut pajak-pajak tinggi hanya untuk menbangun kehidupan militer? Rakyat sudah cukup berat. Sesudah tujuh pelabuhan penting milik kita dikuasai musuh, mata pencaharian rakyat hanya tertumpu kepada pertanian semata.
Kalau pun ada kehidupan perdagangan, hanya terbatas di antara mereka saja, tak seperti masa puluhan tahun silam, dimana Pajajaran bisa melakukan perdagangan antar negara. Ini menyebabkan keuangan negara terbatas, begitu pun penghasila rakyat. Jadi, betapa kejamnya kita, bila memaksakan kehendak memperkuat militer yang butuh dana tinggi sambil menyengsarakan rakyat,” tutur Raja.
Pertemuan antar Raja dan penasihat ini, di mata Pragola hanya menimbulkan kesan bahwa di antara pejabat Pakuan sebenarnya sudah tak ada persatuan lagi. Perundingan rahasia di puri Yogascitra yang belakangan diketahui Raja, hanya membuktikan bahwa sudah tak ada kesatuan pendapat lagi di antara mereka. Barangkali masih banyak pejabat yang masa pendiriannya dengan Pangeran Yogascitra. Tapi yang tak setuju dengan gagasan pangeran itu pun ternyata ada.
Dan kesimpulan dari semua ini, hanya menerangkan bahwa Pajajaran sudah kian melemah juga. Inilah saatnya pajajaran dihancurkan. Inilah saatnya Dayo Pakuan diserang. Tapi siapakah yang harus menyerang, Cirebon ataukah Banten?
Berpikir sampai di sini, Pragola sendiri bingung. Apa yang diketahuinya malam itu, dimana ada pertikaian kecil antara Pangeran Yudakara dan lelaki asing dari wilayah Banten tersebut, hanya menandakan telah terjadi semacam persaingan di antara mereka dalam menentukan siapa yang paling mampu menundukan Pajajaran dan Pragola merasa khawatir, sebab malam itu nampaknya Pangeran Yudakara amat terpukul.
Bukan saja terpukul karena malam itu dia dikalahkan lelaki asing tersebut, tapi juga terpukul karena kenyataan ini. Banten memang lebih kuat dari Cirebon. Lantas bila benar begitu kenyataannya, mau apa Pangeran Yudakara? Mengapa pula ada semacam persaingan di antara mereka padahal setahunya, antara Banten dan Cirebon tak pernah ada pertikaian. Kalau memang begitu, pertikaian siapakah ini? Ingatan Pragola kembali mengulang perjalanannya dari mulai awal hingga dia tiba di pusat Kerajaan Pajajaran ini.
Perjalanannya terlalu jauh. Padahal kalau dia pikir, sebetulnya urusannya sederhana saja, yaitu ingin berupaya membalas dendam akan kematian ayah-bunda dan gurunya. Kedua orang tuanya mati karena sakit-sakitan setelah kehilangan anak pertama karena peperangan.
Sebelum dia dilahirkan ke dunia, orang tuanya punya anak tunggal, laki-laki usia tiga atau empat tahun. Datanglah bencana peperangan. Kacutakan Waringin diserbu prajurit Pajajaran karena menolak membayar seba (pajak Tahunan). Cutak (setingkat camat) Wirajaya yaitu ayahanda Pragola, merasa punya alasan untuk menolak permintaan seba dari Pakuan sebab Karatuan Talaga, di mana kacutakan itu berada, sudah lama masuk wilayah Cirebon.
Akan halnya para petugas muhara (penarik pajak) dari Pakuan masih juga mencoba menarik pajak, karena Kacutakan Waringin letaknya ada di perbatasan dan lebih dekat kepada wilayah Pajajaran ketimbang ke pusat kekuasaan Cirebon atau pun ke Talaga. Di saat-saat keuangan Pakuan makin menipis, Sang Mangabatan Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu mencoba menarik pajak kepada wilayah-wilayah yang masih bisa diambil pajaknya.
Banyaknya wilayah Pakuan berpaling ke Cirebon dan meninggalkan kewajiban membayar pajak. Ini merupakan kerugian bagi Pakuan. Itulah sebabnya, wilayah-wilayah yang berani mati bergabung dengan Cirebon, tapi yang sebenarnya kedudukan mereka lebih dekat ke wilayah Pakuan ketimbang ke Cirebon, oleh pihak Pakuan ditekan. Bagi yang membangkang tak ada pilihan lain kecuali digempur oleh prajurit Pakuan.
Itulah yang terjadi kepada Kacutakan Waringin. Waringin yang sebagian besar penduduknya sudah berganti memeluk agama baru yang disebarkan oleh Cirebon, diserbu Prajurit Pakuan. Banyak terjadi korban jiwa dalam pertempuran yang tak seimbang ini. dalam kancah pertempuran ini, Cutak Wirajaya dan istrinya berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi putra tunggalnya yang masih bocah hilang entah kemana.
Banyak penduduk mengabarkan, anak itu ada di tengah kancah pertempuran. Dia tengah bermain di saat prajurit Pajajaran datang menyerbu. Dan ketika anak itu hendak pulang ke rumah, di tengah jalan terjebak pertempuran. Semua orang menduga anak itu kemungkinan ikut tewas. Namun ketika diadakan pemeriksaan di bekas reruntuk pertempuran, tidak diketemukan mayat bocah laki-laki.
Tapi mati atau pun tidak anak itu, yang jelas, kedua orang tuanya tidak berhasil mendapakannya kembali. Bocah itu hilang tak terbekas dan telah membuat kesedihan yang sangat. Semenjak saat itulah Cutak Wirajaya selalu sakit-sakitan, begitu pun istrinya. Ketika istrinya mengandung anak kedua juga dalam keadaan sakit-sakitan, begitu pun di saat melahirkan seorang bayi laki-laki yang kelak bernama Pragola. Sedangkan Cutak Wirajaya meninggal satu tahun kemudian.
“Ayahandamu meninggal karena jiwanya tertekan. Sebagai cutak dia tak sanggup menyelamatkan rakyatnya. Belum pulih rasa penderitaannya karena serangan orang Pakuan, sudah ditimpa kemalangan lagi karena kematian istri yang tercintanya,” tutur Ki Guru Sudireja lagi.
Puluhan tahun sejak peristiwa itu, bocah yang hilang bernama Ginggi tak pernah dipermasalahkan lagi, kecuali dendam yang berlarut-larut. Pragola misalnya, secara tidak disadarinya telah memendam dendam berat kepada orang-orang Pajajaran. Kebenciannya terhadap orang Pajajaran karena membuat penderitaan kepada keluarganya belumlah terobati. Belakangan dendam bertambah besar ketika gurunya sendiri menjadi korban pertempuran melawan prajurit Pakuan. Semakin membara api yang ada di dada pemuda itu. Dan api tak mungkin padam sebelum dendam terbalaskan.
Untunglah Paman Manggala telah mendekatkan Pragola kepada Pangeran Yudakara. Pemuda itu seperti aliran air yang mendapatkan salurannya. Paman Manggala mengabarkan bahwa untuk menuju sukses dalam melakukan perlawanan kepada orang-orang Pajajaran haruslah bergabung dengan Pangeran Yudakara, sebab pangeran calon penguasa Kabupatian Sagaraherang ini akan bekerja untuk kepentingan Cirebon dalam upaya untuk meruntuhkan kerajaan agama lama bernama Pajajaran itu.
Tapi begitulah yang terjadi. Mengikuti rencana Pangeran Yudakara rasanya bertele-tele. Dia tak boleh bertindak semaunya kecuali atas perintah dan sepengetahuan Pangeran Yudakara. Lebih bertele-tele dari itu, Pangeran Yudakara ternyata punya rencana besar yang tidak pernah terpikirkan kepentingannya, terutama untuk Pragola. Pemuda ini memang benci orang-orang Pajajaran tapi tak pernah terpikir untuk menghancurkan atau merebut negri itu.
Rasanya pekerjaan tersebut terlalu besar dan akan makan waktu lama. Yang ingin dia kerjakan hanyalah mencari biang keladi kerusuhan, terutama yang menyangkut kampung halamannya. Pragola pernah melakukan penyelidikan, peristiwa penyerbuan orang-orang Pajajaran pada puluhan tahun silam ke Waringin berlangsung amat tidak terpimpin. Menurut berita yang sampai, penyerbuan itu tidak dilengkapi perintah langsung dari Pakuan, melainkan hanya kehendak dari penguasa yang diserahi tugas menarik pajak. Itulah sebabnya untuk bisa mengumpulkan pajak, mereka main tekan dan main serbu kepada yang membangkang.
Bertolak dari keterangan ini, Pragola hanya akan mencari mereka yang terlibat saja, kalau hal ini memang memungkinkan. Pragola juga tadinya hanya akan mencoba mencari siapa-siapa saja perwira Pakuan yang melakukan pengeroyokan sehingga menewaskan Sudireja, gurunya. Barangkali ksatria bernama Ginggi akan dimasukkan sebagai musuh yang harus dilawan, mengingat orang ini ada kaitannya walau secara tidak langsung.
Sepuluh tahun silam Ki Sudireja ikut bergabung menyerang Pakuan. Namun usaha ini gagal karena Pakuan banyak dikawal orang pandai. Salah satu di antaranya adalah Ksatria Ginggi. Ki Sudireja melarikan diri namun terus dikejar hingga akhirnya terjebak ke tengah kepungan para perwira Pakuan. Dalam pertempuran tidak seimbang. Ki Sudireja tewas. Pragola mengelompokkan Ksatria Ginggi sebagai musuhnya, sebab secara tidak langsung lelaki itu ikut menggagalkan perjuangan Ki Sudireja.
Namun, begitulah yang dipikirkan Pragola. Sebenarnya dia kurang tertarik untuk terjun ke urusan akal-akalan (politik). Menurutnya, perjuangan Pangeran Yudakara adalah perjuangan politik. Salah satu pihak ingin menguasai pihak lainnya. Dalam hal ini, Cirebon ingin menguasai Pakuan.
Peperangan yang diakibatkan oleh pertentangan politik selalu berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup rakyat. Hancurnya penduduk Kacutakan Waringin pada puluhan tahun silam sebetulnya adalah korban dari permainan politik juga. Wilayah Waringin diperebutkan oleh Cirebon dan Pakuan sehingga timbul pertempuran. Padahal bagi rakyat yang tidak tahu apa-apa, ikut ke mana sebetulnya sama saja.
Permainan politik juga suka mengacaukan arti kebersamaan. Pragola mendapatkan contoh ini dari hasil pertemuan antara Pangeran Yudakara dengan lelaki asing di puri Yudakara tempo hari. Sudah jelas antara Cirebon dan Banten tak punya permasalahan. Namun dari percakapan kedua orang itu, ternyata telah tercipta semacam persaingan dalam memperlihatkan citra dan kualitas pribadi masing-masing.
Bila melihat sepak-terjang Pangeran Yudakara yang mencoba meneliti dan mencari kelemahan Pakuan, ada kecenderungan Cirebon berniat mengganggu dan menyerang Pakuan. Namun nyatanya niat ini pun dipegang Banten. Bahkan dengan pongahnya, lelaki yang diduga datang dari wilayah Banten itu mengatakan, hanya Bantenlah yang sanggup menyerbu dan menduduki Pakuan dan bukannya Cirebon yang dikatakan sudah lemah.
Pragola gundah dengan jalan pikirannya ini. Akan dilanjutkankah pengabdiannya kepada Pangeran Yudakara? Kalau dia melepaskan diri, bisakah dia bergerak sendiri? Pragola ingat pula, dia bisa menyelundup ke Pakuan karena jasa Pangeran Yudakara juga. Kalau bergerak sendiri, belum tentu bisa masuk ke Pakuan, terlebih-lebih untuk bisa memasuki puri Yogascitra. Padahal dia menilai, penelusurannya dalam upaya mendekatkan diri kepada musuh-musuhnya bisa dilakukan lewat pintu puri Yogascitra ini.
“Aku masih perlu bergabung dengan Pangeran Yudakara…” pikirnya kemudian.
Berpikir sampai di sini, akhirnya Pragola mengembalikan lagi rencana semula. Dia akan tetap mengikuti apa perintah pangeran itu. Entah kapan akan melakukan perjalanan kembali ke wilayah timur. Namun selama berada di Pakuan ini, di samping bertindak atas komando Pangeran Yudakara, Pragola pun akan bergerak berdasarkan naluri sendiri, naluri untuk mendapatkan musuh-musuhnya.
***
Tidak terasa satu tahun telah berlalu. Selama itu tidak ada peristiwa penting yang ada kaitannya dengan urusan penyerbuan ke Pakuan. Perwira Goparana dan Jayasasana tetap berdiam di istana, bertindak sebagai pengawal Raja. Dalam satu tahun ini, hanya tiga kali melakukan pertemuan rahasia secara bersama-sama, sedang biasanya, yang menemui Pragola hanyalah Pangeran Yudakara.
Namun selama satu tahun berada di Pakuan, sebenarnya Pragola telah banyak mendapatkan hal-hal penting yang perlu dicatatnya. Catatan ini telah melahirkan penilaian dan pandangan terhadap keberadaan Pakuan pada kurun waktu belakangan ini. Benar seperti yang dikatakan orang, bahwa penguasa Pakuan yang sekarang seperti kurang berambisi mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan.
Ada semacam frustasi yang melanda negri ini. Sebagian rakyat seperti menderita kekecewaan berat melihat keadaan. Di setiap obrolan baik secara tersembunyi mau pun terang-terangan, banyak orang mengatakan bahwa zaman keemasan Pajajaran telah sirna. Kaum prepantun selalu melantunkan lagu duka. Bila pun mereka bertutur perihal kebesaran, itu adalah kebesaran masa silam.
Para orang tua banyak memaparkan kebesaran Sang Prabu Ratu Jaya Dewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521) karena keberhasilannya membangun Pakuan sehingga di bawah kepemimpinannya rakyat sejahtera. Mereka membesar-besarkan keberadaan masa lalu mungkin karena rindu akan zaman yang tak kembali, atau juga disodorkan sebagai cemoohan kepada keadaan masa kini.
Di anrata sesama pejabat terjadi saling salah-menyalahkan. Mereka lebih banyak membicarakan mengenai kelemahan orang lain ketimbang berupaya mengubah keadaan. Akibat dari kemelut di antara sesamanya, maka tujuan utama untuk mensejahterakan rakyat tidak pernah berhasil. Para pandita hanya menghabiskan waktunya di kuil. Mereka berupaya untuk tidak melakukan kesalahan dan kerjanya mensucikan diri di tempat terpencil tanpa melirik kiri-kanan, tanpa ingin tahu apakah orang lain hidupnya benar atau tidak. Tak peduli orang lain berlaku salah, yang penting dirinya benar.
Itulah sebabnya, kendati mereka hafal isi kitab Darma Siksa. Siksa Kandang Karesian, Pasuk Tapa, Mahapawitra, Siksa Guru, Dasa Sila, Jagad Upadrawa dan berbagai ajaran moral lainnya, kesemuanya hanya untuk santapan mereka saja. Orang lain, rakyat misalnya, terserah mereka mau apa, barangkali sikap ini dilakukan karena di saat-saat gencarnya penyebaran agama baru, kebijaksanaan Raja sejak turun-temurun tak pernah berubah. Mereka tidak melarang atau tidak memaksakan kehendak kepada rakyat dalam menentukan kepercayaan.
Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama
anu eudeuk dipilih
pi’eun salajuna hirup
anu dicaram soteh
palah-pilih teu puguh pilih
mimiti milih agama ieu
laju milih agama itu
laju bosen… milih deui
(Raja Pajajaran tak melarang
rakyat memilih agama
yang mesti dipilih
untuk kelancaran hidup
yang memang dilarang
terlalu banyak memilih dan asal memilih
mula-mula memilih satu agama
kemudian memilih agama yang lain lagi
sesudah bosan…memilih yang baru lagi!)
Kaum pendeta membiarkan ke mana rakyat mau memilih. Yang setia kepada agama lama, mereka mempertahankan kesetiaannya tanpa diperintah. Yang tertarik kepada agama baru mereka pun pindah agama tanpa kesulitan. Namun karena kebebasan yang diberikan ini, banyak rakyat akhirnya bimbang tidak ikut ke mana-mana. Jadilah mereka orang frustasi sebab hidup tanpa pegangan. Hidup tak beraturan menyebabkan kesejahteraan pun tak terurus. Ada orang yang pandai dan memanfaatkan kepandaiannya untuk diri sendiri sambil merugikan orang lain. Tanpa pegangan hidup yang benar, mereka menjadi orang serakah. Tak terkecuali kaum pedagang atau pun petani.
Wong huma darpa mamangan
tan igar yan tan pepelakan
(Kaum petani menjadi serakah
tidak merasa senang
bila tidak bertanam sesuatu)
Petani sudah mengubah sikap. Bila dulu mereka bertani hanya untuk bertahan sekadar tidak lapar atau tidak perlu meminta kepada orang lain, kini malah berupaya memperkaya diri sebesar-besarnya. Sikap serakah ini terjadi setelah mereka melihat banyak orang menderita sengsara karena kebodohannya.
Ngajadikeun gaga sawah
tikap ulah sangsara
jaga rang nyieun kebon
tihap malah ngundeur ka huma beet
ka huma laga sakalih
hama na beunang urang laku sadu
cocobana tihap malah hasil
mulah tihap muksur
pakarang ulah tihap nginjeum
simbut cawet malah kasaratan
hakan inum ulah kakurangan
anak-ewe pituturan
sugan dipajar durpala siksa
(Membuta sawah ladang
agar tidak sengsara
membuat kebun agar tidak terpaksa
meminta ke ladang umum
ternak agar tidak membeli
perkakas agar tidak meminjam
pakaian agar tidak cumpang-camping
makan-minum jangan kekurangan
anak-istri beri nasihat
agar tidak dikatakan buta aturan)
Ini adalah ajaran moral bagian dari Siksa Kandang Karesian, filsafat orang Pajajaran yang disusun pada zaman Sri Baduga maharaja ( 1462-1521 M). Ajaran semacam ini hanya gencar dilakukan kaum pendeta di dalam kuil saja. Sedangkan rakyat yang jauh dari kuil cenderung sudah tak menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan sikap ini bukan terjadi karena orang berganti agama, melainkan karena sikap frustasi melihat keadaan negara saja.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment