Ads

Thursday, January 13, 2022

Kunanti di Gerbang Pakuan 008

Ajaran agama lama hanya teguh dilantunkan di seputar istana saja. Ini terjadi karena sikap Raja yang mencoba tetap bersetia kepada agama karuhun (nenek moyang). Raja bahkan bertekad, kalau pun benar Pakuan diancam musuh, maka kehadiran mereka hanya akan dilayani oleh kekuatan dan keyakinan akan agama karuhun.

Selama berada di Pakuan, Pragola menyimak, betapa berbagai mantera dan jampi-jampi menjadi santapan sehari-hari kaum pendeta termasuk juga Raja. Mereka rupanya percaya, mantera punya kekuatan hebat dalam menangkal marabahaya.

Pragola memuji sikap Raja yang tetap mempertahankan agama lamanya. Sebab memang pada hematnya, begitulah yang namanya keyakinan. Tidaklah mudah berganti agama, kecuali tanpa keyakinan kepada agama sebelumnya. Pragola juga berpendapat, Raja yang baik adalah Raja yang cinta kepada keyakinannya. Namun yang Pragola tak suka kepada penguasa Pakuan ini, dia tidak mempertahankan keberadaannya secara seimbang.

Adalah tidak seimbang bila dalam memcoba mempertahankan negara, raja hanya bersunyi-sunyi di kuil bersama para pendeta. Memimpin negara ada di dunia nyata dan hanya bisa dikerjakan dengan kerja lahiriah, bukan seperti yang dilakukan Sang Prabu Nilakendra ini.

Namun tentu saja, ini adalah jalan pikiran Pragola secara pribadi saja. Sedangkan bila dia berpikir untuk kepentingan politik, sikap-sikap yang tengah berlangsung di Pakuan sangatlah menguntungkan misinya. Tentu Pangeran Yudakara gembira melihat keadaan di Pakuan ini. Barangkali karena hal-hal inilah Pangeran Yudakara, Perwira Goparana atau pun Perwira Jayasasana, tidak melakukan pergerakan secara berlebihan.

Mungkin segalanya akan dibiarkan berlangsung sejauh mana suasana terjadi. Bila keadaan seperti itu terus berlarut, hanya punya arti Pakuan kian hari kian melemah. Dan ini semakin menguntungkan bagi kelancaran misi. Barangkali penyerbuan ke Pakuan akan dilakukan sesudah keadaan di Pakuan benar-benar parah karena keropos sendiri. Begitu yang diperkirakan Pragola.

Bahkan ketika rencana melakukan perjalanan ke wilayah timur semakin berlarut-larut kapan akan dilakukan, Pragola tidak peduli. Berangkat atau tidak, tokh tujuannya sama, yaitu melihat Pakuan menuju ke keruntuhan.

Rencana perjalanan ke wilayah timur beberapa kali ditangguhkan. Selain karena Raja kurang setuju, juga Pakuan sendiri sibuk dengan kemelutnya. Ternyata kelemahan yang terjadi di pusat pemerintahan ini menyebabkan terjadinya kekacauan yang dilakukan wilayah-wilayah yang di bawah Pakuan. Semakin banyak wilayah yang ingin memisahkan diri dari Pakuan.

Mereka ingin berpaling dari Pakuan, bukan saja akaren tergoda untuk tergabung dengan kekuatan agama baru, melainkan juga karena sebal terhadap sikap-sikap lemah Raja. Mereka menganggap sudah tak ada manfaatnya lagi berada di bawah naungan Pakuan sebab segala kepentingan dan kesejahteraan rakyat sudah tak terpenuhi, sedangkan di lain pihak Pakuan tetap menarik seba kepada rakyat.

Sampai tahun kedua Pragola tinggal di Pakuan, orang-orang Pakuan sibuk memadamkan berbagai pemberontakan kecil yang ada di beberapa wilayah. Lucunya, karena Pragola di Pakuan bertindak sebagai “prajurit”, maka beberapa kali dia pun ikut dikirim ke daerah pertempuran sebagai anggota pasukan di bawah pimpinan Banyak Angga. Dia ikut “berperang” sebab Pangeran Yudakara pun setuju dia “ikut”. Hanya tentu saja setiap kali Pragola terlibat dalam peperangan, dia tak pernah bertempur sungguh-sungguh. Dia tak punya kepentingan untuk membunuh lawan, sebab pada hematnya, lawan yang dihadapi orang-orang Pakuan sebetulnya merupakan “kawan” untuk dirinya.

Menyerbu dan memerangi daerah-daerah yang ingin memisahkan diri adalah sesuatu hal yang tak disukai Sang Prabu Nilakendra. Kata Raja ini, memerangi negara-negara yang ada di Pajajaran, selain menghamburkan dana, membuat kesengsaraan kepada rakyat, juga harus memupuk rasa benci orang-orang yang ditaklukkan. Tapi bagaimana pula akalnya agar wilayah-wilayah itu tetap bergabung dengan Pakuan sambil tak ada paksaan? Itulah kesulitannya.

Dan kebijaksanaan Raja ini dianggap oleh kalangan pejabat istana sebagai suatu sikap-sikap lemah. Selama dua tahun lebih Pragola tinggal di Pakuan, nampak terjadinya kekurang puasan di antara pejabat. Mereka khawatir, sikap Raja seperti ini hanya akan membuat negara lemah dan akhirnya menjadi bulan-bulanan lawan. Oleh sebab itulah pada tahun ketika di mana Pragola berada di sana, para pejabat seolah bersatu dalam memiliki tekad, yaitu mempertahankan Pakuan sambil tidak terlalu melibatkan kebijakan Raja.

Kembali para pejabat mengadakan pertemuan rahasia. Tujuannya lebih mengukuhkan tujuan semula, yaitu berusaha menghimpun orang-orang pandai yang sebenarnya masih bertebaran di seantero Pajajaran. Pada umumnya mereka mendesak agar secara diam-diam Pakuan mengirimkan sepasukan perwira tangguh untuk membebaskan rekan-rekannya yang menurut “laporan” Pragola terjebak di Puncak Cakrabuana oleh pasukan Cirebon.

“Yang terjebak di sana adalah perwira-perwira tangguh. Selama mereka di sana, kita telah banyak kehilangan, membuat negara dalam keadaan lemah. Jadi, apa pun yang terjadi, kita harus menolong mereka. Menolong karena negara harus bertanggung jawab, tapi juga karena negara membutuhkan mereka,” tutur para pejabat.

Pragola merasa bahwa sebentar lagi dia pasti akan diajak melakukan perjalanan ke wilayah timur seperti apa yang sudah dijanjikan pada tiga tahun berselang.

Benar saja apa yang diperkirakan Pragola, bahwa pada akhirnya rencana melakukan perjalanan ke wilayah timur akan dilaksanakan. Banyak Angga mengabarkan bahwa Pragola harus mempersiapkan sesuatu sebab minggu depan perjalanan panjang akan dimulai.

Pada tiga hari sebelum rencana keberangkatan dilakukan, Pangeran Yudakara menghubunginya lagi. Pangeran ini mengingatkannya kembali apa yang menjadi tujuannya.

“Orang Pakuan mengajakmu karena butuh engkau sebagai pemandu di jalan. Namun sebetulnya kitalah yang mendompleng pada mereka. Mereka sebenarnya tengah membantu kita untuk mengumpulkan orang-orang yang harus kita lenyapkan,” tutur Pangeran Yudakara. “Pasukan yang akan membantumu telah kusiapkan di sana,” lanjutnya lagi.

Pragola tidak banyak meminta petunjuk dan pengarahan, sebab rencana seperti ini sebenarnya telah diketahui hampir tiga tahun yang lalu. Hanya saja pemuda ini mendapat kenyataan bahwa Cirebon tetap dengan keputusannya yaitu hendak mengambil inisiatif melumpuhkan Pakuan kendati Banten telah melarangnya.

Ingin sekali pragola bertanya perihal ini. Tapi pertemuan Pangeran Yudakara dengan orang dari Banten pada tiga tahun berselang itu tentu amat dirahasiakan, sebab selama ini Pangeran Yudakara tidak pernah membicarakannya, termasuk kepada Perwira Goparana dan Jayasasana.

Sampai jauh malam Pragola masih berpikir tentang ini. Kalau memang Cirebon relatif lemah seperti apa kata orang Banten, mengapa pihak Cirebon seperti memaksakan kehendak untuk tetap menyerbu Pakuan? Tidakkah tindakan ini hanya akan merepotkannya saja? Berdasarkan pengetahuan yang didapat Pragola, sejak kebangkitannya, Cirebon sebenarnya selalu didukung Demak. Hanya karena bantuan Demak maka Cirebon bisa melepaskan diri dari Pakuan. Begitu pun ketika Cirebon menyerang Banten untuk membebaskan wilayah itu dari kekuasaan Pakuan, Demaklah yang memberinya kekuatan.

Tapi sekarang Demak telah begitu lemah karena didera berbagai pertentangan dan perebutan kekuasaan, sehingga otomatis cirebon sudah tidak bisa mengandalkan kekuatan Demak dalam urusan kemiliteran. Apakah Cirebon kini sudah memiliki kepercayaan diri untuk melakukan rencana-rencana besar?



Pragola tak sanggup memikirkannya, sebab pada hematnya dia bukanlah sebagai seorang negarawan. Hanya karena seringnya bertemu dengan kaum bangsawan saja pemuda ini tahu situasi politik. Itu pun tidak mengetahuinya secara mendetail. Kata Paman Manggala pun, politik itu sulit diduga. Apa yang ada dipermukaan belum tentu menggambarkan isi keseluruhan.

Bahwa Cirebon lemah, mungkin hanya perkiraan orang saja, sebab kalau benar-benar negara itu tidak memiliki kepercayaan diri, tak nanti akan melakukan rencana dalam upaya melumpuhkan Pakuan. Atau, benar-benarkan sebetulnya Cirebon lemah dan tak sanggup melakukan apa yang menjadi rencananya? Mungkinkah rencana-rencana yang dilakukan Pangeran Yudakara itu sebetulnya hanya gertak sambal belaka? Menggertak siapa? Mungkin menggertak siapa saja yang punya anggapan bahwa Cirebon sudah lemah.

Pragola menggaruk-garuk kepalanya bila memikirkan hal ini. Dia tak tahu tujuan Cirebon yang sebenarnya. Atau katakanlah, dia tak tahu jelas yang menjadi perjuangan Pangeran Yudakara. Namun yang pasti, ini telah menyeretnya kepada hal-hal yang membuat dirinya ruwet. Sadar atau tidak, nyatanya tujuannya yang lebih bersifat pribadi telah tertumpuk oleh tujuan yang lebih besar, yaitu permasalahan negara.

Pada esok harinya ketika Pragola mencongklang naik kuda di sebuah jalan berbalay, berpapasan dengan sebuah rombongan. Rombongan itu terdiri dari sepuluh prajurit yang berjalan mengawal sebuah jampana (tandu). Di atasnya duduk seorang wanita usia sekitar tiga puluh tahun. Wanita itu nampak anggun dengan pakaiannya yang serba gemerlap. Rambutnya hitam berombak, terjurai begitu saja di belakang punggungnya. Kain kebayanya terbuat dari satin halus buatan negri Parasi dengan ornamen warna emas pada ujung-ujungnya.

Bila melihat rambutnya yang tergerai, Pragola hanya membayangkan seorang gadis belia sebab di Pakuan itu hanya gadis-gadis belia dan perawan yang selalu membiarkan rambutnya begitu saja diterpa hembusan angin. Namun pemuda itu mengakui, wanita ini masih memiliki kecantikan yang amat memukau. Hidungnya kecil mancung, mulutnya mungil merah merona dan bulu matanya lentik melengkung.

Pragola meminggirkan kudanya ketika rombongan itu lewat. Dia sadar harus memberi hormat sebab wanita itu tentu bukan dari keluarga sembarangan. Mana mungkin wanita biasa duduk dikawal di atas jampana kayu jati berukir indah? Tentu dia adalah wanita bangsawan yang kedudukannya amat penting.

“Berhenti…” kata wanita itu menyuruh berhenti kepada keempat orang pengusung jampana. Mereka berhenti tepat di mana Pragola meminggirkan kuda.

“Serasa aku pernah melihat wajahmu, anak muda…” tutur wanita itu melirik kepada Pragola.

Pemuda itu berdegup jantungnya sebab sorot wanita itu begitu tajam.

“Engkau tentu prajurit Pakuan. Tapi aku tak tahu engkau bertugas sebagai apa serta di bawah perwira siapa?” tanya wanita anggun ini, menatap dan tersenyum manis.

“Dia adalah anak buah Raden Banyak Angga, Juragan,” kata seorang pengawal.

Menipis sunggingan bibir wanita itu demi mendengar penjelasan ini. Pragola sendiri heran, mengapa wanita jelita ini menghentikan senyumannya, padahal dia ingi sedikit berlama-lama menikmati senyuman bak bunga merebak ini.

“Anak buah Banyak Angga…” desisi wanita itu masih menatap tajam Pragola. Merenung sejenak, kemudian senyumnya kembali muncul membuat matahari di hati Pragola cerah kembali.

“Melihat tampangmu, serasa dunia kembali ke belasan tahun silam. Dulu pun Banyak Angga punya pembantu. Dan engkau mengingatkanku pada pembantu lama Banyak Angga…” tutur wanita itu masih senyum. ”Tapi sudahlah,” ujarnya, ”Itu masa lalu, sesuatu yang tak mungkin terulang lagi,”

Wanita itu memberi tanda agar perjalannya segera dilanjutkan. Namun beberapa tindak kemudian dia sudah menyuruh orang-orangnya untuk berhenti kembali.

“Undanglah anak muda itu agar datang ke puriku…” ujar wanita itu.

“Hari ini, Juragan?” tanya pengawal.

“Hari ini…”

“Anak muda, siapa namamu?” tanya pengawal.

“Pragola…”

“Engkau diundang ke puri Layang Kingkin. Juragan adalah pemiliknya. Dialah Nyi Mas Layang Kingkin,” kata pengawal.

Pragola hanya menatap wanita itu sebab dia tidak tahu siapa dia.

“Tundukkan kepalamu, sebab Nyi Mas adalah ibu suri!” kata pengawal.

Pragola baru terkejut. Inikah bekas permaisuri almarhum Prabu Ratu Sakti?

“Undanglah sore nanti. Tapi katakan padanya, tak perlu bicara pada Banyak Angga…” kata Nyi Mas Layang Kingkin. Sesudah itu rombongan segera berlalu.

Tinggallah Pragola merenung seorang diri di atas punggung kuda. Pertemuan barusan sungguh aneh tapi amat menarik perhatian. Aneh sekali, mengapa secara tiba-tiba wanita itu ingin mengundang dirinya? Namun ini menimbulkan perhatian bagi dirinya. Pragola ingi sekali mengetahui, apa maksud undangannya itu. Pemuda ini pun merasa penasaran untuk datang memenuhi undangan wanita anggun itu karena baru kali inilah ada seorang wanita menghubungi dirinya.

Hingga usianya yang dua puluh ini, Pragola belum perna mengenal wanita. Ini karena perhatiannya selama ini tersita oleh urusan-urusan yang jadi kemelut dalam hidupnya. Pragola sudah sengsara sejak kecil. Boleh dikata dia tak pernah mengenal ayah-bundanya sebab orang tuanya meninggal di saat usianya masih kecil. Barangkali yang bertindak sebagai orangtuanya dalah Ki Sudireja. Namun orang tua ini lebih bertindak sebagai guru kedigjayaan ketimbang orangtua.

Pendidikan yang diberikan Ki Sudireja bukan berupa kasih-sayang, melainkan pengaruh-pengaruh kebencian terhadap orang lain. Walau pun Ki Sudireja selalu memberi pesan agar seorang laki-laki harus bertindak ksatria, jujur dan perwira, namun Ki Sudireja selalu mengajarkan untuk balas-dendam. Selama kecil tak ada orang yang memanjakannya. Tidak pula oleh harta kekayaan.

Kata orang, Cutak Wirajaya cukup kaya dalam memimpin kecutakannya. Tapi ketika dia meninggal, hartanya habis digunakan perjuangan melawan orang-orang Pakuan. Tidak ada kehidupan remaja pada pemuda ini, sebab suasana perjuangan tidak pernah memberinya kesempatan. Bercakap-cakap dengan wanita boleh dikata tak pernah terjadi. Selama hidupnya, Pragola hanya ikut kesana-kemari bersama Ki Sudireja yang melakukan pengembaraan sambil main sembunyi karena selalu dikejar orang-orang Pakuan.

Itulah sebabnya, ketika datang undangan dari seorang wanita, Pragola begitu tertarik hatinya. Karena rasa ketertarikan inilah dia akan mentaati anjuran wanita itu, yaitu datang memenuhi undangan tanpa mengabarkan peristiwa ini kepada siapa pun termasuk Banyak Angga.

Sore hari seperti apa yang dijanjikan, Pragola pergi menuju puri Layang Kingkin. Kata orang, puri besar dengan bangunan-bangunan megah itu dulunya bernama puri Bagus Seta sebab pemiliknya adalah Bangsawan Bagus Seta. Pada peristiwa besar tiga belas tahun silam, bangsawan ini diisukan terlibat persekongkolan pemberontak. Namun bangsawan ini lolos dari pemeriksaan apalagi tindakan. Barangkali karena tidak terbukti, atau barangkali karena segan. Bangsawan Bagus Seta adalah besan penguasa Pakuan ketika itu, yaitu Prabu Ratu Sakti.

Pengetahuan ini didapat Pragola hanya beberapa saat sebelum pemuda itu pergi. Karena ingin tahu siapa dan apa latar belakang wanita itu, maka Pragola menyempatkan diri mengobrol dengan seorang gulang-gulang yang ada di kesatrian. Tidak semua yang menyangkut wanita itu diceritakan sebab gulang-gulang yang umurnya cukup tua itu pun tak begitu mengenal Nyi Mas Layang Kingkin secara rinci.

“Tapi sebaiknya engkau tidak terlalu dekat-dekat sana,” tutur gulang-gulang yang diperkirakan berusia lima puluh tahun itu.

“Mengapa, Paman…?”

“Entahlah, sejak peristiwa pemberontakan Kandagalante Sunda Sembawa tiga belas tahun silam, keluarga itu sedikit diasingkan kaum bangsawan lainnya. menurut khabar yang aku terima, dulu anata para pejabat istana dengna Kangjeng Prabu Ratu Sakti pernah terjadi percekcokan karena urusan wanita yang kini mengaku sebagai ibu suri itu,” kata gulang-gulang tua.

“Paman maksudkan, wanita anggun itu bukan benar-benar ibu suri?” Pragola mengerutkan dahinya.

“Bukan. Nyi Mas Layang Kingkin sebetulnya hanyalah seorang selir terkasih. Walau pun usianya paling muda di antara para selir, namun kekuasaannya melebihi yang lainnya, bahkan hampir menyaingi permesuri sendiri. Apalagi setelah permesuri pun wafat mengikuti Kangjeng Prabu, Nyi Mas Layang Kingkin semakin berkuasa juga. Dia hampir-hampir bertindak sebagai ibu suri, serta pengaruhnya terhadap Sang Prabu Nilakendra hampir merasuk kalau saja para pejabat yang lainnya tidak menghalanginya,” tutur sang gulang-gulang.

“Mengapa? Begitu burukkah perangai Nyi Mas Layang Kingkin, sehingga pejabat lainnya perlu membatasinya?” tanya Pragola.

“Entahlah. Tapi begitulah adanya…” jawab gulang-gulang lagi.

“Paman, Nyi Mas Layang Kingkin belum tentu mempunyai keperluan khusus kepada saya. Barangkali dia ingin mengenal siapa saya. Namun kendati begitu, harap Paman membantu saya untuk tidak mengabarkan hal ini kepada siapa pun. Saya tak ingin majikan saya tahu,” kata Pragola menatap gulang-gulang itu.

Yang ditatap hanya melamun, sepertinya merasa keberatan Pragola mengajukan permohonan ini.

“Saya bisa menduga, majikan saya akan tak senang bila mendengar saya memasuki puri Layang Kingkin. Tapi saya hanyalah orang kecil bila dibandingkan dengan Nyi Mas layang Kingkin. Saya di Pakuan ini hanyalah pengabdi, harus mentaati siapa pun, termasuk juga kepada Nyi Mas Layang Kingkin,” tutur Pragola.

Gulang-gulang masih merenung, namun pada akhirnya dia mengangguk juga. “Baiklah. Tapi sekali lagi, hati-hatilah,” tuturnya.

Dan Pragola jadi juga memasuki puri itu. Mulanya disambut oleh pengawal yang demikian ketat menjaga kompleks puri itu. Namun belakangan, sesudah ada pengawal yang mengenalnya, Pragola segera diizinkan memasuki kompleks puri. Memasuki halaman yang luas dan asri karena di sana banyak koleksi tanaman-tanaman hias, Pragola tetap mendapatkan pengawalan.

Pemuda itu tidak tahu, apakah memang begitu biasanya, bahwa ibu suri selalu mendapatkan pengawalan ketat setingkat raja, ataukah ini hanya keinginan Nyi Mas Layang Kingkin sendiri karena sadar dirinya kurang disukai. Yang jelas, ketika Pragola memasuki paseban, di sana sudah terdapat Nyi Mas Layang Kingkin. Dia duduk bersimpuh dengan anggunnya karena rambutnya yang halus hitam, nampak berombak menuruni punggungnya.

Kini wanita cantik itu sudah mengenakan kebaya yang berbeda dengan yang dikenakan tadi pagi. Jenis kainnya masih sama terbuat dari satin halus, tapi yang ini buatan negri Cina. Warnanya kuning jingga, juga dengan ornamen dan kelim yang dihiasi warna emas di setiap sisi-sisinya. Kulit wajahnya nampak putih bersih. Bukan perbawa pupur (bedak) atau pun sebangsa polesan lainnya, namun memang karena kulit wajah itu yang putih halus. Tak terdapat bintik setitik, sepertinya nyamuk pun segan menyapanya.

Berdegup jantung Pragola ketika tiba-tiba dia sadar bahwa Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya tengah tersenyum menertawai karena dia ternganga-nganga melihat purnama di wajahnya. Pemuda itu segera menundukkan kepala dengan kulit wajah serasa merah padam saking malunya.

“Duduklah anak muda…” desis wanita itu merdu dan menyengat jantung.

Pragola segera duduk bersila di bangsal berlantai kayu jati halus itu. Jaraknya ada sekitar tiga tindak dari Nyi Mas Layang Kingkin yang tetap menatapnya dengan senyum dikulum.

Sebetulnya di sana banyak orang lain. Di luar bangsal Pragola menghitung pengawal ada sekitar enam orang dengan tameng logam di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Di samping itu, duduk bersimpuh di belakang Nyi Mas Layang Kingkin empat orang dayang. Para dayang itu berpakaian indah-indah dan berusia muda-muda. Wajahnya pun nampak cantik-cantik, sehingga bila Pragola disuruh memilih, dia tentu akan bingung musti memilih siapa.

Sesudah Pragola duduk bersila, Nyi Mas Layang Kingkin bertepuk tiga kali. Demi mendengar aba-aba itu, baik para dayang mau pun para pengawal, serentak mengundurkan diri dari paseban. Tidak terlalu jauh, tapi cukup untuk tidak bisa menyimak bila yang berada di bangsal tengah melakukan percakapan.

Pragola kembali jantungnya berdegup. Dia menduga, ini adalah pertemuan penting, paling tidak untuk Nyi Mas Layang Kingkin. Kalau tak begitu, mengapa orang lain musti pergi? Ini hanya menandakan bahwa obrolan mereka tidak boleh didengar oleh siapa pun.

“Sudah berapa lama engkau mengabdi kepada Banyak Angga, anak muda?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin dengan senyum tetap tersungging.

“Hampir tiga tahun, Juragan…” jawab Pragola hormat sekali sambil tak kuasa untuk balik memandang.

“Hm… sudah cukup lama, akan tetapi aku satu kali pun belum pernah bertemu denganmu, anak muda…” tutur lagi Nyi Mas Layang Kingkin.

Ya, mengapa tak pernah bertemu satu kali pun? Mengapa pula Pragola tak pernah tahu akan Nyi Mas Layang Kingkin, ibu suri istana? Pragola termenung sejenak. Memang tak pernah ada yang membicarakan perihal keberadaan ibu suri, tidak pula Banyak Angga yang selama hampir tiga tahun menjadi “majikan”nya.

“Saya terlalu disibukkan oleh tugas-tugas rutin, Juragan. Baru-baru ini saya pun habis pulang dari pertempuran di wilayah barat perbatasan Cisadane. Tentu saja tak ada waktu untuk…”

“Untuk apa, anak muda?”

“Misalnya untuk jalan-jalan ke puri ini…” jawab Pragola sekenanya.

Terdengar tawa merdu keluar dari mulut mungil wanita anggun ini, membuat debar jantung Pragola kian kencang.

“Kau sangka puri ini semacam taman, ya? Sedangkan untuk masuk ke Taman Mila Kancana yang memang tempatnya untuk jalan-jalan engkau belum tentu mendapatkan izin,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin dengan bunyi suara seperti dikulum.

Pragola tersipu dibuatnya. Pernyataan tadi tentu amat menyinggung perasaan Nyi Mas Layang Kingkin kalau saja wanita ini orang pemarah. Namun nampaknya perangai wanita anggun berbulu mata lentik ini tak seburuk yang disangka orang. Dia begitu manis budi bahasanya. Dalam keadaan marah pun tetap mengulum senyum sehingga siapa pun akan betah dimarahi olehnya.

“Saya terlalu sembrono bicara, Juragan…” tutur Pragola menundukkan kepala.

“Sebutlah aku Nyi Mas saja…” kata Nyi Mas Layang lembut.

Pragola menatapnya sejenak, “Saya tak berani, Juragan…”

“Kalau aku yang menyuruh, mengapa tak berani? Sudah terbiasakah engkau membantah perintah yang lebih atas?” Nyi Mas Layang Kingkin menatap tajam.

“Sama sekali saya tak berani…”

“Masih tetap tak mau mentaati?”

“Maksud saya tak berani membantah setiap atasan…”

“Sebutlah aku Nyi Mas!”

“Baik Nyi Mas…”

“Nyi Mas Layang Kingkin!”

“Nyi Mas Layang Kingkin, Juragan!”

“Huss!!!”

“Oh, ya Nyi Mas Layang Kingkin…”

Dan terdengar tawa merdu dari mulut merah merekah itu. Begitu bebasnya tawa Nyi Mas Layang Kingkin sehingga dia tak perlu menutupi mulutnya. Padahal setahu Pragola, setiap wanita di Pajajaran tak berani tertawa bebas. Kalau pun ada yang tak bisa menahan untuk tertawa, biasanya selalu menutupi mulut dengan punggung tangannya agar mulut tak bebas dilihat orang.

Namun hati pemuda itu tidak ada keinginan untuk menegur perilaku wanita itu. Nyi Mas Layang Kingkin terlalu anggun, terlalu cantik dan setiap tindak-tanduknya mengandung pesona. Betapa merdu tawa bebasnya, betapa renyah desah napasnya. Bibirnya itu yang merah merekah, gigi-giginya itu yang putih bak mutiara berbaris…oh, hai, segalanya mengundang degup, membuat debar bertambah kencang!

“Hai, kerjamu menganga saja anak muda. Bisa-bisa ada lalat memasuki lubang mulutmu!” celoteh Nyi Mas Layang Kingkin membuat Pragola tersipu.

“Engkau ini orang serius tapi membuat yang melihatmu merasa geli karena lucu,” kata Nyi Mas Layang Kingkin.

Mereka keduanya saling berpandangan sejenak. Wanita anggun itu kian menantang namun Pragola menunduk kalah. Sejenak mereka diam, sepertinya kehabisan pembicaraan. Namun ini merupakan kesempatan untuk berpikir, sebetulnya apa maksud undangan wanita anggun ini? Rasanya sudah cukup lama mereka saling mengobrol, namun Nyi Mas Layang Kingkin belum juga mengutarakan maksud undangannya ini.

Hanya sekedar ingin bersenda-gurau kepada seorang prajurit rendahan seperti dia? Hanya akan membuat diri Nyi Mas Layang Kingkin terhina saja. Kalau barusan wanita mengajaknya bercanda, itu barangkali karena sifat-sifat Nyi Mas Layang Kingkin yang periang dan senang bergurau saja. Jadi bukan maksudnya mengundang Pragola hanya untuk bercanda.

Pragola ingin sekali bertanya perihal maksud undangannya ini. Namun dia tak berani mengemukakannya. Dia takut menyinggung perasaan wanita itu, sepertinya Pragola tak senang melihat Nyi Mas Layang Kingkin bercanda. Tapi Nyi Mas Layang Kingkin rupanya bisa menduga hal ini. Buktinya dia mulai berkata dengan sungguh-sungguh.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment