“Sudah aku katakan tadi pagi bahwa melihatmu tinggal di puri Yogascitra, mengingatkanku pada pembantu Banyak Angga. Kalau perjalanan waktu dikembalikan ke masa tiga belas tahun silam, tentu engkau akan heran sebab ada seorang pemuda yang wajahnya mirip engkau. Pemuda itu berwajah bulat telur, sepasang mata berbinar bundar. Kalau melirik matanya berkilat tajam. Hanya bedanya, pemuda tiga belas tahun silam itu terkesan bodoh walau kadang-kadang terkesan aneh dan macam-macam,” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Saya bisa menduganya, tentu pemuda itu bernama Ginggi,” potong Pragola dengan nada datar.
“Betul sekali. Tapi dari mana kau tahu?”
Pragola hanya menunduk.
“Tapi kepada pemuda itu aku tak senang. Aku bahkan sedikit membencinya…” gumam Nyi Mas Layang Kingkin seperti menyesal karena percakapan perihal ini.
Pragola mengerutkan dahi. Semua orang di Pakuan seperti mendewa-dewakan lelaki bernama Ginggi ini bila menyimak lakon kegagahan para ksatria Pajajaran yang biasa dilantunkan para kaum prepantun. Adalah sesuatu hal yang aneh bila ada orang Pakuan yang tidak senang kepadanya. Nyi Mas Layang Kingkin, mengapa musti tidak menyukai Ksatria Ginggi? Bukankah pemberontakan yang dilakukan oleh Sunda Sembawa pada tiga belas tahun silam sempat digagalkan oleh ksatria itu? Bukankah tindakan-tindakan Ksatria Ginggi waktu itu telah menyelamatkan keberadaan suaminya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti?
“Tentu saja engkau tak sependapat denganku sebab engkau adalah orang dari puri Yogascitra, sedangkan lelaki bernama Ginggi selalu menjadi kebanggaan mereka,” tutur Nyi Mas layang Kingkin.
Pragola sebetulnya ingin mengatakan bahwa dirinya pun tidak menyenangi orang itu. Ingin pula dia katakan bahwa dirinya sebenarnya bukan dari kelompok puri Yogascitra. Tapi tentu saja dia tak berani mengabarkannya mengingat hal ini adalah rahasia bagi orang Pakuan. Sejauh apa pun Pragola menyukai wanita anggun ini, tokh kenyataanya Nyi Mas Layang Kingkin adalah orang Pakuan dan tentu merupakan musuhnya pula.
“Saya hanyalah pengabdi kecil. Tentu saja harus setia kepada seorang majikan yang telah memberinya kesejahteraan,” tutur Pragola setelah merenung sejenak.
“Kalau ada orang lain yang memberi kesejahteraan jauh lebih baik dan terhormat, maukah engkau bersetia kepada orang itu?” tanya Nyi Mas layang Kingkin tiba-tiba.
Pragola kembali merenung. Wanita cantik ini selalu menyodorkan teka-teki padanya. Tetapi ini adalah sesuatu yang menarik buatnya. Nyi Mas Layang Kingkin sudah tahu Pragola “anak buah” Banyak Angga. Tapi mengapa sepertinya dia mau menarik dirinya dari sana? Ini hanya menandakan bahwa di antara keluarga Yogascitra dengan Nyi Mas Layang Kingkin ada permasalahan. Masalah apa, Pragola tak tahu. Tapi dia ingin mengetahuinya. Itulah sebabnya, dalam waktu singkat dia memutuskan untuk menerima undangan kedua dari wanita berwajah manis ini. Dia mengangguk perlahan ketika Nyi Mas Layang Kingkin menatap seolah penuh harap.
“Tapi ingat, kali ini hanya aku seorang yang tahu akan kehadiranmu di puriku,” gumam wanita itu.
Kembali Pragola mengangguk tanda mengerti apa maksud Nyi Mas Layang Kingkin. Besok malamnya pemuda itu memenuhi janjinya untuk datang ke puri Layang Kingkin. Sudah barang tentu, kali ini dia harus datang sambil main sembunyi. Nyi Mas Layang Kingkin yang menginginkannya demikian. Inilah yang membuat Pragola tertarik untuk memenuhi undangan tersebut. Wanita itu ingin melakukan pertemuan rahasia. Tentu apa yang akan disampaikan kepadanya pun bersifat rahasia. Tentang apa, Pragola belum tahu.
Ke mana Pragola harus, tentu bukan ke paseban seperti undangan kemarin sore. Paseban hanyalah tempat pertemuan terbuka, tidak baik digunakan sebagai tempat pembicaraan rahasia.
Pragola harus menuju kompleks bagian belakang dari puri ini. Tempat wanita bersunyi diri biasanya di sebuah taman. Dan taman biasanya dibuat di kompleks bagian belakang, maksudnya agar bebas dari gangguan dan pandangan orang. Pragola harus mencari taman puri, sebab dia menduga Nyi Mas Layang Kingkin menunggu disana.
Dan benar perkiraannya. Wanita cantik itu ditemukan di sebuah taman yang sunyi tapi mempunyai panorama indah. Taman itu dipenuhi tanaman hias. Dibeberapa tempat ada beberapa pohon-pohon rimbun, namun didepan pohon itu di pasang lentera dengan warna cahaya temaram. Beberapa lentera seperti sengaja dikecilkan apinya sehingga cahayanya demikian temaram, hampir remang-remang. Lentera yang apinya lemah terdapat di seputar sebuah danau yang kecil yang berdiri di tepi kolam.
Ada sebuah bayangan hitam di dalam danau. Tapi Pragola tahu, itulah tubuh Nyi Mas Layang Kingkin. Wanita itu tengah duduk bersimpuh menghadap kolam. Sepertinya dia tengah merenung sebab tubuhnya tak bergerak barang sedikit. Udaranya terasa dingin, apa lagi ada angin semilir lewat di taman. Namun sungguh heran, disaat udara demikian dingin, Nyi Mas Layang Kingkin seperti memakai pakaian tipis terbuat dari kain sutra. Ini nampak dari kibaran selendang yang tertiup angin. Ketika selendang itu berkibar, nampak lekuk relung pinggang wanita itu, samar-samar dalam keremangan lentera. Sunyi sekali di sana, memungkinkan Pragola untuk memasukinya tanpa khawatir diketahui orang lain.
“Nyi Mas, saya datang…“ gumam Pragola sedikit bergetar.
Bagaimana tidak begiru, sebab kendati dalam remang, mata pemuda itu sanggup memandang tubuh indah wanita itu. Benar, Nyi Mas Layang Kingkin hanya menggunakan pakaian tipis yang ketat mencetak lekuk-lekuk tubuhnya. Kain sutra tipis yang barangkali hanya digunakan untuk tidur saja. Mengapa Nyi Mas Layang Kingkin menggunakan pakaian serba tipis padahal tahu akan kedatangan tamu, pria lagi? Atau barangkali Pragola datang terlalu telat sehingga wanita itu memutuskan untuk tidur saja? Entahlah, Pragola tidak bisa memahaminya.
“Saya bisa menduganya, tentu pemuda itu bernama Ginggi,” potong Pragola dengan nada datar.
“Betul sekali. Tapi dari mana kau tahu?”
Pragola hanya menunduk.
“Tapi kepada pemuda itu aku tak senang. Aku bahkan sedikit membencinya…” gumam Nyi Mas Layang Kingkin seperti menyesal karena percakapan perihal ini.
Pragola mengerutkan dahi. Semua orang di Pakuan seperti mendewa-dewakan lelaki bernama Ginggi ini bila menyimak lakon kegagahan para ksatria Pajajaran yang biasa dilantunkan para kaum prepantun. Adalah sesuatu hal yang aneh bila ada orang Pakuan yang tidak senang kepadanya. Nyi Mas Layang Kingkin, mengapa musti tidak menyukai Ksatria Ginggi? Bukankah pemberontakan yang dilakukan oleh Sunda Sembawa pada tiga belas tahun silam sempat digagalkan oleh ksatria itu? Bukankah tindakan-tindakan Ksatria Ginggi waktu itu telah menyelamatkan keberadaan suaminya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti?
“Tentu saja engkau tak sependapat denganku sebab engkau adalah orang dari puri Yogascitra, sedangkan lelaki bernama Ginggi selalu menjadi kebanggaan mereka,” tutur Nyi Mas layang Kingkin.
Pragola sebetulnya ingin mengatakan bahwa dirinya pun tidak menyenangi orang itu. Ingin pula dia katakan bahwa dirinya sebenarnya bukan dari kelompok puri Yogascitra. Tapi tentu saja dia tak berani mengabarkannya mengingat hal ini adalah rahasia bagi orang Pakuan. Sejauh apa pun Pragola menyukai wanita anggun ini, tokh kenyataanya Nyi Mas Layang Kingkin adalah orang Pakuan dan tentu merupakan musuhnya pula.
“Saya hanyalah pengabdi kecil. Tentu saja harus setia kepada seorang majikan yang telah memberinya kesejahteraan,” tutur Pragola setelah merenung sejenak.
“Kalau ada orang lain yang memberi kesejahteraan jauh lebih baik dan terhormat, maukah engkau bersetia kepada orang itu?” tanya Nyi Mas layang Kingkin tiba-tiba.
Pragola kembali merenung. Wanita cantik ini selalu menyodorkan teka-teki padanya. Tetapi ini adalah sesuatu yang menarik buatnya. Nyi Mas Layang Kingkin sudah tahu Pragola “anak buah” Banyak Angga. Tapi mengapa sepertinya dia mau menarik dirinya dari sana? Ini hanya menandakan bahwa di antara keluarga Yogascitra dengan Nyi Mas Layang Kingkin ada permasalahan. Masalah apa, Pragola tak tahu. Tapi dia ingin mengetahuinya. Itulah sebabnya, dalam waktu singkat dia memutuskan untuk menerima undangan kedua dari wanita berwajah manis ini. Dia mengangguk perlahan ketika Nyi Mas Layang Kingkin menatap seolah penuh harap.
“Tapi ingat, kali ini hanya aku seorang yang tahu akan kehadiranmu di puriku,” gumam wanita itu.
Kembali Pragola mengangguk tanda mengerti apa maksud Nyi Mas Layang Kingkin. Besok malamnya pemuda itu memenuhi janjinya untuk datang ke puri Layang Kingkin. Sudah barang tentu, kali ini dia harus datang sambil main sembunyi. Nyi Mas Layang Kingkin yang menginginkannya demikian. Inilah yang membuat Pragola tertarik untuk memenuhi undangan tersebut. Wanita itu ingin melakukan pertemuan rahasia. Tentu apa yang akan disampaikan kepadanya pun bersifat rahasia. Tentang apa, Pragola belum tahu.
Ke mana Pragola harus, tentu bukan ke paseban seperti undangan kemarin sore. Paseban hanyalah tempat pertemuan terbuka, tidak baik digunakan sebagai tempat pembicaraan rahasia.
Pragola harus menuju kompleks bagian belakang dari puri ini. Tempat wanita bersunyi diri biasanya di sebuah taman. Dan taman biasanya dibuat di kompleks bagian belakang, maksudnya agar bebas dari gangguan dan pandangan orang. Pragola harus mencari taman puri, sebab dia menduga Nyi Mas Layang Kingkin menunggu disana.
Dan benar perkiraannya. Wanita cantik itu ditemukan di sebuah taman yang sunyi tapi mempunyai panorama indah. Taman itu dipenuhi tanaman hias. Dibeberapa tempat ada beberapa pohon-pohon rimbun, namun didepan pohon itu di pasang lentera dengan warna cahaya temaram. Beberapa lentera seperti sengaja dikecilkan apinya sehingga cahayanya demikian temaram, hampir remang-remang. Lentera yang apinya lemah terdapat di seputar sebuah danau yang kecil yang berdiri di tepi kolam.
Ada sebuah bayangan hitam di dalam danau. Tapi Pragola tahu, itulah tubuh Nyi Mas Layang Kingkin. Wanita itu tengah duduk bersimpuh menghadap kolam. Sepertinya dia tengah merenung sebab tubuhnya tak bergerak barang sedikit. Udaranya terasa dingin, apa lagi ada angin semilir lewat di taman. Namun sungguh heran, disaat udara demikian dingin, Nyi Mas Layang Kingkin seperti memakai pakaian tipis terbuat dari kain sutra. Ini nampak dari kibaran selendang yang tertiup angin. Ketika selendang itu berkibar, nampak lekuk relung pinggang wanita itu, samar-samar dalam keremangan lentera. Sunyi sekali di sana, memungkinkan Pragola untuk memasukinya tanpa khawatir diketahui orang lain.
“Nyi Mas, saya datang…“ gumam Pragola sedikit bergetar.
Bagaimana tidak begiru, sebab kendati dalam remang, mata pemuda itu sanggup memandang tubuh indah wanita itu. Benar, Nyi Mas Layang Kingkin hanya menggunakan pakaian tipis yang ketat mencetak lekuk-lekuk tubuhnya. Kain sutra tipis yang barangkali hanya digunakan untuk tidur saja. Mengapa Nyi Mas Layang Kingkin menggunakan pakaian serba tipis padahal tahu akan kedatangan tamu, pria lagi? Atau barangkali Pragola datang terlalu telat sehingga wanita itu memutuskan untuk tidur saja? Entahlah, Pragola tidak bisa memahaminya.
Pragola masih berdiri di luar danau, sedang Nyi Mas Layang Kingkin masih duduk membelakanginya. Ada semilir angin lewat kembali di sana dan pakaian tipis itu berkibar lagi. Kali ini sang angin bahkan sanggup menerpa rambut panjang tergerai dari wanita anggun itu. Pragola berdebar dadanya sebab betapa indahnya pemandangan disana. Di balik cahaya temarang, seorang wanita bertubuh molek tengah duduk melamun dengan pandangan tertuju ke permukaan kolam.
“Kau lihatlah Pragola, di kolam ada beberapa ikan berenang kian kemari…” kata Nyi Mas Layang Kingkin tanpa menoleh ke belakang.
“Saya tak bisa menyaksikannya, Nyi Mas…” jawab Pragola masih berdiri di belakang wanita itu.
“Tentu saja, melihat dari kejauhan tak akan menghasilkan pandangan yang benar. Kalau pun bisa terlihat, hanyalah samar-samar belaka dan belum tentu menemukan sesuatu yang hakiki,“ tutur Nyi Mas Layang Kingkin penuh arti.”
Pragola masih tertegun.
“Mari duduk disampingku agar bisa menyaksikan isi kolam yang sebenarnya…” ajak Nyi Mas Layang Kingkin.
Pragola agak ragu-ragu. Namun pada akhirnya dia berani juga memasuki dangau mungil itu. Dengan hati-hati dia duduk bersila disamping wanita itu. Harum semerbak bunga-bungaan keluar dari tubuh semampai itu, membuat dada pemuda itu kian bergetar.
Pragola ikut mematung sambil mata memandang ke permukaan kolam. Hanya remang-remang saja. Namun benar seperti yang dikatakan Nyi Mas Layang Kingkin, di kolam ada serombongan ikan berenang kesana-kemari kendati hanya terlihat secara remang-remang saja.
“Coba lihatlah begitu banyak ikan berenang kesana-kemari,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin. “Tapi kau lihat pula, ada satu dua ekor ikan yang berenang memisahkan diri. Tak ada persatuan disana. Serombongan besar berenang kesana dan serombongan kecil berenang kemari. Yang satu tak ada artinya bagi yang lainnya. bila benar begitu, maka jumlah sebesar apapun yang ada di kolam tidak memiliki makna. Ikan yang hidup terpisah dari rombongan yang lebih besar akan tetap merasa kesunyian kendati di sekelilingnya banyak ikan…” kata Nyi Mas Layang Kingkin panjang lebar namun sepertinya bicara pada dirinya sendiri.
“Apakah anda merasa kesepian, Nyi Mas…?” Pragola tidak bisa menahan untuk mengajukan pertanyaan seperti itu.
Nyi Mas Layang Kingkin cepat menoleh ke samping seolah merasa kaget menerima pertanyaan pemuda itu. Dua wajah saling berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh. Pragola menatap raut muka wanita itu. Betapa matangnya wajah wanita ini, matang dan dewasa. Beda sekali dengan gadis-gadis yang Pragola lihat di tempat lain.
Kaum perawan bila berpapasan muka dengan lelaki asing tentu akan segera menunduk penuh malu, barangkali juga dengan rona merah di pipi. Namun wanita selir mendiang Prabu Ratu Sakti itu seolah begitu menantangnya ketika ditatap pemuda itu. Barangkali benar wanita dewasa yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan akan berani melawan tatapan laki-laki, atau barangkali juga karena kedudukannya sebagai selir Raja. Mengapa tidak berani menatap orang lain. Kendati pun yang ditatapnya laki-laki, namun hanyalah orang rendahan belaka. Yang tidak tahu diri sebenarnya dirinya itulah. Pragola hanya sekedar prajurit biasa, mengapa berani mati menatap seperti itu? Ingat kedudukannya yang rendah, Pragola segera menunduk bahkan duduknya pindah agak menjauh.
“Mengapa kau duduk menjauh?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin masih menatapnya.
“Saya tidak berani, Nyi Mas…” ujar Pragola.
Terdengar wanita itu merahuh pendek. “Semua orang memang menjauhiku. Dari mulai pejabat hingga prajurit sepertimu….” Keluhnya.
Pragola terkejut mendengar keluhan ini, sehingga tanpa dia sadari duduknya kembali berpindah, bahkan kini lebih dekat lagi ke tubuh Nyi Mas Layang Kingkin.
Wanita itu menatap sambil mulut tersenyum manis. Ada desah napas yang menerpa wajah pemuda itu, hangat dan harum. Namun senyum tipis Nyi Mas Layang Kingkin hanya datang sejenak, sebab sejenak kemudian sudah berganti menjadi kabut kelabu.
“Aku hidup di istana tapi sebatangkara. Rasanya hanya Sang Prabu Ratu Sakti saja yang menyayangiku. Setelah itu tak ada kasih lagi yang menerpa diriku. Semuanya menjadi jauh, barangkali mereka juga tidak menyukaiku…” gumamnya.
“Bukankah anda ibu suri di sini…?”
“Hmm… ibu suri. Aku hanyalah selir dari seorang raja yang kini telah tiada,” gumamnya lagi.
“Kata orang, anda amat berpengaruh di sini,” kata Pragola.
“Hanya karena aku mencoba memberikan beberapa anjuran, maka orang mengatakan aku ingin menanamkan pengaruh. Lantas mereka mencoba membatasiku. Aku disuruhnya beristirahat, bersenang-senang atau kesibukan apa saja yang sekiranya jauh dari kesibukan istana. Tapi aku tahu, sebenarnya mereka memisahkanku dari kegiatan negara…” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Wanita seanggun anda sebaiknya bersenang-senang di puri indah, atau di Taman Mila Kancana dan tak perlu bersusah-susah ikut memikirkan negara…” sahut Pragola sekenanya saja.
“Kalau orang sudah mulai mengerti urusan kenegaraan, maka tisak bisa tidak akan ikut memikirkannya,” jawab Nyi Mas Layang Kingkin.
“Anda ikut memikirkan negara?”
Nyi Mas Layang Kingkin mengangguk. “Ya, apalagi bila negara dalam keadaan kacau,” jawabnya.
“Dalam keadaan kacau?” Pragola pura-pura terkejut.
“Jangan berpura-pura. Kalau engkau telah dekat dengan Banyak Angga tentu engkau pun tahu apa yang tengah mereka kerjakan!”
“Mengerjakan apa?”
“Hm! Wajah tampanmu tidak punya bakat untuk berbohong. Jangn kira aku bodoh untuk mengetahui rencana-rencana puri Yogascitra!” dengus Nyi Mas Layang Kingkin membuat wajah Pragola memerah karena malu.
“Kalau engkau mau ikut denganku, engkau tak usah ikut melakukan perjalanan ke wilayah timur yang lusa akan kalian tempuh itu!” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
Pragola terkejut, dari mana wanita itu tahu, padahal rencana ke wilayah timur hanya diketahui oleh keluarga Yogascitra saja. Kalau pun ada pihak lain yang tahu, paling hanya Pangeran Yudakara saja. Itu pun karena dilapori oleh Pragola sendiri.
“Saya belum paham, mengapa Nyi Mas menawari saya untuk bergabung di puri ini…?” kata Pragola penasaran.
“Katamu, kau perlu mengabdi kepada orang yang memberimu kesejahteraan yang lebih dan aku butuh pembantu. Mengapa engkau tidak tinggal saja di puriku?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin.
“Itu artinya mengkhianati orang yang pertama memberi saya kesejahteraan,” jawab Pragola.
“Engkau hanya bisa disebut pengkhianat bila pengkhianatan itu diketahui mereka. Kalau mereka tak merasakannya maka engkau pun akan tetap menjadi seseorang yang dihargai oleh siapa saja. Lagi pula engkau harus ingat, tak selamanya sebuah tindakan memisahkan diri atau penolakan sesuatu disebut mengkhianati. Kalau engkau berpaling dari perintah-perintah Yogascitra belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bahkan mungkin sebaliknya, engkau akan berjasa mengurangi berbagai kemelut dan kekacauan,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
Berdebar dada pemuda ini. Semakin dalam melakukan pembicaraan dengan wanita ini, maka semakin terkuak keberadaanya. Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan bahwa wanita ini berbahaya, sebab Nyi Mas Layang Kingkin pun berpikir dan bekerja untuk kepentingan politik juga. Tapi berbahaya untuk siapa? Sudah barang tentu, Pragola sendiri tidak merasakan adanya bahaya, paling tidak untuk kepentingan dirinya.
Menyimak pendapat Nyi Mas Layang Kingkin, sepertinya wanita ini tidak menyukai rencana-rencana Pangeran Yogascitra. Kalau benar begitu, maka antara Pragola dan Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya “sehaluan”. Namun untuk lebih menegaskan apa dan bagaimana keberadaan wanita ini, sebaiknya dirinya harus terus berupaya mengorek pendapat dan pendirian Nyi Mas Layang Kingkin.
“Saya belum mengerti apa yang dimaksud oleh Nyi Mas,” kata Pragola mencoba mengorek tujuan-tujuan wanita itu.
“Aku tahu, Yogascitra tengah menghimpun sebuah kekuatan militer. Dia berpendapat bahwa keberadaan Pakuan bisa dikembalikan dengan kekuatan militer. Tapi pejabat ini tidak ingat, bahwa rencana sebaik apa pun tanpa Raja berkenan menyetujuinya, maka tidak akan menghasilkan kebaikan. Sang Prabu Nilakendra bahkan tidak senang Pakuan mencari kekuatan militer,” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Dan menurut Nyi Mas, bagaimana sebaiknya?”
“Aku setuju dengan pendapat Sang Prabu, Pakuan tidak perlu militer,”
“Mengapa?”
“Sang Prabu Nilakendra pencinta damai. Ibarat harimau yang punya taring, maka sang harimau selalu ingin mencoba tajamnya taring dalam dalam melakukan sesuatu. Sedang yang namanya melakukan sesuatu bagi yang memiliki senjata adalah melakukan pembunuhan. Tapi kau lihatlah seekor siput. Dia tak punya senjata untuk membunuh, maka dia tak berniat untuk melakukan pembunuhan. Asalkan dia punya pertahanan, maka keselamatan pun akan terjamin. Begitu pun yang dipikirkan Sang Prabu Nilakendra. Pertahanan yang baik bukanlah senjata, melainkan adalah sabar dan tak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sang Prabu bahkan lebih menitik beratkan pertahanan dalam kehidupan keagamaan. Sebab menurut Raja, lebih memperdalam kehidupan keagamaan merupakan jalan menuju keselamatan,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin lagi.
Pragola termenung mendengar penjelasan wanita ini. Sekarang semakin terbuka siapa Nyi Mas Layang Kingkin ini. Dia tentu kelompok yang setuju dengan kebijaksanaan Raja. Nyi Mas Layang Kingkin adalah lawan dari Pangeran Yogascitra. Sekarang Pragola harus tahu, apa maksud wanita ini menarik dirinya ke dalam kelompoknya.
“Apa kepentingan anda dan apa pula keuntungan anda bila menarik saya ke puri ini, Nyi Mas?” tanya Pragola secara langsung.
“Aku perlu memiliki mata-mata dan aku pun perlu orang yang bisa bergerak menggagalkan setiap rencana-rencana Yogascitra,” jawab Nyi Mas Layang Kingkin. ”Engkau cocok untuk melakukan misi ini sebab engkau telah dianggap orang-orang Yogascitra,” lanjut wanita ini.
“Bagaimana anda yakin saya mampu melakukan apa yang diinginkan olehmu, Nyi Mas…?”
“Kalau Banyak Angga menggunakanmu, tak nanti dia menyangsikan kemampuanmu,” kata Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum.
Pragola terdiam. Banyak Angga sebetulnya belum tahu sejauh mana kemampuan pemuda ini. Kalaulah Pragola langsung dipercaya oleh keluarga Yogascitra, itu karena mereka tidak menyangsikan kepada apa yang dikatakan Pangeran Yudakara. Pangeran itu “mengirim” kan Pragola ke puri Yogascitra dan mengatakan bahwa selain pemuda ini memiliki cukup kepandaian, Pragola pun merupakan orang yang amat “berguna” bagi Pakuan. Sekarang Nyi Mas Layang Kingkin telah mempercayainya juga hanya karena Banyak Angga seperti memerlukannya.
“Bagaimana anda yakin bahwa saya akan memenuhi keinginanmu, Nyi Mas?” tanya Pragola selanjutnya.
Sebagai jawaban dari wanita ini hanyalah senyum manis yang membuat dada pemuda itu kembali bergetar.
“Jawabannya sudah ada di dalam hatimu sendiri, anak muda,”
Pragola sedikit terkejut. Nyi Mas Layang Kingkin begitu menduga dengan pasti bahwa dirinya akan mau melayani permintaannya. Dari mana wanita ini mendapatkan keyakinannya, padahal pemuda ini bisa saja menolak permintaan dengan alasan ingin melakukan kesetiaan hanya pada keluarga Yogascitra saja.
Pemuda itu sendiri sebetulnya sudah memastikan bahwa dirinya menerima penawaran wanita itu karena beberapa pertimbangan. Tujuan datang kemari bukanlah ingin mengabdi kepada orang-orang Pakuan, melainkan akan melakukan penyelidikan seperti apa yang diperintahkan Pangeran Yudakara. Siapa pun yang ada di Pakuan tentu harus dia selidiki, termasuk pula Nyi Mas Layang Kingkin.
Antara informasi dan kenyataan yang ada mengenai keberadaan wanita ini benar-benar sesuai. Bahwa wanita ini hidup terasing di istana, memang diakui sendiri oleh Nyi Mas Layang Kingkin. Belakangan informasi datang, bahwa wanita ini tidak setuju kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan Pangeran Yogascitra. Wanita ini akan memperalat dirinya agar menggagalkan usaha-usaha Pangeran Yogascitra dalam memperkuat militer.
Pragola tentu akan sanggup, sebab ini pulalah yang menjadi misi Pangeran Yudakara. Keduanya punya misi sama, sekali pun punya tujuan berbeda. Nyi Mas Layang Kingkin menolak kebijaksanaan Pangeran Yogascitra karena sependapat dengan kebijaksanaan Raja. Sedangkan Pangeran Yudakara mencoba menghalangi usaha Pangeran Yogascitra karena menghendaki Pakuan semakin melemah sehingga memudahkan pasukan Cirebon dalam melakukan penyerbuan ke pusat pemerintahan Pajajaran itu.
Pragola sebetulnya tidak perlu ikut bergabung dengan Nyi Mas Layang Kingkin sebab sudah mengemban misi yang sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara. Namun entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat dirinya ingin tetap berhubungan dengan janda mendiang Sang Prabu Ratu Sakti ini.
Wanita cantik ini kaya, pernah menjadi orang penting, namun seperti hidup penuh kesunyian. Sunyi karena diasingkan oleh kalangan istana. Dia diasingkan hanya karena dianggap ingin mempengaruhi Raja dalam meletakkan dasar-dasar kebijaksanaannya. Pragola kasihan dan sekaligus bersimpati. Hanya karena urusan perbedaan politik, maka wanita anggun ini diasingkan. Dia dijauhkan dari kegiatan kenegaraan. Kendati wanita ini di mana-mana dihormat, namun semuanya hanya penghormatan semu belaka.
“Lihatlah ada ikan yang berenang terpisah dari kelompok lainnya.
“Malam sudah larut. Saya harus kembali ke kesatriaan, Nyi Mas…” kata Pragola pada akhirnya.
Wanita itu menatap lama dengan wajah sedikit sayu, kemudian mengangguk perlahan. Dialah malah yang berjingkat duluan. Namun entah mengapa, mungkin karena lantai dangau yang licin karena kayunya halus mengkilap, tubuh wanita itu doyong ke depan dan hendak jatuh.
Pragola terkejut. Bila dibiarkan, maka tubuh Nyi Mas Layang Kingkin akan terjerembab ke permukaan kolam. Maka satu-satunya jalan agar tubuh wanita itu selamat, Pragola harus segera meraihnya. Pragola menghambur ke depan dan memeluk tubuh wanita ramping namun berisi padat itu. Nyi Mas Layang Kingkin hanya sebentar memekik halus, untuk kemudian memegang dan setengah memeluk tubuh pemuda itu. Sejenak mereka saling berpelukan. Namun Pragola lebih dahulu menyadarinya. Dengan serta-merta dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
“Maafkan saya telah melakukan hal yang tak senonoh,” tutur Pragola dengan suara parau bergetar karena menahan debar jantungnya.
“Tidak. Engkau adalah penolong yang baik. Kalau kau tak melindungiku, tentu aku sudah kecebur ke kolam. Sudah lama aku tak punya penolong selagi mendapatkan kesulitan…” kata wanita itu pelan dengan sedikit keluh.
“Saya mohon diri, Nyi Mas…” kata Pragola mundur dari tempat itu.
“Kapan engkau akan kembali lagi ke sini?” gumam Nyi Mas Layang Kingkin.
“Barangkali sesudah saya kembali dari wilayah timur, Nyi Mas…” kata Pragola ragu-ragu.
“Aku menunggu keberhasilan usahamu. Dan bila kau pulang membawa sukses, maka apa pun yang engkau inginkan dariku akan kuberikan…” tutur Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum manis.
Pragola tak berani memandang senyum itu. Dia segera berbalik dan meloncat ke atas benteng puri dengan amat cepatnya.
“Kau lihatlah Pragola, di kolam ada beberapa ikan berenang kian kemari…” kata Nyi Mas Layang Kingkin tanpa menoleh ke belakang.
“Saya tak bisa menyaksikannya, Nyi Mas…” jawab Pragola masih berdiri di belakang wanita itu.
“Tentu saja, melihat dari kejauhan tak akan menghasilkan pandangan yang benar. Kalau pun bisa terlihat, hanyalah samar-samar belaka dan belum tentu menemukan sesuatu yang hakiki,“ tutur Nyi Mas Layang Kingkin penuh arti.”
Pragola masih tertegun.
“Mari duduk disampingku agar bisa menyaksikan isi kolam yang sebenarnya…” ajak Nyi Mas Layang Kingkin.
Pragola agak ragu-ragu. Namun pada akhirnya dia berani juga memasuki dangau mungil itu. Dengan hati-hati dia duduk bersila disamping wanita itu. Harum semerbak bunga-bungaan keluar dari tubuh semampai itu, membuat dada pemuda itu kian bergetar.
Pragola ikut mematung sambil mata memandang ke permukaan kolam. Hanya remang-remang saja. Namun benar seperti yang dikatakan Nyi Mas Layang Kingkin, di kolam ada serombongan ikan berenang kesana-kemari kendati hanya terlihat secara remang-remang saja.
“Coba lihatlah begitu banyak ikan berenang kesana-kemari,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin. “Tapi kau lihat pula, ada satu dua ekor ikan yang berenang memisahkan diri. Tak ada persatuan disana. Serombongan besar berenang kesana dan serombongan kecil berenang kemari. Yang satu tak ada artinya bagi yang lainnya. bila benar begitu, maka jumlah sebesar apapun yang ada di kolam tidak memiliki makna. Ikan yang hidup terpisah dari rombongan yang lebih besar akan tetap merasa kesunyian kendati di sekelilingnya banyak ikan…” kata Nyi Mas Layang Kingkin panjang lebar namun sepertinya bicara pada dirinya sendiri.
“Apakah anda merasa kesepian, Nyi Mas…?” Pragola tidak bisa menahan untuk mengajukan pertanyaan seperti itu.
Nyi Mas Layang Kingkin cepat menoleh ke samping seolah merasa kaget menerima pertanyaan pemuda itu. Dua wajah saling berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh. Pragola menatap raut muka wanita itu. Betapa matangnya wajah wanita ini, matang dan dewasa. Beda sekali dengan gadis-gadis yang Pragola lihat di tempat lain.
Kaum perawan bila berpapasan muka dengan lelaki asing tentu akan segera menunduk penuh malu, barangkali juga dengan rona merah di pipi. Namun wanita selir mendiang Prabu Ratu Sakti itu seolah begitu menantangnya ketika ditatap pemuda itu. Barangkali benar wanita dewasa yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan akan berani melawan tatapan laki-laki, atau barangkali juga karena kedudukannya sebagai selir Raja. Mengapa tidak berani menatap orang lain. Kendati pun yang ditatapnya laki-laki, namun hanyalah orang rendahan belaka. Yang tidak tahu diri sebenarnya dirinya itulah. Pragola hanya sekedar prajurit biasa, mengapa berani mati menatap seperti itu? Ingat kedudukannya yang rendah, Pragola segera menunduk bahkan duduknya pindah agak menjauh.
“Mengapa kau duduk menjauh?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin masih menatapnya.
“Saya tidak berani, Nyi Mas…” ujar Pragola.
Terdengar wanita itu merahuh pendek. “Semua orang memang menjauhiku. Dari mulai pejabat hingga prajurit sepertimu….” Keluhnya.
Pragola terkejut mendengar keluhan ini, sehingga tanpa dia sadari duduknya kembali berpindah, bahkan kini lebih dekat lagi ke tubuh Nyi Mas Layang Kingkin.
Wanita itu menatap sambil mulut tersenyum manis. Ada desah napas yang menerpa wajah pemuda itu, hangat dan harum. Namun senyum tipis Nyi Mas Layang Kingkin hanya datang sejenak, sebab sejenak kemudian sudah berganti menjadi kabut kelabu.
“Aku hidup di istana tapi sebatangkara. Rasanya hanya Sang Prabu Ratu Sakti saja yang menyayangiku. Setelah itu tak ada kasih lagi yang menerpa diriku. Semuanya menjadi jauh, barangkali mereka juga tidak menyukaiku…” gumamnya.
“Bukankah anda ibu suri di sini…?”
“Hmm… ibu suri. Aku hanyalah selir dari seorang raja yang kini telah tiada,” gumamnya lagi.
“Kata orang, anda amat berpengaruh di sini,” kata Pragola.
“Hanya karena aku mencoba memberikan beberapa anjuran, maka orang mengatakan aku ingin menanamkan pengaruh. Lantas mereka mencoba membatasiku. Aku disuruhnya beristirahat, bersenang-senang atau kesibukan apa saja yang sekiranya jauh dari kesibukan istana. Tapi aku tahu, sebenarnya mereka memisahkanku dari kegiatan negara…” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Wanita seanggun anda sebaiknya bersenang-senang di puri indah, atau di Taman Mila Kancana dan tak perlu bersusah-susah ikut memikirkan negara…” sahut Pragola sekenanya saja.
“Kalau orang sudah mulai mengerti urusan kenegaraan, maka tisak bisa tidak akan ikut memikirkannya,” jawab Nyi Mas Layang Kingkin.
“Anda ikut memikirkan negara?”
Nyi Mas Layang Kingkin mengangguk. “Ya, apalagi bila negara dalam keadaan kacau,” jawabnya.
“Dalam keadaan kacau?” Pragola pura-pura terkejut.
“Jangan berpura-pura. Kalau engkau telah dekat dengan Banyak Angga tentu engkau pun tahu apa yang tengah mereka kerjakan!”
“Mengerjakan apa?”
“Hm! Wajah tampanmu tidak punya bakat untuk berbohong. Jangn kira aku bodoh untuk mengetahui rencana-rencana puri Yogascitra!” dengus Nyi Mas Layang Kingkin membuat wajah Pragola memerah karena malu.
“Kalau engkau mau ikut denganku, engkau tak usah ikut melakukan perjalanan ke wilayah timur yang lusa akan kalian tempuh itu!” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
Pragola terkejut, dari mana wanita itu tahu, padahal rencana ke wilayah timur hanya diketahui oleh keluarga Yogascitra saja. Kalau pun ada pihak lain yang tahu, paling hanya Pangeran Yudakara saja. Itu pun karena dilapori oleh Pragola sendiri.
“Saya belum paham, mengapa Nyi Mas menawari saya untuk bergabung di puri ini…?” kata Pragola penasaran.
“Katamu, kau perlu mengabdi kepada orang yang memberimu kesejahteraan yang lebih dan aku butuh pembantu. Mengapa engkau tidak tinggal saja di puriku?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin.
“Itu artinya mengkhianati orang yang pertama memberi saya kesejahteraan,” jawab Pragola.
“Engkau hanya bisa disebut pengkhianat bila pengkhianatan itu diketahui mereka. Kalau mereka tak merasakannya maka engkau pun akan tetap menjadi seseorang yang dihargai oleh siapa saja. Lagi pula engkau harus ingat, tak selamanya sebuah tindakan memisahkan diri atau penolakan sesuatu disebut mengkhianati. Kalau engkau berpaling dari perintah-perintah Yogascitra belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bahkan mungkin sebaliknya, engkau akan berjasa mengurangi berbagai kemelut dan kekacauan,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
Berdebar dada pemuda ini. Semakin dalam melakukan pembicaraan dengan wanita ini, maka semakin terkuak keberadaanya. Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan bahwa wanita ini berbahaya, sebab Nyi Mas Layang Kingkin pun berpikir dan bekerja untuk kepentingan politik juga. Tapi berbahaya untuk siapa? Sudah barang tentu, Pragola sendiri tidak merasakan adanya bahaya, paling tidak untuk kepentingan dirinya.
Menyimak pendapat Nyi Mas Layang Kingkin, sepertinya wanita ini tidak menyukai rencana-rencana Pangeran Yogascitra. Kalau benar begitu, maka antara Pragola dan Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya “sehaluan”. Namun untuk lebih menegaskan apa dan bagaimana keberadaan wanita ini, sebaiknya dirinya harus terus berupaya mengorek pendapat dan pendirian Nyi Mas Layang Kingkin.
“Saya belum mengerti apa yang dimaksud oleh Nyi Mas,” kata Pragola mencoba mengorek tujuan-tujuan wanita itu.
“Aku tahu, Yogascitra tengah menghimpun sebuah kekuatan militer. Dia berpendapat bahwa keberadaan Pakuan bisa dikembalikan dengan kekuatan militer. Tapi pejabat ini tidak ingat, bahwa rencana sebaik apa pun tanpa Raja berkenan menyetujuinya, maka tidak akan menghasilkan kebaikan. Sang Prabu Nilakendra bahkan tidak senang Pakuan mencari kekuatan militer,” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Dan menurut Nyi Mas, bagaimana sebaiknya?”
“Aku setuju dengan pendapat Sang Prabu, Pakuan tidak perlu militer,”
“Mengapa?”
“Sang Prabu Nilakendra pencinta damai. Ibarat harimau yang punya taring, maka sang harimau selalu ingin mencoba tajamnya taring dalam dalam melakukan sesuatu. Sedang yang namanya melakukan sesuatu bagi yang memiliki senjata adalah melakukan pembunuhan. Tapi kau lihatlah seekor siput. Dia tak punya senjata untuk membunuh, maka dia tak berniat untuk melakukan pembunuhan. Asalkan dia punya pertahanan, maka keselamatan pun akan terjamin. Begitu pun yang dipikirkan Sang Prabu Nilakendra. Pertahanan yang baik bukanlah senjata, melainkan adalah sabar dan tak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sang Prabu bahkan lebih menitik beratkan pertahanan dalam kehidupan keagamaan. Sebab menurut Raja, lebih memperdalam kehidupan keagamaan merupakan jalan menuju keselamatan,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin lagi.
Pragola termenung mendengar penjelasan wanita ini. Sekarang semakin terbuka siapa Nyi Mas Layang Kingkin ini. Dia tentu kelompok yang setuju dengan kebijaksanaan Raja. Nyi Mas Layang Kingkin adalah lawan dari Pangeran Yogascitra. Sekarang Pragola harus tahu, apa maksud wanita ini menarik dirinya ke dalam kelompoknya.
“Apa kepentingan anda dan apa pula keuntungan anda bila menarik saya ke puri ini, Nyi Mas?” tanya Pragola secara langsung.
“Aku perlu memiliki mata-mata dan aku pun perlu orang yang bisa bergerak menggagalkan setiap rencana-rencana Yogascitra,” jawab Nyi Mas Layang Kingkin. ”Engkau cocok untuk melakukan misi ini sebab engkau telah dianggap orang-orang Yogascitra,” lanjut wanita ini.
“Bagaimana anda yakin saya mampu melakukan apa yang diinginkan olehmu, Nyi Mas…?”
“Kalau Banyak Angga menggunakanmu, tak nanti dia menyangsikan kemampuanmu,” kata Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum.
Pragola terdiam. Banyak Angga sebetulnya belum tahu sejauh mana kemampuan pemuda ini. Kalaulah Pragola langsung dipercaya oleh keluarga Yogascitra, itu karena mereka tidak menyangsikan kepada apa yang dikatakan Pangeran Yudakara. Pangeran itu “mengirim” kan Pragola ke puri Yogascitra dan mengatakan bahwa selain pemuda ini memiliki cukup kepandaian, Pragola pun merupakan orang yang amat “berguna” bagi Pakuan. Sekarang Nyi Mas Layang Kingkin telah mempercayainya juga hanya karena Banyak Angga seperti memerlukannya.
“Bagaimana anda yakin bahwa saya akan memenuhi keinginanmu, Nyi Mas?” tanya Pragola selanjutnya.
Sebagai jawaban dari wanita ini hanyalah senyum manis yang membuat dada pemuda itu kembali bergetar.
“Jawabannya sudah ada di dalam hatimu sendiri, anak muda,”
Pragola sedikit terkejut. Nyi Mas Layang Kingkin begitu menduga dengan pasti bahwa dirinya akan mau melayani permintaannya. Dari mana wanita ini mendapatkan keyakinannya, padahal pemuda ini bisa saja menolak permintaan dengan alasan ingin melakukan kesetiaan hanya pada keluarga Yogascitra saja.
Pemuda itu sendiri sebetulnya sudah memastikan bahwa dirinya menerima penawaran wanita itu karena beberapa pertimbangan. Tujuan datang kemari bukanlah ingin mengabdi kepada orang-orang Pakuan, melainkan akan melakukan penyelidikan seperti apa yang diperintahkan Pangeran Yudakara. Siapa pun yang ada di Pakuan tentu harus dia selidiki, termasuk pula Nyi Mas Layang Kingkin.
Antara informasi dan kenyataan yang ada mengenai keberadaan wanita ini benar-benar sesuai. Bahwa wanita ini hidup terasing di istana, memang diakui sendiri oleh Nyi Mas Layang Kingkin. Belakangan informasi datang, bahwa wanita ini tidak setuju kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan Pangeran Yogascitra. Wanita ini akan memperalat dirinya agar menggagalkan usaha-usaha Pangeran Yogascitra dalam memperkuat militer.
Pragola tentu akan sanggup, sebab ini pulalah yang menjadi misi Pangeran Yudakara. Keduanya punya misi sama, sekali pun punya tujuan berbeda. Nyi Mas Layang Kingkin menolak kebijaksanaan Pangeran Yogascitra karena sependapat dengan kebijaksanaan Raja. Sedangkan Pangeran Yudakara mencoba menghalangi usaha Pangeran Yogascitra karena menghendaki Pakuan semakin melemah sehingga memudahkan pasukan Cirebon dalam melakukan penyerbuan ke pusat pemerintahan Pajajaran itu.
Pragola sebetulnya tidak perlu ikut bergabung dengan Nyi Mas Layang Kingkin sebab sudah mengemban misi yang sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara. Namun entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat dirinya ingin tetap berhubungan dengan janda mendiang Sang Prabu Ratu Sakti ini.
Wanita cantik ini kaya, pernah menjadi orang penting, namun seperti hidup penuh kesunyian. Sunyi karena diasingkan oleh kalangan istana. Dia diasingkan hanya karena dianggap ingin mempengaruhi Raja dalam meletakkan dasar-dasar kebijaksanaannya. Pragola kasihan dan sekaligus bersimpati. Hanya karena urusan perbedaan politik, maka wanita anggun ini diasingkan. Dia dijauhkan dari kegiatan kenegaraan. Kendati wanita ini di mana-mana dihormat, namun semuanya hanya penghormatan semu belaka.
“Lihatlah ada ikan yang berenang terpisah dari kelompok lainnya.
“Malam sudah larut. Saya harus kembali ke kesatriaan, Nyi Mas…” kata Pragola pada akhirnya.
Wanita itu menatap lama dengan wajah sedikit sayu, kemudian mengangguk perlahan. Dialah malah yang berjingkat duluan. Namun entah mengapa, mungkin karena lantai dangau yang licin karena kayunya halus mengkilap, tubuh wanita itu doyong ke depan dan hendak jatuh.
Pragola terkejut. Bila dibiarkan, maka tubuh Nyi Mas Layang Kingkin akan terjerembab ke permukaan kolam. Maka satu-satunya jalan agar tubuh wanita itu selamat, Pragola harus segera meraihnya. Pragola menghambur ke depan dan memeluk tubuh wanita ramping namun berisi padat itu. Nyi Mas Layang Kingkin hanya sebentar memekik halus, untuk kemudian memegang dan setengah memeluk tubuh pemuda itu. Sejenak mereka saling berpelukan. Namun Pragola lebih dahulu menyadarinya. Dengan serta-merta dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
“Maafkan saya telah melakukan hal yang tak senonoh,” tutur Pragola dengan suara parau bergetar karena menahan debar jantungnya.
“Tidak. Engkau adalah penolong yang baik. Kalau kau tak melindungiku, tentu aku sudah kecebur ke kolam. Sudah lama aku tak punya penolong selagi mendapatkan kesulitan…” kata wanita itu pelan dengan sedikit keluh.
“Saya mohon diri, Nyi Mas…” kata Pragola mundur dari tempat itu.
“Kapan engkau akan kembali lagi ke sini?” gumam Nyi Mas Layang Kingkin.
“Barangkali sesudah saya kembali dari wilayah timur, Nyi Mas…” kata Pragola ragu-ragu.
“Aku menunggu keberhasilan usahamu. Dan bila kau pulang membawa sukses, maka apa pun yang engkau inginkan dariku akan kuberikan…” tutur Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum manis.
Pragola tak berani memandang senyum itu. Dia segera berbalik dan meloncat ke atas benteng puri dengan amat cepatnya.
**** 009 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment