Ads

Friday, January 14, 2022

Kunanti di Gerbang Pakuan 010

Pasukan-Pasukan Misterius

Kuda yang baik dan tangguh sudah disiapkan. Ada empat ekor banyaknya. Karena kelihaian Pangeran Yudakara, maka Paman Manggala berhasil dipilih oleh Pangeran Yogascitra untuk ikut misi yang diemban Banyak Angga.

Empat orang akan mengemban misi penyelidikan ke wilayah timur dalam upaya mencari pasukan perwira yang terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Banyak Angga bertindak sebagai pimpinan rombongan. Sedangkan yang jadi anggota, selain Paman Manggala dan Pragola sendiri, ada seorang prajurit yang Pragola tak kenal. Paman Manggala pun mengaku tak kenal kepada prajurit ini. Dan kalau Pangeran Yudakara pun tidak pernah mengenalnya secara khusus, maka sudah diduga, bahwa prajurit ini tulen merupakan orang Pakuan. Sekarang yang penting disimak oleh Pragola adalah sejauh mana peranan prajurit itu di dalam rombongan kecil ini. Begitu pentingkah orang itu sehingga harus dibawa?

“Nanti aku kenalkan engkau kepada Paman Angsajaya,” tutur Banyak Angga ketika Pragola mencoba menanyakannya.

Subuh hari manakala kokok ayam pertama mulai berbunyi, keempat penunggang kuda telah keluar dari gerbang Pakuan. Suara kaki kuda berjalan perlahan di jalan berbalay yang diselimuti kabut kecil. Dan semakin jauh meninggalkan pusat dayo (kota), langkah kaki kuda semakin deras menderu sebab para penunggangnya memacu binatang tunggangan itu dengan cepat. Tak ada percakapan di sepanjang jalan. Pragola hanya merasakan dinginnya cuaca subuh sehingga tulang-tulangnya serasa ngilu.

Ada seberkas cahaya merah di ufuk timur manakala rombongan kecil ini tiba di sebuah dataran agak tinggi. Banyak Angga menghentikan kudanya. Serentak yang di belakang pun menarik tali kekang kuda.

“Ada apa Raden?” tanya Paman Angsajaya kaget.

“Lihatlah, pemandangan alam indah nian, “ ujar pemuda itu menunjuk ke arah timur.

Merah membara merebak ke sela-sela mega. Cahaya itu terus merebak ke utara, menerpa punggung Gunung Salak.

“Begitu indah bumi Pajajaran ini. Kalau saja kedamaian pun ikut membantu, maka kehidupan ini begitu sempurna “ ujar Banyak Angga masih menatap rona merah di ufuk timur.

Pragola dan Paman Manggala hanya saling pandang sejenak, sedangkan Paman Angsajaya mengangguk mengiyakan. Setelah keadaan mulai terang tanah seperti inilah Pragola bisa mengamati prajurit yang dipanggil Paman Ansajaya ini. Dia adalah seorang lelaki setengah baya. Barangkali usianya hampir sama dengan Paman Manggala. Bedanya, prajurit ini sedikit jangkung dengan janggut tipis menghiasi dagunya.

Tadi malam ketika mempersiapkan keberangkatan, Banyak Angga mengatakan bahwa Paman Angsajaya dipilih untuk mengikuti perjalanan ini karena sudah kenal dengan Ginggi.

“Dalam kurun waktu tiga belas tahun ini aku sendiri belum pernah bersua kembali dengan pemuda itu. Dulu wajahnya mirip engkau, Pragola. Tapi menurut Paman Angsajaya, Ginggi sekarang memelihara cambang bauk. Dalam enam tahun berselang ini, Paman Angsajayalah yang pernah memergok Ginggi memasuki Pakuan,” tutur Banyak Angga ketika membenahi perbekalan yang harus dibawa.

“Benar Gusti, hampir berselang tiga tahun, dua kali berturut-turut, saya sempat bertemu Ksatria Ginggi. Tiga tahun lalu saya bertemu dia walau pun hanya selintas dan dari kejauhan saja. Tapi hamba yakin, dia adalah Ksatria Ginggi. Wajahnya bercambang seperti kehadirannya tiga tahun sebelumnya,” tutur Paman Angsajaya.

Paman Angsajaya selanjutnya mengatakan bahwa pada tiga tahun lalu Ksatria Ginggi memasuki gerbang kota tepat di saat lawang seketeng (gerbang) akan ditutup karena senja telah jatuh. Beberapa jagabaya bahkan hampir mencegahnya masuk kalau saja Ksatria Ginggi tak mengatakan bahwa kehadirannya akan mengabarkan sesuatu hal penting kepada Pangeran Yogascitra.

“Tapi Ginggi tak pernah mengunjungi puri Yogascitra “ gumam Banyak Angga.

Percakapan pemuda itu dengan Paman Angsajaya tadi malam membuat dada Pragola berdebar keras. Pemuda ini menduga, tentu yang disangka Paman Angsajaya Ksatria Ginggi, sebenarnya adalah dirinya. Tiga tahun lalu ketika pertama kali Pragola menyusup ke Pakuan, berpura-pura sebagai prajurit dari wilayah timur dengan menggunakan cambang di wajah. Ketika cambang itu dia lepas, Paman Manggala sempat menegurnya, kalau-kalau hali ini mengundang masalah. Namun Pragola menolak bila cambang itu musti dia kenakan sepanjang waktu.

Dia bahkan memutuskan mengembalikan parasnya seperti sedia kala saja sebab mustahil dari sekian banyak prajurit yang keluar-masuk Pakuan dirinya bisa ditemukan. Tokh mengaku untuk bertemu dan melaporkan sesuatu kepada Pangeran Yogascitra pun hanya sekedar siasat untuk dapat memasuki gerbang saja. Namun tak disangka, belakangan dirinya disuruh “menghadap” benar-benar karena Pangeran Yudakara pun punya siasat seperti itu.

Pragola berdebar karena khawatir siasatnya ketahuan orang Pakuan. Tapi juga ada semacam rasa penasaran, mengapa Paman Angsajaya yang mengaku melihat dirinya dari kejauhan dianggapnya sebagai Ksatria Ginggi?

Ini sesuatu hal yang menarik hatinya. Beberapa orang sudah mengatakan bahwa dirinya mirip Ksatria Ginggi. Banyak Angga langsung mempercayai dia bahkan hampir menganggapnya sebagai adik, hanya karena Pragola mirip Ginggi. Nyi Mas Banyak Inten pernah menatap lama, barangkali karena hal yang sama. Dan belakangan Nyi Mas Layang Kingkin sang ibu suri juga pernah berkata bahwa manakala melihat dirinya mengingatkan akan seorang pemuda yang menjadi pembantu dekat keluarga puri Yogascitra pada belasan tahun silam. Tentu yang dimaksud Nyi Mas Layang Kingkin adalah Ksatria Ginggi pula. Namun benarkah kata orang, wajahnya mirip Ksatria Ginggi?

“Persetan dengan kemiripan itu! Yang penting aku tak punya hubungan apa-apa dengan orang itu, sebab sebenarnya dia harus aku bunuh!” desisnya dalam hati.

Ya, mengapa tidak begitu, sebab berkali-kali dia tegaskan, Ksatria Ginggilah penyebab kematian Ki Guru Sudireja. Semakin banyak yang katakan dirinya mirip Ksatria Ginggi, semakin benci dia kepada orang itu.

Itulah sebabnya penawaran Nyi Mas Layang Kingkin agar dia mau menggagalkan misi ini, Pragola setuju sekali. Mengapa ibu suri yang masih muda dan cantik ini tak setuju dengan misi ini, Pragola tak perlu tahu, yang penting tujuan wanita anggun itu sejalan dengan dirinya. Tentu saja Pragola harus pro kepada keinginan Nyi Mas Layang Kingkin, dari pada harus membantu Banyak Angga yang bahkan memiliki tujuan kebalikannya, yaitu ingin menghimpun orang pandai dalam memperkuat Pakuan dan yang di antaranya akan berupaya mencari Ksatria Ginggi.

Jadi, bila sekarang dia ikut misi, bukan karena ingin membantu Banyak Angga, melainkan ingin memanfaatkan pemuda dari puri Yogascitra ini dalam mencari Ksatria Ginggi untuk dirinya. Banyak Angga yang mencari Ksatria Ginggi dan Pragolalah yang kelak akan membereskan nyawa orang itu!

“Mari kita lanjutkan perjalanan…!” suara banyak Angga menyadarkan lamunan Pragola.

Pemuda ini hanya menoleh, ternyata Banyak Angga pun tengah menatap dirinya. Pragola sedikit terkesiap sebab tentu Banyak Angga sejak tadi memperhatikan dirinya yang sarat dengan lamunan.



Perjalanan kembali dilanjutkan. Sekarang kuda dipacu dengan keras karena hari itu juga rombongan harus sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang. Ketika matahari tepat di atas kepala, rombongan baru tiba di daerah kekuasaan Kandagalante Tanjungpura.

Banyak Angga ternyata kenal baik terhadap penguasa Tanjungpura, yaitu Subangwara. Pejabat ini nampak sudah tua, barangkali usianya sekitar enampuluh tahunan. Menggunakan pakaian dan baju jenis takwa dari beludru hitam dan kepalanya mengenakan bendo citak batik hihinggulan.

Ketika akan menerima kedatangan Banyak Angga, pejabat ini musti pergi dulu ke ruangan pribadinya dan kembali lagi ke beranda sudah mengganti tutup kepalanya dari bendo citak kepada jenis iket lohen.

Pragola tersenyum tipis menyaksikan hal ini. Barangakali Kandagalante Subangwara takut kesetiaannya kepada Pakuan diragukan. Iket lohen adalah tutup kepala khas orang Pajajaran, sedangkan bendo citak adalah sejenis tutup kepala yang biasa digunakan orang Cirebon. Begitu pun pakaian baju jenis takwa, yang biasa menggunakannya adalah pejabat Cirebon.

Namun Banyak Angga tidak begitu terpengaruh oleh soal pakaian. Pragola mendapatkan, sebenarnya Banyak Angga tidak tersinggung dengan cara-cara berpakaian. Bendo citak dan baju takwa misalnya, datang merasuk ke Pajajaran karena pengaruh orang-orang kerajaan agama baru. Sesudah tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran dikuasai negara agama baru yaitu Cirebon yang dibantu Demak (1527 Masehi), perdagangan laut otomatis dikuasai kerajaan agama baru.

Perdagangan di pantai utara misalnya, praktis hanya dilakukam oleh orang-rang Cirebon bahkan Demak. Namun kendati begitu, yang namanya dagang tetaplah dagang. Dan bagi kaum pedagang yang tujuannya mencari untung, maka urusan politik bisa ditepis.

Sebelum pusat-pusat perdagangan pantai milik Pajajaran direbut Cirebon, orang-orang Pakuan sudah terbiasa melakukan hubungan dagang dengan negara mana pun jua. Maka ketika itu mengalir berbagai jenis keperluan sehari-hari dari kedua belah pihak. Pihak Pajajaran menjual seribu jung (kapal) buah asem ke Andalas, atau sebaliknya membeli seribu ekor kuda dari Sumba dalam setiap tahunnya.

Orang-orang Pakuan pun sudah terbiasa menjual kain jenis kasar kepada negri Cina tapi sebaliknya membeli kain sutra halus dari mereka. Namun sesudah Cirebon menguasai perdagangan pantai, maka Pakuan sudah tak sanggup lagi melakukan hubungan dagang secara langsung. Di luar kebijakan politik pemerintah, maka perdagangan antara “dua musuh” dilakukan oleh pribadi-pribadi kaum pedagang saja. Dalam hal ini tentu si penguasa perdaganganlah yang mendiktekan segalanya, termasuk mendiktekan keinginan dalam menyebarkan perdagangan budaya.

Budaya berpakaian misalnya. Orang-orang pesisir utara hampir cenderung terpengaruhi budaya orang-orang Cirebon atau bahkan Demak dalam bertindak-tanduk, termasuk dalam tradisi berpakaian. Tradisi ini sedikit demi sedikit merebak ke pedalaman, yaitu ke arah selatan, ke wilayah Pajajaran. Dala kurun waktu hampir tiga puluh tahun sejak perpindahan kekuasaan perdagangan wilayah pantai ini, tradisi berpakaian antara pesisir utara dengan penduduk Pajajaran yang berbatasan dengan wilayah utara atau timur misalnya, sudah sulit dibedakan.

Orang-orang Pajajaran di wilayah perbatasan menggunakan jenis pakaian yang hampir sama dengan orang-orang Cirebon karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena jenis pakaian itu banyak dijajakan oleh pedagan Cirebon. Tapi ada juga yang bertahan karena punya pendapat sendiri.

“Bendo citak mungkin datang dari Demak melalui orang-orang Cirebon. Tapi baju takwa di Pajajaran sudah ada sejak ratusan tahun silam,” ujar Paman Angsajaya di saat istirahat di Tanjungpura.

Kata prajurit setengah baya ini, jenis baju takwa sudah masuk ke wilayah Kerajaan Sunda sejak lama, yaitu semenjak orang-orang Cina melakukan hubungan dagang ke wilayah Nusantara, termasuk ke wilayah Kerajaan Sunda. Jadi menurut Paman Angsajaya, baju takwa pertama kali digunakan oleh orang Cina. Namun sesudah datang ke Nusantara, mengalami berbagai perubahan sedikit-sedikit sesuai dengan selera si pemakai.

Pendapat ini dipercaya juga oleh Banyak Angga. Itulah sebabnya dia tak begitu banyak aturan perihal cara-cara berpakaian. Kalau pun Kandagalante subangwara menggunakan baju takwa karena pengaruh orang Cirebon, itu wajar saja, mengingat Tanjungpura amat dekat ke wilayah utara yang dikuasai Cirebon.

“Selamat datang di wilayah Tanjungpura ini, Raden…” kata Kandagalante Subangwara hormat sekali.

Pragola memang sudah tahu, pengaruh Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja demikian besar, terutama sesudah peristiwa pemberontakan Sunda Sembawa yang gagal pada tigabelas tahun silam itu. Jadi tidak berlebihan bila Banyak Angga pun mendapatkan penghormatan yang sama dengan ayahnya.

“Saya bersyukur karena bisa melakukan perjalanan ke sini dengan selamat tanpa mendapatkan gangguan yang berarti di tengah perjalanan…” kata Banyak Angga duduk bersila saling berhadapan.

Kandagalante Subangwara hanya tersenyum dikulum. Sebetulnya semua orang tahu, Tanjungpura merupakan wilayah rawan. Daerah ini terletak di perbatasan kekuasaan orang-orang Cirebon, puluhan tahun silam sering terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara pasukan Cirebon dengan pasukan Pajajaran. Namun belakangan, kekuasaan Cirebon semakin kuat dan sebaliknya pasukan Pajajaran semakin lemah. Hanya karena pasukan Cirebon tak berani menyerbu langsung ke pedalaman saja menyebabkan pertempuran besar dan habis-habisan tidak pernah berlangsung.

Ucapan Banyak Angga barusan mungkin hanya sekedar sindiran untuk mengatakan betapa sulitnya melakukan perjalanan ke utara ini, sebab sesekali waktu akan bertemu musuh. Barangkali ucapan ini pun adalah sebuah harapan. Sebagai orang pusat, Banyak Angga punya keinginan agar wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran tetap tangguh dan terjamin keamanannya. Kalau pun tak sanggup mengusir musuh yang ada di perbatasan, paling tidak wilayah yang ada harus dipertahankan keutuhannya.

“Tanjungpura masih tetap milik Pajajaran, Raden. Kendati Cirebon masih menguasai wilayah pesisir utara, namun kekuatannya tidaklah setangguh dahulu. Cirebon bahkan kini seperti tak punya niat untuk melakukan peperangan dengan kita, apalagi sesudah pendukung utamanya, yaitu Kerajaan Demak mulai melemah karena terlalu banyak percekcokan di dalam negrinya sendiri. Namun harus saya akui, keamanan di wilayah perbatasan ini memang cukup rawan. Bukan dari orang-orang Cirebon, melainkan dari kaum perampok,” tutur Kandagalante Subangwara.

“Di mana-mana perampok selalu saja ada…” gumam Banyak Angga.

“Kadang-kadang mereka tidak mengatasnamakan perampok tulen, melainkan berkedok politik,” tutur Kandagalante Subangwara.

Banyak Angga melirik tajam.

“Yah, barangkali Raden juga sudah mengetahuinya sejak lama bahwa terjadi saling pengaruh antara Cirebon dan kita. Tentu rakyatlah yang diperebutkan. Kita mempertahankan kita agar tetap bersetia kepada pajajaran. Tapi di lain pihak Cirebon pun berupaya agar wilayah-wilayah yang ada di sekitar pajajaran mau bergabung dengan mereka. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang-orang jahat. Bila ada wilayah yang berniat melepaskan diri dari kita, maka ada penjahat yang pura-pura jadi prajurit Pajajaran. Mereka akan mengancam melaporkannya ke Pakuan kalau tak sanggup membayar upeti. Sebaliknya bila ada wilayah yang masih bertahan dengan kesetiaannya terhadap Pakuan, maka mereka menyamar sebagai prajurit Cirebon. Mereka menjarah harta rakyat, bahkan berani membunuh dan memperkosa kaum wanita,”

“Kurang ajar…!” desis Banyak Angga. ”Tapi tidakkah mereka sebetulnya orang-orang Cirebon?” tanyanya.

“Kami pun pernah bercuriga seperti itu. Tapi rasa curiga ini malah menjadikan orang-orang Cirebon marah. Hampir terjadi penyerbuan karena kemarahan ini. Menurut mereka, orang Cirebon pemilik agama baru tak nanti harus melakukan tindakan bejat dan tak berprikemanusiaan. Kalau pun mereka perang, maka bertempur di jalan agama. Begitu kata mereka,” tutur Kandagalante Subangwara. Dan ucapan pejabat ini amat melegakan perasaan Pragola yang ikut menyimak percakapan ini.

“Pernah terjadi pertempuran besar?” tanya Banyak Angga lagi.

“Setahun yang lalu terjadi pertempuran dengan kelompok yang mengaku prajurit Cirebon. Mereka ganas dan memeras rakyat. Jadi tak percaya mereka prajurit Cirebon. Tapi percaya atau tidak, yang pasti mereka harus kami lawan. Maka terjadi bentrokan senjata. Mereka sepertinya orang-orang yang pandai bertempur, prajurit Tanjungpura hampir terdesak, banyak yang luka bahkan terbunuh. Tapi di saat genting seperti itu, tiba-tiba muncul seorang ksatria. Kepandaiannya menakjubkan. Dalam beberapa saat saja satu pasukan penyerbu bisa dilumpuhkan. Ksatria itu mengalahkan musuh tanpa membunuh.

Saya baru ingat, ksatria Pajajaran yang melumpuhkan musuh tanpa membunuh, tak ada lain, kecuali pemuda sakti bernama Ginggi. Kaum prepantun (juru pantun) di Tanjungpura kerapkali menggambarkan perangai dan tindak-tanduk Ksatria Ginggi seperti itu…” tutur Kandagalante Subangwara.

Hati Pragola berdebar keras ketika mendengar cerita ini. Ginggi, lelaki yang harus dia temukan ini ternyata pernah ke tempat ini setahun yang lalu. Tapi begitu hebatkah kepandaian orang itu? Masa satu pasukan dia kalahkan sambil tidak membunuh? Pragola membayangkan, betapa sulitnya melumpuhkan banyak musuh tanpa membunuh.

Yang pernah dia alami, mencoba membebaskan diri dari sebuah kepungan hanya bisa dilakukan dengan mencoba menurunkan tangan kejam. Kalau tak membunuh, sekurang-kurangnya mencederai lawan. Mungkin orang-orang Tanjungpura melebih-lebihkannya. Namun benar atau tidak, Pragola harus bertemu dengan lelaki itu. Bukan untuk sekadar mencoba kedigjayaannya, melainkan untuk melawan dan mengalahkan orang itu. Ya, lelaki bernama Ginggi itu harus dia kalahkan. Barangkali juga harus dia bunuh sebagai balasan kematian Ki Guru Sudireja.

“Tak ada orang yang memiliki kekuatan sempurna. Walau pun sedikit dan tak kentara, siapa pun pasti memiliki kelemahan. Itulah peluang untuk mengalahkannya,” kata Ki Guru Sudireja ketika masih hidup. Pragola percaya akan perkataan gurunya ini, itulah sebabnya di tak pernah takut, termasuk menghadapi Ginggi.

Yang tertarik atas berita kehadiran Ginggi ini, termasuk Banyak Angga. Pragola mendapatkan wajah pemuda itu yang penuh harap. Betapa tidak, perjalanan jauh yang tengah dilakukan ini, selain menyelidiki kebenaran perihal terkepungnya belasan perwira senior di Puncak Cakrabuana, juga tengah mencari orang-orang pandai yang di antaranya Ginggi inilah.

“Setahun yang lalu dia ada di sini…?” gumam pemuda itu.

“Saya sendiri tak sempat mencegahnya, sebab kata para prajurit, Ksatria Ginggi segera berlalu setelah menyelesaikan tugasnya,” tutur Kandagalante Subangwara.

Banyak Angga hanya terpekur.

“Adakah sesuatu yang penting perihal dirinya, Raden?” tanya penguasa Tanjungpura ini.

Banyak Angga mengangguk. Kemudian dia memaparkan maksud perjalanannya ini. Betapa ayahnya menginginkan Pakuan dipenuhi orang-orang tangguh untuk menjaga kemungkinan penyerbuan dari musuh.

“Pajajaran selalu dirundung malang. Sejak dulu musuh gemar mengganggu. Kini, siapa yang dianggap berbahaya bagi negri kita, Raden?” tanya Subangwara.

Banyak Angga hanya terpekur sambil memangku kedua belah tangannya di depan dada.

“Barangkali musuh akan datang dari mana-mana, termasuk dari dalam diri kita sendiri…” gumam pemuda berkumis tipis ini.

Kandagalante Subangwara menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam.

“Musuh yang datang dari luar bisa dilihat. Tapi musuh yang paling berbahaya adalah yang ada di dalam. Mereka sembunyi di tempat terang. Mereka berkumpul dengan kita. Saling bersua, saling menolong, barangkali juga bersahabat. Namun tentu itu semua palsu sebab merupakan bagian dari siasat dan strategi mereka…” gumam Banyak Angga setengah mengeluh.

“Seperti yang dilakukan Purbajaya belasan tahun yang silam itu, Raden…”gumam Subangwara.

Banyak Angga menunduk dan menghela napas. Pragola pernah mendengar kisah Purbajaya ini. Belasan tahun silam pemuda ini datang dari wilayah Kandagalante Tanjungpura ini. Purbajaya yang pernah menjalin kasih dengan kemenakan Kandagalante Subangwara, datang ke Pakuan dengan niat mengabdikan keakhliannya sebagai puhawang (akhli lautan). Tentu saja Pakuan amat membutuhkan tenaga seperti itu sebab Pajajaran punya niat kembali merebut wilayah pantai.

Namun kehadiran Purbajaya ke Pakuan sebenarnya hanya sebagai upaya penyusupan saja. Tujuan sebenarnya, dia datang atas suruhan Cirebon dalam upaya melemahkan kedudukan Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu. Purbajaya hampir saja berhasil membunuh Sang Prabu Ratu Sakti, kalau saja niat itu tak dihalangi Ksatria Ginggi. Pukulan telak yang dilakukan Purbajaya ke arah Sang Prabu ditangkis keras oleh Ksatria Ginggi. Akibatnya, Purbajaya terlempar ke belakang. Pemuda itu luka parah dan akhirnya tewas oleh tenaga pukulan membalik ke tubuhnya sendiri. (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran ).

Pragola tahu, Banyak Angga tentu sedih dengan kejadian itu sebab boleh dikata Purbajaya adalah sahabatnya. Pemuda Tanjungpura ini memang mengabdi di puri Yogascitra. Dan selama berada di sana, ke mana-mana selalu berdua. Barangkali pemuda ini tak menyangka bahwa persahabatan hanya palsu belaka. Purbajaya hanya berpura-pura sebagai orang Pajajaran. Padahal yang sebenarnya hanyalah akan menghancurkan Pajajaran.

Ingat sampai di sini, Pragola agak memerah pipinya. Bukankah dirinya pun hadir ke Pakuan ini untuk menghancurkannya? Banyak Angga benar, musuh yang paling berbahaya adalah yang sembunyi di tempat terang.

“Saya tak benci kepada Purbajaya. Tapi saya memang punya kesedihan yang dalam…” tutur Banyak Angga. ”Terkadang kita terlalu lemah. Itulah salah satu musuh dalam diri kita sendiri,” tuturnya lagi. ”Kelemahan saya, saya selalu percaya semua orang. Mengapa saya mesti tak percaya orang, padahal saya tak pernah membohongi mereka?” gumam Banya Angga. Pragola merasa disentil telinganya ketika mendengar ucapan ini.

Untunglah, percakapan hari itu sampai di situ saja, sehingga perasaan yang tak enak yang ada pada diri Pragola tidak terus mengganggunya. Hanya satu malam saja rombongan istirahat di Tanjungpura. Pagi hari seusai sarapan, mereka segera melanjutkan perjalanan.

“Hati-hatilah Raden, perjalanan menuju Sagaraherang, keamanan kurang terjamin,” kata Subangwara memperingatkan.

Kata Kandagalante Subangwara, di hutan jati antara dua wilayah kandagalante itu banyak didapat kelompok-kelompok jahat. Mereka adalah orang-orang yang melepaskan diri dari Pakuan, namun juga tak mau bergabung dengan kekuatan mana pun, termasuk Cirebon. Kerja mereka hanyalah malang melintang di hutan-hutan jati menggangu keamanan. Setiap ada rombongan pedagang lewat, pasti diganggu dan barangnya dirampok.

“Saya pun sudah mendengar, Paman. Menurut penyelidikan, mereka adalah sisa-sisa pengikut Kandagalante Sunda Sembawa yang melarikan diri karena pemberontakannya bisa digagalkan. Tentu saja kami harus hati-hati terhadap mereka sebab perampok hutan jati suka berlaku kejam kepada orang yang datang dari Pakuan,” kata Banyak Angga.

Akhirnya rombongan kecil ini berangkat meninggalkan Tanjugpura dan dilepas oleh doa-doa pendeta agar perjalanan tak mendapatkan halangan. Perjalanan menuju Sagaraherang akan memakan waktu sehari semalam bila dilakukan dengan berkuda. Namun baik berjalan kaki mau pun menggunakan kendaraan tidak akan selancar seperti yang diperkiraan. Ini karena perjalanan di wilayah utara harus dilakukan dengan hati-hati. Terkadang harus main sembunyi.

Seperti sudah diterangkan, daerah utara adalah wilayah Cirebon yang sudah puluhan tahun menjadi musuh bagi pajajaran. Tujuan Banyak Angga melakukan perjalanan ke wilayah timur bukanlah untuk melakukan pertempuran di setiap perjalanannya. Melainkan untuk melakukan penyelidikan perihal tertahannya belasan perwira senior Pakuan di Puncak Cakrabuana. Banyak Angga tak berniat mencari kesulitan di tengah jalan.

Tapi Pragola sebenarnya lebih mengenal daerah ini ketimbang Banyak Angga. Hanya kelompok anak muda ini yang tahu, betapa berbahayanya perjalanan yang dilakukan Banyak Angga ini. Perjalanan menuju wilayah timur yang dilakukan Banyak Angga selain kemungkinan bakal diganggu kaum perampok, secara pasti juga akan dihadang pasukan tak resmi dari Cirebon. Sekurang-kurangnya begitu menurut berita yang disampaikan utusan Pangeran Yudakara kepada Pragola sebelum keberangkatan bersama rombongan ini. Bukan sekadar mengganggu, sebab barangkali juga akan membunuhnya.

Sudah menjadi tekad Pangeran Yudakara untuk tak membiarkan Pakuan menjadi kuat kembali. Itulah sebabnya, berbagai siasat digunakan agar kekuatan Pakuan bisa dilumpuhkan. Pangeran Yudakara bersiasat mengundang harimau keluar sarang, dengan tujuan agar sarang itu sendiri menjadi kosong penghuni. Dalam upaya ini pulalah maka pasukan penghadang sengaja disebar di sepanjang perjalanan.

Pangeran Yudakara tahu betul ke mana rombongan kecil ini akan melakukan perjalanan. Memang mudah diduga, perjalanan ke wilayah timur hanya akan menyusuri jalan utama. Sejak masa perkembangan Pakuan Pajajaran, memang ada jalan yang menghubungkan wilayah barat dan timur. Yang di maksud jalan besar, adalah jalan yang bisa dilalui roda pedati atau kendaraan berkuda lainnya. Jalan besar itu menghubungkan dayo Pakuan dengan Galuh di timur, melalui Cileungsi, Warunggede, Tanjungpura, Karawng, Cikao, Purwakarta, Sagaraherang, terus ke Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagluh, Talaga, Kawali dan berakhir di Galuh.

Itulah jalan besar yang mudah dilalui. Kaum pedagang menggunakan jalan utama ini sebagai jalur ekonomi. Namun tentu saja bukan tanpa gangguan. Sejak dulu pun di Pajajaran masih memiliki kejayaan, perampok dan pengacau keamanan kerapkali menghadang yang lalu-lalang. Kaum pedagang dan pengelanalah yang biasanya diganggu. Sekarang, di mana Pajajaran mengalami kemerosotan kekacauan bahkan hampir terjadi di mana-mana. Bukan saja kekacauan yang disebabkan oleh kaum penjahat biasa, melainkan juga oleh golongan yang bertindak atas kepentingan politik. Contoh yang jelas saja rencana penghadangan yang dilakukan orang-orang Yudakara terhadap rombongan kecil yang dipimpin oleh Banyak Angga ini.

Benar seperti perkiraan Pragola, di hutan jati antara Tanjungpura-Sagaraherang, rombongan dicegat oleh satu kelompok orang. Nereka tampak beringas. Tanpa memberi peringatan atau ancaman terlebih dahulu, kelompok asing ini langsung melakukan penyerangan. Pragola bisa melihat dengan jelas, serangan itu bertujuan untuk membunuh. Serangan mereka rata-rata ganas dan menggunakan gobang (pedang) tajam terhunus. Ada juga yang membawa golok bahkan gegendir (sejenis penggada) terbuat dari kayu jati tua.

Kaum penyerang itu belasan orang jumlahnya. Rata-rata tubuh mereka tinggi besar dengan wajah bercambang. Pakaian mereka terbuat dari kain hitam kasar, baju kampret dan celana sontog.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment