Arya mengernyitkan alisnya sebentar, mengingat-ingat nama yang diucapkan Mayat Kuburan Koneng. Baru sesaat kemudian, dia teringat Janggulapati adalah suami Gayatri. Mereka berdua terkenal berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Perlahan-lahan kepala pemuda berpakaian ungu itu ter-angguk-angguk. Sementara tangan kanannya memegang dagu.
"Dia tewas di tanganmu, bukan?!" desak laki-laki ber-pakaian putih dengan suara semakin tidak enak didengar.
"Benar!" sahut Dewa Arak, mantap. Memang dialah yang telah menewaskan Janggulapati.
"Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Janggulapati terhitung saudara seperguruanku. Walaupun setelah itu kami menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu, tapi aku tidak rela dia dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan membuat perhitungan denganmu atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!"
Belum juga gema suara itu habis. Mayat Kuburan Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Arya segera menarik kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu tidak mencapai sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di hadapannya. Tapi, Mayat Kuburan Koneng tidak sudi memberi kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan, segera disusulinya dengan serangan berikut. Kaki kanannya kini sedikit ditarik pulang, lalu meluncur lagi mengancam leher Arya dengan sebuah tendangan miring
Kali ini Arya terpaksa melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya telah menggenggam sebuah guci arak.
“Gluk.. gluk.. gluk..!”
Suara tegukan terdengar ketika Arya menuangkan arak ke mulutnya. Sesaat kemudian, hawa hangat merayapi perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala membuat tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri.
Dan bertepatan dengan pemuda berpakaian ungu itu menurunkan guci araknya, serangan dari Mayat Kuburan Koneng telah datang menyambar. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari. Mayat Kuburan Koneng mengamuk seperti banteng terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian Janggutapati di tangan Dewa Arak. Terbukti, setiap serangannya selalu mengancam bagian-bagian yang mematikan.
Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam penuh. Suara angin bercicitan mengiringi tibanya setiap serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng. Jelas, setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserangnya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda, tapi telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ilmu andalannya, yang bernama 'Belalang Sakti' merupakan sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi lawannya, ilmu andalannya itu langsung dikeluarkan.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi karena perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan jurus menyerang kalang kabut, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal sepertinya Dewa Arak hanya mengelak dengan gerakan-gerakan tidak teratur.
Tapi anehnya, setiap serangan yang dikirimkan Mayat Kuburan Koneng selalu mengenai tempat kosong. Serangan itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-gerakan seperti orang akan jatuh. Bahkan terkadang seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan tubuhnya. Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu, serangan lawan bisa dikandaskan.
Semula, Arya sama sekali tidak bermaksud mengadakan perlawanan. Dia sama sekali tidak mempunyai perselisihan dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya tak ada alasan untuk membunuh laki-laki berpakaian putih ini. Arya belum melihat adanya kejahatan yang tidak terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng.
Tapi rupanya sikap mengalah Dewa Arak ditafsirkan lain oleh Mayat Kuburan Koneng. Laki-laki berpakaian putih ini malah menganggap pemuda berambut putih keperakan itu meremehkannya. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangannya pun berlangsung semakin dahsyat.
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Tokoh sesat berpakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia yakin, Mayat Kuburan Koneng tahu kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah. Laki-laki berpakaian putih itu adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi, mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah!
Begitu kesimpulan yang didapat Arya. Maka, setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh lima jurus, dan serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun memutuskan untuk mengadakan perlawanan.
Seketika itu pula gerakan Dewa Arak berubah dahsyat. Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas seperti sebelumnya, tapi diselingi gerakan-gerakan kasar dan keras secara mendadak. Bahkan boleh dibilang, sulit ditebak. Terkadang lemas seperti tidak bertenaga, dan ter-huyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat, berubah menjadi kasar, keras, dan penuh kekuatan. Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat liar! Ini pertanda kalau pemuda berpakaian ungu itu telah mengeluarkan Jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat begitu merasakan perubahan yang begitu mendadak ini. Terasa adanya tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak. Seketika itu juga, porsi serangan laki-laki berpakaian putih ini berkurang banyak.
Memang setelah Arya mulai balas menyerang, Mayat Kuburan Koneng tidak lagi bisa leluasa melancarkan serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya melakukan penyerangan berarti membuka pertahanan. Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan yang terbuka di sana-sini.
Tadi sewaktu Dewa Arak sama sekali tidak melakukan perlawanan, laki-laki berpakaian putih ini bebas mengeluarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Tapi kini pemuda berpakaian ungu itu mulai balas menyerang. Dan bila Mayat Kuburan Koneng terus menyerang membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi Dewa Arak untuk memasukkan serangan ke berbagai bagian tubuh yang terbuka.
Memang hebat bukan kepalang, Jurus 'Belalang Mabuk' itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu memang terlihat liar, ganas, dan penuh tekanan. Tidak aneh kalau dalam beberapa jurus saja, Mayat Kuburan Koneng telah kewalahan.
Serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng semakin berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak, karena menangkis pun akan menimbulkan akibat buruk. Tenaga dalam Dewa Arak jelas-jelas masih berada di atasnya. Maka bila terus-menerus menangkis serangan, jelas akan menderita kerugian.
Berbeda dengan Mayat Kuburan Koneng, keadaan Dewa Arak malah sebaliknya. Serangan-serangan pemuda ini semakin bertubi-tubi menghujani lawan. Dalam menghadapi Mayat Kuburan Koneng, Arya tidak menguras seluruh kemampuannya. Bahkan gucinya tidak digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata. Meskipun begitu, sesekali guci araknya dijumput dan ditenggak isinya. Kemudian gucinya disampirkan kembali ke punggung.
Tentu saja hati Mayat Kuburan Koneng semakin ber-tambah geram. Pemuda berambut putih keperakan itu dianggap sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum arak, mampu bertarung. Berarti, Mayat Kuburan Koneng sama sekali tidak dianggap Dewa Arak.
Maka, kontan kemarahannya semakin berkobar. Kemarahan hebat yang membakar dada, membuat Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk mengadu nyawa. Dia tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan anak buahnya. Padahal, dendam atas kematian Janggulapati saja belum bisa terbalaskan. Yang jelas, kalau tak bisa menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan bisa mati meram.
Dengan munculnya tekad untuk mengadu nyawa, kini Mayat Kuburan Koneng kembali melancarkan serangan secara membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi pertahanan dirinya. Yang ada di benaknya hanya satu. Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak.
Arya terkejut begitu merasakan perubahan mendadak pada serangan lawan yang menjadi liar dan kalang-kabut kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri sendiri.
Plak... plak... plak..!
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng berhasil ditangkis Dewa Arak. Akibatnya, tubuh laki-laki berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke belakang seraya meringis kesakitan. Kedua tangan terasa linu dan sulit digerakkan.
Tapi, Mayat Kuburan Koneng yang telah kalap langsung mematahkan kekuatan yang mendorong tubuhnya itu. Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Melihat hal ini, Arya sadar kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa. Tentu saja pemuda berambut putih keperakan itu tidak meladeninya. Maka kembali digunakannya jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk menghindari diri dari setiap serangan lawan.
Kembali pertarungan berlangsung seperti pada jurus-jurus awal Mayat Kuburan Koneng menyerang kalang kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang’.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi. Rasa marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk dalam hatinya. Keinginan untuk membunuh Dewa Arak telah begitu menggebu-gebu. Tapi sayangnya hal itu tidak mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam luapan perasaan yang bergejolak.
Lebih dari dua puluh jurus laki-laki berpakaian putih ini menyerang kalang kabut. Tapi, tetap saja tidak mampu menyarangkan tangan atau kakinya pada sasaran. Bahkan, mendesak Dewa Arak pun belum mampu.
Mayat Kuburan Koneng ingin menjerit keras saking bingungnya. Pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak. Sementara kelelahan perlahan mulai melandanya. Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala.
Melihat keadaan ini, Mayat Kuburan Koneng khawatir tidak akan bisa mewujudkan maksudnya untuk membunuh Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya segera diberi isyarat untuk membantunya. Begitu melihat tanda dari pemimpinnya, belasan orang itu segera bergerak meluruk ke arah Dewa Arak.
Memang, sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal menunggu perintah saja. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata terhunus di tangan. Tak pelak lagi, hujan belasan senjata itu menyerang ke arah Dewa Arak disertai desingan-desingan nyaring yang merobek udara.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hai ini. Serangan belasan orang berwajah angker itu sama sekali tidak diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru saja dielakkannya. Tambahan lagi, para pengeroyok itu menyerangnya dari berbagai jurusan. Sudah dapat diterka kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan serangan secara bersama-sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Dewa Arak segera memuta-rmutarkan kedua tangannya di depan dada. Maka kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali. Tubuh sebagian para pengeroyoknya berpentalan ke belakang seperti dilanda angin topan. Senjata-senjata mereka pun berpentalan tak tentu arah.
Sedangkan serangan dari yang lainnya dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Arya memang langsung mengerahkan tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam senjata.
Memang dengan perbedaan tenaga dalam di antara kedua pihak yang terlalu jauh, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan membuat tubuhnya tidak bisa dilukai senjata.
Sementara, sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau pada saat yang sama, Mayat Kuburan Koneng melancarkan serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Tidak ada kesempatan lagi bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dan andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-laki berpakaian putih itu sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya tahu kalau serangan yang di-lancarkan Mayat Kuburan Koneng kali ini merupakan serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan sambung-menyambung laksana gelombang laut. Karena tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung digunakannya jurus 'Pukulan Belalang".
Wusss...!
Angin keras berhawa panas berhembus keras dari kedua tangan Arya yang dihentakkan.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara, dan jaraknya sudah terlalu dekat dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindari serangan itu, dan hanya sempat membelalakkan sepasang matanya. Maka....
Bresss...!
"Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar dari mulut laki-laki berpakaian putih itu, begitu pukulan jarak jauh Dewa Arak keras dan telak sekali menghantam perutnya. Seketika itu juga tubuh Mayat Kuburan Koneng terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di tanah ketika telah melayang-layang jauh.
Laki-laki berpakaian putih ini tewas dalam keadaan seluruh tubuh gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika menyebar di tempat itu. Belasan pasang mata anak buah Mayat Kuburan Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki berwajah pucat itu.
Tahu kalau lawan yang masih muda itu memiliki kepandaian luar biasa, mereka pun cepat-cepat membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama sekali tidak dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum mampu bangkit karena luka yang diderita. Namun Arya sama sekali tidak mengejar, dan juga tidak mempedulikan para pengeroyok yang merintih-rintih di tanah tak mampu bangkit.
Sambil menghela napas berat, dihampirinya tubuh Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh sesat yang berjuluk 'mayat’ itu benar-benar telah menjadi mayat. Untuk kesekian kalinya, ada perasaan sesal di hati Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan maut pada lawannya.
Memang, Arya sebenarnya tidak ingin membunuh. Pemuda berambut putih keperakan itu menatap sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Paling tidak itu untuk mengusir perasaan sesal yang merayapi hatinya.
Arya menghibur hatinya sendiri agar perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak bermaksud membunuh. Tapi, lawanlah yang terlalu memaksanya.
"Urus mayat pemimpin kalian. Mengerti?!" ujar Dewa Arak pada beberapa orang anak buah Mayat Kuburan Koneng yang masih tergolek di situ.
Mereka semua menundukkan kepala, karena khawatir Dewa Arak akan melepaskan tangan kejam.
"Mengerti, Tuan Pendekar...."
Hampir berbareng para pengeroyok yang tergolek, dan berjumlah lima orang itu menganggukkan kepala.
Arya tersenyum pahit, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Masih sempat didengarnya desah kelegaan dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena tidak jadi dibunuh?
***
Perlahan-lahan kepala pemuda berpakaian ungu itu ter-angguk-angguk. Sementara tangan kanannya memegang dagu.
"Dia tewas di tanganmu, bukan?!" desak laki-laki ber-pakaian putih dengan suara semakin tidak enak didengar.
"Benar!" sahut Dewa Arak, mantap. Memang dialah yang telah menewaskan Janggulapati.
"Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Janggulapati terhitung saudara seperguruanku. Walaupun setelah itu kami menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu, tapi aku tidak rela dia dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan membuat perhitungan denganmu atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!"
Belum juga gema suara itu habis. Mayat Kuburan Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Arya segera menarik kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu tidak mencapai sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di hadapannya. Tapi, Mayat Kuburan Koneng tidak sudi memberi kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan, segera disusulinya dengan serangan berikut. Kaki kanannya kini sedikit ditarik pulang, lalu meluncur lagi mengancam leher Arya dengan sebuah tendangan miring
Kali ini Arya terpaksa melompat ke belakang untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya telah menggenggam sebuah guci arak.
“Gluk.. gluk.. gluk..!”
Suara tegukan terdengar ketika Arya menuangkan arak ke mulutnya. Sesaat kemudian, hawa hangat merayapi perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala membuat tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri.
Dan bertepatan dengan pemuda berpakaian ungu itu menurunkan guci araknya, serangan dari Mayat Kuburan Koneng telah datang menyambar. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari. Mayat Kuburan Koneng mengamuk seperti banteng terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian Janggutapati di tangan Dewa Arak. Terbukti, setiap serangannya selalu mengancam bagian-bagian yang mematikan.
Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam penuh. Suara angin bercicitan mengiringi tibanya setiap serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng. Jelas, setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserangnya kali ini adalah Dewa Arak. Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda, tapi telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ilmu andalannya, yang bernama 'Belalang Sakti' merupakan sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi lawannya, ilmu andalannya itu langsung dikeluarkan.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi karena perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan jurus menyerang kalang kabut, tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal sepertinya Dewa Arak hanya mengelak dengan gerakan-gerakan tidak teratur.
Tapi anehnya, setiap serangan yang dikirimkan Mayat Kuburan Koneng selalu mengenai tempat kosong. Serangan itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-gerakan seperti orang akan jatuh. Bahkan terkadang seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan tubuhnya. Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu, serangan lawan bisa dikandaskan.
Semula, Arya sama sekali tidak bermaksud mengadakan perlawanan. Dia sama sekali tidak mempunyai perselisihan dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya tak ada alasan untuk membunuh laki-laki berpakaian putih ini. Arya belum melihat adanya kejahatan yang tidak terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng.
Tapi rupanya sikap mengalah Dewa Arak ditafsirkan lain oleh Mayat Kuburan Koneng. Laki-laki berpakaian putih ini malah menganggap pemuda berambut putih keperakan itu meremehkannya. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangannya pun berlangsung semakin dahsyat.
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Tokoh sesat berpakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia yakin, Mayat Kuburan Koneng tahu kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah. Laki-laki berpakaian putih itu adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi, mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah!
Begitu kesimpulan yang didapat Arya. Maka, setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh lima jurus, dan serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun memutuskan untuk mengadakan perlawanan.
Seketika itu pula gerakan Dewa Arak berubah dahsyat. Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas seperti sebelumnya, tapi diselingi gerakan-gerakan kasar dan keras secara mendadak. Bahkan boleh dibilang, sulit ditebak. Terkadang lemas seperti tidak bertenaga, dan ter-huyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat, berubah menjadi kasar, keras, dan penuh kekuatan. Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat liar! Ini pertanda kalau pemuda berpakaian ungu itu telah mengeluarkan Jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat begitu merasakan perubahan yang begitu mendadak ini. Terasa adanya tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak. Seketika itu juga, porsi serangan laki-laki berpakaian putih ini berkurang banyak.
Memang setelah Arya mulai balas menyerang, Mayat Kuburan Koneng tidak lagi bisa leluasa melancarkan serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya melakukan penyerangan berarti membuka pertahanan. Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan yang terbuka di sana-sini.
Tadi sewaktu Dewa Arak sama sekali tidak melakukan perlawanan, laki-laki berpakaian putih ini bebas mengeluarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan lagi. Tapi kini pemuda berpakaian ungu itu mulai balas menyerang. Dan bila Mayat Kuburan Koneng terus menyerang membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi Dewa Arak untuk memasukkan serangan ke berbagai bagian tubuh yang terbuka.
Memang hebat bukan kepalang, Jurus 'Belalang Mabuk' itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu memang terlihat liar, ganas, dan penuh tekanan. Tidak aneh kalau dalam beberapa jurus saja, Mayat Kuburan Koneng telah kewalahan.
Serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng semakin berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak, karena menangkis pun akan menimbulkan akibat buruk. Tenaga dalam Dewa Arak jelas-jelas masih berada di atasnya. Maka bila terus-menerus menangkis serangan, jelas akan menderita kerugian.
Berbeda dengan Mayat Kuburan Koneng, keadaan Dewa Arak malah sebaliknya. Serangan-serangan pemuda ini semakin bertubi-tubi menghujani lawan. Dalam menghadapi Mayat Kuburan Koneng, Arya tidak menguras seluruh kemampuannya. Bahkan gucinya tidak digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata. Meskipun begitu, sesekali guci araknya dijumput dan ditenggak isinya. Kemudian gucinya disampirkan kembali ke punggung.
Tentu saja hati Mayat Kuburan Koneng semakin ber-tambah geram. Pemuda berambut putih keperakan itu dianggap sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum arak, mampu bertarung. Berarti, Mayat Kuburan Koneng sama sekali tidak dianggap Dewa Arak.
Maka, kontan kemarahannya semakin berkobar. Kemarahan hebat yang membakar dada, membuat Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk mengadu nyawa. Dia tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan anak buahnya. Padahal, dendam atas kematian Janggulapati saja belum bisa terbalaskan. Yang jelas, kalau tak bisa menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan bisa mati meram.
Dengan munculnya tekad untuk mengadu nyawa, kini Mayat Kuburan Koneng kembali melancarkan serangan secara membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi pertahanan dirinya. Yang ada di benaknya hanya satu. Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak.
Arya terkejut begitu merasakan perubahan mendadak pada serangan lawan yang menjadi liar dan kalang-kabut kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri sendiri.
Plak... plak... plak..!
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng berhasil ditangkis Dewa Arak. Akibatnya, tubuh laki-laki berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke belakang seraya meringis kesakitan. Kedua tangan terasa linu dan sulit digerakkan.
Tapi, Mayat Kuburan Koneng yang telah kalap langsung mematahkan kekuatan yang mendorong tubuhnya itu. Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Melihat hal ini, Arya sadar kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa. Tentu saja pemuda berambut putih keperakan itu tidak meladeninya. Maka kembali digunakannya jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk menghindari diri dari setiap serangan lawan.
Kembali pertarungan berlangsung seperti pada jurus-jurus awal Mayat Kuburan Koneng menyerang kalang kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang’.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi. Rasa marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk dalam hatinya. Keinginan untuk membunuh Dewa Arak telah begitu menggebu-gebu. Tapi sayangnya hal itu tidak mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam luapan perasaan yang bergejolak.
Lebih dari dua puluh jurus laki-laki berpakaian putih ini menyerang kalang kabut. Tapi, tetap saja tidak mampu menyarangkan tangan atau kakinya pada sasaran. Bahkan, mendesak Dewa Arak pun belum mampu.
Mayat Kuburan Koneng ingin menjerit keras saking bingungnya. Pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap saja belum mampu mendesak Dewa Arak. Sementara kelelahan perlahan mulai melandanya. Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala.
Melihat keadaan ini, Mayat Kuburan Koneng khawatir tidak akan bisa mewujudkan maksudnya untuk membunuh Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya segera diberi isyarat untuk membantunya. Begitu melihat tanda dari pemimpinnya, belasan orang itu segera bergerak meluruk ke arah Dewa Arak.
Memang, sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal menunggu perintah saja. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata terhunus di tangan. Tak pelak lagi, hujan belasan senjata itu menyerang ke arah Dewa Arak disertai desingan-desingan nyaring yang merobek udara.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hai ini. Serangan belasan orang berwajah angker itu sama sekali tidak diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru saja dielakkannya. Tambahan lagi, para pengeroyok itu menyerangnya dari berbagai jurusan. Sudah dapat diterka kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan serangan secara bersama-sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Dewa Arak segera memuta-rmutarkan kedua tangannya di depan dada. Maka kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali. Tubuh sebagian para pengeroyoknya berpentalan ke belakang seperti dilanda angin topan. Senjata-senjata mereka pun berpentalan tak tentu arah.
Sedangkan serangan dari yang lainnya dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Arya memang langsung mengerahkan tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam senjata.
Memang dengan perbedaan tenaga dalam di antara kedua pihak yang terlalu jauh, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan membuat tubuhnya tidak bisa dilukai senjata.
Sementara, sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau pada saat yang sama, Mayat Kuburan Koneng melancarkan serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Tidak ada kesempatan lagi bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dan andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-laki berpakaian putih itu sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang tokoh tingkat tinggi, Arya tahu kalau serangan yang di-lancarkan Mayat Kuburan Koneng kali ini merupakan serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan sambung-menyambung laksana gelombang laut. Karena tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung digunakannya jurus 'Pukulan Belalang".
Wusss...!
Angin keras berhawa panas berhembus keras dari kedua tangan Arya yang dihentakkan.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara, dan jaraknya sudah terlalu dekat dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindari serangan itu, dan hanya sempat membelalakkan sepasang matanya. Maka....
Bresss...!
"Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar dari mulut laki-laki berpakaian putih itu, begitu pukulan jarak jauh Dewa Arak keras dan telak sekali menghantam perutnya. Seketika itu juga tubuh Mayat Kuburan Koneng terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di tanah ketika telah melayang-layang jauh.
Laki-laki berpakaian putih ini tewas dalam keadaan seluruh tubuh gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika menyebar di tempat itu. Belasan pasang mata anak buah Mayat Kuburan Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki berwajah pucat itu.
Tahu kalau lawan yang masih muda itu memiliki kepandaian luar biasa, mereka pun cepat-cepat membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama sekali tidak dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum mampu bangkit karena luka yang diderita. Namun Arya sama sekali tidak mengejar, dan juga tidak mempedulikan para pengeroyok yang merintih-rintih di tanah tak mampu bangkit.
Sambil menghela napas berat, dihampirinya tubuh Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh sesat yang berjuluk 'mayat’ itu benar-benar telah menjadi mayat. Untuk kesekian kalinya, ada perasaan sesal di hati Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan maut pada lawannya.
Memang, Arya sebenarnya tidak ingin membunuh. Pemuda berambut putih keperakan itu menatap sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Paling tidak itu untuk mengusir perasaan sesal yang merayapi hatinya.
Arya menghibur hatinya sendiri agar perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak bermaksud membunuh. Tapi, lawanlah yang terlalu memaksanya.
"Urus mayat pemimpin kalian. Mengerti?!" ujar Dewa Arak pada beberapa orang anak buah Mayat Kuburan Koneng yang masih tergolek di situ.
Mereka semua menundukkan kepala, karena khawatir Dewa Arak akan melepaskan tangan kejam.
"Mengerti, Tuan Pendekar...."
Hampir berbareng para pengeroyok yang tergolek, dan berjumlah lima orang itu menganggukkan kepala.
Arya tersenyum pahit, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Masih sempat didengarnya desah kelegaan dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena tidak jadi dibunuh?
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment