Setan Mabuk berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Tokoh sesat berkepala botak itu ingin buru-buru tiba di tempat yang ditujunya.
Padahal, markas Perguruan Naga Hijau terletak cukup jauh dari tempatnya sekarang berada. Namun bila dibanding desa-desa lainnya. Desa Koneng memang terletak paling dekat dengan Perguruan Naga Hijau di lereng Gunung Koneng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah amat tinggi, dalam waktu tak berapa lama kakek berkepala botak ini telah berada di kaki Gunung Koneng. Dan kini, dia mulai sibuk mendaki ke atas. Lincah dan gesit laksana kera,
Setan Mabuk berlompatan ke sana kemari. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian hinggap pada batu-batuan yang menonjol. Begitu ujung kakinya menotok bebatuan, tubuhnya kembali melenting ke atas. Begitu seterusnya. Memang bagi seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sepertinya bukan merupakan hal yang sulit untuk melakukan semua itu.
Tak lama kemudian, pandangan matanya sudah menangkap bangunan besar dan megah di kejauhan. Melihat hal ini, semangat Setan Mabuk pun semakin bertambah. Dan dengan demikian, larinya pun semakin cepat pula.
Sementara itu di Perguruan Naga Hijau, dua orang murid penjaga gerbang tampak mengernyitkan dahi. Mereka melihat di kejauhan ada sesosok tubuh yang tengah bergerak mendekati perguruan. Karena belum mengetahui maksud kedatangan sosok tubuh yang tengah bergerak, kedua orang itu harus bersikap waspada.
"He... he... he...!"
Begitu telah berjarak dua tombak dengan kedua orang penjaga pintu gerbang. Setan Mabuk tertawa terkekeh, setelah terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Kemudian, diangkatnya guci yang sejak tadi digenggam dengan tangan kiri. Dan kini terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Siapa kau?!" tegur seorang murid Perguruan Naga Hijau yang berkulit kemerahan. "Apa keperluanmu datang kemari?"
"He... he... he...!"
Setan Mabuk menurunkan guci araknya, seraya mengusap sekitar mulutnya yang basah dengan punggung tangan. Kemudian dengan keadaan tubuh doyong ke sana kemari, kakinya melangkah mendekati kedua orang murid Perguruan Naga Hijau.
"Aku? Kau bertanya siapa diriku. Kodok Buduk?! He... he... he...! Lucu! Kau tidak mengenalku? Aku Setan Mabuk! Dengar, Setan Mabuk! Dan keperluanku adalah akan membasmi perguruan kalian!"
"Keparat!" maki penjaga pintu gerbang yang seorang lagi. Dan...
“Srattt...!”
Sinar terang berkilatan ketika penjaga itu meloloskan pedang dari sarungnya. "Cabut senjatamu, Setan Mabuk! Sebelum pedang di tanganku merobek-robek perut yang bulat seperti guci arakmu!"
"Hm...!" terdengar suara gumaman dari hidung Setan Mabuk. Mendadak...
“Pruhhh...!”
Dari mulut Setan Mabuk tiba-tiba keluar butir-butir arak. Rupanya kakek berperut buncit ini tadi tidak meminum arak seluruhnya. Sebagian disimpannya di mulut dan langsung disemburkan ke arah murid Perguruan Naga Hijau yang telah menantangnya.
Semburan arak Setan Mabuk tidak bisa dianggap remeh, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, semburan itu tak ubahnya luncuran anak panah.
Kedua orang murid Perguruan Naga Hijau yang menjaga pintu gerbang seketika terperanjat. Apalagi, rekan si laki-laki berkulit kemerahan yang mendapat serangan itu. Dengan agak gugup pedangnya digerakkan untuk menangkis serangan semburan arak itu.
“Tring, tring. tring...! Tasss, tasss, tasss…!”
"Akh...!"
Murid Perguruan Naga Hijau menjerit memilukan ketika butiran-butiran arak itu mengenai beberapa bagian wajahnya.
Akibatnya mengerikan sekali. Sekujur wajah yang terkena semburan arak itu berlubang. Darah segar langsung menetes dari bagian yang terkena. Tak pelak lagi, selebar wajah murid yang sial itu dipenuhi darah.
Rasa sakit dan perih yang amat sangat mendera rekan laki-laki berkulit kemerahan itu. Dan belum sempat murid yang sial itu berbuat sesuatu, tangan Setan Mabuk telah bergerak melambai.
Seketika murid Perguruan Naga Hijau itu tertarik keras ke depan. Dan begitu tubuhnya telah dekat, kakek berkepala botak itu mengayunkan gucinya ke arah kepala.
“Wuttt ! Prakkk..!”
Suara berderak keras mengiringi pecahnya kepala rekan laki-laki berkulit kemerahan. Cairan merah bercampur putih seketika muncrat-muncrat. Tubuh orang itu langsung ambruk tanpa bersuara lagi. Saat itu juga, nyawa murid Perguruan Naga Hijau seketika melayang meninggalkan raganya
Laki-laki berkulit kemerahan terperanjat melihat kematian kawannya secara begitu mudah dan mengerikan. Tapi sesaat kemudian, rasa terkejutnya segera sirna dan berganti kemarahan yang amat sangat. Kakek ini datang-datang telah menurunkan tangan maut pada rekannya. Ini tidak bisa didiamkan.
“Srattt...!”
Laki-laki berkulit kemerahan itu pun mencabut pedang, dan langsung menusukkannya ke arah dada kakek berperut buncit.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Sama sekali tidak dipedulikannya sambaran pedang yang meluncur cepat ke arah perutnya.
“Takkk...!”
Pedang murid Perguruan Naga Hijau langsung terpental kembali begitu mengenal sasaran. Sepertinya, yang ditusuk laki-laki berkulit kemerahan adalah gumpalan karet kenyal!
Maka laki-laki berkulit kemerahan itu terperanjat begitu melihat perut lawan sama sekali tidak terpengaruh oleh tusukan pedangnya. Bahkan justru tangannya yang terasa bergetar hebat.
Belum lagi rasa terkejutnya hilang, tangan Setan Mabuk telah mencengkeram pangkal lehernya. Langsung dibenturkannya kepala murid Perguruan Naga Hijau dengan kepalanya sendiri.
“Prakkk...!”
Terdengar suara berderak keras ketika kepala laki-laki berkulit kemerahan itu hancur berantakan. Tubuhnya limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian tak berkutik lagi.
"He... he... he...!”
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat lawan tak berdaya lagi. Kemudian bagaikan melempar sebuah karung basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan begitu saja ke tanah. Lalu, tokoh sesat itu melesat ke dalam.
Baru saja melewati pintu gerbang yang memang terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan orang berseragam kuning bergambar naga pada dada kirinya. Semuanya murid Perguruan Naga Hijau.
Rupanya mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga berbondong-bondong menuju ke luar. Betapa terkejutnya hati murid-murid Perguruan Naga Hijau begitu melihat seorang kakek berkepala botak telah melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Dari sikapnya yang kasar, bisa diduga golongan kakek gendut itu berasal. Tidak salah lagi! Pasti golongan hitam! Melihat orang kasar seperti kakek itu bisa masuk ke dalam, sudah dapat dipastikan kalau masuknya pasti dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang penjaga pintu gerbang telah berhasil digilasnya. Tanda noda darah di bagian kepala Setan Mabuk kian memperjelas persoalannya.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat keterkejutan belasan murid Perguruan Naga Hijau di hadapannya. Kakek berkepala botak ini memang sudah memutuskan untuk menghancurkan Perguruan Naga Hijau, bukan karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat kerusuhan sebanyak mungkin agar Dewa Arak muncul.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, segera diserbunya belasan murid Perguruan Naga Hijau yang memang sudah bersiap dengan senjata di tangan.
Sekali menyerang, Setan Mabuk langsung mengeluar-kan ilmu andalannya, 'Seribu Satu Gerakan Setan Mabuk'. Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan juga araknya dikeluarkan untuk menghadapi belasan orang pengeroyoknya.
Sepak terjang Setan Mabuk benar-benar menggiriskan. Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur, sudah dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk ke tanah. Dalam waktu sebentar saja, empat orang murid Perguruan Naga Hijau roboh bergelimpangan untuk selama-lamanya.
Murid-murid Perguruan Naga Hijau yang tersisa terkejut bukan main melihat kehebatan kakek berperut buncit itu. Sungguh tidak disangka kalau dalam beberapa gebrakan saja, Setan Mabuk mampu membinasakan keempat rekan mereka. Pikiran seperti itu membuat mereka memaksakan diri untuk mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Senjata-senjata merekapun berkelebat mencari sasaran. Tapi perlawanan keras murid-murid Perguruan Naga Hijau sama sekali tidak berarti banyak.
Setan Mabuk terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan pedang yang menyambar, selain ke arah matanya dibiarkan saja. Hebatnya, setiap serangan yang menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk kembali membalik seperti menghantam gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja. Tangan yang menggenggam pedang pun bergetar hebat seperti akan lumpuh.
Sebaliknya, setiap serangan kakek berperut buncit itu selalu diakhiri oleh lolong kesakitan yang menyayat hati. Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa kali merenggut nyawa. Penjagalan manusia secara tak berperikemanusiaanpun berlangsung di halaman Perguruan Naga Hijau.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh begitu tidak ada lagi lawannya yang berdiri tegak. Semua tergolek di tanah dalam keadaan tidak bernyawa. Setelah puas memperhatikan mayat-mayat yang terkapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri bangunan Perguruan Naga Hijau.
Diambilnya beberapa batang kayu dari sekitar bangunan, lalu digosokkannya satu sama lain. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, bukan hal yang sulit untuk menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu.
"He... he... he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, Setan Mabuk melemparkan potongan-potongan kayu itu ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api mulai membakar bangunan itu. Semakin lama, api semakin besar dan membumbung tinggi.
Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak ada jerit kematian, karena seluruh murid Perguruan Naga Hijau memang telah dibinasakannya. Namun, entah berada di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah bersemadi di puncak Gunung Koneng.
Seiring semakin membesarnya api, sekeliling tempat itu pun terasa panas di kulit Setan Mabuk melangkah ke belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit tubuhnya. Kakek berperut buncit ini memperhatikan api yang membakar bangunan perguruan itu dari jarak yang cukup jauh.
"He... he... he...!"
Dengan tawa terkekeh yang selalu keluar dari mulutnya, Setan Mabuk melangkah meninggalkan tempat itu. Dengan langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat cepat bagai kilat.
Semakin lama, suara tawa kakek berkepala botak itu semakin mengecil. Suara tawa itu akhirnya lenyap, seiring dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan.
***
Suara gemeretak kayu yang terbakar diiringi meletiknya beberapa gelintir bara api, menyemaraki kesibukan seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang tengah memanggang seekor ayam hutan.
Dengan jakun turun naik dan air liur yang hampir menitik, pemuda berpakaian ungu itu terus tenggelam dalam kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-ngebutkan daun nangka yang dijadikannya kipas. Sedangkan tangan kirinya sibuk memutar-mutar bambu yang memanggang ayam.
Cuping hidung pemuda itu kembang kempis begitu mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum memanggang, dia telah membubuhkan bumbu secukupnya. Tidak aneh jika akhirnya tercium bau sedap, sehingga perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta segera diisi.
Setelah yakin kalau panggangannya telah matang, pemuda berambut putih keperakan itu mulai menikmatinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat mulut lagi. Rupanya, pemuda itu dilanda lapar yang amat sangat. Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis disikat lalu dilanjutkan dengan potongan selanjutnya. Dalam waktu tak lama, panggang ayam hutan itu telah habis dilahap.
"Ahhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendesah puas. Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak dengan punggung tangan. Kemudian, tubuhnya disandarkan di pohon seraya menepuk-nepuk perutnya yang kini sudah tidak kempes lagi. Perlahan-lahan dijumput guci arak yang tadi diletakkan di dekatnya, lalu didekatkan ke mulut. Dan....
“Gluk... gluk... gluk...!” Terdengar tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan.
Menilik dari warna rambut, pakaian yang dikenakan, dan guci arak yang terbuat dari perak, sudah bisa diterka sosok pemuda itu. Ya! Dialah Arya Buana alias Dewa Arak.
Tentu saja sewaktu meminum arak, Dewa Arak tidak bermaksud mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya saja. Itulah sebabnya. Begitu araknya diminum, dia tidak terpengaruh sama sekali.
Perut kenyang, tubuh bersandar, dan angin pagi yang semilir, tidak aneh kalau membuat orang mengantuk. Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang matanya.
Perlahan-lahan sepasang matanya terpejam sendiri. Tapi rasa kantuknya kontan menguap entah kemana ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempatnya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot Arya menegang waspada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Semakin lama, langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan ini langsung bergerak bangkit. Guci arak yang tergeletak di samping kanannya, dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan.
Kini Dewa Arak duduk tegak menunggu. Ingin diketahuinya pemilik langkah itu. Menilik dari suaranya, dia tahu kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang saja. Tak lama kemudian, dari arah sebelah kiri Dewa Arak tampak muncul serombongan orang berwajah angker. Empat orang di antara mereka memikul sebuah tandu.
Melihat hal ini, kewaspadaan Dewa Arak mulai mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau rombongan yang seluruhnya berjumlah enam belas orang adalah pengawal pemilik tandu yang akan pindah tempat.
Arya melirik sekilas ke arah rombongan itu. Tampak empat orang berada di depan tandu yang dipikul oleh empat orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di belakang, berjalan tak kurang dari delapan orang. Kemudian tanpa mempedulikan lagi, Dewa Arak segera menyandarkan punggungnya kembali ke pohon.
Memang pohon tempatnya bersandar berada di hadapan bagian hutan yang biasa dijadikan orang untuk menempuh perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi rombongan orang itu akan berlalu di depan Arya.
Semula Arya menduga kalau pemilik banyak langkah itu adalah rombongan perampok. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik langkah itu hanyalah rombongan orang yang mengawal sebuah tandu yang sudah pasti dimiliki seorang saudagar, dia pun tidak ambil peduli lagi.
Semakin lama rombongan itu semakin dekat dengan tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli, tapi tetap saja Dewa Arak memasang pendengarannya tajam-tajam. Maka dia bisa tahu, rombongan itu semakin mendekati tempatnya.
Mendadak, terdengar suara pelan seperti ada kain tersingkap. Dewa Arak yang merasa curiga segera membuka mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula hatinya tercekat. Suara kain yang tersingkap ternyata berasal dari samping kanan tandu. Yang mengejutkan Arya bukan tirai yang tersingkap, tapi 'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu.
Ternyata, empat bilah pisau melesat ke arahnya disertai suara mendesing nyaring. Namun Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali tibanya serangan, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Dewa Arak tidak berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk mengambil guci. Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menggulingkan tubuhnya ke samping.
“Cappp, cappp...!”
Tiga bilah pisau langsung menancap sampai gagangnya di batang pohon tempat bersandar Dewa Arak tadi. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam orang yang melemparkannya.
Belum juga Arya sempat memperbaiki keadaannya, dari balik tirai tandu melesat sesosok bayangan putih. Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan itu dengan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Kali ini Dewa Arak terpaksa menyalahi kebiasaannya. Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah menangkis langsung serangan sebelum bisa memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi kali ini, karena kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan, terpaksa tangannya bergerak menangkis. Sadar akan kekuatan tenaga dalam lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi segera seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan dalam tangkisan itu.
“Plak, plak…!”
Serangan sosok bayangan putih itu semuanya berhasil dikandaskan Dewa Arak. Bahkan tubuh sosok bayangan itupun terpental balik ke belakang. Sementara kedua tangan Arya hanya terasa bergetar hebat.
Lagi-lagi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu berhasil memperbaiki keadaannya, kembali datang serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan putih, melainkan dari orang-orang berwajah angker yang mengawal tandu. Secara serempak, mereka semua meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah.
Senjata-senjata yang tergenggam di tangan segera berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
“Sing, sing, sing...!”
Suara-suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan senjata para pengawal tandu itu. Kali ini, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan serangan. Arya tahu, perbedaan kekuatan tenaga dalam antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu sangat jauh. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, semua senjata itu mampu ditangkisnya tanpa terluka.
“Tak, tak, tak...!”
Suara berdetak keras terdengar berulang-ulang ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan kedua tangan Dewa Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-main lagi, langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Seketika terdengar jeritan-jeritan kaget dari mulut para pengawal tandu itu ketika tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi, senjata yang digenggam pun terlepas dari tangan dan berpentalan entah ke mana.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari kedua tangan yang berputaran itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuh para pengeroyoknya berpentalan tak tentu arah seperti dilanda angin topan.
“Hih…!”
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggetarkan jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang Dewa Arak. Tapi kali ini, Arya sama sekali tidak ingin menangkis serangan, karena empat orang pemikul tandu telah bergerak menghampiri guci araknya yang tertinggal.
Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan mereka. Maka seketika tubuh Arya melenting ke atas, melompati tubuh sosok bayangan putih. Pemuda berambut putih keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya harus cepat diambil lebih dulu sebelum empat orang pemikul tandu itu merampasnya.
Menyadari kalau tidak akan sampai lebih dulu, karena jaraknya dengan guci terlalu jauh, dan sementara empat orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil melompat, langsung dilancarkannya pukulan jarak jauh ke arah dua di antara empat orang yang sudah hampir mencapai guci.
“Wuttt..! Bresss...!”
Jeritan-jeritan ngeri terdengar ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak dan keras sekali menghantam punggung dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga, darah segar muncrat dari mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu itu terjungkal ke depan. Tubuh kedua orang yang sial itu menggelepar-gelepar sejenak, kemudian diam tidak bergerak lagi selama-lamanya.
Sementara dua orang lainnya terkejut bukan main melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka terhenti. Dan di saat itulah tubuh Arya melayang cepat. Seperti seekor burung garuda menyambar mangsa, dia meluruk dan menyambar guci araknya.
“Tappp...!”
Dewa Arak melentingkan tubuhnya beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, pandangannya langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang ternyata tidak melancarkan serangan kembali.
Arya sempat melihat kalau sosok bayangan putih itu melarang para pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok bayangan putih itu melangkah menghampiri pemuda berpakaian ungu itu.
"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak, penuh wibawa.
Mata pemuda itu langsung menatap sosok bayangan putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat seperti mayat. Tampangnya benar-benar menyeramkan. Pakaian-nya yang berwarna putih, semakin menambah seram penampilannya.
"Aku berjuluk Mayat Kuburan Koneng," sahut orang berpakaian putih itu.
Suaranya terdengar aneh. Pelan, tapi bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya hampir tidak bergerak sama sekali ketika berbicara. Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar tidak jelas.
"Memang tidak setenar julukanmu, Dewa Arak!"
Arya mengernyitkan alisnya. Dia memang tidak mengenal Mayat Kuburan Koneng. "Mengapa kau menyerangku, Mayat Kuburan Koneng?" tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih bersih itu sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu saja, Dewa Arak. Apakah julukan yang kau sandang sebanding dengan kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia persilatan?!"
"Hhh...!" Arya menghela napas berat.
Disadari kalau pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. "Kudengar, Setan Mabuk menantangmu. Terpaksa aku mendahuluinya. Karena apabila dia lebih dulu bertarung denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali denganku, Dewa Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya. "Setan Mabuk menantangku? Mengapa aku tidak tahu? Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar julukan-nya saja baru kali ini! Tapi yang jelas, tokoh itu pasti memiliki kepandaian yang amat tinggi. Mayat Kuburan Koneng yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi, secara tidak langsung mengakui kalau Setan Mabuk memiliki kepandaian di atasnya," kata hati Dewa Arak
"Ada satu hal lagi yang membuatku terpaksa mendahului Setan Mabuk, Dewa Arak'" Kali ini suara laki-laki berpakaian putih itu terdengar bersungguh-sungguh. Ada nada ancaman dalam suaranya yang terdengar mengerikan itu. "Kau kenal Janggulapati?"
Padahal, markas Perguruan Naga Hijau terletak cukup jauh dari tempatnya sekarang berada. Namun bila dibanding desa-desa lainnya. Desa Koneng memang terletak paling dekat dengan Perguruan Naga Hijau di lereng Gunung Koneng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah amat tinggi, dalam waktu tak berapa lama kakek berkepala botak ini telah berada di kaki Gunung Koneng. Dan kini, dia mulai sibuk mendaki ke atas. Lincah dan gesit laksana kera,
Setan Mabuk berlompatan ke sana kemari. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian hinggap pada batu-batuan yang menonjol. Begitu ujung kakinya menotok bebatuan, tubuhnya kembali melenting ke atas. Begitu seterusnya. Memang bagi seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sepertinya bukan merupakan hal yang sulit untuk melakukan semua itu.
Tak lama kemudian, pandangan matanya sudah menangkap bangunan besar dan megah di kejauhan. Melihat hal ini, semangat Setan Mabuk pun semakin bertambah. Dan dengan demikian, larinya pun semakin cepat pula.
Sementara itu di Perguruan Naga Hijau, dua orang murid penjaga gerbang tampak mengernyitkan dahi. Mereka melihat di kejauhan ada sesosok tubuh yang tengah bergerak mendekati perguruan. Karena belum mengetahui maksud kedatangan sosok tubuh yang tengah bergerak, kedua orang itu harus bersikap waspada.
"He... he... he...!"
Begitu telah berjarak dua tombak dengan kedua orang penjaga pintu gerbang. Setan Mabuk tertawa terkekeh, setelah terlebih dahulu menghentikan langkahnya. Kemudian, diangkatnya guci yang sejak tadi digenggam dengan tangan kiri. Dan kini terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Siapa kau?!" tegur seorang murid Perguruan Naga Hijau yang berkulit kemerahan. "Apa keperluanmu datang kemari?"
"He... he... he...!"
Setan Mabuk menurunkan guci araknya, seraya mengusap sekitar mulutnya yang basah dengan punggung tangan. Kemudian dengan keadaan tubuh doyong ke sana kemari, kakinya melangkah mendekati kedua orang murid Perguruan Naga Hijau.
"Aku? Kau bertanya siapa diriku. Kodok Buduk?! He... he... he...! Lucu! Kau tidak mengenalku? Aku Setan Mabuk! Dengar, Setan Mabuk! Dan keperluanku adalah akan membasmi perguruan kalian!"
"Keparat!" maki penjaga pintu gerbang yang seorang lagi. Dan...
“Srattt...!”
Sinar terang berkilatan ketika penjaga itu meloloskan pedang dari sarungnya. "Cabut senjatamu, Setan Mabuk! Sebelum pedang di tanganku merobek-robek perut yang bulat seperti guci arakmu!"
"Hm...!" terdengar suara gumaman dari hidung Setan Mabuk. Mendadak...
“Pruhhh...!”
Dari mulut Setan Mabuk tiba-tiba keluar butir-butir arak. Rupanya kakek berperut buncit ini tadi tidak meminum arak seluruhnya. Sebagian disimpannya di mulut dan langsung disemburkan ke arah murid Perguruan Naga Hijau yang telah menantangnya.
Semburan arak Setan Mabuk tidak bisa dianggap remeh, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, semburan itu tak ubahnya luncuran anak panah.
Kedua orang murid Perguruan Naga Hijau yang menjaga pintu gerbang seketika terperanjat. Apalagi, rekan si laki-laki berkulit kemerahan yang mendapat serangan itu. Dengan agak gugup pedangnya digerakkan untuk menangkis serangan semburan arak itu.
“Tring, tring. tring...! Tasss, tasss, tasss…!”
"Akh...!"
Murid Perguruan Naga Hijau menjerit memilukan ketika butiran-butiran arak itu mengenai beberapa bagian wajahnya.
Akibatnya mengerikan sekali. Sekujur wajah yang terkena semburan arak itu berlubang. Darah segar langsung menetes dari bagian yang terkena. Tak pelak lagi, selebar wajah murid yang sial itu dipenuhi darah.
Rasa sakit dan perih yang amat sangat mendera rekan laki-laki berkulit kemerahan itu. Dan belum sempat murid yang sial itu berbuat sesuatu, tangan Setan Mabuk telah bergerak melambai.
Seketika murid Perguruan Naga Hijau itu tertarik keras ke depan. Dan begitu tubuhnya telah dekat, kakek berkepala botak itu mengayunkan gucinya ke arah kepala.
“Wuttt ! Prakkk..!”
Suara berderak keras mengiringi pecahnya kepala rekan laki-laki berkulit kemerahan. Cairan merah bercampur putih seketika muncrat-muncrat. Tubuh orang itu langsung ambruk tanpa bersuara lagi. Saat itu juga, nyawa murid Perguruan Naga Hijau seketika melayang meninggalkan raganya
Laki-laki berkulit kemerahan terperanjat melihat kematian kawannya secara begitu mudah dan mengerikan. Tapi sesaat kemudian, rasa terkejutnya segera sirna dan berganti kemarahan yang amat sangat. Kakek ini datang-datang telah menurunkan tangan maut pada rekannya. Ini tidak bisa didiamkan.
“Srattt...!”
Laki-laki berkulit kemerahan itu pun mencabut pedang, dan langsung menusukkannya ke arah dada kakek berperut buncit.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Sama sekali tidak dipedulikannya sambaran pedang yang meluncur cepat ke arah perutnya.
“Takkk...!”
Pedang murid Perguruan Naga Hijau langsung terpental kembali begitu mengenal sasaran. Sepertinya, yang ditusuk laki-laki berkulit kemerahan adalah gumpalan karet kenyal!
Maka laki-laki berkulit kemerahan itu terperanjat begitu melihat perut lawan sama sekali tidak terpengaruh oleh tusukan pedangnya. Bahkan justru tangannya yang terasa bergetar hebat.
Belum lagi rasa terkejutnya hilang, tangan Setan Mabuk telah mencengkeram pangkal lehernya. Langsung dibenturkannya kepala murid Perguruan Naga Hijau dengan kepalanya sendiri.
“Prakkk...!”
Terdengar suara berderak keras ketika kepala laki-laki berkulit kemerahan itu hancur berantakan. Tubuhnya limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia menggelepar, kemudian tak berkutik lagi.
"He... he... he...!”
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat lawan tak berdaya lagi. Kemudian bagaikan melempar sebuah karung basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan begitu saja ke tanah. Lalu, tokoh sesat itu melesat ke dalam.
Baru saja melewati pintu gerbang yang memang terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan orang berseragam kuning bergambar naga pada dada kirinya. Semuanya murid Perguruan Naga Hijau.
Rupanya mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga berbondong-bondong menuju ke luar. Betapa terkejutnya hati murid-murid Perguruan Naga Hijau begitu melihat seorang kakek berkepala botak telah melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Dari sikapnya yang kasar, bisa diduga golongan kakek gendut itu berasal. Tidak salah lagi! Pasti golongan hitam! Melihat orang kasar seperti kakek itu bisa masuk ke dalam, sudah dapat dipastikan kalau masuknya pasti dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang penjaga pintu gerbang telah berhasil digilasnya. Tanda noda darah di bagian kepala Setan Mabuk kian memperjelas persoalannya.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat keterkejutan belasan murid Perguruan Naga Hijau di hadapannya. Kakek berkepala botak ini memang sudah memutuskan untuk menghancurkan Perguruan Naga Hijau, bukan karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat kerusuhan sebanyak mungkin agar Dewa Arak muncul.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, segera diserbunya belasan murid Perguruan Naga Hijau yang memang sudah bersiap dengan senjata di tangan.
Sekali menyerang, Setan Mabuk langsung mengeluar-kan ilmu andalannya, 'Seribu Satu Gerakan Setan Mabuk'. Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan juga araknya dikeluarkan untuk menghadapi belasan orang pengeroyoknya.
Sepak terjang Setan Mabuk benar-benar menggiriskan. Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur, sudah dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk ke tanah. Dalam waktu sebentar saja, empat orang murid Perguruan Naga Hijau roboh bergelimpangan untuk selama-lamanya.
Murid-murid Perguruan Naga Hijau yang tersisa terkejut bukan main melihat kehebatan kakek berperut buncit itu. Sungguh tidak disangka kalau dalam beberapa gebrakan saja, Setan Mabuk mampu membinasakan keempat rekan mereka. Pikiran seperti itu membuat mereka memaksakan diri untuk mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Senjata-senjata merekapun berkelebat mencari sasaran. Tapi perlawanan keras murid-murid Perguruan Naga Hijau sama sekali tidak berarti banyak.
Setan Mabuk terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan pedang yang menyambar, selain ke arah matanya dibiarkan saja. Hebatnya, setiap serangan yang menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk kembali membalik seperti menghantam gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja. Tangan yang menggenggam pedang pun bergetar hebat seperti akan lumpuh.
Sebaliknya, setiap serangan kakek berperut buncit itu selalu diakhiri oleh lolong kesakitan yang menyayat hati. Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa kali merenggut nyawa. Penjagalan manusia secara tak berperikemanusiaanpun berlangsung di halaman Perguruan Naga Hijau.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh begitu tidak ada lagi lawannya yang berdiri tegak. Semua tergolek di tanah dalam keadaan tidak bernyawa. Setelah puas memperhatikan mayat-mayat yang terkapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri bangunan Perguruan Naga Hijau.
Diambilnya beberapa batang kayu dari sekitar bangunan, lalu digosokkannya satu sama lain. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, bukan hal yang sulit untuk menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu.
"He... he... he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, Setan Mabuk melemparkan potongan-potongan kayu itu ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api mulai membakar bangunan itu. Semakin lama, api semakin besar dan membumbung tinggi.
Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak ada jerit kematian, karena seluruh murid Perguruan Naga Hijau memang telah dibinasakannya. Namun, entah berada di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah bersemadi di puncak Gunung Koneng.
Seiring semakin membesarnya api, sekeliling tempat itu pun terasa panas di kulit Setan Mabuk melangkah ke belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit tubuhnya. Kakek berperut buncit ini memperhatikan api yang membakar bangunan perguruan itu dari jarak yang cukup jauh.
"He... he... he...!"
Dengan tawa terkekeh yang selalu keluar dari mulutnya, Setan Mabuk melangkah meninggalkan tempat itu. Dengan langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat cepat bagai kilat.
Semakin lama, suara tawa kakek berkepala botak itu semakin mengecil. Suara tawa itu akhirnya lenyap, seiring dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan.
***
Suara gemeretak kayu yang terbakar diiringi meletiknya beberapa gelintir bara api, menyemaraki kesibukan seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang tengah memanggang seekor ayam hutan.
Dengan jakun turun naik dan air liur yang hampir menitik, pemuda berpakaian ungu itu terus tenggelam dalam kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-ngebutkan daun nangka yang dijadikannya kipas. Sedangkan tangan kirinya sibuk memutar-mutar bambu yang memanggang ayam.
Cuping hidung pemuda itu kembang kempis begitu mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum memanggang, dia telah membubuhkan bumbu secukupnya. Tidak aneh jika akhirnya tercium bau sedap, sehingga perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta segera diisi.
Setelah yakin kalau panggangannya telah matang, pemuda berambut putih keperakan itu mulai menikmatinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat mulut lagi. Rupanya, pemuda itu dilanda lapar yang amat sangat. Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis disikat lalu dilanjutkan dengan potongan selanjutnya. Dalam waktu tak lama, panggang ayam hutan itu telah habis dilahap.
"Ahhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendesah puas. Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak dengan punggung tangan. Kemudian, tubuhnya disandarkan di pohon seraya menepuk-nepuk perutnya yang kini sudah tidak kempes lagi. Perlahan-lahan dijumput guci arak yang tadi diletakkan di dekatnya, lalu didekatkan ke mulut. Dan....
“Gluk... gluk... gluk...!” Terdengar tegukan ketika arak itu melewati tenggorokan.
Menilik dari warna rambut, pakaian yang dikenakan, dan guci arak yang terbuat dari perak, sudah bisa diterka sosok pemuda itu. Ya! Dialah Arya Buana alias Dewa Arak.
Tentu saja sewaktu meminum arak, Dewa Arak tidak bermaksud mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya saja. Itulah sebabnya. Begitu araknya diminum, dia tidak terpengaruh sama sekali.
Perut kenyang, tubuh bersandar, dan angin pagi yang semilir, tidak aneh kalau membuat orang mengantuk. Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang matanya.
Perlahan-lahan sepasang matanya terpejam sendiri. Tapi rasa kantuknya kontan menguap entah kemana ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempatnya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot Arya menegang waspada, siap menghadapi segala kemungkinan.
Semakin lama, langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati Dewa Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan ini langsung bergerak bangkit. Guci arak yang tergeletak di samping kanannya, dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan.
Kini Dewa Arak duduk tegak menunggu. Ingin diketahuinya pemilik langkah itu. Menilik dari suaranya, dia tahu kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang saja. Tak lama kemudian, dari arah sebelah kiri Dewa Arak tampak muncul serombongan orang berwajah angker. Empat orang di antara mereka memikul sebuah tandu.
Melihat hal ini, kewaspadaan Dewa Arak mulai mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau rombongan yang seluruhnya berjumlah enam belas orang adalah pengawal pemilik tandu yang akan pindah tempat.
Arya melirik sekilas ke arah rombongan itu. Tampak empat orang berada di depan tandu yang dipikul oleh empat orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di belakang, berjalan tak kurang dari delapan orang. Kemudian tanpa mempedulikan lagi, Dewa Arak segera menyandarkan punggungnya kembali ke pohon.
Memang pohon tempatnya bersandar berada di hadapan bagian hutan yang biasa dijadikan orang untuk menempuh perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi rombongan orang itu akan berlalu di depan Arya.
Semula Arya menduga kalau pemilik banyak langkah itu adalah rombongan perampok. Itulah sebabnya, mengapa sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik langkah itu hanyalah rombongan orang yang mengawal sebuah tandu yang sudah pasti dimiliki seorang saudagar, dia pun tidak ambil peduli lagi.
Semakin lama rombongan itu semakin dekat dengan tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli, tapi tetap saja Dewa Arak memasang pendengarannya tajam-tajam. Maka dia bisa tahu, rombongan itu semakin mendekati tempatnya.
Mendadak, terdengar suara pelan seperti ada kain tersingkap. Dewa Arak yang merasa curiga segera membuka mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula hatinya tercekat. Suara kain yang tersingkap ternyata berasal dari samping kanan tandu. Yang mengejutkan Arya bukan tirai yang tersingkap, tapi 'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu.
Ternyata, empat bilah pisau melesat ke arahnya disertai suara mendesing nyaring. Namun Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali tibanya serangan, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Dewa Arak tidak berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk mengambil guci. Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menggulingkan tubuhnya ke samping.
“Cappp, cappp...!”
Tiga bilah pisau langsung menancap sampai gagangnya di batang pohon tempat bersandar Dewa Arak tadi. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam orang yang melemparkannya.
Belum juga Arya sempat memperbaiki keadaannya, dari balik tirai tandu melesat sesosok bayangan putih. Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan itu dengan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Kali ini Dewa Arak terpaksa menyalahi kebiasaannya. Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah menangkis langsung serangan sebelum bisa memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi kali ini, karena kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan, terpaksa tangannya bergerak menangkis. Sadar akan kekuatan tenaga dalam lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi segera seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan dalam tangkisan itu.
“Plak, plak…!”
Serangan sosok bayangan putih itu semuanya berhasil dikandaskan Dewa Arak. Bahkan tubuh sosok bayangan itupun terpental balik ke belakang. Sementara kedua tangan Arya hanya terasa bergetar hebat.
Lagi-lagi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu berhasil memperbaiki keadaannya, kembali datang serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan putih, melainkan dari orang-orang berwajah angker yang mengawal tandu. Secara serempak, mereka semua meluruk memburu tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah.
Senjata-senjata yang tergenggam di tangan segera berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
“Sing, sing, sing...!”
Suara-suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan senjata para pengawal tandu itu. Kali ini, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan serangan. Arya tahu, perbedaan kekuatan tenaga dalam antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu sangat jauh. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, semua senjata itu mampu ditangkisnya tanpa terluka.
“Tak, tak, tak...!”
Suara berdetak keras terdengar berulang-ulang ketika senjata-senjata itu berbenturan dengan kedua tangan Dewa Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-main lagi, langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Seketika terdengar jeritan-jeritan kaget dari mulut para pengawal tandu itu ketika tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi, senjata yang digenggam pun terlepas dari tangan dan berpentalan entah ke mana.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari kedua tangan yang berputaran itu muncul angin keras. Akibatnya, tubuh para pengeroyoknya berpentalan tak tentu arah seperti dilanda angin topan.
“Hih…!”
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggetarkan jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang Dewa Arak. Tapi kali ini, Arya sama sekali tidak ingin menangkis serangan, karena empat orang pemikul tandu telah bergerak menghampiri guci araknya yang tertinggal.
Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan mereka. Maka seketika tubuh Arya melenting ke atas, melompati tubuh sosok bayangan putih. Pemuda berambut putih keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya harus cepat diambil lebih dulu sebelum empat orang pemikul tandu itu merampasnya.
Menyadari kalau tidak akan sampai lebih dulu, karena jaraknya dengan guci terlalu jauh, dan sementara empat orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil melompat, langsung dilancarkannya pukulan jarak jauh ke arah dua di antara empat orang yang sudah hampir mencapai guci.
“Wuttt..! Bresss...!”
Jeritan-jeritan ngeri terdengar ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak dan keras sekali menghantam punggung dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga, darah segar muncrat dari mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu itu terjungkal ke depan. Tubuh kedua orang yang sial itu menggelepar-gelepar sejenak, kemudian diam tidak bergerak lagi selama-lamanya.
Sementara dua orang lainnya terkejut bukan main melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka terhenti. Dan di saat itulah tubuh Arya melayang cepat. Seperti seekor burung garuda menyambar mangsa, dia meluruk dan menyambar guci araknya.
“Tappp...!”
Dewa Arak melentingkan tubuhnya beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya hinggap di tanah, pandangannya langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang ternyata tidak melancarkan serangan kembali.
Arya sempat melihat kalau sosok bayangan putih itu melarang para pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok bayangan putih itu melangkah menghampiri pemuda berpakaian ungu itu.
"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak, penuh wibawa.
Mata pemuda itu langsung menatap sosok bayangan putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat seperti mayat. Tampangnya benar-benar menyeramkan. Pakaian-nya yang berwarna putih, semakin menambah seram penampilannya.
"Aku berjuluk Mayat Kuburan Koneng," sahut orang berpakaian putih itu.
Suaranya terdengar aneh. Pelan, tapi bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya hampir tidak bergerak sama sekali ketika berbicara. Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar tidak jelas.
"Memang tidak setenar julukanmu, Dewa Arak!"
Arya mengernyitkan alisnya. Dia memang tidak mengenal Mayat Kuburan Koneng. "Mengapa kau menyerangku, Mayat Kuburan Koneng?" tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih bersih itu sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu saja, Dewa Arak. Apakah julukan yang kau sandang sebanding dengan kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia persilatan?!"
"Hhh...!" Arya menghela napas berat.
Disadari kalau pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. "Kudengar, Setan Mabuk menantangmu. Terpaksa aku mendahuluinya. Karena apabila dia lebih dulu bertarung denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali denganku, Dewa Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya. "Setan Mabuk menantangku? Mengapa aku tidak tahu? Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar julukan-nya saja baru kali ini! Tapi yang jelas, tokoh itu pasti memiliki kepandaian yang amat tinggi. Mayat Kuburan Koneng yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi, secara tidak langsung mengakui kalau Setan Mabuk memiliki kepandaian di atasnya," kata hati Dewa Arak
"Ada satu hal lagi yang membuatku terpaksa mendahului Setan Mabuk, Dewa Arak'" Kali ini suara laki-laki berpakaian putih itu terdengar bersungguh-sungguh. Ada nada ancaman dalam suaranya yang terdengar mengerikan itu. "Kau kenal Janggulapati?"
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment