“Gila!”
Betapapun Kera Bukit Setan berusaha mempertahankannya, tetap saja tubuhnya ikut terbawa arah gerakan tangan Setan Mabuk. Dan kini tubuh laki-laki berompi hitam itu terputar-putar di udara.
Dan dengan sendirinya, Kera Bukit Setan tidak mampu mengadakan perlawanan lagi. Tidak ada lagi landasan baginya untuk dijadikan tempat menahan putaran tangan lawan. Kini, dia hanya bisa pasrah saja.
"He... he... he...! Menarik sekali..! Ada kambing kurus yang bisa terbang dan berputaran di udara...!"
Setan Mabuk tertawa-tawa gembira. Bahkan juga menambah tenaga putaran tangannya, sehingga membuat putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin cepat.
Laki-laki kecil kurus itu menggigit bibir. Pening kepala-nya karena diputar-putar seperti itu. Sekelilingnya tampak berputar cepat. Disadari, kalau tidak berbuat sesuatu, keadaannya semakin gawat.
Buntara memperhatikan semua itu dengan mata terbelalak. Kalau tidak melihatnya sendiri, dia mungkin tidak akan percaya akan kenyataan ini. Telah dibuktikan-nya sendiri kelihaian Kera Bukit Setan. Tapi, mengapa Setan Mabuk mampu melumpuhkannya dalam segebrakan? Sulit dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kakek berkepala botak ini.
Melihat kenyataan ini saja, Buntara tahu kalau dirinya pun bukan tandingan kakek pemabukan itu. Tapi meskipun begitu, kakek berwajah penuh senyum ini tidak sudi bersikap pengecut dan melarikan diri. Buntara memutuskan untuk tetap berada di situ, dan melihat perkembangan yang akan terjadi.
Sementara itu putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin menjadi-jadi. Tubuh laki-laki berompi hitam itu sudah tidak tampak lagi oleh pandangan mata, karena tubuhnya begitu cepat berputar. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang berputaran cepat di atas kepala Setan Mabuk.
"He... he... he...! Sekarang kambing kurus ini akan pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, kakek berkepala botak itu melepaskan cekalannya pada cambuk itu. Tak pelak lagi, tubuh yang tengah berputaran itu terlontar jauh! Bagai diberi aba-aba, tiga buah kepala sama-sama memandang ke arah tubuh Kera Bukit Setan melayang. Kepala Buntara, Jagar, dan Subarji mengikuti arah tubuh Kera Bukit Setan yang meluncur deras.
Kera Bukit Setan saat itu sudah setengah sadar. Rasa pusing dan mual seketika berkumpul menjadi satu. Bahkan telah hampir pingsan! Mungkin kalau Setan Mabuk sedikit menunda lemparannya, laki-laki kecil kurus ini sudah pingsan. Karena masih ada kesadaran yang tersisa, sehingga membuat Kera Bukit Setan berusaha menyelamatkan selembar nyawanya.
Dia berusaha melihat keadaan tempat tubuhnya meluncur. Tapi rasa pusing yang mendera, membuat pandangannya tetap berputar. Dalam kesadaran yang hanya tinggal sedikit itu, laki-laki berompi hitam ini berusaha terus menggunakan akalnya. Dia tahu, saat ini pandangannya tidak bisa diandalkan. Betapapun telah dipaksakan melihat ke depan, tetap saja seperti berputar.
Maka, untung-untungan laki-laki kecil kurus ini menjulurkan kedua tangannya ke depan seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam. Maksudnya, agar bila membentur pohon besar atau batu, kedua tangannya itulah yang menahannya lebih dulu. Dan karena tangannya telah dilindungi pengerahan tenaga dalam, kemungkinan untuk celaka kecil sekali.
“Srakkk...!”
Rupanya keberuntungan masih bersahabat dengan Kera Bukit Setan. Dan memang, ternyata tubuhnya meluncur deras ke arah semak-semak. Suara berkerosakan nyaring yang diakhiri suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh laki-laki berompi hitam itu menerobos kerimbunan semak dan roboh di tanah.
"He... he... he...! Rupanya nasib kambing kurus itu bagus juga...!" kata Setan Mabuk sambil terkekeh.
Setan Mabuk dan juga tiga orang lainnya terus memperhatikan tubuh Kera Bukit Setan. Guci arak kakek berkepala botak itu segera diangkat kembali ke arah wajah, lalu menuangkan isinya ke mulut.
Suara tegukan nyaring kembali terdengar ketika arak itu meluncur menuju perutnya. Dengan gerakan kasar, kakek berkepala botak itu menurunkan kembali guci araknya, lalu dipegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya, dengan gerakan kasar mengusap mulutnya yang penuh ceceran arak di sana-sini.
"He... he... he. .! Kalian pun akan mengalami hal yang serupa apabila tidak mau menunjukkan di mana Dewa Arak sekarang berada. He... he... he...!"
Dengan terputus-putus karena pengaruh hawa arak, kakek berkepala botak itu mengucapkan ancaman seraya melangkah terhuyung-huyung mendekati Buntara.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Buntara, Subarji, dan Jagar menggumamkan julukan itu. Raut wajah mereka seketika membayangkan keterkejutan yang hebat.
"He... he... he...! Benar! Dewa Arak...!" dengan suara tawa terkekeh yang tidak pernah tinggal dari mulutnya, kakek berkepala botak itu menyahuti. Jelas, pengaruh araklah yang membuatnya mudah sekali tertawa. "Kalau tidak mau memberi tahu di mana dia berada, kalian akan mengalami nasib yang sama."
Sambil berkata demikian, Setan Mabuk menatap tajam ke arah Buntara. Sepasang mata kakek berkepala botak ini tampak merah menyala. Entah karena memang warna matanya yang demikian, atau karena terlalu banyak minum arak.
"Aku memang sering mendengar nama besarnya. Tapi aku tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu. Andaikan tahu, tidak bakalan akan kuberitahukan padamu!"
Tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut kakek berwajah penuh senyum itu. Jelas, seperti mencerminkan kekukuhan yang tidak mungkin mampu digoyahkan. Apalagi sehabis mengucapkan kata-kata itu, Buntara menyilangkan pedangnya di depan dada. Semakin terlihat keteguhan hatinya memegang ucapannya. Hanya saja, raut wajah kakek ini tidak terlihat bersungguh-sungguh. Sehingga orang yang melihatnya, akan mengira Buntara bersikap main-main.
"He... he... he...!" Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh-kekeh. "Rupanya sapi gendut ini minta cepat-cepat disembelih!"
Buntara sama sekali tidak mempedulikan hinaan itu. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi segera melangkah mendekati. Langkahnya tidak sembarangan, tapi menyilang. Sementara sepasang matanya beredar mencari-cari bagian tubuh lawan yang akan diserang.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh saja melihat sikap lawannya, dan tampak memandang remeh sekali.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan keras yang menggetarkan jantung, dan membuat kedua kaki Jagar dan Subarji mendadak lemas, Buntara menusukkan pedang ke arah dada Setan Mabuk. Suara mendesing nyaring dari udara yang terobek terdengar ketika pedang itu meluncur menuju sasaran.
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Kemudian dengan langkah terhuyung seperti akan jatuh, kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu pun kandas, lewat setengah jengkal di samping kiri tubuhnya.
Buntara menggertakkan giginya. Rasa penasaran melanda hatinya. Maka begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera disusuli dengan serangan bertubi-tubi lainnya.
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan. Menusuk, membacok, menetak, dan menyontek. Tapi, tak satu pun yang mengenal sasaran.
Setan Mabuk dengan gerakan seperti akan jatuh, membuat semua serangan Buntara kandas percuma! Meskipun berkali-kali serangannya gagal, kakek berwajah penuh senyum itu tidak putus asa. Dia terus melancarkan serangan bertubi-tubi. Tekadnya tidak akan membiarkan lawan melancarkan serangan balasan.
Sampai dua puluh jurus lebih, Buntara mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjatuhkan serangan pada anggota tubuh Setan Mabuk. Tapi semua usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil seperti yang diharap-kan. Setan Mabuk dengan gerakan-gerakan aneh benar-benar membuat serangan Buntara jadi kandas.
"He... he... he...! Kini giliranku, Sapi Gendut..!" kata Setan Mabuk.
Dan begitu ucapannya selesai, gerakannya pun berubah mendadak. Tidak lagi lemas dan meliuk-liuk seperti akan jatuh. Namun kejang, keras, dan kasar penuh kekuatan. Dan kini tangan kanan Setan Mabuk mendadak dan tiba-tiba meluncur deras ke arah pelipis.
Buntara terkejut bukan kepalang menghadapi perubahan yang begitu mendadak ini, sehingga membuat-nya agak gugup. Tanpa pikir panjang lagi dia melompat ke belakang. Usaha kakek berwajah penuh senyum ini ternyata tidak sia-sia. Sambaran tangan itu berhasil dielakkan, lewat beberapa jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Setan Mabuk ternyata tidak hanya sampai di situ. Begitu serangan pertama berhasil dielak-kan, segera menyusuli dengan serangan selanjutnya. Kini setelah kakek berkepala botak itu melancarkan serangan balasan, dan tidak hanya mengelak saja seperti sebelumnya, Buntara baru merasakan betapa dahsyat lawannya. Memang diakui dia kalah dalam segala-galanya dibanding Setan Mabuk. Baik ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat. Dan begitu kakek berkepala botak mulai balas menyerang, serangan Buntara berhenti seketika.
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya mampu mengelak. Tubuhnya harus terpontang-panting ke sana kemari untuk menghindari serangan yang berkali-kali hampir merenggut nyawanya.
Kini Buntara hanya mampu mengelak. Menangkis pun hanya kalau ada kesempatan saja. Bila mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, sementara menyerang pun hanya sekali-sekali saja dilakukannya. Kakek berpakaian kuning ini benar-benar terdesak hebat. Sudah bisa dipasti-kan kalau robohnya Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya tinggal menunggu waktu saja.
“Wuttt..!”
Dengan gerakan tidak terduga-duga karena posisi kakinya tidak tetap. Setan Mabuk mengayunkan gucinya ke arah kepala Buntara. Karena tidak ada kesempatan mengelakkan serangan, terpaksa Buntara memutuskan untuk menangkis demi menyelamatkan selembar nyawanya.
“Tranggg..!”
Suara berdentang nyaring terdengar ketika pedang Buntara berbenturan dengan guci Setan Mabuk. Akibatnya, kakek berwajah penuh senyum itu langsung memekik tertahan. Tangannya terasa lumpuh, sehingga tanpa dapat ditahan pedangnya terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Sebelum Buntara berhasil memperbaiki posisi, tangan Setan Mabuk telah meluncur deras ke arah dadanya. Dan....
“Bukkk...!”
Tubuh Buntara terlempar ke belakang diiringi suara berderak keras dari tulang-tulang yang patah terkena pukulan. Darah segar langsung berceceran seiring melayangnya tubuh kakek berwajah penuh senyum itu.
“Brukkk...!”
Tidak ada geliat-geliat pada tubuh Buntara begitu menghantam tanah. Memang, nyawa Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini telah melayang selagi tubuhnya berada di udara.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya kini diam tidak bergerak lagi. Sejenak, diperhatikannya tubuh yang tergolek diam di tanah.
Subarji terpaku menatap mayat gurunya. Tapi, hanya sesaat saja dia berlaku demikian. Karena, kemarahan yang amat sangat telah menyadarkannya kembali dari keterpakuan.
Maka, sambil meraung keras seperti binatang buas terluka, Subarji melompat ke atas. Beberapa kali tubuhnya berputar di udara, lalu dari atas pedangnya menusuk cepat ke arah ubun-ubun.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Dengan gerakan sembarangan, tangan kanannya segera terulur. Dan….
“Tappp…!”
Sungguh di luar dugaan, mata pedang Subarji berhasil ditangkap! Bahkan tidak sedikit pun tangan Setan Mabuk terluka. Dan secepat senjata itu tertangkap, secepat itu pula dibetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh Subarji pun tertarik ke bawah. Tenaganya memang jauh di bawah tenaga Setan Mabuk. Jadi, tidak aneh jika dia ikut tertarik ke bawah sewaktu kakek berkepala botak itu membetotnya.
Apalagi, keadaannya memang tidak memungkinkan. Tubuhnya tengah berada di udara, dan tidak memiliki tandasan untuk berpijak. Begitu tubuh Subarji telah tertarik. Setan Mabuk langsung menyodokkan pedang yang digenggamnya.
“Blesss...! Akh...!”
Subarji menjerit keras ketika gagang pedang miliknya amblas ke dalam perutnya sendiri hingga sampai ke punggung.
Darah segar seketika muncrat-muncrat dari lukanya. Dan begitu kakek berkepala botak itu melepaskan pegangan, tubuh Subarji ambruk ke tanah. Sebentar laki-laki berkumis rapi itu menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Mati. Perhatian Setan Mabuk kini beralih pada Jagar yang berdiri dalam jarak sekitar tujuh tombak di hadapannya.
"Tahan, Setan Mabuk..!" seru Jagar keras seraya menjulurkan kedua tangannya ke depan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sengaja buru-buru berteriak mencegah, sebelum kakek berkepala botak itu melakukan tindakan terhadapnya.
"He... he... he...! Mengapa, Lutung Jelek?! Apakah kau tahu di mana Dewa Arak sehingga berani mencegahku? Perlu kau ketahui, aku tidak akan mengampunimu kalau kau tidak memberi tahu di mana adanya orang yang berani-beraninya menyaingi julukanku!"
Jagar menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ucapan kakek berkepala botak itu membuatnya merasa gentar bukan kepalang.
"Aku memang tidak mengetahui di mana Dewa Arak, Setan Mabuk. Tapi aku tahu, bagaimana caranya supaya dia datang mencarimu!"
Setan Mabuk mengangguk-anggukkan kepala. "He... he... he...! Bagus! Bagus sekali...! Bagaimana caranya, Lutung Jelek?!"
Sambil berkata begitu. Setan Mabuk melangkah menghampiri Jagar. Tentu saja dengan langkahnya yang ter-huyung-huyung seperti akan jatuh. Kedua kaki Jagar mendadak lemas tatkala kakek berkepala botak itu mendekatinya. Rasa gentar dan ngeri membuat kedua kakinya lemas mendadak.
"Buat kekacauan saja...! Pasti, Dewa Arak akan datang."
"Kalau dia tidak muncul, bagaimana...?!"
"Pasti datang, Setan Mabuk'" sahut Jagar yakin. "Aku tahu betul, Dewa Arak adalah orang yang mempunyai sifat usilan. Dia selalu ikut campur urusan orang lain."
Jagar menghentikan ucapannya sejenak. Diperhatikannya wajah Setan Mabuk lekat-lekat. Tegang hatinya ketika melihat kakek berkepala botak itu mengernyitkan dahinya, pertanda tengah berpikir keras. Dua pilihan kini tengah ditunggunya. Apakah Setan Mabuk ini menolak, atau menerimanya.
"Aku yakin, dia akan muncul ke tempat kekacauan itu, Setan Mabuk. Karena aku tahu. Dewa Arak telah berada di wilayah ini. Itu kudengar dari mulut perampok Hutan Gembor yang diampuninya."
"He... he... he...! Kau benar, Lutung Jelek! Aku pun mendengarnya. Itulah sebabnya, mengapa aku keluar dari tempatku. Ingin kulihat, seperti apa orang yang berani menyaingi julukanku! He... he... he..!"
"Kalau begitu, aku akan menghubungi rekan-rekanku dulu. Setan Mabuk."
"He... he... he.... Untuk apa, Lutung Jelek?!"
"Tentu saja untuk membuat kekacauan di mana-mana. Tapi..."
"Tapi apa?!" sentak Setan Mabuk begitu
Jagar menghentikan ucapannya. Terlihat Jelas, laki-laki bercambang bauk lebat itu merasa ragu-ragu meneruskan ucapannya. Jagar tidak langsung menjawab, dan hanya berdiam diri dengan sikap gugup.
"Cepat katakan, sebelum kesabaranku hilang dan kau kujadikan bangkai..!" ancam Setan Mabuk.
Wajah Jagar seketika memucat mendengar ancaman kakek berkepala botak itu. Dia tahu. Setan Mabuk tidak pernah bermain-main dengan ancamannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini merasakan adanya nada kesungguhan dalam ucapan tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Selama ini, tindakan kami selalu dihalang-halangi murid-murid Perguruan Naga Hijau...," sahut Jagar dengan nada terpaksa.
"He... he... he...! Kukira apa! Tak tahunya hanya itu saja, Lutung Jelek?! Mengenai Perguruan Naga Hijau, biar aku yang urus! Aku akan datang ke sana untuk memusnahkan perguruan itu selama-lamanya!" tandas Setan Mabuk. Keras dan lantang suaranya.
"Tapi... Tapi..., di tiap desa ada murid-murid Perguruan Naga Hijau yang menetap, Setan Mabuk...!"
Kakek berkepala botak itu kebingungan sesaat. "Kau boleh pergi dengan si kambing kurus itu...!" kata tokoh sesat pemabukan itu sambil menudingkan telunjuk-nya ke arah kerimbunan semak-semak, tempat Kera Bukit Setan tadi terjatuh. Tak puas hanya dengan menunjuk. Setan Mabuk melangkah menghampiri kerimbunan semak-semak itu.
Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya telah melesat sejauh sebelas tombak. Dari sini saja sudah bisa diketahui, betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berkepala botak ini. Tidak heran dalam sekejapan saja, dia sudah berada di tempat yang dituju.
“Srakkk…!”
Terdengar suara berkerosak ketika semak itu tersibak. Dan bertepatan dengan terkuaknya kerimbunan semak-semak itu. Kera Bukit Setan baru saja bangkit dari berbaringnya.
"Kau mau menjadi anak buahku, Kambing Kurus?!" tanpa menunggu lebih lama lagi Setan Mabuk langsung mengajukan pertanyaan.
Tanpa pikir panjang lagi. Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Jawab kalau kutanya, Kambing Kurus?!" sergah kakek berkepala botak itu keras.
"Aku bersedia...!" jawab Kera Bukit Setan.
"He... he... he...! Sekarang dengar baik-baik perintahku." Langsung saja Setan Mabuk memberi perintah. "Kau bersama lutung jelek itu harus membuat kekacauan di setiap desa. Dan bila telah melihat kedatangan Dewa Arak, segera beri tahu aku...! Mengerti?!"
"Mengerti, Setan Mabuk."
"He... he... he...! Bagus...! Bagus...! Kau memang tidak terlalu dungu, Kambing Kurus!"
Sambil berkata demikian, tangan Setan Mabuk bergerak menepuk-nepuk pipi Kera Bukit Setan yang hanya bisa berdiam diri saja. Laki-laki berompi hitam ini tahu, tidak ada gunanya melawan kakek berperut buncit itu. Melawan, berarti mati. Maka lebih baik mengalah saja.
"Ada satu lagi yang perlu kau ingat, Kambing Kurus," sambung Setan Mabuk lagi.
"Apa itu, Setan Mabuk?!"
"Setiap membuat kekacauan, jangan kau membinasakan semua orang. Sisakan beberapa orang agar memberi laporan pada Dewa Arak. Katakan! Bila Dewa Arak tidak ingin semua ini terjadi, dia harus datang dan meladeni tantanganku! Jelas?!"
"Jelas!" Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pergilah...!"
Kakek berkepala botak ini lalu mengibaskan tangannya. Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya tubuh Kera Bukit Setan terlempar jauh. Apalagi laki-laki kecil kurus ini sama sekali tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu.
Baru ketika tubuhnya telah berada di udara, Kera Bukit Setan berusaha keras agar tubuhnya tidak terbanting di tanah. Dengan kelihaiannya, tidak sulit mematahkan daya lontaran itu. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di sebelah Jagar.
"Ingat! Kalau main-main, tahu sendiri akibatnya...!"
Seketika tubuh Setan Mabuk pun berkelebat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya sudah berupa titik hitam. Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!" Hampir berbareng Jagar dan Kera Bukit Setan menghela napas lega.
Kini hati mereka tenang kembali begitu Setan Mabuk tidak terlihat lagi. Keduanya kemudian saling pandang sejenak
"Kau bersedia menjadi anak buahnya?" tanya Kera Bukit Setan sambil menatap wajah Jagar lekat-lekat.
"Apa boleh buat, daripada nyawaku melayang," sahut laki-laki bercambang bauk lebat itu. "Toh, tidak ada ruginya mempunyai pimpinan seperti dia. Kepandaiannya luar biasa! Bersama dia, aku akan bebas berbuat semauku tanpa takut lagi pada orang-orang usilan dari Perguruan Naga Hijau! Dan pasti perguruan itu tak lama lagi akan musnah!"
"Heh...?!" Kera Bukit Setan terperanjat "Benarkah ucapanmu itu?"
Jagar mengangguk. "Setan Mabuk pergi ke sana untuk menghancurkannya."
Kera Bukit Setan mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
***
Betapapun Kera Bukit Setan berusaha mempertahankannya, tetap saja tubuhnya ikut terbawa arah gerakan tangan Setan Mabuk. Dan kini tubuh laki-laki berompi hitam itu terputar-putar di udara.
Dan dengan sendirinya, Kera Bukit Setan tidak mampu mengadakan perlawanan lagi. Tidak ada lagi landasan baginya untuk dijadikan tempat menahan putaran tangan lawan. Kini, dia hanya bisa pasrah saja.
"He... he... he...! Menarik sekali..! Ada kambing kurus yang bisa terbang dan berputaran di udara...!"
Setan Mabuk tertawa-tawa gembira. Bahkan juga menambah tenaga putaran tangannya, sehingga membuat putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin cepat.
Laki-laki kecil kurus itu menggigit bibir. Pening kepala-nya karena diputar-putar seperti itu. Sekelilingnya tampak berputar cepat. Disadari, kalau tidak berbuat sesuatu, keadaannya semakin gawat.
Buntara memperhatikan semua itu dengan mata terbelalak. Kalau tidak melihatnya sendiri, dia mungkin tidak akan percaya akan kenyataan ini. Telah dibuktikan-nya sendiri kelihaian Kera Bukit Setan. Tapi, mengapa Setan Mabuk mampu melumpuhkannya dalam segebrakan? Sulit dibayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu kakek berkepala botak ini.
Melihat kenyataan ini saja, Buntara tahu kalau dirinya pun bukan tandingan kakek pemabukan itu. Tapi meskipun begitu, kakek berwajah penuh senyum ini tidak sudi bersikap pengecut dan melarikan diri. Buntara memutuskan untuk tetap berada di situ, dan melihat perkembangan yang akan terjadi.
Sementara itu putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin menjadi-jadi. Tubuh laki-laki berompi hitam itu sudah tidak tampak lagi oleh pandangan mata, karena tubuhnya begitu cepat berputar. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan hitam yang berputaran cepat di atas kepala Setan Mabuk.
"He... he... he...! Sekarang kambing kurus ini akan pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, kakek berkepala botak itu melepaskan cekalannya pada cambuk itu. Tak pelak lagi, tubuh yang tengah berputaran itu terlontar jauh! Bagai diberi aba-aba, tiga buah kepala sama-sama memandang ke arah tubuh Kera Bukit Setan melayang. Kepala Buntara, Jagar, dan Subarji mengikuti arah tubuh Kera Bukit Setan yang meluncur deras.
Kera Bukit Setan saat itu sudah setengah sadar. Rasa pusing dan mual seketika berkumpul menjadi satu. Bahkan telah hampir pingsan! Mungkin kalau Setan Mabuk sedikit menunda lemparannya, laki-laki kecil kurus ini sudah pingsan. Karena masih ada kesadaran yang tersisa, sehingga membuat Kera Bukit Setan berusaha menyelamatkan selembar nyawanya.
Dia berusaha melihat keadaan tempat tubuhnya meluncur. Tapi rasa pusing yang mendera, membuat pandangannya tetap berputar. Dalam kesadaran yang hanya tinggal sedikit itu, laki-laki berompi hitam ini berusaha terus menggunakan akalnya. Dia tahu, saat ini pandangannya tidak bisa diandalkan. Betapapun telah dipaksakan melihat ke depan, tetap saja seperti berputar.
Maka, untung-untungan laki-laki kecil kurus ini menjulurkan kedua tangannya ke depan seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam. Maksudnya, agar bila membentur pohon besar atau batu, kedua tangannya itulah yang menahannya lebih dulu. Dan karena tangannya telah dilindungi pengerahan tenaga dalam, kemungkinan untuk celaka kecil sekali.
“Srakkk...!”
Rupanya keberuntungan masih bersahabat dengan Kera Bukit Setan. Dan memang, ternyata tubuhnya meluncur deras ke arah semak-semak. Suara berkerosakan nyaring yang diakhiri suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh laki-laki berompi hitam itu menerobos kerimbunan semak dan roboh di tanah.
"He... he... he...! Rupanya nasib kambing kurus itu bagus juga...!" kata Setan Mabuk sambil terkekeh.
Setan Mabuk dan juga tiga orang lainnya terus memperhatikan tubuh Kera Bukit Setan. Guci arak kakek berkepala botak itu segera diangkat kembali ke arah wajah, lalu menuangkan isinya ke mulut.
Suara tegukan nyaring kembali terdengar ketika arak itu meluncur menuju perutnya. Dengan gerakan kasar, kakek berkepala botak itu menurunkan kembali guci araknya, lalu dipegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya, dengan gerakan kasar mengusap mulutnya yang penuh ceceran arak di sana-sini.
"He... he... he. .! Kalian pun akan mengalami hal yang serupa apabila tidak mau menunjukkan di mana Dewa Arak sekarang berada. He... he... he...!"
Dengan terputus-putus karena pengaruh hawa arak, kakek berkepala botak itu mengucapkan ancaman seraya melangkah terhuyung-huyung mendekati Buntara.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Buntara, Subarji, dan Jagar menggumamkan julukan itu. Raut wajah mereka seketika membayangkan keterkejutan yang hebat.
"He... he... he...! Benar! Dewa Arak...!" dengan suara tawa terkekeh yang tidak pernah tinggal dari mulutnya, kakek berkepala botak itu menyahuti. Jelas, pengaruh araklah yang membuatnya mudah sekali tertawa. "Kalau tidak mau memberi tahu di mana dia berada, kalian akan mengalami nasib yang sama."
Sambil berkata demikian, Setan Mabuk menatap tajam ke arah Buntara. Sepasang mata kakek berkepala botak ini tampak merah menyala. Entah karena memang warna matanya yang demikian, atau karena terlalu banyak minum arak.
"Aku memang sering mendengar nama besarnya. Tapi aku tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu. Andaikan tahu, tidak bakalan akan kuberitahukan padamu!"
Tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut kakek berwajah penuh senyum itu. Jelas, seperti mencerminkan kekukuhan yang tidak mungkin mampu digoyahkan. Apalagi sehabis mengucapkan kata-kata itu, Buntara menyilangkan pedangnya di depan dada. Semakin terlihat keteguhan hatinya memegang ucapannya. Hanya saja, raut wajah kakek ini tidak terlihat bersungguh-sungguh. Sehingga orang yang melihatnya, akan mengira Buntara bersikap main-main.
"He... he... he...!" Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh-kekeh. "Rupanya sapi gendut ini minta cepat-cepat disembelih!"
Buntara sama sekali tidak mempedulikan hinaan itu. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi segera melangkah mendekati. Langkahnya tidak sembarangan, tapi menyilang. Sementara sepasang matanya beredar mencari-cari bagian tubuh lawan yang akan diserang.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh saja melihat sikap lawannya, dan tampak memandang remeh sekali.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan keras yang menggetarkan jantung, dan membuat kedua kaki Jagar dan Subarji mendadak lemas, Buntara menusukkan pedang ke arah dada Setan Mabuk. Suara mendesing nyaring dari udara yang terobek terdengar ketika pedang itu meluncur menuju sasaran.
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Kemudian dengan langkah terhuyung seperti akan jatuh, kakinya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu pun kandas, lewat setengah jengkal di samping kiri tubuhnya.
Buntara menggertakkan giginya. Rasa penasaran melanda hatinya. Maka begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera disusuli dengan serangan bertubi-tubi lainnya.
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan. Menusuk, membacok, menetak, dan menyontek. Tapi, tak satu pun yang mengenal sasaran.
Setan Mabuk dengan gerakan seperti akan jatuh, membuat semua serangan Buntara kandas percuma! Meskipun berkali-kali serangannya gagal, kakek berwajah penuh senyum itu tidak putus asa. Dia terus melancarkan serangan bertubi-tubi. Tekadnya tidak akan membiarkan lawan melancarkan serangan balasan.
Sampai dua puluh jurus lebih, Buntara mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menjatuhkan serangan pada anggota tubuh Setan Mabuk. Tapi semua usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil seperti yang diharap-kan. Setan Mabuk dengan gerakan-gerakan aneh benar-benar membuat serangan Buntara jadi kandas.
"He... he... he...! Kini giliranku, Sapi Gendut..!" kata Setan Mabuk.
Dan begitu ucapannya selesai, gerakannya pun berubah mendadak. Tidak lagi lemas dan meliuk-liuk seperti akan jatuh. Namun kejang, keras, dan kasar penuh kekuatan. Dan kini tangan kanan Setan Mabuk mendadak dan tiba-tiba meluncur deras ke arah pelipis.
Buntara terkejut bukan kepalang menghadapi perubahan yang begitu mendadak ini, sehingga membuat-nya agak gugup. Tanpa pikir panjang lagi dia melompat ke belakang. Usaha kakek berwajah penuh senyum ini ternyata tidak sia-sia. Sambaran tangan itu berhasil dielakkan, lewat beberapa jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Setan Mabuk ternyata tidak hanya sampai di situ. Begitu serangan pertama berhasil dielak-kan, segera menyusuli dengan serangan selanjutnya. Kini setelah kakek berkepala botak itu melancarkan serangan balasan, dan tidak hanya mengelak saja seperti sebelumnya, Buntara baru merasakan betapa dahsyat lawannya. Memang diakui dia kalah dalam segala-galanya dibanding Setan Mabuk. Baik ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat. Dan begitu kakek berkepala botak mulai balas menyerang, serangan Buntara berhenti seketika.
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya mampu mengelak. Tubuhnya harus terpontang-panting ke sana kemari untuk menghindari serangan yang berkali-kali hampir merenggut nyawanya.
Kini Buntara hanya mampu mengelak. Menangkis pun hanya kalau ada kesempatan saja. Bila mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, sementara menyerang pun hanya sekali-sekali saja dilakukannya. Kakek berpakaian kuning ini benar-benar terdesak hebat. Sudah bisa dipasti-kan kalau robohnya Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya tinggal menunggu waktu saja.
“Wuttt..!”
Dengan gerakan tidak terduga-duga karena posisi kakinya tidak tetap. Setan Mabuk mengayunkan gucinya ke arah kepala Buntara. Karena tidak ada kesempatan mengelakkan serangan, terpaksa Buntara memutuskan untuk menangkis demi menyelamatkan selembar nyawanya.
“Tranggg..!”
Suara berdentang nyaring terdengar ketika pedang Buntara berbenturan dengan guci Setan Mabuk. Akibatnya, kakek berwajah penuh senyum itu langsung memekik tertahan. Tangannya terasa lumpuh, sehingga tanpa dapat ditahan pedangnya terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Sebelum Buntara berhasil memperbaiki posisi, tangan Setan Mabuk telah meluncur deras ke arah dadanya. Dan....
“Bukkk...!”
Tubuh Buntara terlempar ke belakang diiringi suara berderak keras dari tulang-tulang yang patah terkena pukulan. Darah segar langsung berceceran seiring melayangnya tubuh kakek berwajah penuh senyum itu.
“Brukkk...!”
Tidak ada geliat-geliat pada tubuh Buntara begitu menghantam tanah. Memang, nyawa Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini telah melayang selagi tubuhnya berada di udara.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya kini diam tidak bergerak lagi. Sejenak, diperhatikannya tubuh yang tergolek diam di tanah.
Subarji terpaku menatap mayat gurunya. Tapi, hanya sesaat saja dia berlaku demikian. Karena, kemarahan yang amat sangat telah menyadarkannya kembali dari keterpakuan.
Maka, sambil meraung keras seperti binatang buas terluka, Subarji melompat ke atas. Beberapa kali tubuhnya berputar di udara, lalu dari atas pedangnya menusuk cepat ke arah ubun-ubun.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Dengan gerakan sembarangan, tangan kanannya segera terulur. Dan….
“Tappp…!”
Sungguh di luar dugaan, mata pedang Subarji berhasil ditangkap! Bahkan tidak sedikit pun tangan Setan Mabuk terluka. Dan secepat senjata itu tertangkap, secepat itu pula dibetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh Subarji pun tertarik ke bawah. Tenaganya memang jauh di bawah tenaga Setan Mabuk. Jadi, tidak aneh jika dia ikut tertarik ke bawah sewaktu kakek berkepala botak itu membetotnya.
Apalagi, keadaannya memang tidak memungkinkan. Tubuhnya tengah berada di udara, dan tidak memiliki tandasan untuk berpijak. Begitu tubuh Subarji telah tertarik. Setan Mabuk langsung menyodokkan pedang yang digenggamnya.
“Blesss...! Akh...!”
Subarji menjerit keras ketika gagang pedang miliknya amblas ke dalam perutnya sendiri hingga sampai ke punggung.
Darah segar seketika muncrat-muncrat dari lukanya. Dan begitu kakek berkepala botak itu melepaskan pegangan, tubuh Subarji ambruk ke tanah. Sebentar laki-laki berkumis rapi itu menggelepar, lalu diam tak berkutik lagi. Mati. Perhatian Setan Mabuk kini beralih pada Jagar yang berdiri dalam jarak sekitar tujuh tombak di hadapannya.
"Tahan, Setan Mabuk..!" seru Jagar keras seraya menjulurkan kedua tangannya ke depan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sengaja buru-buru berteriak mencegah, sebelum kakek berkepala botak itu melakukan tindakan terhadapnya.
"He... he... he...! Mengapa, Lutung Jelek?! Apakah kau tahu di mana Dewa Arak sehingga berani mencegahku? Perlu kau ketahui, aku tidak akan mengampunimu kalau kau tidak memberi tahu di mana adanya orang yang berani-beraninya menyaingi julukanku!"
Jagar menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ucapan kakek berkepala botak itu membuatnya merasa gentar bukan kepalang.
"Aku memang tidak mengetahui di mana Dewa Arak, Setan Mabuk. Tapi aku tahu, bagaimana caranya supaya dia datang mencarimu!"
Setan Mabuk mengangguk-anggukkan kepala. "He... he... he...! Bagus! Bagus sekali...! Bagaimana caranya, Lutung Jelek?!"
Sambil berkata begitu. Setan Mabuk melangkah menghampiri Jagar. Tentu saja dengan langkahnya yang ter-huyung-huyung seperti akan jatuh. Kedua kaki Jagar mendadak lemas tatkala kakek berkepala botak itu mendekatinya. Rasa gentar dan ngeri membuat kedua kakinya lemas mendadak.
"Buat kekacauan saja...! Pasti, Dewa Arak akan datang."
"Kalau dia tidak muncul, bagaimana...?!"
"Pasti datang, Setan Mabuk'" sahut Jagar yakin. "Aku tahu betul, Dewa Arak adalah orang yang mempunyai sifat usilan. Dia selalu ikut campur urusan orang lain."
Jagar menghentikan ucapannya sejenak. Diperhatikannya wajah Setan Mabuk lekat-lekat. Tegang hatinya ketika melihat kakek berkepala botak itu mengernyitkan dahinya, pertanda tengah berpikir keras. Dua pilihan kini tengah ditunggunya. Apakah Setan Mabuk ini menolak, atau menerimanya.
"Aku yakin, dia akan muncul ke tempat kekacauan itu, Setan Mabuk. Karena aku tahu. Dewa Arak telah berada di wilayah ini. Itu kudengar dari mulut perampok Hutan Gembor yang diampuninya."
"He... he... he...! Kau benar, Lutung Jelek! Aku pun mendengarnya. Itulah sebabnya, mengapa aku keluar dari tempatku. Ingin kulihat, seperti apa orang yang berani menyaingi julukanku! He... he... he..!"
"Kalau begitu, aku akan menghubungi rekan-rekanku dulu. Setan Mabuk."
"He... he... he.... Untuk apa, Lutung Jelek?!"
"Tentu saja untuk membuat kekacauan di mana-mana. Tapi..."
"Tapi apa?!" sentak Setan Mabuk begitu
Jagar menghentikan ucapannya. Terlihat Jelas, laki-laki bercambang bauk lebat itu merasa ragu-ragu meneruskan ucapannya. Jagar tidak langsung menjawab, dan hanya berdiam diri dengan sikap gugup.
"Cepat katakan, sebelum kesabaranku hilang dan kau kujadikan bangkai..!" ancam Setan Mabuk.
Wajah Jagar seketika memucat mendengar ancaman kakek berkepala botak itu. Dia tahu. Setan Mabuk tidak pernah bermain-main dengan ancamannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini merasakan adanya nada kesungguhan dalam ucapan tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Selama ini, tindakan kami selalu dihalang-halangi murid-murid Perguruan Naga Hijau...," sahut Jagar dengan nada terpaksa.
"He... he... he...! Kukira apa! Tak tahunya hanya itu saja, Lutung Jelek?! Mengenai Perguruan Naga Hijau, biar aku yang urus! Aku akan datang ke sana untuk memusnahkan perguruan itu selama-lamanya!" tandas Setan Mabuk. Keras dan lantang suaranya.
"Tapi... Tapi..., di tiap desa ada murid-murid Perguruan Naga Hijau yang menetap, Setan Mabuk...!"
Kakek berkepala botak itu kebingungan sesaat. "Kau boleh pergi dengan si kambing kurus itu...!" kata tokoh sesat pemabukan itu sambil menudingkan telunjuk-nya ke arah kerimbunan semak-semak, tempat Kera Bukit Setan tadi terjatuh. Tak puas hanya dengan menunjuk. Setan Mabuk melangkah menghampiri kerimbunan semak-semak itu.
Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya telah melesat sejauh sebelas tombak. Dari sini saja sudah bisa diketahui, betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kakek berkepala botak ini. Tidak heran dalam sekejapan saja, dia sudah berada di tempat yang dituju.
“Srakkk…!”
Terdengar suara berkerosak ketika semak itu tersibak. Dan bertepatan dengan terkuaknya kerimbunan semak-semak itu. Kera Bukit Setan baru saja bangkit dari berbaringnya.
"Kau mau menjadi anak buahku, Kambing Kurus?!" tanpa menunggu lebih lama lagi Setan Mabuk langsung mengajukan pertanyaan.
Tanpa pikir panjang lagi. Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Jawab kalau kutanya, Kambing Kurus?!" sergah kakek berkepala botak itu keras.
"Aku bersedia...!" jawab Kera Bukit Setan.
"He... he... he...! Sekarang dengar baik-baik perintahku." Langsung saja Setan Mabuk memberi perintah. "Kau bersama lutung jelek itu harus membuat kekacauan di setiap desa. Dan bila telah melihat kedatangan Dewa Arak, segera beri tahu aku...! Mengerti?!"
"Mengerti, Setan Mabuk."
"He... he... he...! Bagus...! Bagus...! Kau memang tidak terlalu dungu, Kambing Kurus!"
Sambil berkata demikian, tangan Setan Mabuk bergerak menepuk-nepuk pipi Kera Bukit Setan yang hanya bisa berdiam diri saja. Laki-laki berompi hitam ini tahu, tidak ada gunanya melawan kakek berperut buncit itu. Melawan, berarti mati. Maka lebih baik mengalah saja.
"Ada satu lagi yang perlu kau ingat, Kambing Kurus," sambung Setan Mabuk lagi.
"Apa itu, Setan Mabuk?!"
"Setiap membuat kekacauan, jangan kau membinasakan semua orang. Sisakan beberapa orang agar memberi laporan pada Dewa Arak. Katakan! Bila Dewa Arak tidak ingin semua ini terjadi, dia harus datang dan meladeni tantanganku! Jelas?!"
"Jelas!" Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pergilah...!"
Kakek berkepala botak ini lalu mengibaskan tangannya. Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya tubuh Kera Bukit Setan terlempar jauh. Apalagi laki-laki kecil kurus ini sama sekali tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu.
Baru ketika tubuhnya telah berada di udara, Kera Bukit Setan berusaha keras agar tubuhnya tidak terbanting di tanah. Dengan kelihaiannya, tidak sulit mematahkan daya lontaran itu. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan mantap di sebelah Jagar.
"Ingat! Kalau main-main, tahu sendiri akibatnya...!"
Seketika tubuh Setan Mabuk pun berkelebat dari situ. Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya sudah berupa titik hitam. Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!" Hampir berbareng Jagar dan Kera Bukit Setan menghela napas lega.
Kini hati mereka tenang kembali begitu Setan Mabuk tidak terlihat lagi. Keduanya kemudian saling pandang sejenak
"Kau bersedia menjadi anak buahnya?" tanya Kera Bukit Setan sambil menatap wajah Jagar lekat-lekat.
"Apa boleh buat, daripada nyawaku melayang," sahut laki-laki bercambang bauk lebat itu. "Toh, tidak ada ruginya mempunyai pimpinan seperti dia. Kepandaiannya luar biasa! Bersama dia, aku akan bebas berbuat semauku tanpa takut lagi pada orang-orang usilan dari Perguruan Naga Hijau! Dan pasti perguruan itu tak lama lagi akan musnah!"
"Heh...?!" Kera Bukit Setan terperanjat "Benarkah ucapanmu itu?"
Jagar mengangguk. "Setan Mabuk pergi ke sana untuk menghancurkannya."
Kera Bukit Setan mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment