Kedua belah pihak memang sudah berniat merobohkan lawan secepat-nya. Suara bercuitan yang cukup nyaring pun terdengar mengiringi pertarungan itu. Masing-masing pihak mengeluarkan ilmu andalan dalam usaha untuk meroboh-kan lawan.
Tapi, ternyata Subarji terlalu lihai untuk bisa dipecundangi ketiga lawannya. Belum juga pertarungan menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berkumis rapi itu sudah bisa mendesak lawan-lawannya, hingga terpontang-panting ke sana kemari dalam usaha menyelamatkan selembar nyawa.
"Keparat..!"
Jagar menggertakkan gigi melihat keadaan rekan-rekannya yang terdesak. Maka goloknya segera dicabut dan dengan senjata tercekal di tangan, laki-laki bertubuh tinggi besar ini melompat menerjang.
Jadi, kini Subarji dikeroyok empat orang! Mau tak mau, Subarji harus berjuang lebih keras lagi untuk menanggulanginya.
Memang dengan ikut sertanya Jagar dalam kancah pertarungan, membuat keadaan ketiga orang rekannya tidak terlalu dikejar-kejar maut seperti tadi. Tapi ketiga orang berwajah kasar itu tidak bisa terlalu lama menarik napas lega.
Bantuan dari Jagar ternyata hanya berguna tak lebih dari tiga puluh jurus saja. Setelah masuknya laki-laki bercambang bauk lebat itu pun, justru Subarji kembali berhasil mendesak kembali.
Betapapun Jagar dan ketiga rekannya berusaha keras menanggulangi Subarji, tapi tetap saja tidak mampu. Kepandaian laki-laki berkumis rapi itu memang masih lebih tinggi dibanding mereka berempat. Padahal, seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan. Bahkan semakin lama mereka semakin terdesak. Sampai pada suatu saat...
“Crasss...!”
Telak dan keras sekali pedang Subarji membabat leher laki-laki yang bertubuh kurus. Kontan darah memercik keras dari leher yang terobek ujung pedang. Tubuh laki-laki berkulit kuning itu terpelanting jatuh ke tanah, diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Suara mengorok terdengar keluar dari mulutnya sebelum tewas.
Gerombolan Jagar menggeram hebat melihat kematian salah seorang rekan mereka. Tapi apa daya? Subarji memang terlalu lihai dihadapi! Darah yang keluar dari leher laki-laki bertubuh kurus itu belum juga berhenti ketika dua orang rekan Jagar yang tersisa menjerit keras. Pedang Subarji kembali telah menelan korban! Tubuh mereka langsung jatuh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi.
Jagar meraung melihat kematian ketiga orang rekannya. Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, laki-laki bertubuh tinggi besar itu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Subarji.
Tak dipedulikan lagi pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang ada di benaknya hanya satu. Membalas kematian ketiga orang rekannya, meskipun harus kehilangan nyawa!
Tapi bagaimana mungkin Jagar dapat melakukannya? Dengan dibantu tiga orang rekannya saja tidak mampu mengalahkan Subarji, apalagi kini yang tinggal hanya dia seorang.
Semua serangannya dengan mudah dapat dipatahkan lawan. Dan kini robohnya Jagar hanya tinggal menunggu saat saja. Dan belum juga pertarungan kedua orang itu berlangsung lama, tiba-tiba....
"Telah lama kudengar kalau orang-orang Perguruan Naga Hijau memang usil! Tapi baru kali ini kulihat sendiri kenyataannya. Mereka menganggap orang lain jahat karena sering membunuhi orang. Tapi, padahal apa yang mereka lakukan? Membelai-belai orang? Sama sekali tidak! Justru yang kulihat malah sebaliknya! Orang Perguruan Naga Hijau membunuhi orang seperti membunuh nyamuk! Keji! Sungguh keji!"
Jagar dan Subarji terperanjat. Meskipun suara itu terdengar pelan saja, tapi mengandung getaran yang membuat isi dada terguncang hebat. Maka dengan sendiri-nya, pertarungan antara kedua orang itu pun terhenti.
Baru saja gema suara itu lenyap, meluncur cepat bagai kilat seleret benda hitam yang langsung membelit mata pedang Subarji. Karuan saja laki-laki berkumis rapi ini terkejut bukan main. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, benda hitam panjang yang ternyata sebuah cambuk berwarna hitam telah membetot pedangnya. Keras bukan main tenaga tarikan itu, sehingga Subarji sama sekali tidak menyangka. Bahkan tidak mampu mempertahankan senjatanya.
Subarji tidak rela pedangnya dirampas. Maka segera tubuhnya melompat untuk menangkap kembali senjatanya. Matanya juga sempat sekilas melihat pemilik cambuk itu.
Seorang laki-laki bertubuh kecil kurus, mengenakan rompi berwarna hitam. Sebaris bulu-bulu berwarna hitam dan tebal menghias atas bibirnya. Hanya ciri-ciri itu yang sempat dilihat Subarji, karena dirinya harus sudah sibuk merampas kembali pedangnya.
Tapi sungguh di luar dugaan, belitan cambuk itu mengendur. Tak pelak lagi, pedang Subarji terjatuh di tanah. Dan sebelum laki-laki berkumis rapi ini berbuat sesuatu, ujung cambuk itu telah memapak lompatannya, dan langsung melecut dadanya.
“Ctarrr...!”
Subarji menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang mendera dada ketika ujung cambuk itu telak dan keras sekali menghantam dada. Seketika itu juga, tubuhnya terjengkang kembali ke belakang.
Darah kental langsung menetes di sudut-sudut bibirnya. Meskipun begitu, Subarji masih mampu membuktikan kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Kedua kakinya masih mampu mendarat di tanah walaupun agak terhuyung-huyung,
"Hmh...!"
Laki-laki kecil kurus berkumis tebal mendengus. Dan kini sama sekali tidak dilancarkannya serangan lagi. Sikapnya jelas memandang rendah sekali pada Subarji.
Subarji tidak mempedulikannya. Dirinya tengah disibukkan rasa sakit yang mendera dadanya. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat sekadar untuk menghilangkan rasa sakit.
“Ctarrr...!”
Ledakan cambuk membuat laki-laki berkumis rapi ini terkejut dan bersiap-siap menghadapi serangan susulan. Tapi ternyata tidak ada serangan yang tertuju ke arahnya. Cambuk hitam itu sama sekali tidak menuju ke arahnya, tapi ke arah pedang miliknya yang tertancap di ranah.
“Rrrttt..!”
Laksana ular membelit mangsanya cambuk itu melilit batang pedang. Dan begitu laki-laki berkumis tebal ini bergerak membetot pedang itu pun tercabut.
"Kukembalikan pedangmu...!" seru laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
Sesaat kemudian pedang yang terlilit cambuk itu meluncur deras ke arah Subarji hingga mengeluarkan suara mendesing nyaring. Padahal, kelihatannya pelan saja cambuk itu bergerak.
Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik cambuk itu.
Sementara itu Subarji terkejut bukan kepalang. Terdengar suara mengaung mengiringi tibanya luncuran pedang itu. Maka laki-laki berjenggot rapi ini segera menjumput sarung pedangnya, langsung menangkis serangan itu. Tanpa tanggung-tanggung lagi segera dikeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
“Trakkk...!”
Sarung pedang itu kontan hancur berantakan ketika kedua benda itu saling berbenturan. Subarji terkejut bukan kepalang. Tangannya seketika terasa sakit dan ngilu bukan kepalang. Tubuhnya pun tanpa dapat ditahan lagi terhuyung-huyung ke belakang.
Jelas kalau tenaga yang terkandung dalam luncuran pedang itu lebih kuat daripada tenaga dalam miliknya. Hal ini benar-benar membuat Subarji terperanjat. Apalagi, diketahuinya kalau tenaga dalam lawan belum seluruhnya dikeluarkan sewaktu melemparkan pedang dengan cambuk. Baru dengan tenaga sebegitu saja Subarji sudah tidak mampu bertahan. Lalu bagaimana kalau pemilik cambuk itu mengerahkan seluruhnya?
Sulit bagi laki-laki berkumis rapi ini untuk membayangkannya. Mendadak tubuh Subarji yang terhuyung-huyung, berhenti seketika tatkala membentur sosok tubuh berpakaian kuning yang mendadak muncul di belakangnya.
Karuan saja hal ini membuat Subarji kaget. Secepat tubuhnya membentur, secepat itu pula melompat ke depan. Tubuhnya langsung berbalik dan bersikap siap siaga menghadapi serangan mendadak. Tapi sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot laki-laki berkumis rapi ini mengendur kembali ketika melihat sosok tubuh yang dibenturnya.
"Guru...!" sebut Subarji seraya melangkah menghampiri dan memberi hormat.
Dia ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Orang yang dipanggil guru oleh Subarji langsung tersenyum. Raut wajahnya memang menyenangkan bagi orang lain yang melihatnya. Wajahnya bulat seperti juga perutnya, dan selalu dihiasi senyum. Rambutnya yang putih, digelung ke atas.
"Menyingkirlah, Subarji...! Dia bukan tandinganmu...!" ujar kakek bertubuh tinggi kekar itu.
Terdengar sungguh-sungguh dan penuh perintah ucapan yang dikeluarkan kakek itu. Tapi begitu melihat wajahnya, orang akan mengira kalau dia tengah bercanda! Kakek itu mengucapkan perintah begitu sungguh-sungguh, disertai senyum di bibir dan sepasang mata bersinar-sinar seperti orang menang lotre! Selebar wajahnya pun merautkan kegembiraan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berkumis rapi ini segera melangkah mundur. Dibiarkan saja gurunya itu melangkah mendekati si pemilik cambuk. Telah diketahuinya kelihaian gurunya. Maka Subarji percaya kalau kakek berwajah penuh senyum itu akan mampu mengalahkan lawan.
"Ha... ha... ha...!" laki-laki berompi hitam itu tertawa bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa keluar dari kandangmu yang menjijikkan itu, Buntara!"
Kakek berwajah penuh pesona yang ternyata bernama Buntara, sama sekali tidak merasa marah atau tersinggung atas pertanyaan yang bernada kasar. Bahkan mulutnya tetap menyunggingkan senyum lebar.
"Aku terpaksa keluar dari kandang untuk mengambil sisa kotoranku yang tertinggal di sini. Dan kaulah kotoran itu. Kera Bukit Setan!"
Luar biasa sekali ucapan Buntara. Meskipun dikeluar-kan dengan wajah penuh keceriaan, namun mampu membuat kuping panas. Seketika selebar wajah laki-laki berompi hitam yang berjuluk Kera Bukit Setan jadi merah padam menahan amarah.
Sementara kedua orang itu terlibat dalam adu mulut, Jagar dan Subarji sibuk dengan urusan masing-masing. Jagar tampak sibuk menenangkan deru napasnya yang masih memburu sehabis bertarung dengan Subarji.
Sementara, laki-laki berkumis rapi itu tampak menahan geram. Sehingga, tampak wajahnya masih memerah. Meskipun begitu, tidak berarti kalau kedua orang itu tidak mendengar percakapan antara Buntara dengan Kera Bukit Setan. Dan karena itulah mereka tahu, kedua orang yang tengah berhadapan itu ternyata saling mengenal satu sama lain.
Sama sekali Subarji dan Jagar tidak mengetahui kalau Buntara maupun Kera Bukit Setan sudah saling mengenal. Di samping itu, Subarji juga tidak kenal siapa Kera Bukit Setan itu. Juga Jagar tidak tahu, siapa Buntara itu. Mereka hanya mengetahui dari ciri-ciri yang pernah didengar.
Kera Bukit Setan menggeram. Dia memang tidak bisa berdebat. Maka begitu mendapat balasan makian dari Buntara, dia tidak bisa membalasnya. Sambil menghentakkan kaki sehingga membuat tanah amblas sampai semata kaki, laki-laki berompi hitam ini menyelipkan cambuknya di pinggang.
"Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Kera Bukit Setan...!" teriak laki-laki bertubuh kecil kurus keras.
Dan belum habis gema ucapan itu, tubuhnya telah meluruk cepat ke arah Buntara. Kedua tangannya yang berbentuk cakar, meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati secara bertubi-tubi. Deru angin keras terdengar begitu serangan cakar Kera Bukit Setan meluncur cepat ke arah sasaran.
Buntara tahu kedahsyatan serangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Apabila terkena, batu yang paling keras pun akan hancur berantakan. Maka, laki-laki tua itu tidak berani bersikap main-main. Buru-buru kaki kanannya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya dikibaskan ke arah pelipis lawan.
“Wukkk...!”
Kera Bukit Setan tidak terkejut melihat serangan lawan, karena memang sudah diperkirakan. Baik mengenai serangannya yang dapat mudah dielakkan, maupun balasan serangan itu sendiri. Karena sudah memperkirakannya, maka laki-laki kecil kurus ini sudah bersiap-siap menangkalnya. Buru-buru tangan kirinya digerakkan untuk menangkis serangan itu. Arah gerakannya dari dalam ke luar.
“Takkk...!”
Suara keras seperti terjadi benturan antara dua benda logam terdengar ketika kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu. Tubuh Kera Bukit Setan langsung terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya seketika menyeringai, jelas benturan itu terasa benar akibatnya. Sekujur tulang-tulang tangan kirinya terasa sakit bukan kepalang.
Disadarinya kalau tenaga dalam Buntara berada di atasnya. Buktinya, kakek berwajah penuh senyum itu sama sekali tidak terpengaruh oleh benturan tadi. Tapi Kera Bukit Setan sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terdorong habis, kembali dilancarkannya serangan susulan.
Buntara yang kini sudah bisa memperkirakan kepandaian lawan, segera menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu pun berlangsung sengit.
Jagar dan Subarji memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. Meskipun mereka tidak bisa melihat terlalu jelas karena begitu cepatnya kedua tokoh itu bergerak, tapi setidak-tidaknya bisa memperkirakan siapa yang mulai unggul.
Memang karena perbedaan pakaian yang dikenakan antara kedua tokoh itu terlalu menyolok, sehingga membuat Jagar dan Subarji tidak mengalami kesulitan memastikannya.
Karena cepatnya pertarungan kedua tokoh itu, maka yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning dan hitam. Terkadang saling belit, tapi tak jarang pula saling pisah.
Berkali-kali Jagar dan Subarji melihat kalau bayangan hitam sering keluar dari kancah pertarungan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sosok bayangan kuning langsung memburunya. Sehingga, dua bayangan itu kembali saling belit.
Ternyata perbedaan tingkat kepandaian antara kedua tokoh itu terpaut terlalu jauh. Buktinya, belum juga pertarungan itu berlangsung dua puluh lima jurus, Kera Bukit Setan sudah terdesak.
Kini tokoh sesat ini selalu bermain mundur, dan hanya sesekali saja menangkis. Namun, ternyata menangkis serangan justru merugikan dirinya sendiri. Maka dia memutuskan untuk mengelak. Hal ini disebabkan, tenaga dalamnya berada cukup jauh di bawah lawan.
"Hih...!"
Kera Bukit Setan menggertakkan gigi seraya melompat ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, cambuknya langsung dilecutkan. Dia benar-benar khawatir kalau lawan akan menyerangnya.
Tapi ternyata Buntara sama sekali tidak melancarkan serangan susulan. Kakek berwajah penuh senyum itu membiarkan lawannya melompat ke belakang, sehingga serangan cambuk sama sekali tidak mengenainya.
Ujung cambuk itu meledak di udara, menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. Buntara tidak berani bertindak gegabah. Padahal tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian yang dimiliki Kera Bukit Setan.
Dan memang, dia tidak mau meladeni lawan yang menggunakan senjata andalan dengan tangan kosong. Sebab, akibat yang dihadapinya tidak kecil. Maka begitu melihat lawan mengeluarkan senjata andalan, dia pun segera menjumput pedangnya.
“Srattt..!”
Sinar terang berpendar ketika pedang itu keluar dari sarungnya. Kini dengan senjata andalan di tangan masing-masing, kedua tokoh sakti itu kembali saling gebrak. Maka, kini serangan-serangan kedua tokoh itu berlangsung lebih sengit.
Suara mengaung, mendesing, dan meledak-ledak meramaikan pertarungan antara Buntara dan Kera Bukit Setan. Tapi hanya beberapa puluh jurus saja pertarungan antara kedua tokoh sakti itu berlangsung cukup seru. Menginjak jurus ketiga puluh lima, Kera Bukit Setan kembali terdesak.
Suara meledak-ledak yang keluar dari lecutan cambuknya perlahan semakin jarang terdengar. Sebaliknya, suara mendesing dan mengaung yang kini sering terdengar. Menjelang jurus keempat puluh tiga, keadaan Kera Bukit Setan semakin gawat. Tubuhnya sudah terpontang-panting ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan selembar nyawa.
Sudah bisa diperkirakan, tewasnya laki-laki bertubuh kecil kurus ini hanya tinggal menunggu saatnya saja. Kini ledakan cambuk laki-laki berompi hitam itu sudah hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah suara mendesing dan mengaung dari pergerakan pedang Buntara yang memekakkan telinga.
"He... he... he...! Lucu! Lucu sekali...! Ada kambing kurus dan kerbau gendut tengah menari-nari! Menari-nari..., la... la... la...!"
Suara pelan dan tak jelas seperti keluar dari mulut orang yang tengah mengigau terdengar. Itu pun masih ditambah lagi dengan suara tegukan keras.
Tampaknya pemilik suara itu tengah menenggak minuman dengan cara kasar. Hebatnya, sungguhpun terdengar pelan saja, tapi suara itu mampu mengalahkan suara desingan dan aungan ribut yang keluar dari gerakan pedang Buntara!
Buntara dan Kera Bukit Setan terkejut bukan main. Sebagai tokoh sakti yang berpengalaman, mereka segera tahu ada tokoh tangguh luar biasa datang. Bagai diberi aba-aba, kedua orang ini segera melompat ke belakang dan langsung menoleh ke arah asal suara.
Dengan sendirinya, pertarungan pun terhenti. Sekitar lima tombak di sebelah kanan mereka, tampak berdiri seorang kakek bertubuh pendek gemuk dan berperut buncit. Kepalanya botak dan licin. Tidak ada sedikit pun bulu yang menghiasi wajahnya. Bahkan sama sekali tidak memiliki alis!
Karena perut kakek itu gendut sekali, rompi yang terbuat dari anyaman bulu burung garuda itu sama sekali tidak mampu menutupi bagian depan tubuhnya. Tampak di tangan kanan kakek ini tergenggam sebuah guci besar yang selalu dituang ke mulutnya.
“Glek.. glek... glek...!”
Suara tegukan terdengar ketika kakek berperut buncit itu menuangkan arak dalam guci besar itu ke mulutnya. Kini jelas sudah, mengapa tadi sewaktu kakek itu berkata-kata terdengar juga suara tegukan.
Beberapa tetes arak jatuh ke tanah ketika kakek berkepala botak itu menuangkan araknya. Bahkan sekitar mulutnya dibasahi arak. Dengan gerakan kasar dan sembarangan, kakek berperut buncit itu mengusap mulut dengan punggung tangan, sehabis menuangkan arak.
Kemudian, guci arak itu diturunkan dari atas wajahnya seraya melangkah maju. Buntara dan Kera Bukit Setan mengerutkan alisnya melihat kakek berkepala botak itu berkali-kali hampir jatuh ketika melangkah. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Jelas, kakek ini dalam keadaan mabuk.
Mendadak wajah kedua tokoh sakti itu memucat ketika teringat seorang tokoh yang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun, dan sudah lama mengasingkan diri. Sehingga, julukannya sudah mulai dilupakan orang!
Setan Mabuk, itulah julukannya! Tapi bukankah tokoh yang menggiriskan ini tinggal di Gunung Langkat, yang jauh dari tempat ini? Mengapa sampai tiba di sini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak kedua orang itu.
"He he he...! Mengapa berhenti. Sapi Gendut..?!" sambil melangkah sempoyongan, kakek berkepala botak yang berjuluk Setan Mabuk itu menegur Buntara. "Mengapa tarian sapi gendut itu dihentikan?!"
Mendengar kata-kata yang bernada hinaan, selebar wajah Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau itu merah padam. Meskipun begitu, tetap saja raut wajahnya tidak menampakkan kemarahan. Wajah Buntara tetap cerah, dan senyum tetap mengembang di bibirnya. Sepasang matanya pun berbinar-binar.
"Kau juga, Kambing Kurus. Mengapa berhenti menari? Teruskan...!"
Sambil berkata demikian. Setan Mabuk kembali mengangkat guci araknya yang besar, dan menuangkan ke mulutnya.
“Glek... glek... glek...!”
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melalui tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Ah...! Nikmaaat..!"
Dengan punggung tangan. Setan Mabuk mengusap tumpahan arak yang membasahi sekitar mulutnya. Kasar sekali caranya. Bahkan berkesan menjijikkan.
"Keparat...!"
Kera Bukit Setan berteriak memaki. Laki-laki berompi hitam ini tidak tahan dihina seperti itu. Maka....
“Ctarrr...!”
Suara menggelegar keras diiringi mengepulnya asap berwarna putih terdengar ketika ujung cambuk itu melecut di udara. Baru kemudian, ujung cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Setan Mabuk.
Kejam dan telengas sekali gerakan Kera Bukit Setan. Sekali menyerang sudah meluncurkan serangan yang dapat membuat nyawa kakek berkepala botak itu pergi ke alam baka.
Ubun-ubun merupakan salah satu bagian terlemah pada tubuh manusia. Dan kini, ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu karang itu meluncur deras ke bagian itu.
Buntara terperanjat juga melihat serangan maut itu. Apalagi, tampaknya Setan Mabuk seperti tidak mengetahui adanya bahaya. Dia masih sibuk mencium-cium bau araknya. Melihat hal ini, semula kakek berwajah penuh senyum itu ingin menolong. Tapi niatnya segera diurungkan ketika teringat kalau kakek ini memiliki kepandaian amat tinggi. Hal itu bisa diketahui dari suara Setan Mabuk yang mampu menindih suara gerakan pedangnya. Padahal, tokoh sesat pemabukan itu hanya pelan saja mengucapkannya.
Tindakan Buntara menahan gerakannya ternyata tepat sekali. Buktinya, begitu ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tanpa mengangkat wajah, Setan Mabuk mengulur tangan menyambut.
Wajah Buntara dan Kera Bukit Setan berubah seketika. Apa yang dilakukan Setan Mabuk benar-benar di luar dugaan! Ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun, hanya ditangkis dengan tangan kosong!
Suatu hal yang tidak akan mungkin dapat dilakukan Buntara! Itulah sebabnya, tindakan Setan Mabuk benar-benar menimbulkan keterkejutan Buntara dan Kera Bukit Setan. Apalagi, cara kakek berkepala botak itu memapak, seperti-nya tanpa mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Gerakannya begitu sembarangan saja!
“Prattt..!”
Telak dan keras sekali ujung cambuk itu berbenturan dengan tangan Setan Mabuk. Dan sebelum Kera Bukit Setan sempat berbuat sesuatu, tangan kakek berbaju rompi bulu burung itu bergerak menangkap. Dan...
“Tappp...!”
Tanpa mampu dicegah, ujung cambuk Kera Bukit Setan telah tertangkap tangan Setan Mabuk. Dan secepat cambuk itu tercekal, secepat itu pula kakek berkepala botak ini membetotnya.
Kera Bukit Setan tentu saja tidak merelakan senjata andalannya dirampas. Maka begitu lawan membetot, seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahankannya. Tapi usaha yang dilakukan laki-laki berompi hitam ini sia-sia. Tenaga betotan itu memang terlalu kuat. Karena bersikeras mempertahankan cambuk, maka Kera Bukit Setan pun ikut tertarik ke depan.
Masih bersikap sembarangan, Setan Mabuk kembali menggerakkan tangannya. Kali ini tangan yang menggenggam cambuk diputar-putarkan.
Tapi, ternyata Subarji terlalu lihai untuk bisa dipecundangi ketiga lawannya. Belum juga pertarungan menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berkumis rapi itu sudah bisa mendesak lawan-lawannya, hingga terpontang-panting ke sana kemari dalam usaha menyelamatkan selembar nyawa.
"Keparat..!"
Jagar menggertakkan gigi melihat keadaan rekan-rekannya yang terdesak. Maka goloknya segera dicabut dan dengan senjata tercekal di tangan, laki-laki bertubuh tinggi besar ini melompat menerjang.
Jadi, kini Subarji dikeroyok empat orang! Mau tak mau, Subarji harus berjuang lebih keras lagi untuk menanggulanginya.
Memang dengan ikut sertanya Jagar dalam kancah pertarungan, membuat keadaan ketiga orang rekannya tidak terlalu dikejar-kejar maut seperti tadi. Tapi ketiga orang berwajah kasar itu tidak bisa terlalu lama menarik napas lega.
Bantuan dari Jagar ternyata hanya berguna tak lebih dari tiga puluh jurus saja. Setelah masuknya laki-laki bercambang bauk lebat itu pun, justru Subarji kembali berhasil mendesak kembali.
Betapapun Jagar dan ketiga rekannya berusaha keras menanggulangi Subarji, tapi tetap saja tidak mampu. Kepandaian laki-laki berkumis rapi itu memang masih lebih tinggi dibanding mereka berempat. Padahal, seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan. Bahkan semakin lama mereka semakin terdesak. Sampai pada suatu saat...
“Crasss...!”
Telak dan keras sekali pedang Subarji membabat leher laki-laki yang bertubuh kurus. Kontan darah memercik keras dari leher yang terobek ujung pedang. Tubuh laki-laki berkulit kuning itu terpelanting jatuh ke tanah, diam tak bergerak lagi untuk selamanya. Suara mengorok terdengar keluar dari mulutnya sebelum tewas.
Gerombolan Jagar menggeram hebat melihat kematian salah seorang rekan mereka. Tapi apa daya? Subarji memang terlalu lihai dihadapi! Darah yang keluar dari leher laki-laki bertubuh kurus itu belum juga berhenti ketika dua orang rekan Jagar yang tersisa menjerit keras. Pedang Subarji kembali telah menelan korban! Tubuh mereka langsung jatuh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi.
Jagar meraung melihat kematian ketiga orang rekannya. Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, laki-laki bertubuh tinggi besar itu melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Subarji.
Tak dipedulikan lagi pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang ada di benaknya hanya satu. Membalas kematian ketiga orang rekannya, meskipun harus kehilangan nyawa!
Tapi bagaimana mungkin Jagar dapat melakukannya? Dengan dibantu tiga orang rekannya saja tidak mampu mengalahkan Subarji, apalagi kini yang tinggal hanya dia seorang.
Semua serangannya dengan mudah dapat dipatahkan lawan. Dan kini robohnya Jagar hanya tinggal menunggu saat saja. Dan belum juga pertarungan kedua orang itu berlangsung lama, tiba-tiba....
"Telah lama kudengar kalau orang-orang Perguruan Naga Hijau memang usil! Tapi baru kali ini kulihat sendiri kenyataannya. Mereka menganggap orang lain jahat karena sering membunuhi orang. Tapi, padahal apa yang mereka lakukan? Membelai-belai orang? Sama sekali tidak! Justru yang kulihat malah sebaliknya! Orang Perguruan Naga Hijau membunuhi orang seperti membunuh nyamuk! Keji! Sungguh keji!"
Jagar dan Subarji terperanjat. Meskipun suara itu terdengar pelan saja, tapi mengandung getaran yang membuat isi dada terguncang hebat. Maka dengan sendiri-nya, pertarungan antara kedua orang itu pun terhenti.
Baru saja gema suara itu lenyap, meluncur cepat bagai kilat seleret benda hitam yang langsung membelit mata pedang Subarji. Karuan saja laki-laki berkumis rapi ini terkejut bukan main. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, benda hitam panjang yang ternyata sebuah cambuk berwarna hitam telah membetot pedangnya. Keras bukan main tenaga tarikan itu, sehingga Subarji sama sekali tidak menyangka. Bahkan tidak mampu mempertahankan senjatanya.
Subarji tidak rela pedangnya dirampas. Maka segera tubuhnya melompat untuk menangkap kembali senjatanya. Matanya juga sempat sekilas melihat pemilik cambuk itu.
Seorang laki-laki bertubuh kecil kurus, mengenakan rompi berwarna hitam. Sebaris bulu-bulu berwarna hitam dan tebal menghias atas bibirnya. Hanya ciri-ciri itu yang sempat dilihat Subarji, karena dirinya harus sudah sibuk merampas kembali pedangnya.
Tapi sungguh di luar dugaan, belitan cambuk itu mengendur. Tak pelak lagi, pedang Subarji terjatuh di tanah. Dan sebelum laki-laki berkumis rapi ini berbuat sesuatu, ujung cambuk itu telah memapak lompatannya, dan langsung melecut dadanya.
“Ctarrr...!”
Subarji menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang mendera dada ketika ujung cambuk itu telak dan keras sekali menghantam dada. Seketika itu juga, tubuhnya terjengkang kembali ke belakang.
Darah kental langsung menetes di sudut-sudut bibirnya. Meskipun begitu, Subarji masih mampu membuktikan kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Kedua kakinya masih mampu mendarat di tanah walaupun agak terhuyung-huyung,
"Hmh...!"
Laki-laki kecil kurus berkumis tebal mendengus. Dan kini sama sekali tidak dilancarkannya serangan lagi. Sikapnya jelas memandang rendah sekali pada Subarji.
Subarji tidak mempedulikannya. Dirinya tengah disibukkan rasa sakit yang mendera dadanya. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat sekadar untuk menghilangkan rasa sakit.
“Ctarrr...!”
Ledakan cambuk membuat laki-laki berkumis rapi ini terkejut dan bersiap-siap menghadapi serangan susulan. Tapi ternyata tidak ada serangan yang tertuju ke arahnya. Cambuk hitam itu sama sekali tidak menuju ke arahnya, tapi ke arah pedang miliknya yang tertancap di ranah.
“Rrrttt..!”
Laksana ular membelit mangsanya cambuk itu melilit batang pedang. Dan begitu laki-laki berkumis tebal ini bergerak membetot pedang itu pun tercabut.
"Kukembalikan pedangmu...!" seru laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
Sesaat kemudian pedang yang terlilit cambuk itu meluncur deras ke arah Subarji hingga mengeluarkan suara mendesing nyaring. Padahal, kelihatannya pelan saja cambuk itu bergerak.
Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik cambuk itu.
Sementara itu Subarji terkejut bukan kepalang. Terdengar suara mengaung mengiringi tibanya luncuran pedang itu. Maka laki-laki berjenggot rapi ini segera menjumput sarung pedangnya, langsung menangkis serangan itu. Tanpa tanggung-tanggung lagi segera dikeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
“Trakkk...!”
Sarung pedang itu kontan hancur berantakan ketika kedua benda itu saling berbenturan. Subarji terkejut bukan kepalang. Tangannya seketika terasa sakit dan ngilu bukan kepalang. Tubuhnya pun tanpa dapat ditahan lagi terhuyung-huyung ke belakang.
Jelas kalau tenaga yang terkandung dalam luncuran pedang itu lebih kuat daripada tenaga dalam miliknya. Hal ini benar-benar membuat Subarji terperanjat. Apalagi, diketahuinya kalau tenaga dalam lawan belum seluruhnya dikeluarkan sewaktu melemparkan pedang dengan cambuk. Baru dengan tenaga sebegitu saja Subarji sudah tidak mampu bertahan. Lalu bagaimana kalau pemilik cambuk itu mengerahkan seluruhnya?
Sulit bagi laki-laki berkumis rapi ini untuk membayangkannya. Mendadak tubuh Subarji yang terhuyung-huyung, berhenti seketika tatkala membentur sosok tubuh berpakaian kuning yang mendadak muncul di belakangnya.
Karuan saja hal ini membuat Subarji kaget. Secepat tubuhnya membentur, secepat itu pula melompat ke depan. Tubuhnya langsung berbalik dan bersikap siap siaga menghadapi serangan mendadak. Tapi sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot laki-laki berkumis rapi ini mengendur kembali ketika melihat sosok tubuh yang dibenturnya.
"Guru...!" sebut Subarji seraya melangkah menghampiri dan memberi hormat.
Dia ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Orang yang dipanggil guru oleh Subarji langsung tersenyum. Raut wajahnya memang menyenangkan bagi orang lain yang melihatnya. Wajahnya bulat seperti juga perutnya, dan selalu dihiasi senyum. Rambutnya yang putih, digelung ke atas.
"Menyingkirlah, Subarji...! Dia bukan tandinganmu...!" ujar kakek bertubuh tinggi kekar itu.
Terdengar sungguh-sungguh dan penuh perintah ucapan yang dikeluarkan kakek itu. Tapi begitu melihat wajahnya, orang akan mengira kalau dia tengah bercanda! Kakek itu mengucapkan perintah begitu sungguh-sungguh, disertai senyum di bibir dan sepasang mata bersinar-sinar seperti orang menang lotre! Selebar wajahnya pun merautkan kegembiraan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berkumis rapi ini segera melangkah mundur. Dibiarkan saja gurunya itu melangkah mendekati si pemilik cambuk. Telah diketahuinya kelihaian gurunya. Maka Subarji percaya kalau kakek berwajah penuh senyum itu akan mampu mengalahkan lawan.
"Ha... ha... ha...!" laki-laki berompi hitam itu tertawa bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa keluar dari kandangmu yang menjijikkan itu, Buntara!"
Kakek berwajah penuh pesona yang ternyata bernama Buntara, sama sekali tidak merasa marah atau tersinggung atas pertanyaan yang bernada kasar. Bahkan mulutnya tetap menyunggingkan senyum lebar.
"Aku terpaksa keluar dari kandang untuk mengambil sisa kotoranku yang tertinggal di sini. Dan kaulah kotoran itu. Kera Bukit Setan!"
Luar biasa sekali ucapan Buntara. Meskipun dikeluar-kan dengan wajah penuh keceriaan, namun mampu membuat kuping panas. Seketika selebar wajah laki-laki berompi hitam yang berjuluk Kera Bukit Setan jadi merah padam menahan amarah.
Sementara kedua orang itu terlibat dalam adu mulut, Jagar dan Subarji sibuk dengan urusan masing-masing. Jagar tampak sibuk menenangkan deru napasnya yang masih memburu sehabis bertarung dengan Subarji.
Sementara, laki-laki berkumis rapi itu tampak menahan geram. Sehingga, tampak wajahnya masih memerah. Meskipun begitu, tidak berarti kalau kedua orang itu tidak mendengar percakapan antara Buntara dengan Kera Bukit Setan. Dan karena itulah mereka tahu, kedua orang yang tengah berhadapan itu ternyata saling mengenal satu sama lain.
Sama sekali Subarji dan Jagar tidak mengetahui kalau Buntara maupun Kera Bukit Setan sudah saling mengenal. Di samping itu, Subarji juga tidak kenal siapa Kera Bukit Setan itu. Juga Jagar tidak tahu, siapa Buntara itu. Mereka hanya mengetahui dari ciri-ciri yang pernah didengar.
Kera Bukit Setan menggeram. Dia memang tidak bisa berdebat. Maka begitu mendapat balasan makian dari Buntara, dia tidak bisa membalasnya. Sambil menghentakkan kaki sehingga membuat tanah amblas sampai semata kaki, laki-laki berompi hitam ini menyelipkan cambuknya di pinggang.
"Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Kera Bukit Setan...!" teriak laki-laki bertubuh kecil kurus keras.
Dan belum habis gema ucapan itu, tubuhnya telah meluruk cepat ke arah Buntara. Kedua tangannya yang berbentuk cakar, meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati secara bertubi-tubi. Deru angin keras terdengar begitu serangan cakar Kera Bukit Setan meluncur cepat ke arah sasaran.
Buntara tahu kedahsyatan serangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Apabila terkena, batu yang paling keras pun akan hancur berantakan. Maka, laki-laki tua itu tidak berani bersikap main-main. Buru-buru kaki kanannya melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya dikibaskan ke arah pelipis lawan.
“Wukkk...!”
Kera Bukit Setan tidak terkejut melihat serangan lawan, karena memang sudah diperkirakan. Baik mengenai serangannya yang dapat mudah dielakkan, maupun balasan serangan itu sendiri. Karena sudah memperkirakannya, maka laki-laki kecil kurus ini sudah bersiap-siap menangkalnya. Buru-buru tangan kirinya digerakkan untuk menangkis serangan itu. Arah gerakannya dari dalam ke luar.
“Takkk...!”
Suara keras seperti terjadi benturan antara dua benda logam terdengar ketika kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu. Tubuh Kera Bukit Setan langsung terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya seketika menyeringai, jelas benturan itu terasa benar akibatnya. Sekujur tulang-tulang tangan kirinya terasa sakit bukan kepalang.
Disadarinya kalau tenaga dalam Buntara berada di atasnya. Buktinya, kakek berwajah penuh senyum itu sama sekali tidak terpengaruh oleh benturan tadi. Tapi Kera Bukit Setan sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terdorong habis, kembali dilancarkannya serangan susulan.
Buntara yang kini sudah bisa memperkirakan kepandaian lawan, segera menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu pun berlangsung sengit.
Jagar dan Subarji memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. Meskipun mereka tidak bisa melihat terlalu jelas karena begitu cepatnya kedua tokoh itu bergerak, tapi setidak-tidaknya bisa memperkirakan siapa yang mulai unggul.
Memang karena perbedaan pakaian yang dikenakan antara kedua tokoh itu terlalu menyolok, sehingga membuat Jagar dan Subarji tidak mengalami kesulitan memastikannya.
Karena cepatnya pertarungan kedua tokoh itu, maka yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning dan hitam. Terkadang saling belit, tapi tak jarang pula saling pisah.
Berkali-kali Jagar dan Subarji melihat kalau bayangan hitam sering keluar dari kancah pertarungan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sosok bayangan kuning langsung memburunya. Sehingga, dua bayangan itu kembali saling belit.
Ternyata perbedaan tingkat kepandaian antara kedua tokoh itu terpaut terlalu jauh. Buktinya, belum juga pertarungan itu berlangsung dua puluh lima jurus, Kera Bukit Setan sudah terdesak.
Kini tokoh sesat ini selalu bermain mundur, dan hanya sesekali saja menangkis. Namun, ternyata menangkis serangan justru merugikan dirinya sendiri. Maka dia memutuskan untuk mengelak. Hal ini disebabkan, tenaga dalamnya berada cukup jauh di bawah lawan.
"Hih...!"
Kera Bukit Setan menggertakkan gigi seraya melompat ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, cambuknya langsung dilecutkan. Dia benar-benar khawatir kalau lawan akan menyerangnya.
Tapi ternyata Buntara sama sekali tidak melancarkan serangan susulan. Kakek berwajah penuh senyum itu membiarkan lawannya melompat ke belakang, sehingga serangan cambuk sama sekali tidak mengenainya.
Ujung cambuk itu meledak di udara, menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. Buntara tidak berani bertindak gegabah. Padahal tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian yang dimiliki Kera Bukit Setan.
Dan memang, dia tidak mau meladeni lawan yang menggunakan senjata andalan dengan tangan kosong. Sebab, akibat yang dihadapinya tidak kecil. Maka begitu melihat lawan mengeluarkan senjata andalan, dia pun segera menjumput pedangnya.
“Srattt..!”
Sinar terang berpendar ketika pedang itu keluar dari sarungnya. Kini dengan senjata andalan di tangan masing-masing, kedua tokoh sakti itu kembali saling gebrak. Maka, kini serangan-serangan kedua tokoh itu berlangsung lebih sengit.
Suara mengaung, mendesing, dan meledak-ledak meramaikan pertarungan antara Buntara dan Kera Bukit Setan. Tapi hanya beberapa puluh jurus saja pertarungan antara kedua tokoh sakti itu berlangsung cukup seru. Menginjak jurus ketiga puluh lima, Kera Bukit Setan kembali terdesak.
Suara meledak-ledak yang keluar dari lecutan cambuknya perlahan semakin jarang terdengar. Sebaliknya, suara mendesing dan mengaung yang kini sering terdengar. Menjelang jurus keempat puluh tiga, keadaan Kera Bukit Setan semakin gawat. Tubuhnya sudah terpontang-panting ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan selembar nyawa.
Sudah bisa diperkirakan, tewasnya laki-laki bertubuh kecil kurus ini hanya tinggal menunggu saatnya saja. Kini ledakan cambuk laki-laki berompi hitam itu sudah hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah suara mendesing dan mengaung dari pergerakan pedang Buntara yang memekakkan telinga.
"He... he... he...! Lucu! Lucu sekali...! Ada kambing kurus dan kerbau gendut tengah menari-nari! Menari-nari..., la... la... la...!"
Suara pelan dan tak jelas seperti keluar dari mulut orang yang tengah mengigau terdengar. Itu pun masih ditambah lagi dengan suara tegukan keras.
Tampaknya pemilik suara itu tengah menenggak minuman dengan cara kasar. Hebatnya, sungguhpun terdengar pelan saja, tapi suara itu mampu mengalahkan suara desingan dan aungan ribut yang keluar dari gerakan pedang Buntara!
Buntara dan Kera Bukit Setan terkejut bukan main. Sebagai tokoh sakti yang berpengalaman, mereka segera tahu ada tokoh tangguh luar biasa datang. Bagai diberi aba-aba, kedua orang ini segera melompat ke belakang dan langsung menoleh ke arah asal suara.
Dengan sendirinya, pertarungan pun terhenti. Sekitar lima tombak di sebelah kanan mereka, tampak berdiri seorang kakek bertubuh pendek gemuk dan berperut buncit. Kepalanya botak dan licin. Tidak ada sedikit pun bulu yang menghiasi wajahnya. Bahkan sama sekali tidak memiliki alis!
Karena perut kakek itu gendut sekali, rompi yang terbuat dari anyaman bulu burung garuda itu sama sekali tidak mampu menutupi bagian depan tubuhnya. Tampak di tangan kanan kakek ini tergenggam sebuah guci besar yang selalu dituang ke mulutnya.
“Glek.. glek... glek...!”
Suara tegukan terdengar ketika kakek berperut buncit itu menuangkan arak dalam guci besar itu ke mulutnya. Kini jelas sudah, mengapa tadi sewaktu kakek itu berkata-kata terdengar juga suara tegukan.
Beberapa tetes arak jatuh ke tanah ketika kakek berkepala botak itu menuangkan araknya. Bahkan sekitar mulutnya dibasahi arak. Dengan gerakan kasar dan sembarangan, kakek berperut buncit itu mengusap mulut dengan punggung tangan, sehabis menuangkan arak.
Kemudian, guci arak itu diturunkan dari atas wajahnya seraya melangkah maju. Buntara dan Kera Bukit Setan mengerutkan alisnya melihat kakek berkepala botak itu berkali-kali hampir jatuh ketika melangkah. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Jelas, kakek ini dalam keadaan mabuk.
Mendadak wajah kedua tokoh sakti itu memucat ketika teringat seorang tokoh yang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun, dan sudah lama mengasingkan diri. Sehingga, julukannya sudah mulai dilupakan orang!
Setan Mabuk, itulah julukannya! Tapi bukankah tokoh yang menggiriskan ini tinggal di Gunung Langkat, yang jauh dari tempat ini? Mengapa sampai tiba di sini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak kedua orang itu.
"He he he...! Mengapa berhenti. Sapi Gendut..?!" sambil melangkah sempoyongan, kakek berkepala botak yang berjuluk Setan Mabuk itu menegur Buntara. "Mengapa tarian sapi gendut itu dihentikan?!"
Mendengar kata-kata yang bernada hinaan, selebar wajah Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau itu merah padam. Meskipun begitu, tetap saja raut wajahnya tidak menampakkan kemarahan. Wajah Buntara tetap cerah, dan senyum tetap mengembang di bibirnya. Sepasang matanya pun berbinar-binar.
"Kau juga, Kambing Kurus. Mengapa berhenti menari? Teruskan...!"
Sambil berkata demikian. Setan Mabuk kembali mengangkat guci araknya yang besar, dan menuangkan ke mulutnya.
“Glek... glek... glek...!”
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melalui tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Ah...! Nikmaaat..!"
Dengan punggung tangan. Setan Mabuk mengusap tumpahan arak yang membasahi sekitar mulutnya. Kasar sekali caranya. Bahkan berkesan menjijikkan.
"Keparat...!"
Kera Bukit Setan berteriak memaki. Laki-laki berompi hitam ini tidak tahan dihina seperti itu. Maka....
“Ctarrr...!”
Suara menggelegar keras diiringi mengepulnya asap berwarna putih terdengar ketika ujung cambuk itu melecut di udara. Baru kemudian, ujung cambuk itu meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Setan Mabuk.
Kejam dan telengas sekali gerakan Kera Bukit Setan. Sekali menyerang sudah meluncurkan serangan yang dapat membuat nyawa kakek berkepala botak itu pergi ke alam baka.
Ubun-ubun merupakan salah satu bagian terlemah pada tubuh manusia. Dan kini, ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu karang itu meluncur deras ke bagian itu.
Buntara terperanjat juga melihat serangan maut itu. Apalagi, tampaknya Setan Mabuk seperti tidak mengetahui adanya bahaya. Dia masih sibuk mencium-cium bau araknya. Melihat hal ini, semula kakek berwajah penuh senyum itu ingin menolong. Tapi niatnya segera diurungkan ketika teringat kalau kakek ini memiliki kepandaian amat tinggi. Hal itu bisa diketahui dari suara Setan Mabuk yang mampu menindih suara gerakan pedangnya. Padahal, tokoh sesat pemabukan itu hanya pelan saja mengucapkannya.
Tindakan Buntara menahan gerakannya ternyata tepat sekali. Buktinya, begitu ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tanpa mengangkat wajah, Setan Mabuk mengulur tangan menyambut.
Wajah Buntara dan Kera Bukit Setan berubah seketika. Apa yang dilakukan Setan Mabuk benar-benar di luar dugaan! Ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun, hanya ditangkis dengan tangan kosong!
Suatu hal yang tidak akan mungkin dapat dilakukan Buntara! Itulah sebabnya, tindakan Setan Mabuk benar-benar menimbulkan keterkejutan Buntara dan Kera Bukit Setan. Apalagi, cara kakek berkepala botak itu memapak, seperti-nya tanpa mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Gerakannya begitu sembarangan saja!
“Prattt..!”
Telak dan keras sekali ujung cambuk itu berbenturan dengan tangan Setan Mabuk. Dan sebelum Kera Bukit Setan sempat berbuat sesuatu, tangan kakek berbaju rompi bulu burung itu bergerak menangkap. Dan...
“Tappp...!”
Tanpa mampu dicegah, ujung cambuk Kera Bukit Setan telah tertangkap tangan Setan Mabuk. Dan secepat cambuk itu tercekal, secepat itu pula kakek berkepala botak ini membetotnya.
Kera Bukit Setan tentu saja tidak merelakan senjata andalannya dirampas. Maka begitu lawan membetot, seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahankannya. Tapi usaha yang dilakukan laki-laki berompi hitam ini sia-sia. Tenaga betotan itu memang terlalu kuat. Karena bersikeras mempertahankan cambuk, maka Kera Bukit Setan pun ikut tertarik ke depan.
Masih bersikap sembarangan, Setan Mabuk kembali menggerakkan tangannya. Kali ini tangan yang menggenggam cambuk diputar-putarkan.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment