Hari sudah agak siang. Sang surya pun telah hampir di atas kepala. Tapi karena ada awan tebal yang menutupinya, suasana di bumi jadi agak gelap. Mendung. Dalam suasana yang tidak panas dan angin bertiup lembut, tampak empat orang berwajah kasar sedang melangkah memasuki sebuah kedai di Desa Koneng.
Rata-rata mereka mengenakan rompi dengan sebilah golok terselip di pinggang. Dengan sikap kasar dan jumawa mereka masuk ke dalam kedai, lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Pengunjung kedai itu ternyata ramai juga, terbukti hampir semua bangku terisi.
Melihat kedatangan empat orang itu, pemilik kedai yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering tergopoh-gopoh melangkah menghampiri. Wajahnya yang kurus dan terlihat kering itu dihiasi kumis dan jenggot yang jarang-jarang. Sehingga, makin menambah kegersangan wajahnya. Menilik dari sikapnya, jelas kalau pemilik kedai ini mengenal empat orang kasar itu.
"Aduh, Den ...!" Belum apa apa pemilik kedai itu sudah meratap-ratap. "Kasihani aku, Den. Tolong, jangan buat keributan di sini"
Sambil berkata demikian, laki-laki kurus kering ini merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil membungkuk-bungkukkan badan.
Sementara pengunjung lain yang tengah menikmati makan pun tampak ketakutan. Kini, mereka tidak lagi menyantap makanan, melainkan bersiap-siap keluar dari situ. Ini bisa dibuktikan dari sepasang mata mereka yang menatap liar ke sana kemari.
Tapi, rupanya keempat orang kasar itu sudah memperhitungkannya. Maka begitu masuk ke dalam kedai, dua di antara mereka telah berdiri menghadang di ambang pintu. Tangan kiri bertolak pinggang. Sementara tangan kanan mengelus-elus dagu.
"Hmh...! Kau berani menantangku, Giri?!"
Salah satu dari dua orang kasar yang dihampiri pemilik kedai itu, mendengus. Tangan kanannya mencengkeram leher baju laki-laki bertubuh kurus kering yang ternyata bernama Giri.
Sementara penduduk sekitar Desa Koneng sering memanggil dengan sebutan Ki Giri. Dan sekali tangannya bergerak mengangkat, tubuh Ki Giri telah terangkat naik. Mau tak mau kedua kakinya kini tergantung sekitar dua jengkal di atas tanah.
Apalagi orang yang melakukannya memiliki tubuh tinggi besar, dan yang pasti kepandaiannya patut diperhitungkan. Cambang bauk yang lebat tampak menghias wajahnya. Kedua tangannya yang besar-besar, juga berbulu lebat Seperti layaknya seekor monyet.
Seketika wajah Ki Giri pucat karena mendapat perlakuan seperti itu. Kakinya coba digerak-gerakkan untuk mencapai lantai. Dan memang keadaan seperti itu menyakitkan lehernya. Tapi, usahanya ini sia-sia. Kedua kakinya tetap saja tidak bisa mencapai lantai. Jarak antara kakinya dengan lantai terlalu jauh untuk bisa dijangkau.
"Ti… ti.... Tidak, Den Jagar...," meskipun terputus-putus, Giri berhasil juga membuka suara. "Mana aku berani..."
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa terbahak-bahak. Keras sekali suaranya, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga pemilik kedai itu sampai menekapkan kedua tangan pada telinganya karena merasa bising.
Begitu tawa itu selesai, tangan yang mencengkeram leher baju itu bergerak melemparkan tubuh Ki Giri. Enak saja laki-laki bertubuh tinggi besar itu melakukannya. Seolah-olah, tubuh laki-laki kurus kering itu tak ubahnya sehelai karung basah. Ki Giri langsung menjerit ketakutan begitu tubuhnya melayang deras ke belakang. Dan....
“Brakkk...!”
Suara berderak keras seketika terdengar begitu tubuh pemilik kedai yang malang itu menghantam bangku dan meja. Tak pelak lagi, bangku-bangku itu terguling ke sana kemari.
Ki Giri mengaduh-aduh kesakitan. Apalagi tubuhnya sebagian besar hanya terdiri dari tulang-tulang saja. Bisa dibayangkan, betapa sakitnya terbentur bangku dan meja.
Jagar tidak mempedulikan keadaan laki-laki kurus kering itu. Begitu kepalanya diegoskan, maka seketika itu juga ketiga orang rekannya bergerak menghampiri para pengunjung kedai.
Sedangkan Jagar hanya berdiam diri, sambil mengawasi dengan kedua tangan berkacak pinggang. Jelas, laki-laki bertubuh tinggi besar ini adalah pimpinan gerombolan itu.
Jagar tersenyum sambil memilin-milin kumisnya yang tebal. Matanya terus mengawasi ketiga orang rekannya yang telah mulai dengan tugas yang memang sudah direncanakan.
Merampok harta para pengunjung kedai memang sudah jadi rencana mereka. Maka tentu saja hal itu membuat para pengunjung kedai panik bukan kepalang. Apalagi, bagi mereka yang kebetulan habis menjual barang dagangannya.
"Cepat serahkan semua hartamu...!" bentak rekan Jagar yang bertubuh kurus dan berkulit kuning, pada salah seorang pengunjung kedai tanpa menghunus goloknya.
Rupanya, dia merasa tidak perlu menggunakan golok-nya. Dan sambil berkata demikian tangan kanannya diulurkan untuk merampas buntalan uang yang terselip di pinggang.
Tapi, rupanya calon korban itu tidak sudi membiarkan begitu saja uangnya diambil. Maka diputuskanlah untuk mengadakan perlawanan, begitu melihat orang yang hendak merampas buntalan uangnya seperti orang penyakitan.
Kebetulan, pengunjung ini memiliki bentuk tubuh kekar dan berotot. Maka begitu tangan laki-laki bertubuh kurus itu meluncur ke arah pinggang, bergegas tangannya menangkap.
“Kreppp...!”
Begitu tangan laki-laki berkulit kuning ini berhasil ditangkap, langsung dilayangkannya tinju kanan ke arah wajah orang yang hendak merampas uangnya.
"Hmh...! Berani kau memukul Gojang?!" dengus laki-laki bertubuh kurus yang ternyata bernama Gojang. Tangan kirinya pun seketika bergerak. Dan...
“Tappp...!”
Hanya sekali gerak saja, serangan laki-laki bertubuh kekar itu bisa dikandaskan. Bahkan jari-jari tangan Gojang sudah mencengkeram pergelangan tangan pengunjung kedai itu.
Gojang tidak hanya bertindak sampai di situ saja. Berbareng dengan gerakan tangan kiri, pergelangan tangan-nya pun diputar. Gila! Hanya sekali memutar pergelangan saja, Gojang telah membuat cekalan laki-laki bertubuh kekar itu terlepas. Bahkan dengan gerak tangan luar biasa, dia malah telah balas mencekal pergelangan lawan.
Hasilnya, kini Gojang telah berhasil menangkap kedua pergelangan lawan. Sebelum laki-laki bertubuh kekar itu berbuat sesuatu, kedua tangan Gojang telah cepat bergerak membetot. Tak pelak lagi, rubuh pengunjung kedai yang sial itu tertarik deras ke depan, ke arah Gojang! Begitu kerasnya tenaga betotan itu, sampai tubuhnya terhuyung-huyung.
Langsung laki-laki bertubuh kurus itu tertawa menyeramkan. Dan begitu tawanya habis, kepalanya digerakkan. Jelas, maksudnya adalah mengadu kepala pengunjung kedai itu dengan kepalanya sendiri. Dan karena terhuyung-huyung, kepala laki-laki bertubuh kekar itu bergerak maju lebih dulu daripada kaki atau tubuhnya.
“Duggg...!”
Benturan antara dua buah kepala yang begitu keras tak dapat dielakkan lagi. Menilai dari besarnya kedua kepala, sebenarnya kepala Gojanglah yang akan menerima akibat yang lebih buruk.
Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya! Laki-laki bertubuh kekarlah yang justru memekik keras kesakitan. Dari bagian dahinya yang terluka nampak mengalir darah. Tubuh laki-laki yang sial itu seketika terkulai. Tidak pingsan atau mati, tapi lemas. Sementara kepala Gojang tetap utuh! Jangankan terluka, tergores pun tidak.
"He... he... he...!" Gojang tertawa terkekeh-kekeh, sehingga terdengar menyeramkan sekali.
Kini pegangan tangannya berpindah. Tangan kiri mencekal leher baju, dan tangan kanannya bergerak menampar wajah laki-laki bertubuh kekar itu.
“Plak, plak, plak...!”
Suara keras beradunya telapak tangan dengan pipi terdengar berkali-kali. Kepala pengunjung kedai yang malang itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri. Darah segar muncrat-muncrat dari mulutnya. Bahkan ada beberapa benda putih sebesar kuku jari kelingking yang terlompat keluar dari dalam mulutnya. Jelas, benda itu adalah gigi.
Tanpa mengenal rasa kasihan, Gojang terus saja meneruskan tindakannya. Darah segar pun keluar lebih banyak lagi. Bahkan kali ini tidak hanya dari mulut saja, tapi juga dari hidung. Setelah merasa puas, Gojang lalu melepaskan cekalan-nya. Akibatnya, rubuh laki-laki sial itu pun ambruk di tanah seperti sehelai kain basah.
"Cuhhh…!”
Segumpal ludah kental keluar dari mulut Gojang, dan mendarat dengan manisnya di wajah laki-laki bertubuh kekar yang sudah megap-megap seperti ikan terdampar ke darat.
Rupanya, laki-laki berkulit kuning ini masih belum puas dengan apa yang dikerjakannya. Sambil menyeringai kejam yang nampak di mulutnya, kakinya ditaruh di kepala laki-laki bertubuh kekar.
Dan sekali kakinya bergerak menekan, nyawa pengunjung kedai yang sial itu melayang ke alam baka seiring terdengarnya suara gemeretak ketika kepala itu pecah berantakan. Darah segar pun kembali muncrat-muncrat.
"Ha... ha... ha...!"
Gojang tertawa terbahak-bahak. Keras sekali sehingga membuat suasana di dalam kedai menjadi gaduh. Apalagi ketika ketiga orang kasar lainnya pun tertawa pula. Bahkan dinding-dinding kedai itu sampai bergetar seperti akan runtuh.
Melihat kejadian mengenaskan yang menimpa laki-laki bertubuh kekar itu, karuan saja membuat nyali para pengunjung lain menjadi ciut. Mereka kini pasrah saja ketika rekan-rekan Jagar merampas semua harta benda yang ada.
Tapi meskipun tidak ada yang mengadakan perlawanan, bukan berarti para pengunjung kedai bebas dari kekejaman. Dan memang, tetap saja mereka mendapat hadiah dari tiga orang kasar itu.
Suara pukulan-pukulan nyaring terdengar silih berganti diiringi jerit dan keluh kesakitan dari mulut pengunjung kedai. Tubuh-tubuh pengunjung yang sial itu satu persatu roboh di lantai.
Memang, tidak ada seorang pun yang tewas kecuali laki-laki bertubuh kekar tadi. Tapi meskipun begitu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang sanggup berdiri. Darah kini telah membasahi lantai kedai. Semua pengunjung kedai menderita luka yang lumayan. Ada yang patah kaki, namun tidak sedikit yang patah tangan atau copot giginya.
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa keras begitu melihat ketiga orang rekannya telah menyelesaikan tugas, dan bergerak menghampirinya dengan harta rampasan di tangan.
"Terima kasih, Ki Giri…!" seru laki laki bercambang bauk lebat itu dengan suara keras menggelegar. "Lain kali, kami pasti datang lagi...!"
Masih sambil tertawa-tawa, Jagar dan kawan-kawannya melangkah meninggalkan kedai.
Tidak ada seorang penduduk pun yang mengetahui atau mendengar adanya keributan di situ. Memang, letak kedai agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Tambahan lagi, pada saat seperti ini sebagian besar penduduk Desa Koneng tengah berada di sawah.
Tidak heran, karena penduduk desa itu sebagian besar adalah petani. Suasana kembali menjadi sepi ketika Jagar dan rekan-rekannya telah cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kini yang terdengar hanyalah suara rintihan dan keluhan dari mulut-mulut orang yang terluka.
Belum berapa lama Jagar dan ketiga rekannya meninggalkan kedai milik Ki Giri, nampak seorang laki-laki berwajah gagah dan berpakaian kuning berjalan perlahan mendekati kedai.
Usia laki-laki itu tak kurang dari tiga puluh tahun. Kumis dan jenggotnya terawat baik, sehingga menambah kegagahannya. Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tampak tersampir di punggung.
Bisa ditebak kalau laki-laki ini memiliki kepandaian saat ini bisa dibuktikan dengan adanya sulaman benang hijau bergambar seekor naga di bagian dada sebelah kiri pakaiannya.
Dengan langkah gesit dan ringan, laki-laki berkumis rapi ini melangkah memasuki pintu kedai. Tapi baru sebelah kakinya masuk ambang pintu, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang bergeletak tak tentu arah di lantai. Bahkan beberapa buah meja dan kursi nampak terbalik. Malah ada beberapa di antaranya yang patah-patah.
Kalau saja laki-laki berjenggot rapi ini tidak bersiul-siul sewaktu melangkah menghampiri kedai, mungkin akan terdengar rintihan dan keluhan dari mulut para pengunjung kedai yang terluka.
"Ki…!”
Laki-laki berkumis rapi ini berseru ketika melihat Ki Giri yang tengah berusaha bangkit. Memang, di antara semua orang yang berada di situ, laki-laki bertubuh kurus kering inilah yang menderita luka paling ringan.
Dari ucapannya, bisa diketahui kalau laki-laki berkumis rapi ini mengenal Ki Giri. Sambil berseru demikian, laki-laki berkumis rapi itu bergerak cepat menghampiri tubuh pemilik kedai. Menilik dari gerakannya yang cepat bisa diperkirakan kalau tingkat kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng.
"Apa yang terjadi, Ki?! Katakanlah...!" desak laki-laki berkumis rapi, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat tubuh Ki Giri.
Ada suara gemeretak keras keluar dari mulutnya, pertanda kalau dirinya tengah dilanda perasaan geram.
"Para pengacau datang, merampok dan menganiaya para pengunjung kedai ini. Den Subarji...." Jelas Ki Giri dengan suara tersendat-sendat
Laki-laki berjenggot rapi yang ternyata bernama Subarji mengepalkan kedua tangannya, sehingga terdengar bunyi berderak keras seperti ada tulang-tulang yang patah.
Ki Giri mengangguk.
"Siapa, Ki?!" tanya Subarji lagi.
"Jagar dan kawan-kawannya," jawab Ki Giri pelan, mirip desahan.
"Hm.... Kiranya Jagar....”
Subarji mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang telah sering mendengar nama Jagar, sebagai orang yang selalu membuat onar. Bukan hanya di Desa Koneng saja, tapi juga di desa-desa sekitarnya. Maka meskipun belum pernah bertemu, tapi Subarji telah mengetahui ciri-ciri laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Baru saja mereka pergi, Den Subarji...," Ki Giri kembali membuka suara.
"Ke arah mana perginya, Ki?"
"Barat, Den."
Memang, Ki Giri tadi sempat melihat kepergian Jagar dan kawan-kawannya ke samping kanan kedainya. Dan itu berarti mereka pergi ke arah Barat
"Kalau begitu, mereka harus cepat kukejar...! Orang-orang seperti mereka harus dilenyapkan selama-lamanya."
Setelah berkata demikian, Subarji segera bangkit berdiri dan melesat keluar kedai. Dan secepat tubuhnya telah berada di luar, secepat itu bergerak mengejar ke arah Barat.
Subarji berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Ucapan Ki Giri yang memberi tahu kalau Jagar dan rekan-rekannya belum lama meninggalkan kedai, membuatnya bertindak seperti itu.
Ternyata, pemberitahuan pemilik kedai itu tidak salah. Belum berapa lama Subarji berlari, di kejauhan terlihat empat sosok tubuh yang berjalan cepat. Kontan semangat laki-laki berkumis rapi ini bangkit. Meskipun belum pasti kalau keempat sosok tubuh itu adalah orang yang dicari, tapi melihat dari jumlahnya, Subarji yakin kalau yang dilihatnya adalah Jagar dan kawan-kawannya.
Karena Subarji berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sementara empat sosok tubuh itu berlari seenak-nya, maka jarak di antara mereka semakin lama semakin bertambah dekat.
Seiring semakin bertambah dekatnya jarak, maka sosok-sosok tubuh itu pun semakin jelas terlihat. Dan begitu jarak di antara mereka terpisah lima tombak lagi, Subarji yakin kalau empat sosok itu adalah orang-orang yang dikejarnya.
Memang meskipun hanya melihat dari belakang, laki-laki berjenggot rapi ini bisa mengetahui kalau empat sosok tubuh di hadapannya adalah Jagar dan ketiga orang rekan-nya.
Dia telah mendengar kalau Jagar selalu mengenakan rompi berwarna kuning, yang pada bagian belakangnya bergambar seekor kelabang. Dan kini gambar itu telah dilihatnya.
Jagar dan tiga orang rekannya yang tengah berbincang-bincang, sama sekali tidak mengetahui kalau di belakang ada orang yang mengejar. Mereka terus saja berlari tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
"Berhenti...!"
Keempat orang kasar ini baru terkejut ketika mendengar bentakan. Belum juga mereka menyadari, sesosok bayangan kuning telah melesat melewati kepala mereka dan tahu-tahu telah berdiri menghadang.
Bagai diberi aba-aba, keempat orang ini berhenti melangkah. Kini kedua belah pihak berdiri berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak, dengan mata saling mengamati.
"Hmh…!"
Jagar mendengus geram begitu melihat sosok bayangan kuning telah menghadang perjalanan mereka. Memang dia tidak mengenal orang yang menghadang ini. Tapi dari pakaian yang dikenakan, dan sulaman gambar naga dari benang hijau pada dada sebelah kiri, bisa diketahui asal perguruan laki-laki berkumis rapi ini.
"Tikus usilan dari Perguruan Naga Hijau rupanya...," kata laki-laki bercambang bauk lebat ini sambil tersenyum mengejek.
Jagar memaki Subarji demikian karena Perguruan Naga Hijau beraliran putih. Para muridnya selalu menentang tindak kejahatan. Tidak heran jika murid-murid perguruan yang telah cukup kemampuannya, harus mengamalkan ilmu. Mereka kebanyakan menyebar di berbagai desa. Dan Subarji memilih tinggal di Desa Koneng, desa kelahirannya.
"Jadi, kau rupanya yang bernama Jagar...," kata Subarji.
Ada nada kegeraman dalam suara Subarji. Ditatapnya sosok tubuh tinggi besar di hadapannya penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ooo... Kau baru tahu rupanya?" Jagar tersenyum sinis. "Memang! Akulah Jagar! Lalu, kau mau apa?!"
"Pasti kau dan rekan-rekanmu ini yang telah merampok kedai Ki Giri, bukan?!"
Subarji langsung mengedarkan pandangan ke arah buntalan kain yang dibawa keempat orang berwajah kasar di depannya.
"Ha... ha... ha...! Tidak salah...!" jawab Jagar, lantang. "Kau ingin merampasnya kembali? Silakan!"
Subarji menggertakkan gigi mendengar kata-kata bernada tantangan itu. Sementara, tiga orang rekan Jagar segera melemparkan buntalan-buntalan kain yang berisi harta rampasan di tanah.
Memang, harta yang dirampas dari para pengunjung kedai, biasa dimasukkan ke dalam buntalan kain.
"Kirim tikus usilan itu ke neraka...!" perintah Jagar pada ketiga orang rekannya.
“Srattt, srattt, srattt...!”
Sinar-sinar terang berkeredep tatkala ketiga orang kasar itu menghunus golok masing-masing, seiring lenyapnya perintah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Mereka tahu, lawan yang kali ini dihadapi tidak sama dengan orang-orang di kedai.
Maka, tanpa ragu-ragu mereka segera menggunakan senjata. Begitu golok telah berada di tangan, ketiga orang itu menyebar mengurung Subarji. Sudah bisa ditebak maksudnya. Ingin menyerang laki-laki berjenggot rapi ini dari tiga jurusan.
"Hm...."
Sambil menggumam, Subarji mencabut pedangnya. Sepasang matanya beredar berkeliling, memperhatikan gerak-gerik ketiga orang lawan yang semakin dekat dan semakin mengurungnya.
Telah diputuskannya untuk melenyapkan gerombolan Jagar sebelum semakin meraja-lela dan menimbulkan korban baru. Itulah sebabnya Subarji langsung menghunus senjatanya.
"Haaat...! "
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, laki-laki berkulit kuning mendahului menyerang. Goloknya meluncur deras ke arah dada. Memang, saat itu dia berhadapan dengan lawannya.
Belum juga serangan laki-laki bertubuh kurus itu tiba, serangan dari dua orang lain datang menyusul. Orang yang berada di kanan, menyabetkan goloknya ke arah leher. Sementara yang di kiri menusuk ke arah pinggang.
Suara angin mendesir cukup nyaring mengiringi tibanya ketiga serangan yang masing-masing mampu mengantarkan nyawa ke alam baka bila mendarat.
Namun Subarji tetap bersikap tenang. Melihat dari kecepatan serangan itu, sudah bisa diketahui kalau ilmu meringankan tubuh ketiga orang lawan cukup jauh di bawahnya, itulah sebabnya, dia tidak terburu-buru bertindak.
Baru ketika serangan itu menyambar semakin dekat, Subarji menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Maka semua serangan lawan hanya mengenai tempat kosong, lewat di bawah kakinya.
Tindakan laki-laki berkumis rapi ini tidak hanya sampai di situ saja. Begitu tubuhnya berada di udara, pedang di tangannya langsung meluncur deras ke arah ubun-ubun laki-laki bertubuh kurus. Sementara kaki kanannya menendang ke arah kepala lawan yang berada di sebelah kanan. Sedangkan lawan yang berada di sebelah kiri, disampok dengan tangan kirinya ke arah pelipis.
Balasan serangan mendadak ini tentu saja membuat ketiga orang rekan Jagar terperanjat. Apalagi, datangnya terlalu tiba-tiba! Mereka baru mengetahui adanya bahaya setelah serangan itu mendekati sasaran.
Hembusan angin cukup keras yang mengiringi tibanya serangan, membuat mereka sadar akan adanya bahaya mengancam. Karena mengelak sudah tidak mungkin lagi, maka ketiga orang kasar itu pun memutuskan untuk menangkis. Laki-laki bertubuh kurus menangkis dengan golok, sementara dua rekannya menangkis dengan tangan kanan.
“Tranggg, plakkk, plakkk...!”
Suara berdentang keras diiringi suara tangan dan kaki berbenturan terdengar bertubi-tubi. Akibatnya, tubuh ketiga orang rekan Jagar terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur tangan yang digunakan untuk menangkis seketika bergetar hebat dan terasa ngilu bukan main.
Jelas, tenaga dalam mereka masih jauh di bawah lawan. Sebuah keuntungan bagi mereka, karena Subarji tidak bisa melancarkan serangan susulan. Keadaannyalah yang tidak memungkinkan. Tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Maka begitu semua lawan terhuyung-huyung sehabis menangkis serangan, kedua kakinya pun mendarat di tanah.
Begitu laki-laki berkumis rapi ini hinggap di tanah, ketiga orang lawannya telah berhasil memperbaiki sikap kembali. Bahkan kemudian kembali menyerang. Dan kini pertarungan sengit pun terjadi. Baik Subarji maupun ketiga orang rekan Jagar, sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing.
Rata-rata mereka mengenakan rompi dengan sebilah golok terselip di pinggang. Dengan sikap kasar dan jumawa mereka masuk ke dalam kedai, lalu mengedarkan pandangan berkeliling. Pengunjung kedai itu ternyata ramai juga, terbukti hampir semua bangku terisi.
Melihat kedatangan empat orang itu, pemilik kedai yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering tergopoh-gopoh melangkah menghampiri. Wajahnya yang kurus dan terlihat kering itu dihiasi kumis dan jenggot yang jarang-jarang. Sehingga, makin menambah kegersangan wajahnya. Menilik dari sikapnya, jelas kalau pemilik kedai ini mengenal empat orang kasar itu.
"Aduh, Den ...!" Belum apa apa pemilik kedai itu sudah meratap-ratap. "Kasihani aku, Den. Tolong, jangan buat keributan di sini"
Sambil berkata demikian, laki-laki kurus kering ini merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil membungkuk-bungkukkan badan.
Sementara pengunjung lain yang tengah menikmati makan pun tampak ketakutan. Kini, mereka tidak lagi menyantap makanan, melainkan bersiap-siap keluar dari situ. Ini bisa dibuktikan dari sepasang mata mereka yang menatap liar ke sana kemari.
Tapi, rupanya keempat orang kasar itu sudah memperhitungkannya. Maka begitu masuk ke dalam kedai, dua di antara mereka telah berdiri menghadang di ambang pintu. Tangan kiri bertolak pinggang. Sementara tangan kanan mengelus-elus dagu.
"Hmh...! Kau berani menantangku, Giri?!"
Salah satu dari dua orang kasar yang dihampiri pemilik kedai itu, mendengus. Tangan kanannya mencengkeram leher baju laki-laki bertubuh kurus kering yang ternyata bernama Giri.
Sementara penduduk sekitar Desa Koneng sering memanggil dengan sebutan Ki Giri. Dan sekali tangannya bergerak mengangkat, tubuh Ki Giri telah terangkat naik. Mau tak mau kedua kakinya kini tergantung sekitar dua jengkal di atas tanah.
Apalagi orang yang melakukannya memiliki tubuh tinggi besar, dan yang pasti kepandaiannya patut diperhitungkan. Cambang bauk yang lebat tampak menghias wajahnya. Kedua tangannya yang besar-besar, juga berbulu lebat Seperti layaknya seekor monyet.
Seketika wajah Ki Giri pucat karena mendapat perlakuan seperti itu. Kakinya coba digerak-gerakkan untuk mencapai lantai. Dan memang keadaan seperti itu menyakitkan lehernya. Tapi, usahanya ini sia-sia. Kedua kakinya tetap saja tidak bisa mencapai lantai. Jarak antara kakinya dengan lantai terlalu jauh untuk bisa dijangkau.
"Ti… ti.... Tidak, Den Jagar...," meskipun terputus-putus, Giri berhasil juga membuka suara. "Mana aku berani..."
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa terbahak-bahak. Keras sekali suaranya, dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga pemilik kedai itu sampai menekapkan kedua tangan pada telinganya karena merasa bising.
Begitu tawa itu selesai, tangan yang mencengkeram leher baju itu bergerak melemparkan tubuh Ki Giri. Enak saja laki-laki bertubuh tinggi besar itu melakukannya. Seolah-olah, tubuh laki-laki kurus kering itu tak ubahnya sehelai karung basah. Ki Giri langsung menjerit ketakutan begitu tubuhnya melayang deras ke belakang. Dan....
“Brakkk...!”
Suara berderak keras seketika terdengar begitu tubuh pemilik kedai yang malang itu menghantam bangku dan meja. Tak pelak lagi, bangku-bangku itu terguling ke sana kemari.
Ki Giri mengaduh-aduh kesakitan. Apalagi tubuhnya sebagian besar hanya terdiri dari tulang-tulang saja. Bisa dibayangkan, betapa sakitnya terbentur bangku dan meja.
Jagar tidak mempedulikan keadaan laki-laki kurus kering itu. Begitu kepalanya diegoskan, maka seketika itu juga ketiga orang rekannya bergerak menghampiri para pengunjung kedai.
Sedangkan Jagar hanya berdiam diri, sambil mengawasi dengan kedua tangan berkacak pinggang. Jelas, laki-laki bertubuh tinggi besar ini adalah pimpinan gerombolan itu.
Jagar tersenyum sambil memilin-milin kumisnya yang tebal. Matanya terus mengawasi ketiga orang rekannya yang telah mulai dengan tugas yang memang sudah direncanakan.
Merampok harta para pengunjung kedai memang sudah jadi rencana mereka. Maka tentu saja hal itu membuat para pengunjung kedai panik bukan kepalang. Apalagi, bagi mereka yang kebetulan habis menjual barang dagangannya.
"Cepat serahkan semua hartamu...!" bentak rekan Jagar yang bertubuh kurus dan berkulit kuning, pada salah seorang pengunjung kedai tanpa menghunus goloknya.
Rupanya, dia merasa tidak perlu menggunakan golok-nya. Dan sambil berkata demikian tangan kanannya diulurkan untuk merampas buntalan uang yang terselip di pinggang.
Tapi, rupanya calon korban itu tidak sudi membiarkan begitu saja uangnya diambil. Maka diputuskanlah untuk mengadakan perlawanan, begitu melihat orang yang hendak merampas buntalan uangnya seperti orang penyakitan.
Kebetulan, pengunjung ini memiliki bentuk tubuh kekar dan berotot. Maka begitu tangan laki-laki bertubuh kurus itu meluncur ke arah pinggang, bergegas tangannya menangkap.
“Kreppp...!”
Begitu tangan laki-laki berkulit kuning ini berhasil ditangkap, langsung dilayangkannya tinju kanan ke arah wajah orang yang hendak merampas uangnya.
"Hmh...! Berani kau memukul Gojang?!" dengus laki-laki bertubuh kurus yang ternyata bernama Gojang. Tangan kirinya pun seketika bergerak. Dan...
“Tappp...!”
Hanya sekali gerak saja, serangan laki-laki bertubuh kekar itu bisa dikandaskan. Bahkan jari-jari tangan Gojang sudah mencengkeram pergelangan tangan pengunjung kedai itu.
Gojang tidak hanya bertindak sampai di situ saja. Berbareng dengan gerakan tangan kiri, pergelangan tangan-nya pun diputar. Gila! Hanya sekali memutar pergelangan saja, Gojang telah membuat cekalan laki-laki bertubuh kekar itu terlepas. Bahkan dengan gerak tangan luar biasa, dia malah telah balas mencekal pergelangan lawan.
Hasilnya, kini Gojang telah berhasil menangkap kedua pergelangan lawan. Sebelum laki-laki bertubuh kekar itu berbuat sesuatu, kedua tangan Gojang telah cepat bergerak membetot. Tak pelak lagi, rubuh pengunjung kedai yang sial itu tertarik deras ke depan, ke arah Gojang! Begitu kerasnya tenaga betotan itu, sampai tubuhnya terhuyung-huyung.
Langsung laki-laki bertubuh kurus itu tertawa menyeramkan. Dan begitu tawanya habis, kepalanya digerakkan. Jelas, maksudnya adalah mengadu kepala pengunjung kedai itu dengan kepalanya sendiri. Dan karena terhuyung-huyung, kepala laki-laki bertubuh kekar itu bergerak maju lebih dulu daripada kaki atau tubuhnya.
“Duggg...!”
Benturan antara dua buah kepala yang begitu keras tak dapat dielakkan lagi. Menilai dari besarnya kedua kepala, sebenarnya kepala Gojanglah yang akan menerima akibat yang lebih buruk.
Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya! Laki-laki bertubuh kekarlah yang justru memekik keras kesakitan. Dari bagian dahinya yang terluka nampak mengalir darah. Tubuh laki-laki yang sial itu seketika terkulai. Tidak pingsan atau mati, tapi lemas. Sementara kepala Gojang tetap utuh! Jangankan terluka, tergores pun tidak.
"He... he... he...!" Gojang tertawa terkekeh-kekeh, sehingga terdengar menyeramkan sekali.
Kini pegangan tangannya berpindah. Tangan kiri mencekal leher baju, dan tangan kanannya bergerak menampar wajah laki-laki bertubuh kekar itu.
“Plak, plak, plak...!”
Suara keras beradunya telapak tangan dengan pipi terdengar berkali-kali. Kepala pengunjung kedai yang malang itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri. Darah segar muncrat-muncrat dari mulutnya. Bahkan ada beberapa benda putih sebesar kuku jari kelingking yang terlompat keluar dari dalam mulutnya. Jelas, benda itu adalah gigi.
Tanpa mengenal rasa kasihan, Gojang terus saja meneruskan tindakannya. Darah segar pun keluar lebih banyak lagi. Bahkan kali ini tidak hanya dari mulut saja, tapi juga dari hidung. Setelah merasa puas, Gojang lalu melepaskan cekalan-nya. Akibatnya, rubuh laki-laki sial itu pun ambruk di tanah seperti sehelai kain basah.
"Cuhhh…!”
Segumpal ludah kental keluar dari mulut Gojang, dan mendarat dengan manisnya di wajah laki-laki bertubuh kekar yang sudah megap-megap seperti ikan terdampar ke darat.
Rupanya, laki-laki berkulit kuning ini masih belum puas dengan apa yang dikerjakannya. Sambil menyeringai kejam yang nampak di mulutnya, kakinya ditaruh di kepala laki-laki bertubuh kekar.
Dan sekali kakinya bergerak menekan, nyawa pengunjung kedai yang sial itu melayang ke alam baka seiring terdengarnya suara gemeretak ketika kepala itu pecah berantakan. Darah segar pun kembali muncrat-muncrat.
"Ha... ha... ha...!"
Gojang tertawa terbahak-bahak. Keras sekali sehingga membuat suasana di dalam kedai menjadi gaduh. Apalagi ketika ketiga orang kasar lainnya pun tertawa pula. Bahkan dinding-dinding kedai itu sampai bergetar seperti akan runtuh.
Melihat kejadian mengenaskan yang menimpa laki-laki bertubuh kekar itu, karuan saja membuat nyali para pengunjung lain menjadi ciut. Mereka kini pasrah saja ketika rekan-rekan Jagar merampas semua harta benda yang ada.
Tapi meskipun tidak ada yang mengadakan perlawanan, bukan berarti para pengunjung kedai bebas dari kekejaman. Dan memang, tetap saja mereka mendapat hadiah dari tiga orang kasar itu.
Suara pukulan-pukulan nyaring terdengar silih berganti diiringi jerit dan keluh kesakitan dari mulut pengunjung kedai. Tubuh-tubuh pengunjung yang sial itu satu persatu roboh di lantai.
Memang, tidak ada seorang pun yang tewas kecuali laki-laki bertubuh kekar tadi. Tapi meskipun begitu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang sanggup berdiri. Darah kini telah membasahi lantai kedai. Semua pengunjung kedai menderita luka yang lumayan. Ada yang patah kaki, namun tidak sedikit yang patah tangan atau copot giginya.
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa keras begitu melihat ketiga orang rekannya telah menyelesaikan tugas, dan bergerak menghampirinya dengan harta rampasan di tangan.
"Terima kasih, Ki Giri…!" seru laki laki bercambang bauk lebat itu dengan suara keras menggelegar. "Lain kali, kami pasti datang lagi...!"
Masih sambil tertawa-tawa, Jagar dan kawan-kawannya melangkah meninggalkan kedai.
Tidak ada seorang penduduk pun yang mengetahui atau mendengar adanya keributan di situ. Memang, letak kedai agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Tambahan lagi, pada saat seperti ini sebagian besar penduduk Desa Koneng tengah berada di sawah.
Tidak heran, karena penduduk desa itu sebagian besar adalah petani. Suasana kembali menjadi sepi ketika Jagar dan rekan-rekannya telah cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kini yang terdengar hanyalah suara rintihan dan keluhan dari mulut-mulut orang yang terluka.
Belum berapa lama Jagar dan ketiga rekannya meninggalkan kedai milik Ki Giri, nampak seorang laki-laki berwajah gagah dan berpakaian kuning berjalan perlahan mendekati kedai.
Usia laki-laki itu tak kurang dari tiga puluh tahun. Kumis dan jenggotnya terawat baik, sehingga menambah kegagahannya. Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tampak tersampir di punggung.
Bisa ditebak kalau laki-laki ini memiliki kepandaian saat ini bisa dibuktikan dengan adanya sulaman benang hijau bergambar seekor naga di bagian dada sebelah kiri pakaiannya.
Dengan langkah gesit dan ringan, laki-laki berkumis rapi ini melangkah memasuki pintu kedai. Tapi baru sebelah kakinya masuk ambang pintu, dia terperanjat melihat sosok-sosok tubuh yang bergeletak tak tentu arah di lantai. Bahkan beberapa buah meja dan kursi nampak terbalik. Malah ada beberapa di antaranya yang patah-patah.
Kalau saja laki-laki berjenggot rapi ini tidak bersiul-siul sewaktu melangkah menghampiri kedai, mungkin akan terdengar rintihan dan keluhan dari mulut para pengunjung kedai yang terluka.
"Ki…!”
Laki-laki berkumis rapi ini berseru ketika melihat Ki Giri yang tengah berusaha bangkit. Memang, di antara semua orang yang berada di situ, laki-laki bertubuh kurus kering inilah yang menderita luka paling ringan.
Dari ucapannya, bisa diketahui kalau laki-laki berkumis rapi ini mengenal Ki Giri. Sambil berseru demikian, laki-laki berkumis rapi itu bergerak cepat menghampiri tubuh pemilik kedai. Menilik dari gerakannya yang cepat bisa diperkirakan kalau tingkat kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng.
"Apa yang terjadi, Ki?! Katakanlah...!" desak laki-laki berkumis rapi, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat tubuh Ki Giri.
Ada suara gemeretak keras keluar dari mulutnya, pertanda kalau dirinya tengah dilanda perasaan geram.
"Para pengacau datang, merampok dan menganiaya para pengunjung kedai ini. Den Subarji...." Jelas Ki Giri dengan suara tersendat-sendat
Laki-laki berjenggot rapi yang ternyata bernama Subarji mengepalkan kedua tangannya, sehingga terdengar bunyi berderak keras seperti ada tulang-tulang yang patah.
Ki Giri mengangguk.
"Siapa, Ki?!" tanya Subarji lagi.
"Jagar dan kawan-kawannya," jawab Ki Giri pelan, mirip desahan.
"Hm.... Kiranya Jagar....”
Subarji mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang telah sering mendengar nama Jagar, sebagai orang yang selalu membuat onar. Bukan hanya di Desa Koneng saja, tapi juga di desa-desa sekitarnya. Maka meskipun belum pernah bertemu, tapi Subarji telah mengetahui ciri-ciri laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Baru saja mereka pergi, Den Subarji...," Ki Giri kembali membuka suara.
"Ke arah mana perginya, Ki?"
"Barat, Den."
Memang, Ki Giri tadi sempat melihat kepergian Jagar dan kawan-kawannya ke samping kanan kedainya. Dan itu berarti mereka pergi ke arah Barat
"Kalau begitu, mereka harus cepat kukejar...! Orang-orang seperti mereka harus dilenyapkan selama-lamanya."
Setelah berkata demikian, Subarji segera bangkit berdiri dan melesat keluar kedai. Dan secepat tubuhnya telah berada di luar, secepat itu bergerak mengejar ke arah Barat.
Subarji berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Ucapan Ki Giri yang memberi tahu kalau Jagar dan rekan-rekannya belum lama meninggalkan kedai, membuatnya bertindak seperti itu.
Ternyata, pemberitahuan pemilik kedai itu tidak salah. Belum berapa lama Subarji berlari, di kejauhan terlihat empat sosok tubuh yang berjalan cepat. Kontan semangat laki-laki berkumis rapi ini bangkit. Meskipun belum pasti kalau keempat sosok tubuh itu adalah orang yang dicari, tapi melihat dari jumlahnya, Subarji yakin kalau yang dilihatnya adalah Jagar dan kawan-kawannya.
Karena Subarji berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sementara empat sosok tubuh itu berlari seenak-nya, maka jarak di antara mereka semakin lama semakin bertambah dekat.
Seiring semakin bertambah dekatnya jarak, maka sosok-sosok tubuh itu pun semakin jelas terlihat. Dan begitu jarak di antara mereka terpisah lima tombak lagi, Subarji yakin kalau empat sosok itu adalah orang-orang yang dikejarnya.
Memang meskipun hanya melihat dari belakang, laki-laki berjenggot rapi ini bisa mengetahui kalau empat sosok tubuh di hadapannya adalah Jagar dan ketiga orang rekan-nya.
Dia telah mendengar kalau Jagar selalu mengenakan rompi berwarna kuning, yang pada bagian belakangnya bergambar seekor kelabang. Dan kini gambar itu telah dilihatnya.
Jagar dan tiga orang rekannya yang tengah berbincang-bincang, sama sekali tidak mengetahui kalau di belakang ada orang yang mengejar. Mereka terus saja berlari tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
"Berhenti...!"
Keempat orang kasar ini baru terkejut ketika mendengar bentakan. Belum juga mereka menyadari, sesosok bayangan kuning telah melesat melewati kepala mereka dan tahu-tahu telah berdiri menghadang.
Bagai diberi aba-aba, keempat orang ini berhenti melangkah. Kini kedua belah pihak berdiri berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak, dengan mata saling mengamati.
"Hmh…!"
Jagar mendengus geram begitu melihat sosok bayangan kuning telah menghadang perjalanan mereka. Memang dia tidak mengenal orang yang menghadang ini. Tapi dari pakaian yang dikenakan, dan sulaman gambar naga dari benang hijau pada dada sebelah kiri, bisa diketahui asal perguruan laki-laki berkumis rapi ini.
"Tikus usilan dari Perguruan Naga Hijau rupanya...," kata laki-laki bercambang bauk lebat ini sambil tersenyum mengejek.
Jagar memaki Subarji demikian karena Perguruan Naga Hijau beraliran putih. Para muridnya selalu menentang tindak kejahatan. Tidak heran jika murid-murid perguruan yang telah cukup kemampuannya, harus mengamalkan ilmu. Mereka kebanyakan menyebar di berbagai desa. Dan Subarji memilih tinggal di Desa Koneng, desa kelahirannya.
"Jadi, kau rupanya yang bernama Jagar...," kata Subarji.
Ada nada kegeraman dalam suara Subarji. Ditatapnya sosok tubuh tinggi besar di hadapannya penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ooo... Kau baru tahu rupanya?" Jagar tersenyum sinis. "Memang! Akulah Jagar! Lalu, kau mau apa?!"
"Pasti kau dan rekan-rekanmu ini yang telah merampok kedai Ki Giri, bukan?!"
Subarji langsung mengedarkan pandangan ke arah buntalan kain yang dibawa keempat orang berwajah kasar di depannya.
"Ha... ha... ha...! Tidak salah...!" jawab Jagar, lantang. "Kau ingin merampasnya kembali? Silakan!"
Subarji menggertakkan gigi mendengar kata-kata bernada tantangan itu. Sementara, tiga orang rekan Jagar segera melemparkan buntalan-buntalan kain yang berisi harta rampasan di tanah.
Memang, harta yang dirampas dari para pengunjung kedai, biasa dimasukkan ke dalam buntalan kain.
"Kirim tikus usilan itu ke neraka...!" perintah Jagar pada ketiga orang rekannya.
“Srattt, srattt, srattt...!”
Sinar-sinar terang berkeredep tatkala ketiga orang kasar itu menghunus golok masing-masing, seiring lenyapnya perintah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Mereka tahu, lawan yang kali ini dihadapi tidak sama dengan orang-orang di kedai.
Maka, tanpa ragu-ragu mereka segera menggunakan senjata. Begitu golok telah berada di tangan, ketiga orang itu menyebar mengurung Subarji. Sudah bisa ditebak maksudnya. Ingin menyerang laki-laki berjenggot rapi ini dari tiga jurusan.
"Hm...."
Sambil menggumam, Subarji mencabut pedangnya. Sepasang matanya beredar berkeliling, memperhatikan gerak-gerik ketiga orang lawan yang semakin dekat dan semakin mengurungnya.
Telah diputuskannya untuk melenyapkan gerombolan Jagar sebelum semakin meraja-lela dan menimbulkan korban baru. Itulah sebabnya Subarji langsung menghunus senjatanya.
"Haaat...! "
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, laki-laki berkulit kuning mendahului menyerang. Goloknya meluncur deras ke arah dada. Memang, saat itu dia berhadapan dengan lawannya.
Belum juga serangan laki-laki bertubuh kurus itu tiba, serangan dari dua orang lain datang menyusul. Orang yang berada di kanan, menyabetkan goloknya ke arah leher. Sementara yang di kiri menusuk ke arah pinggang.
Suara angin mendesir cukup nyaring mengiringi tibanya ketiga serangan yang masing-masing mampu mengantarkan nyawa ke alam baka bila mendarat.
Namun Subarji tetap bersikap tenang. Melihat dari kecepatan serangan itu, sudah bisa diketahui kalau ilmu meringankan tubuh ketiga orang lawan cukup jauh di bawahnya, itulah sebabnya, dia tidak terburu-buru bertindak.
Baru ketika serangan itu menyambar semakin dekat, Subarji menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Maka semua serangan lawan hanya mengenai tempat kosong, lewat di bawah kakinya.
Tindakan laki-laki berkumis rapi ini tidak hanya sampai di situ saja. Begitu tubuhnya berada di udara, pedang di tangannya langsung meluncur deras ke arah ubun-ubun laki-laki bertubuh kurus. Sementara kaki kanannya menendang ke arah kepala lawan yang berada di sebelah kanan. Sedangkan lawan yang berada di sebelah kiri, disampok dengan tangan kirinya ke arah pelipis.
Balasan serangan mendadak ini tentu saja membuat ketiga orang rekan Jagar terperanjat. Apalagi, datangnya terlalu tiba-tiba! Mereka baru mengetahui adanya bahaya setelah serangan itu mendekati sasaran.
Hembusan angin cukup keras yang mengiringi tibanya serangan, membuat mereka sadar akan adanya bahaya mengancam. Karena mengelak sudah tidak mungkin lagi, maka ketiga orang kasar itu pun memutuskan untuk menangkis. Laki-laki bertubuh kurus menangkis dengan golok, sementara dua rekannya menangkis dengan tangan kanan.
“Tranggg, plakkk, plakkk...!”
Suara berdentang keras diiringi suara tangan dan kaki berbenturan terdengar bertubi-tubi. Akibatnya, tubuh ketiga orang rekan Jagar terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur tangan yang digunakan untuk menangkis seketika bergetar hebat dan terasa ngilu bukan main.
Jelas, tenaga dalam mereka masih jauh di bawah lawan. Sebuah keuntungan bagi mereka, karena Subarji tidak bisa melancarkan serangan susulan. Keadaannyalah yang tidak memungkinkan. Tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Maka begitu semua lawan terhuyung-huyung sehabis menangkis serangan, kedua kakinya pun mendarat di tanah.
Begitu laki-laki berkumis rapi ini hinggap di tanah, ketiga orang lawannya telah berhasil memperbaiki sikap kembali. Bahkan kemudian kembali menyerang. Dan kini pertarungan sengit pun terjadi. Baik Subarji maupun ketiga orang rekan Jagar, sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment