Melati pun balas memeluk tak kalah erat. Rasa haru yang menggelegak membuat dadanya terasa sesak.
Bahkan gadis berpakaian merah ini tidak mampu mengeluarkan kata-¬kata. Semua ucapan yang akan keluar tersumbat di tenggorokan. Yang dapat dilakukan Melati hanya balas memeluk erat-erat, sambil menepuk-nepuk punggung saudara kembarnya.
Beberapa saat lamanya kedua gadis kembar itu saling berpelukan dengan hati yang sama menangis. Baru Melati perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Sejenak ditatapnya wajah saudara kembarnya yang pucat pasi.
"Maafkan aku yang telah menyusahkanmu, Mawar," ucap Melati. Pelan dan serak suaranya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Melati. Kau tidak salah." Mawar menggelengkan kepala.
"Mari kita bebaskan Kang Arya dulu," ajak Melati sambil menuntun tangan gadis berpakaian putih itu.
Tanpa banyak membantah, Mawar mengikuti langkah saudara kembarnya menuju balai-balai bambu tempat Arya diikat.
Sambil melepaskan ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Arya, Melati menatap sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan diam-diam hati gadis ini terenyuh begitu melihat keadaan Dewa Arak.
Wajah Arya bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan sepasang matanya pun sampai tak terlihat lagi, karena tertutup oleh bengkak-bengkak pada wajahnya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka menghitam panjang bekas cambukan. Bahkan sambungan lutut kaki kanannya terlepas. Begitu pula sambungan tulang siku tangan kirinya.
"Mengapa kau berani membebaskan kami secara terang-terangan begini, Melati?" tanya Arya pelan, begitu telah bebas dari belenggu.
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji tidak berada di tempat, Kang," jawab Melati sambil menatap dengan pandangan iba pada tunangannya. "Yang ada hanya empat orang anak buahnya."
"Hm..., lalu?" kejar Arya.
"Mereka semua sudah kukirim ke akhirat!" tandas gadis berpakaian merah ini tegas.
"Kau tahu kemana manusia-manusia terkutuk itu pergi, Melati?"
Arya mengganti sebutan untuk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Melati menganggukkan kepala.
"Kemana?" Mawar yang sudah tidak sabar lagi ikut bertanya.
"Mencari ibumu, Mawar," jawab Melati dengan suara mendesah.
"Ibumu juga, Melati," balas Mawar membenarkan ucapan gadis berpakaian merah itu.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat
"Kau tidak percaya, Melati?"
"Bukannya aku tidak percaya, Mawar. Tapi..., kejadian ini membuatku tidak yakin...." Ragu-ragu Melati menanggapi.
"Sudahlah...!" Arya cepat menengahi. "Urusan itu bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali."
"Tapi, kemana?" tanya Melati bingung.
"Bagaimana kalau ke tempat persembunyian ibuku?" usul Mawar tiba-tiba.
Arya dan Melati melengak kaget "Kau tahu di mana ibumu?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tahu secara pasti sih tidak. Tapi, aku yakin kalau dia ada di tempat itu. Karena memang tempat itulah satu-satunya yang sering dia kunjungi kalau sedang tidak ada di rumah. Dan lagi..., mungkin ibuku bisa mengobati semua luka-luka Kang Arya. Ibuku seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan."
"Bagaimana, Kang?" tanya Melati meminta pendapat tunangannya.
"Aku setuju," sahut Arya cepat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga muda-mudi ini pun bergegas meninggalkan markas Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tak lupa, ketiga orang itu mengambil guci perak dan Pedang Bintang yang direbut Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
Arya terpaksa menggunakan sebatang tongkat untuk lebih memudahkan berjalan. Mula-mula memang canggung. Tapi lama kelamaan akhirnya dia mulai terbiasa.
"Ibu...!"
Mawar berseru keras, begitu melihat seorang wanita setengah baya berpakaian kuning muda tengah menyapu pelataran yang cukup luas di depan sebuah gua.
Wanita berpakaian kuning muda yang ternyata adalah Karina sampai terjingkat kaget mendengar panggjlan itu. Dia kenal betul pemilik suara itu. Dan kepalanya pun cepat ditolehkan ke belakang karena wanita ini menyapu menghadap mulut gua.
Sekitar lima tombak di depan, dilihatnya tiga sosok tubuh yang tengah melangkah ke arahnya. Beberapa saat wanita berpakaian kuning muda ini menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan.
"Mawar...! Anakku...!"
Seraya berteriak nyaring, tiba-tiba Karina melempar sapunya dan kemudian menghambur ke arah tiga sosok tubuh yang tengah menghampirinya.
Mawar segera menghambur ke arah ibunya. Ditinggalkannya Melati dan Arya. "Ibu...!" seru gadis berpakaian putih ini tak kalah keras.
Tapi alangkah heran hati Mawar, begitu melihat wanita berpakaian kuning muda itu tiba-tiba menghentikan langkah.
"Kau..., kau siapa...?" tanya Karina dengan mulut bergetar.
Sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh rasa heran. Memang, tadi wanita berpakaian kuning muda ini berlari ke arah mereka karena melihat pakaian merah yang dikenakan Melati.
Tentu saja wanita setengah baya ini jadi terkejut begitu melihat gadis berpakaian putih yang menghambur ke arahnya. Dan anehnya wajah gadis itu adalah wajah yang amat dikenalnya. Wajah Mawar!
Dengan pandang mata bingung, Karina mengalihkan tatapannya ke arah gadis berpakaian merah yang tengah berdiri berdampingan dengan seorang pemuda berambut putih keperakan.
Dan jelas dilihatnya kalau gadis itu adalah Mawar! Tapi, mengapa gadis itu tidak menyambut? Malah gadis berpakaian putih ini yang menyambut dan memanggilnya ibu?
"Aku Mawar, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu terbata-bata. "Mawar putri Ibu? Masa Ibu lupa?"
"Lalu..., siapa gadis itu?" tanya Karina lagi sambil menunjuk gadis berpakaian merah berambut digelung ke atas.
Kini Mawar baru sadar mengapa ibunya kebingungan. Mengapa dia sampai lupa? Dia masih berpakaian dan berdandan Melati. Pantas saja kalau tadi ibunya kebingungan. Apalagi di situ juga ada Melati yang berperan sebagai Mawar.
"Dia adalah saudara kembarku, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu cepat "Saudara yang dulu sering Ibu ceritakan."
"Ah...!" wanita berpakaian kuning ini terjingkat bagai disengat ular berbisa. "Dia..., dia... Delima?"
Mawar menganggukkan kepalanya. Dan seketika itu juga, Karina melayangkan tatapannya ke arah Melati.
Sejak tadi Melati memang sudah memperhatikan wanita yang dipanggil ibu oleh Mawar. Dan begitu melihat, seketika timbul rasa sukanya. Wanita setengah baya itu kelihatan begitu agung dan sederhana. Melati tidak merasa keberatan jika wanita itu benar ibu kandungnya.
"Delima...!" wanita berpakaian kuning muda itu memanggil dengan suara lirih dan bergetar. Tapi cukup jelas untuk dapat ditangkap oleh telinga Melati dan Arya.
Kedua kaki Melati menggigil keras mendengar panggilan wanita berpakaian kuning muda yang begitu sarat dengan kerinduan. Seketika ada semacam perasaan aneh yang membuat hatinya yakin kalau wanita di hadapannya ini benar ibu kandungnya.
"Delima... Anakku...! Kemarilah kau, Nak," panggil Karina lagi.
Kedua tangannya terkembang ke depan. Siap untuk memeluk putrinya yang telah belasan tahun tidak pernah dijumpai.
Melati menghampiri Karina dengan jantung berdebar keras. "Apa buktinya kalau aku adalah anakmu?" tanya gadis berpakaian merah ini dengan suara bergetar.
"Kalau kau benar Delima..., ada dua tanda kehitaman mirip sebuah tompel yang kau miliki. Pada bahu kananmu dan pada perutmu...," ujar Karina, agak bergetar suaranya.
"Ibu...!"
Kini Melati tidak ragu lagi. Segera gadis berpakaian merah ini menghambur ke ibunya dengan kedua tangan terkembang ke depan. Sesaat kemudian ibu dan anak yang telah sekian betas tahun berpisah sudah saling berpelukan erat
"Delima..., Anakku..."
Tersendat-sendat Karina mengeluarkan ucapan. Sementara, kedua tangannya sibuk mengusap-usap rambut hitam dan tebal yang dimitiki Melati penuh kasih sayang.
"Ibu... Mengapa Ibu tega memberikanku pada orang lain?" tanya gadis berpakaian merah itu sambil melepaskan pelukan.
Karina tertegun sejenak. "Dari mana kau tahu, Delima? Pasti dari Mawar kan?"
Hampir berbarengan Melati dan Mawar menganggukkan kepala.
"Panjang ceritanya, Delima. Tapi percayalah...! Semua itu Ibu lakukan demi keselamatanmu juga."
Melati pun terdiam seketika.
"Mari masuk dulu, Delima. Ajak pula kawanmu. Ketihatannya dia mengalami luka parah. Luka-lukanya perlu segera mendapatkan pengobatan."
Sesaat kemudian, keempat orang itu pun sudah masuk ke dalam gua.
Ternyata Mawar tidak berbohong sewaktu mengatakan kalau ibunya adalah seorang ahli pengobatan. Tidak sampai dua hari, luka-luka yang diderita Arya sudah sembuh sama sekali.
Sementara pengobatan untuk tenaga dalamnya yang musnah, disembuhkan dengan arak yang berasal dari guci peraknya. Selama dua hari itu pula Melati terpaksa menahan-¬nahan diri untuk tidak mendesak ibunya menjelaskan mengapa dirinya dipisahkan.
Dua hari itu dihabiskan oleh Melati untuk melakukan semadi mengembalikan kondisinya seperti semula. Ternyata obat yang diberikan wanita berpakaian kuning ini memang manjur. Terbukti, dua hari kemudian tenaga dalamnya telah putih kembali seperti sediakala.
Pagi ini, saat yang dinanti-nantikan Melati pun tiba. Karina menyuruh mereka berkumpul di bagian tengah gua yang kebetulan mempunyai ruang cukup luas dan terang. Mereka semua duduk di tanah membentuk lingkaran.
"Dengarlah oleh kalian semua, terutama kalian berdua," ucap Karina seraya menatap Melati dan Mawar bergantian, setelah keduanya menceritakan semua kejadian yang mereka alami sehingga bisa bertemu.
Bahkan Melati pun menceritakan semua hal yang dialaminya sejak kecil. Kedua saudara kembar itu kini telah kembali pada pakaian dan dandanan masing-¬masing.
Melati dan Mawar menganggukkan kepala berbareng. Kini pendengaran mereka dipasang tajam-tajam untuk mendengar sejarah hidup keluarga mereka.
"Puluhan tahun lalu, ayah kalian adalah seorang pendekar sakti yang jarang memiliki tandingan. Palungga namanya. Tapi sayang sekali. Ayahmu terlalu kejam pada orang-orang yang berbuat jahat. Tak ada ampun bagi setiap orang jahat yang bertemu dengannya."
Karina menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah-wajah yang mendengarkan ceritanya dengan penuh minat. Tak terkecuali Mawar. Karena baru kali inilah ibunya bercerita begini jelas. Dan hal itu terpaksa dilakukan wanita berpakaian kuning muda ini untuk membuat hati Melati puas.
"Ketika ayahmu menikah denganku, baru kekejamannya berkurang. Sedikit demi sedikit dia mulai menjauhi kerasnya dunia persilatan," sambung wanita setengah baya itu lagi. "Tapi, karena ayahmu telah terlalu banyak menanam dendam pada orang lain, usahanya untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan sia-sia."
"Maksud, Ibu...?" tanya Melati dengan suara bergetar.
Meskipun sebenarnya sudah bisa menduga apa yang terjadi, tapi gadis berpakaian putih ini masih juga bertanya.
"Yahhh...! Pada suatu malam, orang-orang persilatan golongan hitam menyerbu rumah kami. Ayahmu menyuruhku menyelamatkan diri sambil membawa kalian. Sementara dia sendiri berusaha menahan orang-orang golongan hitam itu."
"Ayah...," keluh Melati pelan.
Ada keharuan yang menyeruak di hati gadis berpakaian putih ini begitu mendengar ayahnya sengaja mengorbankan diri agar anak istrinya selamat
"Dengan membawa kalian, aku melarikan diri. Berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Dan sewaktu aku menumpang di rumah keluarga adikku yang belum dikaruniai anak, mereka menawarkan diri untuk mengurus salah seorang di antara kalian."
Kembali Karina menghentikan ceritanya. Wanita berpakaian kuning muda ini terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dengan berat hati, aku terpaksa melepaskan kau, Delima. Karena hanya kaulah yang punya tanda-tanda khusus yang dapat kujadikan bukti sebagai anakku kelak," sambung Karina lagi. "Dan tak lama kemudian, aku bertemu dengan sahabat suamiku. Bongaya namanya. Dia bersedia menampungku. Bahkan bersedia menganggap Mawar sebagai anak dan mengakuiku sebagai istrinya. Semua itu dilakukan untuk menyelamatkanku. Dia menjadi suamiku tidak dalam arti sebenarnya."
Karina menghentikan ceritanya. "Cerita selanjutnya kau saja yang menyambungnya, Mawar?" wanita berpakaian kuning muda itu menawarkan.
Mawar menganggukkan kepala. "Sekitar dua pekan lalu, ketika ayah tengah melatihku, muncul dua orang yang mengaku berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar mencari ibu. Ayah mengatakan tidak tahu. Tapi rupanya mereka tidak percaya."
Gadis berpakaian merah itu menghentikan ceritanya sejenak. Janggal rasanya menyebut ayah pada orang yang ternyata bukan ayah kandungnya. Bahkan dibilang ayah tirinya pun bukan!
"Akhirnya terjadi pertarungan. Ayah tewas, dan aku pingsan. Cerita selanjutnya kalian sudah tahu sendiri."
Suasana jadi hening seketika begitu Mawar menghentikan ceritanya. Masing-masing tenggelam dalam lamunan sendiri-sendiri.
"Heiii...! Yang ada di dalam...! Keluar...!"
Terdengar suara teriakan keras dari luar yang menggema ke dalam gua. Seketika itu juga empat sosok tubuh yang tengah tenggelam dalam lamunan masing-masing tersentak kaget
"Janggulapati...," desis Arya yang mengenali suara keras dari luar gua.
Seketika itu juga amarah Dewa Arak kembali bergolak. Cepat pemuda berambut putih keperakan ini bangkit berdiri.
Begitu melihat Arya bangun, Melati, Mawar, dan ibunya pun bergerak bangun dan melangkah ke luar gua.
Ternyata dugaan Dewa Arak tidak meleset. Di luar gua telah berdiri Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Ketiga orang ini marah bukan main begitu kembali pada malam hari, semua penjaga telah tewas dan tawanan mereka telah lolos semua.
Betapapun telah berpikir keras, mereka tak juga mengetahui bagaimana semua itu bisa terjadi. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ketiganya segera mengejar. Setelah ke sana kemari, akhirnya mereka menemukan gua tempat tinggal Karina. Itu pun atas petunjuk yang mereka terima dari seorang pencari kayu bakar.
"Kau dan ibumu tunggu di sini saja, Mawar," ucap Arya. "Biar aku dan Melati yang menghadapi mereka."
Mawar dan Karina yang tahu kalau kepandaian mereka tidak banyak berarti bila dipakai menghadapi ketiga orang itu, menganggukkan kepala tanpa banyak membantah.
"Hati-hatilah..., mereka sangat licik," Mawar tak lupa memberi nasihat
Arya dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Mawar," sahut Melati seraya melangkah keluar gua.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji menatap wajah Melati dan Arya tajam-tajam. Seketika wajah mereka memucat. Dari wajah dan mata muda-mudi yang melangkah keluar gua itu mereka tidak melihat adanya tanda-tanda racun yang mereka berikan.
Mungkinkah kedua orang ini sudah terbebas dari racun? pikir mereka setengah tidak percaya. Tapi, bagaimana bisa secepat itu? Padahal sekalipun mereka mendapatkan obat yang paling manjur, paling cepat butuh waktu empat hari.
Rupanya mereka sama sekali tidak tahu kalau guci arak pusaka Arya mampu menawarkan segala macam racun! Sementara Melati telah memulai pengobatannya sewaktu masih berada di sarang mereka.
Arya segera menjumput guci arak di punggungnya. Kemudian menuangkan ke mulutnya. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk..!
Terdengar suara tegukan begitu arak melewati tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar di perut Dewa Arak. Dan perlahan-lahan hawa hangat tadi naik ke atas kepala.
"Haaat..!"
Samiaji melompat menerjang Melati. Tangan kanannya terayun deras menampar ke arah pelipis.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras sebelum tamparan itu tiba. Melati yang pernah menjajal tingkat kepandaian pemuda bertubuh pendek kekar itu tak ragu-ragu lagi mengangkat tangan kiri menangkis.
Plakkk!
Benturan antara dua buah tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya tubuh Samiaji yang masih berada di udara terjengkang ke belakang. Namun dengan manis pemuda bertubuh pendek kekar itu mematahkannya, dan mendarat mulus di tanah. Meskipun begitu, sebuah seringai kesakitan nampak di wajahnya.
Sementara Melati hanya agak goyah saja kuda-kudanya. Tidak tampak kalau gadis berpakaian putih ini terpengaruh dengan benturan itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam Melati masih berada di atas Samiaji.
Samiaji menggeram keras. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang marah bukan main. Dari benturan ini sudah diketahuinya kalau tenaga dalam Melati sudah pulih kembali. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, pemuda bertubuh pendek kekar ini tidak habis mengerti.
"Hih...!"
Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu telah tergenggam sebatang tongkat berujung bulan sabit
Wuk, wuk, wuk..!
Terdengar suara mengiuk keras begitu Samiaji memutar-mutar tongkatnya laksana baling-baling. Dan....
"Haaat..!"
Tongkat berujung logam bulan sabit itu meluncur cepat ke arah dada Melati. Tapi gadis berpakaian putih ini tidak menjadi gugup. Cepat kakinya dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuh sehingga sambaran tongkat lewat sejengkal di samping kirinya.
Tapi, sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, tongkat bulan sabit itu dikelebatkan ke samping kiri. Menebas leher gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi Melati kecuali merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan dan bawah, gadis ini melancarkan serangan balasan
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung keras begitu gadis berpakaian putih ini balas menyerang. Entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang tadi tersampir di punggung. Dan sekali menyerang, Melati telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', andalannya.
Melati yang memang sangat dendam pada Samiaji atas perbuatan pemuda itu pada saudara kembarnya, tak kepalang tanggung melakukan serangan. Seluruh kemampuan yang dimilikinya langsung dikerahkan. Tentu saja serangan-serangan itu membuat Samiaji jadi kalang-kabut
Meskipun begitu, tidak berarti kalau pemuda bertubuh pendek kekar ini sama sekali tidak berdaya. Perlawanan mati-matian Samiaji membuat Melati sama sekali tidak mampu mendesak. Dan itu berlangsung sampai belasan jurus.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap cemas ke arah pertempuran. Meskipun dilihatnya pertarungan masih berjalan imbang, tapi laki-laki berpakaian hitam ini tahu kalau Samiaji bukan tandingan Melati. Kalau tidak cepat-cepat dibantu, muridnya pasti akan tewas di tangan Melati. Dan bantuan itu hanya dapat dilakukan kalau Dewa Arak berhasil dia robohkan.
Maka tanpa ragu-ragu lagi istrinya segera diberi isyarat agar ikut maju bersamanya menghadapi Dewa Arak. Dia sendiri segera mengeluarkan senjata andalannya. Sepasang pedang pendek yang bergagang sekabgus sarung dari kayu jati berukir.
Gayatri pun tidak tinggal diam. Cepat tangannya bergerak Dan sesaat kemudian di tangan kanannya telah tergenggam sebuah kebutan berbulu putih.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, Janggulapati melesat cepat ke arah Dewa Arak. Pedang pendek di tangan kanannya berkelebat cepat menuju leher Arya.
Dan sebelum serangan laki-laki berwajah tirus itu tiba, serangan Gayatri telah datang menyusul. Ketika wanita pesolek ini menggerakkan kebutan yang dipegangnya, seketika itu juga bulu-bulu kebutan yang semula lembut berubah jadi kaku laksana tombak.
Hanya orang yang mempunyai tenaga dalam tinggilah yang bisa melakukannya. Dan kebutan yang telah kaku bagai tombak itu menusuk cepat ke arah ulu hati Arya.
Menghadapi dua serangan maut yang tiba berbarengan, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Tubuhnya segera direndahkan sehingga serangan pedang pendek Janggulapati lewat di atas kepalanya. Sementara serangan kebutan yang mengarah ke ulu hatinya, ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring bagai beradunya dua benda logam. Dan seketika itu juga bulu kebutan itu melemas kembali.
Bahkan gadis berpakaian merah ini tidak mampu mengeluarkan kata-¬kata. Semua ucapan yang akan keluar tersumbat di tenggorokan. Yang dapat dilakukan Melati hanya balas memeluk erat-erat, sambil menepuk-nepuk punggung saudara kembarnya.
Beberapa saat lamanya kedua gadis kembar itu saling berpelukan dengan hati yang sama menangis. Baru Melati perlahan-lahan melepaskan pelukannya. Sejenak ditatapnya wajah saudara kembarnya yang pucat pasi.
"Maafkan aku yang telah menyusahkanmu, Mawar," ucap Melati. Pelan dan serak suaranya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Melati. Kau tidak salah." Mawar menggelengkan kepala.
"Mari kita bebaskan Kang Arya dulu," ajak Melati sambil menuntun tangan gadis berpakaian putih itu.
Tanpa banyak membantah, Mawar mengikuti langkah saudara kembarnya menuju balai-balai bambu tempat Arya diikat.
Sambil melepaskan ikatan yang membelenggu tangan dan kaki Arya, Melati menatap sekujur tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mulai dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dan diam-diam hati gadis ini terenyuh begitu melihat keadaan Dewa Arak.
Wajah Arya bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan sepasang matanya pun sampai tak terlihat lagi, karena tertutup oleh bengkak-bengkak pada wajahnya. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka menghitam panjang bekas cambukan. Bahkan sambungan lutut kaki kanannya terlepas. Begitu pula sambungan tulang siku tangan kirinya.
"Mengapa kau berani membebaskan kami secara terang-terangan begini, Melati?" tanya Arya pelan, begitu telah bebas dari belenggu.
"Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji tidak berada di tempat, Kang," jawab Melati sambil menatap dengan pandangan iba pada tunangannya. "Yang ada hanya empat orang anak buahnya."
"Hm..., lalu?" kejar Arya.
"Mereka semua sudah kukirim ke akhirat!" tandas gadis berpakaian merah ini tegas.
"Kau tahu kemana manusia-manusia terkutuk itu pergi, Melati?"
Arya mengganti sebutan untuk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Melati menganggukkan kepala.
"Kemana?" Mawar yang sudah tidak sabar lagi ikut bertanya.
"Mencari ibumu, Mawar," jawab Melati dengan suara mendesah.
"Ibumu juga, Melati," balas Mawar membenarkan ucapan gadis berpakaian merah itu.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat
"Kau tidak percaya, Melati?"
"Bukannya aku tidak percaya, Mawar. Tapi..., kejadian ini membuatku tidak yakin...." Ragu-ragu Melati menanggapi.
"Sudahlah...!" Arya cepat menengahi. "Urusan itu bisa diurus belakangan. Yang penting sekarang kita harus cepat pergi dari sini sebelum mereka kembali."
"Tapi, kemana?" tanya Melati bingung.
"Bagaimana kalau ke tempat persembunyian ibuku?" usul Mawar tiba-tiba.
Arya dan Melati melengak kaget "Kau tahu di mana ibumu?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tahu secara pasti sih tidak. Tapi, aku yakin kalau dia ada di tempat itu. Karena memang tempat itulah satu-satunya yang sering dia kunjungi kalau sedang tidak ada di rumah. Dan lagi..., mungkin ibuku bisa mengobati semua luka-luka Kang Arya. Ibuku seorang yang ahli dalam ilmu pengobatan."
"Bagaimana, Kang?" tanya Melati meminta pendapat tunangannya.
"Aku setuju," sahut Arya cepat.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ketiga muda-mudi ini pun bergegas meninggalkan markas Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tak lupa, ketiga orang itu mengambil guci perak dan Pedang Bintang yang direbut Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Baru kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
Arya terpaksa menggunakan sebatang tongkat untuk lebih memudahkan berjalan. Mula-mula memang canggung. Tapi lama kelamaan akhirnya dia mulai terbiasa.
"Ibu...!"
Mawar berseru keras, begitu melihat seorang wanita setengah baya berpakaian kuning muda tengah menyapu pelataran yang cukup luas di depan sebuah gua.
Wanita berpakaian kuning muda yang ternyata adalah Karina sampai terjingkat kaget mendengar panggjlan itu. Dia kenal betul pemilik suara itu. Dan kepalanya pun cepat ditolehkan ke belakang karena wanita ini menyapu menghadap mulut gua.
Sekitar lima tombak di depan, dilihatnya tiga sosok tubuh yang tengah melangkah ke arahnya. Beberapa saat wanita berpakaian kuning muda ini menyipitkan mata untuk memperjelas pandangan.
"Mawar...! Anakku...!"
Seraya berteriak nyaring, tiba-tiba Karina melempar sapunya dan kemudian menghambur ke arah tiga sosok tubuh yang tengah menghampirinya.
Mawar segera menghambur ke arah ibunya. Ditinggalkannya Melati dan Arya. "Ibu...!" seru gadis berpakaian putih ini tak kalah keras.
Tapi alangkah heran hati Mawar, begitu melihat wanita berpakaian kuning muda itu tiba-tiba menghentikan langkah.
"Kau..., kau siapa...?" tanya Karina dengan mulut bergetar.
Sepasang matanya menatap gadis berpakaian putih yang berdiri di hadapannya penuh rasa heran. Memang, tadi wanita berpakaian kuning muda ini berlari ke arah mereka karena melihat pakaian merah yang dikenakan Melati.
Tentu saja wanita setengah baya ini jadi terkejut begitu melihat gadis berpakaian putih yang menghambur ke arahnya. Dan anehnya wajah gadis itu adalah wajah yang amat dikenalnya. Wajah Mawar!
Dengan pandang mata bingung, Karina mengalihkan tatapannya ke arah gadis berpakaian merah yang tengah berdiri berdampingan dengan seorang pemuda berambut putih keperakan.
Dan jelas dilihatnya kalau gadis itu adalah Mawar! Tapi, mengapa gadis itu tidak menyambut? Malah gadis berpakaian putih ini yang menyambut dan memanggilnya ibu?
"Aku Mawar, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu terbata-bata. "Mawar putri Ibu? Masa Ibu lupa?"
"Lalu..., siapa gadis itu?" tanya Karina lagi sambil menunjuk gadis berpakaian merah berambut digelung ke atas.
Kini Mawar baru sadar mengapa ibunya kebingungan. Mengapa dia sampai lupa? Dia masih berpakaian dan berdandan Melati. Pantas saja kalau tadi ibunya kebingungan. Apalagi di situ juga ada Melati yang berperan sebagai Mawar.
"Dia adalah saudara kembarku, Bu," sahut gadis berpakaian putih itu cepat "Saudara yang dulu sering Ibu ceritakan."
"Ah...!" wanita berpakaian kuning ini terjingkat bagai disengat ular berbisa. "Dia..., dia... Delima?"
Mawar menganggukkan kepalanya. Dan seketika itu juga, Karina melayangkan tatapannya ke arah Melati.
Sejak tadi Melati memang sudah memperhatikan wanita yang dipanggil ibu oleh Mawar. Dan begitu melihat, seketika timbul rasa sukanya. Wanita setengah baya itu kelihatan begitu agung dan sederhana. Melati tidak merasa keberatan jika wanita itu benar ibu kandungnya.
"Delima...!" wanita berpakaian kuning muda itu memanggil dengan suara lirih dan bergetar. Tapi cukup jelas untuk dapat ditangkap oleh telinga Melati dan Arya.
Kedua kaki Melati menggigil keras mendengar panggilan wanita berpakaian kuning muda yang begitu sarat dengan kerinduan. Seketika ada semacam perasaan aneh yang membuat hatinya yakin kalau wanita di hadapannya ini benar ibu kandungnya.
"Delima... Anakku...! Kemarilah kau, Nak," panggil Karina lagi.
Kedua tangannya terkembang ke depan. Siap untuk memeluk putrinya yang telah belasan tahun tidak pernah dijumpai.
Melati menghampiri Karina dengan jantung berdebar keras. "Apa buktinya kalau aku adalah anakmu?" tanya gadis berpakaian merah ini dengan suara bergetar.
"Kalau kau benar Delima..., ada dua tanda kehitaman mirip sebuah tompel yang kau miliki. Pada bahu kananmu dan pada perutmu...," ujar Karina, agak bergetar suaranya.
"Ibu...!"
Kini Melati tidak ragu lagi. Segera gadis berpakaian merah ini menghambur ke ibunya dengan kedua tangan terkembang ke depan. Sesaat kemudian ibu dan anak yang telah sekian betas tahun berpisah sudah saling berpelukan erat
"Delima..., Anakku..."
Tersendat-sendat Karina mengeluarkan ucapan. Sementara, kedua tangannya sibuk mengusap-usap rambut hitam dan tebal yang dimitiki Melati penuh kasih sayang.
"Ibu... Mengapa Ibu tega memberikanku pada orang lain?" tanya gadis berpakaian merah itu sambil melepaskan pelukan.
Karina tertegun sejenak. "Dari mana kau tahu, Delima? Pasti dari Mawar kan?"
Hampir berbarengan Melati dan Mawar menganggukkan kepala.
"Panjang ceritanya, Delima. Tapi percayalah...! Semua itu Ibu lakukan demi keselamatanmu juga."
Melati pun terdiam seketika.
"Mari masuk dulu, Delima. Ajak pula kawanmu. Ketihatannya dia mengalami luka parah. Luka-lukanya perlu segera mendapatkan pengobatan."
Sesaat kemudian, keempat orang itu pun sudah masuk ke dalam gua.
Ternyata Mawar tidak berbohong sewaktu mengatakan kalau ibunya adalah seorang ahli pengobatan. Tidak sampai dua hari, luka-luka yang diderita Arya sudah sembuh sama sekali.
Sementara pengobatan untuk tenaga dalamnya yang musnah, disembuhkan dengan arak yang berasal dari guci peraknya. Selama dua hari itu pula Melati terpaksa menahan-¬nahan diri untuk tidak mendesak ibunya menjelaskan mengapa dirinya dipisahkan.
Dua hari itu dihabiskan oleh Melati untuk melakukan semadi mengembalikan kondisinya seperti semula. Ternyata obat yang diberikan wanita berpakaian kuning ini memang manjur. Terbukti, dua hari kemudian tenaga dalamnya telah putih kembali seperti sediakala.
Pagi ini, saat yang dinanti-nantikan Melati pun tiba. Karina menyuruh mereka berkumpul di bagian tengah gua yang kebetulan mempunyai ruang cukup luas dan terang. Mereka semua duduk di tanah membentuk lingkaran.
"Dengarlah oleh kalian semua, terutama kalian berdua," ucap Karina seraya menatap Melati dan Mawar bergantian, setelah keduanya menceritakan semua kejadian yang mereka alami sehingga bisa bertemu.
Bahkan Melati pun menceritakan semua hal yang dialaminya sejak kecil. Kedua saudara kembar itu kini telah kembali pada pakaian dan dandanan masing-¬masing.
Melati dan Mawar menganggukkan kepala berbareng. Kini pendengaran mereka dipasang tajam-tajam untuk mendengar sejarah hidup keluarga mereka.
"Puluhan tahun lalu, ayah kalian adalah seorang pendekar sakti yang jarang memiliki tandingan. Palungga namanya. Tapi sayang sekali. Ayahmu terlalu kejam pada orang-orang yang berbuat jahat. Tak ada ampun bagi setiap orang jahat yang bertemu dengannya."
Karina menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah-wajah yang mendengarkan ceritanya dengan penuh minat. Tak terkecuali Mawar. Karena baru kali inilah ibunya bercerita begini jelas. Dan hal itu terpaksa dilakukan wanita berpakaian kuning muda ini untuk membuat hati Melati puas.
"Ketika ayahmu menikah denganku, baru kekejamannya berkurang. Sedikit demi sedikit dia mulai menjauhi kerasnya dunia persilatan," sambung wanita setengah baya itu lagi. "Tapi, karena ayahmu telah terlalu banyak menanam dendam pada orang lain, usahanya untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan sia-sia."
"Maksud, Ibu...?" tanya Melati dengan suara bergetar.
Meskipun sebenarnya sudah bisa menduga apa yang terjadi, tapi gadis berpakaian putih ini masih juga bertanya.
"Yahhh...! Pada suatu malam, orang-orang persilatan golongan hitam menyerbu rumah kami. Ayahmu menyuruhku menyelamatkan diri sambil membawa kalian. Sementara dia sendiri berusaha menahan orang-orang golongan hitam itu."
"Ayah...," keluh Melati pelan.
Ada keharuan yang menyeruak di hati gadis berpakaian putih ini begitu mendengar ayahnya sengaja mengorbankan diri agar anak istrinya selamat
"Dengan membawa kalian, aku melarikan diri. Berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Dan sewaktu aku menumpang di rumah keluarga adikku yang belum dikaruniai anak, mereka menawarkan diri untuk mengurus salah seorang di antara kalian."
Kembali Karina menghentikan ceritanya. Wanita berpakaian kuning muda ini terdiam sejenak. Sepertinya dia tengah mencari kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya.
"Dengan berat hati, aku terpaksa melepaskan kau, Delima. Karena hanya kaulah yang punya tanda-tanda khusus yang dapat kujadikan bukti sebagai anakku kelak," sambung Karina lagi. "Dan tak lama kemudian, aku bertemu dengan sahabat suamiku. Bongaya namanya. Dia bersedia menampungku. Bahkan bersedia menganggap Mawar sebagai anak dan mengakuiku sebagai istrinya. Semua itu dilakukan untuk menyelamatkanku. Dia menjadi suamiku tidak dalam arti sebenarnya."
Karina menghentikan ceritanya. "Cerita selanjutnya kau saja yang menyambungnya, Mawar?" wanita berpakaian kuning muda itu menawarkan.
Mawar menganggukkan kepala. "Sekitar dua pekan lalu, ketika ayah tengah melatihku, muncul dua orang yang mengaku berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar mencari ibu. Ayah mengatakan tidak tahu. Tapi rupanya mereka tidak percaya."
Gadis berpakaian merah itu menghentikan ceritanya sejenak. Janggal rasanya menyebut ayah pada orang yang ternyata bukan ayah kandungnya. Bahkan dibilang ayah tirinya pun bukan!
"Akhirnya terjadi pertarungan. Ayah tewas, dan aku pingsan. Cerita selanjutnya kalian sudah tahu sendiri."
Suasana jadi hening seketika begitu Mawar menghentikan ceritanya. Masing-masing tenggelam dalam lamunan sendiri-sendiri.
"Heiii...! Yang ada di dalam...! Keluar...!"
Terdengar suara teriakan keras dari luar yang menggema ke dalam gua. Seketika itu juga empat sosok tubuh yang tengah tenggelam dalam lamunan masing-masing tersentak kaget
"Janggulapati...," desis Arya yang mengenali suara keras dari luar gua.
Seketika itu juga amarah Dewa Arak kembali bergolak. Cepat pemuda berambut putih keperakan ini bangkit berdiri.
Begitu melihat Arya bangun, Melati, Mawar, dan ibunya pun bergerak bangun dan melangkah ke luar gua.
Ternyata dugaan Dewa Arak tidak meleset. Di luar gua telah berdiri Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji. Ketiga orang ini marah bukan main begitu kembali pada malam hari, semua penjaga telah tewas dan tawanan mereka telah lolos semua.
Betapapun telah berpikir keras, mereka tak juga mengetahui bagaimana semua itu bisa terjadi. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ketiganya segera mengejar. Setelah ke sana kemari, akhirnya mereka menemukan gua tempat tinggal Karina. Itu pun atas petunjuk yang mereka terima dari seorang pencari kayu bakar.
"Kau dan ibumu tunggu di sini saja, Mawar," ucap Arya. "Biar aku dan Melati yang menghadapi mereka."
Mawar dan Karina yang tahu kalau kepandaian mereka tidak banyak berarti bila dipakai menghadapi ketiga orang itu, menganggukkan kepala tanpa banyak membantah.
"Hati-hatilah..., mereka sangat licik," Mawar tak lupa memberi nasihat
Arya dan Melati menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Akan kuperhatikan nasihatmu, Mawar," sahut Melati seraya melangkah keluar gua.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji menatap wajah Melati dan Arya tajam-tajam. Seketika wajah mereka memucat. Dari wajah dan mata muda-mudi yang melangkah keluar gua itu mereka tidak melihat adanya tanda-tanda racun yang mereka berikan.
Mungkinkah kedua orang ini sudah terbebas dari racun? pikir mereka setengah tidak percaya. Tapi, bagaimana bisa secepat itu? Padahal sekalipun mereka mendapatkan obat yang paling manjur, paling cepat butuh waktu empat hari.
Rupanya mereka sama sekali tidak tahu kalau guci arak pusaka Arya mampu menawarkan segala macam racun! Sementara Melati telah memulai pengobatannya sewaktu masih berada di sarang mereka.
Arya segera menjumput guci arak di punggungnya. Kemudian menuangkan ke mulutnya. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk..!
Terdengar suara tegukan begitu arak melewati tenggorokan Arya. Seketika itu juga ada hawa hangat yang menyebar di perut Dewa Arak. Dan perlahan-lahan hawa hangat tadi naik ke atas kepala.
"Haaat..!"
Samiaji melompat menerjang Melati. Tangan kanannya terayun deras menampar ke arah pelipis.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras sebelum tamparan itu tiba. Melati yang pernah menjajal tingkat kepandaian pemuda bertubuh pendek kekar itu tak ragu-ragu lagi mengangkat tangan kiri menangkis.
Plakkk!
Benturan antara dua buah tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi tidak bisa dihindarkan lagi. Akibatnya tubuh Samiaji yang masih berada di udara terjengkang ke belakang. Namun dengan manis pemuda bertubuh pendek kekar itu mematahkannya, dan mendarat mulus di tanah. Meskipun begitu, sebuah seringai kesakitan nampak di wajahnya.
Sementara Melati hanya agak goyah saja kuda-kudanya. Tidak tampak kalau gadis berpakaian putih ini terpengaruh dengan benturan itu. Dari sini saja sudah bisa diketahui kalau tenaga dalam Melati masih berada di atas Samiaji.
Samiaji menggeram keras. Pemuda bertubuh pendek kekar ini memang marah bukan main. Dari benturan ini sudah diketahuinya kalau tenaga dalam Melati sudah pulih kembali. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, pemuda bertubuh pendek kekar ini tidak habis mengerti.
"Hih...!"
Entah dari mana mengambilnya, tahu-tahu di tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu telah tergenggam sebatang tongkat berujung bulan sabit
Wuk, wuk, wuk..!
Terdengar suara mengiuk keras begitu Samiaji memutar-mutar tongkatnya laksana baling-baling. Dan....
"Haaat..!"
Tongkat berujung logam bulan sabit itu meluncur cepat ke arah dada Melati. Tapi gadis berpakaian putih ini tidak menjadi gugup. Cepat kakinya dilangkahkan ke kanan seraya mendoyongkan tubuh sehingga sambaran tongkat lewat sejengkal di samping kirinya.
Tapi, sebelum Melati sempat berbuat sesuatu, tongkat bulan sabit itu dikelebatkan ke samping kiri. Menebas leher gadis berpakaian putih itu.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi Melati kecuali merendahkan tubuh, sehingga serangan itu lewat di atas kepalanya. Dan dan bawah, gadis ini melancarkan serangan balasan
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung keras begitu gadis berpakaian putih ini balas menyerang. Entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu di tangannya telah tergenggam sebatang pedang yang tadi tersampir di punggung. Dan sekali menyerang, Melati telah menggunakan 'Ilmu Pedang Seribu Naga', andalannya.
Melati yang memang sangat dendam pada Samiaji atas perbuatan pemuda itu pada saudara kembarnya, tak kepalang tanggung melakukan serangan. Seluruh kemampuan yang dimilikinya langsung dikerahkan. Tentu saja serangan-serangan itu membuat Samiaji jadi kalang-kabut
Meskipun begitu, tidak berarti kalau pemuda bertubuh pendek kekar ini sama sekali tidak berdaya. Perlawanan mati-matian Samiaji membuat Melati sama sekali tidak mampu mendesak. Dan itu berlangsung sampai belasan jurus.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap cemas ke arah pertempuran. Meskipun dilihatnya pertarungan masih berjalan imbang, tapi laki-laki berpakaian hitam ini tahu kalau Samiaji bukan tandingan Melati. Kalau tidak cepat-cepat dibantu, muridnya pasti akan tewas di tangan Melati. Dan bantuan itu hanya dapat dilakukan kalau Dewa Arak berhasil dia robohkan.
Maka tanpa ragu-ragu lagi istrinya segera diberi isyarat agar ikut maju bersamanya menghadapi Dewa Arak. Dia sendiri segera mengeluarkan senjata andalannya. Sepasang pedang pendek yang bergagang sekabgus sarung dari kayu jati berukir.
Gayatri pun tidak tinggal diam. Cepat tangannya bergerak Dan sesaat kemudian di tangan kanannya telah tergenggam sebuah kebutan berbulu putih.
"Hiyaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, Janggulapati melesat cepat ke arah Dewa Arak. Pedang pendek di tangan kanannya berkelebat cepat menuju leher Arya.
Dan sebelum serangan laki-laki berwajah tirus itu tiba, serangan Gayatri telah datang menyusul. Ketika wanita pesolek ini menggerakkan kebutan yang dipegangnya, seketika itu juga bulu-bulu kebutan yang semula lembut berubah jadi kaku laksana tombak.
Hanya orang yang mempunyai tenaga dalam tinggilah yang bisa melakukannya. Dan kebutan yang telah kaku bagai tombak itu menusuk cepat ke arah ulu hati Arya.
Menghadapi dua serangan maut yang tiba berbarengan, Dewa Arak tidak menjadi gugup. Tubuhnya segera direndahkan sehingga serangan pedang pendek Janggulapati lewat di atas kepalanya. Sementara serangan kebutan yang mengarah ke ulu hatinya, ditangkis dengan gucinya.
Klanggg...!
Terdengar suara berdentang nyaring bagai beradunya dua benda logam. Dan seketika itu juga bulu kebutan itu melemas kembali.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment