"He he he..!"
Samiaji tertawa-tawa. Sementara sepasang matanya berputar liar merayapi tubuh montok dan menggiurkan yang terpampang di depannya.
Mawar tahu ada bahaya besar yang tengah mengancamnya, maka sekuat tenaga dikerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kakinya. Tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya yang menggeliat-geliat ke sana kemari menjadi pertanda kalau dia tengah berusaha keras membebaskan dirinya.
Bukan hanya Mawar saja yang kelihatan gelisah bukan main. Melati pun dilanda kegelisahan serupa. Tidak terkecuali Arya.
"Keparat! Janggulapati! Hentikan!" pemuda berambut putih keperakan itu berteriak--teriak kalap.
Seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkan untuk memutuskan tali-tali yang membelenggunya. Tapi seperti juga yang dialami Mawar, Arya pun mengalami hal yang sama. Usahanya sia-sia. Hanya tubuhnya saja yang menggeliat-geliat ke sana kemari.
"Ha ha ha...!" Hanya suara tawa bergelak Janggulapati yang menyambut teriakan kalap Dewa Arak
Brettt!
Baju dibagian dada mawar robek lebar ketika tangan Samiaji merenggutnya. Tak pelak lagi tubuh berkulit putih, halus, dan mulus pun tampak menantang.
Samiaji menelan ludah. Sepasang matanya semakin liar. Dan tingkahnya pun semakin beringas. Bagaikan seekor ikan hiu lapar mencium darah.
"Samiaji! Manusia keparat!" Arya berteriak semakin kalap. "Manusia pengecut! Ayo hadapi aku! Mari kita bertarung secara jantan."
"Diam!"
Seraya membentak keras, Janggulapati melayangkan tangannya. Dan....
Plak..!
Seketika itu juga ucapan Arya terhenti. Tamparan tangan laki-laki berbaju hitam itu mendarat telak dan keras sekali di pipi Dewa Arak. Dan kontan kepala Arya terpaling. Cairan merah kental menetes di sudut-sudut bibirnya. Janggulapati sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam pada tamparannya. Hanya mengerahkan tenaga luar saja.
Tapi, orang seperti Arya mana bisa digertak? Dengan berani, meskipun dengan pipi biru lebam, dan terlihat bengkak, dia menentang pandang mata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Tidak kusangka kalau Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang tersohor tidak lebih dari seorang pengecut!" keras dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini berkata sambil mengangkat kepalanya.
"Keparat!"
Janggulapati menggeram keras. Tangannya kembali terayun. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Plak...!
Kepala Dewa Arak sampai terbanting ke atas balai-balai bambu saking kerasnya tamparan itu. Kembali rona merah tergambar jelas di bagian wajah yang kena tampar. Cairan merah kental kembali menetes di sudut-sudut mulut pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi, lagi-lagi Arya mengangkat kepalanya.
Melati hampir-hampir menjerit melihat keadaan tunangannya. Kedua pipi pemuda itu telah bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan kedua matanya pun sampai tertutupi oleh bengkak-bengkak di wajahnya. Dewa Arak menggertakkan giginya melihat kejadian yang akan menimpa Mawar.
Kelakuan Samiaji yang sudah diamuk nafsu, tidak bedanya lagi dengan hewan. Tanpa mempedulikan banyaknya orang yang melihat semua perbuatannya, pemuda bertubuh pendek kekar itu terus saja melaksanakan niat bejatnya.
Samiaji sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya melampiaskan keinginannya pada Mawar yang dikiranya Melati. Dan kembali tangan murid Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini bergerak
Brettt..!
Suara ribut dari kain yang robek kembali terdengar begitu celana Mawar kembali terenggut. Kini Mawar terbaring di balai-balai tanpa ada selembar benang pun yang melekat di tubuhnya. Sehingga tubuh yang berkulit putih, halus, dan mulus pun semakin jelas menantang.
Sepasang mata Samiaji hampir melompat keluar begitu melihat sepasang 'bukit kembar' yang menantang birahinya. Dengan susah payah pemuda bertubuh pendek kekar ini berusaha menelan ludahnya. Napasnya memburu hebat bagaikan orang habis berlari jauh.
Bukan hanya Samiaji saja yang mengalaminya. Janggulapati dan empat orang anak buahnya pun menelan air liur. Sepasang mata mereka bagai terpaku ke sana. Bahkan laki-¬laki berpakaian hitam ini sampai melupakan Dewa Arak!
Hanya ada dua pasang mata yang tidak tahan melihat kejadian itu, Mata dari Melati dan Arya Buana.
Melati menundukkan kepalanya. Tak kuat gadis berpakaian merah ini menyaksikan adegan yang akan menimpa saudara kembarnya. Sepasang matanya pun dipejamkan rapat-¬rapat. Meskipun tidak menutup telinga, tapi gadis ini berusaha menulikan pendengaran.
Tapi meskipun begitu, tak urung rintihan Mawar terdengar olehnya. Hati gadis berpakaian merah ini seperti diiris-iris sembilu. Begitu sakit. Begitu perih. Begitu nyeri. Tak dapat ditahan lagi, dua tetes air bening menggulir dari kedua kelopak matanya. Wanita yang berhati keras ini menangis! Meskipun tanpa suara.
Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin Melati menyerang mereka mati-matian. Biarlah dia tewas di tangan mereka daripada menyaksikan adegan yang terpampang di hadapannya. Tapi, akal sehatnya melarang. Sia-sialah semua pengorbanan yang dilakukan saudara kembarnya kalau hal itu dia lakukan.
Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan demikian. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Beberapa kali Arya menggertakkan gigi. Jari-jari kedua tangannya dikepalkan terus, hingga kuku-kukunya membekas di telapak tangan.
Sepasang matanya menatap lawan-lawannya penuh hawa membunuh. Untuk pertama kalinya Arya yang selama ini dikenal sebagai pendekar welas asih berniat melenyapkan semua lawan-lawannya tanpa pertimbangan lagi.
Sementara itu Samiaji sudah mulai menggeluti tubuh Mawar dengan kasar. Secara buas, liar, dan brutal diciumnya sekujur tubuh Mawar yang sudah tanpa busana itu. Kedua tangannya meremas-remas ke sana kemari. Tak dipedulikannya rintihan lirih dari mulut gadis itu.
Dalam pendengaran pemuda bertubuh pendek kekar ini, rintihan menyayat Mawar adalah nyanyian merdu bidadari yang malah membuatnya semakin brutal.
Janggulapati dan empat orang anak buahnya menelan ludah melihat adegan yang terpampang di hadapannya.
Tapi sesaat kemudian, laki-laki berpakaian hitam itu mulai mengadakan penyiksaan terhadap Dewa Arak. Tidak dipedulikannya lagi semua yang dilakukan muridnya.
Gayatri yang sejak tadi hanya memperhatikan saja, kini tidak tinggal diam. Wanita pesolek ini pun ikut ambil bagian dalam penyiksaan terhadap Dewa Arak. Gayatri menggunakan senjatanya untuk menyiksa Arya. Sebuah kebutan dengan bulu-¬bulu berwama putih keperakan.
Wurtt! Prattt..!
Bukkk! Bukkk!
Berkali-kali kebutan di tangan wanita berpakaian hitam itu menampar sekujur tubuh Arya. Di tangan Gayatri, kebutan itu berubah menjadi alat penyiksa yang mengerikan. Kebutan itu terkadang menegang kaku untuk menotok berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Tapi, tak jarang melemas, digunakan untuk melecut seperti cambuk. Dan berkali-kali mendarat di berbagai bagian tubuh Arya.
Berkali-kali tubuh pemuda berambut putih keperakan itu meregang, setiap kali Janggulapati maupun Gayatri mengayunkan tangan. Seluruh baju dan celana Arya sudah compang-camping tak karuan. Habis tersayat-sayat lecutan kebutan Gayatri.
Meskipun siksaan demi siksaan menderanya, tapi tidak sedikit pun terdengar jerit kesakitan dari mulut Arya. Pemuda ini menggigit bibir erat-erat untuk menahan suara rintihan yang hampir keluar dari mulutnya.
Bahkan bibirnya sampai pecah mengeluarkan darah. Hanya tubuhnya yang sesekali menggeliat yang menjadi bukti kalau siksaan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menyakitkan dirinya.
Melati yang tak kuat melihat adegan penyiksaan terhadap dua orang yang dikasihinya, tertunduk dalam. Hanya kedua tangannya yang mengepal keras menjadi bukti kalau gadis itu tengah berperang dengan perasaannya.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar baru menghentikan siksaannya setelah Samiaji juga menghentikan nafsu binatangnya. Ada senyum puas yang tersungging di mulut pemuda bertubuh pendek kekar itu, ketika perlahan-lahan mengenakan pakaiannya kembali.
"Kau urus mereka, Mawar! Dan segera keluar kalau tidak ingin bernasib seperti mereka!" ucap Janggulapati sambil melangkah keluar, diikuti yang lainnya.
Dengan wajah pucat pasi bagai mayat, Melati kemudian memakaikan pakaian baru berwarna putih pada saudara kembarnya. Kedua tangannya nampak menggigil keras menahan gejolak perasaan yang menyiksa.
Sesaat kemudian kedua saudara kembar ini saling berpelukan erat. Mawar dan Melati sama-sama menangis tanpa suara. Sementara Dewa Arak sama sekali tidak tahu apa-apa. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah pingsan. Tak kuat menahan siksaan demi siksaan yang mendera tubuhnya.
Tak lama kemudian, Melati pun keluar dari kamar itu, setelah melempar pandang ke arah Arya beberapa saat lamanya. Gadis berpakaian merah ini tak bisa berbuat apa-apa. Melati tahu kalau Janggulapati tidak main-main dengan ancamannya tadi.
Di luar pintu, dilihatnya empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatapnya dengan sinar mata aneh. Tapi gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dan terus melangkah masuk ke kamarnya.
Untuk kesekian kalinya, Melati menelan obat yang diberikan Mawar. Setelah itu, gadis berpakaian merah ini duduk bersila. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, dirangkapkan di depan dada. Ujung-ujung jarinya tegak lurus ke atas. Sedangkan punggungnya ditegakkan. Melati kembali bersemadi untuk menghilangkan racun milik Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Tak lama kemudian, gadis berpakaian merah ini sudah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar hanyalah suara keluar masuknya udara yang ditarik dan dibuang oleh gadis itu. Suara pelan dan berirama tetap.
Secercah kegembiraan mulai timbul di hati Melati setelah merasakan ada hawa hangat yang berputar di bawah pusarnya. Memang masih pelan, tapi sedikit banyak sudah membuat semangat gadis berpakaian merah ini bangkit
Dengan penuh semangat Melati meneruskan semadi tanpa mempedulikan sang waktu yang terus bergulir. Yang ada di dalam benaknya saat ini hanya bersemadi dan bersemadi.
Semakin lama hawa yang berputaran di bawah pusar Melati semakin bergolak keras. Tapi, gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dia terus saja melanjutkan semadinya dengan tekun. Dan perlahan namun pasti tubuhnya mulai berguncang-guncang.
Wajah Melati sudah mandi keringat ketika menghentikan semadi. Perlahan-lahan gadis berpakaian merah ini bangkit berdiri. Secercah senyuman tersungging di bibirnya. Kini sudah hampir tiba saatnya dia membalas dendam.
Melati kemudian memusatkan perhatiannya. Pikirannya disatukan pada keinginannya untuk menyalurkan hawa yang berputaran di bawah pusarnya ke kedua telapak tangannya.
Dan hampir saja gadis berpakaian merah ini bersorak gembira begitu merasakan aliran aneh yang merayap ke kedua tangannya. Tenaga dalamnya telah pulih kembali! Tenaga dalamnya telah kembali berfungsi!
Meskipun begitu, Melati belum merasa yakin kalau tenaga dalamnya telah kembali seperti semula. Walaupun begitu, keberhasilan usahanya sudah membuatnya gembira bukan main. Keberhasilan membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang lenyap ini membuktikan kalau tak akan lama lagi seluruh tenaga dalamnya pulih kembali. Kini Melati melangkah ke arah pintu Kemudian tangannya dijulurkan.
Kriiittt..!
Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu kamar terbuka. Perlahan gadis berpakaian merah ini menutupkan pintu kembali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju ke ruang tahanan Arya dan Mawar.
Melati mendadak mengerutkan alisnya begitu melihat di depan pintu ruangan itu berjaga-jaga empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tidak biasanya ruangan ini dijaga. Ada apa gerangan? tanya gadis berpakaian merah ini dalam hati.
Keempat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap lekat-lekat wajah Melati yang mereka sangka Mawar. Sorot mata mereka liar penuh nafsu. Dan memang, sebenarnya keempat orang ini sudah lama memendam hasrat jelek pada Mawar. Hanya saja mereka tidak berani melakukannya. Takut pada ketua mereka.
Mawar telah menceritakannya semua pada Melati. Maka gadis berpakaian merah ini pun tahu arti pandangan mata mereka. Tapi, yakin kalau seperti biasanya, empat orang itu tidak berani mengganggu, Melati meneruskan langkah menuju pintu.
Melati kaget bukan main ketika melihat empat orang itu berdiri menghadang jalan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Keparat!" bentak Melati keras.
Kemarahan yang hebat memang melanda gadis berpakaian merah ini. Tapi, untunglah dalam keadaan seperti itu dia masih teringat meniru suara Mawar.
"Berani kalian menggangguku?! Apa kalian tidak takut kepada pemimpin kalian?!"
"He he he...!" salah seorang yang bertubuh tinggi kurus tertawa-tawa dengan lagak menyebalkan. "Mereka baru saja pergi, Mawar. Dan mungkin nanti malam baru kembali Sekarang kesempatan bagi kami terbuka untuk bersenang-senang denganmu!"
"Benar...! Ha ha ha...!" sambut yang berkulit kuning.
"Ayolah, Mawar...!" yang berambut abu-abu ikut pula angkat bicara.
Seketika wajah Melati berubah. Kepergian Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji merupakan sebuah kesempatan emas untuk melarikan diri. Tapi, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Barangkali saja keempat orang ini berbohong padanya.
Tapi, menilik dari sikap mereka, Melati dapat menduga kalau keempat orang itu sama sekali tidak berdusta.
"Tunggu sebentar...!" cegah Melati sambil menjulurkan kedua tangannya.
Seketika langkah kaki keempat orang itu tertahan. "Aku bersedia meladeni kalian..., asal kalian mau menjawab pertanyaanku," ucap Melati.
Keempat orang yang tengah diamuk nafsu itu mana sempat mencerna arti kata-kata 'meladeni' yang dimaksud gadis berpakaian merah itu. Yang jelas, kata-kata Melati yang mereka sangka Mawar, di telinga mereka adalah persetujuan gadis itu.
"Cepat..., ajukan pertanyaanmu, Mawar...!" desak laki-laki bertubuh tinggi kurus tak sabar.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Melati ingin tahu.
"Mencari tempat persembunyian ibumu, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus.
"Apakah mereka tidak khawatir kalau tahanan kita melarikan diri?" Melati ingin tahu.
"Ketua tidak sebodoh itu, Mawar. Sebelum pergi, ketua sudah menjejali kedua tahanan dengan racun Bahkan Samiaji kembali menikmati kemolekan tubuh gadis itu."
"Lalu..., kenapa kalian berjaga-jaga di sini?"
"Agar kau tidak bisa membawa kabur mereka, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak sabar. "Mengapa pertanyaanmu begini banyak sih?!"
Melati berpura-pura tersenyum manis walaupun sebenarnya hatinya bergolak penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Sabar, tinggal satu pertanyaan lagi. Dan aku akan meladeni kalian."
"Cepatlah, Mawar!" Seketika wajah laki-laki berambut abu-abu berseri.
"Sebenarnya..., bisa saja kami memaksamu secara kasar, Mawar. Toh, kami bisa saja mencari-cari alasan. Misalnya kau ingin membawa kabur tahanan. Tapi..., kami lebih suka kalau kau melayani secara sukarela. Ha ha ha...! Bukan begitu, Teman-teman?!"
Hampir bersamaan ketiga rekan laki-laki berambut abu-abu itu menganggukkan kepalanya.
"Aku membatalkan pertanyaanku!" tandas Melati tegas.
"Heh...?! JadL..?" laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak melanjutkan ucapannya.
Agak kaget juga dia mendengar jawaban yang ketus itu. Bahkan tiga rekannya juga terkejut mendengarnya. Dan seketika itu juga mereka bersiap siaga. Tapi keempat orang kasar itu tidak merasa khawatir, karena telah mengetahui tingkat kepandaian gadis yang mereka kira Mawar. Jangankan melawan mereka berempat, melawan dua di antara mereka saja belum tentu gadis itu mampu.
"Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, Mawar!"
"Sekarang aku akan meladeni kalian!"
Setelah berkata demikian, tangan Melati meluncur ke arah dada laki-laki tinggi kurus. Dalam kemarahan dan kekhawatiran akan kehadiran Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji, gadis berpakaian merah ini. Langsung mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
Laki-laki tinggi kurus yang semula memandang rendah, jadi terperanjat kaget bukan main melihat kecepatan gerak Melati. Serangan gadis itu tiba begitu cepat. Dan juga angin yang mengiringi tibanya serangan itu begitu keras.
Dengan sebisa-bisanya laki-laki tinggi kurus ini berusaha mengelak. Tapi, karena sebelumnya dia tidak berwaspada, dan lagi serangan itu datang melebihi perkiraannya, maka....
Plak...!
Terdengar suara berderak keras begitu tamparan Melati mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh laki-laki tinggi kurus itu terpelanting jatuh. Beberapa saat lamanya, tubuh itu menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan tulang dada berpatahan. Darah segar mengucur deras dari hidung, mulut, dan telinga laki-¬laki tinggi kurus itu.
Ketiga rekannya kaget bukan main melihat kematian si tinggi kurus. Sungguh tidak mereka sangka kalau Melati selihai ini. Mungkinkah dalam waktu beberapa hari saja, kepandaian gadis berpakaian merah ini bisa melonjak begitu cepat? tanya mereka dalam hati, penuh rasa tidak percaya.
Tapi, ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini tidak ingin berpikir lebih lama lagi
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berpendar begitu ketiga orang itu menghunus senjata masing¬-masing. Mereka tahu kalau kini entah dengan cara bagaimana, gadis yang mereka sangka Mawar bisa memiliki kepandaian selihai itu. Maka mereka tidak berani bersikap main-main.
Melati tersenyum sinis. "Orang biadab seperti kalian tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Dunia akan gembira bila kalian semua lenyap dari muka bumi."
Tajam dan penuh ancaman ucapan yang keluar dari mulut Melati. Sedangkan Sepasang matanya mencorong kehijauan menatap ketiga lawannya.
Tak terasa ketiga orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu melangkah mundur setindak. Tengkuk mereka seketika terasa dingin. Ancaman maut yang mencuat dari gadis di hadapan mereka tampaknya memang tidak main-main.
Tapi Melati yang sudah dilanda dendam yang bergelora tidak mau memberi kesempatan lagi. Kembali gadis berpakaian merah ini menerjang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar naga meluruk deras mengancam ke arah dada salah seorang anak buah Alap-Alap Bukit Gantar. Sementara tangan kiri terletak di pinggang.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras sebelum sambaran cakar itu sendiri tiba. Laki-laki berambut abu-abu yang menjadi sasaran sambaran cakar naga segera memapak serangan itu dengan tusukan pedang. Sementara kedua rekannya pun tidak tinggal diam. Mereka menghujani Melati dengan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Melati yang tahu kalau tenaga dalamnya belum pulih secara keseluruhan, buru-buru membatalkan serangannya seraya melompat mundur begitu melihat lawan memapak tangannya dengan golok. Hasilnya, serangan ketiga lawannya mengenai tempat kosong Beberapa jengkal di depannya.
Melati segera mengambil golok yang tergantung di pinggang mayat laki-laki bertubuh tinggi kurus. Dan tanpa ragu-ragu lagi, dia memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Memang ada sedikit kecanggungan ketika menggunakan golok itu. Tapi sama sekali tidak mempengaruhi kedahsyatan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung dahsyat seperti ada ribuan tawon mengamuk begitu Melati menggerakkan golok rampasannya.
Ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar terkejut mendengarnya. Tapi, kejadian itu hanya berlangsung sebentar. Sesaat kemudian mereka sudah kembali menyerang gadis berpakaian merah itu sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring.
Tapi mana mampu keroco-keroco seperti mereka menandingi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dahsyat? Terdengar suara menggerung keras begitu Melati menyambut serangan tiga orang musuhnya sambil melompat.
Sesaat kemudian, terdengar teriakan-teriakan menyayat saling susul yang diikuti dengan robohnya ketiga orang itu dalam keadaan tanpa nyawa.
Melati menatap ketiga mayat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Ada rasa puas yang terpancar di wajahnya. Sejenak pandangannya dialihkan pada golok berlumuran darah yang tergenggam di tangannya. Kemudian dilemparkannya ke bawah.
Cappp!
Batang golok itu menancap di lantai sampai lebih dari setengahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera membalikkan badan menatap pintu yang terpampang dalam jarak sekitar lima tombak di depannya.
"Hih...!"
Melati berseru keras seraya menghentakkan kedua tangan yang membentuk cakar naga ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...!
Angin keras berhembus dari kedua telapak tangan gadis berpakaian merah itu. Kemudian meluncur deras ke arah pintu. Rupanya Melati ingin menguji kekuatan tenaga dalamnya.
Brakkk!
Terdengar suara berderak keras yang diikuti dengan hancurnya daun pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan. Hancur berkeping-keping!
Karuan saja suara itu membuat Arya dan Mawar terkejut bukan main. Serentak keduanya menoleh ke arah ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. Dan dari luar pintu melesat sesosok bayangan merah, yang sesaat kemudian sudah berdiri di ambang pintu.
"Melati...," hampir bersamaan Arya dan Mawar mendesah pelan begitu melihat sosok tubuh yang ternyata tidak lain adalah Melati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera bergegas melangkah. "Bebaskan Mawar dulu, Melati," ucap Arya bernada perintah.
Melati segera melangkah ke arah balai-balai bambu Mawar. Agak terburu-buru dia melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki saudara kembarnya.
"Melati...!" seru Mawar serak bemada isak.
Air matanya meleleh di sepanjang pipinya. Dan begitu ikatan yang membelenggunya terlepas, Melati dipeluknya erat-erat
Samiaji tertawa-tawa. Sementara sepasang matanya berputar liar merayapi tubuh montok dan menggiurkan yang terpampang di depannya.
Mawar tahu ada bahaya besar yang tengah mengancamnya, maka sekuat tenaga dikerahkan tenaga dalamnya untuk memutuskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kakinya. Tapi usahanya sia-sia belaka. Tubuhnya yang menggeliat-geliat ke sana kemari menjadi pertanda kalau dia tengah berusaha keras membebaskan dirinya.
Bukan hanya Mawar saja yang kelihatan gelisah bukan main. Melati pun dilanda kegelisahan serupa. Tidak terkecuali Arya.
"Keparat! Janggulapati! Hentikan!" pemuda berambut putih keperakan itu berteriak--teriak kalap.
Seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkan untuk memutuskan tali-tali yang membelenggunya. Tapi seperti juga yang dialami Mawar, Arya pun mengalami hal yang sama. Usahanya sia-sia. Hanya tubuhnya saja yang menggeliat-geliat ke sana kemari.
"Ha ha ha...!" Hanya suara tawa bergelak Janggulapati yang menyambut teriakan kalap Dewa Arak
Brettt!
Baju dibagian dada mawar robek lebar ketika tangan Samiaji merenggutnya. Tak pelak lagi tubuh berkulit putih, halus, dan mulus pun tampak menantang.
Samiaji menelan ludah. Sepasang matanya semakin liar. Dan tingkahnya pun semakin beringas. Bagaikan seekor ikan hiu lapar mencium darah.
"Samiaji! Manusia keparat!" Arya berteriak semakin kalap. "Manusia pengecut! Ayo hadapi aku! Mari kita bertarung secara jantan."
"Diam!"
Seraya membentak keras, Janggulapati melayangkan tangannya. Dan....
Plak..!
Seketika itu juga ucapan Arya terhenti. Tamparan tangan laki-laki berbaju hitam itu mendarat telak dan keras sekali di pipi Dewa Arak. Dan kontan kepala Arya terpaling. Cairan merah kental menetes di sudut-sudut bibirnya. Janggulapati sengaja tidak mengerahkan tenaga dalam pada tamparannya. Hanya mengerahkan tenaga luar saja.
Tapi, orang seperti Arya mana bisa digertak? Dengan berani, meskipun dengan pipi biru lebam, dan terlihat bengkak, dia menentang pandang mata laki-laki berpakaian hitam itu.
"Tidak kusangka kalau Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang tersohor tidak lebih dari seorang pengecut!" keras dan tegas sekali ucapan yang keluar dari mulut Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini berkata sambil mengangkat kepalanya.
"Keparat!"
Janggulapati menggeram keras. Tangannya kembali terayun. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Plak...!
Kepala Dewa Arak sampai terbanting ke atas balai-balai bambu saking kerasnya tamparan itu. Kembali rona merah tergambar jelas di bagian wajah yang kena tampar. Cairan merah kental kembali menetes di sudut-sudut mulut pemuda berambut putih keperakan ini. Tapi, lagi-lagi Arya mengangkat kepalanya.
Melati hampir-hampir menjerit melihat keadaan tunangannya. Kedua pipi pemuda itu telah bengkak-bengkak dan biru lebam. Bahkan kedua matanya pun sampai tertutupi oleh bengkak-bengkak di wajahnya. Dewa Arak menggertakkan giginya melihat kejadian yang akan menimpa Mawar.
Kelakuan Samiaji yang sudah diamuk nafsu, tidak bedanya lagi dengan hewan. Tanpa mempedulikan banyaknya orang yang melihat semua perbuatannya, pemuda bertubuh pendek kekar itu terus saja melaksanakan niat bejatnya.
Samiaji sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Yang ada di benaknya hanya melampiaskan keinginannya pada Mawar yang dikiranya Melati. Dan kembali tangan murid Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini bergerak
Brettt..!
Suara ribut dari kain yang robek kembali terdengar begitu celana Mawar kembali terenggut. Kini Mawar terbaring di balai-balai tanpa ada selembar benang pun yang melekat di tubuhnya. Sehingga tubuh yang berkulit putih, halus, dan mulus pun semakin jelas menantang.
Sepasang mata Samiaji hampir melompat keluar begitu melihat sepasang 'bukit kembar' yang menantang birahinya. Dengan susah payah pemuda bertubuh pendek kekar ini berusaha menelan ludahnya. Napasnya memburu hebat bagaikan orang habis berlari jauh.
Bukan hanya Samiaji saja yang mengalaminya. Janggulapati dan empat orang anak buahnya pun menelan air liur. Sepasang mata mereka bagai terpaku ke sana. Bahkan laki-¬laki berpakaian hitam ini sampai melupakan Dewa Arak!
Hanya ada dua pasang mata yang tidak tahan melihat kejadian itu, Mata dari Melati dan Arya Buana.
Melati menundukkan kepalanya. Tak kuat gadis berpakaian merah ini menyaksikan adegan yang akan menimpa saudara kembarnya. Sepasang matanya pun dipejamkan rapat-¬rapat. Meskipun tidak menutup telinga, tapi gadis ini berusaha menulikan pendengaran.
Tapi meskipun begitu, tak urung rintihan Mawar terdengar olehnya. Hati gadis berpakaian merah ini seperti diiris-iris sembilu. Begitu sakit. Begitu perih. Begitu nyeri. Tak dapat ditahan lagi, dua tetes air bening menggulir dari kedua kelopak matanya. Wanita yang berhati keras ini menangis! Meskipun tanpa suara.
Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin Melati menyerang mereka mati-matian. Biarlah dia tewas di tangan mereka daripada menyaksikan adegan yang terpampang di hadapannya. Tapi, akal sehatnya melarang. Sia-sialah semua pengorbanan yang dilakukan saudara kembarnya kalau hal itu dia lakukan.
Bukan hanya Melati saja yang dilanda perasaan demikian. Dewa Arak pun mengalami hal yang sama. Beberapa kali Arya menggertakkan gigi. Jari-jari kedua tangannya dikepalkan terus, hingga kuku-kukunya membekas di telapak tangan.
Sepasang matanya menatap lawan-lawannya penuh hawa membunuh. Untuk pertama kalinya Arya yang selama ini dikenal sebagai pendekar welas asih berniat melenyapkan semua lawan-lawannya tanpa pertimbangan lagi.
Sementara itu Samiaji sudah mulai menggeluti tubuh Mawar dengan kasar. Secara buas, liar, dan brutal diciumnya sekujur tubuh Mawar yang sudah tanpa busana itu. Kedua tangannya meremas-remas ke sana kemari. Tak dipedulikannya rintihan lirih dari mulut gadis itu.
Dalam pendengaran pemuda bertubuh pendek kekar ini, rintihan menyayat Mawar adalah nyanyian merdu bidadari yang malah membuatnya semakin brutal.
Janggulapati dan empat orang anak buahnya menelan ludah melihat adegan yang terpampang di hadapannya.
Tapi sesaat kemudian, laki-laki berpakaian hitam itu mulai mengadakan penyiksaan terhadap Dewa Arak. Tidak dipedulikannya lagi semua yang dilakukan muridnya.
Gayatri yang sejak tadi hanya memperhatikan saja, kini tidak tinggal diam. Wanita pesolek ini pun ikut ambil bagian dalam penyiksaan terhadap Dewa Arak. Gayatri menggunakan senjatanya untuk menyiksa Arya. Sebuah kebutan dengan bulu-¬bulu berwama putih keperakan.
Wurtt! Prattt..!
Bukkk! Bukkk!
Berkali-kali kebutan di tangan wanita berpakaian hitam itu menampar sekujur tubuh Arya. Di tangan Gayatri, kebutan itu berubah menjadi alat penyiksa yang mengerikan. Kebutan itu terkadang menegang kaku untuk menotok berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Tapi, tak jarang melemas, digunakan untuk melecut seperti cambuk. Dan berkali-kali mendarat di berbagai bagian tubuh Arya.
Berkali-kali tubuh pemuda berambut putih keperakan itu meregang, setiap kali Janggulapati maupun Gayatri mengayunkan tangan. Seluruh baju dan celana Arya sudah compang-camping tak karuan. Habis tersayat-sayat lecutan kebutan Gayatri.
Meskipun siksaan demi siksaan menderanya, tapi tidak sedikit pun terdengar jerit kesakitan dari mulut Arya. Pemuda ini menggigit bibir erat-erat untuk menahan suara rintihan yang hampir keluar dari mulutnya.
Bahkan bibirnya sampai pecah mengeluarkan darah. Hanya tubuhnya yang sesekali menggeliat yang menjadi bukti kalau siksaan Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menyakitkan dirinya.
Melati yang tak kuat melihat adegan penyiksaan terhadap dua orang yang dikasihinya, tertunduk dalam. Hanya kedua tangannya yang mengepal keras menjadi bukti kalau gadis itu tengah berperang dengan perasaannya.
Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar baru menghentikan siksaannya setelah Samiaji juga menghentikan nafsu binatangnya. Ada senyum puas yang tersungging di mulut pemuda bertubuh pendek kekar itu, ketika perlahan-lahan mengenakan pakaiannya kembali.
"Kau urus mereka, Mawar! Dan segera keluar kalau tidak ingin bernasib seperti mereka!" ucap Janggulapati sambil melangkah keluar, diikuti yang lainnya.
Dengan wajah pucat pasi bagai mayat, Melati kemudian memakaikan pakaian baru berwarna putih pada saudara kembarnya. Kedua tangannya nampak menggigil keras menahan gejolak perasaan yang menyiksa.
Sesaat kemudian kedua saudara kembar ini saling berpelukan erat. Mawar dan Melati sama-sama menangis tanpa suara. Sementara Dewa Arak sama sekali tidak tahu apa-apa. Pemuda berambut putih keperakan ini sudah pingsan. Tak kuat menahan siksaan demi siksaan yang mendera tubuhnya.
Tak lama kemudian, Melati pun keluar dari kamar itu, setelah melempar pandang ke arah Arya beberapa saat lamanya. Gadis berpakaian merah ini tak bisa berbuat apa-apa. Melati tahu kalau Janggulapati tidak main-main dengan ancamannya tadi.
Di luar pintu, dilihatnya empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatapnya dengan sinar mata aneh. Tapi gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dan terus melangkah masuk ke kamarnya.
Untuk kesekian kalinya, Melati menelan obat yang diberikan Mawar. Setelah itu, gadis berpakaian merah ini duduk bersila. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, dirangkapkan di depan dada. Ujung-ujung jarinya tegak lurus ke atas. Sedangkan punggungnya ditegakkan. Melati kembali bersemadi untuk menghilangkan racun milik Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar.
Tak lama kemudian, gadis berpakaian merah ini sudah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang terdengar hanyalah suara keluar masuknya udara yang ditarik dan dibuang oleh gadis itu. Suara pelan dan berirama tetap.
Secercah kegembiraan mulai timbul di hati Melati setelah merasakan ada hawa hangat yang berputar di bawah pusarnya. Memang masih pelan, tapi sedikit banyak sudah membuat semangat gadis berpakaian merah ini bangkit
Dengan penuh semangat Melati meneruskan semadi tanpa mempedulikan sang waktu yang terus bergulir. Yang ada di dalam benaknya saat ini hanya bersemadi dan bersemadi.
Semakin lama hawa yang berputaran di bawah pusar Melati semakin bergolak keras. Tapi, gadis berpakaian merah ini sama sekali tidak peduli. Dia terus saja melanjutkan semadinya dengan tekun. Dan perlahan namun pasti tubuhnya mulai berguncang-guncang.
Wajah Melati sudah mandi keringat ketika menghentikan semadi. Perlahan-lahan gadis berpakaian merah ini bangkit berdiri. Secercah senyuman tersungging di bibirnya. Kini sudah hampir tiba saatnya dia membalas dendam.
Melati kemudian memusatkan perhatiannya. Pikirannya disatukan pada keinginannya untuk menyalurkan hawa yang berputaran di bawah pusarnya ke kedua telapak tangannya.
Dan hampir saja gadis berpakaian merah ini bersorak gembira begitu merasakan aliran aneh yang merayap ke kedua tangannya. Tenaga dalamnya telah pulih kembali! Tenaga dalamnya telah kembali berfungsi!
Meskipun begitu, Melati belum merasa yakin kalau tenaga dalamnya telah kembali seperti semula. Walaupun begitu, keberhasilan usahanya sudah membuatnya gembira bukan main. Keberhasilan membangkitkan kembali tenaga dalamnya yang lenyap ini membuktikan kalau tak akan lama lagi seluruh tenaga dalamnya pulih kembali. Kini Melati melangkah ke arah pintu Kemudian tangannya dijulurkan.
Kriiittt..!
Terdengar suara berderit pelan begitu daun pintu kamar terbuka. Perlahan gadis berpakaian merah ini menutupkan pintu kembali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju ke ruang tahanan Arya dan Mawar.
Melati mendadak mengerutkan alisnya begitu melihat di depan pintu ruangan itu berjaga-jaga empat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar. Tidak biasanya ruangan ini dijaga. Ada apa gerangan? tanya gadis berpakaian merah ini dalam hati.
Keempat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar menatap lekat-lekat wajah Melati yang mereka sangka Mawar. Sorot mata mereka liar penuh nafsu. Dan memang, sebenarnya keempat orang ini sudah lama memendam hasrat jelek pada Mawar. Hanya saja mereka tidak berani melakukannya. Takut pada ketua mereka.
Mawar telah menceritakannya semua pada Melati. Maka gadis berpakaian merah ini pun tahu arti pandangan mata mereka. Tapi, yakin kalau seperti biasanya, empat orang itu tidak berani mengganggu, Melati meneruskan langkah menuju pintu.
Melati kaget bukan main ketika melihat empat orang itu berdiri menghadang jalan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Keparat!" bentak Melati keras.
Kemarahan yang hebat memang melanda gadis berpakaian merah ini. Tapi, untunglah dalam keadaan seperti itu dia masih teringat meniru suara Mawar.
"Berani kalian menggangguku?! Apa kalian tidak takut kepada pemimpin kalian?!"
"He he he...!" salah seorang yang bertubuh tinggi kurus tertawa-tawa dengan lagak menyebalkan. "Mereka baru saja pergi, Mawar. Dan mungkin nanti malam baru kembali Sekarang kesempatan bagi kami terbuka untuk bersenang-senang denganmu!"
"Benar...! Ha ha ha...!" sambut yang berkulit kuning.
"Ayolah, Mawar...!" yang berambut abu-abu ikut pula angkat bicara.
Seketika wajah Melati berubah. Kepergian Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji merupakan sebuah kesempatan emas untuk melarikan diri. Tapi, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Barangkali saja keempat orang ini berbohong padanya.
Tapi, menilik dari sikap mereka, Melati dapat menduga kalau keempat orang itu sama sekali tidak berdusta.
"Tunggu sebentar...!" cegah Melati sambil menjulurkan kedua tangannya.
Seketika langkah kaki keempat orang itu tertahan. "Aku bersedia meladeni kalian..., asal kalian mau menjawab pertanyaanku," ucap Melati.
Keempat orang yang tengah diamuk nafsu itu mana sempat mencerna arti kata-kata 'meladeni' yang dimaksud gadis berpakaian merah itu. Yang jelas, kata-kata Melati yang mereka sangka Mawar, di telinga mereka adalah persetujuan gadis itu.
"Cepat..., ajukan pertanyaanmu, Mawar...!" desak laki-laki bertubuh tinggi kurus tak sabar.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Melati ingin tahu.
"Mencari tempat persembunyian ibumu, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus.
"Apakah mereka tidak khawatir kalau tahanan kita melarikan diri?" Melati ingin tahu.
"Ketua tidak sebodoh itu, Mawar. Sebelum pergi, ketua sudah menjejali kedua tahanan dengan racun Bahkan Samiaji kembali menikmati kemolekan tubuh gadis itu."
"Lalu..., kenapa kalian berjaga-jaga di sini?"
"Agar kau tidak bisa membawa kabur mereka, Mawar," sahut laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak sabar. "Mengapa pertanyaanmu begini banyak sih?!"
Melati berpura-pura tersenyum manis walaupun sebenarnya hatinya bergolak penuh kemarahan yang meluap-luap.
"Sabar, tinggal satu pertanyaan lagi. Dan aku akan meladeni kalian."
"Cepatlah, Mawar!" Seketika wajah laki-laki berambut abu-abu berseri.
"Sebenarnya..., bisa saja kami memaksamu secara kasar, Mawar. Toh, kami bisa saja mencari-cari alasan. Misalnya kau ingin membawa kabur tahanan. Tapi..., kami lebih suka kalau kau melayani secara sukarela. Ha ha ha...! Bukan begitu, Teman-teman?!"
Hampir bersamaan ketiga rekan laki-laki berambut abu-abu itu menganggukkan kepalanya.
"Aku membatalkan pertanyaanku!" tandas Melati tegas.
"Heh...?! JadL..?" laki-laki bertubuh tinggi kurus tidak melanjutkan ucapannya.
Agak kaget juga dia mendengar jawaban yang ketus itu. Bahkan tiga rekannya juga terkejut mendengarnya. Dan seketika itu juga mereka bersiap siaga. Tapi keempat orang kasar itu tidak merasa khawatir, karena telah mengetahui tingkat kepandaian gadis yang mereka kira Mawar. Jangankan melawan mereka berempat, melawan dua di antara mereka saja belum tentu gadis itu mampu.
"Rupanya kau lebih suka diperlakukan kasar, Mawar!"
"Sekarang aku akan meladeni kalian!"
Setelah berkata demikian, tangan Melati meluncur ke arah dada laki-laki tinggi kurus. Dalam kemarahan dan kekhawatiran akan kehadiran Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar dan Samiaji, gadis berpakaian merah ini. Langsung mengeluarkan ilmu 'Cakar Naga Merah' andalannya.
Laki-laki tinggi kurus yang semula memandang rendah, jadi terperanjat kaget bukan main melihat kecepatan gerak Melati. Serangan gadis itu tiba begitu cepat. Dan juga angin yang mengiringi tibanya serangan itu begitu keras.
Dengan sebisa-bisanya laki-laki tinggi kurus ini berusaha mengelak. Tapi, karena sebelumnya dia tidak berwaspada, dan lagi serangan itu datang melebihi perkiraannya, maka....
Plak...!
Terdengar suara berderak keras begitu tamparan Melati mengenai sasaran. Seketika itu juga tubuh laki-laki tinggi kurus itu terpelanting jatuh. Beberapa saat lamanya, tubuh itu menggelepar-gelepar di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Tewas dengan tulang dada berpatahan. Darah segar mengucur deras dari hidung, mulut, dan telinga laki-¬laki tinggi kurus itu.
Ketiga rekannya kaget bukan main melihat kematian si tinggi kurus. Sungguh tidak mereka sangka kalau Melati selihai ini. Mungkinkah dalam waktu beberapa hari saja, kepandaian gadis berpakaian merah ini bisa melonjak begitu cepat? tanya mereka dalam hati, penuh rasa tidak percaya.
Tapi, ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar ini tidak ingin berpikir lebih lama lagi
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar terang berpendar begitu ketiga orang itu menghunus senjata masing¬-masing. Mereka tahu kalau kini entah dengan cara bagaimana, gadis yang mereka sangka Mawar bisa memiliki kepandaian selihai itu. Maka mereka tidak berani bersikap main-main.
Melati tersenyum sinis. "Orang biadab seperti kalian tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Dunia akan gembira bila kalian semua lenyap dari muka bumi."
Tajam dan penuh ancaman ucapan yang keluar dari mulut Melati. Sedangkan Sepasang matanya mencorong kehijauan menatap ketiga lawannya.
Tak terasa ketiga orang anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar itu melangkah mundur setindak. Tengkuk mereka seketika terasa dingin. Ancaman maut yang mencuat dari gadis di hadapan mereka tampaknya memang tidak main-main.
Tapi Melati yang sudah dilanda dendam yang bergelora tidak mau memberi kesempatan lagi. Kembali gadis berpakaian merah ini menerjang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar naga meluruk deras mengancam ke arah dada salah seorang anak buah Alap-Alap Bukit Gantar. Sementara tangan kiri terletak di pinggang.
Wuuuttt..!
Angin berhembus keras sebelum sambaran cakar itu sendiri tiba. Laki-laki berambut abu-abu yang menjadi sasaran sambaran cakar naga segera memapak serangan itu dengan tusukan pedang. Sementara kedua rekannya pun tidak tinggal diam. Mereka menghujani Melati dengan serangan-serangan maut bertubi-tubi.
Melati yang tahu kalau tenaga dalamnya belum pulih secara keseluruhan, buru-buru membatalkan serangannya seraya melompat mundur begitu melihat lawan memapak tangannya dengan golok. Hasilnya, serangan ketiga lawannya mengenai tempat kosong Beberapa jengkal di depannya.
Melati segera mengambil golok yang tergantung di pinggang mayat laki-laki bertubuh tinggi kurus. Dan tanpa ragu-ragu lagi, dia memainkan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'. Memang ada sedikit kecanggungan ketika menggunakan golok itu. Tapi sama sekali tidak mempengaruhi kedahsyatan 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Wunggg...!
Terdengar suara menggerung dahsyat seperti ada ribuan tawon mengamuk begitu Melati menggerakkan golok rampasannya.
Ketiga anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar terkejut mendengarnya. Tapi, kejadian itu hanya berlangsung sebentar. Sesaat kemudian mereka sudah kembali menyerang gadis berpakaian merah itu sambil mengeluarkan teriakan melengking nyaring.
Tapi mana mampu keroco-keroco seperti mereka menandingi 'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dahsyat? Terdengar suara menggerung keras begitu Melati menyambut serangan tiga orang musuhnya sambil melompat.
Sesaat kemudian, terdengar teriakan-teriakan menyayat saling susul yang diikuti dengan robohnya ketiga orang itu dalam keadaan tanpa nyawa.
Melati menatap ketiga mayat anak buah Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Ada rasa puas yang terpancar di wajahnya. Sejenak pandangannya dialihkan pada golok berlumuran darah yang tergenggam di tangannya. Kemudian dilemparkannya ke bawah.
Cappp!
Batang golok itu menancap di lantai sampai lebih dari setengahnya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera membalikkan badan menatap pintu yang terpampang dalam jarak sekitar lima tombak di depannya.
"Hih...!"
Melati berseru keras seraya menghentakkan kedua tangan yang membentuk cakar naga ke depan. Inilah jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Wusss...!
Angin keras berhembus dari kedua telapak tangan gadis berpakaian merah itu. Kemudian meluncur deras ke arah pintu. Rupanya Melati ingin menguji kekuatan tenaga dalamnya.
Brakkk!
Terdengar suara berderak keras yang diikuti dengan hancurnya daun pintu ruangan tempat Arya dan Mawar ditahan. Hancur berkeping-keping!
Karuan saja suara itu membuat Arya dan Mawar terkejut bukan main. Serentak keduanya menoleh ke arah ambang pintu yang sudah tidak berdaun lagi. Dan dari luar pintu melesat sesosok bayangan merah, yang sesaat kemudian sudah berdiri di ambang pintu.
"Melati...," hampir bersamaan Arya dan Mawar mendesah pelan begitu melihat sosok tubuh yang ternyata tidak lain adalah Melati.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati segera bergegas melangkah. "Bebaskan Mawar dulu, Melati," ucap Arya bernada perintah.
Melati segera melangkah ke arah balai-balai bambu Mawar. Agak terburu-buru dia melepaskan tali yang membelenggu kedua tangan dan kaki saudara kembarnya.
"Melati...!" seru Mawar serak bemada isak.
Air matanya meleleh di sepanjang pipinya. Dan begitu ikatan yang membelenggunya terlepas, Melati dipeluknya erat-erat
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment