Ads

Saturday, October 12, 2024

Sepasang Alap-alap Bukit Gantar 04

Arya pun kembali duduk di bangkunya. Ucapan ibu Melati bisa diterimanya. Karena, sejak tadi pun pemuda berambut putih keperakan itu melihat wajah tunangannya pucat pasi bagai mayat

Tapi baru saja pantatnya menyentuh bangku, tiba-tiba perasaan pusing yang amat sangat menyerang kepalanya. Bahkan bukan hanya pusing saja. Tapi sekaligus tenaganya melemah secara tiba-tiba. Seketika itu juga Arya segera menyadari apa yang telah terjadi

"Racun...," desis pemuda berambut putih keperakan itu tajam, seraya bergegas bangkit dari bangku. "Melati...! Awas...!"

Meskipun rasa pusing dan lemas melanda tubuhnya, Arya masih sempat memperingatkan tunangannya. Tapi, peringatan Dewa Arak sudah terlambat. Sebelum gema suaranya lenyap, tubuh gadis berpakaian putih itu sudah ambruk. Dan dengan tawa terkekeh, Karina segera menyambut tubuh Melati.

"Melati...!"

Dalam kekhawatiran yang menggelegak, Arya berteriak. Sedapat mungkin pemuda berambut putih keperakan ini berusaha bergerak ke arah kekasihnya. Tapi, usahanya sia-sia karena rasa pusing dan lemas menghalanginya. Tubuh pemuda berambut putih keperakan itu terhuyung-huyung begitu mencoba melangkahkan kakinya.

"Ha ha ha...!"

Pandangan Dewa Arak sudah berkunang-kunang ketika melihat Palungga bangkit dari kursi sambil tertawa bergelak. Dalam kesadaran yang kian melenyap, Arya merasa seperti pernah mendengar suara tawa itu. Tapi kapan dan di mana, dia lupa.

Tapi yang jelas, Arya tahu kalau saat ini dia dan Melati berada dalam ancaman bahaya besar. Gadis berpakaian putih itu sudah tertawan. Dan hanya dia yang bisa menyelamatkannya.

Maka meskipun kepalanya yang terasa pusing membuat yang dilihatnya jadi berupa bayangan-bayangan kabur, dan juga lemas yang amat sangat mendera sekujur tubuhnya, Dewa Arak memaksakan diri untuk melawan orang-orang yang telah menipu dirinya dan Melati.

Buru-buru Dewa Arak menjumput guci arak yang tergantung di punggungnya. Tapi sebelum sempat Arya menuangkan arak ke mulutnya, Palungga telah lebih dulu bergerak cepat

"Haaat..!"

Sambil berteriak nyaring, laki-laki berwajah tirus itu mengibaskan kaki kanannya sambil memutar tubuh.

Wuuut..!

Desss!

Telak dan keras sekali kibasan kaki Palungga mengenai pergelangan tangan Arya. Dan seketika itu juga, guci arak di tangan Dewa Arak terlepas dari pegangan. Terlempar jauh. Jatuh berkerontangan di lantai dengan isi bertumpahan ke sana kemari.

Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuh Dewa Arak pun terhuyung. Pergelangan tangan kanannya dirasakan sakit sekali. Rupanya sambungan tulangnya lepas.

Walaupun begitu, kekuatan hati Arya patut dipuji. Pemuda ini sama sekali tidak berteriak kesakitan atau mengeluh. Hanya mulutnya saja yang menyeringai, pertanda kalau Dewa Arak dilanda rasa sakit yang hebat

Arya mengeluh dalam hati. Habislah sudah harapannya untuk membebaskan diri dari racun yang telah menyebar ke seluruh aliran darah di tubuhnya. Semula, Dewa Arak berharap dari araknya dia bisa menawarkan racun yang masuk ke dalam tubuhnya.

Karena arak yang telah tersimpan dalam guci peraknya memang dapat digunakan sebagai penawar racun. Tapi, kini harapan itu kandas.



"Ha ha ha...!"

Palungga kembali tertawa terbahak-bahak. Sementara keadaan Dewa Arak semakin mengkhawatirkan. Kini pemuda berambut putih keperakan itu tidak mampu lagi melihat jelas orang-orang di sekitar ruang makan. Yang terlihat hanyalah bayangan--bayangan yang mulai mengabur.

Didorong oleh perasaan cemas yang menggelegak pada keselamatan Melati, Arya jadi kehilangan kontrol diri. Apalagi keadaannya kini sudah semakin melemah. Tanpa pikir panjang lagi, kedua tangannya segera dihentakkan ke depan. Arya menggunakan jurus yang jarang dipergunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!

"Hih...!"

Wusss...!

Hembusan angin keras berhawa panas menyengat, keluar dari telapak tangan yang dihentakkan Dewa Arak.

Palungga terkejut bukan main melihatnya. Untung saja pandangan pemuda berambut putih keperakan itu telah kabur. Tambahan lagi tenaga pemuda itu memang sudah semakin melemah, maka akibatnya kedahsyatan pukulan jarak jauh itu pun berkurang. Bahkan serangannya pun ngawur. Meskipun begitu, tidak berarti kalau serangan pemuda itu tidak berbahaya.

Brakkk..!

Terdengar suara hiruk-pikuk begitu angin pukulan jarak jauh yang nyasar itu menghantam dinding rumah yang terbuat dari kayu tebal hingga hancur berantakan.

Palungga, Mawar, dan Karina yang berada di situ berdecak kagum melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh Dewa Arak

Arya sendiri begitu selesai mengirimkan serangan, langsung tersungkur di tanah. Pingsan!

"Luar biasa...!"

Palungga berseru memuji seraya berjalan menghampiri Dewa Arak yang telah tergolek di tanah.

"Pemuda ini merupakan lawan berbahaya, Janggulapati," ucap Karina bernada mengingatkan.

Janggulapati yang tadi memperkenalkan diri dengan nama samaran Palungga, menganggukkan kepala.

"Pemuda ini memang luar biasa, Gayatri. Meskipun sudah dirasuki racun yang membuat tenaganya lenyap, tapi dia masih mampu mengirimkan pukulan jarak jauh yang begitu dahsyat. Ngeri aku membayangkan kalau pukulan itu digunakan sewaktu tenaganya belum berkurang."

Wajah wanita pesolek berpakaian hitam yang menggunakan nama samaran Karina, tapi sebenarnya mempunyai nama Gayatri, berubah. Tampak jelas kalau wanita ini pun merasa ngeri.

"Apakah tidak sebaiknya kalau pemuda ini kita bunuh saja, Kang," ujar Gayatri lagi, mengajukan usul.

"Membunuh pemuda ini sekarang sama mudahnya dengan membalik telapak tangan, Gayatri," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi kematian seperti itu terlalu enak untuknya. Dewa Arak harus merasakan bagaimana tidak enaknya menanggung sakit hati!"

Gayatri tercenung mendengar ucapan yang keluar dari mulut laki-laki berpakaian hitam itu.

"Kau benar, Janggulapati. Dewa Arak harus kita siksa dulu!"

Entah sudah berapa lama dirinya pingsan, Dewa Arak tidak tahu secara pasti. Yang jelas, begitu siuman dan membuka kelopak mata, tahu-tahu tubuhnya sudah telentang di atas balai-balai bambu. Kedua tangan dan kakinya terikat terpentang. Dan di hadapannya telah berdiri beberapa sosok tubuh.

Mula-mula yang terlihat oleh Arya hanya bayang-bayang kabur. Tapi lama-kelamaan tampak jelas wajah-wajah mereka.

Dewa Arak menghitung jumlah sosok-sosok itu dengan matanya. Delapan orang! Tujuh diantara mereka pernah dijumpainya. Palungga, Kirana, Mawar dan empat orang pengeroyok Mawar. Tapi yang seorang lagi sama sekali belum dikenalnya. Seorang pemuda berwajah tampan berkulit putih, bertubuh pendek kekar.

Melihat hal ini, Dewa Arak pun sadar kalau ternyata semuanya memang telah direncanakan dengan rapi. Dia dan Melati dijebak! Jadi, sudah pasti gadis yang mengaku bernama Mawar ini bukan saudara kembar Melati. Gadis itu pasti seorang tokoh sesat yang ahli menyamar. Demikian kesimpulan Arya.

Dewa Arak cemas bukan main begitu teringat pada keadaan Melati. Tenaganya untuk memutuskan tali yang mengikatnya segera dikerahkan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda berambut putih keperakan ini tatkala mengetahui tidak adanya aliran tenaga dalam yang mengalir ke tangan dan kakinya. Tenaga dalamnya telah lenyap! Tidak ada lagi hawa hangat yang berputaran di bawah pusarnya.

Kecemasan Arya pun semakin menjadi-jadi begitu menyadari keadaannya. Tapi bukan dirinya semata yang dikhawatirkan. Tidak! Dia sama sekali tidak takut menghadapi maut.

Sejak bertekad untuk menjadi pendekar pembela kebenaran, pemuda ini sudah memperhitungkan kalau suatu waktu bukan tidak mungkin dirinya tewas di tangan lawan. Bukan, bukan itu yang dikhawatirkan. Tapi Melati.

"Ohhh...!"

Terdengar suara keluhan pelan di sebelah kiri Arya. Tanpa menoleh pun Dewa Arak tahu siapa pemiliknya. Suara itu sudah amat dikenalnya. Suara siapa lagi kalau bukan suara Melati, kekasihnya!

Arya menolehkan kepalanya. Benar saja! Tak jauh darinya, Melati juga terbaring di balai-balai bambu lain. Keadaan gadis itu tak berbeda dengannya.

Melihat keadaan Melati, kekhawatiran pemuda berambut putih keperakan ini semakin menggelegak. Dia sudah dapat menduga kalau bahaya yang mengancam tunangannya bakal jauh lebih mengerikan ketimbang bahaya yang mengancam dirinya!

Dewa Arak mengalihkan pandangan kembali ke arah delapan sosok yang berada di hadapannya. Tanpa melihat pun Arya tahu kalau guci peraknya telah tidak ada padanya lagi. Begitu pula Pedang Bintang yang semula selalu tergantung di pinggangnya.

"Siapa kalian? Mengapa kalian memusuhi kami?" tanya Arya seraya menatap tajam wajah Janggulapati yang dikenalnya sebagai Palungga.

Pemuda ini sudah dapat menduga kalau laki-laki berpakaian hitam ini adalah pemimpin diantara delapan orang itu.

"Hmh...!" Janggulapati mendengus. "Kau tidak mengenaliku lagi, Dewa Arak?!"

Arya mengerutkan alisnya. Sepertinya suara dengusan itu tidak asing di telinganya. Seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan dimana, dia tidak ingat lagi!

"Rasanya..., aku pernah mengenalmu, Palungga. Setidak-tidaknya aku pernah mendengar suaramu...," sahut Dewa Arak bemada ragu-ragu.

"Kau memang sudah mulai pikun, Dewa Arak!" sergah Janggulapati kasar. "Perlu kau ketahui, namaku sebenarnya bukan Palungga. Tapi Janggulapati."

Arya tidak tampak terkejut mendengar pengakuan Janggulapati. Hal itu memang sudah diduganya begitu tahu dia dan Melati terjebak

"Kalau begitu..., kau pasti bukan ayahku...," desah Melati lemah.

Ada raut kekecewaan, tapi juga sekaligus kebahagiaan yang terpancar pada sepasang matanya. Kecewa karena berarti ada kemungkinan memang dia sudah tidak punya orang tua lagi. Bahagia, karena orang yang bersikap dan bertampang kasar itu bukan ayahnya.

"Ayahmu sudah lama mampus, Wanita Liar!" sergah pemuda bertubuh pendek kekar. "Kau pun akan segera menyusulnya. Tapi, tentu saja terlalu bodoh untuk membunuh wanita secantikmu sebelum memanfaatkannya lebih dulu!"

Wajah Melati seketika memucat. Gadis ini tahu apa yang dimaksudkan pemuda bertubuh pendek kekar itu. Perasaan takut dan ngeri pun melanda hatinya. Dan perasaan itulah yang mendorong gadis berpakaian putih ini menggerakkan kaki dan tangan untuk memutuskan tali yang mengikatnya.

Suara ah-ah uh-uh terdengar dari mulut Melati ketika berusaha sekuat tenaga memutuskan ikatannya. Tapi, usaha gadis ini hanya sia-sia belaka. Seperti juga Dewa Arak, tenaga dalam yang dimiliki gadis ini pun telah lenyap. Apalagi ternyata tali itu alot sekali. Jadi, betapapun Melati berusaha, hanya kegagalan yang diterimanya. Bahkan pergelangan tangan dan kakinya jadi lecet-lecet. Terasa sakit dan perih bukan main. Akhirnya gadis berpakaian putih ini pun terpaksa menghentikan usahanya.

"Ha ha ha...!"

Pemuda bertubuh pendek kekar kembali tertawa bergelak. Kemudian kakinya dilangkahkan mendekati Melati. Tangan kanannya bergerak secara kasar ke arah dada gadis berpakaian putih itu.

Sepasang mata Melati berkilat-kilat melihat perbuatan pemuda itu. "Kalau kau berani menyentuhku..., kubunuh kau, Setan...!" desis gadis berpakaian putih itu tajam. Ada ancaman hebat yang tersembunyi di dalamnya.

Rupanya, pemuda bertubuh pendek kekar merasa ngeri juga mendengar ancaman itu. Terbukti tangannya yang semula sudah terulur, mendadak berhenti. Apalagi ketika mendengar desisan tajam dari mulut Dewa Arak

"Berani kau menyentuhnya..., kemana pun kau pergi jangan harap lolos dari tanganku...!"

Meremang bulu kuduk semua orang yang berada disitu mendengar ancaman Dewa Arak. Apalagi mereka yang pernah merasakan kehebatan ilmu Arya. Nada suara pemuda itu begitu dingin, dan penuh ancaman yang mengerikan!

Dari perasaan ngeri yang mendera, pemuda bertubuh pendek kekar berubah menjadi murka. Dengan wajah merah padam, dihampirinya Arya. Kemudian tangannya terayun, menampar ke arah pipi. Dan...

Plakkk...!

Telak dan keras sekali tamparan itu mengenai sasaran. Seketika itu juga di pipi Dewa Arak terdapat gambar telapak tangan berwarna merah. Dari sudut-sudut bibir pemuda itu pun menetes darah segar. Tapi, tak sedikit pun terdengar suara keluhan dari mulut Arya.

Suatu keuntungan bagi Dewa Arak karena pemuda bertubuh pendek kekar itu tidak mengerahkan tenaga dalam sewaktu menamparnya. Dia hanya menggunakan tenaga kasar saja. Dan kalau tadi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam, mungkin tulang rahang Dewa Arak telah remuk.

Pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin beringas begitu melihat darah. Sekali lagi tangannya terayun diiringi pekik ngeri Melati yang melihatnya.

Sementara Dewa Arak hanya tenang-tenang saja. Bahkan pandang mata pemuda ini menyorotkan tantangan yang membuat pemuda bertubuh pendek kekar itu semakin geram. Dan hal ini memang disengaja oleh Arya. Dia sengaja mengalihkan perhatian pemuda bertubuh pendek kekar dari tunangannya.

Tapi sebelum tangan pemuda bertubuh pendek kekar itu kembali mengenai sasaran, terdengar bentakan keras menggelegar.

"Samiaji! Tahan...!"

Seketika itu juga tangan pemuda bertubuh pendek kekar yang ternyata bernama Samiaji, tertahan di udara. Pemuda ini kenal betul siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Janggulapati.

"Mengapa Guru menahanku...?"

Kepala Samiaji ditolehkan menatap wajah laki-laki berwajah tirus. Pandang matanya memancarkan rasa penasaran yang amat sangat

"Aku tidak ingin dia mati penasaran, Samiaji," sahut Janggulapati yang ternyata guru dari pemuda bertubuh pendek kekar.

"Maksud, Guru?" tanya Samiaji, belum mengerti madsud ucapan gurunya.

"Biar kuberi dia kesempatan mengajukan pertanyaan."

Setelah berkata demikian, Janggulapati menatap wajah Arya lekat-lekat "Agar tidak mati penasaran..., kau kuberi kesempatan mengajukan pertanyaan, Dewa Arak...."

"Aku hanya ingin tahu siapa kalian, dan mengapa kalian memusuhi kami?" sahut Arya tenang.

Tanpa merasa gentar sedikit pun, dibalasnya tatapan laki-laki berpakaian hitam itu dengan tak kalah tajam.

"Ha ha ha...!"

Janggulapati tertawa bergelak. Rupanya laki-laki berpakaian hitam ini merasa geli mendengar pertanyaan itu.

Tapi, Arya tetap bersikap tenang. Sepasang matanya tetap tertuju ke wajah laki-laki berwajah hitam itu.

"Kau benar-benar tidak mengenalku lagi, Dewa Arak?" tanya Janggulapati setengah tidak percaya.

Arya hanya menggelengkan kepala sebagai jawabannya.

Laki-laki berpakaian hitam itu lalu menarik Samiaji maju ke depan Dewa Arak. "Kau lihat ini baik-baik, Dewa Arak!"

Setelah berkata demikian, Janggulapati segera mencengkeram pakaian Samiaji pada bagian atas dada kirinya. Dan sekali jari jemari laki-laki berpakaian hitam ini bergerak pelan, terdengar suara keras.

Breeettt…!

Baju di bagian atas dada kiri Samiaji robek lebar. Dan seketika sepasang mata Arya terbelalak lebar begitu melihat balutan di bagian itu. Ada noda-noda merah yang menempel di kain pembalut itu. Jelas kalau bahu kiri pemuda bertubuh pendek kekar ini terluka.

Melihat luka Samiaji, Arya pun teringat. Ya, luka inilah yang diderita lawan Melati sewaktu mereka menuju ke rumah orang tua Mawar. Jadi, rupanya Samiaji adalah salah seorang dari dua pencegat itu. Salah seorang penghadang bertopeng harimau yang bertubuh pendek kekar!

Begitu teringat akan hal ini, Dewa Arak pun segera teringat kembali dimana dia pernah mendengar suara dengusan itu. Dimana lagi kalau bukan di hutan itu juga.

"Jadi..., kalian orang yang menyerang kami di hutan?" tanya Arya setengah memastikan.

Jaggulapati menarik mundur Samiaji lagi. "Rupanya kau belum pikun, Dewa Arak! Memang, aku dan muridku inilah yang telah menyerang kalian di hutan."

"Kalian inikah orang yang berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar?"

Janggulapati menganggukkan kepala. "Aku dan istriku inilah yang berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar."

Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu..., mengapa kau memusuhi kami?" tanya Arya lagi ingin tahu.

"Kami punya dendam pada wanita liar itu!" tandas Janggulapati tegas. "Sedangkan kau..., terpaksa harus kami lenyapkan. Di samping karena kau pasti akan membela kawan wanitamu, kau juga merupakan penghalang kami. Sewaktu-waktu kau pun mungkin akan menggilas kami. Tapi, sebelum semua itu terjadi, kami harus menggilasmu lebih dulu."

"Kalau boleh kutahu..., apa sebabnya kau mendendam pada kawanku?" Kembali Arya buka suara setelah sekian lamanya termenung.

"Ayah temanmu telah membunuh sahabatku, Kalajati! Dan karena ayahnya telah mampus, pembalasannya kutimpakan pada keturunannya!"

Arya dan Melati terkejut bukan hanya karena mendengar ucapan berapi-api Janggulapati yang jelas-jelas keluar dari hati yang sarat oleh dendam. Tapi juga oleh isi ucapan laki-laki berpakaian hitam itu. Jadi, benarkah Melati masih mempunyai seorang ayah? Dan benar jugakah Melati punya seorang saudara kembar? Kedua muda-mudi ini bertanya-tanya dalam hati.

Tapi, sebelum Arya dan Melati sadar dari keterkejutannya, Janggulapati sudah melangkah keluar ruangan. Samiaji dan yang lain-lainnya pun berjalan mengikutinya.

"Nikmatilah sepuas-puasnya sisa hidupmu, Dewa Arak!" seru laki-laki berpakaian hitam itu begitu telah berada di ambang pintu. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu sambil tertawa bergelak.

Brakkk!

Terdengar suara berderak keras ketika pintu ruangan tahanan itu ditutupkan dari luar. Kini yang tinggal di dalam hanyalah Melati dan Dewa Arak.

"Kau tidak apa-apa, Melati?" tanya Arya seraya menolehkan kepala ke arah tunangannya.

Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Hanya tenaga dalamku saja yang lenyap, Kang."

"Hhh...!" Arya menghela napas panjang. "Keadaan kita sama, Melati. Tenaga dalamku pun lenyap."

"Sekarang..., apa yang dapat kita lakukan, Kang?" tanya Melati bingung.

"Tak ada, Melati," sahut Dewa Arak dengan suara mendesah.

"Kau putus asa, Kang Arya?"

Melati menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu setengah tak percaya. Biasanya, Arya selalu menemukan jalan keluar untuk menghadapi setiap permasalahan. Tapi sekarang?!

Dewa Arak menggelengkan kepala. "Hanya menyadari keadaan, Melati," sahut Arya tawar.

"Maksudmu?"

"Kita tak akan bisa membebaskan diri dari tali yang membelenggu. Tali ini terlalu alot. Jadi, daripada menyiksa diri dengan mencoba memutuskan tali ini, lebih baik kita berdiam diri saja."

Melati pun terdiam. Gadis berpakaian putih ini menyadari kebenaran ucapan kekasihnya.

"Atau..., kalau kau mau.... Cobalah berusaha menimbulkan kembali tenaga dalammu yang lenyap. Aku yakin, racun ini tidak akan bertahan lama. Apalagi, kalau kita sering-sering berusaha membangkitkan kembali tenaga dalam. Tapi..."

“Tapi apa, Kang...," tanya Melati begitu melihat Arya menghentikan ucapannya.

"Kurasa, mereka tidak bodoh. Sebelum kita berhasil membangkitkan tenaga dalam kembali, mereka mungkin telah membunuh kita. Atau... memasukkan racun kembali."

"Tapi, tidak ada salahnya kalau kita coba. Daripada hanya diam menunggu nasib," ujar Melati setelah sekian lamanya terdiam.

"Kau cobalah...."

Kini Melati mulai berusaha keras membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Membayangkan seolah-olah udara yang ditariknya adalah kekuatan maha dahsyat. Kekuatan yang perlahan-lahan masuk ke hidung, kerongkongan, dan turun ke pusar.

Sesampainya di bawah pusar, gadis berpakaian putih ini menghentikan tarikan napasnya. Kemudian mengkhayalkan kalau kekuatan dahsyat itu berputar-putar di bawah pusarnya. Lalu napasnya dikeluarkan kembali.

Melati terus mengulanginya meskipun tidak ada hawa yang berputar-putar di bawah pusarnya setiap kali dia menarik dan menahan napas.

Arya hanya berdiam diri saja. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak berusaha membangkitkan kembali tenaga dalamnya. Yang jelas, benak pemuda ini berpikir keras mencari jalan untuk bisa menyelamatkan diri. Tapi sampai lelah otaknya berpikir, dia tetap juga tidak menemukan jalan keluar.

"Hhh...!"

Arya menghela napas berat. Kepalanya ditolehkan ke arah Melati yang masih saja sibuk membangkitkan kembali tenaga dalamnya.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment