Tranggg...!
Bunga api memercik tinggi ke udara begitu guci berbenturan dengan pedang pendek. Telak dan keras sekali benturan yang terjadi.
Orang bertopeng menggeram keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan kedua tangannya pun seperti lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau dalam adu tenaga dalam tadi Dewa Arak masih lebih unggul ketimbang lawannya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, orang bertopeng harimau sudah kembali melancarkan serangan. Sepasang pedang pendeknya berkelebatan mencari sasaran. Tapi, Dewa Arak bukanlah lawan yang mudah dipecundangi. Sehingga pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Kini di hutan itu terjadi dua pertarungan sengit Pertarungan antara Dewa Arak dan Melati menghadapi dua orang bertopeng harimau.
Mawar hanya dapat memperhatikan jalannya pertarungan dengan wajah gelisah. Gadis berpakaian merah ini tahu kalau keempat orang yang tengah bertarung memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atasnya.
Dan dia tidak mungkin dapat ikut campur tangan di dalamnya. Jangankan untuk ikut bertarung, memperhatikan jalannya pertarungan saja kepalanya sudah terasa pening bukan main.
Melati menggertakkan gigi. Gadis berpakaian putih ini penasaran bukan main setelah sekian lama bertarung dia tidak mampu merobohkan lawan. Dan sebagai akibatnya, permainan pedangnya kian dahsyat. Rupanya Melati sudah tidak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus andalan dari 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Orang bertopeng bertubuh pendek kekar terkejut bukan main melihat permainan pedang Melati mendadak berubah dahsyat
Laki-laki bertubuh pendek kekar ini pun tahu kalau lawan telah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Beberapa jurus kemudian, akhirnya dia mulai terdesak.
'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki Melati memang sebuah ilmu pedang yang luar biasa. Ilmu pedang itu terdiri dari tiga puluh enam jurus. Dan tiap-tiap jurus terdiri dari tiga sampai tujuh gerakan. Delapan dari tiga puluh enam jurus itu merupakan jurus-jurus andalan. Dan jurus-jurus inilah yang kini digunakan Melati untuk mendesak lawannya.
Kini orang bertopeng itu hanya bisa bertahan dan mengelak. Hanya sesekali saja dia sempat balas menyerang. Amukan serangan gadis berpakaian putih itu membuatnya sukar untuk melancarkan serangan balasan.
Bukan hanya Melati saja yang berhasil mendesak lawan. Dewa Arak pun, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya perlahan-lahan mulai dapat mendesak lawannya.
Hanya saja beberapa kali sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan, dengan gerakan yang luar biasa, orang bertopeng harimau mampu mengelak. Diam-¬diam Arya terpaksa mengakui kalau ilmu meringankan tubuh lawan tidak berada di bawahnya.
Suatu keuntungan buat orang bertopeng itu karena Dewa Arak sedapat mungkin berusaha tidak menjatuhkan tangan maut padanya. Dan sedikit banyak, ini justru menambah berat tugas Arya. Lawan yang dihadapinya bukan lawan ringan. Lebih mudah menjatuhkan tangan maut ketimbang merobohkannya tanpa luka yang terlalu parah.
Hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak agak lama menjatuhkan lawannya. Padahal pemuda berambut putih keperakan ini memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun mutu ilmu silat
Melatilah yang lebih dulu mendesak lawan. Karena gadis berpakaian putih ini memang tidak segan-segan menjatuhkan serangan maut pada lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Disertai pekikan nyaring, Melati melompat cepat ke arah lawan seraya menusukkan pedang ke arah dada. Cepat bukan main gerakan itu. Apalagi serangan itu dilancarkan pada saat laki-laki bertubuh pendek kekar baru saja mengelakkan sebuah serangan.
Meskipun begitu, orang bertopeng itu mencoba menyelamatkan selembar nyawanya. Dengan sebisa-bisanya dia mencoba mengelak.Tapi....
Cappp!
Ujung pedang Melati menancap telak di pangkal lengan kiri orang bertopeng harimau itu. Rupanya usaha terakhir laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil juga menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Meskipun usahanya tidak berhasil sepenuhnya.
Terdengar jerit kesakitan dari mulut laki-laki bertubuh pendek kekar, seiring dengan mengalirnya cairan merah kental dari luka di pangkal lengannya.
Melati tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat laksana kilat pedangnya kembali menyambar. Dan repotlah orang bertopeng itu pontang-panting menyelamatkan diri.
Orang bertopeng yang satunya lagi rupanya tahu bahaya besar yang mengancam rekannya. Maka seketika itu juga sepasang pedang pendek di tangannya meluncur bertubi-¬tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Menilik dari serangannya yang lebih mementingkan penyerangan daripada pertahanan, Arya tahu kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni. Cepat dia bergerak mengelak. Kali ini rupanya Arya tertipu. Laki-laki bertubuh kekar itu ternyata sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Begitu melihat Dewa Arak mengelak dengan menggulingkan tubuhnya, dia pun segera melompat cepat ke arah.... Mawar!
"Hup!"
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, dan tanpa gadis berpakaian merah itu sempat berbuat sesuatu, orang bertopeng sudah berada di belakangnya. Dan langsung menodongkan dua ujung pedang pendeknya di leher gadis itu.
"Perempuan liar! Hentikan! Atau..., kau ingin aku menggorok leher wanita ini!" teriak orang bertopeng, keras.
Sepasang matanya menatap ke arah Melati yang tinggal melakukan serangan terakhir pada laki-laki bertubuh pendek kekar yang sudah tergolek tidak berdaya di tanah. Ujung pedang Melati berada di lehernya.
Mendengar bentakan bemada penuh ancaman, Melati cepat menolehkan kepala. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati gadis berpakaian putih ini melihat saudara kembarnya terancam bahaya maut
"Tahan emosimu sebentar, Melati," ucap Dewa Arak yang tahu-tahu telah berada di sebelahnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Kang?" tanya Melati dengan suara penuh perasan heran.
"Dia menipuku, Melati," sahut Arya pelan. "Sungguh tidak kusangka kalau dia akan berbuat selicik itu."
"Jangan harap kau akan mati enak kalau kau melukainya, Keparat!" desis Melati penuh ancaman. Sementara sepasang matanya menatap tajam penuh amarah.
"He he he...," orang bertopeng tertawa terkekeh. "Aku berjanji tidak akan melukainya, asal kau bersedia memenuhi permintaanku!"
"Keparat busuk! Katakan apa permintaanmu!" sambut Melati dengan wajah merah padam. "Ingat, kalau kau berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan Untuk membunuhmu!"
"Mudah saja, Wanita Liar!"
Melati menggeram. Gadis berpakaian putih ini memang paling tidak suka bila dimaki seperti itu. Tapi kini apa dayanya? Orang bertopeng itu menyandera saudara kembarnya!
"Keparat! Katakan cepat apa maumu!" sergah Melati keras.
"Bebaskan kawanku! Dan aku berjanji akan membebaskan temanmu ini!" jawab orang bertopeng, keras.
"Apa jaminannya kalau kau tidak akan mengingkari janji?" ejek Melati sambil tetap menempelkan ujung pedang di leher laki-laki bertubuh pendek kekar.
Sementara Dewa Arak mengawasinya. "Kehormatanku sebagai datuk jaminannya!" tegas orang bertopeng itu tegas.
"Hmh..., siapa percaya bualanmu?!"
"Alap-Alap Bukit Gantar bukanlah seorang pengecut. Aku tidak akan menjilat ludahku sendiri yang telah jatuh ke tanah dengan mengingkari janji!"
Baru saja Melati hendak membuka mulut, Dewa Arak sudah menyentuh tangannya. "Bebaskan lawanmu, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya pelan tapi bernada memerintah.
"Tapi, Kang.... Bagaimana kalau dia ingkar janji?" ucap Melati dengan perasaan cemas. Suaranya tidak segarang tadi, tapi pelan penuh kekhawatiran.
Arya tersenyum lebar seraya menggelengkan kepala. "Seorang datuk mempunyai harga diri, Melati. Harga diri bagi seorang datuk lebih berharga daripada nyawa. Aku percaya pada janji Alap-Alap Bukit Gantar. Bebaskan orang itu, Melati."
Dewa Arak mengucapkannya dengan suara agak keras. Dan itu memang disengajanya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermaksud mengikat orang bertopeng yang mengaku berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar dengan janji yang diucapkannya sendiri. Walaupun sebenarnya Arya sendiri yakin kalau tanpa disindir pun orang bertopeng itu akan memenuhi janjinya.
Kini Melati tidak membantah lagi. Todongan ujung pedangnya segera dilepaskan. "Minggatlah kau, Keparat!" hardik gadis berpakaian putih itu dengan perasaan geram.
Sepasang mata yang berada di baiik topeng harimau terlihat memancarkan sinar berapi. Jelas makian Melati membuat kemarahannya bergolak. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bertubuh pendek kekar itu bangkit berdiri. Kemudian berjalan menuju ke arah rekannya.
Melihat Melati telah membebaskan temannya, orang bertopeng segera memenuhi janjinya. Terbukti, todongan pada Mawar juga dilepaskan. Kemudian didorongnya tubuh gadis itu dengan keras sampai hampir jatuh tersungkur.
"Jahanam!"
Melati memekik keras. Hampir saja gadis berpakaian putih itu melompat ke arah orang bertopeng. Tapi, untung saja Arya cepat mencekal tangannya.
"Melati...!"
Mawar menghambur ke arah saudara kembarnya. Dan kembali dua saudara kembar yang baru bertemu setelah sekian lamanya berpisah, berpelukan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Melati," ucap gadis .berpakaian merah itu, pelan.
"Lupakanlah, Mawar," sahut Melati cepat "Di antara saudara tidak ada istilah pertolongan."
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan," ucap Arya setelah melihat hari sudah mulai panas karena matahari sudah berada di atas kepala.
Melati dan Mawar pun teringat kembali pada tujuan perjalanan mereka semula. Sesaat sepasang mata mereka memandang berkeliling.
"Kedua orang itu sudah pergi," ucap Arya seperti mengetahui pandangan mereka.
Melati dan Mawar mengangguk-anggukkan kepala. "Siapakah mereka sebenarnya, Kang Arya?" tanya Melati. "Dan mengapa mereka memusuhi kita?"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu, Melati. Tapi, orang yang menyandera Mawar menyebut dirinya Alap-Alap Bukit Gantar. Hhh...l Kau pernah berurusan dengan mereka, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Mendengarnya pun baru kali ini, Kang."
Arya mengernyitkan dahinya. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Sudahlah, Kang. Lebih baik kita lupakan dulu masalah itu. Sekarang, yang penting menemui orang tuaku dulu," ujar Melati menasihati.
Pemuda berambut putih keperakan itu pun mengangkat bahu. Tapi, dituruti juga saran tunangannya.
***
"Ayah...!" panggil Mawar begitu memasuki pintu pagar.
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian hitam, yang tengah duduk di bangku teras segera bangkit Lalu bergegas melangkah ke arah Mawar.
"Mari, Melati...," ajak Mawar pada saudara kembarnya, seraya menarik tangan gadis berpakaian putih itu menyambut ayahnya.
Di tengah-tengah halaman yang cukup luas, ayah dan anak itu berpelukan.
"Dari mana saja kamu, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam sambil melepaskan pelukan.
Mawar kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpanya secara singkat
"Ini ayahku, Melati," ucap Melati memperkenalkan laki-laki setengah baya yang berdiri di hadapannya.
Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. Diam-diam gadis berpakaian putih ini merasa kecewa melihat orang yang diperkenalkan Mawar sebagai ayah gadis itu, yang berarti adalah ayahnya juga.
"Inikah ayahnya?" ucap gadis berpakaian putih itu dalam hati. Sungguh berbeda jauh dengan apa yang dibayangkannya semula.
Semula Melati membayangkan akan bertemu dengan seorang laki-laki bertubuh tegap, berwajah gagah, dengan rambut yang telah memutih sebagian. Tapi ternyata yang dilihatnya adalah seorang laki-laki setengah baya, bertubuh agak kurus, berwajah tirus. Sepasang matanya selalu berputar liar. Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
"Ayah..., lihat siapa yang kubawa...?" ucap Mawar pada laki-laki setengah baya berpakaian hitam yang sejak tadi memperhatikan Melati tanpa berkedip.
Sepasang matanya membelalak lebar. Seolah-olah tak percaya pada apa yang dilihatnya. Berkali-kali sepasang matanya menatap Mawar dan Melati bergantian.
"Tidak salahkah penglihatanku, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara yang bergetar. Berkali-kali tangannya mengucek-ucek matanya. Jelas kalau laki-laki berwajah tirus ini merasa ragu dengan apa yang dilihatnya. "Kau dengan gadis itu seperti pinang dibelah dua."
"Dia adalah saudara kembarku, Ayah...," jawab Mawar dengan senyum mengembang.
"Ya, Tuhan...! Jadi..., dia Delima...?" Laki-laki berpakaian hitam itu berseru tak percaya.
Mawar menganggukkan kepalanya.
"Delima..., Anakku...!" laki-laki setengah baya berpakaian hitam itu memanggil dengan suara berdesah.
Perlahan-lahan kakinya melangkah maju dengan kedua tangan terkembang.
"A..., Ayah...?!" sahut Melati dengan suara serak.
Terasa kaku panggilan yang keluar dari mulut gadis berpakaian putih itu. Karena sejak kecil dia tak pernah mengenai orang yang pantas dipanggilnya ayah. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mengapa ayahnya tidak seperti yang dibayangkan, tapi tak urung ada keharuan yang menyeruak di hati Melati. Biar bagaimanapun juga laki-laki di hadapannya ini adalah ayahnya. Ayah kandungnya!
Tak pelak lagi, ayah dan anak yang telah sekian belas tahun berpisah ini saling berpelukan erat
"Delima.,., Anakku...," ucap laki-laki berpakaian hitam itu setengah berdesah. Diusap-usapnya rambut gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"A..., Ayah...!" suara Melati serak
Sepasangnya matanya merembang berkaca-kaca. Bahkan ada dua tetes air bening yang mengalir di pipi yang putih, halus dan mulus itu.
Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu saling berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama belasan tahun. Bahkan kedua bahu Melati tampak berguncang-guncang.
Sementara Arya dan Mawar hanya diam terpaku memperhatikan saja semua kejadian itu.
"O ya, Ayah. Mana ibu?" tanya Melati seraya menghapus air bening yang bergulir di kedua pipinya.
Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan. "Ada di dalam," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi, tunggu dulu, Delima. Siapa pemuda gagah itu...?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menudingkan telunjuknya pada Dewa Arak yang tengah menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan perasaan haru. Hatinya terasa diremas-remas. Karena peristiwa ini mengingatkan pemuda itu pada kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
Melati terjingkat kaget bagai dipatuk ular berbisa mendengar ucapan itu. Baru gadis berpakaian putih ini teringat pada tunangannya. Kontan kepalanya ditolehkan, dan langsung menggapai tangan Arya.
Tanpa berkata apa-apa, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah maju. Dia sama sekali tidak marah atau tersinggung meskipun beberapa kali seperti tidak dipedulikan Melati. Arya tahu, tunangannya sama sekali tidak bermaksud mengacuhkannya. Gadis itu melupakannya karena terlalu larut dalam ketegangan dan kegembiraan yang memuncak. Dan Dewa Arak memakluminya.
"Ini teman akrabku, Ayah," ucap Melati memperkenalkan Arya begitu pemuda itu berada di sebelahnya.
Wajah gadis berpakaian serba putih ini nampak memerah ketika memperkenalkan Arya pada ayahnya.
"Aku Arya Buana, Paman," ujar Dewa Arak menyebut namanya sambil mengulurkan tangan.
"Palungga," laki-laki berpakaian hitam menyambut uluran tangan Arya. Kemudian digenggam erat-erat.
"Dia bukan orang sembarangan, Ayah," kembali Melati membuka suara. "Dia adalah seorang pendekar sakti yang terkenal."
"O, ya? Hebat sekali!" laki-laki berwajah tirus yang ternyata bernama Palungga itu terkejut "Siapakah kau, Anak Muda? Barangkali aku pernah mendengar julukanmu?"
Wajah Arya seketika memerah. Tapi kali ini tidak seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menegur tunangannya. Biasanya pemuda ini selalu menegur Melati bila memperkenalkan julukannya. Tapi kali ini tidak Arya tidak ingin merusak kebahagiaan tunangannya.
"Dia berjuluk Dewa Arak," ada nada bangga, baik dalam suara maupun wajah Melati sewaktu mengatakannya.
"Ah.„!" wajah Palungga berubah hebat "Jadi..., diakah pemuda yang menggemparkan dunia persilatan itu, Delima?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda," desah laki-laki berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. "Memang tadi aku sudah menduga begitu pertama kali melihatnya.Tapi aku masih kurang yakin...."
"Tapi, sekarang Ayah percaya kan?" selak Mawar yang sejak tadi diam saja.
"Karena Delima yang mengatakan..., aku percaya." Palungga mengangguk-anggukkan kepala sambil menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau hebat, Arya," ucap laki-laki berpakaian hitam itu bernada memuji. "Semuda ini kau sudah membuat dunia persilatan gempar...."
"Ah..., berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Paman," sahut Dewa Arak merendah.
Memang begitulah sifat Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa risih bila orang memujinya.
"Ha ha ha...! Kau terlalu merendah, Arya. Tapi, itu memang bagus. Mari, mari kita masuk ke dalam."
Setengah memaksa, Palungga membawa Arya masuk ke dalam. Melati dan Mawar berjalan di belakang mereka.
Peristiwa mengharukan kembali terjadi begitu Melati bertemu dengan ibunya, seorang wanita setengah baya berpakaian hitam dan pesolek. Diam-diam gadis berpakaian putih ini tidak menyukai cara ibunya berdandan.
"Ayah..., Ibu...," ucap Melati setelah selesai menguasai perasaan. "Aku ingin tahu.., mengapa Ayah dan Ibu memberikanku pada orang lain?"
Palungga dan istrinya yang bernama Karina saling pandang. Mereka merasakan adanya tuntutan dari pertanyaan gadis berpakaian putih itu. Dan tentu saja hal itu bisa mereka maklumi.
Wajarlah bila Melati menanyakan sejarah keluarga mereka. Tapi biar bagaimanapun juga, mereka melakukan semua itu semata-mata bukan karena tidak menyukai kelahiran gadis itu.
Diam-diam Dewa Arak mengerutkan alisnya. Disayangkannya mengapa Melati bertanya dengan nada agak menuntut
"Nanti saja kita bicarakan hal itu, Melati," sahut Palungga, setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Anakku," sambung Karina pelan. "Sekarang, mari kita rayakan pertemuan yang menggembirakan ini."
"Sebuah usul yang bagus sekali, Karina," sambut Palungga penuh semangat "Kita adakan pesta kecil-kecilan untuk menyambut kembalinya anak kita yang telah hilang sekian lamanya."
"Tapi, Ayah...."
Melati menahan ucapannya karena laki-laki berpakaian hitam itu sudah bergegas melangkah ke dalam.
Diam-diam Dewa Arak merasa heran. Seperti juga Melati, pemuda berambut putih keperakan ini sedikit merasa kecewa melihat perilaku orang tua tunangannya. Gerak-gerik suami istri itu sepertinya agak liar.
Tapi Arya bersikap bijaksana. Dia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Tadi dia telah melihat sendiri kalau ilmu silat milik Mawar bukanlah ilmu-ilmu keji dan penuh kecurangan seperti ilmu yang layaknya dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam. Lagi pula tidak sedikit orang berwajah kasar dan bersikap agak liar tapi sebenarnya pendekar-pendekar pembela kebenaran, bantah Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Palungga telah kembali dengan membawa makanan dan minuman. Dengan cepat laki-laki berpakaian hitam itu menghidangkannya di atas meja. Sesaat kemudian semuanya telah siap.
"Mari, mari. Kita rayakan pertemuan ini Ayo, Arya! Silakan dicicipi hidangannya. Maaf, hanya ini yang bisa kami sediakan."
"Benar! Kedatangan kalian benar-benar di luar dugaan kami," sambung Karina pula. "Jadi, kami tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik."
"Ah...! Ini pun sudah lebih dari cukup, Paman, Bibi," sahut Arya dengan perasaan tidak enak.
Sesaat kemudian, orang tua si kembar, Melati dan Mawar serta Arya sudah sibuk menghadapi hidangan di atas meja.
Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan betapa sinar mata Palungga dan Karina berseri-seri begitu melihat mereka menyantap makanan masing-masing.
Baru separuh hidangannya dinikmati, tahu-tahu Melati memegangi keningnya.
"Kenapa, Melati?" tanya Arya yang merasa heran melihat keadaan kekasihnya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Entahlah, Kang. Mendadak saja kepalaku pusing," jawab Melati.
Arya tersentak kaget. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari kursinya. Tapi, gerakannya segera didahului oleh Karina yang bersebelahan dengan Melati. Sementara, Arya dan tunangannya itu dihalangi oleh sebuah meja.
"Mungkin pertemuan ini telah mengejutkanmu, Anakku," ucap Karina lembut "Sehingga membuatmu pusing."
Bunga api memercik tinggi ke udara begitu guci berbenturan dengan pedang pendek. Telak dan keras sekali benturan yang terjadi.
Orang bertopeng menggeram keras begitu merasakan sekujur tubuhnya bergetar hebat. Bahkan kedua tangannya pun seperti lumpuh. Dan tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
Sementara Dewa Arak hanya tergetar saja. Jelas, kalau dalam adu tenaga dalam tadi Dewa Arak masih lebih unggul ketimbang lawannya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, orang bertopeng harimau sudah kembali melancarkan serangan. Sepasang pedang pendeknya berkelebatan mencari sasaran. Tapi, Dewa Arak bukanlah lawan yang mudah dipecundangi. Sehingga pertarungan sengit pun tidak bisa dihindarkan lagi.
Kini di hutan itu terjadi dua pertarungan sengit Pertarungan antara Dewa Arak dan Melati menghadapi dua orang bertopeng harimau.
Mawar hanya dapat memperhatikan jalannya pertarungan dengan wajah gelisah. Gadis berpakaian merah ini tahu kalau keempat orang yang tengah bertarung memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atasnya.
Dan dia tidak mungkin dapat ikut campur tangan di dalamnya. Jangankan untuk ikut bertarung, memperhatikan jalannya pertarungan saja kepalanya sudah terasa pening bukan main.
Melati menggertakkan gigi. Gadis berpakaian putih ini penasaran bukan main setelah sekian lama bertarung dia tidak mampu merobohkan lawan. Dan sebagai akibatnya, permainan pedangnya kian dahsyat. Rupanya Melati sudah tidak segan-segan mengeluarkan jurus-jurus andalan dari 'Ilmu Pedang Seribu Naga'.
Orang bertopeng bertubuh pendek kekar terkejut bukan main melihat permainan pedang Melati mendadak berubah dahsyat
Laki-laki bertubuh pendek kekar ini pun tahu kalau lawan telah mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Beberapa jurus kemudian, akhirnya dia mulai terdesak.
'Ilmu Pedang Seribu Naga' yang dimiliki Melati memang sebuah ilmu pedang yang luar biasa. Ilmu pedang itu terdiri dari tiga puluh enam jurus. Dan tiap-tiap jurus terdiri dari tiga sampai tujuh gerakan. Delapan dari tiga puluh enam jurus itu merupakan jurus-jurus andalan. Dan jurus-jurus inilah yang kini digunakan Melati untuk mendesak lawannya.
Kini orang bertopeng itu hanya bisa bertahan dan mengelak. Hanya sesekali saja dia sempat balas menyerang. Amukan serangan gadis berpakaian putih itu membuatnya sukar untuk melancarkan serangan balasan.
Bukan hanya Melati saja yang berhasil mendesak lawan. Dewa Arak pun, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti'nya perlahan-lahan mulai dapat mendesak lawannya.
Hanya saja beberapa kali sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini melancarkan serangan, dengan gerakan yang luar biasa, orang bertopeng harimau mampu mengelak. Diam-¬diam Arya terpaksa mengakui kalau ilmu meringankan tubuh lawan tidak berada di bawahnya.
Suatu keuntungan buat orang bertopeng itu karena Dewa Arak sedapat mungkin berusaha tidak menjatuhkan tangan maut padanya. Dan sedikit banyak, ini justru menambah berat tugas Arya. Lawan yang dihadapinya bukan lawan ringan. Lebih mudah menjatuhkan tangan maut ketimbang merobohkannya tanpa luka yang terlalu parah.
Hal itulah yang menyebabkan Dewa Arak agak lama menjatuhkan lawannya. Padahal pemuda berambut putih keperakan ini memiliki banyak keunggulan dibanding lawannya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun mutu ilmu silat
Melatilah yang lebih dulu mendesak lawan. Karena gadis berpakaian putih ini memang tidak segan-segan menjatuhkan serangan maut pada lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Disertai pekikan nyaring, Melati melompat cepat ke arah lawan seraya menusukkan pedang ke arah dada. Cepat bukan main gerakan itu. Apalagi serangan itu dilancarkan pada saat laki-laki bertubuh pendek kekar baru saja mengelakkan sebuah serangan.
Meskipun begitu, orang bertopeng itu mencoba menyelamatkan selembar nyawanya. Dengan sebisa-bisanya dia mencoba mengelak.Tapi....
Cappp!
Ujung pedang Melati menancap telak di pangkal lengan kiri orang bertopeng harimau itu. Rupanya usaha terakhir laki-laki bertubuh pendek kekar itu berhasil juga menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Meskipun usahanya tidak berhasil sepenuhnya.
Terdengar jerit kesakitan dari mulut laki-laki bertubuh pendek kekar, seiring dengan mengalirnya cairan merah kental dari luka di pangkal lengannya.
Melati tidak mau memberi kesempatan lagi. Cepat laksana kilat pedangnya kembali menyambar. Dan repotlah orang bertopeng itu pontang-panting menyelamatkan diri.
Orang bertopeng yang satunya lagi rupanya tahu bahaya besar yang mengancam rekannya. Maka seketika itu juga sepasang pedang pendek di tangannya meluncur bertubi-¬tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. Menilik dari serangannya yang lebih mementingkan penyerangan daripada pertahanan, Arya tahu kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa.
Tentu saja Dewa Arak tidak mau meladeni. Cepat dia bergerak mengelak. Kali ini rupanya Arya tertipu. Laki-laki bertubuh kekar itu ternyata sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Begitu melihat Dewa Arak mengelak dengan menggulingkan tubuhnya, dia pun segera melompat cepat ke arah.... Mawar!
"Hup!"
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa, dan tanpa gadis berpakaian merah itu sempat berbuat sesuatu, orang bertopeng sudah berada di belakangnya. Dan langsung menodongkan dua ujung pedang pendeknya di leher gadis itu.
"Perempuan liar! Hentikan! Atau..., kau ingin aku menggorok leher wanita ini!" teriak orang bertopeng, keras.
Sepasang matanya menatap ke arah Melati yang tinggal melakukan serangan terakhir pada laki-laki bertubuh pendek kekar yang sudah tergolek tidak berdaya di tanah. Ujung pedang Melati berada di lehernya.
Mendengar bentakan bemada penuh ancaman, Melati cepat menolehkan kepala. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati gadis berpakaian putih ini melihat saudara kembarnya terancam bahaya maut
"Tahan emosimu sebentar, Melati," ucap Dewa Arak yang tahu-tahu telah berada di sebelahnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Kang?" tanya Melati dengan suara penuh perasan heran.
"Dia menipuku, Melati," sahut Arya pelan. "Sungguh tidak kusangka kalau dia akan berbuat selicik itu."
"Jangan harap kau akan mati enak kalau kau melukainya, Keparat!" desis Melati penuh ancaman. Sementara sepasang matanya menatap tajam penuh amarah.
"He he he...," orang bertopeng tertawa terkekeh. "Aku berjanji tidak akan melukainya, asal kau bersedia memenuhi permintaanku!"
"Keparat busuk! Katakan apa permintaanmu!" sambut Melati dengan wajah merah padam. "Ingat, kalau kau berbuat macam-macam, aku tidak segan-segan Untuk membunuhmu!"
"Mudah saja, Wanita Liar!"
Melati menggeram. Gadis berpakaian putih ini memang paling tidak suka bila dimaki seperti itu. Tapi kini apa dayanya? Orang bertopeng itu menyandera saudara kembarnya!
"Keparat! Katakan cepat apa maumu!" sergah Melati keras.
"Bebaskan kawanku! Dan aku berjanji akan membebaskan temanmu ini!" jawab orang bertopeng, keras.
"Apa jaminannya kalau kau tidak akan mengingkari janji?" ejek Melati sambil tetap menempelkan ujung pedang di leher laki-laki bertubuh pendek kekar.
Sementara Dewa Arak mengawasinya. "Kehormatanku sebagai datuk jaminannya!" tegas orang bertopeng itu tegas.
"Hmh..., siapa percaya bualanmu?!"
"Alap-Alap Bukit Gantar bukanlah seorang pengecut. Aku tidak akan menjilat ludahku sendiri yang telah jatuh ke tanah dengan mengingkari janji!"
Baru saja Melati hendak membuka mulut, Dewa Arak sudah menyentuh tangannya. "Bebaskan lawanmu, Melati," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya pelan tapi bernada memerintah.
"Tapi, Kang.... Bagaimana kalau dia ingkar janji?" ucap Melati dengan perasaan cemas. Suaranya tidak segarang tadi, tapi pelan penuh kekhawatiran.
Arya tersenyum lebar seraya menggelengkan kepala. "Seorang datuk mempunyai harga diri, Melati. Harga diri bagi seorang datuk lebih berharga daripada nyawa. Aku percaya pada janji Alap-Alap Bukit Gantar. Bebaskan orang itu, Melati."
Dewa Arak mengucapkannya dengan suara agak keras. Dan itu memang disengajanya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermaksud mengikat orang bertopeng yang mengaku berjuluk Alap-Alap Bukit Gantar dengan janji yang diucapkannya sendiri. Walaupun sebenarnya Arya sendiri yakin kalau tanpa disindir pun orang bertopeng itu akan memenuhi janjinya.
Kini Melati tidak membantah lagi. Todongan ujung pedangnya segera dilepaskan. "Minggatlah kau, Keparat!" hardik gadis berpakaian putih itu dengan perasaan geram.
Sepasang mata yang berada di baiik topeng harimau terlihat memancarkan sinar berapi. Jelas makian Melati membuat kemarahannya bergolak. Tanpa berkata apa-apa lagi, laki-laki bertubuh pendek kekar itu bangkit berdiri. Kemudian berjalan menuju ke arah rekannya.
Melihat Melati telah membebaskan temannya, orang bertopeng segera memenuhi janjinya. Terbukti, todongan pada Mawar juga dilepaskan. Kemudian didorongnya tubuh gadis itu dengan keras sampai hampir jatuh tersungkur.
"Jahanam!"
Melati memekik keras. Hampir saja gadis berpakaian putih itu melompat ke arah orang bertopeng. Tapi, untung saja Arya cepat mencekal tangannya.
"Melati...!"
Mawar menghambur ke arah saudara kembarnya. Dan kembali dua saudara kembar yang baru bertemu setelah sekian lamanya berpisah, berpelukan.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Melati," ucap gadis .berpakaian merah itu, pelan.
"Lupakanlah, Mawar," sahut Melati cepat "Di antara saudara tidak ada istilah pertolongan."
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan," ucap Arya setelah melihat hari sudah mulai panas karena matahari sudah berada di atas kepala.
Melati dan Mawar pun teringat kembali pada tujuan perjalanan mereka semula. Sesaat sepasang mata mereka memandang berkeliling.
"Kedua orang itu sudah pergi," ucap Arya seperti mengetahui pandangan mereka.
Melati dan Mawar mengangguk-anggukkan kepala. "Siapakah mereka sebenarnya, Kang Arya?" tanya Melati. "Dan mengapa mereka memusuhi kita?"
Pemuda berambut putih keperakan itu mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu, Melati. Tapi, orang yang menyandera Mawar menyebut dirinya Alap-Alap Bukit Gantar. Hhh...l Kau pernah berurusan dengan mereka, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Mendengarnya pun baru kali ini, Kang."
Arya mengernyitkan dahinya. Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Sudahlah, Kang. Lebih baik kita lupakan dulu masalah itu. Sekarang, yang penting menemui orang tuaku dulu," ujar Melati menasihati.
Pemuda berambut putih keperakan itu pun mengangkat bahu. Tapi, dituruti juga saran tunangannya.
***
"Ayah...!" panggil Mawar begitu memasuki pintu pagar.
Seorang laki-laki setengah baya berpakaian hitam, yang tengah duduk di bangku teras segera bangkit Lalu bergegas melangkah ke arah Mawar.
"Mari, Melati...," ajak Mawar pada saudara kembarnya, seraya menarik tangan gadis berpakaian putih itu menyambut ayahnya.
Di tengah-tengah halaman yang cukup luas, ayah dan anak itu berpelukan.
"Dari mana saja kamu, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam sambil melepaskan pelukan.
Mawar kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpanya secara singkat
"Ini ayahku, Melati," ucap Melati memperkenalkan laki-laki setengah baya yang berdiri di hadapannya.
Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. Diam-diam gadis berpakaian putih ini merasa kecewa melihat orang yang diperkenalkan Mawar sebagai ayah gadis itu, yang berarti adalah ayahnya juga.
"Inikah ayahnya?" ucap gadis berpakaian putih itu dalam hati. Sungguh berbeda jauh dengan apa yang dibayangkannya semula.
Semula Melati membayangkan akan bertemu dengan seorang laki-laki bertubuh tegap, berwajah gagah, dengan rambut yang telah memutih sebagian. Tapi ternyata yang dilihatnya adalah seorang laki-laki setengah baya, bertubuh agak kurus, berwajah tirus. Sepasang matanya selalu berputar liar. Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
"Ayah..., lihat siapa yang kubawa...?" ucap Mawar pada laki-laki setengah baya berpakaian hitam yang sejak tadi memperhatikan Melati tanpa berkedip.
Sepasang matanya membelalak lebar. Seolah-olah tak percaya pada apa yang dilihatnya. Berkali-kali sepasang matanya menatap Mawar dan Melati bergantian.
"Tidak salahkah penglihatanku, Mawar?" tanya laki-laki berpakaian hitam itu dengan suara yang bergetar. Berkali-kali tangannya mengucek-ucek matanya. Jelas kalau laki-laki berwajah tirus ini merasa ragu dengan apa yang dilihatnya. "Kau dengan gadis itu seperti pinang dibelah dua."
"Dia adalah saudara kembarku, Ayah...," jawab Mawar dengan senyum mengembang.
"Ya, Tuhan...! Jadi..., dia Delima...?" Laki-laki berpakaian hitam itu berseru tak percaya.
Mawar menganggukkan kepalanya.
"Delima..., Anakku...!" laki-laki setengah baya berpakaian hitam itu memanggil dengan suara berdesah.
Perlahan-lahan kakinya melangkah maju dengan kedua tangan terkembang.
"A..., Ayah...?!" sahut Melati dengan suara serak.
Terasa kaku panggilan yang keluar dari mulut gadis berpakaian putih itu. Karena sejak kecil dia tak pernah mengenai orang yang pantas dipanggilnya ayah. Meskipun ada sedikit kekecewaan, mengapa ayahnya tidak seperti yang dibayangkan, tapi tak urung ada keharuan yang menyeruak di hati Melati. Biar bagaimanapun juga laki-laki di hadapannya ini adalah ayahnya. Ayah kandungnya!
Tak pelak lagi, ayah dan anak yang telah sekian belas tahun berpisah ini saling berpelukan erat
"Delima.,., Anakku...," ucap laki-laki berpakaian hitam itu setengah berdesah. Diusap-usapnya rambut gadis berpakaian putih itu penuh kasih sayang.
"A..., Ayah...!" suara Melati serak
Sepasangnya matanya merembang berkaca-kaca. Bahkan ada dua tetes air bening yang mengalir di pipi yang putih, halus dan mulus itu.
Beberapa saat lamanya ayah dan anak itu saling berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama belasan tahun. Bahkan kedua bahu Melati tampak berguncang-guncang.
Sementara Arya dan Mawar hanya diam terpaku memperhatikan saja semua kejadian itu.
"O ya, Ayah. Mana ibu?" tanya Melati seraya menghapus air bening yang bergulir di kedua pipinya.
Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan. "Ada di dalam," sahut laki-laki berwajah tirus itu. "Tapi, tunggu dulu, Delima. Siapa pemuda gagah itu...?"
Sambil berkata demikian, laki-laki berpakaian hitam itu menudingkan telunjuknya pada Dewa Arak yang tengah menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan perasaan haru. Hatinya terasa diremas-remas. Karena peristiwa ini mengingatkan pemuda itu pada kedua orang tuanya yang kini telah tiada.
Melati terjingkat kaget bagai dipatuk ular berbisa mendengar ucapan itu. Baru gadis berpakaian putih ini teringat pada tunangannya. Kontan kepalanya ditolehkan, dan langsung menggapai tangan Arya.
Tanpa berkata apa-apa, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah maju. Dia sama sekali tidak marah atau tersinggung meskipun beberapa kali seperti tidak dipedulikan Melati. Arya tahu, tunangannya sama sekali tidak bermaksud mengacuhkannya. Gadis itu melupakannya karena terlalu larut dalam ketegangan dan kegembiraan yang memuncak. Dan Dewa Arak memakluminya.
"Ini teman akrabku, Ayah," ucap Melati memperkenalkan Arya begitu pemuda itu berada di sebelahnya.
Wajah gadis berpakaian serba putih ini nampak memerah ketika memperkenalkan Arya pada ayahnya.
"Aku Arya Buana, Paman," ujar Dewa Arak menyebut namanya sambil mengulurkan tangan.
"Palungga," laki-laki berpakaian hitam menyambut uluran tangan Arya. Kemudian digenggam erat-erat.
"Dia bukan orang sembarangan, Ayah," kembali Melati membuka suara. "Dia adalah seorang pendekar sakti yang terkenal."
"O, ya? Hebat sekali!" laki-laki berwajah tirus yang ternyata bernama Palungga itu terkejut "Siapakah kau, Anak Muda? Barangkali aku pernah mendengar julukanmu?"
Wajah Arya seketika memerah. Tapi kali ini tidak seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan ini tidak menegur tunangannya. Biasanya pemuda ini selalu menegur Melati bila memperkenalkan julukannya. Tapi kali ini tidak Arya tidak ingin merusak kebahagiaan tunangannya.
"Dia berjuluk Dewa Arak," ada nada bangga, baik dalam suara maupun wajah Melati sewaktu mengatakannya.
"Ah.„!" wajah Palungga berubah hebat "Jadi..., diakah pemuda yang menggemparkan dunia persilatan itu, Delima?"
Melati menganggukkan kepalanya.
"Sungguh tidak kusangka kalau orangnya masih begini muda," desah laki-laki berpakaian hitam itu seperti tidak percaya. "Memang tadi aku sudah menduga begitu pertama kali melihatnya.Tapi aku masih kurang yakin...."
"Tapi, sekarang Ayah percaya kan?" selak Mawar yang sejak tadi diam saja.
"Karena Delima yang mengatakan..., aku percaya." Palungga mengangguk-anggukkan kepala sambil menepuk-nepuk bahu Arya.
"Kau hebat, Arya," ucap laki-laki berpakaian hitam itu bernada memuji. "Semuda ini kau sudah membuat dunia persilatan gempar...."
"Ah..., berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Paman," sahut Dewa Arak merendah.
Memang begitulah sifat Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa risih bila orang memujinya.
"Ha ha ha...! Kau terlalu merendah, Arya. Tapi, itu memang bagus. Mari, mari kita masuk ke dalam."
Setengah memaksa, Palungga membawa Arya masuk ke dalam. Melati dan Mawar berjalan di belakang mereka.
Peristiwa mengharukan kembali terjadi begitu Melati bertemu dengan ibunya, seorang wanita setengah baya berpakaian hitam dan pesolek. Diam-diam gadis berpakaian putih ini tidak menyukai cara ibunya berdandan.
"Ayah..., Ibu...," ucap Melati setelah selesai menguasai perasaan. "Aku ingin tahu.., mengapa Ayah dan Ibu memberikanku pada orang lain?"
Palungga dan istrinya yang bernama Karina saling pandang. Mereka merasakan adanya tuntutan dari pertanyaan gadis berpakaian putih itu. Dan tentu saja hal itu bisa mereka maklumi.
Wajarlah bila Melati menanyakan sejarah keluarga mereka. Tapi biar bagaimanapun juga, mereka melakukan semua itu semata-mata bukan karena tidak menyukai kelahiran gadis itu.
Diam-diam Dewa Arak mengerutkan alisnya. Disayangkannya mengapa Melati bertanya dengan nada agak menuntut
"Nanti saja kita bicarakan hal itu, Melati," sahut Palungga, setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Anakku," sambung Karina pelan. "Sekarang, mari kita rayakan pertemuan yang menggembirakan ini."
"Sebuah usul yang bagus sekali, Karina," sambut Palungga penuh semangat "Kita adakan pesta kecil-kecilan untuk menyambut kembalinya anak kita yang telah hilang sekian lamanya."
"Tapi, Ayah...."
Melati menahan ucapannya karena laki-laki berpakaian hitam itu sudah bergegas melangkah ke dalam.
Diam-diam Dewa Arak merasa heran. Seperti juga Melati, pemuda berambut putih keperakan ini sedikit merasa kecewa melihat perilaku orang tua tunangannya. Gerak-gerik suami istri itu sepertinya agak liar.
Tapi Arya bersikap bijaksana. Dia tidak mau mempermasalahkan hal itu. Tadi dia telah melihat sendiri kalau ilmu silat milik Mawar bukanlah ilmu-ilmu keji dan penuh kecurangan seperti ilmu yang layaknya dimiliki tokoh-tokoh aliran hitam. Lagi pula tidak sedikit orang berwajah kasar dan bersikap agak liar tapi sebenarnya pendekar-pendekar pembela kebenaran, bantah Arya dalam hati.
Tak lama kemudian, Palungga telah kembali dengan membawa makanan dan minuman. Dengan cepat laki-laki berpakaian hitam itu menghidangkannya di atas meja. Sesaat kemudian semuanya telah siap.
"Mari, mari. Kita rayakan pertemuan ini Ayo, Arya! Silakan dicicipi hidangannya. Maaf, hanya ini yang bisa kami sediakan."
"Benar! Kedatangan kalian benar-benar di luar dugaan kami," sambung Karina pula. "Jadi, kami tidak bisa menyediakan hidangan yang lebih baik."
"Ah...! Ini pun sudah lebih dari cukup, Paman, Bibi," sahut Arya dengan perasaan tidak enak.
Sesaat kemudian, orang tua si kembar, Melati dan Mawar serta Arya sudah sibuk menghadapi hidangan di atas meja.
Arya dan Melati sama sekali tidak memperhatikan betapa sinar mata Palungga dan Karina berseri-seri begitu melihat mereka menyantap makanan masing-masing.
Baru separuh hidangannya dinikmati, tahu-tahu Melati memegangi keningnya.
"Kenapa, Melati?" tanya Arya yang merasa heran melihat keadaan kekasihnya.
Gadis berpakaian putih itu menggelengkan kepala. "Entahlah, Kang. Mendadak saja kepalaku pusing," jawab Melati.
Arya tersentak kaget. Bergegas pemuda berambut putih keperakan ini bangkit dari kursinya. Tapi, gerakannya segera didahului oleh Karina yang bersebelahan dengan Melati. Sementara, Arya dan tunangannya itu dihalangi oleh sebuah meja.
"Mungkin pertemuan ini telah mengejutkanmu, Anakku," ucap Karina lembut "Sehingga membuatmu pusing."
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment