"Hanya dadaku saja yang agak sesak sedikit Si wajah kera itu memang lihai bukan main. Kalau saja tidak ada dirimu...."
"Sudahlah, Kang...," selak Kami cepat.
"Grrrh...!" terdengar gerengan murka Raksasa Rimba Neraka.
Seratus dua puluh lima jurus telah berlalu, tapi kakek raksasa itu tidak juga mampu mendesak Dewa Arak. Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu andalannya telah digunakan. Bahkan sebaliknya, malah dia yang terdesak.
Kini terpaksa Raksasa Rimba Neraka menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang menghadapi jurus ini, Dewa Arak kebingungan. Ilmu 'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini. Posisi lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot bukan main. Sulit baginya untuk menjatuhkan serangan.
Setiap serangan Dewa Arak selalu berhadapan dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh dan kuat. Sebaliknya setiap serangan kaki raksasa itu, membuatnya repot bukan main. Perlahan namun pasti Dewa Arak terdesak.
Tapi walaupun terdesak, pikiran Dewa Arak bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawan-lawan tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau tidak ada ilmu yang sempurna. Semua ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak sibuk berpikir untuk melumpuhkan ilmu lawan yang aneh ini.
Selama dua puluh jurus kemudian, Dewa Arak hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang. Karena memang tidak bisa menyarangkan serangan satu pun.
"Hait...!"
Sambil berteriak nyaring, Raksasa Rimba Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya bergerak menggunting kaki Arya.
"Hup...!"
Dewa Arak melompat ke belakang. Sehingga guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat kosong. Dan begitu tubuhnya berada di udara, Arya menghentakkan kedua tangannya. Dengan jurus 'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang jarang dipergunakan, Arya mengirimkan serangan.
Wuuusss...!
Blarrrr...!
Pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian, Dewa Arak terus mencecar raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya hanya bisa berguling-gulingan menghindari serangan yang dahsyat itu!
Serentetan angin pukulan berhawa panas, menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka. Kakek raksasa ini kaget bukan main. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya, kemudian berguling-guling menjauh.
Blarrrr...!
Tak pelak lagi pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga berlubang besar. Namun demikian, Dewa Arak tidak membiarkan lawannya lolos. Segera dicecarnya si raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.
Suara menggelegar terdengar bertubi-tubi, setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil mengelakkan serangan Dewa Arak. Kini keadaan jadi berbalik, karena Raksasa Rimba Neraka tidak memperoleh kesempatan membalas.
Kakek bertubuh raksasa itu menggeram. Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus, dia akan tewas di tangan lawannya. Maka pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan tubuhnya ke atas sambil mengirimkan serangan pukulan jarak jauh.
Suara meledak-ledak terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan hal itu, segera membanting tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu, Arya melepaskan 'Pukulan Belalang'-nya.
Wuusss...!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan ngeri dari mulut Raksasa Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak telak menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa tombak.
Brukkk...!
Disertai suara berdebuk keras, tubuh itu jatuh ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan main. Jurus 'Pukulan Belalang' yang biasanya langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu menewaskannya.
Walaupun dengan tertatih-tatih, kakek bertubuh raksasa itu berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya nampak hitam hangus.
Dewa Arak terperangah juga melihat kekuatan Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya lagi jurus 'Pukulan Belalang'-nya!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Diiringi jeritan menyayat hati, tubuh Raksasa Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa saat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, sebelum akhirnya jatuh ke tanah menimbulkan suara berdebuk keras. Dan seiring jatuhnya tubuh kakek raksasa itu di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raganya.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, dan Kami bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba Neraka. Bergidik hati mereka melihat sekujur tubuh si raksasa itu yang tewas dalam keadaan mengerikan, hangus seperti terbakar.
"Hei...! Ke mana dia...?"
Sapta yang lebih dulu tersadar karena ingin meminta maaf, merupakan orang pertama yang menyadari kalau Dewa Arak telah tidak ada lagi di situ.
Karuan saja ucapan Sapta membuat kaget Pengemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Aku, Sapta meminta maaf padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu kemarin malam...!"
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta berdiri diam menunggu. Sayup-sayup di telinga pemuda berhidung melengkung itu terdengar bisikan lirih, yang dikirimkan dari jarak jauh.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sapta. Aku tahu kau tidak bersalah. Semua itu hanya salah paham saja. Lupakanlah...!"
Seketika wajah Sapta berseri-seri.
"Ada apa, Kang? Mengapa kelihatan gembira sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan keingintahuannya.
"Dewa Arak memang seorang pendekar sejati...," puji Sapta.
"Maksudmu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah. Agak tertahan suaranya.
"Dia sama sekali tidak menyalahkan aku, atas peristiwa yang terjadi kemarin malam...."
"Sudah kuduga...," desah kakek kurus kering.
Sementara itu nun jauh di sana, orang yang mereka percakapkan, tengah melangkah perlahan menyusuri jalan. Sesekali, arak dalam guci yang digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongannya.
Dewa Arak terus melangkahkan kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan selaku seorang pendekar. Nah, para pembaca yang budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak selanjutnya.
SELESAI
"Sudahlah, Kang...," selak Kami cepat.
"Grrrh...!" terdengar gerengan murka Raksasa Rimba Neraka.
Seratus dua puluh lima jurus telah berlalu, tapi kakek raksasa itu tidak juga mampu mendesak Dewa Arak. Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu andalannya telah digunakan. Bahkan sebaliknya, malah dia yang terdesak.
Kini terpaksa Raksasa Rimba Neraka menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang menghadapi jurus ini, Dewa Arak kebingungan. Ilmu 'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini. Posisi lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot bukan main. Sulit baginya untuk menjatuhkan serangan.
Setiap serangan Dewa Arak selalu berhadapan dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh dan kuat. Sebaliknya setiap serangan kaki raksasa itu, membuatnya repot bukan main. Perlahan namun pasti Dewa Arak terdesak.
Tapi walaupun terdesak, pikiran Dewa Arak bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawan-lawan tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau tidak ada ilmu yang sempurna. Semua ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak sibuk berpikir untuk melumpuhkan ilmu lawan yang aneh ini.
Selama dua puluh jurus kemudian, Dewa Arak hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang. Karena memang tidak bisa menyarangkan serangan satu pun.
"Hait...!"
Sambil berteriak nyaring, Raksasa Rimba Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya bergerak menggunting kaki Arya.
"Hup...!"
Dewa Arak melompat ke belakang. Sehingga guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat kosong. Dan begitu tubuhnya berada di udara, Arya menghentakkan kedua tangannya. Dengan jurus 'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang jarang dipergunakan, Arya mengirimkan serangan.
Wuuusss...!
Blarrrr...!
Pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian, Dewa Arak terus mencecar raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya hanya bisa berguling-gulingan menghindari serangan yang dahsyat itu!
Serentetan angin pukulan berhawa panas, menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka. Kakek raksasa ini kaget bukan main. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya, kemudian berguling-guling menjauh.
Blarrrr...!
Tak pelak lagi pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga berlubang besar. Namun demikian, Dewa Arak tidak membiarkan lawannya lolos. Segera dicecarnya si raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.
Suara menggelegar terdengar bertubi-tubi, setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil mengelakkan serangan Dewa Arak. Kini keadaan jadi berbalik, karena Raksasa Rimba Neraka tidak memperoleh kesempatan membalas.
Kakek bertubuh raksasa itu menggeram. Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus, dia akan tewas di tangan lawannya. Maka pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan tubuhnya ke atas sambil mengirimkan serangan pukulan jarak jauh.
Suara meledak-ledak terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan hal itu, segera membanting tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu, Arya melepaskan 'Pukulan Belalang'-nya.
Wuusss...!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan ngeri dari mulut Raksasa Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak telak menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa tombak.
Brukkk...!
Disertai suara berdebuk keras, tubuh itu jatuh ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan main. Jurus 'Pukulan Belalang' yang biasanya langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu menewaskannya.
Walaupun dengan tertatih-tatih, kakek bertubuh raksasa itu berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya nampak hitam hangus.
Dewa Arak terperangah juga melihat kekuatan Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya lagi jurus 'Pukulan Belalang'-nya!
Bresss...!
"Aaakh...!"
Diiringi jeritan menyayat hati, tubuh Raksasa Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa saat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, sebelum akhirnya jatuh ke tanah menimbulkan suara berdebuk keras. Dan seiring jatuhnya tubuh kakek raksasa itu di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan raganya.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, dan Kami bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba Neraka. Bergidik hati mereka melihat sekujur tubuh si raksasa itu yang tewas dalam keadaan mengerikan, hangus seperti terbakar.
"Hei...! Ke mana dia...?"
Sapta yang lebih dulu tersadar karena ingin meminta maaf, merupakan orang pertama yang menyadari kalau Dewa Arak telah tidak ada lagi di situ.
Karuan saja ucapan Sapta membuat kaget Pengemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Aku, Sapta meminta maaf padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu kemarin malam...!"
Suara yang dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta berdiri diam menunggu. Sayup-sayup di telinga pemuda berhidung melengkung itu terdengar bisikan lirih, yang dikirimkan dari jarak jauh.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sapta. Aku tahu kau tidak bersalah. Semua itu hanya salah paham saja. Lupakanlah...!"
Seketika wajah Sapta berseri-seri.
"Ada apa, Kang? Mengapa kelihatan gembira sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan keingintahuannya.
"Dewa Arak memang seorang pendekar sejati...," puji Sapta.
"Maksudmu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah. Agak tertahan suaranya.
"Dia sama sekali tidak menyalahkan aku, atas peristiwa yang terjadi kemarin malam...."
"Sudah kuduga...," desah kakek kurus kering.
Sementara itu nun jauh di sana, orang yang mereka percakapkan, tengah melangkah perlahan menyusuri jalan. Sesekali, arak dalam guci yang digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongannya.
Dewa Arak terus melangkahkan kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan selaku seorang pendekar. Nah, para pembaca yang budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak selanjutnya.
SELESAI
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment