"Auuunggg...!"
Lolongan anjing hutan terdengar menggaung panjang, membuat suasana malam yang sudah menyeramkan, menjadi semakin seram. Dalam suasana malam yang agak gelap itu, nampak sesosok bayangan kuning berkelebat. Dan menilik dari gerakannya, bisa diketahui kalau bayangan kuning ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Sosok bayangan kuning itu berlari terus dengan kecepatan tinggi. Ketika kebetulan cahaya sinar obor menjilat wajahnya, tampak kalau sosok bayangan kuning itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, dan wajahnya kecil mirip wajah seekor tikus. Kumisnya hitam dan jarang-jarang.
Si wajah tikus itu baru memperlambat langkahnya ketika mendekati sebuah bangunan besar yang berhalaman luas. Pagar yang terbuat dari kayu bulat yang kokoh kuat mengelilingi bangunan itu. Di atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal yang berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang berbunyi
"Perguruan Naga Api"
Kakek berwajah tirus itu menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang perguruan yang tertutup rapat itu. Perlahan-lahan diketuknya pintu gerbang itu.
Tok..! Tok...!
Kelihatannya pelan saja kakek itu mengetuk, tapi, akibatnya cukup dahsyat. Seolah-olah pintu gerbang dari jati tebal itu digedor oleh balok kayu yang besar. Dan karuan saja suara berisik itu membuat para murid Perguruan Naga Api yang tengah bertugas jaga, berlarian mendekati pintu gerbang.
"Buka pintu gerbang...!" perintah salah seorang dari mereka yang bercambang bauk lebat.
"Tapi, Kang Somali," bantah seorang yang bertahi lalat besar di pipinya. "Bagaimana kalau orang yang mengetuk itu tidak bermaksud baik?"
Si cambang bauk lebat yang bernama Somali menatap tajam pada orang yang menyatakan dugaan itu.
"Tidak mungkin, Adi Prawira! Kalau orang itu bermaksud tidak baik, tak mungkin datang terang-terangan begitu."
Orang yang dipanggil Prawira mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda menerima alasan Somali. Segera Prawira melangkah maju. Diangkatnya palang kayu yang mengunci pintu gerbang itu, kemudian baru ditariknya daun pintu gerbang itu.
Kriiittt... !
Suara bergerit tajam terdengar mengiringi terbukanya pintu gerbang itu.
"Ah...! Kiranya Ki Temula...!" kata Prawira kaget. "Silakan masuk, Ki!"
Kakek berwajah tirus yang dipanggil Ki Temula hanya tersenyum. Kemudian dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Begitu kakek itu masuk, Prawira segera menutup pintu kembali.
"Apakah Adi Gayadi ada?" tanya Ki Temula, seraya memalingkan wajah ke arah Somali.
"Ada, Ki. Guru ada di dalam," jawab Somali.
"Apakah Aki ada keperluan dengan Guru?"
"Benar!" sahut kakek berwajah tirus itu singkat.
"Kalau begitu, mari kuantar untuk menemui beliau!"
Setelah berkata demikian, Somali segera bergerak melangkah mendahului. Ki Temula pun mengikutinya Sementara para murid yang tengah mendapat giliran jaga, kembali pada tugasnya masing-masing.
Ki Temula memang sahabat kental Ketua Perguruan Naga Api. Sering mereka mengadakan pertemuan. Kadang-kadang di Perguruan Naga Api, dan sesekali di perguruan yang dipimpin Ki Temula ini. Tidak jarang pula, di hutan-hutan sunyi, atau di puncak-puncak gunung. Sehingga bukan merupakan hal yang mengejutkan kalau malam ini kakek berwajah tirus itu datang berkunjung.
Somali mengantarkan Ki Temula sampai di depan sebuah bangunan, tempat Ki Gayadi biasa bersemadi. Biar ada peristiwa penting apa pun, biasanya Somali tidak akan berani memberitahukan pada gurunya, bila tengah bersemadi. Tapi, kedatangan Ki Temula merupakan suatu pengecualian.
Tok... ! Tok... !
Somali menunggu sejenak sehabis mengetuk daun pintu pondok kecil itu.
"Siapa?!"
Terdengar sahutan dari dalam pondok itu. Nadanya terdengar agak kasar, seperti orang yang merasa terganggu.
"Aku, Guru..!" sambut Somali cepat.
"Siapa?!" Kian keras suara dari dalam pondok itu.
"Somali, Guru."
"Hm.... Ada keperluan apa sehingga kau berani membangunkan aku, Somali?!"
Somali menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Hatinya memang merasa tidak enak juga, karena telah mengganggu ketenangan semadi gurunya.
"Aku mengantarkan Ki Temula yang ingin bertemu guru.... "
Hening sejenak, setelah si cambang bauk itu menyelesaikan perkataannya. Tidak ada suara sahutan yang terdengar dari dalam pondok. Somali dan Ki Temula menanti.
Kriiittt.. !
Terdengar suara bergerit agak nyaring, disusul terbukanya pintu pondok kecil itu. Nampak di balik pintu itu berdiri sesosok tubuh pendek gemuk berwajah cerah, penuh senyum. Usianya paling banyak enam puluh tahun. Kakek inilah yang bernama Ki Gayadi, Ketua Perguruan Naga Api.
"Ha ha ha... ! Kakang Temula, mari.... Silakan masuk, Kakang," ucap Ki Gayadi mempersilakan. Senyum lebar tersungging di wajahnya yang penuh keceriaan.
"Terima kasih, Adi Gayadi," sambut kakek berwajah tirus itu sambil melangkah masuk ke dalam.
Begitu Ki Temula telah melangkah masuk, Ki Gayadi kembali menutup pintu pondoknya.
Somali yang tahu diri sudah lebih dahulu pergi, setelah memberi penghormatan pada kedua orang tua itu.
"Urusan apa yang membawa Kakang ke sini? Ataukah ada perubahan rencana pada pertemuan kita tiga purnama mendatang?" tanya Ki Gayadi begitu menjatuhkan tubuh, duduk bersila di depan tamunya.
Memang, kakek pendek gemuk ini merasa heran melihat kedatangan Ki Temula yang tidak diduga-duga itu.
Kakek berwajah tirus itu menundukkan kepalanya sebentar. "Memang, aku mempunyai keperluan padamu, Adi Gayadi Makanya, malam-malam begini kupaksakan datang menemuimu."
"Kalau boleh kutahu, apa keperluan itu, Kang?"
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat Ki Temula menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss...!
Ki Gayadi terkejut bukan main. Serangan itu datangnya terlalu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka. Apalagi, Ketua Perguruan Naga Api ini tengah duduk bersila dan tidak bersikap waspada. Bahkan jarak antara mereka terlalu dekat. Maka, walaupun kakek bertubuh pendek gemuk ini berusaha mengelak, tetap saja terlambat!
Bresss... !
"Aaakh...!"
Ki Gayadi berteriak keras memilukan. Pukulan jarak jauh itu telak dan kerasnya menghantam perutnya. Seketika itu juga tubuh kakek pendek gendut itu lerlempar jauh ke belakang menabrak dinding pondok yang terbuat dari papan.
Brak... !
Seketika itu juga dinding papan itu jebol, terlanda tubuh laki-laki tua Ketua Perguruan Naga Api.
Brukkk.. !
Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh Ketua Perguruan Naga Api itu jatuh ke tanah.
"Huakkk. .!"
Segumpal cairan kental berwarna merah keluar dari mulut kakek pendek gemuk yang berusaha bangkit dari terbaringnya.
"Hup...!"
Ki Temula melompat keluar, menyusul tubuh Ketua Perguruan Naga Api yang tergolek di sana. Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di tanah, di depan Ki Gayadi.
Laki-laki tua pendek gemuk itu berusaha bangkit, tapi luka dalam yang dideritanya terlalu parah, sehingga tak mampu berdiri. Pukulan yang dilepaskan Ki Temula memang hebat sekali, karena disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Seluruh tulang-belulangnya seolah-olah hancur berantakan semuanya.
"Pergilah ke neraka, Gayadi...!" dengus Ki Temula. Dingin dan datar suaranya. Dan tiba-tiba saja kakinya bergerak menyepak.
Prak... !
"Aaakh...!"
Ki Gayadi memekik tertahan. Kepala kakek pendek gemuk ini pecah ketika kaki Ki Temula telak menghantamnya. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
"Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat Ketua Perguruan Naga Api itu tewas. Sama sekali tidak dipedulikan derap langkah kaki yang menuju ke tempatnya berdiri.
Memang suara jebolnya dinding papan itu telah didengar murid-murid Perguruan Naga Api. Mereka segera memburu ke arah asal suara itu.
"Guru...!" teriak Somali keras.
Laki-laki bercambang bauk ini memang merupakan satu-satunya orang yang paling dekat jaraknya dari tempat gurunya terbantai. Memang, ruang semadi Ki Gayadi letaknya agak terpisah dari bangunan lainnya, tapi Somali saat itu tidak jauh dari situ.
Sepasang mata Somali menatap penuh rasa tidak percaya, pada sosok tubuh yang tergolek di tanah. Kemudian tatapannya berpindah pada Ki Temula yang tengah tertawa terbahak-bahak.
Ki Temula menghentikan tawanya ketika melihat kehadiran Somali. Sepasang matanya nampak beringas, memandang pemuda bercambang bauk lebat itu. Tapi Somali sama sekali tidak gentar. Kematian gurunya di tangan kakek kecil kurus yang berdiri di hadapannya ini, benar-benar membuatnya terpukul. Jelas, ini terjadi Akibat keteledorannya.
"Keparat.. ! Kau harus mengganti nyawa guruku dengan nyawamu!"
Srat.. !
Somali mencabut pedangnya, lalu....
"Heyaaat..!"
Didahului sebuah pekik melengking nyaring, pemuda bercambang bauk lebat ini melompat menerjang Ki Temula. Pedangnya diputar-putarkannya di atas kepala sebelum dibabatkannya ke leher kakek pembunuh gurunya itu.
Singgg... !
Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang itu. Namun Ki Temula hanya mendengus.
"Susullah arwah gurumu ke neraka, manusia dungu...!" desis laki-laki berwajah tirus itu tajam. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, diulurkan tangan kanannya.
Tappp... !
Dengan sigap, pedang Somali ditangkap laki-laki tua berwajah tirus itu. Dan sebelum pemuda itu berbuat sesuatu, Ki Temula cepat menariknya. Tentu saja Somali yang tidak ingin pedangnya terebut, berusaha menahan sekuat tenaga.
Tapi ternyata tenaganya kalah kuat. Apalagi tubuhnya sendiri saat itu tengah berada di udara. Maka tak pelak lagi, tubuhnya ikut tertarik oleh tenaga lawan. Pada saat tubuh Somali mendekat, dengan cepat, Ki Temula menyodokkan ujung pedang ke perut Somali,
Ceppp...!
"Aaakh...!"
Somali menjerit ngeri. Gagang pedang itu tembus hingga ke punggungnya. Memang hebat tenaga dalam kakek itu. Dalam posisi terbalik, pedang itu mampu menembus perut pemuda bercambang bauk lebat itu.
Tapi, daya tahan tubuh Somali patut dipuji. Meskipun luka-luka yang diderita parah, dia masih mampu bertahan. Padahal, kedua kakinya tampak menggigil keras. Tentu saja hal ini membuat Ki Temula jadi kehilangan kesabarannya. Maka tangannya pun terayun menampar ke arah pipi.
Prak... !
Terdengar suara berderak keras ketika kepala pemuda bercambang bauk itu pecah terhantam tangan laki-laki tua itu. Tanpa sempat mengeluh lagi tubuh Somali terjerembab jatuh.
Tepat saat tubuh Somali ambruk, murid-murid Perguruan Naga Api yang lain pun tiba. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat dua sosok tubuh yang tergeletak di tanah. Berkat sinar obor yang terpancang di sudut rumah, mereka dapat melihat jelas dua sosok tubuh yang tergeletak diam tidak bergerak itu.
"Guru...!" teriak mereka berbareng.
Beberapa saat lamanya berpasang-pasang mata terpaku menatap tak percaya sosok tubuh yang tergolek di tanah. Melihat kesempatan yang baik itu, Ki Temula tidak menyia-nyiakannya.
"Hup...!"
Kakek kecil kurus berwajah tirus ini segera melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah berjarak sepuluh tombak dari tempat semula. Melihat Ki Temula melarikan diri, para murid perguruan itu pun tersadar.
"Pembunuh keparat itu kabur...!" teriak Prawira.
"Kejar...!" sambut yang lain.
Tak pelak lagi, sebagian besar dari mereka berlari mengejar Ki Temula. Sementara sisanya menghampiri mayat Ki Gayadi dan Somali. Mereka segera mengangkat tubuh-tubuh yang telah kaku itu ke ruang utama perguruan.
Sementara itu, sepertinya Prawira dan beberapa murid perguruan tak mampu mengejar Ki Temula. Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah tirus itu berada jauh di atas mereka. Maka, tanpa mengalami kesulitan kakek itu berhasil melompati pagar dari kayu bulat dan kuat yang mengelilingi bangunan besar berhalaman luas itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Ki Temula mendarat ringan di tanah. Dan sekali tubuh kakek ini melesat, tubuhnya pun lenyap ditelan kegetapan malam.
"Keparat..!" maki Prawira yang kalang kabut melihat buronannya berhasil kabur dari situ.
Beberapa saat lamanya, Prawira dan murid-murid lainnya menatap ke arah kepergian Ki Temula. Wajah mereka menyiratkan perasaan dendam dan kemarahan yang amat sangat. Beberapa saat kemudian, dengan langkah bergegas mereka semua melesat ke ruang utama perguruan tempat Ki Gayadi dan Somali dibaringkan.
"Bagaimana, Kakang Branta?" tanya Prawira pada seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun.
Napas pemuda bertahi lalat besar ini agak memburu. Orang yang dipanggil Branta tersenyum getir.
"Beliau telah tewas...," sahut Branta lirih.
"Keparat..!" Prawira berteriak keras. "Keparat kau. Ki Temula! Tunggulah pembalasanku...!"
"Tutup mulutmu, Prawira...!" bentak Branta keras.
Seketika sepasang mata Branta tampak berkilat penuh kemarahan ketika menatap wajah adik seperguruannya itu. Memang, di Perguruan Naga Api hanya tinggal satu orang murid kepala, yaitu Branta. Sementara murid tingkat dua ada dua orang, yaitu Somali dan Prawira.
Sebenarnya, masih ada tokoh yang terhitung sesepuh di Perguruan Naga Api. Dia adalah kakak seperguruan Ki Gayadi yang bernama Ki Santa. Hanya sayangnya beliau jarang ikut campur dalam urusan perguruan. Kakek itu lebih suka bersemadi dan menyepi.
Mendengar bentakan Branta, Prawira langsung melengak kaget. "Mengapa, Kang?! Tidak bolehkah aku membalas dendam pada orang yang membunuh Guru secara licik itu?!" sergah pemuda Itu. Ada nada penasaran dalam suaranya.
Branta menatap Prawira tajam, tapi yang ditatap malah membalas tidak kalah tajamnya pula. Beberapa saat lamanya kedua pasang mata itu saling tatap.
"Hhh...!"
Setelah Branta menghela napas panjang, dialihkan pandangannya dari Prawira. Dia tahu kalau diteruskan mungkin tidak akan bisa menahan diri. Dan ucapan Prawira yang berani menentangnya secara jelas di depan murid-murid lainnya membuat amarahnya bangkit.
Hanya saja, Branta tidak ingin menambah suasana yang sudah rusuh ini menjadi semakin rusuh oleh keributan dengan Prawira. Maka, walaupun dadanya terasa sesak oleh hawa amarah yang membakar. Branta tetap menyabarkan hatinya.
Dialihkan pandangannya pada wajah adik-adik seperguruan yang lain. Sudah bisa diduga kalau di wajah mereka tersirat adanya ketidak puasan pada sikapnya yang membentak Prawira.
"Kuharap kalian semua bisa menahan diri, dan jangan mudah terpancing oleh peristiwa ini. Yang paling penting bagi kalian adalah berpikir secara jernih. Buanglah jauh-jauh perasaan amarah yang melanda hati kalian," ujar Branta menenangkan adik-adik seperguruannya.
"Kakang. Guru telah dibunuh orang! Dan sekarang kau menyuruh kami bersabar?! Bahkan melarang kami untuk membalas dendam. Murid macam apa kau ini?!" sergah Prawira keras.
"Jaga mulutmu, Prawira! Redakan amarahmu! Bukan hanya kau saja yang terpukul dan dendam atas kematian Guru!" tegas Branta.
Prawira pun terdiam. Disadari kebenaran ucapan kakak seperguruannya ini. Tapi amarah yang berkobar di dalam dada, membuatnya menuduh kehati-hatian kakak seperguruannya itu, sebagai sikap pengecut!
Hanya saja, perasaan segan pada kakak seperguruannya, memaksanya untuk diam, dan tidak membantah lagi. Dia bertekad akan membalaskan dendam ini secara diam-diam.
"Sudahlah... ! Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang yang penting, uruslah mayat-mayat ini," ucap Branta lagi mengalihkan persoalan.
Pemuda bermata sayu ini sudah merasa lega melihat usahanya meredakan amarah Prawira telah berhasil. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya Prawira masih sangat penasaran, dan bertekad akan mencari pembunuh gurunya itu.
Setelah berkata demikian, Branta lalu mengangkat mayat gurunya dan membawanya masuk ke dalam. Prawira pun mengikutinya sambil memanggul tubuh Somali.
***
Lolongan anjing hutan terdengar menggaung panjang, membuat suasana malam yang sudah menyeramkan, menjadi semakin seram. Dalam suasana malam yang agak gelap itu, nampak sesosok bayangan kuning berkelebat. Dan menilik dari gerakannya, bisa diketahui kalau bayangan kuning ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Sosok bayangan kuning itu berlari terus dengan kecepatan tinggi. Ketika kebetulan cahaya sinar obor menjilat wajahnya, tampak kalau sosok bayangan kuning itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kecil kurus, dan wajahnya kecil mirip wajah seekor tikus. Kumisnya hitam dan jarang-jarang.
Si wajah tikus itu baru memperlambat langkahnya ketika mendekati sebuah bangunan besar yang berhalaman luas. Pagar yang terbuat dari kayu bulat yang kokoh kuat mengelilingi bangunan itu. Di atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal yang berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang berbunyi
"Perguruan Naga Api"
Kakek berwajah tirus itu menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang perguruan yang tertutup rapat itu. Perlahan-lahan diketuknya pintu gerbang itu.
Tok..! Tok...!
Kelihatannya pelan saja kakek itu mengetuk, tapi, akibatnya cukup dahsyat. Seolah-olah pintu gerbang dari jati tebal itu digedor oleh balok kayu yang besar. Dan karuan saja suara berisik itu membuat para murid Perguruan Naga Api yang tengah bertugas jaga, berlarian mendekati pintu gerbang.
"Buka pintu gerbang...!" perintah salah seorang dari mereka yang bercambang bauk lebat.
"Tapi, Kang Somali," bantah seorang yang bertahi lalat besar di pipinya. "Bagaimana kalau orang yang mengetuk itu tidak bermaksud baik?"
Si cambang bauk lebat yang bernama Somali menatap tajam pada orang yang menyatakan dugaan itu.
"Tidak mungkin, Adi Prawira! Kalau orang itu bermaksud tidak baik, tak mungkin datang terang-terangan begitu."
Orang yang dipanggil Prawira mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda menerima alasan Somali. Segera Prawira melangkah maju. Diangkatnya palang kayu yang mengunci pintu gerbang itu, kemudian baru ditariknya daun pintu gerbang itu.
Kriiittt... !
Suara bergerit tajam terdengar mengiringi terbukanya pintu gerbang itu.
"Ah...! Kiranya Ki Temula...!" kata Prawira kaget. "Silakan masuk, Ki!"
Kakek berwajah tirus yang dipanggil Ki Temula hanya tersenyum. Kemudian dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Begitu kakek itu masuk, Prawira segera menutup pintu kembali.
"Apakah Adi Gayadi ada?" tanya Ki Temula, seraya memalingkan wajah ke arah Somali.
"Ada, Ki. Guru ada di dalam," jawab Somali.
"Apakah Aki ada keperluan dengan Guru?"
"Benar!" sahut kakek berwajah tirus itu singkat.
"Kalau begitu, mari kuantar untuk menemui beliau!"
Setelah berkata demikian, Somali segera bergerak melangkah mendahului. Ki Temula pun mengikutinya Sementara para murid yang tengah mendapat giliran jaga, kembali pada tugasnya masing-masing.
Ki Temula memang sahabat kental Ketua Perguruan Naga Api. Sering mereka mengadakan pertemuan. Kadang-kadang di Perguruan Naga Api, dan sesekali di perguruan yang dipimpin Ki Temula ini. Tidak jarang pula, di hutan-hutan sunyi, atau di puncak-puncak gunung. Sehingga bukan merupakan hal yang mengejutkan kalau malam ini kakek berwajah tirus itu datang berkunjung.
Somali mengantarkan Ki Temula sampai di depan sebuah bangunan, tempat Ki Gayadi biasa bersemadi. Biar ada peristiwa penting apa pun, biasanya Somali tidak akan berani memberitahukan pada gurunya, bila tengah bersemadi. Tapi, kedatangan Ki Temula merupakan suatu pengecualian.
Tok... ! Tok... !
Somali menunggu sejenak sehabis mengetuk daun pintu pondok kecil itu.
"Siapa?!"
Terdengar sahutan dari dalam pondok itu. Nadanya terdengar agak kasar, seperti orang yang merasa terganggu.
"Aku, Guru..!" sambut Somali cepat.
"Siapa?!" Kian keras suara dari dalam pondok itu.
"Somali, Guru."
"Hm.... Ada keperluan apa sehingga kau berani membangunkan aku, Somali?!"
Somali menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Hatinya memang merasa tidak enak juga, karena telah mengganggu ketenangan semadi gurunya.
"Aku mengantarkan Ki Temula yang ingin bertemu guru.... "
Hening sejenak, setelah si cambang bauk itu menyelesaikan perkataannya. Tidak ada suara sahutan yang terdengar dari dalam pondok. Somali dan Ki Temula menanti.
Kriiittt.. !
Terdengar suara bergerit agak nyaring, disusul terbukanya pintu pondok kecil itu. Nampak di balik pintu itu berdiri sesosok tubuh pendek gemuk berwajah cerah, penuh senyum. Usianya paling banyak enam puluh tahun. Kakek inilah yang bernama Ki Gayadi, Ketua Perguruan Naga Api.
"Ha ha ha... ! Kakang Temula, mari.... Silakan masuk, Kakang," ucap Ki Gayadi mempersilakan. Senyum lebar tersungging di wajahnya yang penuh keceriaan.
"Terima kasih, Adi Gayadi," sambut kakek berwajah tirus itu sambil melangkah masuk ke dalam.
Begitu Ki Temula telah melangkah masuk, Ki Gayadi kembali menutup pintu pondoknya.
Somali yang tahu diri sudah lebih dahulu pergi, setelah memberi penghormatan pada kedua orang tua itu.
"Urusan apa yang membawa Kakang ke sini? Ataukah ada perubahan rencana pada pertemuan kita tiga purnama mendatang?" tanya Ki Gayadi begitu menjatuhkan tubuh, duduk bersila di depan tamunya.
Memang, kakek pendek gemuk ini merasa heran melihat kedatangan Ki Temula yang tidak diduga-duga itu.
Kakek berwajah tirus itu menundukkan kepalanya sebentar. "Memang, aku mempunyai keperluan padamu, Adi Gayadi Makanya, malam-malam begini kupaksakan datang menemuimu."
"Kalau boleh kutahu, apa keperluan itu, Kang?"
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat Ki Temula menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan.
Wusss...!
Ki Gayadi terkejut bukan main. Serangan itu datangnya terlalu tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka. Apalagi, Ketua Perguruan Naga Api ini tengah duduk bersila dan tidak bersikap waspada. Bahkan jarak antara mereka terlalu dekat. Maka, walaupun kakek bertubuh pendek gemuk ini berusaha mengelak, tetap saja terlambat!
Bresss... !
"Aaakh...!"
Ki Gayadi berteriak keras memilukan. Pukulan jarak jauh itu telak dan kerasnya menghantam perutnya. Seketika itu juga tubuh kakek pendek gendut itu lerlempar jauh ke belakang menabrak dinding pondok yang terbuat dari papan.
Brak... !
Seketika itu juga dinding papan itu jebol, terlanda tubuh laki-laki tua Ketua Perguruan Naga Api.
Brukkk.. !
Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh Ketua Perguruan Naga Api itu jatuh ke tanah.
"Huakkk. .!"
Segumpal cairan kental berwarna merah keluar dari mulut kakek pendek gemuk yang berusaha bangkit dari terbaringnya.
"Hup...!"
Ki Temula melompat keluar, menyusul tubuh Ketua Perguruan Naga Api yang tergolek di sana. Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di tanah, di depan Ki Gayadi.
Laki-laki tua pendek gemuk itu berusaha bangkit, tapi luka dalam yang dideritanya terlalu parah, sehingga tak mampu berdiri. Pukulan yang dilepaskan Ki Temula memang hebat sekali, karena disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Seluruh tulang-belulangnya seolah-olah hancur berantakan semuanya.
"Pergilah ke neraka, Gayadi...!" dengus Ki Temula. Dingin dan datar suaranya. Dan tiba-tiba saja kakinya bergerak menyepak.
Prak... !
"Aaakh...!"
Ki Gayadi memekik tertahan. Kepala kakek pendek gemuk ini pecah ketika kaki Ki Temula telak menghantamnya. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
"Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat Ketua Perguruan Naga Api itu tewas. Sama sekali tidak dipedulikan derap langkah kaki yang menuju ke tempatnya berdiri.
Memang suara jebolnya dinding papan itu telah didengar murid-murid Perguruan Naga Api. Mereka segera memburu ke arah asal suara itu.
"Guru...!" teriak Somali keras.
Laki-laki bercambang bauk ini memang merupakan satu-satunya orang yang paling dekat jaraknya dari tempat gurunya terbantai. Memang, ruang semadi Ki Gayadi letaknya agak terpisah dari bangunan lainnya, tapi Somali saat itu tidak jauh dari situ.
Sepasang mata Somali menatap penuh rasa tidak percaya, pada sosok tubuh yang tergolek di tanah. Kemudian tatapannya berpindah pada Ki Temula yang tengah tertawa terbahak-bahak.
Ki Temula menghentikan tawanya ketika melihat kehadiran Somali. Sepasang matanya nampak beringas, memandang pemuda bercambang bauk lebat itu. Tapi Somali sama sekali tidak gentar. Kematian gurunya di tangan kakek kecil kurus yang berdiri di hadapannya ini, benar-benar membuatnya terpukul. Jelas, ini terjadi Akibat keteledorannya.
"Keparat.. ! Kau harus mengganti nyawa guruku dengan nyawamu!"
Srat.. !
Somali mencabut pedangnya, lalu....
"Heyaaat..!"
Didahului sebuah pekik melengking nyaring, pemuda bercambang bauk lebat ini melompat menerjang Ki Temula. Pedangnya diputar-putarkannya di atas kepala sebelum dibabatkannya ke leher kakek pembunuh gurunya itu.
Singgg... !
Suara mendesing nyaring mengawali tibanya serangan pedang itu. Namun Ki Temula hanya mendengus.
"Susullah arwah gurumu ke neraka, manusia dungu...!" desis laki-laki berwajah tirus itu tajam. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, diulurkan tangan kanannya.
Tappp... !
Dengan sigap, pedang Somali ditangkap laki-laki tua berwajah tirus itu. Dan sebelum pemuda itu berbuat sesuatu, Ki Temula cepat menariknya. Tentu saja Somali yang tidak ingin pedangnya terebut, berusaha menahan sekuat tenaga.
Tapi ternyata tenaganya kalah kuat. Apalagi tubuhnya sendiri saat itu tengah berada di udara. Maka tak pelak lagi, tubuhnya ikut tertarik oleh tenaga lawan. Pada saat tubuh Somali mendekat, dengan cepat, Ki Temula menyodokkan ujung pedang ke perut Somali,
Ceppp...!
"Aaakh...!"
Somali menjerit ngeri. Gagang pedang itu tembus hingga ke punggungnya. Memang hebat tenaga dalam kakek itu. Dalam posisi terbalik, pedang itu mampu menembus perut pemuda bercambang bauk lebat itu.
Tapi, daya tahan tubuh Somali patut dipuji. Meskipun luka-luka yang diderita parah, dia masih mampu bertahan. Padahal, kedua kakinya tampak menggigil keras. Tentu saja hal ini membuat Ki Temula jadi kehilangan kesabarannya. Maka tangannya pun terayun menampar ke arah pipi.
Prak... !
Terdengar suara berderak keras ketika kepala pemuda bercambang bauk itu pecah terhantam tangan laki-laki tua itu. Tanpa sempat mengeluh lagi tubuh Somali terjerembab jatuh.
Tepat saat tubuh Somali ambruk, murid-murid Perguruan Naga Api yang lain pun tiba. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat dua sosok tubuh yang tergeletak di tanah. Berkat sinar obor yang terpancang di sudut rumah, mereka dapat melihat jelas dua sosok tubuh yang tergeletak diam tidak bergerak itu.
"Guru...!" teriak mereka berbareng.
Beberapa saat lamanya berpasang-pasang mata terpaku menatap tak percaya sosok tubuh yang tergolek di tanah. Melihat kesempatan yang baik itu, Ki Temula tidak menyia-nyiakannya.
"Hup...!"
Kakek kecil kurus berwajah tirus ini segera melesat dari situ. Cepat bukan main gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah berjarak sepuluh tombak dari tempat semula. Melihat Ki Temula melarikan diri, para murid perguruan itu pun tersadar.
"Pembunuh keparat itu kabur...!" teriak Prawira.
"Kejar...!" sambut yang lain.
Tak pelak lagi, sebagian besar dari mereka berlari mengejar Ki Temula. Sementara sisanya menghampiri mayat Ki Gayadi dan Somali. Mereka segera mengangkat tubuh-tubuh yang telah kaku itu ke ruang utama perguruan.
Sementara itu, sepertinya Prawira dan beberapa murid perguruan tak mampu mengejar Ki Temula. Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah tirus itu berada jauh di atas mereka. Maka, tanpa mengalami kesulitan kakek itu berhasil melompati pagar dari kayu bulat dan kuat yang mengelilingi bangunan besar berhalaman luas itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Ki Temula mendarat ringan di tanah. Dan sekali tubuh kakek ini melesat, tubuhnya pun lenyap ditelan kegetapan malam.
"Keparat..!" maki Prawira yang kalang kabut melihat buronannya berhasil kabur dari situ.
Beberapa saat lamanya, Prawira dan murid-murid lainnya menatap ke arah kepergian Ki Temula. Wajah mereka menyiratkan perasaan dendam dan kemarahan yang amat sangat. Beberapa saat kemudian, dengan langkah bergegas mereka semua melesat ke ruang utama perguruan tempat Ki Gayadi dan Somali dibaringkan.
"Bagaimana, Kakang Branta?" tanya Prawira pada seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun.
Napas pemuda bertahi lalat besar ini agak memburu. Orang yang dipanggil Branta tersenyum getir.
"Beliau telah tewas...," sahut Branta lirih.
"Keparat..!" Prawira berteriak keras. "Keparat kau. Ki Temula! Tunggulah pembalasanku...!"
"Tutup mulutmu, Prawira...!" bentak Branta keras.
Seketika sepasang mata Branta tampak berkilat penuh kemarahan ketika menatap wajah adik seperguruannya itu. Memang, di Perguruan Naga Api hanya tinggal satu orang murid kepala, yaitu Branta. Sementara murid tingkat dua ada dua orang, yaitu Somali dan Prawira.
Sebenarnya, masih ada tokoh yang terhitung sesepuh di Perguruan Naga Api. Dia adalah kakak seperguruan Ki Gayadi yang bernama Ki Santa. Hanya sayangnya beliau jarang ikut campur dalam urusan perguruan. Kakek itu lebih suka bersemadi dan menyepi.
Mendengar bentakan Branta, Prawira langsung melengak kaget. "Mengapa, Kang?! Tidak bolehkah aku membalas dendam pada orang yang membunuh Guru secara licik itu?!" sergah pemuda Itu. Ada nada penasaran dalam suaranya.
Branta menatap Prawira tajam, tapi yang ditatap malah membalas tidak kalah tajamnya pula. Beberapa saat lamanya kedua pasang mata itu saling tatap.
"Hhh...!"
Setelah Branta menghela napas panjang, dialihkan pandangannya dari Prawira. Dia tahu kalau diteruskan mungkin tidak akan bisa menahan diri. Dan ucapan Prawira yang berani menentangnya secara jelas di depan murid-murid lainnya membuat amarahnya bangkit.
Hanya saja, Branta tidak ingin menambah suasana yang sudah rusuh ini menjadi semakin rusuh oleh keributan dengan Prawira. Maka, walaupun dadanya terasa sesak oleh hawa amarah yang membakar. Branta tetap menyabarkan hatinya.
Dialihkan pandangannya pada wajah adik-adik seperguruan yang lain. Sudah bisa diduga kalau di wajah mereka tersirat adanya ketidak puasan pada sikapnya yang membentak Prawira.
"Kuharap kalian semua bisa menahan diri, dan jangan mudah terpancing oleh peristiwa ini. Yang paling penting bagi kalian adalah berpikir secara jernih. Buanglah jauh-jauh perasaan amarah yang melanda hati kalian," ujar Branta menenangkan adik-adik seperguruannya.
"Kakang. Guru telah dibunuh orang! Dan sekarang kau menyuruh kami bersabar?! Bahkan melarang kami untuk membalas dendam. Murid macam apa kau ini?!" sergah Prawira keras.
"Jaga mulutmu, Prawira! Redakan amarahmu! Bukan hanya kau saja yang terpukul dan dendam atas kematian Guru!" tegas Branta.
Prawira pun terdiam. Disadari kebenaran ucapan kakak seperguruannya ini. Tapi amarah yang berkobar di dalam dada, membuatnya menuduh kehati-hatian kakak seperguruannya itu, sebagai sikap pengecut!
Hanya saja, perasaan segan pada kakak seperguruannya, memaksanya untuk diam, dan tidak membantah lagi. Dia bertekad akan membalaskan dendam ini secara diam-diam.
"Sudahlah... ! Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang yang penting, uruslah mayat-mayat ini," ucap Branta lagi mengalihkan persoalan.
Pemuda bermata sayu ini sudah merasa lega melihat usahanya meredakan amarah Prawira telah berhasil. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya Prawira masih sangat penasaran, dan bertekad akan mencari pembunuh gurunya itu.
Setelah berkata demikian, Branta lalu mengangkat mayat gurunya dan membawanya masuk ke dalam. Prawira pun mengikutinya sambil memanggul tubuh Somali.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment