Glaar... !
Kembali untuk yang kesekian kalinya halilintar menggelegar di angkasa. Beberapa saat lamanya, suasana malam yang terselimut awan hitam dan tebal sehingga menutupi bulan, menjadi terang benderang. Titik-titik hujan pun pelahan-lahan turun membasahi bumi, diiringi hembusan angin dingin membekukan tulang.
Dalam suasana malam seperti itu, rasanya orang lebih suka tinggal di dalam rumah. Tapi, tidak demikian halnya dengan sosok bayangan serba kuning yang tengah berkelebatan. Tubuhnya kecil kurus, namun gerakannya cepat bukan main.
Glarr...!
Halilintar menggelegar lagi. Untuk beberapa saat lamanya keadaan kembali menjadi terang benderang. Cahaya terang yang sekilas itu cukup untuk menerangi wajah sosok bayangan kuning yang ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan berwajah mirip tikus.
Dan ternyata tidak hanya kakek kecil kurus berpakaian kuning itu saja yang berkeliaran di malam gelap dan dingin itu. Di belakangnya juga berkelebat puluhan sosok tubuh berpakaian kuning yang bergerak gesit bukan main.
Rupanya kakek kecil kurus berpakaian kuning itu adalah pemimpin orang berseragam kuning yang mengikuti di belakangnya.
Tak lama kemudian kakek kecil kurus itu menghentikan gerakannya, dan cepat menyelinap ke batik sebatang pohon. Kepalanya ditolehkan ke belakang, melihat rombongan orang berseragam kuning yang masih berlarian agak jauh di belakang.
Sebentar kemudian, sepasang matanya dialihkan ke depan, menatap sebuah bangunan besar dan megah yang dikelilingi pagar kayu bulat yang kelihatan kokoh kuat Pada bagian atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal berukir yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, Perguruan Naga Api.
Tak lama kemudian, rombongan orang berseragam kuning itu pun tiba. Mereka pun bergerombol bersembunyi. Sementara kakek kecil kurus berpakaian kuning itu segera membalikkan tubuhnya, menghadap mereka yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang.
"Ingat! Jangan kalian bunuh semua! Sisakan satu orang, agar mengabarkan penyerbuan Kita! Kalian mengerti?!" desis kakek pakaian kuning seraya menatap tajam.
"Mengerti...!" desah mereka serempak.
"Bagus! Mari Kita mulai!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan sosok tubuh itu berkelebat cepat menuju markas Perguruan Naga Api. Sementara itu, kakek berpakaian kuning telah terlebih dulu melesat pergi.
Keadaan alam saat itu memang menguntungkan orang-orang berseragam kuning. Laksana iblis bergentayangan, mereka berkelebatan cepat mendekati sasaran.
Kakek berpakaian kuning merupakan orang pertama yang telah mendekati pintu gerbang. Cepat laksana kilat, sebelum kedua penjaga itu menyadari, tubuhnya telah melesat cepat ke arah mereka.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian panjang seketika terdengar susul-menyusul mengikuti robohnya dua sosok penjaga itu ke tanah. Karuan saja jeritan itu menyentakkan suasana yang semula hening itu.
Dan suara jeritan yang memang sudah keras, jadi bertambah keras. Seketika suasana di perguruan itu menjadi gempar.
Sesaat kemudian, dari dalam bangunan-bangunan yang terdapat dalam markas Perguruan Naga Api, berkelebatan beberapa orang yang bergerak cepat ke arah asal jeritan tadi.
Tapi, belum juga mereka mencapai tempat itu, sosok-sosok bayangan kuning berkelebatan cepat menghadang.
Di antara mereka yang berkelebat keluar, tampak Prawira dan Sentanu. Mereka nampak geram dihadang orang-orang berseragam kuning itu. Sinar lampu obor yang terpancang hampir di setiap tempat, cukup untuk menerangi halaman luas itu, sehingga mereka dapat melihat jelas orang-orang yang menghadang.
"Keparat.. ! Kalian murid-murid Perguruan Garuda Sakti...!" sentak Prawira kaget melihat orang-orang itu berseragam kuning.
Dan seketika itu juga, orang-orang berseragam kuning serentak menyerang. Maka, denting senjata beradu pun mulai menyemaraki suasana malam yang semula hening dan sunyi mencekam itu. Sesekali diselingi jerit tertahan orang yang terkena serangan lawan.
Tampak kakek berpakaian kuning dan bertubuh kecil kurus tengah mengamuk hebat. Ke mana saja tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan di situ ada tubuh yang roboh tanpa nyawa. Sehingga dalam sebentar saja, sudah lima orang tewas di tangannya.
Murid-murid Perguruan Naga Api yang kepandaian-nya jauh di bawah kakek itu, terdesak hebat. Apalagi ditambah para pengikutnya memang dalam hal jumlah tidak kalah.
Tapi banyak hal yang merugikan mereka. Salah satu di antaranya adalah ketidak-siapan dalam menghadapi lawan yang tidak disangka-sangka itu. Apalagi ketika beberapa saat kemudian, terbukti bahwa rata-rata kepandaian orang-orang Perguruan Garuda Sakti di atas mereka.
Tampak satu persatu murid Perguruan Naga Api berguguran. Apalagi yang dihadapi kini juga kakek kecil kurus berpakaian kuning. Keadaan mereka tak ubahnya semut-semut menerjang api yang langsung roboh tanpa daya.
"Keparat.. ! Temula, akulah lawanmu!"
Berbareng selesainya ucapan itu, sesosok tubuh berjubah putih masuk ke tengah arena dan langsung menerjang kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki Temula. Dia mengenal serangan yang berbahaya itu. Cepat-cepat Ki Temula melompat mundur ke belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
"Mengapa tidak sejak tadi kau keluar, Santa?!" ejek kakek berwajah tirus tajam.
Tapi si penyerang yang ternyata Ki Santa tidak mempedulikan ejekan Ki Temula, dan cepat menyerang lawannya. Amarahnya memang sudah sejak tadi berkobar-kobar, melihat banyak murid Perguruan Naga Api yang tergeletak tanpa nyawa.
Jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar naga. Tangan kanannya meluruk deras ke arah ulu hati, sementara cakar tangan kiri menempel di pergelangan tangan kanan. Posisi tangan itu ter palang di depan dada.
Ki Temula yang sudah tahu kelihaian kakek beralis putih itu, tanpa sungkan-sungkan lagi mengeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Garuda'. Ibu jari dan kelingkingnya dilipat ke dalam, membentuk cakar garuda. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dipapaknya serangan cakar itu.
Prattt !
Tubuh Ki Santa terdorong dua langkah, sementara Ki Temula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Tapi, begitu daya dorong yang membuat tubuh mereka terhuyung habis, mereka pun saling gebrak kembali.
Ki Santa bertarung bagai macan luka. Kemarahan yang amat sangat berkobar-kobar dalam hatinya. melihat satu persatu murid Perguruan Naga Api berguguran.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Kali ini terdengar dari mulut Prawira! Pemuda bertahi lalat besar ini berdiri tertatih-tatih sambil memegangi perutnya yang robek memanjang. Darah mengalir deras dari luka lewat sela-sela jarinya. Kemudian, tubuhnya roboh untuk selama-lamanya. Mati.
Gigi Ki Santa bergemeletuk menahan geram. Pilu hatinya melihat murid-muridnya terbantai di depan mata tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Maka kemarahannya pun ditumpahkan pada Ki Temula.
Namun walau kakek beralis putih ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh, Ki Santa mulai terdesak. Sampai akhirnya pada jurus ke tujuh puluh tiga, sebuah pukulan Ki Temula telak bersarang di perutnya.
"Hukh...!" keluh Ki Santa tertahan dan tubuhnya kontan terbungkuk.
Di saat itulah, kembali kaki kakek kecil kurus itu bergerak menendang.
Prak... !
Terdengar suara berderak keras ketika tendangan itu menghantam kepala Ki Santa.
"Aaakh...!"
Kakek beralis putih itu memekik tertahan. Beberapa saat lamanya tubuh Ki Santa terhuyung-huyung, sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan kepala pecah. Ki Santa tewas seketika itu juga.
"Ha ha ha...!" tawa bergelak penuh kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula.
"Bakar habis semua bangunan ini...!"
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang berseragam kuning itu melemparkan beberapa obor ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api pun mulai berkobar melahap bangunan Perguruan Naga Api.
"Ada yang berhasil meloloskan diri?" tanya kakek berpakaian kuning itu pada salah seorang anak buahnya.
"Ada, Guru," jawab orang itu.
"Bagus...! Dan kita hanya tinggal menunggu api pertempuran meletus. Sebentar lagi, Kerajaan Bojong Gading akan Kita kuasai. Bojong Gading akan dibanjiri darah!" desis kakek kecil kurus itu tajam.
"Benar, Guru...," sahut si murid membenarkan.
"Kumpulkan mereka semua cepat, dan segera pergi dari sini! Api itu akan menarik perhatian orang untuk menuju kemari! Cepat laksanakan!"
"Baik, Guru...!" sahut murid itu.
Segera kawan-kawannya diperintahkan untuk meninggalkan tempat itu. Sementara si kakek kecil kurus telah lebih dulu melesat dari situ.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di luar pagar yang mengelilingi bangunan Perguruan Naga Api. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, sebuah teguran telah menyapanya.
"Mau ke mana, Kang?"
Kakek berwajah tirus mirip tikus itu seketika mengangkat kepalanya. Di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri seorang kakek berpakaian kuning dan wajahnya mirip kuda. Siapa lagi kalau bukan Ki Matija.
"Matija...," desis kakek bertubuh kurus itu.
"Ya. Aku, Kang," desah Ki Matija pelan.
"Mau apa kau kemari, Matija?!" tanya Ki Temula.
Keras dan tajam nada suaranya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kang. Apa yang kau lakukan di Perguruan Naga Api?! Sungguh tidak kusangka kalau memang kaulah pelakunya!" tandas kakek bermuka kuda itu seraya tersenyum mengejek.
Ki Temula menghela napas panjang. "Kau salah paham, Matija. Perlu kau ketahui, aku... eh...! Matija! Awas di belakangmu...!" teriak Ki Temula kalap.
Ki Matija terkejut bukan main mendengar peringatan itu. Secepat kilat dibalikkan tubuhnya ke belakang, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi ternyata di belakangnya tidak ada apa-apa. Sadarlah Ki Matija, kalau dirinya tertipu.
Buru-buru Ki Matija berbalik, tapi terlambat! Ki Temula yang telah menemukan kesempatan, tidak menyia-nyiakannya begitu kakek muka kuda itu membalikkan tubuh. Cepat laksana Kilat, dia melompat menerjang. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya dalam penyerangan ini.
Prattt...!
"Aaakh...!"
Ki Matija memekik tertahan. Serangan Ki Temula dalam jurus 'Cakar Garuda', telah menghantam pelipisnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dengan tulang pelipis retak. Ki Matija tewas, setelah meregang nyawa sebentar. Darah segar langsung membasahi bumi.
"Ha ha ha...!"
Kembali tawa kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula. Kemudian diangkatnya tubuh kakek muka kuda itu, lalu dilemparkan ke dalam api yang tengah berkobar. Tanpa ampun lagi, tubuh wakil ketua Perguruan Garuda Sakti segera dilalap api.
Sementara Ki Temula segera melesat kabur dari situ. "Sayang waktuku tidak banyak, Matija! Kalau saja waktuku banyak, tak akan kubiarkan kau mati secara demikian enak," desah kakek berwajah tirus itu pelahan.
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Temula melesat dari situ. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
****
Sesosok bayangan ungu melesat cepat mendaki Lereng Gunung Munjul. Gerakannya gesit bukan main. Suasana malam begitu gelap, sehingga wajahnya tersembunyikan. Dan yang terlihat hanyalah sekelebat sinar ungu dan putih keperakan.
Rupanya bayangan itu menuju ruang tahanan tempat Ki Kerpala berada. Ya, dia memang menuju ruang tahanan yang lebih mirip gua itu. Langkahnya terhenti di sebuah ruang yang depannya berjeruji besi baja bulat, dan berdinding batu cadas yang amat tebal. Jelas, itu adalah ruang tahanan untuk Ki Kerpala.
Glarrrr... !
Halilintar menggelegar kembali. Sesaat sinarnya yang terang menyinari bumi. Tapi waktu yang hanya sesaat itu, sudah cukup untuk menerangi wajah bayangan ungu itu dan ruang tahanan Ki Kerpala.
"Kosong...," desis si bayangan ungu yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
Ruangan tahanan itu memang kosong, tak ada seorang pun di dalamnya. Yang ada hanya rantai-rantai baja yang berserakan di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak melesat dari situ. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, sehingga yang terlihat hanya bayangan ungu saja yang berkelebatan cepat. Dan tak lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti.
"Ki Temula ada?" tanya Arya pada murid Perguruan Garuda Sakti yang menjaga pintu gerbang.
"Ada. Silakan masuk, Dewa Arak!" ucap salah seorang di antara mereka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya melangkah masuk dengan diantar salah seorang dari dua penjaga pintu gerbang itu. Dan kini mereka tiba di ruang semadi Ki Temula. Penjaga itu lalu meninggalkan Dewa Arak. Setelah mengetuk pintu sebentar, Arya segera masuk ketika mendapat sahutan dari dalam.
"Arya! Silakan masuk," kata Ki Temula, seraya berdiri menyambut Arya.
"Aku membawa berita buruk untukmu, Ki," jelas Arya.
"Penting sekalikah berita itu, Arya? Sehingga di malam selarut ini kau datang mengunjungiku?" tanya Ki Temula begitu mereka berdua telah berada di dalam ruang semadinya.
"Sangat penting, Ki," sahut Arya cepat.
Ki Temula mengerutkan alisnya. "Hm... , urusan orang yang menyamar sebagai aku kan?" tebak kakek berwajah tirus itu.
"Benar, Ki. Dan aku telah tahu sekarang, siapa orang yang telah memfitnahmu itu!" tandas Dewa Arak.
Wajah Ki Temula berubah. Sepasang matanya menyipit merayapi wajah Dewa Arak. "Benarkah apa yang kau katakan, Arya. Yakinkah kau kalau kali ini dugaanmu tidak meleset?" tanya Ki Temula kurang yakin.
"Yakin, Ki," sahut Arya seraya menganggukkan kepalanya.
"Siapa orang itu, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu. Agak bergetar suaranya karena perasaan tegang yang melanda hatinya.
"Hhh...!" desah Dewa Arak sebelum memulai ucapannya. "Orang itu adalah..., Ki Kerpala, Ki."
"Tidak mungkin!" sentak Ki Temula. Sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan. "Tarik kembali ucapanmu, Arya! Atau... , terpaksa Kita berhadapan sebagai musuh!"
Dewa Arak menatap tajam Ki Temula. "Apakah memang sudah menjadi sifatmu untuk tidak mempercayai ucapan setiap orang, Ki?" sindir Arya tajam. "Apakah kau tidak berkeinginan untuk membuktikan kebenaran berita yang kubawa ini. Mari Kita cepat melihat ruang tahanan itu, Ki. Aku berani mempertaruhkan kepalaku seandainya ucapanku tidak benar!"
"Baik! Mari Kita melihatnya! Dan ingat, Dewa Arak. Kalau ternyata terbukti kata-katamu itu tidak benar. Enyahlah kau dari sini, dan jangan injak tempatku lagi!"
"Baik! Mari Kita buktikan! Cepat, sebelum dia kembali lagi ke sana!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak melesat Cepat bukan main gerakannya. Ki Temula tentu tak mau kalah. Tubuhnya berkelebat cepat menyusul Dewa Arak yang telah melesat lebih dulu.
***
Kembali untuk yang kesekian kalinya halilintar menggelegar di angkasa. Beberapa saat lamanya, suasana malam yang terselimut awan hitam dan tebal sehingga menutupi bulan, menjadi terang benderang. Titik-titik hujan pun pelahan-lahan turun membasahi bumi, diiringi hembusan angin dingin membekukan tulang.
Dalam suasana malam seperti itu, rasanya orang lebih suka tinggal di dalam rumah. Tapi, tidak demikian halnya dengan sosok bayangan serba kuning yang tengah berkelebatan. Tubuhnya kecil kurus, namun gerakannya cepat bukan main.
Glarr...!
Halilintar menggelegar lagi. Untuk beberapa saat lamanya keadaan kembali menjadi terang benderang. Cahaya terang yang sekilas itu cukup untuk menerangi wajah sosok bayangan kuning yang ternyata seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan berwajah mirip tikus.
Dan ternyata tidak hanya kakek kecil kurus berpakaian kuning itu saja yang berkeliaran di malam gelap dan dingin itu. Di belakangnya juga berkelebat puluhan sosok tubuh berpakaian kuning yang bergerak gesit bukan main.
Rupanya kakek kecil kurus berpakaian kuning itu adalah pemimpin orang berseragam kuning yang mengikuti di belakangnya.
Tak lama kemudian kakek kecil kurus itu menghentikan gerakannya, dan cepat menyelinap ke batik sebatang pohon. Kepalanya ditolehkan ke belakang, melihat rombongan orang berseragam kuning yang masih berlarian agak jauh di belakang.
Sebentar kemudian, sepasang matanya dialihkan ke depan, menatap sebuah bangunan besar dan megah yang dikelilingi pagar kayu bulat yang kelihatan kokoh kuat Pada bagian atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal berukir yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, Perguruan Naga Api.
Tak lama kemudian, rombongan orang berseragam kuning itu pun tiba. Mereka pun bergerombol bersembunyi. Sementara kakek kecil kurus berpakaian kuning itu segera membalikkan tubuhnya, menghadap mereka yang jumlahnya tak kurang dari tiga puluh orang.
"Ingat! Jangan kalian bunuh semua! Sisakan satu orang, agar mengabarkan penyerbuan Kita! Kalian mengerti?!" desis kakek pakaian kuning seraya menatap tajam.
"Mengerti...!" desah mereka serempak.
"Bagus! Mari Kita mulai!"
Tanpa diperintah dua kali, puluhan sosok tubuh itu berkelebat cepat menuju markas Perguruan Naga Api. Sementara itu, kakek berpakaian kuning telah terlebih dulu melesat pergi.
Keadaan alam saat itu memang menguntungkan orang-orang berseragam kuning. Laksana iblis bergentayangan, mereka berkelebatan cepat mendekati sasaran.
Kakek berpakaian kuning merupakan orang pertama yang telah mendekati pintu gerbang. Cepat laksana kilat, sebelum kedua penjaga itu menyadari, tubuhnya telah melesat cepat ke arah mereka.
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian panjang seketika terdengar susul-menyusul mengikuti robohnya dua sosok penjaga itu ke tanah. Karuan saja jeritan itu menyentakkan suasana yang semula hening itu.
Dan suara jeritan yang memang sudah keras, jadi bertambah keras. Seketika suasana di perguruan itu menjadi gempar.
Sesaat kemudian, dari dalam bangunan-bangunan yang terdapat dalam markas Perguruan Naga Api, berkelebatan beberapa orang yang bergerak cepat ke arah asal jeritan tadi.
Tapi, belum juga mereka mencapai tempat itu, sosok-sosok bayangan kuning berkelebatan cepat menghadang.
Di antara mereka yang berkelebat keluar, tampak Prawira dan Sentanu. Mereka nampak geram dihadang orang-orang berseragam kuning itu. Sinar lampu obor yang terpancang hampir di setiap tempat, cukup untuk menerangi halaman luas itu, sehingga mereka dapat melihat jelas orang-orang yang menghadang.
"Keparat.. ! Kalian murid-murid Perguruan Garuda Sakti...!" sentak Prawira kaget melihat orang-orang itu berseragam kuning.
Dan seketika itu juga, orang-orang berseragam kuning serentak menyerang. Maka, denting senjata beradu pun mulai menyemaraki suasana malam yang semula hening dan sunyi mencekam itu. Sesekali diselingi jerit tertahan orang yang terkena serangan lawan.
Tampak kakek berpakaian kuning dan bertubuh kecil kurus tengah mengamuk hebat. Ke mana saja tangan atau kakinya bergerak, sudah dapat dipastikan di situ ada tubuh yang roboh tanpa nyawa. Sehingga dalam sebentar saja, sudah lima orang tewas di tangannya.
Murid-murid Perguruan Naga Api yang kepandaian-nya jauh di bawah kakek itu, terdesak hebat. Apalagi ditambah para pengikutnya memang dalam hal jumlah tidak kalah.
Tapi banyak hal yang merugikan mereka. Salah satu di antaranya adalah ketidak-siapan dalam menghadapi lawan yang tidak disangka-sangka itu. Apalagi ketika beberapa saat kemudian, terbukti bahwa rata-rata kepandaian orang-orang Perguruan Garuda Sakti di atas mereka.
Tampak satu persatu murid Perguruan Naga Api berguguran. Apalagi yang dihadapi kini juga kakek kecil kurus berpakaian kuning. Keadaan mereka tak ubahnya semut-semut menerjang api yang langsung roboh tanpa daya.
"Keparat.. ! Temula, akulah lawanmu!"
Berbareng selesainya ucapan itu, sesosok tubuh berjubah putih masuk ke tengah arena dan langsung menerjang kakek berpakaian kuning yang ternyata Ki Temula. Dia mengenal serangan yang berbahaya itu. Cepat-cepat Ki Temula melompat mundur ke belakang, sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
"Mengapa tidak sejak tadi kau keluar, Santa?!" ejek kakek berwajah tirus tajam.
Tapi si penyerang yang ternyata Ki Santa tidak mempedulikan ejekan Ki Temula, dan cepat menyerang lawannya. Amarahnya memang sudah sejak tadi berkobar-kobar, melihat banyak murid Perguruan Naga Api yang tergeletak tanpa nyawa.
Jari-jari tangannya terkembang membentuk cakar naga. Tangan kanannya meluruk deras ke arah ulu hati, sementara cakar tangan kiri menempel di pergelangan tangan kanan. Posisi tangan itu ter palang di depan dada.
Ki Temula yang sudah tahu kelihaian kakek beralis putih itu, tanpa sungkan-sungkan lagi mengeluarkan ilmu andalannya. 'Cakar Garuda'. Ibu jari dan kelingkingnya dilipat ke dalam, membentuk cakar garuda. Tanpa sungkan-sungkan lagi, dipapaknya serangan cakar itu.
Prattt !
Tubuh Ki Santa terdorong dua langkah, sementara Ki Temula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Tapi, begitu daya dorong yang membuat tubuh mereka terhuyung habis, mereka pun saling gebrak kembali.
Ki Santa bertarung bagai macan luka. Kemarahan yang amat sangat berkobar-kobar dalam hatinya. melihat satu persatu murid Perguruan Naga Api berguguran.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan menyayat. Kali ini terdengar dari mulut Prawira! Pemuda bertahi lalat besar ini berdiri tertatih-tatih sambil memegangi perutnya yang robek memanjang. Darah mengalir deras dari luka lewat sela-sela jarinya. Kemudian, tubuhnya roboh untuk selama-lamanya. Mati.
Gigi Ki Santa bergemeletuk menahan geram. Pilu hatinya melihat murid-muridnya terbantai di depan mata tanpa dia mampu berbuat apa-apa. Maka kemarahannya pun ditumpahkan pada Ki Temula.
Namun walau kakek beralis putih ini telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh, Ki Santa mulai terdesak. Sampai akhirnya pada jurus ke tujuh puluh tiga, sebuah pukulan Ki Temula telak bersarang di perutnya.
"Hukh...!" keluh Ki Santa tertahan dan tubuhnya kontan terbungkuk.
Di saat itulah, kembali kaki kakek kecil kurus itu bergerak menendang.
Prak... !
Terdengar suara berderak keras ketika tendangan itu menghantam kepala Ki Santa.
"Aaakh...!"
Kakek beralis putih itu memekik tertahan. Beberapa saat lamanya tubuh Ki Santa terhuyung-huyung, sebelum akhirnya roboh ke tanah dengan kepala pecah. Ki Santa tewas seketika itu juga.
"Ha ha ha...!" tawa bergelak penuh kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula.
"Bakar habis semua bangunan ini...!"
Tanpa diperintah dua kali, orang-orang berseragam kuning itu melemparkan beberapa obor ke arah bangunan. Tak lama kemudian, api pun mulai berkobar melahap bangunan Perguruan Naga Api.
"Ada yang berhasil meloloskan diri?" tanya kakek berpakaian kuning itu pada salah seorang anak buahnya.
"Ada, Guru," jawab orang itu.
"Bagus...! Dan kita hanya tinggal menunggu api pertempuran meletus. Sebentar lagi, Kerajaan Bojong Gading akan Kita kuasai. Bojong Gading akan dibanjiri darah!" desis kakek kecil kurus itu tajam.
"Benar, Guru...," sahut si murid membenarkan.
"Kumpulkan mereka semua cepat, dan segera pergi dari sini! Api itu akan menarik perhatian orang untuk menuju kemari! Cepat laksanakan!"
"Baik, Guru...!" sahut murid itu.
Segera kawan-kawannya diperintahkan untuk meninggalkan tempat itu. Sementara si kakek kecil kurus telah lebih dulu melesat dari situ.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di luar pagar yang mengelilingi bangunan Perguruan Naga Api. Tapi baru saja kakinya akan melangkah, sebuah teguran telah menyapanya.
"Mau ke mana, Kang?"
Kakek berwajah tirus mirip tikus itu seketika mengangkat kepalanya. Di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri seorang kakek berpakaian kuning dan wajahnya mirip kuda. Siapa lagi kalau bukan Ki Matija.
"Matija...," desis kakek bertubuh kurus itu.
"Ya. Aku, Kang," desah Ki Matija pelan.
"Mau apa kau kemari, Matija?!" tanya Ki Temula.
Keras dan tajam nada suaranya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Kang. Apa yang kau lakukan di Perguruan Naga Api?! Sungguh tidak kusangka kalau memang kaulah pelakunya!" tandas kakek bermuka kuda itu seraya tersenyum mengejek.
Ki Temula menghela napas panjang. "Kau salah paham, Matija. Perlu kau ketahui, aku... eh...! Matija! Awas di belakangmu...!" teriak Ki Temula kalap.
Ki Matija terkejut bukan main mendengar peringatan itu. Secepat kilat dibalikkan tubuhnya ke belakang, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi ternyata di belakangnya tidak ada apa-apa. Sadarlah Ki Matija, kalau dirinya tertipu.
Buru-buru Ki Matija berbalik, tapi terlambat! Ki Temula yang telah menemukan kesempatan, tidak menyia-nyiakannya begitu kakek muka kuda itu membalikkan tubuh. Cepat laksana Kilat, dia melompat menerjang. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya dalam penyerangan ini.
Prattt...!
"Aaakh...!"
Ki Matija memekik tertahan. Serangan Ki Temula dalam jurus 'Cakar Garuda', telah menghantam pelipisnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dengan tulang pelipis retak. Ki Matija tewas, setelah meregang nyawa sebentar. Darah segar langsung membasahi bumi.
"Ha ha ha...!"
Kembali tawa kemenangan terdengar dari mulut Ki Temula. Kemudian diangkatnya tubuh kakek muka kuda itu, lalu dilemparkan ke dalam api yang tengah berkobar. Tanpa ampun lagi, tubuh wakil ketua Perguruan Garuda Sakti segera dilalap api.
Sementara Ki Temula segera melesat kabur dari situ. "Sayang waktuku tidak banyak, Matija! Kalau saja waktuku banyak, tak akan kubiarkan kau mati secara demikian enak," desah kakek berwajah tirus itu pelahan.
Setelah berkata demikian, tubuh Ki Temula melesat dari situ. Dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
****
Sesosok bayangan ungu melesat cepat mendaki Lereng Gunung Munjul. Gerakannya gesit bukan main. Suasana malam begitu gelap, sehingga wajahnya tersembunyikan. Dan yang terlihat hanyalah sekelebat sinar ungu dan putih keperakan.
Rupanya bayangan itu menuju ruang tahanan tempat Ki Kerpala berada. Ya, dia memang menuju ruang tahanan yang lebih mirip gua itu. Langkahnya terhenti di sebuah ruang yang depannya berjeruji besi baja bulat, dan berdinding batu cadas yang amat tebal. Jelas, itu adalah ruang tahanan untuk Ki Kerpala.
Glarrrr... !
Halilintar menggelegar kembali. Sesaat sinarnya yang terang menyinari bumi. Tapi waktu yang hanya sesaat itu, sudah cukup untuk menerangi wajah bayangan ungu itu dan ruang tahanan Ki Kerpala.
"Kosong...," desis si bayangan ungu yang ternyata adalah Arya Buana alias Dewa Arak.
Ruangan tahanan itu memang kosong, tak ada seorang pun di dalamnya. Yang ada hanya rantai-rantai baja yang berserakan di lantai.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak melesat dari situ. Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, sehingga yang terlihat hanya bayangan ungu saja yang berkelebatan cepat. Dan tak lama kemudian, Dewa Arak telah berada di depan pintu gerbang Perguruan Garuda Sakti.
"Ki Temula ada?" tanya Arya pada murid Perguruan Garuda Sakti yang menjaga pintu gerbang.
"Ada. Silakan masuk, Dewa Arak!" ucap salah seorang di antara mereka.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya melangkah masuk dengan diantar salah seorang dari dua penjaga pintu gerbang itu. Dan kini mereka tiba di ruang semadi Ki Temula. Penjaga itu lalu meninggalkan Dewa Arak. Setelah mengetuk pintu sebentar, Arya segera masuk ketika mendapat sahutan dari dalam.
"Arya! Silakan masuk," kata Ki Temula, seraya berdiri menyambut Arya.
"Aku membawa berita buruk untukmu, Ki," jelas Arya.
"Penting sekalikah berita itu, Arya? Sehingga di malam selarut ini kau datang mengunjungiku?" tanya Ki Temula begitu mereka berdua telah berada di dalam ruang semadinya.
"Sangat penting, Ki," sahut Arya cepat.
Ki Temula mengerutkan alisnya. "Hm... , urusan orang yang menyamar sebagai aku kan?" tebak kakek berwajah tirus itu.
"Benar, Ki. Dan aku telah tahu sekarang, siapa orang yang telah memfitnahmu itu!" tandas Dewa Arak.
Wajah Ki Temula berubah. Sepasang matanya menyipit merayapi wajah Dewa Arak. "Benarkah apa yang kau katakan, Arya. Yakinkah kau kalau kali ini dugaanmu tidak meleset?" tanya Ki Temula kurang yakin.
"Yakin, Ki," sahut Arya seraya menganggukkan kepalanya.
"Siapa orang itu, Arya?" tanya kakek kecil kurus itu. Agak bergetar suaranya karena perasaan tegang yang melanda hatinya.
"Hhh...!" desah Dewa Arak sebelum memulai ucapannya. "Orang itu adalah..., Ki Kerpala, Ki."
"Tidak mungkin!" sentak Ki Temula. Sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan. "Tarik kembali ucapanmu, Arya! Atau... , terpaksa Kita berhadapan sebagai musuh!"
Dewa Arak menatap tajam Ki Temula. "Apakah memang sudah menjadi sifatmu untuk tidak mempercayai ucapan setiap orang, Ki?" sindir Arya tajam. "Apakah kau tidak berkeinginan untuk membuktikan kebenaran berita yang kubawa ini. Mari Kita cepat melihat ruang tahanan itu, Ki. Aku berani mempertaruhkan kepalaku seandainya ucapanku tidak benar!"
"Baik! Mari Kita melihatnya! Dan ingat, Dewa Arak. Kalau ternyata terbukti kata-katamu itu tidak benar. Enyahlah kau dari sini, dan jangan injak tempatku lagi!"
"Baik! Mari Kita buktikan! Cepat, sebelum dia kembali lagi ke sana!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa Arak melesat Cepat bukan main gerakannya. Ki Temula tentu tak mau kalah. Tubuhnya berkelebat cepat menyusul Dewa Arak yang telah melesat lebih dulu.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment