"Mustahil...!" teriak Ki Temula ketika melihat ruang tahanan sudah kosong, dan rantai-rantai baja yang berserakan di lantai dalam keadaan utuh. Bergegas diambilnya kunci pintu jeruji baja itu, kemudian dibukanya.
Dewa Arak tidak berkata apa-apa dan hanya mengikuti tubuh Ketua Perguruan Garuda Sakti yang telah masuk ke dalam ruangan itu. Ki Temula membungkukkan tubuh, memungut gelang-gelang baja yang melilit pergelangan tangan dan kaki Ki Kerpala. Diperhatikannya sejenak, kemudian diperlihatkan pada Arya.
"Tidak ada tanda-tanda dibuka dengan kekerasan," desah Dewa Arak.
Alisnya berkerut pertanda tengah berpikir keras. Memang Arya telah mendengar, bahkan telah menjumpai tokoh-tokoh yang memiliki berbagai ilmu yang aneh. Tapi, penemuannya kali ini membuat Dewa Arak bingung.
Ki Temula tampak tercenung. Wajahnya menyorotkan penyesalan yang mendalam. Ditatapnya lagi seruruh ruangan tahanan itu.
"Hhh...!" kakek kecil kurus ini menghela napas panjang. "Maafkan atas kekasaran sikapku, Dewa Arak. Ahhh... , betapa tololnya aku! Padahal dulu telah kuketahui kalau Kakang Kerpala gemar mempelajari ilmu-ilmu hitam. Tak salah lagi, ilmu yang digunakannya untuk membuat tangan dan kakinya lolos dari gelang-gelang baja itu pastilah aji 'Welut Putih'. Tapi, ilmu apa yang membuatnya mampu menerobos sela-sela jeruji baja ini? Hhh... ! Kecerobohanku telah menyebabkan peristiwa ini terjadi."
"Sudahlah, Ki. Tidak ada gunanya lagi menyesal dan mengeluh sekarang. Yang harus Kita lakukan adalah mencegah terjadinya peristiwa selanjutnya," usul Dewa Arak.
Ki Temula menatap tajam Dewa Arak. "Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, Arya. Tapi, pelaksanaan ucapan itu yang sulit. Apalagi kau sama sekali belum mengetahui kelihaian Kakang Kerpala. Dulu sewaktu aku dan Adi Matija menangkapnya, dia tengah mempelajari ilmu 'Sirna Raga'. Hhh... ! Aku khawatir kalau sekarang ilmu itu telah sempurna dikuasainya. Entah bagaimana menghadapinya...," ujar Ketua Perguruan Garuda Sakti itu bernada mengeluh.
"'Sirna Raga'?!" tanya Dewa Arak Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.
Telah didengarnya kehebatan ilmu 'Sirna Raga' itu. Dengan ilmu itu, seseorang akan mampu menghilang. Jadi bagaimana caranya menghadapi ilmu seperti itu?
"Yang masih ku bingungkan. Dengan ilmu apa dia sanggup meloloskan diri dari celah-celah jeruji baja yang sempit ini? Mungkinkah dengan aji 'Welut Putih' juga?" tanya Ki Temula seperti untuk dirinya sendiri.
Dewa Arak tercenung. Keistimewaan aji 'Welut Putih' memang sudah pernah didengarnya. Ilmu itu mampu membuat tubuh si pemilik aji itu selicin belut, dan mampu membuat tubuh seolah tak bertulang. Memang sukar bagi lawan untuk menyarangkan serangan karena kelicinan kulitnya itu.
"Sudahlah, Ki. Lagi pula bukan maksudku membuat pusing Aki dengan menunjukkan hal ini. Aku hanya ingin memberitahu ada orang yang telah mencemarkan nama Aki."
Ki Temula sama sekali tidak menyahut. Kakek ini masih dibingungkan dengan lolosnya Ki Kerpala dari dalam kurungan itu.
"Lebih baik Kita tunggu saja, Ki. Bukan tidak mungkin, setelah selesai dengan aksinya Ki Kerpala akan kembali kemari. Dengan demikian Kita berdua bisa mencoba untuk menangkapnya," usul Dewa Arak.
"Hhh...!" Lagi-lagi Ki Temula menghela napas panjang. "Jadi merepotkanmu saja, Arya."
"Sama sekali tidak, Ki," sergah Dewa Arak cepat "Memang sudah menjadi sifatku yang suka menyelesaikan urusan yang tidak wajar."
"Terima kasih, Arya," ucap kakek itu pelahan.
"Lupakanlah, Ki," sahut Dewa Arak risih.
Setelah itu suasana pun hening. Tidak terdengar lagi ada yang berbicara. Keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tapi meskipun demikian, sepasang mata dan pendengaran mereka dipasang tajam-tajam, menunggu kembalinya Ki Kerpala ke dalam kurungan.
***
Seorang pria berseragam putih-putih melangkah tersuruk-suruk menembus kepekatan malam yang gelap gulita.
Glaar... !
Ketika kilat menyambar dan menerangi bumi, tampaklah kalau sosok tubuh itu adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Di baju bagian dada kirinya yang putih, tersulam gambar kepala seekor naga yang tengah menyemburkan api.
Dari sini sudah bisa ditebak kalau pemuda ini adalah salah seorang murid Perguruan Naga Api. Memang, pemuda itu adalah Sentanu yang sengaja dibiarkan lolos oleh kawanan penyerang berseragam kuning, tanpa setahu pemuda itu sendiri.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Napas Sentanu nampak terengah-engah, tapi sama sekali tidak dipedulikannya. Terus saja kakinya berlari menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
Setelah cukup jauh dari bangunan perguruannya, Sentanu menolehkan kepala. Dan terkejutlah hati pemuda ini ketika melihat api membumbung tinggi dari arah yang ditinggalkannya. Tanpa ke sana pun pemuda ini sudah tahu kalau tempat yang tengah dilalap oleh api itu adalah bangunan perguruannya.
Dada Sentanu seketika sesak oleh rasa amarah dan haru yang mendalam. Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin rasanya dia kembali ke sana dan mengadu nyawa dengan orang-orang yang telah membumi-hanguskan perguruannya. Tapi kalau dirinya juga tewas, siapa yang akan membalas kekejian ini?
Entah berapa lama Sentanu berlari, dan pemuda ini tidak mempedulikannya. Langkahnya semakin dipercepat ketika tak jauh di depannya sudah nampak sebuah bangunan besar dan megah. Halamannya luas, dan dikurung pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
"Berhenti... ! Siapa kau?!" cegat salah seorang penjaga pintu gerbang, begitu melihat Sentanu bergerak menuju pintu gerbang yang dijaganya.
Tombak di tangannya ditodongkan ke perut Sentanu. Sentanu mengatur napasnya sejenak
"Tolong_ tolong antarkan aku menghadap Panglima Jumali," pinta Sentanu terengah-engah.
"Ada urusan apa hendak menemui beliau?" tanya penjaga itu.
Todongan tombaknya tidak juga dijauhkan dari tubuh Sentanu. Sementara, sepasang matanya merayapi wajah pemuda di hadapannya, dalam keremangan cahaya obor yang terpancang dekat situ.
"Aku adalah adik seperguruannya. Katakan saja pada Panglima Jumali bahwa ada murid Perguruan Naga Api yang ingin bertemu."
"Ahhh...!" seru penjaga itu terkejut. Dijauhkannya todongan tombaknya dari perut Sentanu. Penjaga itu rupanya tahu kalau Panglima Jumali adalah murid Perguruan Naga Api. "Maaf... aku tidak tahu."
"Tidak mengapa...," desah Sentanu. Dimakluminya perlakuan penjaga itu padanya.
"Kalau begitu, harap Kisanak menunggu sebentar."
Setelah berkata demikian, penjaga itu berlari masuk ke dalam. Sedangkan Sentanu berdiri di depan pintu gerbang ditemani seorang penjaga lain.
Tak lama kemudian, penjaga yang melapor itu telah kembali bersama seorang pria tinggi besar bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam Panglima.
"Benarkah kau dari Perguruan Naga Api?" tanya Panglima yang bernama Jumali itu ketika sampai di depan pintu gerbang. Sepasang matanya menatap tajam sosok tubuh yang berdiri di hadapannya.
"Benar, Panglima. Hamba bernama Sentanu," jelas pemuda itu.
Tak berani Sentanu memanggil orang yang berdiri di hadapannya dengan panggilan keakraban. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang Panglima kerajaan, dan kali ini berada di depan prajurirnya. Harus dijaga martabat orang itu, meskipun juga berasal dari Perguruan Naga Api.
"Sentanu? Kau adik seperguruan Adi Branta?" tanya Panglima Jumali mulai teringat.
Memang dia pernah kenal orang yang bernama Sentanu, tapi itu lima tahun yang lalu. Wajar kalau sekarang telah agak lupa.
"Benar, Panglima," sahut Sentanu.
"Ahhh... ! Silakan masuk, Adi Sentanu. Dan tidak usah terlalu banyak peradatan. Panggil saja aku seperti layaknya seseorang memanggil kakak seperguruannya. Mari!... ! Mari, silakan masuk...!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Panglima Jumali menarik tangan Sentanu dan membawanya masuk. Panglima itu tahu kalau pemuda di hadapannya ini pasti membawa berita yang sangat penting. Kalau tidak, mana mungkin datang menemuinya tengah malam begini.
Sentanu melangkah mengikuti Panglima itu yang sudah berjalan cepat menuju bangunan tempat untuk menerima tamu penting.
"Sekarang katakan, apa maksudmu datang menemuiku malam-malam begini, Adi Sentanu," tagih Panglima itu tidak sabar begitu mereka telah duduk di dalam.
Wajah Sentanu berubah muram. "Bencana menimpa perguruan Kita, Kang" tutur Sentanu, yang kini tidak ragu-ragu lagi memanggil Panglima itu dengan panggilan kekerabatan.
"Bencana? Apa maksudmu. Adi Sentanu. Aku masih tidak mengerti!" tegas Panglima itu, langsung berkernyit dahinya.
"Perguruan Naga Api sekarang telah musnah, Kang," sahut Sentanu.
Perlahan sekali suaranya seperti mendesah, tapi akibatnya bagi Panglima Jumali tidaklah demikian.
"Apa?!" pekik Panglima itu. Tubuhnya sampai terlonjak dari duduknya. "Apa katamu, Adi Sentanu?!"
Sentanu menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat wajah kakak sepergu-ruannya yang begitu tegang. Bahkan suaranya terdengar gemetar.
"Guru dan semua murid perguruan telah tewas, Kang. Hanya aku yang selamat. Dan itu pun karena melarikan diri. Namun demikian, berat rasanya hatiku berbuat ini. Tapi terpaksa, Kang. Aku harus memberitahukan berita ini padamu."
"Ya Tuhan...!" keluh Panglima Jumali.
Kedua tangannya ditekapkan ke wajah, dan sesaat kemudian diturunkan kembali. Terdengar suara bergemeretak keras ketika Panglima ini mengepalkan kedua tangannya.
"Betapa berdosanya aku. Di sini aku enak-enakan saja, dan tak pernah menengok perguruan. Sementara Guru dan yang lainnya dibunuh orang. Hhh... ! Murid macam apa aku ini!"
Sentanu membiarkan saja. Dia tahu kalau Panglima Jumali tengah terpukul. "Katakan, Adi Sentanu! Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?!" desak Panglima itu.
Ada ancaman hebat yang tersembunyi dalam kata-katanya.
"Perguruan Garuda Sakti, Kang.... "
"Apa?! Sentanu! Sadarkah kau akan apa yang telah kau ucapkan itu?!"
"Aku sadar, Kang. Dan semula pun aku ragu. Tapi kejadian kemarin malam telah menghapus semua keragu-raguanku."
Kemudian Sentanu menceritakan semua yang terjadi. Panglima Jumali mendengarkan penuh seksama. Wajahnya sebentar pucat, sebentar kemudian memerah mendengar hal-hal yang menggiriskan. Baru setelah Sentanu menyelesaikan ceritanya, Panglima ini menarik napas panjang.
"Kita harus membalas dendam, Adi Sentanu!" desis Panglima itu tajam. "Jaladi!" teriaknya keras.
Sesaat kemudian terdengar derap langkah mendekat, lalu muncul seorang pengawal yang segera memberi hormat padanya.
"Panglima memanggilku?" tanya pengawal yang bernama Jaladi itu.
"Ya! Berikan surat ini pada Panglima Gotawa dan Panglima Mantaya! Cepat..!" perintah Panglima Jumali sambil memberikan surat yang saat itu juga dibuatnya.
"Baik, Panglima," sahut prajurit itu sambil menerima surat yang disodorkan Panglima Jumali.
"Sekarang mari Kita berangkat, Adi Sentanu. Kita basmi Perguruan Garuda Sakti. Aku rela, sekalipun akibat perbuatanku ini harus dihukum oleh raja!"
***
Dewa Arak tidak berkata apa-apa dan hanya mengikuti tubuh Ketua Perguruan Garuda Sakti yang telah masuk ke dalam ruangan itu. Ki Temula membungkukkan tubuh, memungut gelang-gelang baja yang melilit pergelangan tangan dan kaki Ki Kerpala. Diperhatikannya sejenak, kemudian diperlihatkan pada Arya.
"Tidak ada tanda-tanda dibuka dengan kekerasan," desah Dewa Arak.
Alisnya berkerut pertanda tengah berpikir keras. Memang Arya telah mendengar, bahkan telah menjumpai tokoh-tokoh yang memiliki berbagai ilmu yang aneh. Tapi, penemuannya kali ini membuat Dewa Arak bingung.
Ki Temula tampak tercenung. Wajahnya menyorotkan penyesalan yang mendalam. Ditatapnya lagi seruruh ruangan tahanan itu.
"Hhh...!" kakek kecil kurus ini menghela napas panjang. "Maafkan atas kekasaran sikapku, Dewa Arak. Ahhh... , betapa tololnya aku! Padahal dulu telah kuketahui kalau Kakang Kerpala gemar mempelajari ilmu-ilmu hitam. Tak salah lagi, ilmu yang digunakannya untuk membuat tangan dan kakinya lolos dari gelang-gelang baja itu pastilah aji 'Welut Putih'. Tapi, ilmu apa yang membuatnya mampu menerobos sela-sela jeruji baja ini? Hhh... ! Kecerobohanku telah menyebabkan peristiwa ini terjadi."
"Sudahlah, Ki. Tidak ada gunanya lagi menyesal dan mengeluh sekarang. Yang harus Kita lakukan adalah mencegah terjadinya peristiwa selanjutnya," usul Dewa Arak.
Ki Temula menatap tajam Dewa Arak. "Apa yang kau ucapkan sama sekali tidak salah, Arya. Tapi, pelaksanaan ucapan itu yang sulit. Apalagi kau sama sekali belum mengetahui kelihaian Kakang Kerpala. Dulu sewaktu aku dan Adi Matija menangkapnya, dia tengah mempelajari ilmu 'Sirna Raga'. Hhh... ! Aku khawatir kalau sekarang ilmu itu telah sempurna dikuasainya. Entah bagaimana menghadapinya...," ujar Ketua Perguruan Garuda Sakti itu bernada mengeluh.
"'Sirna Raga'?!" tanya Dewa Arak Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang amat sangat.
Telah didengarnya kehebatan ilmu 'Sirna Raga' itu. Dengan ilmu itu, seseorang akan mampu menghilang. Jadi bagaimana caranya menghadapi ilmu seperti itu?
"Yang masih ku bingungkan. Dengan ilmu apa dia sanggup meloloskan diri dari celah-celah jeruji baja yang sempit ini? Mungkinkah dengan aji 'Welut Putih' juga?" tanya Ki Temula seperti untuk dirinya sendiri.
Dewa Arak tercenung. Keistimewaan aji 'Welut Putih' memang sudah pernah didengarnya. Ilmu itu mampu membuat tubuh si pemilik aji itu selicin belut, dan mampu membuat tubuh seolah tak bertulang. Memang sukar bagi lawan untuk menyarangkan serangan karena kelicinan kulitnya itu.
"Sudahlah, Ki. Lagi pula bukan maksudku membuat pusing Aki dengan menunjukkan hal ini. Aku hanya ingin memberitahu ada orang yang telah mencemarkan nama Aki."
Ki Temula sama sekali tidak menyahut. Kakek ini masih dibingungkan dengan lolosnya Ki Kerpala dari dalam kurungan itu.
"Lebih baik Kita tunggu saja, Ki. Bukan tidak mungkin, setelah selesai dengan aksinya Ki Kerpala akan kembali kemari. Dengan demikian Kita berdua bisa mencoba untuk menangkapnya," usul Dewa Arak.
"Hhh...!" Lagi-lagi Ki Temula menghela napas panjang. "Jadi merepotkanmu saja, Arya."
"Sama sekali tidak, Ki," sergah Dewa Arak cepat "Memang sudah menjadi sifatku yang suka menyelesaikan urusan yang tidak wajar."
"Terima kasih, Arya," ucap kakek itu pelahan.
"Lupakanlah, Ki," sahut Dewa Arak risih.
Setelah itu suasana pun hening. Tidak terdengar lagi ada yang berbicara. Keduanya tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tapi meskipun demikian, sepasang mata dan pendengaran mereka dipasang tajam-tajam, menunggu kembalinya Ki Kerpala ke dalam kurungan.
***
Seorang pria berseragam putih-putih melangkah tersuruk-suruk menembus kepekatan malam yang gelap gulita.
Glaar... !
Ketika kilat menyambar dan menerangi bumi, tampaklah kalau sosok tubuh itu adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun. Di baju bagian dada kirinya yang putih, tersulam gambar kepala seekor naga yang tengah menyemburkan api.
Dari sini sudah bisa ditebak kalau pemuda ini adalah salah seorang murid Perguruan Naga Api. Memang, pemuda itu adalah Sentanu yang sengaja dibiarkan lolos oleh kawanan penyerang berseragam kuning, tanpa setahu pemuda itu sendiri.
"Hhh... hhh... hhh...!"
Napas Sentanu nampak terengah-engah, tapi sama sekali tidak dipedulikannya. Terus saja kakinya berlari menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
Setelah cukup jauh dari bangunan perguruannya, Sentanu menolehkan kepala. Dan terkejutlah hati pemuda ini ketika melihat api membumbung tinggi dari arah yang ditinggalkannya. Tanpa ke sana pun pemuda ini sudah tahu kalau tempat yang tengah dilalap oleh api itu adalah bangunan perguruannya.
Dada Sentanu seketika sesak oleh rasa amarah dan haru yang mendalam. Kalau menuruti perasaan hatinya, ingin rasanya dia kembali ke sana dan mengadu nyawa dengan orang-orang yang telah membumi-hanguskan perguruannya. Tapi kalau dirinya juga tewas, siapa yang akan membalas kekejian ini?
Entah berapa lama Sentanu berlari, dan pemuda ini tidak mempedulikannya. Langkahnya semakin dipercepat ketika tak jauh di depannya sudah nampak sebuah bangunan besar dan megah. Halamannya luas, dan dikurung pagar tembok yang tinggi dan kokoh.
"Berhenti... ! Siapa kau?!" cegat salah seorang penjaga pintu gerbang, begitu melihat Sentanu bergerak menuju pintu gerbang yang dijaganya.
Tombak di tangannya ditodongkan ke perut Sentanu. Sentanu mengatur napasnya sejenak
"Tolong_ tolong antarkan aku menghadap Panglima Jumali," pinta Sentanu terengah-engah.
"Ada urusan apa hendak menemui beliau?" tanya penjaga itu.
Todongan tombaknya tidak juga dijauhkan dari tubuh Sentanu. Sementara, sepasang matanya merayapi wajah pemuda di hadapannya, dalam keremangan cahaya obor yang terpancang dekat situ.
"Aku adalah adik seperguruannya. Katakan saja pada Panglima Jumali bahwa ada murid Perguruan Naga Api yang ingin bertemu."
"Ahhh...!" seru penjaga itu terkejut. Dijauhkannya todongan tombaknya dari perut Sentanu. Penjaga itu rupanya tahu kalau Panglima Jumali adalah murid Perguruan Naga Api. "Maaf... aku tidak tahu."
"Tidak mengapa...," desah Sentanu. Dimakluminya perlakuan penjaga itu padanya.
"Kalau begitu, harap Kisanak menunggu sebentar."
Setelah berkata demikian, penjaga itu berlari masuk ke dalam. Sedangkan Sentanu berdiri di depan pintu gerbang ditemani seorang penjaga lain.
Tak lama kemudian, penjaga yang melapor itu telah kembali bersama seorang pria tinggi besar bercambang bauk lebat dan berpakaian seragam Panglima.
"Benarkah kau dari Perguruan Naga Api?" tanya Panglima yang bernama Jumali itu ketika sampai di depan pintu gerbang. Sepasang matanya menatap tajam sosok tubuh yang berdiri di hadapannya.
"Benar, Panglima. Hamba bernama Sentanu," jelas pemuda itu.
Tak berani Sentanu memanggil orang yang berdiri di hadapannya dengan panggilan keakraban. Bagaimana pun juga, dia adalah seorang Panglima kerajaan, dan kali ini berada di depan prajurirnya. Harus dijaga martabat orang itu, meskipun juga berasal dari Perguruan Naga Api.
"Sentanu? Kau adik seperguruan Adi Branta?" tanya Panglima Jumali mulai teringat.
Memang dia pernah kenal orang yang bernama Sentanu, tapi itu lima tahun yang lalu. Wajar kalau sekarang telah agak lupa.
"Benar, Panglima," sahut Sentanu.
"Ahhh... ! Silakan masuk, Adi Sentanu. Dan tidak usah terlalu banyak peradatan. Panggil saja aku seperti layaknya seseorang memanggil kakak seperguruannya. Mari!... ! Mari, silakan masuk...!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi Panglima Jumali menarik tangan Sentanu dan membawanya masuk. Panglima itu tahu kalau pemuda di hadapannya ini pasti membawa berita yang sangat penting. Kalau tidak, mana mungkin datang menemuinya tengah malam begini.
Sentanu melangkah mengikuti Panglima itu yang sudah berjalan cepat menuju bangunan tempat untuk menerima tamu penting.
"Sekarang katakan, apa maksudmu datang menemuiku malam-malam begini, Adi Sentanu," tagih Panglima itu tidak sabar begitu mereka telah duduk di dalam.
Wajah Sentanu berubah muram. "Bencana menimpa perguruan Kita, Kang" tutur Sentanu, yang kini tidak ragu-ragu lagi memanggil Panglima itu dengan panggilan kekerabatan.
"Bencana? Apa maksudmu. Adi Sentanu. Aku masih tidak mengerti!" tegas Panglima itu, langsung berkernyit dahinya.
"Perguruan Naga Api sekarang telah musnah, Kang," sahut Sentanu.
Perlahan sekali suaranya seperti mendesah, tapi akibatnya bagi Panglima Jumali tidaklah demikian.
"Apa?!" pekik Panglima itu. Tubuhnya sampai terlonjak dari duduknya. "Apa katamu, Adi Sentanu?!"
Sentanu menundukkan kepalanya, tidak sanggup melihat wajah kakak sepergu-ruannya yang begitu tegang. Bahkan suaranya terdengar gemetar.
"Guru dan semua murid perguruan telah tewas, Kang. Hanya aku yang selamat. Dan itu pun karena melarikan diri. Namun demikian, berat rasanya hatiku berbuat ini. Tapi terpaksa, Kang. Aku harus memberitahukan berita ini padamu."
"Ya Tuhan...!" keluh Panglima Jumali.
Kedua tangannya ditekapkan ke wajah, dan sesaat kemudian diturunkan kembali. Terdengar suara bergemeretak keras ketika Panglima ini mengepalkan kedua tangannya.
"Betapa berdosanya aku. Di sini aku enak-enakan saja, dan tak pernah menengok perguruan. Sementara Guru dan yang lainnya dibunuh orang. Hhh... ! Murid macam apa aku ini!"
Sentanu membiarkan saja. Dia tahu kalau Panglima Jumali tengah terpukul. "Katakan, Adi Sentanu! Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?!" desak Panglima itu.
Ada ancaman hebat yang tersembunyi dalam kata-katanya.
"Perguruan Garuda Sakti, Kang.... "
"Apa?! Sentanu! Sadarkah kau akan apa yang telah kau ucapkan itu?!"
"Aku sadar, Kang. Dan semula pun aku ragu. Tapi kejadian kemarin malam telah menghapus semua keragu-raguanku."
Kemudian Sentanu menceritakan semua yang terjadi. Panglima Jumali mendengarkan penuh seksama. Wajahnya sebentar pucat, sebentar kemudian memerah mendengar hal-hal yang menggiriskan. Baru setelah Sentanu menyelesaikan ceritanya, Panglima ini menarik napas panjang.
"Kita harus membalas dendam, Adi Sentanu!" desis Panglima itu tajam. "Jaladi!" teriaknya keras.
Sesaat kemudian terdengar derap langkah mendekat, lalu muncul seorang pengawal yang segera memberi hormat padanya.
"Panglima memanggilku?" tanya pengawal yang bernama Jaladi itu.
"Ya! Berikan surat ini pada Panglima Gotawa dan Panglima Mantaya! Cepat..!" perintah Panglima Jumali sambil memberikan surat yang saat itu juga dibuatnya.
"Baik, Panglima," sahut prajurit itu sambil menerima surat yang disodorkan Panglima Jumali.
"Sekarang mari Kita berangkat, Adi Sentanu. Kita basmi Perguruan Garuda Sakti. Aku rela, sekalipun akibat perbuatanku ini harus dihukum oleh raja!"
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment