"Biadab! Terkutuk! Harus kubalaskan perbuatan keji ini!" teriak Panglima Jumali.
Begitu melihat keadaan markas Perguruan Naga Api yang kini telah menjadi puing-puing.
"Benar, Kang," sahut Panglima Gotawa yang juga bekas murid Perguruan Naga Api.
"Kita harus hancurkan Perguruan Garuda Sakti!" sambut Panglima Mantaya, juga bekas murid Perguruan Naga Api.
"Mari berangkat! Kita hancurkan markas mereka seperti mereka menghancurkan perguruan Kita!"
Setelah berkata demikian, rombongan yang dipimpin tiga orang Panglima itu segera bergerak. Jumlah mereka ratusan orang, dan kini bergerak menuju markas Perguruan Garuda Sakti.
Menjelang pagi, rombongan itu telah tiba di tujuan. Dan tanpa bicara apa-apa, pasukan itu langsung menyerbu.
Tentu saja murid-murid Perguruan Garuda Sakti menjadi terkejut bukan kepalang melihat serbuan pasukan Kerajaan Bojong Gading. Tapi terpaksa mereka melawan, karena tidak ingin mati konyol. Sebentar saja, terjadilah pertempuran massal.
Tapi karena jumlah mereka yang hanya sekitar tiga puluh lima orang, sementara jumlah pasukan penyerbu itu tidak kurang dari dua ratus orang, maka dalam waktu sebentar saja mereka sudah terdesak hebat. Apalagi di antara para penyerbu terdapat bekas murid Perguruan Naga Api.
Bagi yang berhadapan dengan prajurit masih untung. Tapi siallah bagi mereka yang bertemu Panglima Jumali, Panglima Gotawa, maupun Panglima Mantaya. Ketiga Panglima itu adalah bekas murid kepala Perguruan Naga Api. Dan walaupun telah lama keluar, mereka tetap rajin melatih diri. Sehingga, tidak aneh kalau kepandaian mereka semakin lihai karenanya. Ke mana saja ketiga Panglima ini bergerak, pasti ada satu tubuh yang roboh ke tanah.
Dan mendadak saja sepak terjang Panglima-Panglima ini tertahan, ketika bertemu dua orang murid kepala Perguruan Garuda Sakti.
"Apa maksudmu menyerang perguruan kami, Panglima Jumali?!" tanya salah seorang dari dua orang murid kepala yang berkulit wajah kuning. Keras nada suaranya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh...!" sentak Panglima Jumali. "Aku datang untuk membalaskan dendam Guru dan adik-adik seperguruanku yang kalian bantai!"
"Apa?! Gilakah kau, Jumali?" sergah salah seorang lagi yang berkulit muka merah.
"Tidak usah banyak bacot! Awas serangan...!" selak Panglima Gotawa seraya menusukkan tombak pendeknya ke perut si wajah kuning.
Wut..!
Si muka kuning tidak bisa berkata apa-apa lagi. Cepat-cepat dielakkan serangan tombak itu dengan menggeser kaki. Kemudian dibalasnya serangan itu dengan menyabetkan pedang secara mendatar ke leher Panglima itu.
Melihat kawannya sudah menyerang, Panglima Jumali pun tidak tinggal diam. Cepat diputar pedangnya laksana baling-baling. Kemudian secara tidak terduga-duga, di-tusukkan ke arah kerongkongan si muka merah.
Si muka merah cepat menarik kepalanya ke belakang. Golok yang sejak tadi sudah terhunus di tangannya, segera disabetkan ke tangan Panglima Jumali yang menghunus pedang.
"Eh...!"
Panglima Jumali berseru kaget. Cepat-cepat ditarik pulang serangannya. Tak lupa, dilontarkannya tendangan lurus ke arah perut lawan.
Si muka merah melompat ke belakang seraya mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat pertempuran sengit, dan berjalan seimbang.
Sedangkan pertempuran antara murid-murid Perguruan Garuda Sakti melawan pasukan kerajaan berlangsung berat sebelah. Dan tampak, satu demi satu mereka roboh. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi mereka semua akan tewas di tangan pasukan kerajaan itu.
Mendadak saja terdengar suara sorak sorai, disusul munculnya pasukan kerajaan di bawah pimpinan Panglima Jatalu. Tanpa bicara apa-apa, pasukan itu segera menyerbu pasukan yang tengah membantai murid-murid Perguruan Garuda Sakti.
Panglima Mantaya kaget. Dia tahu, siapa Panglima Jatalu itu. Seorang Panglima bekas murid kepala Perguruan Garuda Sakti. Rupanya berita penyerbuan ke perguruan ini sampai juga ke telinganya. Maka dia langsung buru-buru membawa pasukan untuk membela perguruannya.
Tak dapat dihindarkan lagi, terjadilah pertempuran antara kedua pasukan dari kerajaan yang sama, Kerajaan Bojong Gading. Panglima Mantaya tanpa ragu-ragu lagi segera menyongsong datangnya Panglima Jatalu. Dan sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertempuran sengit. Dan kini, kembali korban berjatuhan.
Tapi sebelum pertempuran semakin berlarut-larut Terdengar bentakan nyaring. "Hentikan pertempuran...!"
Belum lagi gema suara bentakan itu lenyap, melesat dua sosok tubuh ke arena pertempuran. Sosok tubuh berwarna ungu dan kuning. Rupanya bentakan yang dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam itu, membuat semua orang yang ada di situ terpaku.
Dada mereka semua terasa tergetar. Bahkan lutut pun terasa lemas Seketika itu juga pertarungan terhenti. Begitu juga pertarungan antara dua Panglima melawan dua murid kepala Perguruan Garuda Sakti.
Dari suara bentakan, keempat orang itu sudah bisa memperkirakan kesaktian pemiliknya. Segera semua mata tertuju pada asal suara itu.
Di tengah-tengah arena pertempuran, telah berdiri dua sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun dan berambut putih keperakan, yang tak lain adalah Dewa Arak. Sedangkan yang seorang lagi adalah kakek berpakaian kuning berwajah tirus mirip tikus. Siapa lagi kalau bukan Ki Temula.
Memang, semula kedua orang sakti ini menunggu kembalinya Ki Kerpala. Tapi setelah lelah menunggu, sampai hari menjelang pagi, tidak juga nampak ada tanda-tanda kemunculannya. Dan pada saat itulah mereka malah mendengar suara denting senjata dan lengking kematian di kejauhan.
Ki Temula dan Dewa Arak menjadi curiga. Suara ribut-ribut itu sepertinya berasal dari sekitar Perguruan Garuda Sakti. Maka, cepat mereka melesat meninggalkan tempat itu menuju ke sana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kedua orang sakti ini, melihat pertempuran massal yang terjadi di situ. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera berteriak mencegah pertempuran itu berlanjut.
"Keparat..!" teriak Panglima Jumali ketika mengenali salah satu dari dua orang yang baru datang itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil bertenak melengking nyaring, panglima itu menyerang kakek kecil kurus itu. Pedang di tangannya melesat cepat menusuk lurus ke arah ulu hati.
"Sabar dulu, Panglima. Tahan dulu amarah mu," desah kakek itu lirih seraya menggerakkan tangannya mendorong ke depan.
Wuuussa... !
Serangkum angin keras berhembus ke arah tubuh Panglima Jumali. Dan tusukan pedang itu pun melenceng arahnya, seperti tertahan oleh dinding yang tidak nampak.
Tubuh Panglima Jumali terhuyung. Meskipun demikian, Panglima ini tidak putus asa. Disadari kalau kakek di hadapannya ini bukan tandingannya. Tapi hal itu tidak membuatnya menjadi gentar. Namun sebelum Panglima itu kembali menyerang, Dewa Arak telah melangkah maju dan berdiri di tengah-tengah, di antara panglima itu dan Ki Temula.
"Sabar, Panglima," bujuk Arya pelan.
"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusanku!? Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!"
"Namaku Arya, Panglima. Kehadiranku di sini hanya untuk menghilangkan kesalah pahaman yang terjadi," jelas Dewa Arak, masih tetap tenang suaranya.
"Arya?!" kata Panglima itu mengulang perkataan Dewa Arak.
Keningnya berkernyit. Nama itu seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana? Dia terus mengingat-ingatnya Dan sekarang dia ingat, karena pernah mendengarnya dari mulut Sentanu. Arya inilah yang telah dua kali menyelamatkan murid-murid Perguruan Naga Api.
"Benar, Panglima. Mengapa?"
Panglima Jumali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Tidak apa-apa. Hm.... bukankah kau yang telah menolong murid-murid Perguruan Naga Api dari ancaman maut orang-orang jahat ini? Tapi kenapa sekarang kau malah bersama dengan gembong penjahat ini?" tanya Panglima Jumali sambil menunjuk Ki Temula. Dia benar-benar tidak mengerti.
Dewa Arak menganggukkan kepalanya. "Menolong murid-murid Perguruan Naga Api memang benar. Tapi Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti bukanlah orang jahat Panglima."
Wajah Panglima Jumali berubah. "Ucapan apa ini?! Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti telah membumihanguskan Perguruan Naga Api. dan membunuh Ki Santa! Itu bukan perbuatan jahat katamu, Arya?! Lalu, perbuatan manakah yang kau anggap jahat?"
"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Panglima? Benarkah Perguruan Naga Api telah dibumi hanguskan?!" tanya Dewa Arak.
Wajah pemuda ini memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Sementara Ki Temula hanya berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Panglima Jumali hanya tersenyum sinis. Tak dijawabnya pertanyaan Dewa Arak. Sebaliknya perhatiannya malah dialihkan pada rombongan prajurit di belakangnya.
"Sentanu... ! Kemari kau!" teriak Panglima Jumali sambil melambaikan tangannya.
Pemuda berhidung besar itu melangkah maju. "Nah, Dewa Arak. Inilah satu-satunya murid Perguruan Naga Api yang berhasil lolos dari pembantaian Ki Temula dan orang-orang Perguruan Garuda Sakti! Sentanu! Ceritakanlah apa yang kau alami! Agar Dewa Arak tidak tertipu oleh penjahat culas itu!" teriak Panglima Jumali sambil menuding Ki Temula.
"Tutup mulutmu, Panglima Jumali!" teriak Panglima Jatalu keras.
Tidak senang hatinya melihat gurunya berkali-kali dihina Panglima Jumali. Kalau tidak segan pada gurunya, sudah diterjangnya Panglima itu.
"Tenanglah, Jatalu," bujuk Ki Temula, pelan sekali.
Memang, berita yang didengarnya dari mulut Panglima Jumali terlalu mengejutkan hatinya, sehingga membuatnya agak terpukul.
Panglima Jatalu pun terdiam. Bisa dimaklumi kata-kata gurunya. Kalau perasaan hatinya dituruti, bisa jadi persoalan ini akan menjadi kian kusut. Padahal, gurunya telah bersusah-payah berusaha meluruskan persoalan.
"Maafkan aku, Guru," ucap Panglima Jatalu pelan.
Dewa Arak menatap tajam. langsung ke bola mata Sentanu. Pemuda berambut putih keperakan ini mengenali pemuda berhidung besar ini sebagai salah seorang yang pernah menyerbu Perguruan Garuda Sakti.
"Benar yang dikatakan Panglima Jumali, Sentanu?" tanya Dewa Arak.
Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan merayapi sekujur wajah pemuda di hadapannya.
Sentanu bergidik melihat sorot mata Dewa Arak. Sepasang mata di hadapannya seolah-olah bukan mata manusia saja, tapi lebih cocok mata harimau!
"Semua yang dikatakan Panglima Jumali benar. Semalam, Ki Temula bersama tiga puluh murid Perguruan Garuda Sakti menyerbu. Ki Santa tewas di tangannya. Sementara, semua murid Perguruan Naga Api, tewas pula di tangan murid-murid Perguruan Garuda Sakti. Tidak itu saja yang dilakukan, mereka juga membakar habis bangunan perguruan kami!"
Dewa Arak tepekur. Terasa ada kesedihan yang mendalam pada suara pemuda di hadapannya. Dia tahu Sentanu berkata benar. Tapi, Ki Temula juga tidak salah. Yang masih menjadi tanda tanya baginya, siapa puluhan orang yang diyakini Sentanu sebagai murid-murid Perguruan Garuda Sakti?
Dengan pandang mata penuh pertanyaan, ditatapnya wajah Ki Temula. Sementara yang ditatap tengah tercenung bingung. Keningnya berkernyit dalam Kakek ini memang tengah berpikir keras.
"Kau yakin kalau orang-orang itu adalah murid-murid Perguruan Garuda Sakti, Sentanu?" tanya Dewa Arak lagi meminta ketegasan.
Sentanu menatap tajam wajah Dewa Arak.
"Jangan salah paham, Sentanu. Yakinkah kau kalau mereka bukan orang-orang persilatan golongan hitam?"
"Hhh...!" Sentanu menghela napas panjang. "Kau tidak mempercayaiku, Dewa Arak?" tanya Sentanu. Nada suaranya terdengar kesal.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. Mulutnya menyunggingkan senyum. "Aku mempercayaimu. Sentanu. Hanya saja, aku butuh keterangan yang sejelas-jelasnya. Maka, aku mohon agar kau bersedia memberikan keterangan yang jelas," tegas Arya.
Mendengar ucapan Dewa Arak, wajah Sentanu kembali berseri. "Aku tidak akan begitu sembarangan menuduh, Arya. Orang orang yang menyerbu Perguruan Naga Api semalam berseragam kuning, dan di dada kiri ada sulaman gambar kepala seekor burung garuda.”
"Hanya itu saja, Sentanu?" tanya Dewa Arak seraya mengernyitkan keningnya. Dan memang, kalau hanya atas dasar itu saja, betapa kerdilnya wawasan pemuda ini
Sentanu menggelengkan kepalanya. "Tidak hanya itu saja, Arya. Mereka juga memainkan semua ilmu Perguruan Garuda Sakti, kecuali ilmu 'Cakar Garuda' Kepandaian mereka rata rata tinggi, sehingga tidak aneh kalau semua murid perguruan kami semuanya terbantai. Tingkat kepandaian mereka rata-rata setingkat dengan Kakang Prawira."
"Ahhh...!" desah Arya terkejut bukan main.
Ditatapnya wajah Ki Temula tajam. Sudah dapat diduga kalau orang-orang itu adalah didikan Ki Kerpala. Dan mendengar kelihaian mereka, sudah bisa diperkirakan kalau Ki Kerpala telah lama mendidiknya. Luar biasa!
Sekian tahun Ki Kerpala telah mampu keluar tanpa diketahui Ki Temula. Diam-diam Dewa Arak menyalahkan keteledoran Ketua Perguruan Garuda Sakti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak. Masih tidak percaya akan semua ucapannya? Cepat Menyingkirlah dari situ, Dewa Arak. Sebelum kakek licik itu membokongmu!" tegas Panglima Jumali.
Dewa Arak tersenyum. "Terima kasih atas nasihatmu, Panglima. Aku percaya akan keterangan Sentanu, Tapi, ketahuilah Aku telah lama menyelidiki peristiwa ini."
"Lalu bagaimana akhirnya, Dewa Arak?" tanya Panglima Jumali penuh gairah dan berusaha melunakkan hatinya.
"Aku berhasil menemukan pelaku semua kejahatan ini."
"Siapa dia, Dewa Arak? Ki Temula kan?" tebak Panglima itu langsung.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. "Bukan, Panglima. Bukan Ki Temula pelakunya."
"Ahhh...!" terdengar seruan-seruan terkejut dari mulut Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima Mantaya dan Sentanu.
"Bukan dia pelakunya? Lalu, siapa?" desak Panglima Jumali keras.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat menjawab, seorang prajurit berseru keras. "Panglima, istana kerajaan diserbu!"
"Apa?!" teriak Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima Mantaya dan Panglima Jatalu berbareng.
Bagai berlomba mereka berlari ke arah prajurit yang berteriak itu. Dan apa yang dikatakan prajurit itu memang benar. Dari ketinggian lereng gunung, nampak terlihat serombongan orang bergerak cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Cepat kembali ke istana!"
Serentak seluruh rombongan bergerak menuruni lereng menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
***
Begitu melihat keadaan markas Perguruan Naga Api yang kini telah menjadi puing-puing.
"Benar, Kang," sahut Panglima Gotawa yang juga bekas murid Perguruan Naga Api.
"Kita harus hancurkan Perguruan Garuda Sakti!" sambut Panglima Mantaya, juga bekas murid Perguruan Naga Api.
"Mari berangkat! Kita hancurkan markas mereka seperti mereka menghancurkan perguruan Kita!"
Setelah berkata demikian, rombongan yang dipimpin tiga orang Panglima itu segera bergerak. Jumlah mereka ratusan orang, dan kini bergerak menuju markas Perguruan Garuda Sakti.
Menjelang pagi, rombongan itu telah tiba di tujuan. Dan tanpa bicara apa-apa, pasukan itu langsung menyerbu.
Tentu saja murid-murid Perguruan Garuda Sakti menjadi terkejut bukan kepalang melihat serbuan pasukan Kerajaan Bojong Gading. Tapi terpaksa mereka melawan, karena tidak ingin mati konyol. Sebentar saja, terjadilah pertempuran massal.
Tapi karena jumlah mereka yang hanya sekitar tiga puluh lima orang, sementara jumlah pasukan penyerbu itu tidak kurang dari dua ratus orang, maka dalam waktu sebentar saja mereka sudah terdesak hebat. Apalagi di antara para penyerbu terdapat bekas murid Perguruan Naga Api.
Bagi yang berhadapan dengan prajurit masih untung. Tapi siallah bagi mereka yang bertemu Panglima Jumali, Panglima Gotawa, maupun Panglima Mantaya. Ketiga Panglima itu adalah bekas murid kepala Perguruan Naga Api. Dan walaupun telah lama keluar, mereka tetap rajin melatih diri. Sehingga, tidak aneh kalau kepandaian mereka semakin lihai karenanya. Ke mana saja ketiga Panglima ini bergerak, pasti ada satu tubuh yang roboh ke tanah.
Dan mendadak saja sepak terjang Panglima-Panglima ini tertahan, ketika bertemu dua orang murid kepala Perguruan Garuda Sakti.
"Apa maksudmu menyerang perguruan kami, Panglima Jumali?!" tanya salah seorang dari dua orang murid kepala yang berkulit wajah kuning. Keras nada suaranya.
"Tidak usah berpura-pura bodoh...!" sentak Panglima Jumali. "Aku datang untuk membalaskan dendam Guru dan adik-adik seperguruanku yang kalian bantai!"
"Apa?! Gilakah kau, Jumali?" sergah salah seorang lagi yang berkulit muka merah.
"Tidak usah banyak bacot! Awas serangan...!" selak Panglima Gotawa seraya menusukkan tombak pendeknya ke perut si wajah kuning.
Wut..!
Si muka kuning tidak bisa berkata apa-apa lagi. Cepat-cepat dielakkan serangan tombak itu dengan menggeser kaki. Kemudian dibalasnya serangan itu dengan menyabetkan pedang secara mendatar ke leher Panglima itu.
Melihat kawannya sudah menyerang, Panglima Jumali pun tidak tinggal diam. Cepat diputar pedangnya laksana baling-baling. Kemudian secara tidak terduga-duga, di-tusukkan ke arah kerongkongan si muka merah.
Si muka merah cepat menarik kepalanya ke belakang. Golok yang sejak tadi sudah terhunus di tangannya, segera disabetkan ke tangan Panglima Jumali yang menghunus pedang.
"Eh...!"
Panglima Jumali berseru kaget. Cepat-cepat ditarik pulang serangannya. Tak lupa, dilontarkannya tendangan lurus ke arah perut lawan.
Si muka merah melompat ke belakang seraya mengirimkan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sesaat kemudian keduanya sudah terlibat pertempuran sengit, dan berjalan seimbang.
Sedangkan pertempuran antara murid-murid Perguruan Garuda Sakti melawan pasukan kerajaan berlangsung berat sebelah. Dan tampak, satu demi satu mereka roboh. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi mereka semua akan tewas di tangan pasukan kerajaan itu.
Mendadak saja terdengar suara sorak sorai, disusul munculnya pasukan kerajaan di bawah pimpinan Panglima Jatalu. Tanpa bicara apa-apa, pasukan itu segera menyerbu pasukan yang tengah membantai murid-murid Perguruan Garuda Sakti.
Panglima Mantaya kaget. Dia tahu, siapa Panglima Jatalu itu. Seorang Panglima bekas murid kepala Perguruan Garuda Sakti. Rupanya berita penyerbuan ke perguruan ini sampai juga ke telinganya. Maka dia langsung buru-buru membawa pasukan untuk membela perguruannya.
Tak dapat dihindarkan lagi, terjadilah pertempuran antara kedua pasukan dari kerajaan yang sama, Kerajaan Bojong Gading. Panglima Mantaya tanpa ragu-ragu lagi segera menyongsong datangnya Panglima Jatalu. Dan sesaat kemudian keduanya sudah terlibat dalam pertempuran sengit. Dan kini, kembali korban berjatuhan.
Tapi sebelum pertempuran semakin berlarut-larut Terdengar bentakan nyaring. "Hentikan pertempuran...!"
Belum lagi gema suara bentakan itu lenyap, melesat dua sosok tubuh ke arena pertempuran. Sosok tubuh berwarna ungu dan kuning. Rupanya bentakan yang dikeluarkan disertai pengerahan tenaga dalam itu, membuat semua orang yang ada di situ terpaku.
Dada mereka semua terasa tergetar. Bahkan lutut pun terasa lemas Seketika itu juga pertarungan terhenti. Begitu juga pertarungan antara dua Panglima melawan dua murid kepala Perguruan Garuda Sakti.
Dari suara bentakan, keempat orang itu sudah bisa memperkirakan kesaktian pemiliknya. Segera semua mata tertuju pada asal suara itu.
Di tengah-tengah arena pertempuran, telah berdiri dua sosok tubuh. Yang pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun dan berambut putih keperakan, yang tak lain adalah Dewa Arak. Sedangkan yang seorang lagi adalah kakek berpakaian kuning berwajah tirus mirip tikus. Siapa lagi kalau bukan Ki Temula.
Memang, semula kedua orang sakti ini menunggu kembalinya Ki Kerpala. Tapi setelah lelah menunggu, sampai hari menjelang pagi, tidak juga nampak ada tanda-tanda kemunculannya. Dan pada saat itulah mereka malah mendengar suara denting senjata dan lengking kematian di kejauhan.
Ki Temula dan Dewa Arak menjadi curiga. Suara ribut-ribut itu sepertinya berasal dari sekitar Perguruan Garuda Sakti. Maka, cepat mereka melesat meninggalkan tempat itu menuju ke sana.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati kedua orang sakti ini, melihat pertempuran massal yang terjadi di situ. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera berteriak mencegah pertempuran itu berlanjut.
"Keparat..!" teriak Panglima Jumali ketika mengenali salah satu dari dua orang yang baru datang itu.
"Hiyaaa...!"
Sambil bertenak melengking nyaring, panglima itu menyerang kakek kecil kurus itu. Pedang di tangannya melesat cepat menusuk lurus ke arah ulu hati.
"Sabar dulu, Panglima. Tahan dulu amarah mu," desah kakek itu lirih seraya menggerakkan tangannya mendorong ke depan.
Wuuussa... !
Serangkum angin keras berhembus ke arah tubuh Panglima Jumali. Dan tusukan pedang itu pun melenceng arahnya, seperti tertahan oleh dinding yang tidak nampak.
Tubuh Panglima Jumali terhuyung. Meskipun demikian, Panglima ini tidak putus asa. Disadari kalau kakek di hadapannya ini bukan tandingannya. Tapi hal itu tidak membuatnya menjadi gentar. Namun sebelum Panglima itu kembali menyerang, Dewa Arak telah melangkah maju dan berdiri di tengah-tengah, di antara panglima itu dan Ki Temula.
"Sabar, Panglima," bujuk Arya pelan.
"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusanku!? Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!"
"Namaku Arya, Panglima. Kehadiranku di sini hanya untuk menghilangkan kesalah pahaman yang terjadi," jelas Dewa Arak, masih tetap tenang suaranya.
"Arya?!" kata Panglima itu mengulang perkataan Dewa Arak.
Keningnya berkernyit. Nama itu seperti pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana? Dia terus mengingat-ingatnya Dan sekarang dia ingat, karena pernah mendengarnya dari mulut Sentanu. Arya inilah yang telah dua kali menyelamatkan murid-murid Perguruan Naga Api.
"Benar, Panglima. Mengapa?"
Panglima Jumali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Tidak apa-apa. Hm.... bukankah kau yang telah menolong murid-murid Perguruan Naga Api dari ancaman maut orang-orang jahat ini? Tapi kenapa sekarang kau malah bersama dengan gembong penjahat ini?" tanya Panglima Jumali sambil menunjuk Ki Temula. Dia benar-benar tidak mengerti.
Dewa Arak menganggukkan kepalanya. "Menolong murid-murid Perguruan Naga Api memang benar. Tapi Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti bukanlah orang jahat Panglima."
Wajah Panglima Jumali berubah. "Ucapan apa ini?! Ki Temula dan murid-murid Perguruan Garuda Sakti telah membumihanguskan Perguruan Naga Api. dan membunuh Ki Santa! Itu bukan perbuatan jahat katamu, Arya?! Lalu, perbuatan manakah yang kau anggap jahat?"
"Apa?! Benarkah apa yang kau ucapkan itu, Panglima? Benarkah Perguruan Naga Api telah dibumi hanguskan?!" tanya Dewa Arak.
Wajah pemuda ini memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Sementara Ki Temula hanya berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Panglima Jumali hanya tersenyum sinis. Tak dijawabnya pertanyaan Dewa Arak. Sebaliknya perhatiannya malah dialihkan pada rombongan prajurit di belakangnya.
"Sentanu... ! Kemari kau!" teriak Panglima Jumali sambil melambaikan tangannya.
Pemuda berhidung besar itu melangkah maju. "Nah, Dewa Arak. Inilah satu-satunya murid Perguruan Naga Api yang berhasil lolos dari pembantaian Ki Temula dan orang-orang Perguruan Garuda Sakti! Sentanu! Ceritakanlah apa yang kau alami! Agar Dewa Arak tidak tertipu oleh penjahat culas itu!" teriak Panglima Jumali sambil menuding Ki Temula.
"Tutup mulutmu, Panglima Jumali!" teriak Panglima Jatalu keras.
Tidak senang hatinya melihat gurunya berkali-kali dihina Panglima Jumali. Kalau tidak segan pada gurunya, sudah diterjangnya Panglima itu.
"Tenanglah, Jatalu," bujuk Ki Temula, pelan sekali.
Memang, berita yang didengarnya dari mulut Panglima Jumali terlalu mengejutkan hatinya, sehingga membuatnya agak terpukul.
Panglima Jatalu pun terdiam. Bisa dimaklumi kata-kata gurunya. Kalau perasaan hatinya dituruti, bisa jadi persoalan ini akan menjadi kian kusut. Padahal, gurunya telah bersusah-payah berusaha meluruskan persoalan.
"Maafkan aku, Guru," ucap Panglima Jatalu pelan.
Dewa Arak menatap tajam. langsung ke bola mata Sentanu. Pemuda berambut putih keperakan ini mengenali pemuda berhidung besar ini sebagai salah seorang yang pernah menyerbu Perguruan Garuda Sakti.
"Benar yang dikatakan Panglima Jumali, Sentanu?" tanya Dewa Arak.
Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan merayapi sekujur wajah pemuda di hadapannya.
Sentanu bergidik melihat sorot mata Dewa Arak. Sepasang mata di hadapannya seolah-olah bukan mata manusia saja, tapi lebih cocok mata harimau!
"Semua yang dikatakan Panglima Jumali benar. Semalam, Ki Temula bersama tiga puluh murid Perguruan Garuda Sakti menyerbu. Ki Santa tewas di tangannya. Sementara, semua murid Perguruan Naga Api, tewas pula di tangan murid-murid Perguruan Garuda Sakti. Tidak itu saja yang dilakukan, mereka juga membakar habis bangunan perguruan kami!"
Dewa Arak tepekur. Terasa ada kesedihan yang mendalam pada suara pemuda di hadapannya. Dia tahu Sentanu berkata benar. Tapi, Ki Temula juga tidak salah. Yang masih menjadi tanda tanya baginya, siapa puluhan orang yang diyakini Sentanu sebagai murid-murid Perguruan Garuda Sakti?
Dengan pandang mata penuh pertanyaan, ditatapnya wajah Ki Temula. Sementara yang ditatap tengah tercenung bingung. Keningnya berkernyit dalam Kakek ini memang tengah berpikir keras.
"Kau yakin kalau orang-orang itu adalah murid-murid Perguruan Garuda Sakti, Sentanu?" tanya Dewa Arak lagi meminta ketegasan.
Sentanu menatap tajam wajah Dewa Arak.
"Jangan salah paham, Sentanu. Yakinkah kau kalau mereka bukan orang-orang persilatan golongan hitam?"
"Hhh...!" Sentanu menghela napas panjang. "Kau tidak mempercayaiku, Dewa Arak?" tanya Sentanu. Nada suaranya terdengar kesal.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. Mulutnya menyunggingkan senyum. "Aku mempercayaimu. Sentanu. Hanya saja, aku butuh keterangan yang sejelas-jelasnya. Maka, aku mohon agar kau bersedia memberikan keterangan yang jelas," tegas Arya.
Mendengar ucapan Dewa Arak, wajah Sentanu kembali berseri. "Aku tidak akan begitu sembarangan menuduh, Arya. Orang orang yang menyerbu Perguruan Naga Api semalam berseragam kuning, dan di dada kiri ada sulaman gambar kepala seekor burung garuda.”
"Hanya itu saja, Sentanu?" tanya Dewa Arak seraya mengernyitkan keningnya. Dan memang, kalau hanya atas dasar itu saja, betapa kerdilnya wawasan pemuda ini
Sentanu menggelengkan kepalanya. "Tidak hanya itu saja, Arya. Mereka juga memainkan semua ilmu Perguruan Garuda Sakti, kecuali ilmu 'Cakar Garuda' Kepandaian mereka rata rata tinggi, sehingga tidak aneh kalau semua murid perguruan kami semuanya terbantai. Tingkat kepandaian mereka rata-rata setingkat dengan Kakang Prawira."
"Ahhh...!" desah Arya terkejut bukan main.
Ditatapnya wajah Ki Temula tajam. Sudah dapat diduga kalau orang-orang itu adalah didikan Ki Kerpala. Dan mendengar kelihaian mereka, sudah bisa diperkirakan kalau Ki Kerpala telah lama mendidiknya. Luar biasa!
Sekian tahun Ki Kerpala telah mampu keluar tanpa diketahui Ki Temula. Diam-diam Dewa Arak menyalahkan keteledoran Ketua Perguruan Garuda Sakti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak. Masih tidak percaya akan semua ucapannya? Cepat Menyingkirlah dari situ, Dewa Arak. Sebelum kakek licik itu membokongmu!" tegas Panglima Jumali.
Dewa Arak tersenyum. "Terima kasih atas nasihatmu, Panglima. Aku percaya akan keterangan Sentanu, Tapi, ketahuilah Aku telah lama menyelidiki peristiwa ini."
"Lalu bagaimana akhirnya, Dewa Arak?" tanya Panglima Jumali penuh gairah dan berusaha melunakkan hatinya.
"Aku berhasil menemukan pelaku semua kejahatan ini."
"Siapa dia, Dewa Arak? Ki Temula kan?" tebak Panglima itu langsung.
Dewa Arak menggelengkan kepalanya. "Bukan, Panglima. Bukan Ki Temula pelakunya."
"Ahhh...!" terdengar seruan-seruan terkejut dari mulut Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima Mantaya dan Sentanu.
"Bukan dia pelakunya? Lalu, siapa?" desak Panglima Jumali keras.
Tapi sebelum Dewa Arak sempat menjawab, seorang prajurit berseru keras. "Panglima, istana kerajaan diserbu!"
"Apa?!" teriak Panglima Jumali, Panglima Gotawa, Panglima Mantaya dan Panglima Jatalu berbareng.
Bagai berlomba mereka berlari ke arah prajurit yang berteriak itu. Dan apa yang dikatakan prajurit itu memang benar. Dari ketinggian lereng gunung, nampak terlihat serombongan orang bergerak cepat menuju Istana Kerajaan Bojong Gading.
"Cepat kembali ke istana!"
Serentak seluruh rombongan bergerak menuruni lereng menuju Kotaraja Kerajaan Bojong Gading.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment