Empat sosok tubuh berkelebat cepat ke arah rumah Kepala Desa Gebang. Mereka adalah Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kantara.
"Ingat, Sapta. Kau tidak perlu menghiraukan diriku. Aku akan mencoba menahan Raksasa Rimba Neraka, dan kau cari musuh besar yang telah membunuh keluargamu. Kami akan membantumu. Mengerti?!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus berlari.
Sapta menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. Tak lama kemudian, keempat sosok tubuh itu pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar dan megah yang berhalaman luas itu. Rumah Kepala Desa Gebang.
Tentu saja dua orang yang menjaga pintu gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah menewaskan banyak teman mereka. Dan keduanya pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi yang berkepandaian tinggi itu.
Maka, seketika diputuskan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Sebelum kedua orang itu sempat berbuat sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka telah menghunus senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek, dan Kami dengan pedang.
Wut...! Wuk...!
Dua buah senjata itu melesat cepat mengiringi melesatnya tubuh mereka.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jerit kematian terdengar saling susul, mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka tewas dengan leher hampir putus.
Tentu saja suara jerit kematian itu menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong anak buah Toga, melesat ke arah suara itu berasal.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kanara tidak bertindak setengah-setengah lagi. Mereka segera menyambut serbuan anak buah Toga dengan penuh semangat. Setiap serangan yang dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian kembali terdengar saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan semut menerjang api, dan satu persatu berguguran.
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggelegar, yang membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat. Begitu hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tanpa sadar Pengemis Tongkat Merah, dan murid-muridnya melompat mundur.
Mereka semua memandang ke satu arah, ke tempat suara itu berasal. Sekitar tiga tombak dari arena pertarungan, nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak lain Raksasa Rimba Neraka. Dia memang telah kembali, setelah membumi hanguskan Perguruan Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri Gajula dan Toga.
"Kau urusi saja musuh besarmu, Sapta. Biar kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat Merah.
"Tapi, Guru...,"
Pemuda berhidung melengkung yang tahu kalau gurunya bukan tandingan Raksasa Rimba Neraka, mencoba membantah.
"Tidak ada bantahan lagi, Sapta! Ini perintah...!" desis kakek pengemis itu tegas.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak. "Tidak kusangka kalau berani datang kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak akan lari terbirit-birit lagi seperti dulu?!"
Merah wajah Pengemis Tongkat Merah. "Raksasa Rimba Neraka! Tidak kusangka kalau kau ternyata begitu pengecut! Kau membantai semua muridku selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas kekejianmu terhadap semua muridku!"
Setelah berkata demikian, Pengemis Tongkat Merah segera memutar tongkatnya di depan dada. Angin menderu keras, mengiringi putaran tongkat itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berseru keras, kakek pengemis ini melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya disabetkan ke arah leher lawannya. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat tangannya, menangkis.
Plak!
Hebat akibatnya. Tubuh Pengemis Tongkat Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang menggenggam tongkat terasa sakit bukan main. Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya bergetar saja.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram keras. Telah bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat Merah, setelah kakek pengemis itu tidak ditemukan di perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek pengemis ini berhasil menyelamatkan diri lagi!
Kini kakek itu menjulurkan kedua tangannya ke depan, kemudian mengepalkannya perlahan-lahan. Terdengar bunyi bergemeletuk seolah-olah tulang-belulang kakek raksasa ini berpatahan. Suara itu semakin jelas terdengar ketika Raksasa Rimba Neraka menarik kedua tangannya yang terkepal itu ke sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tangan kanan kakek raksasa yang terkepal itu dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak, seolah-olah ada halilintar menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah.
"Hup...!"
Kakek kurus kering membanting tubuhnya ke tanah, lalu berguling-gulingan.
Blarrr...!
Seketika itu juga, tanah berlubang besar terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak mengenai sasaran.
Melihat serangannya gagal, si raksasa ini marah bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang tengah bergulingan itu, dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara meledak-ledak laksana halilintar.
Maka repotlah Pengemis Tongkat Merah dibuatnya. Tiada jalan lain baginya kecuali terus bergulingan kalau ingin selamat. Berhenti berguling berarti berhenti pula nyawanya.
Sementara itu, Sapta dan Kami yang semula ingin menerjang Toga dan Gajula, jadi mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam keadaan demikian. Namun tiba-tiba....
Sraat...!
Kami segera menghunus pedangnya.
Wuk...! Wuk...!
Sapta pun memutar-mutarkan tombak pendeknya.
"Hiyaaa.,.!"
Sambil memekik melengking, Kami melompat. Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke arah leher Raksasa Rimba Neraka yang tengah menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan mautnya.
"Haaat...!"
Sapta pun tak ketinggalan. Pemuda berhidung melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di tangannya diputar-putarkan di udara, sebelum ditusukkan ke perut Raksasa Rimba Neraka.
Menghadapi dua serangan maut ini, Raksasa Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa dialihkan perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.
"Grrrh...!"
Sambil mengeluarkan gerengan kemarahan, kakek raksasa ini menggerakkan tangannya menangkis.
Trak...! Trak..!
"Ihhh...!"
"Ahhh...!"
Sapta dan Kami berbarengan menjerit kaget. Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam senjata, terasa lumpuh seketika saat tangan telanjang si raksasa menangkis serangan mereka.
Belum lagi hilang rasa terkejut yang melanda hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali bergerak. Dan....
Tappp...! Kreppp...!
Pedang dan tombak pendek milik kedua muda-mudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan Sapta dan Kami tentu saja tidak membiarkan senjata andalan mereka terampas.
Buru-buru mereka mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk membetot. Tapi, cekalan pada senjata mereka sama sekali tidak bergeming. Sebaliknya, begitu Raksasa Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh Kami dan Sapta pun tertarik maju
Pengemis Tongkat Merah tentu saja melihat keadaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka cepat-cepat dia melompat sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala si raksasa.
Namun Raksasa Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya hancur tersabet tongkat kakek kurus kering. Mau tidak mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.
Wusss...!
Tongkat merah itu lewat beberapa rambut di depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu menarik kepalanya mundur ke belakang. Beberapa saat kemudian, keempat orang itu pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Kini setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan berlangsung seimbang.
Sementara itu Toga, Gajula dan anak buahnya, terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu. Demikian pula dengan Kantara yang hanya berdiri mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan Sapta.
Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak mengiringi pertempuran mereka. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tidak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Tapi setelah pertarungan berlangsung tiga puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa Rimba Neraka yang perlahan namun pasti mulai menguasai keadaan.
"Hiyaaa...!"
Kami berteriak nyaring. Pedang di tangannya berkelebat ke arah tenggorokkan. Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan pedang itu. Melihat hal ini, Raksasa Rimba Neraka menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.
Takkk...! Tappp...!
"Ikh...!"
Kami berteriak tertahan. Tubuhnya melayang deras ketika tangan si raksasa itu menangkis, sekaligus menangkap dan membetot. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya gadis itu tidak mampu berbuat apa-apa, dan membiarkan pedangnya dirampas lawan.
"Hup...!"
Gadis berpakaian jingga itu mendaratkan kedua kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung.
Singgg...!
Secepat pedang Kami dirampas, secepat itu pula dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang. Terpaksa pemuda berhidung melengkung itu membatalkan serangannya, dan menangkis sambitan pedang yang melesat ke arahnya.
Tranggg...!
Begitu kuatnya tenaga yang terkandung dalam lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta menangkis, tombak di tangannya terlepas dari pegangan. Kini leluasalah Raksasa Rimba Neraka menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan geledeknya.
Kembali untuk yang kesekian kalinya, kakek kurus kering itu berlompatan ke sana kemari menghindari setiap serangan lawan. Tak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus kering ini tak akan bertahan lama.
Sadar jika keadaan seperti ini berlangsung terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis Tongkat Merah bertekad menerobos hujan pukulan jarak jauh yang bertubi-tubi menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek pengemis itu melayang ke arah Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya disodokkan ke arah ulu hati. Tapi sebelum serangan itu tiba, si raksasa telah melepaskan pukulan 'Tinju Geledek'-nya.
"Hih...!"
Wuuuttt...! Prattt...!
"Akh...!"
Pengemis Tongkat merah memekik tertahan. Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan, ketika pukulan 'Tinju Geledek' lawan menyerempet pahanya.
Dengan tubuh sempoyongan, kakek pengemis ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum sempat berbuat apa-apa, serangan susulan lawan menyambar tiba.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menderu keras ketika ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah, yang hanya mampu menatap dengan mata membeliak lebar.
Di saat yang amat gawat bagi Pengemis Tongkat Merah, dari arah yang berlawanan, menyambar serentetan angin berhawa panas, yang menderu memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.
Blarrr...!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah pukulan jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas bertemu di udara. Bunyi ledakan yang amat keras terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar seolah terjadi gempa.
Pengemis Tongkat Merah segera membanting tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh Raksasa Rimba Neraka tampak terhuyung. Tanpa melihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah mampu membuat dirinya seperti itu.
Di hadapan Raksasa Rimba Neraka, tampak berdiri tenang seorang pemuda berambut putih keperakan. Sebuah guci arak yang terbuat dari perak, nampak tengah dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokannya.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram. Kakek pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang. Sebab, lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya yang hampir berhasil membunuh Pengemis Tongkat Merah.
"Hih...!"
Dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi Raksasa Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tinju Geledek'. Kedua tangannya melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah dada. Setiap gerakan tangannya menimbulkan suara meledak-ledak bagai geledek.
Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari serangan itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Arya berkelit.
Maka, setiap serangan Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat kosong. Yang lebih hebat lagi, begitu mengelak, Dewa Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'!
Sementara itu, begitu melihat Raksasa Rimba Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak mau membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat menerjang musuh besar masing-masing.
Sapta menerjang Toga, sedangkan Kami menerjang Gajula. Sementara Pengemis Tongkat Merah dan Kantara menghadapi pengeroyokan anak buah Toga.
Sapta kini telah menggenggam kembali tombak pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan senjata itu diterjangnya Toga penuh kemarahan. Tombak pendek di tangannya berputaran, menimbulkan suara angin menderu-deru.
Toga yang telah mengetahui kelihaian pemuda putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah. Maka, segera dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala Desa Gebang ini memaki-maki Dewa Arak yang untuk kesekian kalinya mengacau urusannya.
Tranggg...! Tranggg...!
Dua kali berturut-turut Toga menangkis serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya terasa bergetar hebat. Sadarlah si kumis melintang ini kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah Sapta.
Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan sendiri kehebatan tenaga dalam pemuda di hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya mencoba mengadu tenaga kembali.
Wut...!
Kembali serangan susulan tombak pendek Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran sejenak, sebelum membabat leher.
Melihat serangan ini, Toga kebingungan. Karena tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya. Apalagi serangan itu dilakukan secara berputar, sehingga membuatnya pusing.
Dan baru setelah serangan itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran serangan itu. Toga buru-buru mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan tombak itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Dan begitu serangan itu lewat, tanpa membuang-buang waktu lagi golok di tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang terbuka lebar.
Tapi murid andalan Pengemis Tongkat Merah ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok. Buru-buru tusukan itu dielakkan sambil tak lupa mengirim serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat pertarungan mati-matian.
Di bagian lain, Kami tampak tengah berjuang keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba Neraka ini memang cukup lihai. Dan tentu saja Kami harus menguras kemampuan untuk melawannya. Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran di sekujur tubuh lawan.
Di antara para penyerbu itu, Pengemis Tongkat Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya menghadapi puluhan keroco. Dengan gerakan seenaknya, dirangsek lawan-lawannya. Ke mana tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada sesosok tubuh yang roboh.
Jerit pekik kematian terdengar saling susul. Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang roboh di tangan kakek kurus kering ini. Pengemis Tongkat Merah bertarung tidak sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran memperhatikan pertempuran lainnya. Terutama pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba Neraka.
"Akh...!"
Jerit tertahan membuat Pengemis Tongkat Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi lawannya jadi terperanjat. Suara itu cukup dikenalnya. Suara Kantara! Segera saja kepala kakek kurus kering itu ditolehkan ke arah asal suara.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya, melihat Kantara terhuyung-huyung. Di dada pemuda itu tertancap sebatang golok bergerigi mirip gergaji yang tembus sampai ke punggung. Kalau melihat bentuknya, jelas golok itu milik Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara bertempur melawan Gurat.
Seketika pucat wajah Pengemis Tongkat Merah. Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh. Kakek ini melompat meninggalkan arena pertempuran, dan langsung menerjang Gurat.
Dan memang, dia pun telah menghabisi lawan-lawannya. Gurat kaget bukan main. Maka sebisanya dia berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat bagi guru Kantara.
Prak!
"Aaakh...!"
Tubuh Gurat rubuh di tanah ketika tongkat merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam kepalanya hingga remuk. Tepat saat Gurat tewas, Sapta berteriak nyaring. Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah perut Toga yang sudah terdesak. Cepat-cepat kepala desa itu menangkis.
Tranggg...!
Tangan Toga tergetar hebat. Dan di saat itu kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.
Tukkk...!
Toga merasakan tangannya mendadak lumpuh, dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tombak di tangan Sapta meluruk deras ke arah lambung Toga.
Blesss...!
"Aaakh...!"
Toga menjerit memilukan. Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian roboh untuk selamanya.
"Adi Toga...!"
Gajula menjerit ketika melihat adik kandungnya berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak bergerak lagi.
"Keparat...! Kubunuh kau...!"
Tanpa mempedulikan Kami, Gajula melompat menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam mangsa.
Kami yang melihat bahaya besar mengancam Sapta, segera melesat memburu. Pedangnya ditusukkan ke depan.
Sementara itu, Sapta hanya terkesiap. Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk memapak serangan dengan kedua tangan.
Plak!
Tubuh Sapta terjengkang ke belakang. Memang tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi sebelum Gajula sempat memberikan serangan susulan, serangan pedang Kami telah lebih dulu tiba.
Cappp...!
"Akh...!"
Gajula memekik tertahan. Pedang Kami telah menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut. Darah segar kontan muncrat ketika Kami mencabut pedangnya. Tubuh Gajula sempoyongan.
Tampak jelas kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena luka-luka yang diderita terlalu parah, dia pun roboh ke tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Kau tidak apa-apa, Kang?" tanya Kami. Wajahnya menampakkan kecemasan yang hebat.
Sapta menggelengkan kepalanya. Rasa gembira yang amat sangat melanda hatinya melihat kekhawatiran gadis itu terhadap keselamatannya.
"Ingat, Sapta. Kau tidak perlu menghiraukan diriku. Aku akan mencoba menahan Raksasa Rimba Neraka, dan kau cari musuh besar yang telah membunuh keluargamu. Kami akan membantumu. Mengerti?!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus berlari.
Sapta menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. Tak lama kemudian, keempat sosok tubuh itu pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar dan megah yang berhalaman luas itu. Rumah Kepala Desa Gebang.
Tentu saja dua orang yang menjaga pintu gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah menewaskan banyak teman mereka. Dan keduanya pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi yang berkepandaian tinggi itu.
Maka, seketika diputuskan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Sebelum kedua orang itu sempat berbuat sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa sungkan-sungkan lagi mereka telah menghunus senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek, dan Kami dengan pedang.
Wut...! Wuk...!
Dua buah senjata itu melesat cepat mengiringi melesatnya tubuh mereka.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jerit kematian terdengar saling susul, mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka tewas dengan leher hampir putus.
Tentu saja suara jerit kematian itu menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong anak buah Toga, melesat ke arah suara itu berasal.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kanara tidak bertindak setengah-setengah lagi. Mereka segera menyambut serbuan anak buah Toga dengan penuh semangat. Setiap serangan yang dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian kembali terdengar saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan semut menerjang api, dan satu persatu berguguran.
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggelegar, yang membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat. Begitu hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tanpa sadar Pengemis Tongkat Merah, dan murid-muridnya melompat mundur.
Mereka semua memandang ke satu arah, ke tempat suara itu berasal. Sekitar tiga tombak dari arena pertarungan, nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak lain Raksasa Rimba Neraka. Dia memang telah kembali, setelah membumi hanguskan Perguruan Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri Gajula dan Toga.
"Kau urusi saja musuh besarmu, Sapta. Biar kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat Merah.
"Tapi, Guru...,"
Pemuda berhidung melengkung yang tahu kalau gurunya bukan tandingan Raksasa Rimba Neraka, mencoba membantah.
"Tidak ada bantahan lagi, Sapta! Ini perintah...!" desis kakek pengemis itu tegas.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak. "Tidak kusangka kalau berani datang kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak akan lari terbirit-birit lagi seperti dulu?!"
Merah wajah Pengemis Tongkat Merah. "Raksasa Rimba Neraka! Tidak kusangka kalau kau ternyata begitu pengecut! Kau membantai semua muridku selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas kekejianmu terhadap semua muridku!"
Setelah berkata demikian, Pengemis Tongkat Merah segera memutar tongkatnya di depan dada. Angin menderu keras, mengiringi putaran tongkat itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berseru keras, kakek pengemis ini melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya disabetkan ke arah leher lawannya. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat tangannya, menangkis.
Plak!
Hebat akibatnya. Tubuh Pengemis Tongkat Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang menggenggam tongkat terasa sakit bukan main. Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya bergetar saja.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram keras. Telah bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat Merah, setelah kakek pengemis itu tidak ditemukan di perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek pengemis ini berhasil menyelamatkan diri lagi!
Kini kakek itu menjulurkan kedua tangannya ke depan, kemudian mengepalkannya perlahan-lahan. Terdengar bunyi bergemeletuk seolah-olah tulang-belulang kakek raksasa ini berpatahan. Suara itu semakin jelas terdengar ketika Raksasa Rimba Neraka menarik kedua tangannya yang terkepal itu ke sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tangan kanan kakek raksasa yang terkepal itu dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak, seolah-olah ada halilintar menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah.
"Hup...!"
Kakek kurus kering membanting tubuhnya ke tanah, lalu berguling-gulingan.
Blarrr...!
Seketika itu juga, tanah berlubang besar terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak mengenai sasaran.
Melihat serangannya gagal, si raksasa ini marah bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang tengah bergulingan itu, dengan pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara meledak-ledak laksana halilintar.
Maka repotlah Pengemis Tongkat Merah dibuatnya. Tiada jalan lain baginya kecuali terus bergulingan kalau ingin selamat. Berhenti berguling berarti berhenti pula nyawanya.
Sementara itu, Sapta dan Kami yang semula ingin menerjang Toga dan Gajula, jadi mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam keadaan demikian. Namun tiba-tiba....
Sraat...!
Kami segera menghunus pedangnya.
Wuk...! Wuk...!
Sapta pun memutar-mutarkan tombak pendeknya.
"Hiyaaa.,.!"
Sambil memekik melengking, Kami melompat. Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke arah leher Raksasa Rimba Neraka yang tengah menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan mautnya.
"Haaat...!"
Sapta pun tak ketinggalan. Pemuda berhidung melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di tangannya diputar-putarkan di udara, sebelum ditusukkan ke perut Raksasa Rimba Neraka.
Menghadapi dua serangan maut ini, Raksasa Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa dialihkan perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.
"Grrrh...!"
Sambil mengeluarkan gerengan kemarahan, kakek raksasa ini menggerakkan tangannya menangkis.
Trak...! Trak..!
"Ihhh...!"
"Ahhh...!"
Sapta dan Kami berbarengan menjerit kaget. Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam senjata, terasa lumpuh seketika saat tangan telanjang si raksasa menangkis serangan mereka.
Belum lagi hilang rasa terkejut yang melanda hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali bergerak. Dan....
Tappp...! Kreppp...!
Pedang dan tombak pendek milik kedua muda-mudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan Sapta dan Kami tentu saja tidak membiarkan senjata andalan mereka terampas.
Buru-buru mereka mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki untuk membetot. Tapi, cekalan pada senjata mereka sama sekali tidak bergeming. Sebaliknya, begitu Raksasa Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh Kami dan Sapta pun tertarik maju
Pengemis Tongkat Merah tentu saja melihat keadaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka cepat-cepat dia melompat sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala si raksasa.
Namun Raksasa Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya hancur tersabet tongkat kakek kurus kering. Mau tidak mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.
Wusss...!
Tongkat merah itu lewat beberapa rambut di depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu menarik kepalanya mundur ke belakang. Beberapa saat kemudian, keempat orang itu pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Kini setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan berlangsung seimbang.
Sementara itu Toga, Gajula dan anak buahnya, terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu. Demikian pula dengan Kantara yang hanya berdiri mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan Sapta.
Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak mengiringi pertempuran mereka. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tidak tentu arah. Debu pun mengepul tinggi ke udara. Tapi setelah pertarungan berlangsung tiga puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa Rimba Neraka yang perlahan namun pasti mulai menguasai keadaan.
"Hiyaaa...!"
Kami berteriak nyaring. Pedang di tangannya berkelebat ke arah tenggorokkan. Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan pedang itu. Melihat hal ini, Raksasa Rimba Neraka menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.
Takkk...! Tappp...!
"Ikh...!"
Kami berteriak tertahan. Tubuhnya melayang deras ketika tangan si raksasa itu menangkis, sekaligus menangkap dan membetot. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya gadis itu tidak mampu berbuat apa-apa, dan membiarkan pedangnya dirampas lawan.
"Hup...!"
Gadis berpakaian jingga itu mendaratkan kedua kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung.
Singgg...!
Secepat pedang Kami dirampas, secepat itu pula dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang. Terpaksa pemuda berhidung melengkung itu membatalkan serangannya, dan menangkis sambitan pedang yang melesat ke arahnya.
Tranggg...!
Begitu kuatnya tenaga yang terkandung dalam lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta menangkis, tombak di tangannya terlepas dari pegangan. Kini leluasalah Raksasa Rimba Neraka menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan geledeknya.
Kembali untuk yang kesekian kalinya, kakek kurus kering itu berlompatan ke sana kemari menghindari setiap serangan lawan. Tak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus kering ini tak akan bertahan lama.
Sadar jika keadaan seperti ini berlangsung terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis Tongkat Merah bertekad menerobos hujan pukulan jarak jauh yang bertubi-tubi menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek pengemis itu melayang ke arah Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya disodokkan ke arah ulu hati. Tapi sebelum serangan itu tiba, si raksasa telah melepaskan pukulan 'Tinju Geledek'-nya.
"Hih...!"
Wuuuttt...! Prattt...!
"Akh...!"
Pengemis Tongkat merah memekik tertahan. Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan, ketika pukulan 'Tinju Geledek' lawan menyerempet pahanya.
Dengan tubuh sempoyongan, kakek pengemis ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum sempat berbuat apa-apa, serangan susulan lawan menyambar tiba.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menderu keras ketika ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah, yang hanya mampu menatap dengan mata membeliak lebar.
Di saat yang amat gawat bagi Pengemis Tongkat Merah, dari arah yang berlawanan, menyambar serentetan angin berhawa panas, yang menderu memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.
Blarrr...!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah pukulan jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas bertemu di udara. Bunyi ledakan yang amat keras terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar seolah terjadi gempa.
Pengemis Tongkat Merah segera membanting tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh Raksasa Rimba Neraka tampak terhuyung. Tanpa melihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah mampu membuat dirinya seperti itu.
Di hadapan Raksasa Rimba Neraka, tampak berdiri tenang seorang pemuda berambut putih keperakan. Sebuah guci arak yang terbuat dari perak, nampak tengah dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokannya.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram. Kakek pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang. Sebab, lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya yang hampir berhasil membunuh Pengemis Tongkat Merah.
"Hih...!"
Dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi Raksasa Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tinju Geledek'. Kedua tangannya melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah dada. Setiap gerakan tangannya menimbulkan suara meledak-ledak bagai geledek.
Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari serangan itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Arya berkelit.
Maka, setiap serangan Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat kosong. Yang lebih hebat lagi, begitu mengelak, Dewa Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'!
Sementara itu, begitu melihat Raksasa Rimba Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak mau membuang-buang waktu lagi. Mereka cepat-cepat menerjang musuh besar masing-masing.
Sapta menerjang Toga, sedangkan Kami menerjang Gajula. Sementara Pengemis Tongkat Merah dan Kantara menghadapi pengeroyokan anak buah Toga.
Sapta kini telah menggenggam kembali tombak pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan senjata itu diterjangnya Toga penuh kemarahan. Tombak pendek di tangannya berputaran, menimbulkan suara angin menderu-deru.
Toga yang telah mengetahui kelihaian pemuda putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah. Maka, segera dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala Desa Gebang ini memaki-maki Dewa Arak yang untuk kesekian kalinya mengacau urusannya.
Tranggg...! Tranggg...!
Dua kali berturut-turut Toga menangkis serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya terasa bergetar hebat. Sadarlah si kumis melintang ini kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah Sapta.
Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan sendiri kehebatan tenaga dalam pemuda di hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya mencoba mengadu tenaga kembali.
Wut...!
Kembali serangan susulan tombak pendek Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran sejenak, sebelum membabat leher.
Melihat serangan ini, Toga kebingungan. Karena tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya. Apalagi serangan itu dilakukan secara berputar, sehingga membuatnya pusing.
Dan baru setelah serangan itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran serangan itu. Toga buru-buru mendoyongkan tubuhnya ke belakang, sehingga serangan tombak itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Dan begitu serangan itu lewat, tanpa membuang-buang waktu lagi golok di tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang terbuka lebar.
Tapi murid andalan Pengemis Tongkat Merah ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok. Buru-buru tusukan itu dielakkan sambil tak lupa mengirim serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat pertarungan mati-matian.
Di bagian lain, Kami tampak tengah berjuang keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba Neraka ini memang cukup lihai. Dan tentu saja Kami harus menguras kemampuan untuk melawannya. Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran di sekujur tubuh lawan.
Di antara para penyerbu itu, Pengemis Tongkat Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya menghadapi puluhan keroco. Dengan gerakan seenaknya, dirangsek lawan-lawannya. Ke mana tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada sesosok tubuh yang roboh.
Jerit pekik kematian terdengar saling susul. Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang roboh di tangan kakek kurus kering ini. Pengemis Tongkat Merah bertarung tidak sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran memperhatikan pertempuran lainnya. Terutama pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba Neraka.
"Akh...!"
Jerit tertahan membuat Pengemis Tongkat Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi lawannya jadi terperanjat. Suara itu cukup dikenalnya. Suara Kantara! Segera saja kepala kakek kurus kering itu ditolehkan ke arah asal suara.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya, melihat Kantara terhuyung-huyung. Di dada pemuda itu tertancap sebatang golok bergerigi mirip gergaji yang tembus sampai ke punggung. Kalau melihat bentuknya, jelas golok itu milik Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara bertempur melawan Gurat.
Seketika pucat wajah Pengemis Tongkat Merah. Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh. Kakek ini melompat meninggalkan arena pertempuran, dan langsung menerjang Gurat.
Dan memang, dia pun telah menghabisi lawan-lawannya. Gurat kaget bukan main. Maka sebisanya dia berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat bagi guru Kantara.
Prak!
"Aaakh...!"
Tubuh Gurat rubuh di tanah ketika tongkat merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam kepalanya hingga remuk. Tepat saat Gurat tewas, Sapta berteriak nyaring. Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah perut Toga yang sudah terdesak. Cepat-cepat kepala desa itu menangkis.
Tranggg...!
Tangan Toga tergetar hebat. Dan di saat itu kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.
Tukkk...!
Toga merasakan tangannya mendadak lumpuh, dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, tombak di tangan Sapta meluruk deras ke arah lambung Toga.
Blesss...!
"Aaakh...!"
Toga menjerit memilukan. Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian roboh untuk selamanya.
"Adi Toga...!"
Gajula menjerit ketika melihat adik kandungnya berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak bergerak lagi.
"Keparat...! Kubunuh kau...!"
Tanpa mempedulikan Kami, Gajula melompat menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam mangsa.
Kami yang melihat bahaya besar mengancam Sapta, segera melesat memburu. Pedangnya ditusukkan ke depan.
Sementara itu, Sapta hanya terkesiap. Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk memapak serangan dengan kedua tangan.
Plak!
Tubuh Sapta terjengkang ke belakang. Memang tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi sebelum Gajula sempat memberikan serangan susulan, serangan pedang Kami telah lebih dulu tiba.
Cappp...!
"Akh...!"
Gajula memekik tertahan. Pedang Kami telah menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut. Darah segar kontan muncrat ketika Kami mencabut pedangnya. Tubuh Gajula sempoyongan.
Tampak jelas kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena luka-luka yang diderita terlalu parah, dia pun roboh ke tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sejenak, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Kau tidak apa-apa, Kang?" tanya Kami. Wajahnya menampakkan kecemasan yang hebat.
Sapta menggelengkan kepalanya. Rasa gembira yang amat sangat melanda hatinya melihat kekhawatiran gadis itu terhadap keselamatannya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment