Seorang kakek bertubuh tinggi besar, satu setengah kali manusia biasa, bergerak cepat mendaki Lereng Gunung Jarak. Kakek tinggi besar ini adalah Raksasa Rimba Neraka. Tujuannya mendaki gunung itu jelas mencari Pengemis Tongkat Merah.
Dan dari penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung itu, Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan Tongkat Merah. Raksasa Rimba Neraka memang mempunyai aturan aneh. Setiap lawan ya
ng telah kalah olehnya harus mati. Pengemis Tongkat Merah memang telah dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang menolong, kakek kurus kering ini tidak tewas di tangannya.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa Rimba Neraka telah menemukan tempat itu. Kakek raksasa itu memandangi bangunan yang terbuat dari bilik b
ambu, dan mempunyai halaman luas yang dikelilingi pagar bambu tinggi. Di atas pintu gerbang, terpampang papan lebar yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.
Hanya beberapa kali lompatan saja, kakek raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan tiba-tiba dua orang murid perguruan yang berjaga di depan pintu gerbang, langsung menghadang langkah kakek ini. Mereka sa
ling memiringkan tongkat berwarna merah yang digenggam, sehingga membentuk tanda silang.
"Siapa Kisanak ini? Mengapa memasuki daerah kekuasaan Perguruan Tongkat Merah?" tanya salah seorang yang berjaga-jaga.
Wajahnya nampak memancar
kan kekagetan melihat tubuh kakek yang berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak waspada. Melihat dandanan kakek di hadapan mereka ini saja, mereka sudah bisa memperkirakan kalau kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka
tertawa bergelak. "Aku datang untuk membunuh Pengemis Tongkat Merah! Sekaligus ingin menghancurkan perguruan ini!"
"Keparat..!" teriak salah seorang dari penjaga itu.
Tongkat merah di tangann
ya pun disabetkannya. Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini ukuran tubuhnya biasa saja, sementara Raksasa Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya, maka serangannya pun hanya mengancam bawah pundak kakek raksasa itu.
Raksasa Rimba Neraka tersenyum mengejek. Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal lengannya itu
Bukkk...! Krakkk...?
Telak dan keras sekali t
ongkat itu menghantam sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar pangkal lengan Raksasa Rimba Neraka justru yang patah!
"Ha ha ha...!" kembali kakek tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak. Berbarengan dengan itu, kedua tangannya diulurkan ke depan.
Tappp...! Tappp...!
Tanpa kedua penjaga itu sempat berbuat apa-apa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si raksasa itu.
"Akh...!"
"Ah...!"
Kedua penjaga itu memekik tertahan. Dirasakan tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tangan Raksasa Rimba Neraka bergerak.
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras ketika kedua kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain. Cairan kental berwarna kemerahan, berikut cairan kental berwarna keputihan langsung muncrat dari kepala yang pecah itu.
Tidak ada lagi suara yang terdengar. Dan ketika kakek tinggi besar itu melepaskan cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu pun ambruk ke tanah. Mati.
Tentu saja keributan yang terjadi di depan pintu gerbang itu, segera mengundang murid-murid lainnya. Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan Tongkat Merah yang berjumlah sekitar dua belas orang berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan sikap mengancam.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu mengerikan. Tanpa banyak tanya lagi mereka pun bergerak menyerbu.
"Hiyaaa...!"
"Haaattt..!"
Dengan didahului jerit melengking nyaring, tongkat-tongkat mereka pun berkelebat cepat menyambar ke arah berbagai bagian tubuh Raksasa Rimba Neraka.
Bukkk...! Bukkk...! Takkk...!
Suara berdebukan terdengar susul-menyusul ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada sasaran masing-masing.
Raksasa Rimba Neraka memang tidak menghindari semua serangan itu. Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan-lawannya, pukulan tongkat-tongkat itu tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat yang menghantam sasarannya patah-patah.
"Sekarang giliranku...!" ucap raksasa itu keras ketika tidak ada lagi hujan serangan tongkat menyambarnya.
Belum lagi gema suara ucapannya lenyap, tangan kakek raksasa itu bergerak ke sana kemari. Sederhana saja gerakannya, tapi akibatnya hebat bukan main.
Ke manapun tangannya bergerak, sudah dapat dipastikan ada satu jiwa yang melayang. Jerit kematian terdengar saling susul dibarengi berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan nyawanya.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking panjang, mengiringi robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada lagi sosok tubuh yang masih berdiri. Semuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan.
Tapi rupanya kakek tinggi besar ini belum puas terhadap semua perbuatan yang dilakukan. Didekatinya sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa yang berdaun lebat. Setelah jarak antara dirinya dengan pohon itu hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan kedua tangannya ke depan. Kemudian perlahan-lahan tangannya dikepalkan.
Suara berkerotokan keras terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan tangannya. Lambat tapi penuh tenaga, kedua tangan yang telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara berkerotokan semakin terdengar keras ketika kedua tangan itu ditarik.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya yang terkepal itu ke depan.
Wuttt...!
Bresss...! Pralll...!
Angin berhawa panas menderu keras, lalu menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan secepat angin pukulan itu mengenai rerimbunan dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar! Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.
"Haaat...!"
Sekali lagi Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang pohon besar itu.
Wuuusss...!
Braaakkk...!
Pohon itu langsung rubuh ketika angin pukulan kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian dalam batang pohon itu hangus bagai terbakar!
"Hih...!''
Kembali kakek raksasa ini menggerakkan tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan gerak mendorong!
Wusss...! Wuk...! Brakkk...!
Hebat luar biasa tenaga dalam yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya, pohon itu didorong sehingga jatuh tepat di depan salah satu bangunan Perguruan Tongkat Merah.
Seketika itu juga api yang tengah membakar pohon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik bambu. Mendapat sasaran yang memang mudah terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak, memandangi api yang berkobar melahap bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak penuh keringat. Napasnya pun memburu hebat.
Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak menguras tenaga. Sebenarnya kalau kakek raksasa ini hanya ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah payah seperti itu. Dia bisa langsung mengerahkan 'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik itu. Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa Rimba Neraka sebenarnya hanya ingin mengetahui kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!
"Ha ha ha...!"
Diiringi tawa terbahak-bahak, ditinggalkannya tempat yang perlahan namun pasti mulai habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada sesosok tubuh yang berlari meninggalkan tempat itu.
***
"Keparat...!"
Pengemis Tongkat Merah memaki. Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam. Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara bergemeletak dari tulang-tulang tangan yang mengepal itu.
Dipandangi dalam-dalam sosok tubuh di hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil melarikan diri sewaktu Raksasa Rimba Neraka mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak pucat wajahnya.
"Benarkah ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu, Antara?” tanya kakek pengemis ini lagi, untuk memastikan.
“Benar, Guru.”
Pengemis Tongkat Merah mengangkat wajahnya. “Kalau begitu, aku harus membalas perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil membunuh kawanan mereka sebanyak-banyaknya!"
"Aku ikut, Ayah!" tegas Kami buru-buru.
"Aku juga, Guru!" Sapta tak mau kalah.
"Begitu pula aku, Guru," pinta Kantara.
Kakek kurus kering ini, memandangi wajah anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada kebanggaan terpancar di mata kakek ini.
"Sudah dipertimbangkan masak-masak keputusan kalian itu?"
"Sudah, Guru!" sahut mereka serentak.
"Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian sendiri?"
"Kami tidak takut!"
"Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak kakek itu seraya beranjak dari situ.
Sapta, Kami dan Kantara, berjalan mengikuti. Telah bulat tekad mereka untuk menumpas gerombolan Toga dan kawan-kawannya sekalipun harus berkorban nyawa!
***
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Dewa Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau murid Pengemis Tongkat Merah salah paham. Mungkin dia disangka hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa ditinggalnya pemuda itu.
Tapi belum berapa jauh berlari, tubuh Dewa Arak mulai limbung dan akhirnya tak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi, dia terjatuh di tanah. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju ungu itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkan saja tubuhnya tergolek di tanah. Arya memang bermaksud meredakan dulu napasnya yang memburu.
Setelah alur napasnya kembali normal, Dewa Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang agak tersembunyi. Di sudut bibir pemuda itu nampak bercak-bercak cairan darah merah.
Dikeluarkan sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan kain yang terselip di pinggangnya. Dewa Arak mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu memang manjur untuk menyembuhkan luka dalam.
Beberapa saat kemudian, Arya mulai diserang rasa kantuk. Dan perlahan namun pasti, sepasang mata itu mulai mengatup. Tak lama kemudian Dewa Arak pun tertidur.
Cukup lama juga pemuda itu tertidur. Dan ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat sangat. Tapi, rasa nyeri yang melanda dadanya sudah tidak ada lagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini segera duduk bersila.
Punggungnya diluruskan, sementara kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Tak lama kemudian, Arya sudah tenggelam dalam keheningan semadi untuk memulihkan tenaganya kembali. Waktu berlalu tak terasa. Malam pun berganti pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan semadinya. Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda itu menghentikan semadinya.
"Hhh...!"
Dewa Arak mendesah lega. Kini seluruh tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun telah pulih. Perlahan Arya bangkit dari bersilanya. Kemudian berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang matanya menerawang ke depan, sementara benaknya berpikir keras mengingat hal aneh yang dijumpainya semalam.
Memang Dewa Arak tengah dilanda kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di rumah Kepala Desa Gebang? Padahal menurut cerita Ki Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia itu bekas kepala pengawal Ki Panjar. Juga sebenarnya Toga bukan tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa bersama Raksasa Rimba Neraka?
Tapi sampai otaknya lelah berpikir, Dewa Arak belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju ungu ini sadar kalau jawaban bagi semua pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang.
Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali melesat ke sana. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam kecil. Dan akhirnya titik kecil itu lenyap di kejauhan.
***
Dan dari penduduk yang tinggal di sekitar lereng gunung itu, Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan Tongkat Merah. Raksasa Rimba Neraka memang mempunyai aturan aneh. Setiap lawan ya
ng telah kalah olehnya harus mati. Pengemis Tongkat Merah memang telah dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang menolong, kakek kurus kering ini tidak tewas di tangannya.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa Rimba Neraka telah menemukan tempat itu. Kakek raksasa itu memandangi bangunan yang terbuat dari bilik b
ambu, dan mempunyai halaman luas yang dikelilingi pagar bambu tinggi. Di atas pintu gerbang, terpampang papan lebar yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.
Hanya beberapa kali lompatan saja, kakek raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan tiba-tiba dua orang murid perguruan yang berjaga di depan pintu gerbang, langsung menghadang langkah kakek ini. Mereka sa
ling memiringkan tongkat berwarna merah yang digenggam, sehingga membentuk tanda silang.
"Siapa Kisanak ini? Mengapa memasuki daerah kekuasaan Perguruan Tongkat Merah?" tanya salah seorang yang berjaga-jaga.
Wajahnya nampak memancar
kan kekagetan melihat tubuh kakek yang berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak waspada. Melihat dandanan kakek di hadapan mereka ini saja, mereka sudah bisa memperkirakan kalau kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka
tertawa bergelak. "Aku datang untuk membunuh Pengemis Tongkat Merah! Sekaligus ingin menghancurkan perguruan ini!"
"Keparat..!" teriak salah seorang dari penjaga itu.
Tongkat merah di tangann
ya pun disabetkannya. Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini ukuran tubuhnya biasa saja, sementara Raksasa Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya, maka serangannya pun hanya mengancam bawah pundak kakek raksasa itu.
Raksasa Rimba Neraka tersenyum mengejek. Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal lengannya itu
Bukkk...! Krakkk...?
Telak dan keras sekali t
ongkat itu menghantam sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar pangkal lengan Raksasa Rimba Neraka justru yang patah!
"Ha ha ha...!" kembali kakek tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak. Berbarengan dengan itu, kedua tangannya diulurkan ke depan.
Tappp...! Tappp...!
Tanpa kedua penjaga itu sempat berbuat apa-apa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si raksasa itu.
"Akh...!"
"Ah...!"
Kedua penjaga itu memekik tertahan. Dirasakan tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tangan Raksasa Rimba Neraka bergerak.
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras ketika kedua kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain. Cairan kental berwarna kemerahan, berikut cairan kental berwarna keputihan langsung muncrat dari kepala yang pecah itu.
Tidak ada lagi suara yang terdengar. Dan ketika kakek tinggi besar itu melepaskan cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu pun ambruk ke tanah. Mati.
Tentu saja keributan yang terjadi di depan pintu gerbang itu, segera mengundang murid-murid lainnya. Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan Tongkat Merah yang berjumlah sekitar dua belas orang berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan sikap mengancam.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu mengerikan. Tanpa banyak tanya lagi mereka pun bergerak menyerbu.
"Hiyaaa...!"
"Haaattt..!"
Dengan didahului jerit melengking nyaring, tongkat-tongkat mereka pun berkelebat cepat menyambar ke arah berbagai bagian tubuh Raksasa Rimba Neraka.
Bukkk...! Bukkk...! Takkk...!
Suara berdebukan terdengar susul-menyusul ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada sasaran masing-masing.
Raksasa Rimba Neraka memang tidak menghindari semua serangan itu. Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan-lawannya, pukulan tongkat-tongkat itu tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat yang menghantam sasarannya patah-patah.
"Sekarang giliranku...!" ucap raksasa itu keras ketika tidak ada lagi hujan serangan tongkat menyambarnya.
Belum lagi gema suara ucapannya lenyap, tangan kakek raksasa itu bergerak ke sana kemari. Sederhana saja gerakannya, tapi akibatnya hebat bukan main.
Ke manapun tangannya bergerak, sudah dapat dipastikan ada satu jiwa yang melayang. Jerit kematian terdengar saling susul dibarengi berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan nyawanya.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking panjang, mengiringi robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada lagi sosok tubuh yang masih berdiri. Semuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan.
Tapi rupanya kakek tinggi besar ini belum puas terhadap semua perbuatan yang dilakukan. Didekatinya sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa yang berdaun lebat. Setelah jarak antara dirinya dengan pohon itu hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan kedua tangannya ke depan. Kemudian perlahan-lahan tangannya dikepalkan.
Suara berkerotokan keras terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan tangannya. Lambat tapi penuh tenaga, kedua tangan yang telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara berkerotokan semakin terdengar keras ketika kedua tangan itu ditarik.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya yang terkepal itu ke depan.
Wuttt...!
Bresss...! Pralll...!
Angin berhawa panas menderu keras, lalu menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan secepat angin pukulan itu mengenai rerimbunan dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar! Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.
"Haaat...!"
Sekali lagi Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang pohon besar itu.
Wuuusss...!
Braaakkk...!
Pohon itu langsung rubuh ketika angin pukulan kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian dalam batang pohon itu hangus bagai terbakar!
"Hih...!''
Kembali kakek raksasa ini menggerakkan tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan gerak mendorong!
Wusss...! Wuk...! Brakkk...!
Hebat luar biasa tenaga dalam yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya, pohon itu didorong sehingga jatuh tepat di depan salah satu bangunan Perguruan Tongkat Merah.
Seketika itu juga api yang tengah membakar pohon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik bambu. Mendapat sasaran yang memang mudah terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak, memandangi api yang berkobar melahap bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak penuh keringat. Napasnya pun memburu hebat.
Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak menguras tenaga. Sebenarnya kalau kakek raksasa ini hanya ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah payah seperti itu. Dia bisa langsung mengerahkan 'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik itu. Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa Rimba Neraka sebenarnya hanya ingin mengetahui kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!
"Ha ha ha...!"
Diiringi tawa terbahak-bahak, ditinggalkannya tempat yang perlahan namun pasti mulai habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada sesosok tubuh yang berlari meninggalkan tempat itu.
***
"Keparat...!"
Pengemis Tongkat Merah memaki. Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam. Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara bergemeletak dari tulang-tulang tangan yang mengepal itu.
Dipandangi dalam-dalam sosok tubuh di hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil melarikan diri sewaktu Raksasa Rimba Neraka mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak pucat wajahnya.
"Benarkah ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu, Antara?” tanya kakek pengemis ini lagi, untuk memastikan.
“Benar, Guru.”
Pengemis Tongkat Merah mengangkat wajahnya. “Kalau begitu, aku harus membalas perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil membunuh kawanan mereka sebanyak-banyaknya!"
"Aku ikut, Ayah!" tegas Kami buru-buru.
"Aku juga, Guru!" Sapta tak mau kalah.
"Begitu pula aku, Guru," pinta Kantara.
Kakek kurus kering ini, memandangi wajah anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada kebanggaan terpancar di mata kakek ini.
"Sudah dipertimbangkan masak-masak keputusan kalian itu?"
"Sudah, Guru!" sahut mereka serentak.
"Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian sendiri?"
"Kami tidak takut!"
"Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak kakek itu seraya beranjak dari situ.
Sapta, Kami dan Kantara, berjalan mengikuti. Telah bulat tekad mereka untuk menumpas gerombolan Toga dan kawan-kawannya sekalipun harus berkorban nyawa!
***
Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Dewa Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau murid Pengemis Tongkat Merah salah paham. Mungkin dia disangka hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa ditinggalnya pemuda itu.
Tapi belum berapa jauh berlari, tubuh Dewa Arak mulai limbung dan akhirnya tak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi, dia terjatuh di tanah. Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju ungu itu sama sekali tidak bergerak. Dibiarkan saja tubuhnya tergolek di tanah. Arya memang bermaksud meredakan dulu napasnya yang memburu.
Setelah alur napasnya kembali normal, Dewa Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang agak tersembunyi. Di sudut bibir pemuda itu nampak bercak-bercak cairan darah merah.
Dikeluarkan sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan kain yang terselip di pinggangnya. Dewa Arak mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu memang manjur untuk menyembuhkan luka dalam.
Beberapa saat kemudian, Arya mulai diserang rasa kantuk. Dan perlahan namun pasti, sepasang mata itu mulai mengatup. Tak lama kemudian Dewa Arak pun tertidur.
Cukup lama juga pemuda itu tertidur. Dan ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat sangat. Tapi, rasa nyeri yang melanda dadanya sudah tidak ada lagi. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan ini segera duduk bersila.
Punggungnya diluruskan, sementara kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Tak lama kemudian, Arya sudah tenggelam dalam keheningan semadi untuk memulihkan tenaganya kembali. Waktu berlalu tak terasa. Malam pun berganti pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan semadinya. Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda itu menghentikan semadinya.
"Hhh...!"
Dewa Arak mendesah lega. Kini seluruh tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun telah pulih. Perlahan Arya bangkit dari bersilanya. Kemudian berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang matanya menerawang ke depan, sementara benaknya berpikir keras mengingat hal aneh yang dijumpainya semalam.
Memang Dewa Arak tengah dilanda kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di rumah Kepala Desa Gebang? Padahal menurut cerita Ki Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia itu bekas kepala pengawal Ki Panjar. Juga sebenarnya Toga bukan tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa bersama Raksasa Rimba Neraka?
Tapi sampai otaknya lelah berpikir, Dewa Arak belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju ungu ini sadar kalau jawaban bagi semua pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang.
Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali melesat ke sana. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam kecil. Dan akhirnya titik kecil itu lenyap di kejauhan.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment