Dewa Arak tidak bisa membantu Kami lagi, karena tampak Raksasa Rimba Neraka itu sudah berhasil memperbaiki posisinya. Terpaksa dipusatkan perhatiannya lagi pada kakek raksasa ini kalau masih ingin hidup.
“Hih...!”
Arya menggertakkan gigi. Kembali kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss...!
Raksasa Rimba Neraka tidak mau kalah. Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wuuusss...!
Blarrr...!
Dua tiupan angin pukulan yang sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan keras luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh. Keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang berada di sekitar tempat itu pun bergetar hebat!
Tapi yang lebih hebat lagi, adalah yang dialami kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh Raksasa Rimba Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang. Dan serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh masing-masing.
"Akh...!"
Terdengar pekikan tertahan, disusul terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula berhasil mengejarnya. Dan dalam keadaan kondisi tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu menghadapi kedua orang lihai itu. Segera saja gadis itu terdesak hebat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan telak Toga berhasil mendarat di dadanya.
Walaupun sekujur tubuh Dewa Arak dilanda rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa Rimba Neraka! Dan ketika melihat keadaan Kami, Arya menggertakkan gigi menahan kemarahan yang meluap. Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan Toga yang tengah mengeroyok Kami.
Karuan saja Gajula dan Toga menjadi gentar bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan pemuda berambut putih keperakan itu. Maka begitu melihat tubuh pemuda itu melayang mendekati, keduanya pun berlari menghindar.
Tappp...!
Tanpa menghiraukan Toga dan Gajula, Dewa Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah limbung itu. Dipondong dan dibawanya gadis itu kabur dari situ.
Tak ada seorang pun yang berani menghalangi kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka, orang satu-satunya yang dapat menahan Arya, tengah sibuk mengusir serangan hawa panas yang merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami kesulitan sama sekali Kami dapat lolos dibawa Dewa Arak.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Arya hinggap di tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung milik Toga. Tubuhnya tampak terhuyung begitu kedua kakinya mendarat di tanah, tapi tidak dipedulikan. Dan terus berlari.
Walaupun disadari kalau dirinya telah terkena serangan hawa panas, pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal kalau tidak segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.
Arya terus berlari cepat, walaupun tempat tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini perasaan pening mulai menjalari kepala Dewa Arak. Seketika pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar sebuah bentakan nyaring.
"Manusia cabul! Lepaskan wanita itu!"
Belum habis gema suara bentakan itu, sesosok bayangan yang belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya mencoba mengelak, tapi keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan begitu menyulitkannya.
Bukkk...!
Pukulan dari sosok bayangan itu telak mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan, dan tubuhnya langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh Kami yang tengah dipondongnya terlepas dan terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di tanah, si penyerang telah terlebih dulu bergerak.
Tappp...!
Tubuh Kami berhasil ditangkap orang itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hawa panas yang menyerang membuat pandangannya berkunang-kunang. Sehingga, Dewa Arak kini tidak bisa melihat jelas sosok tubuh di hadapannya.
Tapi bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas, dia adalah murid Pengemis Tongkat Merah. Dan kini samar-samar terdengar ucapan si penyerang.
"Kau tidak apa-apa, Kami?"
Tampaklah si penyerang tengah meletakkan gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang cerdas segera saja dapat menduga kalau pemuda itu adalah teman wanita yang ditolongnya.
Itu terbukti dari ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat mengenalkan nama padanya. Dan nama Kami adalah nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan pemuda itu salah paham padanya. Dan kini, tampak pemuda teman Kami itu hendak menyerang Dewa Arak.
"Tahan...," ucap Dewa Arak lemah. Digoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
Tapi Sapta kelihatannya sudah marah bukan main ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu membawa lari orang yang dicintainya. Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya yang waktu itu setengah sadar, membuatnya lupa kalau pemuda yang berada di hadapannya inilah yang telah menolong dirinya dan gurunya. Apalagi saat itu kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali tangannya bergerak melancarkan serangan.
Dewa Arak kaget sekali. Walaupun tidak melihat jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja dapat diketahui kalau pemuda di hadapannya tengah menyerangnya secara ganas!
Padahal, bukankah pemuda itu tahu kalau dialah yang telah menyelamatkan dirinya dan gurunya dari keganasan Raksasa Rimba Neraka? Kenapa kini pemuda itu hendak membunuhnya? Perasaan penasaran dan keinginan untuk menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya, membuat Dewa Arak jadi mata gelap.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar deras memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini menjadi kaget bukan main. Cepat dilempar tubuhnya ke samping, dan bergulingan di tanah.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran menghantam.
"Huakkk...!"
Tiba-tiba Dewa Arak memuntahkan darah segar dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga yang dipaksakan, akibatnya hawa panas yang menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.
Tapi Arya tidak memperdulikannya. Segera dia melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang masih terpaku menatap akibat angin pukulan yang dilepaskan Dewa Arak.
"Okh...,"
Kami mengeluh lirih. Sepasang matanya yang berbulu lentik mengerjap-ngerjap. Gadis ini memang jatuh pingsan sewaktu Dewa Arak terjengkang diserang Sapta. Sementara Sapta yang sejak tadi menunggui Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseriseri wajahnya begitu melihat gadis itu sadar.
"Eh! Di mana dia...?" tanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini. Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari sesuatu.
"Mencari siapa, Kami?"
Sapta balas bertanya. Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu sepertinya tidak memperhatikan dirinya.
"Pemuda yang menolongku...."
Ada suatu perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini ketika teringat Dewa Arak. Wajahnya jantan, keperkasaan, dan tindak-tanduknya yang begitu tenang, begitu mengagumkan hatinya. Seketika wajah pemuda berhidung melengkung ini berubah.
"Siapa?"
"Pemuda berambut putih keperakan," jelas Kami.
"Pemuda yang memondongmu?" tanya Sapta. Ada nada tidak senang dalam suara itu.
Kami tentu saja merasakan adanya nada ketidak senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang bagus bentuknya itu pun berkerut. Ditatapnya wajah pemuda di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul pemuda yang memondongnya sehingga tubuhnya terlempar, dan jatuh pingsan.
"Jadi..., jadi kau rupanya yang menyerang pemuda itu sampai terjengkang?!"
Pucat wajah Sapta seketika. Tapi pantang baginya menyembunyikan perbuatannya.
"Ya!" jawabnya tegas. "Akulah yang menyerangnya!"
"Lalu, ke mana dia?!" desak Kami. Tajam dan keras nada suaranya.
"Kabur! Sehabis melepaskan pukulan yang menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!" sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena angin pukulan Dewa Arak.
Kami menolehkan kepalanya, memandang ke arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk gadis itu melihat pohon yang begitu besar, hancur berantakan. Beberapa saat lamanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini terpaku.
"Aku tahu pasti, tidak akan mungkin dia melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya tidak terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena berkali-kali sewaktu membawaku lari, langkahnya sempoyongan dan hampir jatuh."
Sapta menghela napas. "Memang kuakui, Kami. Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."
"Dan yang pasti, kau menyerangnya dengan sebuah pukulan mematikan, bukan?" selak Kami berapi-api. ''Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga mengeluarkan pukulan yang sangat menguras tenaga. Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam karena bertarung melawan Raksasa Rimba Neraka dan antek-antek musuh besarmu! Kalau tidak, jangan harap kau dapat merubuhkannya!"
Sapta mengangkat kepalanya. Kesal juga pemuda ini disalahkan terus-menerus. "Kuakui, aku memang salah. Tapi itu tidak berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa menyerangnya, karena khawatir pemuda itu akan berbuat tidak baik kepadamu!"
Kami tersadar seketika. Memang disadari kalau sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu terpaksa berbuat demikian karena khawatir akan keselamatan dirinya.
"Maafkan aku, Kang," ucap gadis itu pelan.
Sapta tersenyum perlahan. Kecerahan pada wajahnya pun nampak kembali.
''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah pada pemuda penolongmu itu. Kelak bila berjumpa kembali dengannya, aku akan meminta maaf," jelas Sapta.
Pemuda ini memang mengakui kalau hatinya terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya, dia menyerang lebih dulu.
Kami hanya dapat mengangguk.
"Nah, sekarang mari kita menemui Guru," ajak Sapta.
"Heh?! Kita kembali ke perguruan?!" Langkah kaki Kami seketika terhenti.
"Tentu saja tidak!"
"Lalu?!"
"Guru memang telah berada di desa ini," jelas Sapta.
"Ayah ada di desa ini?!" tanya Kami setengah tidak percaya.
"Ya!" jawab Sapta membenarkan.
Kemudian diceritakan semuanya. Sejak dirinya tertangkap sampai dibawa kabur gurunya.
"Dan ketika kami berdua merasa lapar, aku pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa sangka aku melihat sesosok bayangan tengah memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia kuikuti. Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar bulan membantuku untuk mengetahui kalau kaulah orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau sendiri pun tahu."
Kami mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.
"Sekarang, mari kita berangkat," ajak Sapta.
Setelah berkata demikian, tubuh Sapta pun melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, agar cepat sampai ke tujuannya. Kami pun segera melesat mengikuti. Tak lama kemudian suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.
Pengemis Tongkat Merah bangkit berdiri. Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki. Semula kakek ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik langkah kaki itu.
Pemuda itu memang sejak tadi ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua langkah kaki mendekati tempatnya, kecurigaannya pun timbul. Dalam sekejap pikiran kakek pengemis ini berputar. Tiba-tiba....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk mengetahui, apakah yang datang itu kawan ataukah lawan. Berkat sinar bulan yang cukup terang, kakek ini dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah mendekati tempatnya. Dan begitu jelas terlihat orang yang bergerak mendekatinya, kegembiraan kakek ini pun meledak!
Tampak di bawah sana Sapta dan seorang gadis yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak? Karena gadis itu adalah Kami! Anak angkatnya yang menurut cerita Sapta tertawan Raksasa Rimba Neraka.
Semula begitu mendengar anak angkatnya tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak mempunyai harapan lagi akan keselamatan Kami. Dia telah mendengar kebiasaan terkutuk tokoh Rimba Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya memakan daging manusia, dia juga suka mempermainkan wanita!
Sebenarnya kakek itu bersama Sapta sudah menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis mengisi perut. Berhasil atau tidak bukan masalah. Demikian keputusan mereka berdua.
Tapi kenyataannya, kini gadis itu berjalan bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah Sapta telah pergi ke sana seorang diri dan menyelamatkannya? Ataukah gadis itu sendiri yang berhasil menyelamatkan diri?
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Pengemis Tongkat Merah mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan Sapta dan Kami.
Tentu saja Sapta dan Kami kaget bukan main. Seketika seluruh urat syaraf di tubuh mereka menegang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu mengenali orang yang secara mendadak berada di hadapan mereka, seketika itu juga urat-urat syaraf di tubuh keduanya kembali mengendur.
"Guru...!" seru Sapta.
"Ayah...!" ujar Kami tak mau kalah. Kedua tangannya langsung dikembangkan. Ditubruknya ayah angkatnya.
Pengemis Tongkat Merah memeluk tubuh anak angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan hitam milik gadis itu. Suaranya terdengar tersendat.
"Ayah hampir tidak percaya melihatmu, Kami. Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa Rimba Neraka. Bagaimana kau bisa lolos dari tangan raksasa itu?"
Kami melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah kakek kurus kering di hadapannya dalamdalam. Sepasang mata gadis ini nampak memerah. Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari hati Kami. Rasa takut akan terjadinya sesuatu yang mengerikan, dan hampir menghancurkan masa depannya.
"Seseorang telah menolongku, Ayah."
"Ah...!"
Pengemis Tongkat Merah berseru kaget. Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan Raksasa Rimba Neraka itu? Perasaan bingung menggayuti hatinya.
"Apakah orang itu Sapta?" tanya kakek itu dalam hati.
Seketika wajah pemuda tinggi besar itu memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa dia telah melakukan perbuatan tercela. Dia telah melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak disengaja.
"Dewa Arak, Ayah," tegas Kami.
"Dewa Arak...?!" teriak kakek pengemis ini kaget.
Kami menganggukkan kepala membenarkan. Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan semuanya. Dari mulai kedatangan Dewa Arak di saat ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai Dewa Arak terluka oleh Sapta karena kesalah pahaman.
"Ah...! Memang, berita tentang keluhuran budi Dewa Arak tidak berlebihan. Walaupun kita sama sekali bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu. Sungguh besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan dapat membalasnya...," keluh kakek itu. "Dan kau, Sapta. Ingat, kau harus meminta maaf padanya atas perbuatanmu itu. Mengerti?!"
"Mengerti, Guru," pemuda berhidung melengkung itu menganggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang pangganglah dulu kelinci hasil tangkapanmu itu, Sapta!" ujar Pengemis Tongkat Merah mengalihkan pembicaraan.
Sapta segera mengerjakan perintah gurunya, membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak lama kemudian mereka pun sudah sibuk mempersiapkan semuanya.
***
“Hih...!”
Arya menggertakkan gigi. Kembali kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss...!
Raksasa Rimba Neraka tidak mau kalah. Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke depan.
"Hiyaaa...!"
Wuuusss...!
Blarrr...!
Dua tiupan angin pukulan yang sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan keras luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh. Keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang berada di sekitar tempat itu pun bergetar hebat!
Tapi yang lebih hebat lagi, adalah yang dialami kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh Raksasa Rimba Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang. Dan serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh masing-masing.
"Akh...!"
Terdengar pekikan tertahan, disusul terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula berhasil mengejarnya. Dan dalam keadaan kondisi tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu menghadapi kedua orang lihai itu. Segera saja gadis itu terdesak hebat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan telak Toga berhasil mendarat di dadanya.
Walaupun sekujur tubuh Dewa Arak dilanda rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa Rimba Neraka! Dan ketika melihat keadaan Kami, Arya menggertakkan gigi menahan kemarahan yang meluap. Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan Toga yang tengah mengeroyok Kami.
Karuan saja Gajula dan Toga menjadi gentar bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan pemuda berambut putih keperakan itu. Maka begitu melihat tubuh pemuda itu melayang mendekati, keduanya pun berlari menghindar.
Tappp...!
Tanpa menghiraukan Toga dan Gajula, Dewa Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah limbung itu. Dipondong dan dibawanya gadis itu kabur dari situ.
Tak ada seorang pun yang berani menghalangi kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka, orang satu-satunya yang dapat menahan Arya, tengah sibuk mengusir serangan hawa panas yang merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami kesulitan sama sekali Kami dapat lolos dibawa Dewa Arak.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Arya hinggap di tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung milik Toga. Tubuhnya tampak terhuyung begitu kedua kakinya mendarat di tanah, tapi tidak dipedulikan. Dan terus berlari.
Walaupun disadari kalau dirinya telah terkena serangan hawa panas, pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal kalau tidak segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.
Arya terus berlari cepat, walaupun tempat tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini perasaan pening mulai menjalari kepala Dewa Arak. Seketika pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar sebuah bentakan nyaring.
"Manusia cabul! Lepaskan wanita itu!"
Belum habis gema suara bentakan itu, sesosok bayangan yang belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya mencoba mengelak, tapi keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan begitu menyulitkannya.
Bukkk...!
Pukulan dari sosok bayangan itu telak mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan, dan tubuhnya langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh Kami yang tengah dipondongnya terlepas dan terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di tanah, si penyerang telah terlebih dulu bergerak.
Tappp...!
Tubuh Kami berhasil ditangkap orang itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hawa panas yang menyerang membuat pandangannya berkunang-kunang. Sehingga, Dewa Arak kini tidak bisa melihat jelas sosok tubuh di hadapannya.
Tapi bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas, dia adalah murid Pengemis Tongkat Merah. Dan kini samar-samar terdengar ucapan si penyerang.
"Kau tidak apa-apa, Kami?"
Tampaklah si penyerang tengah meletakkan gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang cerdas segera saja dapat menduga kalau pemuda itu adalah teman wanita yang ditolongnya.
Itu terbukti dari ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat mengenalkan nama padanya. Dan nama Kami adalah nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan pemuda itu salah paham padanya. Dan kini, tampak pemuda teman Kami itu hendak menyerang Dewa Arak.
"Tahan...," ucap Dewa Arak lemah. Digoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
Tapi Sapta kelihatannya sudah marah bukan main ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu membawa lari orang yang dicintainya. Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya yang waktu itu setengah sadar, membuatnya lupa kalau pemuda yang berada di hadapannya inilah yang telah menolong dirinya dan gurunya. Apalagi saat itu kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali tangannya bergerak melancarkan serangan.
Dewa Arak kaget sekali. Walaupun tidak melihat jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja dapat diketahui kalau pemuda di hadapannya tengah menyerangnya secara ganas!
Padahal, bukankah pemuda itu tahu kalau dialah yang telah menyelamatkan dirinya dan gurunya dari keganasan Raksasa Rimba Neraka? Kenapa kini pemuda itu hendak membunuhnya? Perasaan penasaran dan keinginan untuk menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya, membuat Dewa Arak jadi mata gelap.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar deras memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini menjadi kaget bukan main. Cepat dilempar tubuhnya ke samping, dan bergulingan di tanah.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran menghantam.
"Huakkk...!"
Tiba-tiba Dewa Arak memuntahkan darah segar dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga yang dipaksakan, akibatnya hawa panas yang menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.
Tapi Arya tidak memperdulikannya. Segera dia melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang masih terpaku menatap akibat angin pukulan yang dilepaskan Dewa Arak.
"Okh...,"
Kami mengeluh lirih. Sepasang matanya yang berbulu lentik mengerjap-ngerjap. Gadis ini memang jatuh pingsan sewaktu Dewa Arak terjengkang diserang Sapta. Sementara Sapta yang sejak tadi menunggui Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseriseri wajahnya begitu melihat gadis itu sadar.
"Eh! Di mana dia...?" tanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini. Sepasang matanya berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari sesuatu.
"Mencari siapa, Kami?"
Sapta balas bertanya. Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu sepertinya tidak memperhatikan dirinya.
"Pemuda yang menolongku...."
Ada suatu perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini ketika teringat Dewa Arak. Wajahnya jantan, keperkasaan, dan tindak-tanduknya yang begitu tenang, begitu mengagumkan hatinya. Seketika wajah pemuda berhidung melengkung ini berubah.
"Siapa?"
"Pemuda berambut putih keperakan," jelas Kami.
"Pemuda yang memondongmu?" tanya Sapta. Ada nada tidak senang dalam suara itu.
Kami tentu saja merasakan adanya nada ketidak senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang bagus bentuknya itu pun berkerut. Ditatapnya wajah pemuda di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul pemuda yang memondongnya sehingga tubuhnya terlempar, dan jatuh pingsan.
"Jadi..., jadi kau rupanya yang menyerang pemuda itu sampai terjengkang?!"
Pucat wajah Sapta seketika. Tapi pantang baginya menyembunyikan perbuatannya.
"Ya!" jawabnya tegas. "Akulah yang menyerangnya!"
"Lalu, ke mana dia?!" desak Kami. Tajam dan keras nada suaranya.
"Kabur! Sehabis melepaskan pukulan yang menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!" sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena angin pukulan Dewa Arak.
Kami menolehkan kepalanya, memandang ke arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk gadis itu melihat pohon yang begitu besar, hancur berantakan. Beberapa saat lamanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini terpaku.
"Aku tahu pasti, tidak akan mungkin dia melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya tidak terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena berkali-kali sewaktu membawaku lari, langkahnya sempoyongan dan hampir jatuh."
Sapta menghela napas. "Memang kuakui, Kami. Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."
"Dan yang pasti, kau menyerangnya dengan sebuah pukulan mematikan, bukan?" selak Kami berapi-api. ''Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga mengeluarkan pukulan yang sangat menguras tenaga. Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam karena bertarung melawan Raksasa Rimba Neraka dan antek-antek musuh besarmu! Kalau tidak, jangan harap kau dapat merubuhkannya!"
Sapta mengangkat kepalanya. Kesal juga pemuda ini disalahkan terus-menerus. "Kuakui, aku memang salah. Tapi itu tidak berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa menyerangnya, karena khawatir pemuda itu akan berbuat tidak baik kepadamu!"
Kami tersadar seketika. Memang disadari kalau sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu terpaksa berbuat demikian karena khawatir akan keselamatan dirinya.
"Maafkan aku, Kang," ucap gadis itu pelan.
Sapta tersenyum perlahan. Kecerahan pada wajahnya pun nampak kembali.
''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah pada pemuda penolongmu itu. Kelak bila berjumpa kembali dengannya, aku akan meminta maaf," jelas Sapta.
Pemuda ini memang mengakui kalau hatinya terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya, dia menyerang lebih dulu.
Kami hanya dapat mengangguk.
"Nah, sekarang mari kita menemui Guru," ajak Sapta.
"Heh?! Kita kembali ke perguruan?!" Langkah kaki Kami seketika terhenti.
"Tentu saja tidak!"
"Lalu?!"
"Guru memang telah berada di desa ini," jelas Sapta.
"Ayah ada di desa ini?!" tanya Kami setengah tidak percaya.
"Ya!" jawab Sapta membenarkan.
Kemudian diceritakan semuanya. Sejak dirinya tertangkap sampai dibawa kabur gurunya.
"Dan ketika kami berdua merasa lapar, aku pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa sangka aku melihat sesosok bayangan tengah memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia kuikuti. Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar bulan membantuku untuk mengetahui kalau kaulah orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau sendiri pun tahu."
Kami mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.
"Sekarang, mari kita berangkat," ajak Sapta.
Setelah berkata demikian, tubuh Sapta pun melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, agar cepat sampai ke tujuannya. Kami pun segera melesat mengikuti. Tak lama kemudian suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.
Pengemis Tongkat Merah bangkit berdiri. Pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki. Semula kakek ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik langkah kaki itu.
Pemuda itu memang sejak tadi ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua langkah kaki mendekati tempatnya, kecurigaannya pun timbul. Dalam sekejap pikiran kakek pengemis ini berputar. Tiba-tiba....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk mengetahui, apakah yang datang itu kawan ataukah lawan. Berkat sinar bulan yang cukup terang, kakek ini dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah mendekati tempatnya. Dan begitu jelas terlihat orang yang bergerak mendekatinya, kegembiraan kakek ini pun meledak!
Tampak di bawah sana Sapta dan seorang gadis yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak? Karena gadis itu adalah Kami! Anak angkatnya yang menurut cerita Sapta tertawan Raksasa Rimba Neraka.
Semula begitu mendengar anak angkatnya tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak mempunyai harapan lagi akan keselamatan Kami. Dia telah mendengar kebiasaan terkutuk tokoh Rimba Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya memakan daging manusia, dia juga suka mempermainkan wanita!
Sebenarnya kakek itu bersama Sapta sudah menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis mengisi perut. Berhasil atau tidak bukan masalah. Demikian keputusan mereka berdua.
Tapi kenyataannya, kini gadis itu berjalan bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah Sapta telah pergi ke sana seorang diri dan menyelamatkannya? Ataukah gadis itu sendiri yang berhasil menyelamatkan diri?
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Pengemis Tongkat Merah mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan Sapta dan Kami.
Tentu saja Sapta dan Kami kaget bukan main. Seketika seluruh urat syaraf di tubuh mereka menegang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu mengenali orang yang secara mendadak berada di hadapan mereka, seketika itu juga urat-urat syaraf di tubuh keduanya kembali mengendur.
"Guru...!" seru Sapta.
"Ayah...!" ujar Kami tak mau kalah. Kedua tangannya langsung dikembangkan. Ditubruknya ayah angkatnya.
Pengemis Tongkat Merah memeluk tubuh anak angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan hitam milik gadis itu. Suaranya terdengar tersendat.
"Ayah hampir tidak percaya melihatmu, Kami. Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa Rimba Neraka. Bagaimana kau bisa lolos dari tangan raksasa itu?"
Kami melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah kakek kurus kering di hadapannya dalamdalam. Sepasang mata gadis ini nampak memerah. Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari hati Kami. Rasa takut akan terjadinya sesuatu yang mengerikan, dan hampir menghancurkan masa depannya.
"Seseorang telah menolongku, Ayah."
"Ah...!"
Pengemis Tongkat Merah berseru kaget. Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan Raksasa Rimba Neraka itu? Perasaan bingung menggayuti hatinya.
"Apakah orang itu Sapta?" tanya kakek itu dalam hati.
Seketika wajah pemuda tinggi besar itu memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa dia telah melakukan perbuatan tercela. Dia telah melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak disengaja.
"Dewa Arak, Ayah," tegas Kami.
"Dewa Arak...?!" teriak kakek pengemis ini kaget.
Kami menganggukkan kepala membenarkan. Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan semuanya. Dari mulai kedatangan Dewa Arak di saat ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai Dewa Arak terluka oleh Sapta karena kesalah pahaman.
"Ah...! Memang, berita tentang keluhuran budi Dewa Arak tidak berlebihan. Walaupun kita sama sekali bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu. Sungguh besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan dapat membalasnya...," keluh kakek itu. "Dan kau, Sapta. Ingat, kau harus meminta maaf padanya atas perbuatanmu itu. Mengerti?!"
"Mengerti, Guru," pemuda berhidung melengkung itu menganggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang pangganglah dulu kelinci hasil tangkapanmu itu, Sapta!" ujar Pengemis Tongkat Merah mengalihkan pembicaraan.
Sapta segera mengerjakan perintah gurunya, membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak lama kemudian mereka pun sudah sibuk mempersiapkan semuanya.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment