"Hhh...!"
Pengemis Tongkat Merah mendesah lega di tempat persembunyiannya, setelah melihat kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini masih berada di hutan itu, bersembunyi di kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Dia memang telah melihat semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk membabi buta.
Suara lenguh kesakitan Sapta menyadarkan kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah pada pemuda berhidung melengkung yang tergolek lemah di tanah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya. Yang menjadi perhatiannya pertama kali adalah, luka-luka bekas cambukan yang menggurat hampir sekujur tubuh pemuda itu.
Sekali lihat saja, Pengemis Tongkat Merah yang penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka cambuk itu tidak membahayakan jiwa Sapta, karena hanya luka luar belaka. Yang lebih berbahaya adalah luka-luka dalamnya.
"Guru....," sapa Sapta lirih, begitu tersadar dari pingsannya.
Memang sejak kakek kurus kering ini membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan diri lagi.
''Tenanglah, Sapta," sambut kakek itu.
Namun Sapta seolah-olah tidak mendengar peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit. Kedua tangannya yang ditekankan ke tanah, tampak gemetar.
"Berbaringlah dulu, Sapta."
Pemuda berhidung melengkung itu mendengar ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka segera dibaringkan tubuhnya kembali.
"Kami, Guru...."
"Kami?! Ada apa dengan Kami?!" tanya Pengemis Tongkat Merah kaget.
Sikap pemuda di hadapannya ini yang begitu mengkhawatirkan Kami, membuatnya cemas bukan main. Walaupun kakek ini sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan pemuda itu dia merasa khawatir bukan main.
"Kami tertangkap, Guru...," desah Sapta lirih. "Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Guru untuk menjaga Kami."
Pengemis Tongkat Merah berusaha bersikap tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati muridnya dengan menunjukkan kegelisahannya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang menggayuti benak kakek ini. Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat ditolong. Juga, apa urusannya sehingga pemuda itu bisa bentrok dengan Raksasa Rimba Neraka.
Memang dari raksasa itu sudah diketahuinya kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari muridnya. Itulah yang menjadi teka-teki lagi baginya. Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba Neraka itu sehingga Sapta hendak membunuhnya?
"Ceritakan semuanya secara jelas, Sapta!"
Sapta pun segera menceritakan semuanya. Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai akhirnya muncul Raksasa Rimba Neraka yang telah merobohkannya secara mudah.
Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh besar muridnya ini, mempunyai kakak kandung yang menjadi murid dari Raksasa Rimba Neraka! Dan kini gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan itu.
Kakek kurus kering ini menyadari bahwa dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka. Kekalahan yang baru saja diterimanya, telah memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak muncul Dewa Arak menolongnya, mungkin ia sudah tewas di tangan kakek tinggi besar itu.
"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah menghela napas panjang. "Sungguh tidak kusangka kalau urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi Raksasa Rimba Neraka juga terlibat dalam urusan ini. Kini jangankan untuk membalas dendam untuk menolong Kami pun kita belum tentu mampu!"
"Tapi biar bagaimanapun aku akan tetap menolong Kami, Guru. Akan kudatangi lagi tempat si keparat itu. Dan..., kalau bisa membalaskan dendam orang tuaku!" tegas dan mantap kata-kata pemuda itu.
Kakek kurus kering itu tersenyum. Terlihat begitu kering dan dipaksakan senyumnya.
"Tentu saja, Sapta. Untuk kedua hal itu, aku bersedia mengorbankan selembar nyawa tuaku ini. Hhh...! Semula aku tidak ingin campur tangan dalam urusan balas dendammu. Tapi kini setelah Raksasa Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu, aku tidak bisa berpangku tangan lagi."
Dada Sapta terasa sesak oleh rasa haru yang amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu besar.
"Sekarang yang penting, pulihkan dulu tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari daun-daunan dan akar-akaran untuk mengobati luka-lukamu."
Sapta menganggukkan kepalanya. Pengemis Tongkat Merah pun segera melesat dari situ. Beberapa saat kemudian, kakek itu pun kembali dan telah menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang berkhasiat untuk mengobati luka-luka yang diderita Sapta dan dirinya sendiri.
***
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan menggaung panjang, merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal malam itu langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar penuh, memancarkan sinarnya yang kekuningan di langit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di Desa Gebang nampak sepi seperti mati.
Tapi rupanya masih ada juga orang yang berada di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan ungu melesat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan disangka hantu. Apalagi bayangan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula tubuhnya melesat ke arah tembok pagar sebuah rumah besar yang megah dan berhalaman luas.
Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu berdiri menempel tembok, baru kemudian menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi pagar tembok yang tengah disandarinya.
"Hih...!"
Tubuhnya direndahkan sedikit, dan sebentar kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu melayang ke atas. Suasana malam yang cerah, dan sinar bulan purnama yang cukup terang itu menyoroti wajah itu selagi tubuhnya berada di atas.
Ternyata memang si rambut putih keperakan itu adalah Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak!
"Hup...!"
Kedua kaki Dewa Arak hinggap di atas tanah di dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi saja suasana di dalam pekarangan ini.
"Hih...!"
Tubuh Dewa Arak kini melesat dan hinggap di atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki mendekat. Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di tempat dia berdiri tadi, lewat dua orang yang membawa obor dan kentongan.
"Ronda...," bisik hati Arya.
Pelan laksana seekor harimau yang berjalan mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak berjalan di atas atap. Dia memang mencoba mencari-cari kamar kepala desa.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, langkah kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya yang tajam, menangkap adanya rintihan lirih di bawah sana. Dan perasaan penasaran mendorong pemuda ini mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu pun semakin jelas terdengar.
"Jangan.... Jangan lakukan itu..., bunuh saja aku...."
Wajah Arya langsung berubah. Suara rintihan lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang wanita yang tengah membutuhkan pertolongan di bawah sana. Dewa Arak memutuskan menjebol atap ini untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya besar itu. Tapi baru saja akan bertindak, sebuah suara lain yang menyambut rintihan itu membuat dia harus menahan gerakannya.
"Ha ha ha...! Enak saja! Jarang kutemukan wanita istimewa sepertimu, tahu!? Kau memiliki banyak kelebihan dibanding santapan-santapanku sebelumnya. Kau cantik, masih gadis, dan memiliki kepandaian. Ha ha ha…! Betapa bodohnya kalau aku membunuhmu!"
Wajah Arya Buana langsung berubah! Memang, suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu juga jantung Dewa Arak berdebar tegang. Bukankah pemilik suara dan tawa itu adalah musuh tangguh yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja dihadapinya?
Lalu, kenapa tokoh sakti yang menggiriskan itu berada di sini? Apa hubungannya dengan Toga, yang menjadi Kepala Desa Gebang? Batin Dewa Arak terus dibebani bermacam-macam pertanyaan. Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah, disusul jerit ketakutan seorang wanita memaksanya bertindak cepat
Brakkk...!
Atap rumah itu hancur berantakan ketika Dewa Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan Raksasa Rimba Neraka. Padahal laki-laki tinggi besar itu baru saja menindih tubuh wanita yang tak lain dari Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.
Wuuuttt...!
Serentetan angin pukulan yang mengandung hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba Neraka, ketika kedua kakinya hinggap di tanah. Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan ungu dari atap yang telah ambrol.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi Raksasa Rimba Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi besar itu menyadari betul kalau angin pukulan yang menyambarnya itu mengandung tenaga dalam yang amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.
Brakkk...!
Tembok yang terbuat dari tembok batu itu ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya dalam upaya keluar ruangan.
Blarrr...!
Lantai tempat kakek tinggi besar tadi berdiri langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran menghantamnya. Tampak sebuah lubang besar tercipta akibat pukulan itu.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di sebuah pembaringan nampak tergolek seorang gadis dalam keadaan tanpa busana!
Kulitnya yang putih mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan membuat Dewa Arak menelan ludah. Melihat keadaan gadis ini yang diam tidak bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini tertotok lumpuh.
Arya segera bergerak mendekati. Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh yang mulus indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung pemuda berambut putih keperakan ini berdebar tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah kelaki-lakiannya seketika bergolak. Sambil menarik napas untuk menenangkan hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan tangannya membuka totokan yang membuat gadis itu lumpuh.
"Cepat kenakan pakaianmu, dan pergilah...!" perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di tembok yang dibuat Raksasa Rimba Neraka tadi.
Kami buru-buru mencari pakaian, dan dengan tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur, di saat terakhir muncul seseorang yang menolongnya.
Sementara itu begitu keluar dari ruangan, Dewa Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak sekali sosok tubuh. Tapi yang menjadi perhatian Arya hanya satu, yaitu sosok yang tingginya satu setengah kali manusia biasa.
Siapa lagi kalau bukan Raksasa Rimba Neraka yang amat tangguh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian diangkatnya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya pun mulai sempoyongan.
"Ha ha ha...! Kiranya kau orangnya!? Pantas begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba Neraka keras, begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu.
Memang dia sudah merasakan kehebatan pemuda berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
Kali ini di luar kebiasaannya, Dewa Arak mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud membuat repot Raksasa Rimba Neraka agar Kami dapat meloloskan diri.
Wuuuttt..!
Guci di tangan kanannya diayunkan deras ke arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi tibanya serangan itu.
Raksasa Rimba Neraka yang sudah mengetahui kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi sudah bersiap siaga. Pertarungan tadi siang memang membuatnya penasaran bukan main. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum pernah 'Ilmu Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan lawannya.
Tapi ternyata Dewa Arak mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin dibuktikannya sekali lagi, apakah memang pemuda pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya? Maka tanpa ragu-ragu lagi, diangkat tangan kirinya melindungi kepala.
Klanggg...!
Benturan keras yang terjadi antara guci Dewa Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka, menimbulkan suara berdentang nyaring. Tampak tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak.
Seperti kejadian sebelumnya, tenaga dalam mereka memang berimbang. Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Dan kini, kembali tubuhnya melesat menyambar, sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung. Entah kapan dan bagaimana caranya, guci itu telah berada di punggung kembali. Bahkan Raksasa Rimba Neraka sendiri tidak tahu.
Yang diketahui laki-laki bertubuh raksasa itu, kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi menyambar bertubi-tubi. Gerakan tangannya begitu aneh, mengancam pelipis dan ubun-ubunnya.
Raksasa Rimba Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak memungkinkan untuk menangkis serangan yang nantinya hanya akan memperburuk keadaan. Maka buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan menjauh.
Dan tepat pada saat itu, Kami melesat keluar dari kamar. Namun sayang, ternyata di luar bukan hanya ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada Gajula, Toga, dan puluhan anak buahnya. Maka begitu gadis itu keluar, segera mereka mengurungnya.
Dewa Arak sadar kalau keadaan itu amat berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya untuk melawan keluar gadis itu. Raksasa rimba neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk ditaklukkan
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Dewa Arak berteriak keras. Kedua tangannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa sekali.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar deras ke arah kerumunan orang yang menghadang langkah Kami.
Bresss...!
Beberapa sosok tubuh terlempar jauh, kemudian ambruk ke tanah dan terguling-guling jauh. Sekujur tubuh mereka hangus. Dari mulut, hidung, dan telinga mengalir darah segar.
Mereka memang tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan belasan orang lain yang berhasil menyelamatkan diri, bergidik ngeri melihat akibat angin pukulan itu.
"Cepat pergi...!" teriak Arya ketika melihat gadis yang diusahakan setengah mati untuk lolos dari situ, malah terbengong-bengong.
Bentakan Dewa Arak berhasil menyadarkan Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak kabur dari situ.
Tapi Toga dan Gajula tidak membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka bergerak mengejar.
Pengemis Tongkat Merah mendesah lega di tempat persembunyiannya, setelah melihat kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini masih berada di hutan itu, bersembunyi di kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Dia memang telah melihat semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk membabi buta.
Suara lenguh kesakitan Sapta menyadarkan kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah pada pemuda berhidung melengkung yang tergolek lemah di tanah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya. Yang menjadi perhatiannya pertama kali adalah, luka-luka bekas cambukan yang menggurat hampir sekujur tubuh pemuda itu.
Sekali lihat saja, Pengemis Tongkat Merah yang penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka cambuk itu tidak membahayakan jiwa Sapta, karena hanya luka luar belaka. Yang lebih berbahaya adalah luka-luka dalamnya.
"Guru....," sapa Sapta lirih, begitu tersadar dari pingsannya.
Memang sejak kakek kurus kering ini membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan diri lagi.
''Tenanglah, Sapta," sambut kakek itu.
Namun Sapta seolah-olah tidak mendengar peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit. Kedua tangannya yang ditekankan ke tanah, tampak gemetar.
"Berbaringlah dulu, Sapta."
Pemuda berhidung melengkung itu mendengar ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah yang tidak menghendaki adanya bantahan. Maka segera dibaringkan tubuhnya kembali.
"Kami, Guru...."
"Kami?! Ada apa dengan Kami?!" tanya Pengemis Tongkat Merah kaget.
Sikap pemuda di hadapannya ini yang begitu mengkhawatirkan Kami, membuatnya cemas bukan main. Walaupun kakek ini sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan pemuda itu dia merasa khawatir bukan main.
"Kami tertangkap, Guru...," desah Sapta lirih. "Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Guru untuk menjaga Kami."
Pengemis Tongkat Merah berusaha bersikap tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati muridnya dengan menunjukkan kegelisahannya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang menggayuti benak kakek ini. Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat ditolong. Juga, apa urusannya sehingga pemuda itu bisa bentrok dengan Raksasa Rimba Neraka.
Memang dari raksasa itu sudah diketahuinya kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari muridnya. Itulah yang menjadi teka-teki lagi baginya. Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba Neraka itu sehingga Sapta hendak membunuhnya?
"Ceritakan semuanya secara jelas, Sapta!"
Sapta pun segera menceritakan semuanya. Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai akhirnya muncul Raksasa Rimba Neraka yang telah merobohkannya secara mudah.
Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh besar muridnya ini, mempunyai kakak kandung yang menjadi murid dari Raksasa Rimba Neraka! Dan kini gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan itu.
Kakek kurus kering ini menyadari bahwa dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka. Kekalahan yang baru saja diterimanya, telah memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak muncul Dewa Arak menolongnya, mungkin ia sudah tewas di tangan kakek tinggi besar itu.
"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah menghela napas panjang. "Sungguh tidak kusangka kalau urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi Raksasa Rimba Neraka juga terlibat dalam urusan ini. Kini jangankan untuk membalas dendam untuk menolong Kami pun kita belum tentu mampu!"
"Tapi biar bagaimanapun aku akan tetap menolong Kami, Guru. Akan kudatangi lagi tempat si keparat itu. Dan..., kalau bisa membalaskan dendam orang tuaku!" tegas dan mantap kata-kata pemuda itu.
Kakek kurus kering itu tersenyum. Terlihat begitu kering dan dipaksakan senyumnya.
"Tentu saja, Sapta. Untuk kedua hal itu, aku bersedia mengorbankan selembar nyawa tuaku ini. Hhh...! Semula aku tidak ingin campur tangan dalam urusan balas dendammu. Tapi kini setelah Raksasa Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu, aku tidak bisa berpangku tangan lagi."
Dada Sapta terasa sesak oleh rasa haru yang amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu besar.
"Sekarang yang penting, pulihkan dulu tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari daun-daunan dan akar-akaran untuk mengobati luka-lukamu."
Sapta menganggukkan kepalanya. Pengemis Tongkat Merah pun segera melesat dari situ. Beberapa saat kemudian, kakek itu pun kembali dan telah menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang berkhasiat untuk mengobati luka-luka yang diderita Sapta dan dirinya sendiri.
***
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan menggaung panjang, merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal malam itu langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar penuh, memancarkan sinarnya yang kekuningan di langit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di Desa Gebang nampak sepi seperti mati.
Tapi rupanya masih ada juga orang yang berada di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan ungu melesat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan disangka hantu. Apalagi bayangan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula tubuhnya melesat ke arah tembok pagar sebuah rumah besar yang megah dan berhalaman luas.
Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu berdiri menempel tembok, baru kemudian menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi pagar tembok yang tengah disandarinya.
"Hih...!"
Tubuhnya direndahkan sedikit, dan sebentar kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu melayang ke atas. Suasana malam yang cerah, dan sinar bulan purnama yang cukup terang itu menyoroti wajah itu selagi tubuhnya berada di atas.
Ternyata memang si rambut putih keperakan itu adalah Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak!
"Hup...!"
Kedua kaki Dewa Arak hinggap di atas tanah di dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi saja suasana di dalam pekarangan ini.
"Hih...!"
Tubuh Dewa Arak kini melesat dan hinggap di atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki mendekat. Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di tempat dia berdiri tadi, lewat dua orang yang membawa obor dan kentongan.
"Ronda...," bisik hati Arya.
Pelan laksana seekor harimau yang berjalan mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak berjalan di atas atap. Dia memang mencoba mencari-cari kamar kepala desa.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, langkah kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya yang tajam, menangkap adanya rintihan lirih di bawah sana. Dan perasaan penasaran mendorong pemuda ini mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu pun semakin jelas terdengar.
"Jangan.... Jangan lakukan itu..., bunuh saja aku...."
Wajah Arya langsung berubah. Suara rintihan lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang wanita yang tengah membutuhkan pertolongan di bawah sana. Dewa Arak memutuskan menjebol atap ini untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya besar itu. Tapi baru saja akan bertindak, sebuah suara lain yang menyambut rintihan itu membuat dia harus menahan gerakannya.
"Ha ha ha...! Enak saja! Jarang kutemukan wanita istimewa sepertimu, tahu!? Kau memiliki banyak kelebihan dibanding santapan-santapanku sebelumnya. Kau cantik, masih gadis, dan memiliki kepandaian. Ha ha ha…! Betapa bodohnya kalau aku membunuhmu!"
Wajah Arya Buana langsung berubah! Memang, suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu juga jantung Dewa Arak berdebar tegang. Bukankah pemilik suara dan tawa itu adalah musuh tangguh yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja dihadapinya?
Lalu, kenapa tokoh sakti yang menggiriskan itu berada di sini? Apa hubungannya dengan Toga, yang menjadi Kepala Desa Gebang? Batin Dewa Arak terus dibebani bermacam-macam pertanyaan. Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah, disusul jerit ketakutan seorang wanita memaksanya bertindak cepat
Brakkk...!
Atap rumah itu hancur berantakan ketika Dewa Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan Raksasa Rimba Neraka. Padahal laki-laki tinggi besar itu baru saja menindih tubuh wanita yang tak lain dari Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.
Wuuuttt...!
Serentetan angin pukulan yang mengandung hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba Neraka, ketika kedua kakinya hinggap di tanah. Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan ungu dari atap yang telah ambrol.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi Raksasa Rimba Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi besar itu menyadari betul kalau angin pukulan yang menyambarnya itu mengandung tenaga dalam yang amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.
Brakkk...!
Tembok yang terbuat dari tembok batu itu ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya dalam upaya keluar ruangan.
Blarrr...!
Lantai tempat kakek tinggi besar tadi berdiri langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran menghantamnya. Tampak sebuah lubang besar tercipta akibat pukulan itu.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di sebuah pembaringan nampak tergolek seorang gadis dalam keadaan tanpa busana!
Kulitnya yang putih mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan membuat Dewa Arak menelan ludah. Melihat keadaan gadis ini yang diam tidak bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini tertotok lumpuh.
Arya segera bergerak mendekati. Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh yang mulus indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung pemuda berambut putih keperakan ini berdebar tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah kelaki-lakiannya seketika bergolak. Sambil menarik napas untuk menenangkan hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan tangannya membuka totokan yang membuat gadis itu lumpuh.
"Cepat kenakan pakaianmu, dan pergilah...!" perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di tembok yang dibuat Raksasa Rimba Neraka tadi.
Kami buru-buru mencari pakaian, dan dengan tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur, di saat terakhir muncul seseorang yang menolongnya.
Sementara itu begitu keluar dari ruangan, Dewa Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak sekali sosok tubuh. Tapi yang menjadi perhatian Arya hanya satu, yaitu sosok yang tingginya satu setengah kali manusia biasa.
Siapa lagi kalau bukan Raksasa Rimba Neraka yang amat tangguh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian diangkatnya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya pun mulai sempoyongan.
"Ha ha ha...! Kiranya kau orangnya!? Pantas begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba Neraka keras, begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu.
Memang dia sudah merasakan kehebatan pemuda berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
Kali ini di luar kebiasaannya, Dewa Arak mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud membuat repot Raksasa Rimba Neraka agar Kami dapat meloloskan diri.
Wuuuttt..!
Guci di tangan kanannya diayunkan deras ke arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi tibanya serangan itu.
Raksasa Rimba Neraka yang sudah mengetahui kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi sudah bersiap siaga. Pertarungan tadi siang memang membuatnya penasaran bukan main. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum pernah 'Ilmu Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan lawannya.
Tapi ternyata Dewa Arak mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin dibuktikannya sekali lagi, apakah memang pemuda pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya? Maka tanpa ragu-ragu lagi, diangkat tangan kirinya melindungi kepala.
Klanggg...!
Benturan keras yang terjadi antara guci Dewa Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka, menimbulkan suara berdentang nyaring. Tampak tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak.
Seperti kejadian sebelumnya, tenaga dalam mereka memang berimbang. Berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Dan kini, kembali tubuhnya melesat menyambar, sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung. Entah kapan dan bagaimana caranya, guci itu telah berada di punggung kembali. Bahkan Raksasa Rimba Neraka sendiri tidak tahu.
Yang diketahui laki-laki bertubuh raksasa itu, kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi menyambar bertubi-tubi. Gerakan tangannya begitu aneh, mengancam pelipis dan ubun-ubunnya.
Raksasa Rimba Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak memungkinkan untuk menangkis serangan yang nantinya hanya akan memperburuk keadaan. Maka buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian bergulingan menjauh.
Dan tepat pada saat itu, Kami melesat keluar dari kamar. Namun sayang, ternyata di luar bukan hanya ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada Gajula, Toga, dan puluhan anak buahnya. Maka begitu gadis itu keluar, segera mereka mengurungnya.
Dewa Arak sadar kalau keadaan itu amat berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya untuk melawan keluar gadis itu. Raksasa rimba neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk ditaklukkan
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba Dewa Arak berteriak keras. Kedua tangannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang sekali digunakan, kalau tidak terpaksa sekali.
Wuuusss...!
Angin berhawa panas menyambar deras ke arah kerumunan orang yang menghadang langkah Kami.
Bresss...!
Beberapa sosok tubuh terlempar jauh, kemudian ambruk ke tanah dan terguling-guling jauh. Sekujur tubuh mereka hangus. Dari mulut, hidung, dan telinga mengalir darah segar.
Mereka memang tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan belasan orang lain yang berhasil menyelamatkan diri, bergidik ngeri melihat akibat angin pukulan itu.
"Cepat pergi...!" teriak Arya ketika melihat gadis yang diusahakan setengah mati untuk lolos dari situ, malah terbengong-bengong.
Bentakan Dewa Arak berhasil menyadarkan Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak kabur dari situ.
Tapi Toga dan Gajula tidak membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka bergerak mengejar.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment