Dewa Arak menatap ke arah pulau berbentuk tengkorak kepala manusia yang tampak di hadapannya. Perlahan dayungnya dikayuh dan perahunya diarahkan ke pulau, yang tidak lain Pulau Selaksa Setan.
Tak lama kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah mulai mendekati tepi pulau. Air pun memercik pelan begitu sepasang kaki Dewa Arak menyentuh pinggir pantai.
Arya mengedarkan pandangan sebentar ke sekeliling pulau, baru kemudian menyeret perahu agak ke darat. Lalu, diambilnya sebuah kayu yang panjangnya tak kurang dari dua jengkal, dan dihunjamkannya ke dalam tanah hingga lebih dari setengahnya.
Pada patok yang dibuat tadi, tali perahunya ditambatkan. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu masih membutuhkan perahu untuk meninggalkan Pulau Selaksa Setan nanti. Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Aneh.... Apakah belum ada orang yang datang?" gumam Dewa Arak pelan. Dahinya pun berkernyit dalam, pertanda tengah berpikir keras.
Dengan kepala masih tetap memperhatikan sekeliling, Dewa Arak terus melangkah. Meskipun kewaspadaan tidak tampak pada sikapnya, tapi sebenarnya sikapnya begitu waspada saat melihat suasana yang hening. Seluruh urat syaraf dan otot tubuhnya menegang kaku, bersiap menghadapi serangan mendadak.
Dan baru beberapa tombak melangkah, Dewa Arak mendengar adanya bunyi air beriak. Memang pelan saja kedengarannya, tapi karena tengah waspada penuh, bisa tertangkap oleh pendengarannya. Dan seketika itu pula kepalanya menoleh ke belakang.
"Hey...!"
Pemuda berambut putih keperakan ini berseru kaget ketika melihat beberapa sosok tubuh coklat kehitaman berpakaian ala kadarnya, telah memotong tali perahunya.
Arya tentu saja tidak sudi membiarkan hal itu begitu saja. Tapi sebelum dia bergerak mengejar, terdengar banyak sekali suara mendesing nyaring disusul berkelebatannya benda-benda berkilat ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Dewa Arak langsung mengerutkan keningnya. Menilik suara desingan yang begitu tajam, jelas kalau benda-benda berkilat yang meluncur itu adalah anak panah.
Dengan pikiran masih diliputi teka-teki tentang orang-orang berpakaian seadanya itu, Dewa Arak memutarkan kedua tangannya.
Luar biasa! Belasan anak panah yang meluncur ke arahnya semua tertangkis. Suara berderak keras akibat beradunya kedua tangan Dewa Arak dengan anak-anak panah, seketika terdengar. Sebagian besar runtuh ke tanah, dalam keadaan patah-patah. Sedangkan sisanya terpental balik kembali ke arah semula.
Baru saja pemuda berambut putih keperakan itu ingin kembali mencegah perahunya yang dibawa kabur, terdengar suara langkah kaki ribut, disusul bermunculannya belasan sosok tubuh seperti yang semula dilihatnya.
Arya terperanjat melihat hal ini. Meskipun belum pernah mendengar, tapi sudah bisa memperkirakan keganasan orang-orang yang mengurungnya. Apalagi kalau bukan penghuni Pulau Selaksa Setan yang terasing dan biadab!
Apakah Setan Mabuk mendustainya mengenai akan diadakannya pertarungan antara raja-raja arak. Kalau iya, untuk apa menjebaknya? Bukankah kakek yang menggiriskan itu belum tentu kalah olehnya?
Tapi kalau Setan Mabuk tidak menipunya, mengapa tempat ini penuh orang yang menilik dari pakaian yang dikenakan adalah orang-orang biadab? Bukankah syarat utama tempat pertarungan, seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, adalah tempat sepi? Tapi mengapa kini ramai? Dan mengapa tidak tampak adanya seorang pun di sini? Baik orang-orang yang ingin menonton, juri, maupun tokoh-tokoh yang hendak bertarung?
Ataukah Dewa Arak telah salah mendarat? Mungkinkah ini bukan Pulau Selaksa Setan? Ah! Tidak mungkin! Arya tahu betul, perjalanannya tidak salah! Pulau tempatnya mendarat ini memang benar-benar Pulau Selaksa Setan!
Dan Arya kini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena sosok yang mengurung sudah bergerak mengelilinginya.
Dewa Arak memperhatikan belasan orang yang berpakaian sekadarnya itu. Ada perasaan kaget di hati tatkala melihat ada taring yang tersembul di sudut-sudut mulut para pengeroyoknya.
Melihat keadaan para pengepungnya, Arya jadi bersikap hati-hati. Kelainan pada diri merekalah yang membuatnya jadi lebih bersikap waspada. Sepasang mata Arya berputar, memperhatikan semua tindak-tan¬duk anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Agak heran juga hati Dewa Arak tatkala melihat para pengeroyoknya sama sekali tidak bergerak menyerang, tapi hanya mengurung saja. Melihat hal ini, Arya bisa menebak kalau ada sesuatu yang tengah ditunggu gerombolan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak keliru! Dari balik gundukan batu besar, melesat sesosok tubuh ramping yang kemudian hinggap dalam jarak sekitar satu batang tombak dari kepungan gerombolan pemakan manusia itu.
Sepasang mata Dewa Arak terbelalak lebar ketika sosok bayangan itu telah berdiri tegak. Betapa tidak? Sosok yang baru muncul ini, amat berbeda dengan para pengepungnya.
Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bahkan bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Raut wajah gadis itu tidak terlihat, karena tertutup rumbai-¬rumbai yang agak rapat.
"Tangkap pemuda itu...!"
Gadis cantik yang tak lain Dewi itu memberi perintah dengan suara keras. Seketika itu juga, gerombolan pemakan manusia yang mengepung Arya mulai bergerak.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini mereka tidak menggunakan kapak, melainkan tambang panjang berwarna putih. Melihat dari keadaannya, bisa diperkirakan kalau tambang itu ulet dan alot bukan ke¬palang.
Dewa Arak langsung mengernyitkan alisnya. Meskipun bisa memperkirakan kalau lawan akan menangkapnya hidup-hidup, menggunakan tambang, tapi belum bisa diketahui apa yang akan dilakukan mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak hanya bisa memperhatikan sambil memasang sikap waspada. Seluruh urat-urat dan otot-otot tubuhnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mendadak gerombolan pemakan manusia itu berputar mengelilingi Dewa Arak dengan arah masing-masing tidak seragam. Mereka berlari ke sana kemari tidak beraturan.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kebingungan. Biji matanya berkeliaran mengikuti gerakan berputar lawan-lawannya. Tapi karena tubuh-tubuh yang berputar sama sekali tidak beraturan, sehingga pemuda berambut putih keperakan itu jadi pusing sendiri. Apalagi, ketika tubuhnya beberapa saat ikut pula berputar. Maka, kepalanya malah jadi pening.
Arya memang belum pernah mengalami peristiwa seperti ini. Jadi, tidak aneh kalau jadi bingung karenanya. Dan tahu-tahu tubuhnya telah terbelit tambang-tambang berwarna putih itu. Baru setelah tubuh Arya terbelit, gerakan berputar para pengeroyoknya pun terhenti.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk memutuskan tambang-¬tambang yang menjeratnya. Tapi, tambang-tambang itu ternyata alot bukan main. Entah terbuat dari bahan apa, tidak diketahuinya sama sekali.
Meskipun gagal dengan usaha pertamanya, Dewa Arak tidak putus asa. Segera tenaga dalam simpanannya dikeluarkan. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Seketika itu juga, ada hawa panas yang menjalar sekujur tubuhnya. Meskipun begitu, tetap saja tambang-tambang itu tidak bisa diputuskan.
Arya sama sekali tidak putus asa. Tetap saja 'Tenaga Sakti Inti Matahari' dikerahkan terus. Tujuannya adalah untuk membuat para pengeroyok melepaskan pegangan pada tambang, karena tidak kuat menahan serangan hawa panas 'Tenaga Sakti Inti Matahari' yang merayap.
Dugaan Dewa Arak memang tepat. Belasan orang yang memegang tambang mulai menggeram-geram, begitu tangan mereka terasa panas bukan kepalang. Tapi, rupanya anak buah Dedemit Alam Akhirat terhitung orang-orang yang keras hati. Betapapun menyengatnya panas yang melanda telapak tangan, tetap saja genggaman itu tidak dilepaskan.
Dewi rupanya melihat hal itu. Hatinya khawatir juga bila lawan tangguhnya akan berhasil lolos. Maka dia pun cepat melesat ke depan. Dan dengan jari telunjuk menegang kaku, ditotoknya punggung Dewa Arak!
Tukkk..!
"Akh...!"
Dewi menjerit keras ketika ujung jari telunjuknya terasa patah-¬patah dan panas bukan kepalang ketika menyentuh punggung Dewa Arak. Seolah-olah, yang ditotoknya tadi bukan kulit manusia, melainkan lempengan baja tebal yang panas membara!
"Hmh...!"
Terdengar suara mendengus keras disusul melesatnya sesosok bayangan ke arah Dewa Arak. Dan sekali sosok bayangan itu mengulurkan jari menotok, tubuh Dewa Arak terkulai lemas.
Di sebelah Dewi, kini berdiri sesosok tubuh berwajah kasar. Kepalanya memakai topi terbuat dari bulu burung garuda. Siapa lagi kalau bukan Dedemit Alam Akhirat?
"Inikah orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya laki-laki berwajah kasar itu.
Ada kilatan rasa gembira di wajah Dedemit Akhirat ketika mengajukan pertanyaan itu. Terbayang di benaknya, betapa gadis yang bertubuh molek itu akan sukarela menyerahkan diri kepadanya.
Dewi mengangguk lesu. Memang, hatinya masih merasa terkejut manakala totokannya ternyata sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi ketika teringat akan janjinya pada Dedemit Alam Akhirat. Rasanya jijik bila membayangkan laki-laki yang berwajah kasar dan berbau busuk itu akan menggelutinya.
"Ha ha ha...! Kalau begitu, sudah tiba saatnya bagiku untuk menerima upahnya...!" tagih laki-laki berwajah kasar itu keras. Sepasang matanya merayapi sekujur tubuh Dewi.
"Berikan kesempatan padaku untuk membalas dendam pada pemuda ini, Dedemit Alam Akhirat. Aku tidak sudi diganggu sewaktu menyiksanya," pinta wanita bertubuh molek itu seraya menatap wajah De¬demit Alam Akhirat dengan sepasang mata penuh permohonan.
"Hm...!" pemimpin gerombolan pemakan manusia itu menggumam. Dahinya berkemyit dalam. Tampak jelas kalau tengah mempertimbangkan permintaan Dewi.
"Setelah puas melampiaskan dendamku padanya, aku akan sukarela menyerahkan diri kepadamu. Terserah apa yang akan kau lakukan pada diriku...," sambung wanita berkulit putih itu buru-buru. "Bagaimana, Dedemit Alam Akhirat?"
Dengan susah payah laki-laki berwajah kasar itu menelan ludah ketika di benaknya terbayang betapa nikmatnya menggeluti tubuh molek yang memiliki kulit putih, halus, mulus, dan menggiurkan itu.
"Baiklah. Kukabulkan permintaanmu," jawab tokoh sesat yang menggiriskan itu dengan suara yang mendadak serak.
Seketika wajah Dewi berseri. "Terima kasih, Dedemit Alam Akhirat!"
Setelah berkata demikian, gadis bertubuh menggiurkan ini melangkah menghampiri Dedemit Alam Akhirat. Dan....
Cuppp!
Pipi laki-laki berwajah kasar itu langsung dikecupnya. Dedemit Alam Akhirat tidak tahan lagi menahan nafsunya. Dengan kasar ditahannya kepala Dewi yang akan ditarik kembali. Kemudian, dengan buas dilumatnya sepasang bibir yang merah, ranum, menggiurkan, dan bagus bentuknya itu.
Dewi meronta-ronta, tapi Dedemit Alam Akhirat yang tengah lupa diri tidak sudi melepaskannya. Pegangannya pun dipertahankan pada kuduk gadis itu. Dan dengan rakus dijarahnya sepasang bibir Dewi. Baru setelah merasa cukup puas, gadis itu dilepaskannya.
Dewi menatap dengan sinar mata berkilat-kilat. Perutnya kini mendadak mual. Mulut Dedemit Alam Akhirat ternyata berbau busuk. Sepertinya, di dalam mulut laki-laki berwajah kasar itu terdapat onggokan bangkai! Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk muntah.
"Sisa upahmu kutagih belakangan, Dewi," ujar Dedemit Alam Akhirat Napasnya terdengar agak memburu.
Tapi Dewi sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan gerak isyarat, disuruhnya beberapa orang anak buah Dedemit Alam Akhirat membawa tubuh Dewa Arak.
Namun gerombolan pemakan manusia yang diperintahnya justru malah menoleh ke arah Dedemit Alam Akhirat. Baru ketika tokoh sesat yang menggiriskan itu menganggukkan kepala, mereka bergerak memenuhi permintaan Dewi.
Dewi pun berjalan mendahului. Di belakangnya, berjalan gerombolan pemakan manusia yang membawa tubuh Dewa Arak. Baru di belakangnya lagi, berjalan belasan orang gerombolan lainnya bersama Dedemit Alam Akhirat.
Dengan langkah pasti, Dewi melangkah memasuki salah satu dari sekian banyak gua yang terdapat di dinding gundukan batu yang besar menyerupai bukit itu.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat yang membawa tubuh Dewa Arak yang terkulai lemas, mau tak mau ikut pula melangkah masuk ke dalam. Tapi yang lain, dan juga Dedemit Alam Akhirat masuk ke gua lain, tidak ikut masuk ke gua yang dimasuki Dewi.
Gua itu ternyata mempunyai lorong yang cukup panjang dan berliku-liku. Baru setelah jarak yang ditempuh mencapai dua belas tombak, lorong gua mulai membesar dan melebar.
Di sini, tidak hanya ada satu lorong gua saja, tapi ada empat buah lorong. Dewi yang rupanya sudah cukup mengetahui tempat itu segera memilih lorong gua kanan.
Setelah menempuh jalan sekitar delapan tombak, sampailah mereka pada sebuah ruangan yang cukup luas, dan anehnya cukup terang. Dewi sama sekali tidak pernah ambil pusing mengenai asal sinar yang membuat ruangan gua jadi terang. Mungkin bagian atap gua yang terbuat dari batu itu menyerap sinar, dan memantulkannya. Namun gadis bertubuh molek itu sama sekali tidak mempedulikannya.
"Masukkan dia ke dalam kurungan itu!" perintah Dewi sambil menudingkan telunjuk ke arah salah satu dinding gua yang berupa ruang tahanan. "Dan tinggalkan tempat ini!"
Dua orang anak buah Dedemit Alam Akhirat segera melemparkan tubuh Dewa Arak ke sudut ruangan, lalu melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Mereka sama sekali tidak menoleh-noleh lagi.
Dewi menatap tubuh kedua orang manusia biadab itu hingga lenyap dari pandangan, baru kemudian melangkah masuk menghampiri Arya yang tergolek lemah tak berdaya. Totokan Dedemit Alam Akhiratlah yang menyebabkannya demikian.
Itulah sebabnya, meskipun tubuhnya sudah tidak terikat lagi. Dewa Arak sama sekali tidak mampu untuk bergerak lagi.
Dewi melangkah menghampiri Dewa Arak dengan sinar mata aneh. Tapi, pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak mengetahui karena wajahnya terhalang rumbai-rumbai.
Begitu telah berada di dekat Dewa Arak yang terbaring, gadis bertubuh molek itu menghempaskan pantarnya dan duduk di situ.
"Kau...," sebuah ucapan serak keluar dari mulut Dewi. "Betapa inginnya aku membunuhmu. Kaulah yang telah membunuh ayahku. Tapi, mengapa kau juga yang telah menyelamatkanku dari malapetaka yang mengerikan?"
Arya mengernyitkan alisnya, pertanda tengah berpikir keras. Sepertinya suara seperti ini pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia lupa. Hanya satu hal yang dapat diterka. Gadis yang berada di perkampungan orang biadab itu mempunyai urusan dengannya.
"Siapakah kau sebenarnya, Nisanak?" tanya pemuda berpakaian ungu itu setelah lama berpikir tanpa mendapat jawaban sepotong pun.
"Jangan selak ucapanku, Dewa Arak!" sergah Dewi keras. "Dengarkan saja dulu ceritaku, baru nanti kau akan mengetahuinya."
Dewa Arak pun terdiam. Bukan karena menuruti perintah gadis berkulit putih itu, tapi merasa tidak ada gunanya bertanya lagi.
"Aku dilanda perasaan bimbang," lanjut Dewi. "Di satu pihak, aku ingin membalas kematian ayahku. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa melupakan begitu saja pertolonganmu atas bahaya mengerikan yang hampir menimpaku...."
Gadis berpakaian ala kadarnya itu menghentikan ucapan sejenak untuk menenangkan perasaannya.
"Begitu kudengar kau akan menuju Pulau Selaksa Setan, aku bergegas mendahuluimu. Pulau ini dulu adalah milik salah seorang yang menjadi guru ayahku. Makanya, begitu aku datang, masalahnya langsung kuceritakan. Namun demikian, aku tidak memberitahukan nama, sehingga dia terpaksa memanggilku Dewi. Karena, katanya wajahku cantik bukan kepalang. Guru ayahku itu memang bersedia membantu, tapi dengan satu syarat..."
Sampai di sini, Dewi mendadak menghentikan ucapannya. Jelas lanjutan cerita itu menyedihkan hatinya.
Sementara itu Arya hanya diam saja mendengarkan. Dia sama sekali tidak bertanya, meskipun gadis bertubuh molek itu menghentikan ceritanya.
"Aku harus bersedia menjadi pendamping hidupnya. Orang yang telah pernah menjadi guru ayahku itu mencintaiku, Dewa Arak"
"Apakah orang yang kau maksudkan adalah laki-laki kasar yang telah menotokku?" tanya Dewa Arak setengah hati karena khawatir tidak akan mendapatkan jawaban Dewi. Rupanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak mampu juga menahan rasa ingin tahunya.
Dewi menganggukkan kepala. "Dia berjuluk Dedemit Alam Akhirat," sahut gadis berwajah cantik jelita itu setengah mendesah.
"Hanya untuk membalas dendam padaku saja kau harus mempertaruhkan segalanya, Nisanak?" tanya Dewa Arak lagi, merasa heran.
"Tidak hanya pada kau saja, Dewa Arak," sambut Dewi cepat. "Tapi juga pada Setan Mabuk, yang telah menghinaku!"
"Ah...!"
Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Dewa Arak begitu mendengar ucapan Dewi yang terakhir. Kini sudah bisa diduga siapa sebenarnya gadis yang mengenakan rumbai-rumbai pada wajahnya itu. Ha¬nya ada seorang gadis yang diselamatkannya dari bahaya mengerikan Setan Mabuk. Dan gadis itu adalah....
"Kau..., kau..., Malinda...?" tanya Arya terbata-bata.
Baru saja Arya mengucapkan demikian, wanita bertubuh menggiurkan itu merenggut rumbai-rumbai di wajahnya.
Pralll...!
Seketika itu juga seraut wajah cantik terpampang di hadapan Dewa Arak. Dan memang, itu adalah wajah Malinda, putri Mayat Kuburan Koneng!
"Sebelum aku membalas dendam atas perbuatanmu terhadap ayahku..., aku ingin membalas budi padamu Dewa Arak," kata Dewi yang ternyata adalah Malinda.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu menghentikan ucapannya sebentar. Tampak jelas kalau hatinya merasa berat melanjutkan kata-¬katanya.
"Kau adalah pemuda pertama yang telah melihat tubuhku, Dewa Arak. Padahal aku telah bersumpah, hanya orang yang akan menjadi suamiku saja yang berhak melihat tubuhku. Dan apabila aku tidak menyukainya, dia harus mati!"
Wajah Dewa Arak seketika memucat. Disadari kalau dirinya sekarang akan berhadapan dengan sebuah persoalan rumit.
"Tapi.... Tapi..., Setan Mabuk toh melihatnya pula. Bahkan dia lebih gila lagi...," bantah Arya terbata-bata.
Ngeri hati Dewa Arak membayangkan harus menjadi suami Malinda. Bagaimana nanti dengan Melati? Ah! Betapa rindu hatinya pada gadis berpakaian serba putih itu. Hanya Melati-lah satu-satunya wanita yang ingin dijadikan istri. Tidak ada yang lain! Tidak pula Malinda!
"Sumpahku hanya ditujukan untuk para pemuda, Dewa Arak. Dan kaulah orang pertamanya. Bahkan kau pula yang telah menyelamatkanku dari bahaya mengerikan itu," tandas Malinda.
"Lalu..., bagaimana janjimu pada Dedemit Alam Akhirat?" Arya mencoba untuk berkelit.
"Aku bukan jenis orang yang suka mengingkari janji, Dewa Arak!" dengus gadis bertubuh molek itu. "Janjiku pada Dedemit Alam Akhirat tetap kupenuhi. Tapi, tentu saja setelah aku membalas budi, sekaligus dendam padamu!"
"Tapi..., bukankah kalau kau tidak menyukai pemuda yang melihat tubuhmu, akan kau bunuh juga?" Arya masih terus mencoba berkelit.
Kontan selebar wajah Malinda memerah, bahkan sampai ke kedua telinganya. "Beruntunglah kau, Dewa Arak. Kau terhitung pemuda yang cukup menarik."
Pelan sekali ucapan yang keluar dari mulut Malinda. Jelas kalau gadis itu merasa malu mengucapkan kata-kata itu. Bahkan sewaktu mengatakannya, sama sekali tidak berani mengangkat kepala.
"Jadi...?" Arya memutuskan ucapannya dengan suara bergetar karena perasaan tegang.
"Kau tetap menjadi suamiku, sekalipun hanya sehari saja!"
Kali ini ucapan Malinda terdengar tegas dan mantap. Bahkan diucapkan seraya mengangkat kepalanya.
Arya kontan terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan kepalang. Bahkan seandainya ada halilintar yang menyambar di dekatnya, masih tidak seperti ini kekagetan yang melanda hatinya.
"Bagaimana, Suamiku? Kau bersedia, bukan? Kau tahu, aku ingin mempersembahkan kesucianku ini pada orang yang kusukai. Dan kaulah orangnya, Dewa Arak! Aku tidak ingin orang seperti Dedemit Alam Akhirat yang merenggutnya!"
Setelah berkata demikian, tangan Malinda membelai pipi Dewa Arak. Perlahan tangannya merayap turun ke leher, kemudian ke dada. Gadis itu berusaha menanggalkan pakaian Dewa Arak dengan tangan kanannya. Sementara sebelah tangannya lagi, mulai melucuti pakaiannya sendiri.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak kalap bukan kepalang. "Kumohon, jangan lakukan itu, Malinda," pinta Arya mengiba.
Dan inilah yang pertama kali dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu. Mendapat ancaman siksaan ataupun maut dia tidak pernah memohon. Tapi, kali ini Dewa Arak yang terkenal itu mengajukan permohonan pada lawannya.
Tapi, Malinda sama sekali tidak mempedulikannya. Dia terus melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, dua buah bukit kembar yang padat indah, dan membusung, mencuat keluar.
Arya menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya. Buru-buru matanya dimeramkan. Diusirnya pikiran kotor yang menyelinap ke benaknya.
Arya berusaha memusatkan pikiran untuk membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas. Tapi, ternyata totokan Dedemit Alam Akhirat memang luar biasa. Arya tidak mampu membebaskan dengan pengerahan tenaga dalamnya.
"Hmh...!" Malinda menggertakkan gigi karena kesal melihat Dewa Arak memejamkan mata. "Orang seperti kau rupanya ingin dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, putri Mayat Kuburan Koneng itu melangkah meninggalkan Arya. Tapi, tak lama kemudian sudah kembali sambil membawa sebuah kendi.
"Dengan minuman dalam kendi ini, mau tidak mau kau akan melayani kemauanku, Dewa Arak!" Malinda yang sudah tidak mengenal rasa malu lagi, mengacungkan kendi itu.
Dada Dewa Arak berdebar tegang. Meskipun belum pernah merasakan, tapi dari cerita yang didengar bisa diketahui isi kendi itu. Apalagi kalau bukan minuman perangsang nafsu birahi!
Dengan langkah perlahan-lahan, putri Mayat Kuburan Koneng itu mendekati Dewa Arak, untuk meminumkan cairan di dalam kendi itu!
Mendadak terdengar suara mendesing nyaring disusul meluncurnya sebuah benda sebesar ibu jari tangan ke arah Malinda. Dari desingan itu saja, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam lontaran itu.
Tak lama kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah mulai mendekati tepi pulau. Air pun memercik pelan begitu sepasang kaki Dewa Arak menyentuh pinggir pantai.
Arya mengedarkan pandangan sebentar ke sekeliling pulau, baru kemudian menyeret perahu agak ke darat. Lalu, diambilnya sebuah kayu yang panjangnya tak kurang dari dua jengkal, dan dihunjamkannya ke dalam tanah hingga lebih dari setengahnya.
Pada patok yang dibuat tadi, tali perahunya ditambatkan. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu masih membutuhkan perahu untuk meninggalkan Pulau Selaksa Setan nanti. Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Aneh.... Apakah belum ada orang yang datang?" gumam Dewa Arak pelan. Dahinya pun berkernyit dalam, pertanda tengah berpikir keras.
Dengan kepala masih tetap memperhatikan sekeliling, Dewa Arak terus melangkah. Meskipun kewaspadaan tidak tampak pada sikapnya, tapi sebenarnya sikapnya begitu waspada saat melihat suasana yang hening. Seluruh urat syaraf dan otot tubuhnya menegang kaku, bersiap menghadapi serangan mendadak.
Dan baru beberapa tombak melangkah, Dewa Arak mendengar adanya bunyi air beriak. Memang pelan saja kedengarannya, tapi karena tengah waspada penuh, bisa tertangkap oleh pendengarannya. Dan seketika itu pula kepalanya menoleh ke belakang.
"Hey...!"
Pemuda berambut putih keperakan ini berseru kaget ketika melihat beberapa sosok tubuh coklat kehitaman berpakaian ala kadarnya, telah memotong tali perahunya.
Arya tentu saja tidak sudi membiarkan hal itu begitu saja. Tapi sebelum dia bergerak mengejar, terdengar banyak sekali suara mendesing nyaring disusul berkelebatannya benda-benda berkilat ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Dewa Arak langsung mengerutkan keningnya. Menilik suara desingan yang begitu tajam, jelas kalau benda-benda berkilat yang meluncur itu adalah anak panah.
Dengan pikiran masih diliputi teka-teki tentang orang-orang berpakaian seadanya itu, Dewa Arak memutarkan kedua tangannya.
Luar biasa! Belasan anak panah yang meluncur ke arahnya semua tertangkis. Suara berderak keras akibat beradunya kedua tangan Dewa Arak dengan anak-anak panah, seketika terdengar. Sebagian besar runtuh ke tanah, dalam keadaan patah-patah. Sedangkan sisanya terpental balik kembali ke arah semula.
Baru saja pemuda berambut putih keperakan itu ingin kembali mencegah perahunya yang dibawa kabur, terdengar suara langkah kaki ribut, disusul bermunculannya belasan sosok tubuh seperti yang semula dilihatnya.
Arya terperanjat melihat hal ini. Meskipun belum pernah mendengar, tapi sudah bisa memperkirakan keganasan orang-orang yang mengurungnya. Apalagi kalau bukan penghuni Pulau Selaksa Setan yang terasing dan biadab!
Apakah Setan Mabuk mendustainya mengenai akan diadakannya pertarungan antara raja-raja arak. Kalau iya, untuk apa menjebaknya? Bukankah kakek yang menggiriskan itu belum tentu kalah olehnya?
Tapi kalau Setan Mabuk tidak menipunya, mengapa tempat ini penuh orang yang menilik dari pakaian yang dikenakan adalah orang-orang biadab? Bukankah syarat utama tempat pertarungan, seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, adalah tempat sepi? Tapi mengapa kini ramai? Dan mengapa tidak tampak adanya seorang pun di sini? Baik orang-orang yang ingin menonton, juri, maupun tokoh-tokoh yang hendak bertarung?
Ataukah Dewa Arak telah salah mendarat? Mungkinkah ini bukan Pulau Selaksa Setan? Ah! Tidak mungkin! Arya tahu betul, perjalanannya tidak salah! Pulau tempatnya mendarat ini memang benar-benar Pulau Selaksa Setan!
Dan Arya kini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena sosok yang mengurung sudah bergerak mengelilinginya.
Dewa Arak memperhatikan belasan orang yang berpakaian sekadarnya itu. Ada perasaan kaget di hati tatkala melihat ada taring yang tersembul di sudut-sudut mulut para pengeroyoknya.
Melihat keadaan para pengepungnya, Arya jadi bersikap hati-hati. Kelainan pada diri merekalah yang membuatnya jadi lebih bersikap waspada. Sepasang mata Arya berputar, memperhatikan semua tindak-tan¬duk anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Agak heran juga hati Dewa Arak tatkala melihat para pengeroyoknya sama sekali tidak bergerak menyerang, tapi hanya mengurung saja. Melihat hal ini, Arya bisa menebak kalau ada sesuatu yang tengah ditunggu gerombolan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak keliru! Dari balik gundukan batu besar, melesat sesosok tubuh ramping yang kemudian hinggap dalam jarak sekitar satu batang tombak dari kepungan gerombolan pemakan manusia itu.
Sepasang mata Dewa Arak terbelalak lebar ketika sosok bayangan itu telah berdiri tegak. Betapa tidak? Sosok yang baru muncul ini, amat berbeda dengan para pengepungnya.
Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bahkan bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Raut wajah gadis itu tidak terlihat, karena tertutup rumbai-¬rumbai yang agak rapat.
"Tangkap pemuda itu...!"
Gadis cantik yang tak lain Dewi itu memberi perintah dengan suara keras. Seketika itu juga, gerombolan pemakan manusia yang mengepung Arya mulai bergerak.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini mereka tidak menggunakan kapak, melainkan tambang panjang berwarna putih. Melihat dari keadaannya, bisa diperkirakan kalau tambang itu ulet dan alot bukan ke¬palang.
Dewa Arak langsung mengernyitkan alisnya. Meskipun bisa memperkirakan kalau lawan akan menangkapnya hidup-hidup, menggunakan tambang, tapi belum bisa diketahui apa yang akan dilakukan mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak hanya bisa memperhatikan sambil memasang sikap waspada. Seluruh urat-urat dan otot-otot tubuhnya menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mendadak gerombolan pemakan manusia itu berputar mengelilingi Dewa Arak dengan arah masing-masing tidak seragam. Mereka berlari ke sana kemari tidak beraturan.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kebingungan. Biji matanya berkeliaran mengikuti gerakan berputar lawan-lawannya. Tapi karena tubuh-tubuh yang berputar sama sekali tidak beraturan, sehingga pemuda berambut putih keperakan itu jadi pusing sendiri. Apalagi, ketika tubuhnya beberapa saat ikut pula berputar. Maka, kepalanya malah jadi pening.
Arya memang belum pernah mengalami peristiwa seperti ini. Jadi, tidak aneh kalau jadi bingung karenanya. Dan tahu-tahu tubuhnya telah terbelit tambang-tambang berwarna putih itu. Baru setelah tubuh Arya terbelit, gerakan berputar para pengeroyoknya pun terhenti.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang. Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk memutuskan tambang-¬tambang yang menjeratnya. Tapi, tambang-tambang itu ternyata alot bukan main. Entah terbuat dari bahan apa, tidak diketahuinya sama sekali.
Meskipun gagal dengan usaha pertamanya, Dewa Arak tidak putus asa. Segera tenaga dalam simpanannya dikeluarkan. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Seketika itu juga, ada hawa panas yang menjalar sekujur tubuhnya. Meskipun begitu, tetap saja tambang-tambang itu tidak bisa diputuskan.
Arya sama sekali tidak putus asa. Tetap saja 'Tenaga Sakti Inti Matahari' dikerahkan terus. Tujuannya adalah untuk membuat para pengeroyok melepaskan pegangan pada tambang, karena tidak kuat menahan serangan hawa panas 'Tenaga Sakti Inti Matahari' yang merayap.
Dugaan Dewa Arak memang tepat. Belasan orang yang memegang tambang mulai menggeram-geram, begitu tangan mereka terasa panas bukan kepalang. Tapi, rupanya anak buah Dedemit Alam Akhirat terhitung orang-orang yang keras hati. Betapapun menyengatnya panas yang melanda telapak tangan, tetap saja genggaman itu tidak dilepaskan.
Dewi rupanya melihat hal itu. Hatinya khawatir juga bila lawan tangguhnya akan berhasil lolos. Maka dia pun cepat melesat ke depan. Dan dengan jari telunjuk menegang kaku, ditotoknya punggung Dewa Arak!
Tukkk..!
"Akh...!"
Dewi menjerit keras ketika ujung jari telunjuknya terasa patah-¬patah dan panas bukan kepalang ketika menyentuh punggung Dewa Arak. Seolah-olah, yang ditotoknya tadi bukan kulit manusia, melainkan lempengan baja tebal yang panas membara!
"Hmh...!"
Terdengar suara mendengus keras disusul melesatnya sesosok bayangan ke arah Dewa Arak. Dan sekali sosok bayangan itu mengulurkan jari menotok, tubuh Dewa Arak terkulai lemas.
Di sebelah Dewi, kini berdiri sesosok tubuh berwajah kasar. Kepalanya memakai topi terbuat dari bulu burung garuda. Siapa lagi kalau bukan Dedemit Alam Akhirat?
"Inikah orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya laki-laki berwajah kasar itu.
Ada kilatan rasa gembira di wajah Dedemit Akhirat ketika mengajukan pertanyaan itu. Terbayang di benaknya, betapa gadis yang bertubuh molek itu akan sukarela menyerahkan diri kepadanya.
Dewi mengangguk lesu. Memang, hatinya masih merasa terkejut manakala totokannya ternyata sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi ketika teringat akan janjinya pada Dedemit Alam Akhirat. Rasanya jijik bila membayangkan laki-laki yang berwajah kasar dan berbau busuk itu akan menggelutinya.
"Ha ha ha...! Kalau begitu, sudah tiba saatnya bagiku untuk menerima upahnya...!" tagih laki-laki berwajah kasar itu keras. Sepasang matanya merayapi sekujur tubuh Dewi.
"Berikan kesempatan padaku untuk membalas dendam pada pemuda ini, Dedemit Alam Akhirat. Aku tidak sudi diganggu sewaktu menyiksanya," pinta wanita bertubuh molek itu seraya menatap wajah De¬demit Alam Akhirat dengan sepasang mata penuh permohonan.
"Hm...!" pemimpin gerombolan pemakan manusia itu menggumam. Dahinya berkemyit dalam. Tampak jelas kalau tengah mempertimbangkan permintaan Dewi.
"Setelah puas melampiaskan dendamku padanya, aku akan sukarela menyerahkan diri kepadamu. Terserah apa yang akan kau lakukan pada diriku...," sambung wanita berkulit putih itu buru-buru. "Bagaimana, Dedemit Alam Akhirat?"
Dengan susah payah laki-laki berwajah kasar itu menelan ludah ketika di benaknya terbayang betapa nikmatnya menggeluti tubuh molek yang memiliki kulit putih, halus, mulus, dan menggiurkan itu.
"Baiklah. Kukabulkan permintaanmu," jawab tokoh sesat yang menggiriskan itu dengan suara yang mendadak serak.
Seketika wajah Dewi berseri. "Terima kasih, Dedemit Alam Akhirat!"
Setelah berkata demikian, gadis bertubuh menggiurkan ini melangkah menghampiri Dedemit Alam Akhirat. Dan....
Cuppp!
Pipi laki-laki berwajah kasar itu langsung dikecupnya. Dedemit Alam Akhirat tidak tahan lagi menahan nafsunya. Dengan kasar ditahannya kepala Dewi yang akan ditarik kembali. Kemudian, dengan buas dilumatnya sepasang bibir yang merah, ranum, menggiurkan, dan bagus bentuknya itu.
Dewi meronta-ronta, tapi Dedemit Alam Akhirat yang tengah lupa diri tidak sudi melepaskannya. Pegangannya pun dipertahankan pada kuduk gadis itu. Dan dengan rakus dijarahnya sepasang bibir Dewi. Baru setelah merasa cukup puas, gadis itu dilepaskannya.
Dewi menatap dengan sinar mata berkilat-kilat. Perutnya kini mendadak mual. Mulut Dedemit Alam Akhirat ternyata berbau busuk. Sepertinya, di dalam mulut laki-laki berwajah kasar itu terdapat onggokan bangkai! Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk muntah.
"Sisa upahmu kutagih belakangan, Dewi," ujar Dedemit Alam Akhirat Napasnya terdengar agak memburu.
Tapi Dewi sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan gerak isyarat, disuruhnya beberapa orang anak buah Dedemit Alam Akhirat membawa tubuh Dewa Arak.
Namun gerombolan pemakan manusia yang diperintahnya justru malah menoleh ke arah Dedemit Alam Akhirat. Baru ketika tokoh sesat yang menggiriskan itu menganggukkan kepala, mereka bergerak memenuhi permintaan Dewi.
Dewi pun berjalan mendahului. Di belakangnya, berjalan gerombolan pemakan manusia yang membawa tubuh Dewa Arak. Baru di belakangnya lagi, berjalan belasan orang gerombolan lainnya bersama Dedemit Alam Akhirat.
Dengan langkah pasti, Dewi melangkah memasuki salah satu dari sekian banyak gua yang terdapat di dinding gundukan batu yang besar menyerupai bukit itu.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat yang membawa tubuh Dewa Arak yang terkulai lemas, mau tak mau ikut pula melangkah masuk ke dalam. Tapi yang lain, dan juga Dedemit Alam Akhirat masuk ke gua lain, tidak ikut masuk ke gua yang dimasuki Dewi.
Gua itu ternyata mempunyai lorong yang cukup panjang dan berliku-liku. Baru setelah jarak yang ditempuh mencapai dua belas tombak, lorong gua mulai membesar dan melebar.
Di sini, tidak hanya ada satu lorong gua saja, tapi ada empat buah lorong. Dewi yang rupanya sudah cukup mengetahui tempat itu segera memilih lorong gua kanan.
Setelah menempuh jalan sekitar delapan tombak, sampailah mereka pada sebuah ruangan yang cukup luas, dan anehnya cukup terang. Dewi sama sekali tidak pernah ambil pusing mengenai asal sinar yang membuat ruangan gua jadi terang. Mungkin bagian atap gua yang terbuat dari batu itu menyerap sinar, dan memantulkannya. Namun gadis bertubuh molek itu sama sekali tidak mempedulikannya.
"Masukkan dia ke dalam kurungan itu!" perintah Dewi sambil menudingkan telunjuk ke arah salah satu dinding gua yang berupa ruang tahanan. "Dan tinggalkan tempat ini!"
Dua orang anak buah Dedemit Alam Akhirat segera melemparkan tubuh Dewa Arak ke sudut ruangan, lalu melangkah lebar meninggalkan tempat itu. Mereka sama sekali tidak menoleh-noleh lagi.
Dewi menatap tubuh kedua orang manusia biadab itu hingga lenyap dari pandangan, baru kemudian melangkah masuk menghampiri Arya yang tergolek lemah tak berdaya. Totokan Dedemit Alam Akhiratlah yang menyebabkannya demikian.
Itulah sebabnya, meskipun tubuhnya sudah tidak terikat lagi. Dewa Arak sama sekali tidak mampu untuk bergerak lagi.
Dewi melangkah menghampiri Dewa Arak dengan sinar mata aneh. Tapi, pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak mengetahui karena wajahnya terhalang rumbai-rumbai.
Begitu telah berada di dekat Dewa Arak yang terbaring, gadis bertubuh molek itu menghempaskan pantarnya dan duduk di situ.
"Kau...," sebuah ucapan serak keluar dari mulut Dewi. "Betapa inginnya aku membunuhmu. Kaulah yang telah membunuh ayahku. Tapi, mengapa kau juga yang telah menyelamatkanku dari malapetaka yang mengerikan?"
Arya mengernyitkan alisnya, pertanda tengah berpikir keras. Sepertinya suara seperti ini pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana, dia lupa. Hanya satu hal yang dapat diterka. Gadis yang berada di perkampungan orang biadab itu mempunyai urusan dengannya.
"Siapakah kau sebenarnya, Nisanak?" tanya pemuda berpakaian ungu itu setelah lama berpikir tanpa mendapat jawaban sepotong pun.
"Jangan selak ucapanku, Dewa Arak!" sergah Dewi keras. "Dengarkan saja dulu ceritaku, baru nanti kau akan mengetahuinya."
Dewa Arak pun terdiam. Bukan karena menuruti perintah gadis berkulit putih itu, tapi merasa tidak ada gunanya bertanya lagi.
"Aku dilanda perasaan bimbang," lanjut Dewi. "Di satu pihak, aku ingin membalas kematian ayahku. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa melupakan begitu saja pertolonganmu atas bahaya mengerikan yang hampir menimpaku...."
Gadis berpakaian ala kadarnya itu menghentikan ucapan sejenak untuk menenangkan perasaannya.
"Begitu kudengar kau akan menuju Pulau Selaksa Setan, aku bergegas mendahuluimu. Pulau ini dulu adalah milik salah seorang yang menjadi guru ayahku. Makanya, begitu aku datang, masalahnya langsung kuceritakan. Namun demikian, aku tidak memberitahukan nama, sehingga dia terpaksa memanggilku Dewi. Karena, katanya wajahku cantik bukan kepalang. Guru ayahku itu memang bersedia membantu, tapi dengan satu syarat..."
Sampai di sini, Dewi mendadak menghentikan ucapannya. Jelas lanjutan cerita itu menyedihkan hatinya.
Sementara itu Arya hanya diam saja mendengarkan. Dia sama sekali tidak bertanya, meskipun gadis bertubuh molek itu menghentikan ceritanya.
"Aku harus bersedia menjadi pendamping hidupnya. Orang yang telah pernah menjadi guru ayahku itu mencintaiku, Dewa Arak"
"Apakah orang yang kau maksudkan adalah laki-laki kasar yang telah menotokku?" tanya Dewa Arak setengah hati karena khawatir tidak akan mendapatkan jawaban Dewi. Rupanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak mampu juga menahan rasa ingin tahunya.
Dewi menganggukkan kepala. "Dia berjuluk Dedemit Alam Akhirat," sahut gadis berwajah cantik jelita itu setengah mendesah.
"Hanya untuk membalas dendam padaku saja kau harus mempertaruhkan segalanya, Nisanak?" tanya Dewa Arak lagi, merasa heran.
"Tidak hanya pada kau saja, Dewa Arak," sambut Dewi cepat. "Tapi juga pada Setan Mabuk, yang telah menghinaku!"
"Ah...!"
Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Dewa Arak begitu mendengar ucapan Dewi yang terakhir. Kini sudah bisa diduga siapa sebenarnya gadis yang mengenakan rumbai-rumbai pada wajahnya itu. Ha¬nya ada seorang gadis yang diselamatkannya dari bahaya mengerikan Setan Mabuk. Dan gadis itu adalah....
"Kau..., kau..., Malinda...?" tanya Arya terbata-bata.
Baru saja Arya mengucapkan demikian, wanita bertubuh menggiurkan itu merenggut rumbai-rumbai di wajahnya.
Pralll...!
Seketika itu juga seraut wajah cantik terpampang di hadapan Dewa Arak. Dan memang, itu adalah wajah Malinda, putri Mayat Kuburan Koneng!
"Sebelum aku membalas dendam atas perbuatanmu terhadap ayahku..., aku ingin membalas budi padamu Dewa Arak," kata Dewi yang ternyata adalah Malinda.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu menghentikan ucapannya sebentar. Tampak jelas kalau hatinya merasa berat melanjutkan kata-¬katanya.
"Kau adalah pemuda pertama yang telah melihat tubuhku, Dewa Arak. Padahal aku telah bersumpah, hanya orang yang akan menjadi suamiku saja yang berhak melihat tubuhku. Dan apabila aku tidak menyukainya, dia harus mati!"
Wajah Dewa Arak seketika memucat. Disadari kalau dirinya sekarang akan berhadapan dengan sebuah persoalan rumit.
"Tapi.... Tapi..., Setan Mabuk toh melihatnya pula. Bahkan dia lebih gila lagi...," bantah Arya terbata-bata.
Ngeri hati Dewa Arak membayangkan harus menjadi suami Malinda. Bagaimana nanti dengan Melati? Ah! Betapa rindu hatinya pada gadis berpakaian serba putih itu. Hanya Melati-lah satu-satunya wanita yang ingin dijadikan istri. Tidak ada yang lain! Tidak pula Malinda!
"Sumpahku hanya ditujukan untuk para pemuda, Dewa Arak. Dan kaulah orang pertamanya. Bahkan kau pula yang telah menyelamatkanku dari bahaya mengerikan itu," tandas Malinda.
"Lalu..., bagaimana janjimu pada Dedemit Alam Akhirat?" Arya mencoba untuk berkelit.
"Aku bukan jenis orang yang suka mengingkari janji, Dewa Arak!" dengus gadis bertubuh molek itu. "Janjiku pada Dedemit Alam Akhirat tetap kupenuhi. Tapi, tentu saja setelah aku membalas budi, sekaligus dendam padamu!"
"Tapi..., bukankah kalau kau tidak menyukai pemuda yang melihat tubuhmu, akan kau bunuh juga?" Arya masih terus mencoba berkelit.
Kontan selebar wajah Malinda memerah, bahkan sampai ke kedua telinganya. "Beruntunglah kau, Dewa Arak. Kau terhitung pemuda yang cukup menarik."
Pelan sekali ucapan yang keluar dari mulut Malinda. Jelas kalau gadis itu merasa malu mengucapkan kata-kata itu. Bahkan sewaktu mengatakannya, sama sekali tidak berani mengangkat kepala.
"Jadi...?" Arya memutuskan ucapannya dengan suara bergetar karena perasaan tegang.
"Kau tetap menjadi suamiku, sekalipun hanya sehari saja!"
Kali ini ucapan Malinda terdengar tegas dan mantap. Bahkan diucapkan seraya mengangkat kepalanya.
Arya kontan terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut bukan kepalang. Bahkan seandainya ada halilintar yang menyambar di dekatnya, masih tidak seperti ini kekagetan yang melanda hatinya.
"Bagaimana, Suamiku? Kau bersedia, bukan? Kau tahu, aku ingin mempersembahkan kesucianku ini pada orang yang kusukai. Dan kaulah orangnya, Dewa Arak! Aku tidak ingin orang seperti Dedemit Alam Akhirat yang merenggutnya!"
Setelah berkata demikian, tangan Malinda membelai pipi Dewa Arak. Perlahan tangannya merayap turun ke leher, kemudian ke dada. Gadis itu berusaha menanggalkan pakaian Dewa Arak dengan tangan kanannya. Sementara sebelah tangannya lagi, mulai melucuti pakaiannya sendiri.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak kalap bukan kepalang. "Kumohon, jangan lakukan itu, Malinda," pinta Arya mengiba.
Dan inilah yang pertama kali dilakukan pemuda berambut putih keperakan itu. Mendapat ancaman siksaan ataupun maut dia tidak pernah memohon. Tapi, kali ini Dewa Arak yang terkenal itu mengajukan permohonan pada lawannya.
Tapi, Malinda sama sekali tidak mempedulikannya. Dia terus melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, dua buah bukit kembar yang padat indah, dan membusung, mencuat keluar.
Arya menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di hadapannya. Buru-buru matanya dimeramkan. Diusirnya pikiran kotor yang menyelinap ke benaknya.
Arya berusaha memusatkan pikiran untuk membebaskan totokan yang membuat tubuhnya lemas. Tapi, ternyata totokan Dedemit Alam Akhirat memang luar biasa. Arya tidak mampu membebaskan dengan pengerahan tenaga dalamnya.
"Hmh...!" Malinda menggertakkan gigi karena kesal melihat Dewa Arak memejamkan mata. "Orang seperti kau rupanya ingin dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, putri Mayat Kuburan Koneng itu melangkah meninggalkan Arya. Tapi, tak lama kemudian sudah kembali sambil membawa sebuah kendi.
"Dengan minuman dalam kendi ini, mau tidak mau kau akan melayani kemauanku, Dewa Arak!" Malinda yang sudah tidak mengenal rasa malu lagi, mengacungkan kendi itu.
Dada Dewa Arak berdebar tegang. Meskipun belum pernah merasakan, tapi dari cerita yang didengar bisa diketahui isi kendi itu. Apalagi kalau bukan minuman perangsang nafsu birahi!
Dengan langkah perlahan-lahan, putri Mayat Kuburan Koneng itu mendekati Dewa Arak, untuk meminumkan cairan di dalam kendi itu!
Mendadak terdengar suara mendesing nyaring disusul meluncurnya sebuah benda sebesar ibu jari tangan ke arah Malinda. Dari desingan itu saja, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam lontaran itu.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment