"Mari, Dewi! Kita saksikan tontonan menarik ini dari tempat yang teduh."
Wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membantah. Kakinya kemudian melangkah mengikuti Dedemit Alam Akhirat yang telah meninggalkan tempat itu lebih dulu.
Saratoga, terutama sekali Malaikat Jari Besi terkejut bukan kepalang tatkala mendengar Dewi memanggil pemimpin gerombolan pemakan manusia itu dengan julukan Dedemit Alam Akhirat. Jelas, kalau panggilan itu mempunyai arti luar biasa bagi kedua tokoh itu.
Dan memang, dua tokoh aliran putih itu tahu, siapa Dedemit Alam Akhirat. Dia adalah seorang tokoh sesat yang mengerikan. Julukannya saja sudah membuat nyali semua orang ciut. Tokoh itu memang terkenal memiliki kekejaman yang tidak ada taranya. Dan lagi, kepandaiannya pun sulit diukur.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah kekejamannya! Dedemit Alam Akhirat ini gemar makan daging manusia hidup-hidup begitu saja. Lalu, mengapa tahu-tahu tokoh itu berada di sini? Itulah pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
Tapi kedua orang itu tidak bisa terlalu lama disibuki pikiran-¬pikiran semacam itu. Karena, gerombolan pemakan manusia itu sudah mendapat perintah untuk menyerang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Saratoga segera bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Maksudnya sudah bisa diterka. Apa lagi kalau bukan untuk membuat posisi saling melindungi? Sesaat kemudian, kedua sahabat ini telah saling mengadu punggung
"Hati-hati, Saratoga," Malaikat Jari Besi memberi nasihat "Tampaknya mereka bukan lawan ringan...."
Peringatan Malaikat Jari Besi sama sekali tidak mendapat tanggapan. Dan memang, Saratoga tidak sempat lagi menanggapinya. Bahkan ucapan laki-laki kekar berotot itu pun terhenti secara mendadak, karena gerombolan pemakan manusia itu sudah bergerak menyerang dengan senjata-senjata yang berbentuk aneh.
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring yang mendirikan bulu kuduk, gerombolan orang kasar itu maju menyerang. Senjata-senjata mereka terayun deras ke berbagai bagian tubuh kedua tokoh aliran putih yang terjebak itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera melakukan perlawanan. Senjata yang sejak tadi tergenggam di tangan digerakkan, untuk menyambut serangan yang menyambar.
Sesaat kemudian dentang senjata beradu terdengar menyemaraki pertarungan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, ikut menyemaraki pertarungan. Malaikat Jari Besi dan Saratoga bertarung mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Mereka tahu kalau hasil pertarungan ini menentukan hidup dan mati.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga ter¬nyata memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atas lawan-¬lawannya. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat kedua orang tokoh persilatan aliran putih itu ternyata jauh lebih unggul. Kalau saja pertarungan itu berlangsung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan kalau Malaikat Jari Besi dan Saratoga akan dapat merobohkan lawan-lawannya.
Tapi karena gerombolan pemakan mausia itu menyerang secara keroyokan, pertarungan jadi berlangsung sengit. Apalagi, anak buah Dedemit Alam Akhirat itu bertarung secara membabi buta.
Meskipun terlihat serampangan, tapi serangan gerombolan pemakan manusia itu tampak saling susul seperti gelombang laut. Sehingga untuk beberapa jurus lamanya, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mampu balas menyerang. Mereka hanya mampu menghindar, dan menangkis hujan serangan itu.
Setiap kali kedua tokoh itu melakukan tangkisan, tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat terlempar balik ke belakang. Tak terdengar jerit tertahan keluar dari mulut, meskipun tangan mereka terasa bergetar hebat ketika senjatanya tertangkis.
Selama beberapa jurus, Malaikat Jari Besi dan Saratoga hanya menangkis saja. Baru menjelang jurus kesepuluh mereka mulai menyerang.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Jari Besi menusukkan golok besarnya ke arah perut seorang anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Takkk!
Hampir saja laki-laki bertubuh kekar berotot ini menjerit ketika goloknya terpental balik sewaktu mengenai sasaran. Seakan-akan, yang ditusuk bukan perut manusia, tapi gumpalan karet keras dan kenyal.
Keterkejutan ini hampir saja mencelakakan laki-laki bertubuh kekar berotot ini. Karena pada saat itu, serangan kapak lawan meluncur deras ke arah kepala. Untung pada saat terakhir kepalanya mampu dimi¬ringkan.
Wusss...!
Serangan kapak itu lewat sekitar sejari di samping kepalanya. Rambut kepalanya yang berkibar keras menjadi petunjuk, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam ayunan kapak tadi.
Malaikat Jari Besi merasa penasaran bukan kepalang. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam dugaan. Benarkah gerombolan pemakan manusia ini memiliki kulit tubuh yang kenyal? Atau tadi ada sebuah kekeliruan?
Banyaknya pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi, sehingga membuatnya ingin membuktikan sekali lagi.
Jerit kekagetan Malaikat Jari Besi tadi, tentu saja terdengar Saratoga. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini seketika khawatir akan nasib rekannya. Maka begitu mendapat kesempatan, Saratoga menoleh.
Hati laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini lega ketika melihat Malaikat Jari Besi tidak menderita apa-apa. Tapi, mengapa dia tadi menjerit?
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga menyempatkan diri begitu kembali mendapat kesempatan.
"Mereka memiliki tubuh kebal, Saratoga," jelas Malaikat Jari Besi seraya menangkis serangan lawan.
"Benarkah itu?" tanya Saratoga seraya menangkis serangan beruntun yang mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Ada nada keterkejutan dalam suara Saratoga! Memang sejak tadi, dia belum berhasil menyarangkan satu serangan pun. Hujan serangan yang mengancamnya terlalu bertubi-tubi, sehingga tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Tapi berapa jurus kemudian, baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga sudah mulai leluasa melancarkan serangan balasan. Dan perasaan terkejut yang amat sangat pun mulai melanda, tatkala menghadapi kenyataan kalau para pengeroyok memang memiliki tubuh kebal.
Berkali-kali golok Malaikat Jari Besi maupun pedang Saratoga mengenai berbagai bagian tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat. Tapi akibatnya, senjata-senjata itu malah terpental balik seperti menghantam gumpalan karet kenyal.
Setelah berkali-kali menghantamkan senjata ke berbagai bagian tubuh para pengeroyoknya tanpa hasil, baru kedua tokoh aliran putih ini yakin akan dugaan mereka. Para pengeroyok ternyata memang benar-benar memiliki kekebalan kulit tubuh.
Meskipun begitu, Malaikat Jari Besi dan Saratoga sama sekali tidak putus asa. Mereka berdua tetap saja melancarkan serangan bertubi-¬tubi, selama mendapat kesempatan. Hanya saja, sasaran yang dituju selalu berganti-ganti.
Bila sebelumnya bahu, kemudian ganti leher. Begitu seterusnya. Yang jelas, mereka mencoba setiap bagian tubuh lawan. Sebagai tokoh berpengalaman, kedua orang ini tahu kalau setiap ilmu memiliki kelemahan. Dan mereka berusaha menemukannya.
Entah sudah beberapa bagian tubuh yang dibacok, tusuk, tetak, maupun babat. Tapi tetap saja tidak ada hasil seperti yang diharapkan. Senjata-senjata Malaikat Jati Besi dan Saratoga sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Keuntungan yang ada di pihak Malaikat Jari Besi dan Saratoga adalah tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki jauh berada di atas tawan. Sehingga, tidak terlalu sulit untuk mengelakkan serangan balasan yang dilancarkan lawan.
Tambahan lagi, tenaga dalam mereka juga jauh di atas lawan. Sehingga setiap kali menangkis, cukup untuk membuat orang yang ditangkis tidak mampu menyerang lagi beberapa saat.
Tapi kalau keadaan ini berlangsung terus-menerus, tentu akan menguras seluruh kemampuan mereka. Maka tidak aneh ketika pertarungan menginjak seratus jurus, kedua orang itu mulai merasa lelah.
Seiring perasaan lelah yang mendera, tenaga kedua tokoh yang terjebak itu semakin berkurang. Dan dengan sendirinya, kegesitan mereka berkurang pula. Akibatnya sudah bisa diduga. Perlawanan Malaikat Jari Besi dan Saratoga pun mulai mengendur.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga menyadari kalau lambat laun akan roboh di tangan para pengeroyok Dan itu sudah pasti. Betapa tidak? Setiap serangan yang dilancarkan sama sekali tidak berarti apa-apa. Sedangkan serangan para pengeroyok, setiap saat dapat merenggut nyawa! Di atas kertas, gerombolan pemakan manusia jelas lebih unggul!
"Ha ha ha...! Kau lihat Dewi? Tidak lama lagi kita akan melihat sebuah tontonan menarik. Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak sambil menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah pertarungan berlangsung.
Sementara tangan kanannya yang sejak tadi melingkar di bahu yang putih, halus, dan mulus milik Dewi, perlahan mulai merayap turun. Persis seekor ular merayap turun dari pohon.
Dewi diam saja. Sama sekali tidak diberikan tanggapan atas perbuatan Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat tindakan pemimpin gerombolan pemakan manusia ini semakin liar. Tangan itu pun semakin merayap turun.
Telapak tangan yang semula berada di bahu kanan Dewi, kini sudah mulai berpindah tempat. Tangan itu sudah berada di bagian dada atas. Sehingga, laki-laki berwajah kasar itu tentu saja harus menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Dewi.
Memang, Dedemit Alam Akhirat dan Dewi duduk di atas sebuah batu besar yang terletak agak tinggi. Dan itu memang disengaja pemimpin gerombolan pemakan daging manusia itu.
Dan ketika jari-jari tangan Dedemit Alam mulai menyentuh payudara kanan, Dewi buru menepiskannya dan beranjak bangkit.
"Mengapa, Dewi?" tanya Dedemit Alam seraya bangkit berdiri pula. Ucapannya terdengar agak terengah-engah, pertanda mulai diamuk nafsu.
"Aku belum menemukan orang yang kucari, tapi kau sudah hendak menagih upahnya," katanya ketus.
"Tapi sampai kapan aku harus menunggu orang yang kau inginkan, Dewi? Iya, kalau orang itu datang kemari.... Kalau tidak?!" Suara Dedemit Alam Akhirat semakin lama semakin meninggi. Jelas kalau amarah nya mulai bangkit. "Ingat, Dewi! Kesabaran ada batasnya. Jangan membuat aku terpaksa bertindak kasar, Dewi. Kau tahu, akibatnya akan sangat mengerikan bagimu!"
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dedemit Alam Akhirat menghentikan ancamannya.
Meskipun perubahan wajah Dewi sulit diketahui karena terlindung uraian jerami, tapi menilik dari kedua kakinya yang menggigil keras, sudah dapat diterka kalau di tengah dilanda rasa takut yang hebat mendengar ancaman itu.
Dewi telah melihat sendiri bukti kekejaman Dedemit Alam Akhirat beberapa hari yang lalu. Saat itu, laki-laki berwajah kasar ini memperkosa seorang pendekar wanita, sambil memakan tubuh wanita malang yang berhasil ditaklukkannya.
Itulah sebabnya, hatinya merasa takut dan ngeri bukan main begitu mendengar ancaman itu. Dewi memerlukan waktu beberapa saat untuk menenangkan hatinya. Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembus¬kannya kuat-kuat. Dan memang, setelah berbuat demikian, perasaan hatinya mulai tenang kembali.
"Aku tidak bohong, Dedemit Alam Akhirat. Telah kudengar sendiri pembicaraan mereka. Kedua orang itu berjanji akan bertemu di sini untuk mengadu ilmu.... Percayalah! Bila orang-orang yang kucari itu telah berhasil kau tangkap, dengan sukarela akan kuserahkan diriku padamu...."
"Sebenarnya, siapa orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya Dedemit Alam Akhirat.
Suara laki-laki berwajah keras itu masih agak keras, meskipun tidak sekeras sebelumnya. Kalimat terakhir yang diucapkan gadis itulah yang telah meredakan amarahnya yang menggelegak.
Tanpa sadar, laki-laki berwajah keras ini menelan air liurnya ketika membayangkan kemolekan tubuh gadis ini bila menyerahkan diri kepadanya.
"Dewa Arak dan Setan Mabuk!" tegas dan mantap sekali, ucapan yang keluar dari mulut Dewi.
Dedemit Alam Akhirat mengernyitkan dahinya sejenak. "Nama Dewa Arak sama sekali belum pernah kudengar. Tapi Setan Mabuk, sejak dulu telah kudengar. Hanya sayangnya, aku belum mempunyai kesempatan untuk bertarung dengannya. Padahal, sudah lama aku ingin menjajal kepandaiannya."
"Tapi Dewa Arak justru tidak kalah lihai dibanding Setan Mabuk, Dedemit Alam Akhirat," tegas Dewi seperti memberi nasihat.
"Kalau dia adalah seorang tokoh tangguh, mengapa aku belum pernah mendengar nama besarnya?!" sergah laki-laki berwajah kasar itu.
Nada suaranya terdengar penuh ketidak puasan, karena mendengar gadis yang diinginkannya justru memuji-muji lawan.
"Dia baru muncul beberapa bulan belakangan ini," jelas Dewi. "Sedangkan kau mengurung diri ditempat terpencil selama hampir dua tahun. Jadi bagaimana mungkin bisa mendengar nama besarnya yang telah menggegerkan dunia persilatan?"
Dedemit Alam Akhirat mengangguk-anggukkan kepala. "Kau boleh memuji-muji Dewa Arak setinggi langit Dewi. Tapi, satu hal yang perlu kau ketahui Dedemit Alam Akhirat tidak mungkin bisa dikalahkan oleh siapa pun! Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup menghalangi tindakanku. Bahkan puluhan orang pendekar telah mengeroyokku, tapi aku berhasil membantai mereka semua," tandas Dedemit Alam Akhirat, jumawa.
Laki-laki berwajah kasar itu menghentikan ucapannya sejenak. Rupanya karena terlalu berapi-api dalam berbicara, napasnya jadi terengah-¬engah.
"Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu, kalau aku telah melanglang buana terlampau jauh. Bahkan sampai ke daerah kekuasaan Iblis Hitam. Kami kemudian bertarung. Kalau saja dia tidak memiliki ke¬unggulan dalam hal senjata kapaknya yang amat beracun, dan keistimewaan jubah pusakanya, aku pasti berhasil mengalahkannya," sambung Dedemit Alam Akhirat penuh amarah (Untuk jelasnya mengenai tokoh Iblis Hitam, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Peninggalan Iblis Hitam").
"Jadi..., Iblis Hitam berhasil mengalahkanmu, Dedemit Alam Akhirat?"
Meskipun tidak tahu-menahu mengenai tokoh yang disebutkan pemimpin gerombolan pemakan manusia itu, tapi Dewi memaksakan diri untuk menanyakannya. Mungkin hanya sekadar basa-basi. Suatu hal yang wajar kalau gadis bertubuh molek ini tidak mengetahuinya, karena tempat tinggal Iblis Hitam amat jauh dari situ. Paling tidak harus melewati beberapa hutan, sungai, dan puluhan desa untuk bisa tiba di sana.
"Ha ha ha...! Mana mungkin Dedemit Alam Akhirat bisa dikalahkan?! Pertarungan antara kami berlangsung seimbang. Kau tahu, Dewi. Iblis Hitam di daerah sana telah menjadi legenda. Tak ada seorang pun yang pernah mengalahkannya. Dia bercokol dan merajalela sampai seratus tahun bahkan mungkin lebih."
Suasana menjadi hening sejenak ketika Dedemit Alam Akhirat menghentikan ucapannya. Sementara, Dewi sama sekali tidak bertanya lagi. Kini mereka berdua mengalihkan pandangan kembali ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Sementara itu, pertarungan antara Malaikat Jari Besi dan Saratoga dalam menghadapi gerombolan pemakan manusia telah semakin mendekati penyelesaian. Keadaan kedua tokoh aliran putih itu sudah semakin payah dan mengkhawatirkan.
Pertarungan memang sudah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Bukan merupakan hal yang aneh kalau kedua tokoh aliran putih ini merasa lelah bukan main.
Sebenarnya, bukan hanya kedua orang tokoh itu saja yang merasa lelah. Para pengeroyoknya pun demikian pula. Tapi, rasa lelah yang melanda gerombolan pemakan manusia itu tidak seperti yang dialami Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
"Akh...!"
Saratoga menjerit keras ketika tiba-tiba kapak batu lawan keras sekali menghantam bahunya. Kontan sambungan tulang bahunya terlepas. Darah pun mengalir dari bagian yang terluka. Akibatnya, pedang di tangan kanan laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terlepas dari pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Belum sempat Saratoga berbuat sesuatu, kapak di tangan pengeroyok yang lain telah menghantam pahanya. Suara berderak keras terdengar mengiringi hantaman itu.
Seketika itu juga tubuh laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terguling. Dan secepat itu pula, berbondong-bondong gerombolan pemakan manusia menyergapnya.
"Saratoga...!"
Malaikat Jari Besi menjerit keras melihat peristiwa yang menimpa rekannya. Tapi apa daya? Dia sendiri pun tengah berada dalam keadaan terhimpit-himpit. Maka, laki-laki bertubuh kekar berotot ini hanya sempat melihat sekilas keadaan rekannya.
Meskipun hanya sekilas, tapi tak urung semua bulu kuduk Malaikat Jari Besi berdiri. Bahkan perutnya kontan mual! Betapa tidak? Gerombolan pemakan manusia menghujani sekujur tubuh Saratoga dengan senjata, tapi tidak untuk membunuhnya. Hanya membuatnya tidak berdaya lagi.
Kemudian, setelah itu mereka mengeluarkan pisau. Namun, sebenarnya tidak pantas bila disebut pisau, karena matanya tumpul. Dan dengan pisau itu, anak buah Dedemit Alam Akhirat menyayat daging Saratoga, kemudian memakannya mentah-mentah! Darah yang memancur deras dari tubuh rekannya pun dihirup dan dijilati dengan rakusnya.
Saratoga melolong-lolong karena rasa sakit tak terkira pada sekujur tubuhnya. Rasanya tak tahan Malaikat Jari Besi mendengar jeritan itu. Kalau saja bisa, sudah diterobosnya kumpulan orang-orang biadab itu. Sayangnya, dia sendiri tidak berdaya.
Cukup lama juga Saratoga melolong-lolong menjelang maut. Dan bertepatan dengan lenyapnya jeritan laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu, Malaikat Jari Besi mengalami nasib yang sama. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhantam sebuah kapak batu. Keras sekali!
Seketika Malaikat Jari Besi terhuyung-huyung ke depan. Dan sebelum sadar apa yang telah terjadi, kembali sebuah palu batu besar menghantam dadanya. Seketika, Malaikat Jari Besi jatuh terjungkal ke belakang. Dan di saat itulah dia disambut terkaman beberapa orang pengeroyoknya.
Seperti juga Saratoga, laki-laki bertubuh kekar berotot itu pun menjerit-jerit menahan rasa sakit yang tidak terhingga ketika sedikit demi sedikit daging tubuhnya dipreteli dengan pisau tumpul. Maka, akhirnya dia tewas secara menyedihkan.
Kini gerombolan pemakan manusia bangkit berdiri dengan perasaan puas. Mulut mereka masih mendecap-decap menikmati santapan yang menurut mereka lezat bukan main.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas sekali kegembiraan di wajahnya. Sepasang matanya menatap penuh rasa puas pada tubuh Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang kini tinggal tulang-¬belulang saja. Bahkan tidak ada darah setitik pun pada kedua tengkorak itu. Semuanya habis dilahap.
Masih dengan suara tawa yang belum juga lenyap, Dedemit Alam Akhirat melangkah meninggalkan tempat itu. Tangan kanannya kini melingkar di bahu Dewi yang merasa perutnya mual dan ingin muntah menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Kalau saja tidak ada Dedemit Alam Akhirat yang memaksanya untuk menyaksikan, sudah sejak tadi tempat itu ditinggalkannya.
Dengan gereng penuh kepuasan, gerombolan pemakan manusia itu pun bergerak mengikuti. Beberapa di antara mereka membawa tulang-¬belulang Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Memang, masih ada yang belum sempat mereka nikmati. Sumsum yang terletak di dalam tulang!
****
Wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membantah. Kakinya kemudian melangkah mengikuti Dedemit Alam Akhirat yang telah meninggalkan tempat itu lebih dulu.
Saratoga, terutama sekali Malaikat Jari Besi terkejut bukan kepalang tatkala mendengar Dewi memanggil pemimpin gerombolan pemakan manusia itu dengan julukan Dedemit Alam Akhirat. Jelas, kalau panggilan itu mempunyai arti luar biasa bagi kedua tokoh itu.
Dan memang, dua tokoh aliran putih itu tahu, siapa Dedemit Alam Akhirat. Dia adalah seorang tokoh sesat yang mengerikan. Julukannya saja sudah membuat nyali semua orang ciut. Tokoh itu memang terkenal memiliki kekejaman yang tidak ada taranya. Dan lagi, kepandaiannya pun sulit diukur.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah kekejamannya! Dedemit Alam Akhirat ini gemar makan daging manusia hidup-hidup begitu saja. Lalu, mengapa tahu-tahu tokoh itu berada di sini? Itulah pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
Tapi kedua orang itu tidak bisa terlalu lama disibuki pikiran-¬pikiran semacam itu. Karena, gerombolan pemakan manusia itu sudah mendapat perintah untuk menyerang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Saratoga segera bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Maksudnya sudah bisa diterka. Apa lagi kalau bukan untuk membuat posisi saling melindungi? Sesaat kemudian, kedua sahabat ini telah saling mengadu punggung
"Hati-hati, Saratoga," Malaikat Jari Besi memberi nasihat "Tampaknya mereka bukan lawan ringan...."
Peringatan Malaikat Jari Besi sama sekali tidak mendapat tanggapan. Dan memang, Saratoga tidak sempat lagi menanggapinya. Bahkan ucapan laki-laki kekar berotot itu pun terhenti secara mendadak, karena gerombolan pemakan manusia itu sudah bergerak menyerang dengan senjata-senjata yang berbentuk aneh.
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring yang mendirikan bulu kuduk, gerombolan orang kasar itu maju menyerang. Senjata-senjata mereka terayun deras ke berbagai bagian tubuh kedua tokoh aliran putih yang terjebak itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera melakukan perlawanan. Senjata yang sejak tadi tergenggam di tangan digerakkan, untuk menyambut serangan yang menyambar.
Sesaat kemudian dentang senjata beradu terdengar menyemaraki pertarungan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, ikut menyemaraki pertarungan. Malaikat Jari Besi dan Saratoga bertarung mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Mereka tahu kalau hasil pertarungan ini menentukan hidup dan mati.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga ter¬nyata memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atas lawan-¬lawannya. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat kedua orang tokoh persilatan aliran putih itu ternyata jauh lebih unggul. Kalau saja pertarungan itu berlangsung satu lawan satu, sudah dapat dipastikan kalau Malaikat Jari Besi dan Saratoga akan dapat merobohkan lawan-lawannya.
Tapi karena gerombolan pemakan mausia itu menyerang secara keroyokan, pertarungan jadi berlangsung sengit. Apalagi, anak buah Dedemit Alam Akhirat itu bertarung secara membabi buta.
Meskipun terlihat serampangan, tapi serangan gerombolan pemakan manusia itu tampak saling susul seperti gelombang laut. Sehingga untuk beberapa jurus lamanya, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mampu balas menyerang. Mereka hanya mampu menghindar, dan menangkis hujan serangan itu.
Setiap kali kedua tokoh itu melakukan tangkisan, tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat terlempar balik ke belakang. Tak terdengar jerit tertahan keluar dari mulut, meskipun tangan mereka terasa bergetar hebat ketika senjatanya tertangkis.
Selama beberapa jurus, Malaikat Jari Besi dan Saratoga hanya menangkis saja. Baru menjelang jurus kesepuluh mereka mulai menyerang.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Jari Besi menusukkan golok besarnya ke arah perut seorang anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Takkk!
Hampir saja laki-laki bertubuh kekar berotot ini menjerit ketika goloknya terpental balik sewaktu mengenai sasaran. Seakan-akan, yang ditusuk bukan perut manusia, tapi gumpalan karet keras dan kenyal.
Keterkejutan ini hampir saja mencelakakan laki-laki bertubuh kekar berotot ini. Karena pada saat itu, serangan kapak lawan meluncur deras ke arah kepala. Untung pada saat terakhir kepalanya mampu dimi¬ringkan.
Wusss...!
Serangan kapak itu lewat sekitar sejari di samping kepalanya. Rambut kepalanya yang berkibar keras menjadi petunjuk, betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam ayunan kapak tadi.
Malaikat Jari Besi merasa penasaran bukan kepalang. Dalam benaknya berkecamuk berbagai macam dugaan. Benarkah gerombolan pemakan manusia ini memiliki kulit tubuh yang kenyal? Atau tadi ada sebuah kekeliruan?
Banyaknya pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi, sehingga membuatnya ingin membuktikan sekali lagi.
Jerit kekagetan Malaikat Jari Besi tadi, tentu saja terdengar Saratoga. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini seketika khawatir akan nasib rekannya. Maka begitu mendapat kesempatan, Saratoga menoleh.
Hati laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini lega ketika melihat Malaikat Jari Besi tidak menderita apa-apa. Tapi, mengapa dia tadi menjerit?
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga menyempatkan diri begitu kembali mendapat kesempatan.
"Mereka memiliki tubuh kebal, Saratoga," jelas Malaikat Jari Besi seraya menangkis serangan lawan.
"Benarkah itu?" tanya Saratoga seraya menangkis serangan beruntun yang mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Ada nada keterkejutan dalam suara Saratoga! Memang sejak tadi, dia belum berhasil menyarangkan satu serangan pun. Hujan serangan yang mengancamnya terlalu bertubi-tubi, sehingga tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Tapi berapa jurus kemudian, baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga sudah mulai leluasa melancarkan serangan balasan. Dan perasaan terkejut yang amat sangat pun mulai melanda, tatkala menghadapi kenyataan kalau para pengeroyok memang memiliki tubuh kebal.
Berkali-kali golok Malaikat Jari Besi maupun pedang Saratoga mengenai berbagai bagian tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat. Tapi akibatnya, senjata-senjata itu malah terpental balik seperti menghantam gumpalan karet kenyal.
Setelah berkali-kali menghantamkan senjata ke berbagai bagian tubuh para pengeroyoknya tanpa hasil, baru kedua tokoh aliran putih ini yakin akan dugaan mereka. Para pengeroyok ternyata memang benar-benar memiliki kekebalan kulit tubuh.
Meskipun begitu, Malaikat Jari Besi dan Saratoga sama sekali tidak putus asa. Mereka berdua tetap saja melancarkan serangan bertubi-¬tubi, selama mendapat kesempatan. Hanya saja, sasaran yang dituju selalu berganti-ganti.
Bila sebelumnya bahu, kemudian ganti leher. Begitu seterusnya. Yang jelas, mereka mencoba setiap bagian tubuh lawan. Sebagai tokoh berpengalaman, kedua orang ini tahu kalau setiap ilmu memiliki kelemahan. Dan mereka berusaha menemukannya.
Entah sudah beberapa bagian tubuh yang dibacok, tusuk, tetak, maupun babat. Tapi tetap saja tidak ada hasil seperti yang diharapkan. Senjata-senjata Malaikat Jati Besi dan Saratoga sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Keuntungan yang ada di pihak Malaikat Jari Besi dan Saratoga adalah tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki jauh berada di atas tawan. Sehingga, tidak terlalu sulit untuk mengelakkan serangan balasan yang dilancarkan lawan.
Tambahan lagi, tenaga dalam mereka juga jauh di atas lawan. Sehingga setiap kali menangkis, cukup untuk membuat orang yang ditangkis tidak mampu menyerang lagi beberapa saat.
Tapi kalau keadaan ini berlangsung terus-menerus, tentu akan menguras seluruh kemampuan mereka. Maka tidak aneh ketika pertarungan menginjak seratus jurus, kedua orang itu mulai merasa lelah.
Seiring perasaan lelah yang mendera, tenaga kedua tokoh yang terjebak itu semakin berkurang. Dan dengan sendirinya, kegesitan mereka berkurang pula. Akibatnya sudah bisa diduga. Perlawanan Malaikat Jari Besi dan Saratoga pun mulai mengendur.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga menyadari kalau lambat laun akan roboh di tangan para pengeroyok Dan itu sudah pasti. Betapa tidak? Setiap serangan yang dilancarkan sama sekali tidak berarti apa-apa. Sedangkan serangan para pengeroyok, setiap saat dapat merenggut nyawa! Di atas kertas, gerombolan pemakan manusia jelas lebih unggul!
"Ha ha ha...! Kau lihat Dewi? Tidak lama lagi kita akan melihat sebuah tontonan menarik. Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak sambil menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah pertarungan berlangsung.
Sementara tangan kanannya yang sejak tadi melingkar di bahu yang putih, halus, dan mulus milik Dewi, perlahan mulai merayap turun. Persis seekor ular merayap turun dari pohon.
Dewi diam saja. Sama sekali tidak diberikan tanggapan atas perbuatan Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat tindakan pemimpin gerombolan pemakan manusia ini semakin liar. Tangan itu pun semakin merayap turun.
Telapak tangan yang semula berada di bahu kanan Dewi, kini sudah mulai berpindah tempat. Tangan itu sudah berada di bagian dada atas. Sehingga, laki-laki berwajah kasar itu tentu saja harus menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Dewi.
Memang, Dedemit Alam Akhirat dan Dewi duduk di atas sebuah batu besar yang terletak agak tinggi. Dan itu memang disengaja pemimpin gerombolan pemakan daging manusia itu.
Dan ketika jari-jari tangan Dedemit Alam mulai menyentuh payudara kanan, Dewi buru menepiskannya dan beranjak bangkit.
"Mengapa, Dewi?" tanya Dedemit Alam seraya bangkit berdiri pula. Ucapannya terdengar agak terengah-engah, pertanda mulai diamuk nafsu.
"Aku belum menemukan orang yang kucari, tapi kau sudah hendak menagih upahnya," katanya ketus.
"Tapi sampai kapan aku harus menunggu orang yang kau inginkan, Dewi? Iya, kalau orang itu datang kemari.... Kalau tidak?!" Suara Dedemit Alam Akhirat semakin lama semakin meninggi. Jelas kalau amarah nya mulai bangkit. "Ingat, Dewi! Kesabaran ada batasnya. Jangan membuat aku terpaksa bertindak kasar, Dewi. Kau tahu, akibatnya akan sangat mengerikan bagimu!"
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dedemit Alam Akhirat menghentikan ancamannya.
Meskipun perubahan wajah Dewi sulit diketahui karena terlindung uraian jerami, tapi menilik dari kedua kakinya yang menggigil keras, sudah dapat diterka kalau di tengah dilanda rasa takut yang hebat mendengar ancaman itu.
Dewi telah melihat sendiri bukti kekejaman Dedemit Alam Akhirat beberapa hari yang lalu. Saat itu, laki-laki berwajah kasar ini memperkosa seorang pendekar wanita, sambil memakan tubuh wanita malang yang berhasil ditaklukkannya.
Itulah sebabnya, hatinya merasa takut dan ngeri bukan main begitu mendengar ancaman itu. Dewi memerlukan waktu beberapa saat untuk menenangkan hatinya. Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembus¬kannya kuat-kuat. Dan memang, setelah berbuat demikian, perasaan hatinya mulai tenang kembali.
"Aku tidak bohong, Dedemit Alam Akhirat. Telah kudengar sendiri pembicaraan mereka. Kedua orang itu berjanji akan bertemu di sini untuk mengadu ilmu.... Percayalah! Bila orang-orang yang kucari itu telah berhasil kau tangkap, dengan sukarela akan kuserahkan diriku padamu...."
"Sebenarnya, siapa orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya Dedemit Alam Akhirat.
Suara laki-laki berwajah keras itu masih agak keras, meskipun tidak sekeras sebelumnya. Kalimat terakhir yang diucapkan gadis itulah yang telah meredakan amarahnya yang menggelegak.
Tanpa sadar, laki-laki berwajah keras ini menelan air liurnya ketika membayangkan kemolekan tubuh gadis ini bila menyerahkan diri kepadanya.
"Dewa Arak dan Setan Mabuk!" tegas dan mantap sekali, ucapan yang keluar dari mulut Dewi.
Dedemit Alam Akhirat mengernyitkan dahinya sejenak. "Nama Dewa Arak sama sekali belum pernah kudengar. Tapi Setan Mabuk, sejak dulu telah kudengar. Hanya sayangnya, aku belum mempunyai kesempatan untuk bertarung dengannya. Padahal, sudah lama aku ingin menjajal kepandaiannya."
"Tapi Dewa Arak justru tidak kalah lihai dibanding Setan Mabuk, Dedemit Alam Akhirat," tegas Dewi seperti memberi nasihat.
"Kalau dia adalah seorang tokoh tangguh, mengapa aku belum pernah mendengar nama besarnya?!" sergah laki-laki berwajah kasar itu.
Nada suaranya terdengar penuh ketidak puasan, karena mendengar gadis yang diinginkannya justru memuji-muji lawan.
"Dia baru muncul beberapa bulan belakangan ini," jelas Dewi. "Sedangkan kau mengurung diri ditempat terpencil selama hampir dua tahun. Jadi bagaimana mungkin bisa mendengar nama besarnya yang telah menggegerkan dunia persilatan?"
Dedemit Alam Akhirat mengangguk-anggukkan kepala. "Kau boleh memuji-muji Dewa Arak setinggi langit Dewi. Tapi, satu hal yang perlu kau ketahui Dedemit Alam Akhirat tidak mungkin bisa dikalahkan oleh siapa pun! Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup menghalangi tindakanku. Bahkan puluhan orang pendekar telah mengeroyokku, tapi aku berhasil membantai mereka semua," tandas Dedemit Alam Akhirat, jumawa.
Laki-laki berwajah kasar itu menghentikan ucapannya sejenak. Rupanya karena terlalu berapi-api dalam berbicara, napasnya jadi terengah-¬engah.
"Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu, kalau aku telah melanglang buana terlampau jauh. Bahkan sampai ke daerah kekuasaan Iblis Hitam. Kami kemudian bertarung. Kalau saja dia tidak memiliki ke¬unggulan dalam hal senjata kapaknya yang amat beracun, dan keistimewaan jubah pusakanya, aku pasti berhasil mengalahkannya," sambung Dedemit Alam Akhirat penuh amarah (Untuk jelasnya mengenai tokoh Iblis Hitam, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Peninggalan Iblis Hitam").
"Jadi..., Iblis Hitam berhasil mengalahkanmu, Dedemit Alam Akhirat?"
Meskipun tidak tahu-menahu mengenai tokoh yang disebutkan pemimpin gerombolan pemakan manusia itu, tapi Dewi memaksakan diri untuk menanyakannya. Mungkin hanya sekadar basa-basi. Suatu hal yang wajar kalau gadis bertubuh molek ini tidak mengetahuinya, karena tempat tinggal Iblis Hitam amat jauh dari situ. Paling tidak harus melewati beberapa hutan, sungai, dan puluhan desa untuk bisa tiba di sana.
"Ha ha ha...! Mana mungkin Dedemit Alam Akhirat bisa dikalahkan?! Pertarungan antara kami berlangsung seimbang. Kau tahu, Dewi. Iblis Hitam di daerah sana telah menjadi legenda. Tak ada seorang pun yang pernah mengalahkannya. Dia bercokol dan merajalela sampai seratus tahun bahkan mungkin lebih."
Suasana menjadi hening sejenak ketika Dedemit Alam Akhirat menghentikan ucapannya. Sementara, Dewi sama sekali tidak bertanya lagi. Kini mereka berdua mengalihkan pandangan kembali ke arah pertarungan yang tengah berlangsung.
Sementara itu, pertarungan antara Malaikat Jari Besi dan Saratoga dalam menghadapi gerombolan pemakan manusia telah semakin mendekati penyelesaian. Keadaan kedua tokoh aliran putih itu sudah semakin payah dan mengkhawatirkan.
Pertarungan memang sudah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Bukan merupakan hal yang aneh kalau kedua tokoh aliran putih ini merasa lelah bukan main.
Sebenarnya, bukan hanya kedua orang tokoh itu saja yang merasa lelah. Para pengeroyoknya pun demikian pula. Tapi, rasa lelah yang melanda gerombolan pemakan manusia itu tidak seperti yang dialami Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
"Akh...!"
Saratoga menjerit keras ketika tiba-tiba kapak batu lawan keras sekali menghantam bahunya. Kontan sambungan tulang bahunya terlepas. Darah pun mengalir dari bagian yang terluka. Akibatnya, pedang di tangan kanan laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terlepas dari pegangan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Belum sempat Saratoga berbuat sesuatu, kapak di tangan pengeroyok yang lain telah menghantam pahanya. Suara berderak keras terdengar mengiringi hantaman itu.
Seketika itu juga tubuh laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terguling. Dan secepat itu pula, berbondong-bondong gerombolan pemakan manusia menyergapnya.
"Saratoga...!"
Malaikat Jari Besi menjerit keras melihat peristiwa yang menimpa rekannya. Tapi apa daya? Dia sendiri pun tengah berada dalam keadaan terhimpit-himpit. Maka, laki-laki bertubuh kekar berotot ini hanya sempat melihat sekilas keadaan rekannya.
Meskipun hanya sekilas, tapi tak urung semua bulu kuduk Malaikat Jari Besi berdiri. Bahkan perutnya kontan mual! Betapa tidak? Gerombolan pemakan manusia menghujani sekujur tubuh Saratoga dengan senjata, tapi tidak untuk membunuhnya. Hanya membuatnya tidak berdaya lagi.
Kemudian, setelah itu mereka mengeluarkan pisau. Namun, sebenarnya tidak pantas bila disebut pisau, karena matanya tumpul. Dan dengan pisau itu, anak buah Dedemit Alam Akhirat menyayat daging Saratoga, kemudian memakannya mentah-mentah! Darah yang memancur deras dari tubuh rekannya pun dihirup dan dijilati dengan rakusnya.
Saratoga melolong-lolong karena rasa sakit tak terkira pada sekujur tubuhnya. Rasanya tak tahan Malaikat Jari Besi mendengar jeritan itu. Kalau saja bisa, sudah diterobosnya kumpulan orang-orang biadab itu. Sayangnya, dia sendiri tidak berdaya.
Cukup lama juga Saratoga melolong-lolong menjelang maut. Dan bertepatan dengan lenyapnya jeritan laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu, Malaikat Jari Besi mengalami nasib yang sama. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya terhantam sebuah kapak batu. Keras sekali!
Seketika Malaikat Jari Besi terhuyung-huyung ke depan. Dan sebelum sadar apa yang telah terjadi, kembali sebuah palu batu besar menghantam dadanya. Seketika, Malaikat Jari Besi jatuh terjungkal ke belakang. Dan di saat itulah dia disambut terkaman beberapa orang pengeroyoknya.
Seperti juga Saratoga, laki-laki bertubuh kekar berotot itu pun menjerit-jerit menahan rasa sakit yang tidak terhingga ketika sedikit demi sedikit daging tubuhnya dipreteli dengan pisau tumpul. Maka, akhirnya dia tewas secara menyedihkan.
Kini gerombolan pemakan manusia bangkit berdiri dengan perasaan puas. Mulut mereka masih mendecap-decap menikmati santapan yang menurut mereka lezat bukan main.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas sekali kegembiraan di wajahnya. Sepasang matanya menatap penuh rasa puas pada tubuh Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang kini tinggal tulang-¬belulang saja. Bahkan tidak ada darah setitik pun pada kedua tengkorak itu. Semuanya habis dilahap.
Masih dengan suara tawa yang belum juga lenyap, Dedemit Alam Akhirat melangkah meninggalkan tempat itu. Tangan kanannya kini melingkar di bahu Dewi yang merasa perutnya mual dan ingin muntah menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Kalau saja tidak ada Dedemit Alam Akhirat yang memaksanya untuk menyaksikan, sudah sejak tadi tempat itu ditinggalkannya.
Dengan gereng penuh kepuasan, gerombolan pemakan manusia itu pun bergerak mengikuti. Beberapa di antara mereka membawa tulang-¬belulang Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Memang, masih ada yang belum sempat mereka nikmati. Sumsum yang terletak di dalam tulang!
****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment