Kicau burung sudah tidak terdengar lagi. Sinar sang mentari sudah tidak begitu nikmat lagi di kulit. Memang, hari sudah mulai beranjak siang.
Dalam suasana seperti itu, sebuah perahu yang ditumpangi dua sosok tubuh meluncur ke tengah laut. Menilik dari laju perahu, bisa diperkirakan kalau mereka tengah terburu-buru.
"Sudah bisa kuperkirakan kalau pertarungan kali ini jauh lebih ramai daripada sebelumnya, Malaikat Jari Besi," kata salah seorang dari mereka yang tengah duduk di lantai perahu seraya terus mengayuhkan dayung.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh sedang. Rambutnya panjang melewati bahu. Wajahnya dipenuhi bintik hitam, bekas jerawat.
"Aku pun berpikiran demikian, Saratoga," sahut orang yang dipanggil Malaikat Jari Besi.
Malaikat Jari Besi bertubuh kekar berotot. Jari-jari tangannya terlihat keras bukan kepalang. Laki-laki kekar ini juga terus mengayuh dayungnya.
Perahu itu meluncur cepat sekali, mantap dan tanpa hambatan. Gelombang yang terkadang membuat perahu mereka terombang-ambing, kontan hancur terbelah diterjang moncong perahu. Sesekali mereka berada di puncak gelombang, tapi tak jarang seperti terbenam. Dan nampaknya, mereka bukan orang sembarangan.
Malaikat Jari Besi adalah tokoh persilatan aliran putih yang cukup ternama. Disegani kawan dan ditakuti lawan. Telah tidak terhitung lagi, tokoh persilatan aliran hitam yang tewas di tangannya. Dan berkat keberadaannya, Desa Ampel dan desa-desa sekitarnya aman dari gangguan orang jahat.
Tokoh yang bernama Saratoga pun bukan orang sembarangan. Memang diakui, dia tidak setenar Malaikat Jari Besi, rekannya. Tapi, kelihaiannya mungkin tidak di bawah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga terus saja mengayuh dayungnya. Dan tentu saja kayuhan itu disertai pengerahan tenaga dalam, karena mereka tengah tergesa-gesa.
"Bisa kuperkirakan, sekarang Pulau Selaksa Setan telah dipenuhi tokoh persilatan," Saratoga kembali membuka percakapan.
"Sudah pasti," sahut Malaikat Jari Besi. "Tahun-tahun sebelumnya saja, ramai. Apalagi sekarang? Kudengar, Dewa Arak tokoh yang menggemparkan itu akan ikut dalam pertarungan kali ini."
"Kudengar juga begitu, Malaikat Jari Besi."
"Makanya kita harus bergegas, agar tidak bingung memilih tempat," tandas Malaikat Jari Besi seraya menambah tenaga kayuhan pada dayungannya.
"Kau benar."
Setelah berkata demikian, Saratoga menambah tenaga kayuhan pada dayungannya pula, sehingga perahu itu meluncur laksana anak panah melesat dari busur.
Saratoga dan Malaikat Jari Besi terus saja mengayuh disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, ketika matahari hampir berada di atas kepala, pulau yang dimaksud telah tampak. Sebuah pulau yang berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Itu Pulau Selaksa Setan, Saratoga...!" seru Malaikat Jari Besi seraya menudingkan telunjuk ke arah pulau yang dimaksud.
Laki-laki berwajah penuh bintik mengangguk pertanda membenarkan. Memang, dia juga telah melihat pulau yang begitu menyeramkan itu.
"Mengapa pulau itu mempunyai nama yang begitu seram, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga sambil menatap wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Cerita sebenarnya aku pun tidak tahu, Saratoga," sahut Malaikat Jari Besi setelah beberapa saat lamanya tercenung. "Tapi menurut berita yang terdengar, dulu tempat ini didiami makhluk-makhluk pemakan manusia."
"Makhluk pemakan manusia?" selak Saratoga setengah tidak percaya. "Bagaimana bentuk mereka?"
Malaikat Jari Besi menggeleng. "Aku pun tidak tahu karena hanya bersumber dari berita saja. Dan menurut berita yang kudengar pula, makhluk-makhluk itu lenyap dua tahun yang lalu ketika badai mengamuk. Rupanya, mereka semua hanyut dilanda badai. Dan sejak itu, mereka tidak ketahuan lagi beritanya," jelas laki-laki bertubuh kekar berotot itu mengakhiri ceritanya.
"Ahhh...! Syukurlah...!" desah Saratoga. Ada nada kelegaan dalam suaranya begitu mendengar akhir cerita tentang makhluk-makhluk itu.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Malaikat Jari Besi tidak malanjutkan ucapan. Sementara Saratoga pun tidak menanggapi lagi. Sekarang yang terdengar hanyalah suara riak air yang terbelah oleh dayung-¬dayung mereka, dan suara gelombang laut.
Kini kedua tokoh aliran putih itu mulai mengarahkan perahu mereka ke tepi Pulau Selaksa Setan. Dan dengan tenaga dalam yang dimiliki, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mengalami kesulitan untuk melawan arah gelombang laut, dan mengarahkan perahu ke Pulau Selaksa Setan.
Begitu perahu mereka menepi, Saratoga dan Malaikat Jari Besi melompat ke pantai. Seperti sudah disepakati dari semula, begitu mendarat Saratoga langsung menarik perahu ke tepi dan menambatkannya. Sedangkan Malaikat Jari Besi langsung saja mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Aneh...," gumam laki-laki kekar berotot itu pelan. Dahinya pun berkernyit. Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Dia kini telah selesai menambatkan perahunya pada sebuah batu karang di pinggir laut. Rupanya, laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini mendengar adanya nada keheranan dalam ucapan rekan seperjalanannya.
Malaikat Jari Besi merayapi selebar wajah Saratoga dengan sorot mata sungguh-sungguh.
"Kau tidak melihat adanya keanehan di sini, Saratoga?"
Malaikat Jari Besi malah balik bertanya. Nada suaranya menyiratkan keheranan dan juga tuntutan jawaban.
Laki-laki yang berwajah penuh bintik-bintik hitam itu tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Tapi malah mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia ingin mengetahui keanehan yang dimaksud kawannya.
"Bagaimana, Saratoga?" desak Malaikat Jari Besi, tidak sabar.
Saratoga menggelengkan kepala. "Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan itu, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga seraya menatap wajah laki-laki kekar berotot itu lekat-lekat "Kecuali, yahhh.... Suasana sepi yang melingkupi tempat ini..."
"Justru itulah keanehan yang kumaksudkan!" tandas Malaikat Jari Besi cepat.
"Maksudmu...?"
Saratoga kini mulai mengerti maksud pembicaraan rekannya. Dan ini kontan membuat jantungnya berdebar tegang.
"Kau tahu, Saratoga," laki-laki kekar berotot itu memulai penjelasannya, dengan perasaan tegang. "Tahun-tahun sebelumnya, suasana pertemuan ini ramai bukan main. Padahal, pertarungan masih lima hari lagi. Tapi sekarang...? Apa yang kau lihat Saratoga?"
Malaikat Jari Besi menghentikan ucapannya sejenak, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang hanya kesunyian dan suasana lengang yang melingkupi sekeliling tempat itu. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapangan luas dan bukit-bukit batu terjal. Tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan.
Laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu menggelengkan kepala. "Sepi...," jawab Saratoga serak "Tapi, barangkali saja banyak orang persilatan yang tidak mengetahui tempat ini...."
Malaikat Jari Besi menggelengkan kepala. "Pulau Selaksa Setan amat terkenal, Saratoga. Hampir tidak ada tokoh persilatan yang belum mendengar namanya. Jadi, dugaanmu sama sekali tidak masuk akal."
Saratoga terdiam. Memang diakui, bantahan Malaikat Jari Besi mengandung kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Lalu..., bagaimana kesimpulanmu, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Suara laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu tercekat di tenggorokan. Hatinya berdebar tegang. Meskipun telah mempunyai dugaan sendiri, tapi dia ingin mendengar dugaan laki-laki kekar berotot itu. Ingin diketahuinya, apakah dugaan mereka sama.
Malaikat Jari Besi tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan bertindak seperti itu, semua ketegangan yang melanda ingin dibuangnya.
Betapa tidak tegang? Biasanya lima hari menjelang pertarungan, belasan tokoh persilatan telah bermunculan di tempat pertarungan. Tapi sekarang? Tidak datangkah mereka? Rasanya mustahil!
Berita tentang akan ikut sertanya Dewa Arak dalam pertarungan kali ini, telah membuat dunia persilatan gempar. Mustahil kalau sampai dua hari menjelang pertarungan, tak ada seorang pun yang datang? Tapi kalau benar mereka datang, ke manakah lenyapnya? Ngeri hati kedua tokoh itu membayangkan belasan tokoh persilatan yang lenyap begitu saja. Lenyap tanpa jejak.
"Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa, Saratoga," kata Malaikat Jari Besi akhirnya. "Hanya saja..., aku mempunyai firasat buruk..."
Jantung dalam dada Saratoga semakin berderak tegang. Dia kenal betul siapa rekannya. Malaikat Jari Besi memang mempunyai firasat yang amat peka. Sepertinya, dia memiliki indera keenam sehingga dapat mengetahui bahaya yang akan terjadi.
Mungkin firasatnya yang tajam karena kebiasaannya bergaul dengan binatang-binatang peliharaannya. Bahkan sepertinya dia telah paham bahasa-bahasa binatang.
"Bulu tengkukku berdiri semua, Saratoga...," sambung Malaikat Jari Besi dengan suara semakin bergetar. "Aku yakin, bahaya yang kali ini mengancam tidak main-main lagi. Hatiku gelisah bukan main."
"Kalau begitu..., bagaimana kalau kita kembali saja?" usul Saratoga tiba-tiba. "Kau setuju?"
Malaikat Jari Besi tercenung sejenak. Rupanya, usul rekannya itu tengah dipertimbangkannya.
"Sebuah usul yang baik," sambut laki-laki kekar berotot itu.
Setelah mendengar persetujuan Malaikat Jari Besi, Saratoga langsung bergerak kembali ke pinggir laut, tempat perahunya ditambatkan. Sedangkan di belakang, rekannya bergerak mengikuti.
"Celaka...!"
Mendadak Saratoga berteriak keras. Wajah laki berwajah penuh bintik hitam ini pucat pasi menatap ke arah tempat perahu ditambatkan. Tempat kini kosong, tidak tampak ada sepotong papan pun di sana. Apalagi perahu!
Bukan hanya Saratoga saja yang terperanjat. Malaikat Jari Besi pun dilanda perasaan yang sama. Sesaat lamanya mereka menatap penuh perasaan tak percaya pada tempat perahu ditambatkan yang kini telah kosong melompong.
"Firasatku ternyata benar...," tegas Malaikat Jari Besi dengan suara kering. "Bersiap-siaplah, Saratoga! Aku yakin bahaya yang akan menimpa kita akan sangat mengerikan! Hanya saja, aku tidak tahu, bahaya apa itu. Tapi yang jelas, naluriku telah memperingatkan demikian."
Setelah berkata demikian, tangan laki-laki kekar berotot itu segera bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian, tangannya bergerak ke depan. Seketika sinar terang berkeredep begitu Malaikat Jari Besi mencabut senjatanya. Kini di tangan laki-laki kekar berotot itu telah tergenggam sebatang golok besar!
Saratoga tidak mau ketinggalan. Seketika senjata andalannya dikeluarkan. Sebatang pedang yang berwarna putih berkilat.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus terus masuk ke dalam pulau."
Meskipun agak bergetar, tapi ucapan yang keluar dari mulut Malaikat Jari Besi terdengar mantap.
"Aku belum pernah merasa setakut ini, Malaikat Jari Besi," Saratoga berbisik pelan.
"Mengapa merasa takut, Saratoga?" tanya laki-laki kekar berotot seraya menatap rekannya lekat-lekat.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik itu menarik napas panjang-¬panjang dan menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan rekannya tadi.
"Karena melihat rasa takut yang melandamu, Malaikat Jari Besi," jawab Saratoga. "Aku tahu, siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah seorang manusia yang mempunyai naluri binatang. Dan dari rasa takut luar biasa yang melandamu, aku sudah bisa memperkirakan kalau bahaya yang mengancam akan sangat mengerikan."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu tidak menyahuti ucapan Saratoga, karena memang semua ucapan Saratoga itu benar belaka. Indera keenamnya sering memperingatkan adanya bahaya yang mengancam. Tapi, rasanya belum pernah seperti ini, sehingga membuatnya gelisah bukan kepalang. Bahaya seperti apakah yang akan mengancam?
Malaikat Jari Besi dan Saratoga melangkah perlahan-lahan, kian memasuki pulau. Sepasang mata mereka menatap ke sekeliling, bersikap waspada.
Senjata-senjata yang tergenggam erat di tangan, menjadi pertanda betapa besar perasaan tegang yang melanda hati mereka.
Kalau tidak mengalami sendiri, baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga tentu tidak akan percaya. Mereka benar-benar dicekam rasa takut yang menggelegak, padahal bahaya yang diduga belum tentu ada.
"Saratoga...! Lihat..!"
Dengan pandangan mata masih tetap mengawasi sekeliling, Malaikat Jari Besi menudingkan telunjuk tangan kiri ke tanah. Sementara tangan kanan tetap menggenggam golok andalannya erat-erat.
Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam itu mengalihkan pandang ke arah yang ditunjuk rekannya.
"Apa dugaanmu, Saratoga?" tanya Malaikat Jari Besi setelah laki-¬laki berwajah penuh bintik hitam itu selesai memperhatikan tanah yang ditunjukkannya. Keadaan tanah di situ tampak porak poranda.
"Sepertinya telah terjadi sebuah pertarungan di sini, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga mengajukan dugaan. "Melihat keadaan tanah di sini, aku yakin telah terjadi sebuah pertarungan besar-besaran."
Laki-laki kekar berotot itu menganggukkan kepala, pertanda membenarkan dugaan rekannya.
"Tingkatkan kewaspadaan, Saratoga. Kekhawatiran kita nampaknya beralasan...."
Ucapan Malaikat Jari Besi terpaksa dihentikan karena Saratoga memberi isyarat pada laki-laki bertubuh kekar itu untuk menghentikan ucapannya.
"Aku mendengar langkah-langkah kaki yang menuju kemari, Malaikat Jari Besi...," jelas laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam itu, sebelum rekannya sempat mengajukan pertanyaan. Nada suaranya terdengar pelan, dan lebih mirip bisikan.
Malaikat Jari Besi pun memusatkan perhatian pada kedua telinganya. Memang, ucapan rekannya sama sekali tidak keliru. Ada banyak langkah kaki yang bergerak mendekati mereka.
"Arahnya dari sana...," tunjuk laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Tangannya menuding ke tempat yang penuh gundukan batu-batu besar.
Saratoga menganggukkan kepala pertanda membenarkan, karena memang telah menduga demikian.
"Langkah-langkah kaki yang ringan," sambung Malaikat Jari Besi lagi. "Mengingatkanku pada binatang-binatang yang tengah memburu mangsa."
Saratoga mengernyitkan dahinya. "Aku belum mengerti maksudmu, Malaikat Jari Besi."
"Langkah-langkah kaki yang tidak begitu jelas menapak di tanah. Padahal, jumlah mereka cukup banyak ini membuktikan kalau gerombolan itu sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Dugaanku lebih condong ke situ daripada kalau gerombolan itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi," jawab Malaikat Jari Besi memberi penjelasan.
"Maksudmu...?"
Meskipun sudah cukup mengerti maksud pembicaraan rekannya, Saratoga tetap mengajukan pertanyaan. Ingin dipastikannya ucapan yang keluar dari mulut laki-laki kekar berotot itu. Jantung laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini berdebar tegang ketika mendengar penjelasan panjang lebar rekannya.
"Kita berhadapan dengan sekelompok orang yang telah biasa berburu.... Dan menilik kegelisahanku..., aku khawatir kita berhadapan dengan para pemburu manusia."
Saratoga menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "M…, ma..., maksudmu.... Kita berhadapan dengan manusia yang doyan makan daging manusia...?" terdengar suara serak ketika Saratoga mengajukan pertanyaan itu.
Belum sempat Malaikat Jari Besi menjawab pertanyaan itu, dari balik gundukan batu-batu bermunculan sosok-sosok tubuh kekar berkulit coklat gelap.
Dan secepat mereka bermunculan, secepat itu pula bergerak mengurung Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Jelas, kalau mereka sudah terbiasa dengan perbuatan seperti itu.
"Ambil posisi saling melindungi, Saratoga," bisik Malaikat Jari Besi.
Saratoga mengerti maksud ucapan rekannya. Maka, dia pun bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Kini, kedua orang itu mengambil posisi saling membelakangi. Punggung Malaikat Jari Besi dan Saratoga saling beradu satu sama lain.
"Dugaanku ternyata benar, Saratoga. Kita berhadapan dengan orang-orang yang terbiasa makan daging manusia...," jelas Malaikat Jari Besi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling Malaikat Jari Besi dan Saratoga, tampak belasan orang yang bertubuh rata-rata kekar dan bertelanjang dada. Wajah dan sekujur tubuh mereka penuh coreng-moreng. Penutup tubuh berbentuk rumbai-rumbai bertengger di bagian bawah tubuh mereka. Jelas kalau mereka adalah kelompok manusia terasing yang terpisah dari manusia umumnya.
"Kenapa mereka tidak langsung menyerang kita, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga ketika melihat gerombolan orang berpakaian seadanya itu hanya mengurung seraya mengamang-amangkan senjata di ta¬ngan.
Senjata-senjata gerombolan itu aneh dan mengerikan sekali. Kapak-kapaknya terbuat dari batu-batu cadas yang keras, dan agak diruncingi pada bagian ujungnya.
"Kurasa menunggu pimpinan mereka dulu, Saratoga," jawab Malaikat Jari Besi mengajukan dugaan.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam terdiam. Jawaban Malaikat Jari Besi rasanya tidak mungkin salah lagi. Memang, sejak tadi Saratoga telah mengedarkan pandangan untuk menerka pimpinan gerombolan itu.
Tapi sampai lelah menolehkan lehernya, tetap saja tidak melihat sosok yang pantas menjadi pemimpin. Semua anggota gerombolan yang mengurung mereka mempunyai penutup tubuh yang hampir sama satu sama lain. Sang pemimpin pasti akan berbeda dengan anak buahnya.
"Sang pemimpin telah datang, Saratoga...," kata Malaikat Jari Besi ketika melihat dua sosok tubuh yang berjalan tenang mendekati tempat mereka.
Saratoga segera membalikkan tubuh. Hatinya kini tidak merasa khawatir lagi. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini yakin, gerombolan itu tidak akan menyerang sebelum ada perintah dari sang pemimpin.
Gerombolan pengepung yang berada di depan Malaikat Jari Besi menyibak, memberi jalan ketika pemimpin mereka muncul. Padahal, kedua sosok itu masih berjarak lebih dari dua tombak.
Mata Saratoga dan Malaikat Jari Besi terbelalak memandang dua sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Dua sosok yang sudah pasti adalah sang pemimpin.
Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dan berotot kekar. Kulit tubuhnya berwarna hitam kecoklatan, sehingga semakin menambah keangkerannya. Apalagi dengan adanya bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekujur wajahnya. Sehingga membuat laki-laki ini kian terlihat garang.
Tapi yang membuatnya kelihatan lebih garang lagi adalah topi bulu burung garuda di kepalanya. Hal ini membuktikan kalau laki-laki ini adalah pemimpin gerombolan itu.
Baik Saratoga maupun Malaikat Jari Besi sama sekali tidak merasa kaget melihat penampilan pemimkn gerombolan itu. Mereka memang sudah menduganya. Tapi, sosok kedua yang berada di sebelah sang ketua itulah yang membuat mereka terperanjat.
Betapa tidak? Sosok kedua adalah seorang gadis yang wajahnya tidak jelas terlihat. Memang, di bagian dahinya terlilit akar bahar yang dihiasi tirai penutup wajah, dari rumbai-¬rumbai. Tapi meskipun begitu bisa ditebak kalau gadis itu memiliki wajah yang cantik luar biasa.
Tubuh gadis itu tidak tertutup rapat. Memang, tubuhnya hanya ditutupi ala kadarnya. Sehingga, terlihat putih, halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya pun menggiurkan. Sehingga Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang sudah tidak terbilang muda lagi, mau tak mau menelan air liur melihat pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Dewi?" tanya pemimpin gerombolan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang berada di sebelahnya. "Apakah kedua orang ini harus menerima nasib yang sama dengan orang-orang sebelumnya?"
Wanita cantik jelita yang dipanggil Dewi itu menatap Malaikat Jari Besi dan Saratoga dari balik rumbai-rumbai yang menutupi wajahnya.
"Mereka bukan orang yang kucari, Dedemit Alam Akhirat" tegas wanita cantik itu.
Laki-laki berwajah kasar yang ternyata berjuluk Dedemit Alam Akhirat itu mendengus. "Bunuh mereka!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu lalu melingkarkan tangannya ke bahu Dewi.
Dalam suasana seperti itu, sebuah perahu yang ditumpangi dua sosok tubuh meluncur ke tengah laut. Menilik dari laju perahu, bisa diperkirakan kalau mereka tengah terburu-buru.
"Sudah bisa kuperkirakan kalau pertarungan kali ini jauh lebih ramai daripada sebelumnya, Malaikat Jari Besi," kata salah seorang dari mereka yang tengah duduk di lantai perahu seraya terus mengayuhkan dayung.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh sedang. Rambutnya panjang melewati bahu. Wajahnya dipenuhi bintik hitam, bekas jerawat.
"Aku pun berpikiran demikian, Saratoga," sahut orang yang dipanggil Malaikat Jari Besi.
Malaikat Jari Besi bertubuh kekar berotot. Jari-jari tangannya terlihat keras bukan kepalang. Laki-laki kekar ini juga terus mengayuh dayungnya.
Perahu itu meluncur cepat sekali, mantap dan tanpa hambatan. Gelombang yang terkadang membuat perahu mereka terombang-ambing, kontan hancur terbelah diterjang moncong perahu. Sesekali mereka berada di puncak gelombang, tapi tak jarang seperti terbenam. Dan nampaknya, mereka bukan orang sembarangan.
Malaikat Jari Besi adalah tokoh persilatan aliran putih yang cukup ternama. Disegani kawan dan ditakuti lawan. Telah tidak terhitung lagi, tokoh persilatan aliran hitam yang tewas di tangannya. Dan berkat keberadaannya, Desa Ampel dan desa-desa sekitarnya aman dari gangguan orang jahat.
Tokoh yang bernama Saratoga pun bukan orang sembarangan. Memang diakui, dia tidak setenar Malaikat Jari Besi, rekannya. Tapi, kelihaiannya mungkin tidak di bawah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga terus saja mengayuh dayungnya. Dan tentu saja kayuhan itu disertai pengerahan tenaga dalam, karena mereka tengah tergesa-gesa.
"Bisa kuperkirakan, sekarang Pulau Selaksa Setan telah dipenuhi tokoh persilatan," Saratoga kembali membuka percakapan.
"Sudah pasti," sahut Malaikat Jari Besi. "Tahun-tahun sebelumnya saja, ramai. Apalagi sekarang? Kudengar, Dewa Arak tokoh yang menggemparkan itu akan ikut dalam pertarungan kali ini."
"Kudengar juga begitu, Malaikat Jari Besi."
"Makanya kita harus bergegas, agar tidak bingung memilih tempat," tandas Malaikat Jari Besi seraya menambah tenaga kayuhan pada dayungannya.
"Kau benar."
Setelah berkata demikian, Saratoga menambah tenaga kayuhan pada dayungannya pula, sehingga perahu itu meluncur laksana anak panah melesat dari busur.
Saratoga dan Malaikat Jari Besi terus saja mengayuh disertai pengerahan tenaga dalam. Sehingga, ketika matahari hampir berada di atas kepala, pulau yang dimaksud telah tampak. Sebuah pulau yang berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Itu Pulau Selaksa Setan, Saratoga...!" seru Malaikat Jari Besi seraya menudingkan telunjuk ke arah pulau yang dimaksud.
Laki-laki berwajah penuh bintik mengangguk pertanda membenarkan. Memang, dia juga telah melihat pulau yang begitu menyeramkan itu.
"Mengapa pulau itu mempunyai nama yang begitu seram, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga sambil menatap wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Cerita sebenarnya aku pun tidak tahu, Saratoga," sahut Malaikat Jari Besi setelah beberapa saat lamanya tercenung. "Tapi menurut berita yang terdengar, dulu tempat ini didiami makhluk-makhluk pemakan manusia."
"Makhluk pemakan manusia?" selak Saratoga setengah tidak percaya. "Bagaimana bentuk mereka?"
Malaikat Jari Besi menggeleng. "Aku pun tidak tahu karena hanya bersumber dari berita saja. Dan menurut berita yang kudengar pula, makhluk-makhluk itu lenyap dua tahun yang lalu ketika badai mengamuk. Rupanya, mereka semua hanyut dilanda badai. Dan sejak itu, mereka tidak ketahuan lagi beritanya," jelas laki-laki bertubuh kekar berotot itu mengakhiri ceritanya.
"Ahhh...! Syukurlah...!" desah Saratoga. Ada nada kelegaan dalam suaranya begitu mendengar akhir cerita tentang makhluk-makhluk itu.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Malaikat Jari Besi tidak malanjutkan ucapan. Sementara Saratoga pun tidak menanggapi lagi. Sekarang yang terdengar hanyalah suara riak air yang terbelah oleh dayung-¬dayung mereka, dan suara gelombang laut.
Kini kedua tokoh aliran putih itu mulai mengarahkan perahu mereka ke tepi Pulau Selaksa Setan. Dan dengan tenaga dalam yang dimiliki, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mengalami kesulitan untuk melawan arah gelombang laut, dan mengarahkan perahu ke Pulau Selaksa Setan.
Begitu perahu mereka menepi, Saratoga dan Malaikat Jari Besi melompat ke pantai. Seperti sudah disepakati dari semula, begitu mendarat Saratoga langsung menarik perahu ke tepi dan menambatkannya. Sedangkan Malaikat Jari Besi langsung saja mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Aneh...," gumam laki-laki kekar berotot itu pelan. Dahinya pun berkernyit. Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Dia kini telah selesai menambatkan perahunya pada sebuah batu karang di pinggir laut. Rupanya, laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini mendengar adanya nada keheranan dalam ucapan rekan seperjalanannya.
Malaikat Jari Besi merayapi selebar wajah Saratoga dengan sorot mata sungguh-sungguh.
"Kau tidak melihat adanya keanehan di sini, Saratoga?"
Malaikat Jari Besi malah balik bertanya. Nada suaranya menyiratkan keheranan dan juga tuntutan jawaban.
Laki-laki yang berwajah penuh bintik-bintik hitam itu tidak langsung menjawab pertanyaan rekannya. Tapi malah mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia ingin mengetahui keanehan yang dimaksud kawannya.
"Bagaimana, Saratoga?" desak Malaikat Jari Besi, tidak sabar.
Saratoga menggelengkan kepala. "Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan itu, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga seraya menatap wajah laki-laki kekar berotot itu lekat-lekat "Kecuali, yahhh.... Suasana sepi yang melingkupi tempat ini..."
"Justru itulah keanehan yang kumaksudkan!" tandas Malaikat Jari Besi cepat.
"Maksudmu...?"
Saratoga kini mulai mengerti maksud pembicaraan rekannya. Dan ini kontan membuat jantungnya berdebar tegang.
"Kau tahu, Saratoga," laki-laki kekar berotot itu memulai penjelasannya, dengan perasaan tegang. "Tahun-tahun sebelumnya, suasana pertemuan ini ramai bukan main. Padahal, pertarungan masih lima hari lagi. Tapi sekarang...? Apa yang kau lihat Saratoga?"
Malaikat Jari Besi menghentikan ucapannya sejenak, seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang hanya kesunyian dan suasana lengang yang melingkupi sekeliling tempat itu. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapangan luas dan bukit-bukit batu terjal. Tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan.
Laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu menggelengkan kepala. "Sepi...," jawab Saratoga serak "Tapi, barangkali saja banyak orang persilatan yang tidak mengetahui tempat ini...."
Malaikat Jari Besi menggelengkan kepala. "Pulau Selaksa Setan amat terkenal, Saratoga. Hampir tidak ada tokoh persilatan yang belum mendengar namanya. Jadi, dugaanmu sama sekali tidak masuk akal."
Saratoga terdiam. Memang diakui, bantahan Malaikat Jari Besi mengandung kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Lalu..., bagaimana kesimpulanmu, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Suara laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu tercekat di tenggorokan. Hatinya berdebar tegang. Meskipun telah mempunyai dugaan sendiri, tapi dia ingin mendengar dugaan laki-laki kekar berotot itu. Ingin diketahuinya, apakah dugaan mereka sama.
Malaikat Jari Besi tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan bertindak seperti itu, semua ketegangan yang melanda ingin dibuangnya.
Betapa tidak tegang? Biasanya lima hari menjelang pertarungan, belasan tokoh persilatan telah bermunculan di tempat pertarungan. Tapi sekarang? Tidak datangkah mereka? Rasanya mustahil!
Berita tentang akan ikut sertanya Dewa Arak dalam pertarungan kali ini, telah membuat dunia persilatan gempar. Mustahil kalau sampai dua hari menjelang pertarungan, tak ada seorang pun yang datang? Tapi kalau benar mereka datang, ke manakah lenyapnya? Ngeri hati kedua tokoh itu membayangkan belasan tokoh persilatan yang lenyap begitu saja. Lenyap tanpa jejak.
"Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa, Saratoga," kata Malaikat Jari Besi akhirnya. "Hanya saja..., aku mempunyai firasat buruk..."
Jantung dalam dada Saratoga semakin berderak tegang. Dia kenal betul siapa rekannya. Malaikat Jari Besi memang mempunyai firasat yang amat peka. Sepertinya, dia memiliki indera keenam sehingga dapat mengetahui bahaya yang akan terjadi.
Mungkin firasatnya yang tajam karena kebiasaannya bergaul dengan binatang-binatang peliharaannya. Bahkan sepertinya dia telah paham bahasa-bahasa binatang.
"Bulu tengkukku berdiri semua, Saratoga...," sambung Malaikat Jari Besi dengan suara semakin bergetar. "Aku yakin, bahaya yang kali ini mengancam tidak main-main lagi. Hatiku gelisah bukan main."
"Kalau begitu..., bagaimana kalau kita kembali saja?" usul Saratoga tiba-tiba. "Kau setuju?"
Malaikat Jari Besi tercenung sejenak. Rupanya, usul rekannya itu tengah dipertimbangkannya.
"Sebuah usul yang baik," sambut laki-laki kekar berotot itu.
Setelah mendengar persetujuan Malaikat Jari Besi, Saratoga langsung bergerak kembali ke pinggir laut, tempat perahunya ditambatkan. Sedangkan di belakang, rekannya bergerak mengikuti.
"Celaka...!"
Mendadak Saratoga berteriak keras. Wajah laki berwajah penuh bintik hitam ini pucat pasi menatap ke arah tempat perahu ditambatkan. Tempat kini kosong, tidak tampak ada sepotong papan pun di sana. Apalagi perahu!
Bukan hanya Saratoga saja yang terperanjat. Malaikat Jari Besi pun dilanda perasaan yang sama. Sesaat lamanya mereka menatap penuh perasaan tak percaya pada tempat perahu ditambatkan yang kini telah kosong melompong.
"Firasatku ternyata benar...," tegas Malaikat Jari Besi dengan suara kering. "Bersiap-siaplah, Saratoga! Aku yakin bahaya yang akan menimpa kita akan sangat mengerikan! Hanya saja, aku tidak tahu, bahaya apa itu. Tapi yang jelas, naluriku telah memperingatkan demikian."
Setelah berkata demikian, tangan laki-laki kekar berotot itu segera bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian, tangannya bergerak ke depan. Seketika sinar terang berkeredep begitu Malaikat Jari Besi mencabut senjatanya. Kini di tangan laki-laki kekar berotot itu telah tergenggam sebatang golok besar!
Saratoga tidak mau ketinggalan. Seketika senjata andalannya dikeluarkan. Sebatang pedang yang berwarna putih berkilat.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus terus masuk ke dalam pulau."
Meskipun agak bergetar, tapi ucapan yang keluar dari mulut Malaikat Jari Besi terdengar mantap.
"Aku belum pernah merasa setakut ini, Malaikat Jari Besi," Saratoga berbisik pelan.
"Mengapa merasa takut, Saratoga?" tanya laki-laki kekar berotot seraya menatap rekannya lekat-lekat.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik itu menarik napas panjang-¬panjang dan menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan rekannya tadi.
"Karena melihat rasa takut yang melandamu, Malaikat Jari Besi," jawab Saratoga. "Aku tahu, siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah seorang manusia yang mempunyai naluri binatang. Dan dari rasa takut luar biasa yang melandamu, aku sudah bisa memperkirakan kalau bahaya yang mengancam akan sangat mengerikan."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu tidak menyahuti ucapan Saratoga, karena memang semua ucapan Saratoga itu benar belaka. Indera keenamnya sering memperingatkan adanya bahaya yang mengancam. Tapi, rasanya belum pernah seperti ini, sehingga membuatnya gelisah bukan kepalang. Bahaya seperti apakah yang akan mengancam?
Malaikat Jari Besi dan Saratoga melangkah perlahan-lahan, kian memasuki pulau. Sepasang mata mereka menatap ke sekeliling, bersikap waspada.
Senjata-senjata yang tergenggam erat di tangan, menjadi pertanda betapa besar perasaan tegang yang melanda hati mereka.
Kalau tidak mengalami sendiri, baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga tentu tidak akan percaya. Mereka benar-benar dicekam rasa takut yang menggelegak, padahal bahaya yang diduga belum tentu ada.
"Saratoga...! Lihat..!"
Dengan pandangan mata masih tetap mengawasi sekeliling, Malaikat Jari Besi menudingkan telunjuk tangan kiri ke tanah. Sementara tangan kanan tetap menggenggam golok andalannya erat-erat.
Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam itu mengalihkan pandang ke arah yang ditunjuk rekannya.
"Apa dugaanmu, Saratoga?" tanya Malaikat Jari Besi setelah laki-¬laki berwajah penuh bintik hitam itu selesai memperhatikan tanah yang ditunjukkannya. Keadaan tanah di situ tampak porak poranda.
"Sepertinya telah terjadi sebuah pertarungan di sini, Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga mengajukan dugaan. "Melihat keadaan tanah di sini, aku yakin telah terjadi sebuah pertarungan besar-besaran."
Laki-laki kekar berotot itu menganggukkan kepala, pertanda membenarkan dugaan rekannya.
"Tingkatkan kewaspadaan, Saratoga. Kekhawatiran kita nampaknya beralasan...."
Ucapan Malaikat Jari Besi terpaksa dihentikan karena Saratoga memberi isyarat pada laki-laki bertubuh kekar itu untuk menghentikan ucapannya.
"Aku mendengar langkah-langkah kaki yang menuju kemari, Malaikat Jari Besi...," jelas laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam itu, sebelum rekannya sempat mengajukan pertanyaan. Nada suaranya terdengar pelan, dan lebih mirip bisikan.
Malaikat Jari Besi pun memusatkan perhatian pada kedua telinganya. Memang, ucapan rekannya sama sekali tidak keliru. Ada banyak langkah kaki yang bergerak mendekati mereka.
"Arahnya dari sana...," tunjuk laki-laki bertubuh kekar berotot itu. Tangannya menuding ke tempat yang penuh gundukan batu-batu besar.
Saratoga menganggukkan kepala pertanda membenarkan, karena memang telah menduga demikian.
"Langkah-langkah kaki yang ringan," sambung Malaikat Jari Besi lagi. "Mengingatkanku pada binatang-binatang yang tengah memburu mangsa."
Saratoga mengernyitkan dahinya. "Aku belum mengerti maksudmu, Malaikat Jari Besi."
"Langkah-langkah kaki yang tidak begitu jelas menapak di tanah. Padahal, jumlah mereka cukup banyak ini membuktikan kalau gerombolan itu sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Dugaanku lebih condong ke situ daripada kalau gerombolan itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi," jawab Malaikat Jari Besi memberi penjelasan.
"Maksudmu...?"
Meskipun sudah cukup mengerti maksud pembicaraan rekannya, Saratoga tetap mengajukan pertanyaan. Ingin dipastikannya ucapan yang keluar dari mulut laki-laki kekar berotot itu. Jantung laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini berdebar tegang ketika mendengar penjelasan panjang lebar rekannya.
"Kita berhadapan dengan sekelompok orang yang telah biasa berburu.... Dan menilik kegelisahanku..., aku khawatir kita berhadapan dengan para pemburu manusia."
Saratoga menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. "M…, ma..., maksudmu.... Kita berhadapan dengan manusia yang doyan makan daging manusia...?" terdengar suara serak ketika Saratoga mengajukan pertanyaan itu.
Belum sempat Malaikat Jari Besi menjawab pertanyaan itu, dari balik gundukan batu-batu bermunculan sosok-sosok tubuh kekar berkulit coklat gelap.
Dan secepat mereka bermunculan, secepat itu pula bergerak mengurung Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Jelas, kalau mereka sudah terbiasa dengan perbuatan seperti itu.
"Ambil posisi saling melindungi, Saratoga," bisik Malaikat Jari Besi.
Saratoga mengerti maksud ucapan rekannya. Maka, dia pun bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Kini, kedua orang itu mengambil posisi saling membelakangi. Punggung Malaikat Jari Besi dan Saratoga saling beradu satu sama lain.
"Dugaanku ternyata benar, Saratoga. Kita berhadapan dengan orang-orang yang terbiasa makan daging manusia...," jelas Malaikat Jari Besi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling Malaikat Jari Besi dan Saratoga, tampak belasan orang yang bertubuh rata-rata kekar dan bertelanjang dada. Wajah dan sekujur tubuh mereka penuh coreng-moreng. Penutup tubuh berbentuk rumbai-rumbai bertengger di bagian bawah tubuh mereka. Jelas kalau mereka adalah kelompok manusia terasing yang terpisah dari manusia umumnya.
"Kenapa mereka tidak langsung menyerang kita, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga ketika melihat gerombolan orang berpakaian seadanya itu hanya mengurung seraya mengamang-amangkan senjata di ta¬ngan.
Senjata-senjata gerombolan itu aneh dan mengerikan sekali. Kapak-kapaknya terbuat dari batu-batu cadas yang keras, dan agak diruncingi pada bagian ujungnya.
"Kurasa menunggu pimpinan mereka dulu, Saratoga," jawab Malaikat Jari Besi mengajukan dugaan.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam terdiam. Jawaban Malaikat Jari Besi rasanya tidak mungkin salah lagi. Memang, sejak tadi Saratoga telah mengedarkan pandangan untuk menerka pimpinan gerombolan itu.
Tapi sampai lelah menolehkan lehernya, tetap saja tidak melihat sosok yang pantas menjadi pemimpin. Semua anggota gerombolan yang mengurung mereka mempunyai penutup tubuh yang hampir sama satu sama lain. Sang pemimpin pasti akan berbeda dengan anak buahnya.
"Sang pemimpin telah datang, Saratoga...," kata Malaikat Jari Besi ketika melihat dua sosok tubuh yang berjalan tenang mendekati tempat mereka.
Saratoga segera membalikkan tubuh. Hatinya kini tidak merasa khawatir lagi. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini yakin, gerombolan itu tidak akan menyerang sebelum ada perintah dari sang pemimpin.
Gerombolan pengepung yang berada di depan Malaikat Jari Besi menyibak, memberi jalan ketika pemimpin mereka muncul. Padahal, kedua sosok itu masih berjarak lebih dari dua tombak.
Mata Saratoga dan Malaikat Jari Besi terbelalak memandang dua sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Dua sosok yang sudah pasti adalah sang pemimpin.
Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dan berotot kekar. Kulit tubuhnya berwarna hitam kecoklatan, sehingga semakin menambah keangkerannya. Apalagi dengan adanya bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekujur wajahnya. Sehingga membuat laki-laki ini kian terlihat garang.
Tapi yang membuatnya kelihatan lebih garang lagi adalah topi bulu burung garuda di kepalanya. Hal ini membuktikan kalau laki-laki ini adalah pemimpin gerombolan itu.
Baik Saratoga maupun Malaikat Jari Besi sama sekali tidak merasa kaget melihat penampilan pemimkn gerombolan itu. Mereka memang sudah menduganya. Tapi, sosok kedua yang berada di sebelah sang ketua itulah yang membuat mereka terperanjat.
Betapa tidak? Sosok kedua adalah seorang gadis yang wajahnya tidak jelas terlihat. Memang, di bagian dahinya terlilit akar bahar yang dihiasi tirai penutup wajah, dari rumbai-¬rumbai. Tapi meskipun begitu bisa ditebak kalau gadis itu memiliki wajah yang cantik luar biasa.
Tubuh gadis itu tidak tertutup rapat. Memang, tubuhnya hanya ditutupi ala kadarnya. Sehingga, terlihat putih, halus, dan mulus. Bentuk tubuhnya pun menggiurkan. Sehingga Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang sudah tidak terbilang muda lagi, mau tak mau menelan air liur melihat pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Dewi?" tanya pemimpin gerombolan sambil menoleh ke arah gadis cantik yang berada di sebelahnya. "Apakah kedua orang ini harus menerima nasib yang sama dengan orang-orang sebelumnya?"
Wanita cantik jelita yang dipanggil Dewi itu menatap Malaikat Jari Besi dan Saratoga dari balik rumbai-rumbai yang menutupi wajahnya.
"Mereka bukan orang yang kucari, Dedemit Alam Akhirat" tegas wanita cantik itu.
Laki-laki berwajah kasar yang ternyata berjuluk Dedemit Alam Akhirat itu mendengus. "Bunuh mereka!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu lalu melingkarkan tangannya ke bahu Dewi.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment