Oleh Aji Saka Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S. Gambar sampul oleh Soeryadi
Matahari belum bergulir jauh ketika sosok tubuh berpakaian ungu dan berambut putih keperakan keluar dari mulut sebuah hutan kecil. Wajahnya tampan, dan bentuk badannya tegap berisi.
Melihat sebuah guci arak yang tersampir di pinggang, bisa ditebak kalau pemuda itu adalah peminum kelas kakap. Namun dari ciri-cirinya, tak salah lagi. Dia adalah Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak!
Dewa Arak kini melesat cepat meninggalkan Hutan Koneng. Tujuannya adalah Pulau Selaksa Setan! Mau tak mau, dia harus kembali ke Desa Koneng, lalu terus berjalan ke Utara.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu telah tiba di tembok batas Desa Koneng.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Pandangannya tertumbuk pada carikan kain yang menempel di tembok. Surat tantangan yang ditulis di atas sehelai kain, dan diajukan oleh Setan Mabuk.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan, lalu mencabutnya. Dewa Arak merobek-robek carikan kain itu, lalu membuangnya. Kemudian, kakinya melangkah memasuki mulut desa (Agar jelas, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Arya sama sekali tidak merasa heran melihat suasana sepi yang melingkupi sekeliling Desa Koneng. Jalan utama desa begitu lengang. Rumah-rumah penduduk tampak menyedihkan. Sebagian besar telah porak-¬poranda. Daun-daun pintu telah copot dari ambangnya. Begitu pula daun jendela yang pergi entah ke mana.
Sambil terus menoleh ke sana kemari, pemuda berpakaian ungu itu terus melangkah masuk ke dalam desa. Seperti juga sebelumnya, hanya kesunyianlah yang dijumpainya. Desa Koneng benar-benar telah menjadi desa mati.
Secara sambil lalu, Arya melangkah menghampiri sebuah rumah yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi. Tapi begitu melongok ke dalam, secepat itu pula kepalanya ditolehkan keluar. Ada suara menggeretak keras keluar dari mulutnya ketika kepalanya berpaling. Jelas kalau Dewa Arak dilanda kemarahan hebat.
Betapa tidak? Di ruang tengah rumah itu nampak empat sosok tubuh tengah tergolek mengerikan! Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau semuanya telah tewas.
Dua di antara empat mayat itu adalah anak-anak. Sementara yang dua orang lagi adalah laki-laki dan wanita, berusia sekitar tiga puluh tahunan. Yang laki-laki tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Sedangkan yang wanita lebih mengerikan lagi keadaannya. Dia tewas dalam keadaan pakaian tidak karuan. Dapat diduga sebelum dibunuh, lebih dulu diperkosa!
Dengan dada terasa sesak oleh amarah bergelora, Arya melangkah meninggalkan rumah itu. Dan kini perjalanannya dilanjutkan kembali.
Kini Dewa Arak tidak melangkah lambat-lambat seperti sebelumnya, tapi melesat cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar desa!
Entah berapa lama berlari, Arya sama sekali tidak menghitungnya. Yang ada di benaknya hanya berlari sejauh-jauhnya dari tempat yang membuat hatinya terguncang.
Pemuda berpakaian ungu itu baru melambatkan larinya begitu melihat tembok batas sebuah desa, tak jauh di hadapannya.
Mendadak pandang mata Arya terbelalak begitu melihat sesosok tubuh tengah berlari tersaruk-saruk dari dalam desa. Menilik dari gerak-¬gerik orang itu, seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Hal ini membuat Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Dia ingin tahu, apa yang membuat orang itu bertindak demikian.
Tapi selagi jarak di antara mereka masih terpisah tak kurang dari tujuh tombak, tubuh orang yang berlari-lari itu jatuh tersungkur. Bahkan langsung diam tak bergerak lagi.
Gigi Arya bergemeletuk keras menahan kegeraman yang amat sangat. Pandangan matanya yang tajam, tadi melihat sekelebatan benda berkilauan menyambar punggung orang itu. Dan benda itulah yang menyebabkan orang tadi roboh tersungkur.
Bertepatan robohnya orang yang berlari-lari itu, muncul sesosok tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Sambil tertawa terbahak-¬bahak, kakinya menjejak tubuh orang yang tersungkur tadi. Maka akibatnya sudah bisa diduga. Terdengar suara berderak keras dari tulang-belulang yang berpatahan.
Terdengar geram kemarahan dari mulut Dewa Arak melihat kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Meskipun berada dalam jarak sekitar dua batang tombak, tangan kanannya segera dikibaskan ke depan.
Hebat luar biasa kibasan Dewa Arak. Apalagi dilakukan dalam keadaan murka. Angin yang menderu hebat menyambar ke arah laki-laki pemimpin perampok, yang dikenal bernama Jagar (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan kepalang tatkala mengetahui serangan mendadak itu. Dia tadi memang telah melihat kedatangan Dewa Arak, tapi sama sekali memandang remeh. Bahkan tak mempedulikannya. Jagar baru terperanjat begitu merasakan angin keras yang menyambar ke arahnya.
Dan belum sempat berbuat sesuatu, tubuh Jagar sudah terlempar ke belakang. Dan jatuh bergulingan di tanah. Rasa sesak yang amat sangat seketika mendera dadanya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, laki-laki bercambang bauk lebat ini tidak segera bangkit berdiri.
Dicobanya untuk bangkit tapi tetap tidak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya merangkak bangun. Itu pun sambil menyeringai kesakitan.
Tapi belum juga berhasil bangkit berdiri, pandangan matanya sudah tertumbuk pada sepasang kaki kokoh yang berdiri di hadapannya. Tanpa mendongakkan kepala lagi pun, Jagar sudah bisa memperkirakan orang yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda berambut putih keperakan itu?
Pemuda berambut putih keperakan? Mendadak laki-laki tinggi besar itu teringat. Bukankah Setan Mabuk mencari seorang pemuda yang berambut putih keperakan dan berjuluk Dewa Arak?
Dan memang, salah satu ciri-ciri tokoh muda yang menggemparkan itu adalah warna rambutnya yang putih keperakan, di samping pakaiannya yang berwarna ungu dan sebuah guci arak terbuat dari perak yang selalu tersandang di punggung.
Keinginan untuk membuktikan kebenaran dugaan yang tiba-tiba muncul membuat Jagar mendongakkan kepala untuk meneliti lebih lanjut.
Wajah laki-laki bertubuh tinggi besar ini kontan memucat ketika ciri-ciri itu ada pada pemuda yang berdiri di hadapannya adalah benar-benar sosok Dewa Arak! Maka dia harus cepat memberitahukannya kepada Setan Mabuk.
Sementara itu, Arya yang telah dilanda amarah menggelegak, telah mengambil keputusan untuk melenyapkan orang di hadapannya. Telah dilihatnya sendiri bukti kekejaman laki-laki tinggi besar ini.
Meskipun kemarahan melandanya, namun Dewa Arak tidak mau bertindak saat lawan tengah berada dalam keadaan tidak siap. Maka kakinya hanya melangkah ke belakang, memberi kesempatan pada lawan untuk mempersiapkan diri.
Jagar menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang untuk menghilangkan rasa sesak yang melanda dada. Baru ketika rasa sesak itu sudah tidak terasa lagi, dia bangkit berdiri dan langsung mencabut goloknya.
Laki-laki bercambang bauk lebat ini tahu kalau lawan adalah tokoh berkepandaian luar biasa. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi senjata andalannya langsung dicabut.
Dan begitu golok itu telah tercabut, Jagar langsung menerjang sambil berteriak melengking nyaring.
Golok di tangannya disabetkan ke arah kepala Dewa Arak, dengan arah gerakan dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki tinggi besar ini ingin membelah tubuh Arya menjadi dua bagian.
Namun Arya segera mengulurkan tangan kanannya ke depan. Dan....
Tappp...!
Mata golok Jagar kini sudah terjepit di antara telunjuk dan jari tengah Arya.
"Uh... uh...!"
Jagar berusaha keras menarik kembali senjatanya. Tapi golok itu tetap tak bisa ditariknya kembali. Bahkan wajahnya sampai merah padam, dan napasnya terengah-engah.
Seolah-olah, bukan dua buah jari tangan yang menjepitnya, tapi jepitan baja yang amat kuat.
Dan begitu kedua jari tangan Dewa Arak bergerak menekuk, terdengar suara berderak keras disusul patahnya mata golok Jagar.
Akibatnya, Jagar yang pada saat itu tengah berjuang keras menarik pulang senjatanya, langsung terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Goloknya yang kini tinggal sepotong ikut terbawa tubuhnya yang terjengkang.
Di saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan kanannya. Maka, patahan mata golok yang berada dalam jepitan kedua jarinya melesat cepat ke arah Jagar.
Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini terbelalak lebar karena perasaan kaget melihat ancaman maut yang menuju ke arahnya. Serangan itu ingin dielakkan, tapi apa daya? Jangankan mengelakkan serangan itu, untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung saja tidak mampu! Maka....
Cappp...!
Jagar menjerit ngeri ketika mata golok itu menancap di dahinya, sampai tidak nampak lagi. Semua patahan senjata itu amblas ke dalam kepala laki-laki tinggi besar itu.
Berbarengan habisnya kekuatan yang membuat Jagar terjengkang, tubuhnyapun ambruk ke tanah. Nyawanya kini telah melayang meninggalkan raganya.
Dewa Arak menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekati tempatnya berada. Berkat pendengarannya yang tajam luar biasa, bisa diperkirakan jumlah orang yang melangkah itu. Enam orang!
Memang, dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Beberapa saat kemudian, muncul enam sosok tubuh yang menatap ke arahnya dengan sorot mata penuh ancaman. Mereka kini telah berdiri di hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar empat tombak.
Arya memperhatikan enam sosok tubuh itu. Yang berdiri paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh kecil kurus berkumis sedikit dan berompi hitam. Di tangannya tergenggam sebatang cambuk yang juga berwarna hitam.
Dialah yang berjuluk Kera Bukit Setan. Di belakangnya, berdiri lima sosok tubuh berwajah dan bersikap kasar. Rata-rata mereka me¬ngenakan rompi.
"Diakah orang yang kau beritahukan pada Setan Mabuk?" tanya Kera Bukit Setan seraya menolehkan kepala, menatap salah satu dari lima orang yang berdiri di belakangnya, yang berkulit kemerahan.
"Benar, Kera Bukit Setan," sahut laki-laki berkulit kemerahan itu sambil menganggukkan kepala.
"Hm...!" gumam Kera Bukit Setan pelan. Kepalanya dipalingkan kembali ke arah Arya. "Jadi kau rupanya yang berjuluk Dewa Arak? Memang, orang usil sepertimu sudah lama ingin kulenyapkan. Apalagi kau telah membinasakan kawan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki kecil kurus ini melecutkan cambuknya ke udara.
Ctarrr...!
Arya diam saja, dan sama sekali tidak kaget atau terkejut ketika cambuk itu meledak. Wajah pemuda berpakaian ungu ini tetap saja tenang.
Namun sebenarnya, hati Arya sama sekali tidak tenang. Bahkan sebaliknya, hatinya malah hampir hangus terbakar amarah. Hanya berkat kemampuan menyimpan perasaan, semua itu tidak tampak di wajahnya.
Yang jelas, pemuda berambut putih keperakan ini telah mengambil keputusan melenyapkan para penjahat itu selama-lamanya. Bayangan sosok tubuh anak-anak dan wanita kembali terbayang di benaknya. Dan inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan demikian.
Kera Bukit Setan menjadi geram melihat Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tidak tampak kalau pemuda berambut putih keperakan itu kaget mendengar lecutan cambuknya. Bahkan sepasang matanya sama sekali tidak berkedip!
"Bunuh dia...!"
Kera Bukit Setan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Dewa Arak. Sengaja disuruhnya lima orang kasar itu bergerak menyerang lebih dulu. Ingin diketahuinya lebih dulu kelihaian lawan. Lebih bagus lagi, kalau sampai bisa mengetahui perkembangan ilmunya. Dengan begitu akan mudah diukur, bagaimana harus menghadapi pemuda berambut putih ke¬perakan itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, lima orang kasar itu mencabut senjata masing-masing.
Begitu senjata itu terhunus di tangan, mereka segera bergerak mengurung Dewa Arak. Lima orang itu tahu kalau lawan amat tangguh. Maka mereka harus bersikap hati-hati. Mereka tidak langsung menyerang, melainkan bergerak menghampiri dalam sikap mengurung.
Tapi, orang yang mereka kurung sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Dewa Arak tetap diam saja, seolah-olah tidak mempedulikan adanya ancaman bahaya.
"Seraaang...!"
Laki-laki berkulit kemerahan memberi aba-aba begitu kurungan mereka terhadap Arya semakin mengecil.
Seiring dengan keluar teriakannya, laki-laki berkulit kemerahan itu melompat menerjang. Golok di tangannya membabat kepala dari atas ke bawah. Maksudnya, ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian!
Pada saat yang sama, dari berbagai penjuru meluncur serangan empat orang lainnya. Senjata-senjata di tangan mereka yang berupa pedang dan golok berhamburan ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak bersikap tenang, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau akan melakukan tindakan menghadapi serangan lawan-lawannya. Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat dan hampir mengenai sasaran, kedua tangannya bergerak cepat. Seolah-olah, tangannya tidak lagi dua buah, tapi puluhan banyaknya.
Terdengar suara berdebuk keras disusul berpentalannya tubuh lima orang kasar itu. Senjata-senjata yang semula tergenggam di tangan, berpentalan entah ke mana.
Berbarengan jatuhnya senjata-senjata itu di tanah, tubuh lima orang itu pun jatuh berdebuk keras dan tak mampu bangkit lagi. Mereka semua tewas seketika. Darah segar langsung mengalir keluar dari mulut dan hidung mereka.
Kera Bukit Setan terperanjat melihat hal ini. Sungguh di luar dugaan kalau lima orang itu akan roboh tewas dalam segebrakan. Begitu tinggikah kepandaian pemuda itu? Ataukah lima orang itu yang terlalu ceroboh? Rasanya mustahil kalau lawan yang semuda itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Perasaan penasaran membuat Kera Bukit Setan cepat melupakan keterkejutannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kanannya digerakkan. Cambuk hitam di tangannya segera meluncur deras ke arah ubun-ubun Dewa Arak.
Angin berkesiutan nyaring menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya.
Dewa Arak kali ini benar-benar tidak main-main lagi. Segera seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada tangan kanan. Dan begitu ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tangannya bergerak cepat me¬nyambar. Dan....
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak.
Untuk yang kedua kalinya, Kera Bukit Setan terperanjat. Tapi kekagetan kali ini jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Memang tidak disangka kalau pemuda berpakaian ungu itu berani menangkap cambuknya. Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Tapi Kera Bukit Setan memang terlalu keras kepala. Meskipun sudah bisa menerka kalau tenaga dalam lawan berada di atas tenaga dalamnya, tapi tetap saja tidak mau melepaskan cambuknya. Bahkan sebaliknya malah membetot. Maksudnya sudah jelas. Dia ingin menarik kembali senjatanya.
Selebar wajah laki-laki berompi hitam ini sampai merah padam. Dari mulutnya pun keluar suara keluhan pertanda telah mengeluarkan tenaga melewati batas dalam usaha menarik pulang senjatanya.
Tapi, usaha¬nya tetap saja sia-sia. Padahal, Dewa Arak sepertinya tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Wajah pemuda berpakaian ungu itu biasa-biasa saja.
Setelah membiarkan Kera Bukit Setan sibuk dengan usahanya beberapa saat mendadak Arya melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tindakan Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung menendang sebuah batu sebesar jempol kaki yang tergolek di tanah. Pelan saja kelihatannya, tapi kenyataan yang terlihat tidak sesederhana itu.
Singgg...!
Diiringi suara mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, batu itu meluncur deras ke arah Kera Bukit Setan laksana anak panah lepas dari busur.
Laki-laki bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan main melihat adanya bahaya maut yang mengancamnya. Dia ingin mengelak, tapi terlambat. Apalagi keadaannya saat itu sama sekali tidak menguntungkan. Maka....
Takkk!
"Aaakh!"
Tubuh Kera Bukit Setan kontan terjengkang. Seketika, nyawanya melayang meninggalkan raga. Ubun-ubunnya pecah seketika terkena sambaran batu itu.
Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melesat meninggalkan tempat itu. Dia ingin buru-buru tiba di Pulau Selaksa Setan.
Hanya dalam beberapa kali melangkah, tubuh Arya sudah terlihat sebesar telapak kaki di kejauhan. Semakin lama, tubuh pemuda berpakaian ungu itu semakin mengecil. Dan akhirnya lenyap di kejauhan.
****
Matahari belum bergulir jauh ketika sosok tubuh berpakaian ungu dan berambut putih keperakan keluar dari mulut sebuah hutan kecil. Wajahnya tampan, dan bentuk badannya tegap berisi.
Melihat sebuah guci arak yang tersampir di pinggang, bisa ditebak kalau pemuda itu adalah peminum kelas kakap. Namun dari ciri-cirinya, tak salah lagi. Dia adalah Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak!
Dewa Arak kini melesat cepat meninggalkan Hutan Koneng. Tujuannya adalah Pulau Selaksa Setan! Mau tak mau, dia harus kembali ke Desa Koneng, lalu terus berjalan ke Utara.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu telah tiba di tembok batas Desa Koneng.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Pandangannya tertumbuk pada carikan kain yang menempel di tembok. Surat tantangan yang ditulis di atas sehelai kain, dan diajukan oleh Setan Mabuk.
Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan, lalu mencabutnya. Dewa Arak merobek-robek carikan kain itu, lalu membuangnya. Kemudian, kakinya melangkah memasuki mulut desa (Agar jelas, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Arya sama sekali tidak merasa heran melihat suasana sepi yang melingkupi sekeliling Desa Koneng. Jalan utama desa begitu lengang. Rumah-rumah penduduk tampak menyedihkan. Sebagian besar telah porak-¬poranda. Daun-daun pintu telah copot dari ambangnya. Begitu pula daun jendela yang pergi entah ke mana.
Sambil terus menoleh ke sana kemari, pemuda berpakaian ungu itu terus melangkah masuk ke dalam desa. Seperti juga sebelumnya, hanya kesunyianlah yang dijumpainya. Desa Koneng benar-benar telah menjadi desa mati.
Secara sambil lalu, Arya melangkah menghampiri sebuah rumah yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi. Tapi begitu melongok ke dalam, secepat itu pula kepalanya ditolehkan keluar. Ada suara menggeretak keras keluar dari mulutnya ketika kepalanya berpaling. Jelas kalau Dewa Arak dilanda kemarahan hebat.
Betapa tidak? Di ruang tengah rumah itu nampak empat sosok tubuh tengah tergolek mengerikan! Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau semuanya telah tewas.
Dua di antara empat mayat itu adalah anak-anak. Sementara yang dua orang lagi adalah laki-laki dan wanita, berusia sekitar tiga puluh tahunan. Yang laki-laki tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Sedangkan yang wanita lebih mengerikan lagi keadaannya. Dia tewas dalam keadaan pakaian tidak karuan. Dapat diduga sebelum dibunuh, lebih dulu diperkosa!
Dengan dada terasa sesak oleh amarah bergelora, Arya melangkah meninggalkan rumah itu. Dan kini perjalanannya dilanjutkan kembali.
Kini Dewa Arak tidak melangkah lambat-lambat seperti sebelumnya, tapi melesat cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar desa!
Entah berapa lama berlari, Arya sama sekali tidak menghitungnya. Yang ada di benaknya hanya berlari sejauh-jauhnya dari tempat yang membuat hatinya terguncang.
Pemuda berpakaian ungu itu baru melambatkan larinya begitu melihat tembok batas sebuah desa, tak jauh di hadapannya.
Mendadak pandang mata Arya terbelalak begitu melihat sesosok tubuh tengah berlari tersaruk-saruk dari dalam desa. Menilik dari gerak-¬gerik orang itu, seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Hal ini membuat Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Dia ingin tahu, apa yang membuat orang itu bertindak demikian.
Tapi selagi jarak di antara mereka masih terpisah tak kurang dari tujuh tombak, tubuh orang yang berlari-lari itu jatuh tersungkur. Bahkan langsung diam tak bergerak lagi.
Gigi Arya bergemeletuk keras menahan kegeraman yang amat sangat. Pandangan matanya yang tajam, tadi melihat sekelebatan benda berkilauan menyambar punggung orang itu. Dan benda itulah yang menyebabkan orang tadi roboh tersungkur.
Bertepatan robohnya orang yang berlari-lari itu, muncul sesosok tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Sambil tertawa terbahak-¬bahak, kakinya menjejak tubuh orang yang tersungkur tadi. Maka akibatnya sudah bisa diduga. Terdengar suara berderak keras dari tulang-belulang yang berpatahan.
Terdengar geram kemarahan dari mulut Dewa Arak melihat kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Meskipun berada dalam jarak sekitar dua batang tombak, tangan kanannya segera dikibaskan ke depan.
Hebat luar biasa kibasan Dewa Arak. Apalagi dilakukan dalam keadaan murka. Angin yang menderu hebat menyambar ke arah laki-laki pemimpin perampok, yang dikenal bernama Jagar (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan kepalang tatkala mengetahui serangan mendadak itu. Dia tadi memang telah melihat kedatangan Dewa Arak, tapi sama sekali memandang remeh. Bahkan tak mempedulikannya. Jagar baru terperanjat begitu merasakan angin keras yang menyambar ke arahnya.
Dan belum sempat berbuat sesuatu, tubuh Jagar sudah terlempar ke belakang. Dan jatuh bergulingan di tanah. Rasa sesak yang amat sangat seketika mendera dadanya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, laki-laki bercambang bauk lebat ini tidak segera bangkit berdiri.
Dicobanya untuk bangkit tapi tetap tidak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya merangkak bangun. Itu pun sambil menyeringai kesakitan.
Tapi belum juga berhasil bangkit berdiri, pandangan matanya sudah tertumbuk pada sepasang kaki kokoh yang berdiri di hadapannya. Tanpa mendongakkan kepala lagi pun, Jagar sudah bisa memperkirakan orang yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda berambut putih keperakan itu?
Pemuda berambut putih keperakan? Mendadak laki-laki tinggi besar itu teringat. Bukankah Setan Mabuk mencari seorang pemuda yang berambut putih keperakan dan berjuluk Dewa Arak?
Dan memang, salah satu ciri-ciri tokoh muda yang menggemparkan itu adalah warna rambutnya yang putih keperakan, di samping pakaiannya yang berwarna ungu dan sebuah guci arak terbuat dari perak yang selalu tersandang di punggung.
Keinginan untuk membuktikan kebenaran dugaan yang tiba-tiba muncul membuat Jagar mendongakkan kepala untuk meneliti lebih lanjut.
Wajah laki-laki bertubuh tinggi besar ini kontan memucat ketika ciri-ciri itu ada pada pemuda yang berdiri di hadapannya adalah benar-benar sosok Dewa Arak! Maka dia harus cepat memberitahukannya kepada Setan Mabuk.
Sementara itu, Arya yang telah dilanda amarah menggelegak, telah mengambil keputusan untuk melenyapkan orang di hadapannya. Telah dilihatnya sendiri bukti kekejaman laki-laki tinggi besar ini.
Meskipun kemarahan melandanya, namun Dewa Arak tidak mau bertindak saat lawan tengah berada dalam keadaan tidak siap. Maka kakinya hanya melangkah ke belakang, memberi kesempatan pada lawan untuk mempersiapkan diri.
Jagar menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang untuk menghilangkan rasa sesak yang melanda dada. Baru ketika rasa sesak itu sudah tidak terasa lagi, dia bangkit berdiri dan langsung mencabut goloknya.
Laki-laki bercambang bauk lebat ini tahu kalau lawan adalah tokoh berkepandaian luar biasa. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi senjata andalannya langsung dicabut.
Dan begitu golok itu telah tercabut, Jagar langsung menerjang sambil berteriak melengking nyaring.
Golok di tangannya disabetkan ke arah kepala Dewa Arak, dengan arah gerakan dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki tinggi besar ini ingin membelah tubuh Arya menjadi dua bagian.
Namun Arya segera mengulurkan tangan kanannya ke depan. Dan....
Tappp...!
Mata golok Jagar kini sudah terjepit di antara telunjuk dan jari tengah Arya.
"Uh... uh...!"
Jagar berusaha keras menarik kembali senjatanya. Tapi golok itu tetap tak bisa ditariknya kembali. Bahkan wajahnya sampai merah padam, dan napasnya terengah-engah.
Seolah-olah, bukan dua buah jari tangan yang menjepitnya, tapi jepitan baja yang amat kuat.
Dan begitu kedua jari tangan Dewa Arak bergerak menekuk, terdengar suara berderak keras disusul patahnya mata golok Jagar.
Akibatnya, Jagar yang pada saat itu tengah berjuang keras menarik pulang senjatanya, langsung terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Goloknya yang kini tinggal sepotong ikut terbawa tubuhnya yang terjengkang.
Di saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan kanannya. Maka, patahan mata golok yang berada dalam jepitan kedua jarinya melesat cepat ke arah Jagar.
Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini terbelalak lebar karena perasaan kaget melihat ancaman maut yang menuju ke arahnya. Serangan itu ingin dielakkan, tapi apa daya? Jangankan mengelakkan serangan itu, untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung saja tidak mampu! Maka....
Cappp...!
Jagar menjerit ngeri ketika mata golok itu menancap di dahinya, sampai tidak nampak lagi. Semua patahan senjata itu amblas ke dalam kepala laki-laki tinggi besar itu.
Berbarengan habisnya kekuatan yang membuat Jagar terjengkang, tubuhnyapun ambruk ke tanah. Nyawanya kini telah melayang meninggalkan raganya.
Dewa Arak menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekati tempatnya berada. Berkat pendengarannya yang tajam luar biasa, bisa diperkirakan jumlah orang yang melangkah itu. Enam orang!
Memang, dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak salah. Beberapa saat kemudian, muncul enam sosok tubuh yang menatap ke arahnya dengan sorot mata penuh ancaman. Mereka kini telah berdiri di hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar empat tombak.
Arya memperhatikan enam sosok tubuh itu. Yang berdiri paling depan adalah seorang laki-laki bertubuh kecil kurus berkumis sedikit dan berompi hitam. Di tangannya tergenggam sebatang cambuk yang juga berwarna hitam.
Dialah yang berjuluk Kera Bukit Setan. Di belakangnya, berdiri lima sosok tubuh berwajah dan bersikap kasar. Rata-rata mereka me¬ngenakan rompi.
"Diakah orang yang kau beritahukan pada Setan Mabuk?" tanya Kera Bukit Setan seraya menolehkan kepala, menatap salah satu dari lima orang yang berdiri di belakangnya, yang berkulit kemerahan.
"Benar, Kera Bukit Setan," sahut laki-laki berkulit kemerahan itu sambil menganggukkan kepala.
"Hm...!" gumam Kera Bukit Setan pelan. Kepalanya dipalingkan kembali ke arah Arya. "Jadi kau rupanya yang berjuluk Dewa Arak? Memang, orang usil sepertimu sudah lama ingin kulenyapkan. Apalagi kau telah membinasakan kawan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki kecil kurus ini melecutkan cambuknya ke udara.
Ctarrr...!
Arya diam saja, dan sama sekali tidak kaget atau terkejut ketika cambuk itu meledak. Wajah pemuda berpakaian ungu ini tetap saja tenang.
Namun sebenarnya, hati Arya sama sekali tidak tenang. Bahkan sebaliknya, hatinya malah hampir hangus terbakar amarah. Hanya berkat kemampuan menyimpan perasaan, semua itu tidak tampak di wajahnya.
Yang jelas, pemuda berambut putih keperakan ini telah mengambil keputusan melenyapkan para penjahat itu selama-lamanya. Bayangan sosok tubuh anak-anak dan wanita kembali terbayang di benaknya. Dan inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan demikian.
Kera Bukit Setan menjadi geram melihat Dewa Arak sama sekali tidak menanggapi pertanyaannya. Tidak tampak kalau pemuda berambut putih keperakan itu kaget mendengar lecutan cambuknya. Bahkan sepasang matanya sama sekali tidak berkedip!
"Bunuh dia...!"
Kera Bukit Setan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah Dewa Arak. Sengaja disuruhnya lima orang kasar itu bergerak menyerang lebih dulu. Ingin diketahuinya lebih dulu kelihaian lawan. Lebih bagus lagi, kalau sampai bisa mengetahui perkembangan ilmunya. Dengan begitu akan mudah diukur, bagaimana harus menghadapi pemuda berambut putih ke¬perakan itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, lima orang kasar itu mencabut senjata masing-masing.
Begitu senjata itu terhunus di tangan, mereka segera bergerak mengurung Dewa Arak. Lima orang itu tahu kalau lawan amat tangguh. Maka mereka harus bersikap hati-hati. Mereka tidak langsung menyerang, melainkan bergerak menghampiri dalam sikap mengurung.
Tapi, orang yang mereka kurung sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Dewa Arak tetap diam saja, seolah-olah tidak mempedulikan adanya ancaman bahaya.
"Seraaang...!"
Laki-laki berkulit kemerahan memberi aba-aba begitu kurungan mereka terhadap Arya semakin mengecil.
Seiring dengan keluar teriakannya, laki-laki berkulit kemerahan itu melompat menerjang. Golok di tangannya membabat kepala dari atas ke bawah. Maksudnya, ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian!
Pada saat yang sama, dari berbagai penjuru meluncur serangan empat orang lainnya. Senjata-senjata di tangan mereka yang berupa pedang dan golok berhamburan ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak bersikap tenang, tidak nampak adanya tanda-tanda kalau akan melakukan tindakan menghadapi serangan lawan-lawannya. Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat dan hampir mengenai sasaran, kedua tangannya bergerak cepat. Seolah-olah, tangannya tidak lagi dua buah, tapi puluhan banyaknya.
Terdengar suara berdebuk keras disusul berpentalannya tubuh lima orang kasar itu. Senjata-senjata yang semula tergenggam di tangan, berpentalan entah ke mana.
Berbarengan jatuhnya senjata-senjata itu di tanah, tubuh lima orang itu pun jatuh berdebuk keras dan tak mampu bangkit lagi. Mereka semua tewas seketika. Darah segar langsung mengalir keluar dari mulut dan hidung mereka.
Kera Bukit Setan terperanjat melihat hal ini. Sungguh di luar dugaan kalau lima orang itu akan roboh tewas dalam segebrakan. Begitu tinggikah kepandaian pemuda itu? Ataukah lima orang itu yang terlalu ceroboh? Rasanya mustahil kalau lawan yang semuda itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Perasaan penasaran membuat Kera Bukit Setan cepat melupakan keterkejutannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kanannya digerakkan. Cambuk hitam di tangannya segera meluncur deras ke arah ubun-ubun Dewa Arak.
Angin berkesiutan nyaring menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya.
Dewa Arak kali ini benar-benar tidak main-main lagi. Segera seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada tangan kanan. Dan begitu ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tangannya bergerak cepat me¬nyambar. Dan....
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak.
Untuk yang kedua kalinya, Kera Bukit Setan terperanjat. Tapi kekagetan kali ini jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Memang tidak disangka kalau pemuda berpakaian ungu itu berani menangkap cambuknya. Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Tapi Kera Bukit Setan memang terlalu keras kepala. Meskipun sudah bisa menerka kalau tenaga dalam lawan berada di atas tenaga dalamnya, tapi tetap saja tidak mau melepaskan cambuknya. Bahkan sebaliknya malah membetot. Maksudnya sudah jelas. Dia ingin menarik kembali senjatanya.
Selebar wajah laki-laki berompi hitam ini sampai merah padam. Dari mulutnya pun keluar suara keluhan pertanda telah mengeluarkan tenaga melewati batas dalam usaha menarik pulang senjatanya.
Tapi, usaha¬nya tetap saja sia-sia. Padahal, Dewa Arak sepertinya tidak mengeluarkan tenaga sama sekali. Wajah pemuda berpakaian ungu itu biasa-biasa saja.
Setelah membiarkan Kera Bukit Setan sibuk dengan usahanya beberapa saat mendadak Arya melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Tindakan Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung menendang sebuah batu sebesar jempol kaki yang tergolek di tanah. Pelan saja kelihatannya, tapi kenyataan yang terlihat tidak sesederhana itu.
Singgg...!
Diiringi suara mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, batu itu meluncur deras ke arah Kera Bukit Setan laksana anak panah lepas dari busur.
Laki-laki bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan main melihat adanya bahaya maut yang mengancamnya. Dia ingin mengelak, tapi terlambat. Apalagi keadaannya saat itu sama sekali tidak menguntungkan. Maka....
Takkk!
"Aaakh!"
Tubuh Kera Bukit Setan kontan terjengkang. Seketika, nyawanya melayang meninggalkan raga. Ubun-ubunnya pecah seketika terkena sambaran batu itu.
Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu langsung melesat meninggalkan tempat itu. Dia ingin buru-buru tiba di Pulau Selaksa Setan.
Hanya dalam beberapa kali melangkah, tubuh Arya sudah terlihat sebesar telapak kaki di kejauhan. Semakin lama, tubuh pemuda berpakaian ungu itu semakin mengecil. Dan akhirnya lenyap di kejauhan.
****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment