Wajah Pandora seketika berubah, begitu mendengar ucapan junjungannya. Kala Sunggi adalah adik kandung Pendekar Golok Baja. Dia lenyap begitu saja sewaktu berburu bersama kakaknya dan Pandora. Meskipun sudah dibantu paman guru majikan mudanya, Kala Sunggi tetap tidak berhasil mereka temukan.
"Нооор...!"
Pandora menarik tali kekang kuda. Sekefika itu Juga kuda-kuda berhenti berlari. Dan dengan sendirlnya kereta pun berhenti melaju.
"Hup...!"
Pandora melompat dari kereta. Pendekar Golok Baja pun melompat turun. Tapi berbeda dengan pelayannya yang mendarat dengan mantap, laki-lald gagah bercambang lebat itu mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Bergegas Pandora memegangi tangan majikan mudanya. Tapi dengan halus Pendekar Golok Baja menolak.
"Uhk... uhk...!"
Kembali terdengar batuk-batuk beruntun dari mulut Pendekar Golok Baja. Pandora hanya dapat memandangi majikannya dengan perasaan khawabr. Apalagi ketika melihat percikan cairan merah rnengiringi suara batuk-batuk itu.
"Bawa peti ini, Pandora," ucap Pendekar Golok Baja seraya menyerahkan sebuah buntalan kain berwarna hitam pekat.
Pandora yang tahu isi buntalan itu, segera mengulurkan tangan menyambut. Sebuah peti terbuat dari kayu jati berwarna hitam mengkilat yang di dalamnya berisi mantel pusaka dan kitab-kitab ilmu silat peninggalan Iblis Hitam.
"Apakah Tuan perlu kupapah?" tanya Pandora menawarkan diri.
“Tidak perlu," sahut Pendekar Golok Baja seraya menggelengkan kepala. "Aku masih sanggup berjalan sampai di tempat tinggal paman guru."
Pandora tercenung sesaat. Kemudian bergegas melepaskan ikatan kuda dari keretanya.
Ctar, ctar...!
Beberapa kali Pandora melecutkan cambuk di udara dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hebat akibatnya! Suara lecutan cambuk tak ubahnya suara petir.
Karuan saja suara itu membuat kedua ekor kuda jadi terkejut. Sambil meringkik keras, kedua binatang itu berlari cepat meninggalkan kedua majikannya.
Pandora menatap kuda-kuda itu hingga lenyap ditelan keremangan malam. Baru setelah itu menghampiri kereta. Sesaat kemudian tangan dan kaklnya berkelebat.
Krakkk, brakkk...!
Terdengar suara-suara berderak keras setiap kali tangan dan kaki pelayan renta itu bergerak. Pendekar Golok Baja hanya memandangi perbuatan Pandora tanpa berkata apa-apa. Laki-laki gagah bercambang lebat ini sudah tahu maksud pelayan setianya menghancurkan kereta.
Так lama kemudian kereta itu pun sudah tidak berbentuk lagi. Yang tertinggal hanyalah serpihan-serpihan kayu belaka. Kakek berwajah bintik-bintik putih pun menghentikan gerakannya. Kemudian mengambil pecahan-pecahan kereta, lalu disebarkan di rerimbunan semak yang terpisah.
"Mudah-mudahan dengan cara begini, jejak pelarian kita tidak dapat ditemukan, Tuan," ucap Pandora setengah berharap.
"Hm...,"
Pendekar Golok Baja hanya bergumam tidak jelas. Dia tidak begitu yakin kalau usaha yang dilakukan pelayannya akan berhasil. Tapi pendekar ini tidak mau mengecilkan hati kakek itu dengan mengatakan ketidak yakinannya.
Pandora menghapus sedikit peluh yang membasahi kening. Rupanya pekerjaan menghancurkan kereta tadi cukup menguras tenaga.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Pandora," ajak Pendekar Golok Baja seraya berjalan mendahului pelayannya.
Tanpa berkata-kata apa-apa lagi, Pandora mengikuti majikannya. Memang, perjalanan ditempat ini tidak bisa dilalui dengan berkuda. Apalagi dengan kereta kuda. Itulah sebabnya mengapa Pandora terpaksa menghancurkan kereta dan mengusir kuda-kuda itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung dan sesekali diselingi batuk-batuk keras, Pendekar Golok Baja menerobos rerimbunan semak. Bahkan tak jarang tangan pendekar ini harus bekerja keras menguak rerimbunan semak-semak yang terlalu rapat.
Setelah melalui jalan berkelok-kelok, akhimya kedua orang itu tiba di sebuah lembah. Meskipun suasana malam remang-remang, tak jauh dari situ terlihat cukup jelas sebuah pondok berdinding bilik.
Pendekar Golok Baja segera mempercepat langkahnya begitu melihat pondok berdinding bilik itu. Dan Pandora pun terpaksa mempercepat langkahnya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini sebenarnya khawatir pada luka-luka parah yang diderita sang Majikan. Semestinya saat ini tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Tapi, ара dayanya? Pendekar Golok Baja tidak mau dibantah.
Так lama kemudian, Pendekar Golok Baja telah berada di depan pondok berdinding bilik itu.
Ток, tok, tok...!
Terdengar suara ketukan, begjtu kepalan tangan laki-laki gagah itu menyentuh pintu. Pelahan saja pintu itu diketuk. Tapi karena suasana malam sangat hening, ketukan tadi terdengar agak keras.
Kriiit...!
Terdengar suara berderit tajam begitu pintu terbuka. Disusul munculnya seraut wajah keriput dari balik pintu. Kekagetan terbayang jelas di wajah orang Itu begitu melihat siapa yang telah mengetuk pintu. Memang suasana malam remang-remang, tapi cukup untuk menerangi wajah Pendekar Golok Baja.
Mendadak saja tubuh Pendekar Golok Baja ambruk. Kalau saja kakek pemilik pondok tidak cepat-cepat menangkap, tentu tubuh laki-laki gagah bertambang bauk lebat itu sudah mencium tanah.
"Prajasena...?!" pekik kakek pemilikpondok. Suaranya jelas mengandung kekagetan.
"Tuan...!" ucap Pandora seraya bergegas mennburu tubuh junjungannya.
Melihat ada orang lain memburu tubuh Pendekar Golok Baja, kakek pemilik pondok baru sadar kalau orang yang dipanggilnya Prajasena tidak datang sendirian. Perhatiannya segera dialihkan pada kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Sesaat lamanya sepasang mata pemilik pondok menatap penuh selidik.
"Kau... kau..., Pandora?" tanya kakek pemilik pondok dengan wajah berseri-seri.
Walaupun cukup lama Pandora dan Pendekar Golok Baja pergi meninggalkan Hutan Karimun, namun wajah kedua orang itu masih tertanam dalam ingatannya. Sehingga tidak aneh kalau pemilik pondok yang temyata adalah paman guru Pendekar Golok Baja masih mengenal Pandora.
"Benar, Tuan," jawab kakek berwajah bintik-bintik putih seraya menganggukkan kepala. Pandora memanggil paman guru majikan mudanya dengan panggilan tuan juga.
"Ара yang terjadi, Pandora? Katakanlah...! Ada ара dengan Prajasena? Siapa yang telah melakukan semua ini padanya?" kakek pemilik pondok memberondong Pandora dengan pertanyaan bertubi-tubi,
"Ceritanya cukup panjang, Tuan," sahut Pandora.
"Apakah tidak lebih baik kalau Tuan memeriksanya dulu?"
"Akh..., kau benar," sambut paman guru Pendekar Golok Baja. Kini perhatiannya segera dialihkan pada Prajasena yang berada dalam pelukannya.
"Mari masuk dulu, Pandora," ajak kakek pemilik pondok pada pelayan setia Pendekar Golok Baja alias Prajasena, seraya mendahului masuk ke dalam.
Tanpa berkata apa-apa, Pandora segera melangkah masuk. Dan begitu telah berada di dalam, dia segera menutup pintu pondok. Paman guru Pendekar Golok Baja membawa Prajasena ke dalam kamar khusus semadi yang cukup luas. Kemudian tubuh yang tergolek pingsan itu direbahkan perlahan-lahan di atas balai-balai bambu. Sepasang alis yang sudah berwarna dua itu tampak berkerut ketika memeriksa sekujur tubuh Prajasena.
"Racun...," desah kakek pemilik pondok seraya menatap tajam wajah Pandora yang berdiri di sampingnya Sepasang mata paman guru Prajasena penuh pertanyaan.
"Hhh...!"
Pandora hanya menghela napas berat. Pandang mata penuh pertanyaan dari pemilik pondok sama sekali tidak dihiraukannya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini terlalu mengkhawatirkan keadaan majikan mudanya. Yang ada dalam benaknya hanyalah, bagaimana secepatnya memberi pertolongan kepada Prajasena. Masalah-masalah lain bisa diurus belakangan.
Kakek pemilik pondok rupanya dapat merasakan ара yang dirasakan Pandora. Dihampirinya pelayan setia itu sambil tersenyum lebar, kemudian menepuk-nepuk bahunya.
"Tenanglah, Pandora. Pertanyaanku tadi bukan karena aku tidak ingin buru-buru menolong Prajasena. Tapi agar aku tahu jenis racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Kau bisa mengerti, bukan?"
Pandora menganggukkan kepala pertanda mengerti. Diam-diam dia memaki kebodohan dirinya sendiri. Kakek di depannya ini adalah paman guru dan sekaligus guru majikan mudanya. Dan belum tentu kasih sayang kakek itu pada Prajasena kalah besar jlka dibandingkan dengan kasih sayangnya.
Lagi pula, mana mungkin seorang guru tidak khawatir bila muridnya sedang sekarat? Maki Pandora dalam hati.
"Katakanlah, dengan siapa Prajasena bertarung?" tanya kakek pemilik pondok lagi.
"Tuan bertarung dengan Sepasang Iblis Gurun Banjar," sahut pelayan setia Pendekar Golok Baja pelan.
"Sepasang Iblis Gurun Banjar...," ulang paman guru Prajasena dengan alis berkerut.
"Jadi, dugaanku tepat rupanya...."
"Tuan sudah tahu...?" tanya Pandora setengah tak percaya.
Kakek pemilik pondok hanya menganggukkan kepala. "Aku sudah menduganya begitu memeriksa lukanya. Pertanyaanku hanya untuk memastikan saja. Dan, temyata dugaanku memang benar. Hhh...! Sungguh tidak kusangka kalau Sepasang Iblis Gurun Banjar bentrok dengan Prajasena."
"Dalam salah satu pengembaraannya, tuan telah membunuh murid Sepasang Iblis Gurun Banjar," ucap Pandora menjelaskan.
"Pantas...," sambut kakek pemilik pondok setengah mendesah. "Rupanya mereka ingin membalas dendam...."
"Benar, Tuan."
"Pandora, kumohon kau jangan memanggilku dengan panggilan tuan lagi. Gatal telingaku rasanya. Panggil aku dengan namaku saja, Wirageni."
"Baiklah, Tu... eh, Eyang." Pandora sengaja menyebut eyang karena penduduk dusun di sekitar Hutan Karimun memanggil paman guru Prajasena ini dengan sebutan Eyang Wirageni.
"Sekarang kau tenanglah, Pandora. Atau... lebih baik kau berjaga-jaga. Barangkali ada tamu-tamu tak diundang yang datang kemari. Malam ini aku punya firasat tidak enak, Pandora."
Ucapan Eyang Wirageni membuat Pandora gelisah. Laki-laki berwajah bintik-bintik putih ini kenal betul siapa Eyang Wirageni. Beliau adalah seorang tokoh sakti yang memiliki perasaan amat tajam.
"Apakah pengobatan majikanku butuh waktu cukup lama, Eyang?" tanya Pandora ingin tahu.
"Lama sih, tidak. Tapi, pengobatan ini butuh tenaga dalam yang amat kuat. Dan sudah pasti akan menguras seluruh tenagaku. Perlu kau ketahui, Pandora. Prajasena terkena racun yang berupa uap. Jadi, aku harus mengobatinya dengan cara mendorong uap beracun itu dengan tenaga dalamku. Kau tahu, Pandora, dalam keadaan begitu, mudah saja bagi seseorang membunuhku. Dan kalau pengobatan sudah kumulai, di tanganmulah terfetak keselamatanku dan majikanmu. Mengerti, Pandora?"
"Mengerti, Eyang," sahut Pandora sambil menganggukkan kepala.
Diam-diam jantung kakek berwajah bintik-bintik putih ini berdebar tegang, mengingat tugas berat yang harus diemban. Dua nyawa orang-orang yang sangat dihormati, kini bergantung kepadanya. Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa, harap pelayan setia ini dalam hati.
"Bersiaplah, Pandora. Aku akan mulai"
Setelah berkata demikian, Eyang Wirageni naik kebalai-balai bambu, kemudian duduk bersila. Perlahan-lahan tubuh Pendekar Golok Baja yang tertelentang, dibalikkan jadi tertelungkup. Kemudian dibukanya pakaian pendekar itu. Eyang Wirageni menarik napas dalam-dalam seraya menarik tangannya yang terkepal di kedua sisi pinggang .
"Ssshhh...!"
Terdengar suara berdesis begitu Eyang Wirageni mengeluarkan udara yang tadi disedot. Berbarengan dengan hembusan napas melalui muiut, kedua tangannуа didorong ke depan dengan jari-jari terbuka.
Lambat dan perlahan-lahan kedua tangan keriput itu didorong. Dan setelah itu, Eyang Wirageni kembali mengepalkan kedua tangannya ke sisi pinggang. Kali ini tanpa mengambil napas.
Kemudian kedua telapak tangannya ditempelkan pada punggung Pendekar Golok Baja. Kakek pemilik pondok ini mulai menyalurkan tenaga dalam untuk mengusir uap racun yang mengendap di tubuh murid keponakannya.
Pandora mulai pasang sikap waspada. Buntalan kain hitam yang sejak tadi dijinjing, ditaruh di bawah balai-balai bambu. Sepasang matanya diedarkan berkeliling, ke setiap sudut ruangan.
Kakek berwajah bintik-bintik putih ini merasa waktu berjalan begitu lambat Sebentar-sebentar sepasang matanya dialihkan, antara sekeliling ruangan dan dua sosok tubuh yang berada di balai-balai bambu. Dan kini dilihatnya bintik-bintik keringat mulai membasahi wajah Eyang Wirageni. Mula-mula hanya sedikit, tapi semakin lama semakin banyak. Sampai akhimya sekujur tubuh kakek itu mandi keringat.
Sepasang mata Pandora membelalak begitu melihat uap tipis berwarna kehijauan, keluar dari kedua lubang hidung majikan mudanya. Pelayan setia ini tahu kalau asap itu adalah uap racun yang berhasil didesak keluar oleh hawa murni Eyang Wirageni.
Semakin lama uap itu semakin bertambah tebal. Dan Pandora melihat kedua tangan Eyang Wirageni yang ditempel di punggung Pendekar Golok Baja mulai bergetar. Tahu kalau Eyang Wirageni telah mengerahkan tenaga dalam melewati batas, diam-diam jantung Pandora berdebar tegang.
Mendadak wajah Pandora berubah ketika pendengarannya yang tajam mendengar suara banyak langkah kaki mendekati pondok. Suara langkah yang ringan, pertanda pemiliknya memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggj.
Karuan saja suara-suara tadi membuat pelayan setia ini jadi gelisah. Ternyata dugaan Eyang Wirageni tidak meleset, banyak tamu-tamu tak diundang yang berkunjung ke pondok ini.
Dengan gerak mata kalap, Pandora melirik ke arah dua sosok yang masih berada di atas balai-balai bambu. Tampak olehnya kalau asap yang keluar dari lubang hidung sang Majikan sudah menipis. Berarti tak lama lagi seluruh uap racun akan musnah dari tubuh majikannya.
Sementara itu, kedua tangan Eyang Wirageni semakin keras bergetar. Samar-samar tampak asap tipis mengepul dari kepala Eyang Wirageni yang wajahnya merah padam. Kian lama uap itu kian menebal.
Pandora khawatir andaikan racun dalam diri Pendekar Golok Baja belum habis keluar, tapi Eyang Wirageni sudah roboh kehabisan tenaga. Di saat-saat yang menegangkan itu, tiba-tiba....
Brakkk...!
Terdengar suara berderak keras dari arah luar kamar. Tanpa melihat pun Pandora tahu kalau pintu depan pondok telah dibobol orang. Jantung pelayan setia ini semakin berdebar keras karena tahu kalau tamu-tamu tak diundang sudah masuk di dalam pondok.
Meskipun begitu, Pandora tetap tidak bergeming dari tempatnya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini tidak berani meninggalkan kedua tubuh tak berdaya Itu begitu saja. Khawatir kalau begitu ditinggalkan, tamu tak diundang masuk ke kamar dan membunuh kedua orang itu.
Kekhawatiran itulah yang membuat Pandora mengambil keputusan menunggu kedatangan tamu-tamu tak diundang di dalam kamar semadi Eyang Wirageni. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu kalau tamu tak diundang itu akhimya akan mencari majikannya ke ruangan ini juga.
Dan dugaan Pandora tidak meleset! Beberapa saat setelah suara berderak keras terdengar, tahu-tahu di ambang pintu kamar, berdiri beberapa sosok berpakaian serba merah. Sekelebatan saja kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu jumlah mereka. Lima orang, desis Pandora.
Lima orang berpakaian serba merah melangkah memasuki pintu kamar. Sekilas pandangan mereka melirik ke arah balai-balai bambu. Так sadar kakek berwajah bintik-bintik putih itu pun mengikuti arah lirikan tamu-tamu tak diundang Dan diam-diam pelayan setia ini bersyukur dalam hati melihat Eyang Wirageni telah menyelesaikan pengobatan. Dan kini dilihatnya tengah bersemadi memulihkan tenaga dalam yang terkuras tadi.
"Serahkan pusaka Iblis Hitam. Dan kami berjanji tidak akan mengganggu kalian," ujar salah seorang tamu tak diundang. Pandang matanya ditujukan pada Pandora.
"Siapa kalian? Dan ара yang kalian maksudkan dengan pusaka Iblis Hitam?" Tanya Pandora, pura-pura tidak mengerti.
"Kami adalah Lima Alap-alap Bukit Jabal," jawab laki-laki berkumis melintang, yang tadi meminta pusaka peninggalan Iblis Hitam. "Dan kami tidak suka main-main. Cepat serahkan pusaka itu. Atau..., kami ambil dengan kekerasan?!"
Pandora tidak mau bersikap main-main lagi. Sebelum tamu-tamu tak diundang lain berdatangan kemari, kelima orang ini harus cepat dibungkam.
"Kalian boleh mengambil pusaka itu setelah melangkahi mayatku!" tandas Pandora tegas.
"Keparat!" teriak laki-laki berkumis melintang, sambil melesat ke depan.
Kaki kanannya dikibaskan ke arah pelayan setia Pendekar Golok Baja seraya memutar tubuh.
Wuttt...!
Angin cukup keras berkesiut mengiringi tibanya serangan laki-laki berkumis melintang.
Pandora menyeringai lebar. Dari deru angin yang mengiringi tibanya serangan, kekuatan tenaga dalam lawan sudah bisa diukurnya. Мака tanpa ragu-ragu lagi tangan kirinya segera diangkat melindungi pelipis sambil melontarkan tendangan kaki kanannya ke arah lutut kiri laki-laki berkumis melintang itu.
Plakkk...! Tukkk!
"AkK..!"
Laki-laki berkumis melintang yang juga merupakan orang pertama dari Lima Alap-alap Bulat Jabal berseru tertahan. Kaki kanannya yang tertangkis tangan kakek berwajah bintik-bintik putih tadi terasa sakit dan ngilu bukan main.
Dan belum lagi rasa sakit itu hllang, tendangan lawan telah mengenai lutut kirinya. Kontan sambungan tulang lututnya terlepas.
Melihat dalam segebrakan saja rekan mereka telah dipecundangi, tentu saja keempat Alap-alap Bukit Jabal terkejut bukan main. Salah seorang dari mereka bergegas menangkap tubuh sahabatnya yang terhuyung-huyung.
"Kiгапуа kau memiliki kepandaian juga, Kakek Peot," ucap salah seorang Alap-alap Bukit Jabal yang bermata plcak.
Selesai berkata begitu, diterjangnya Pandora dengan serangan bertubi-tubi, Dan belum lagi serangan laki-laki bermata picak tiba, empat kawannya yang kini telah tahu kalau kakek berwajah bintik-bintik putih bukan orang sembarangan, segera ikut menyerang. Так terkecuali laki-laki berkumis melintang Dengan agak terpincang-pincang, dia Ikut membantu serangan saudara-saudaranya.
Dan sekali menyerang, Lima Alap-alap Bukit Jabal teah menggunakan senjata andalan. Mereka semua menggunakan sepasang pedang pendek berwama hitam mengkilat. Suara berkesiutan nyaring dari udara yang terbesel kelebatan pedang-pedang pendek Lima Alap-alap Bukit Jabal memecah keheningan malam.
Pandora yang memang sudah memutuskan untuk tidak bertindak setengah-setengah, segera mencabut sebatang golok pendek berwarna putih mengkilat.
Srattt!
Seketika memancar sinar terang menyilaukan mata ketika golok pendek keluar dari sarungnya. Dan secepat golok itu tercabut, secepat itu pula Pandora menangkis hujan serangan tamu tak diundang.
Trang, trang, tranggg...!
Terdengar suara berdentangan nyaring yang diiringi pijaran bunga-bunga api di udara, tatkala golok pelayan setia itu berbenturan dengan senjata-senjata para pengeroyok. Suara-suara pekikan kaget segera terdengar dari mulut Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Bahkan bukan itu saja, tubuh-tubuh merekapun terhuyung-huyung ke belakang. Jelas kalau tenaga dalam yang dimiliki kelima pemburu pusaka peninggalan Iblis Hitam itu masih jauh di bawah tenaga dalam Pandora.
Dan selagi tubuh-tubuh mereka terhuyung-huyung, pelayan setia Pendekar Golok Baja itu kembali menyabetkan golok berwarna putih mengkilat. Dan....
Srattt, srattt...!
"Aaakh...! Aaa...!
Terdengar jeritan-jeritan panjang menyayat begitu golok Pandora membabat leher Lima Alap-alap Bukit Jabal satu persatu. Darah segar kontan bermuncratan dari leher mereka yang terkoyak lebar. Seketika itu juga tubuh kelima orang itu roboh ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar sesaat, akhimya diam tidak bergerak lagi. Tragis sekali nasib Lima Alap-alap Bukit Jabal, mereka tewas di tangan orang yang sama sekali tidak terkenaL
"Hhh...!"
Terdengar helaan napas berat dari mulut Pandora. Wajah pelayan setia Prajasena ini tidak tampak gembira meskipun melihat kelima lawan telah tewas. Bahkan terlihat penyesalan mendalam di wajah tua yang berbintik-bintik putih itu.
Memang sebenarnya Pandora menyesal sekali telah membunuh Lima Alap-alap Bukit Jabal. Kalau saja bukan karena terpaksa, belum tentu kakek ini tega membunuh kelima orang itu. Tapi setidak-tidaknya kematian Lima Alap-alap Bukit Jabal Itu telah mengurangi momok yang selama ini menakut-nakuti penduduk sekitar bukit itu.
Setelah memandangi lima sosok mayat yang tergolek bermandi darah sejenak, Pandora segera menyarungkan kembali goloknya. Так lupa menyeka dulu darah yang menodai batang golok dengan pakaian salah seorang mayat Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Trekkk!
Kini golok putih berkilat telah masuk kembali ke dalam sarungnya. Baru setelah itu, Pandora mengalihkan perhatian ke arah dua sosok tubuh yang tergolek di atas balai-balai bambu.
Ditatapnya Eyang Wirageni yang masih khusuk bersemadi penuh perhatian. Terdengar desahan lembut berirama tetap setiap kali paman guru majikannya itu menarik dan mengeluarkan napas.
Sesaat kemudian, Pandora mengalihkan pandangan ke arah tubuh junjungan mudanya yang masih tergolek di balai-balai bambu. Desah napas lembut tapi teratur menandakan kalau Pendekar Golok Baja tengah tertidur lelap.
"Нооор...!"
Pandora menarik tali kekang kuda. Sekefika itu Juga kuda-kuda berhenti berlari. Dan dengan sendirlnya kereta pun berhenti melaju.
"Hup...!"
Pandora melompat dari kereta. Pendekar Golok Baja pun melompat turun. Tapi berbeda dengan pelayannya yang mendarat dengan mantap, laki-lald gagah bercambang lebat itu mendarat di tanah dengan agak terhuyung-huyung. Bergegas Pandora memegangi tangan majikan mudanya. Tapi dengan halus Pendekar Golok Baja menolak.
"Uhk... uhk...!"
Kembali terdengar batuk-batuk beruntun dari mulut Pendekar Golok Baja. Pandora hanya dapat memandangi majikannya dengan perasaan khawabr. Apalagi ketika melihat percikan cairan merah rnengiringi suara batuk-batuk itu.
"Bawa peti ini, Pandora," ucap Pendekar Golok Baja seraya menyerahkan sebuah buntalan kain berwarna hitam pekat.
Pandora yang tahu isi buntalan itu, segera mengulurkan tangan menyambut. Sebuah peti terbuat dari kayu jati berwarna hitam mengkilat yang di dalamnya berisi mantel pusaka dan kitab-kitab ilmu silat peninggalan Iblis Hitam.
"Apakah Tuan perlu kupapah?" tanya Pandora menawarkan diri.
“Tidak perlu," sahut Pendekar Golok Baja seraya menggelengkan kepala. "Aku masih sanggup berjalan sampai di tempat tinggal paman guru."
Pandora tercenung sesaat. Kemudian bergegas melepaskan ikatan kuda dari keretanya.
Ctar, ctar...!
Beberapa kali Pandora melecutkan cambuk di udara dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Hebat akibatnya! Suara lecutan cambuk tak ubahnya suara petir.
Karuan saja suara itu membuat kedua ekor kuda jadi terkejut. Sambil meringkik keras, kedua binatang itu berlari cepat meninggalkan kedua majikannya.
Pandora menatap kuda-kuda itu hingga lenyap ditelan keremangan malam. Baru setelah itu menghampiri kereta. Sesaat kemudian tangan dan kaklnya berkelebat.
Krakkk, brakkk...!
Terdengar suara-suara berderak keras setiap kali tangan dan kaki pelayan renta itu bergerak. Pendekar Golok Baja hanya memandangi perbuatan Pandora tanpa berkata apa-apa. Laki-laki gagah bercambang lebat ini sudah tahu maksud pelayan setianya menghancurkan kereta.
Так lama kemudian kereta itu pun sudah tidak berbentuk lagi. Yang tertinggal hanyalah serpihan-serpihan kayu belaka. Kakek berwajah bintik-bintik putih pun menghentikan gerakannya. Kemudian mengambil pecahan-pecahan kereta, lalu disebarkan di rerimbunan semak yang terpisah.
"Mudah-mudahan dengan cara begini, jejak pelarian kita tidak dapat ditemukan, Tuan," ucap Pandora setengah berharap.
"Hm...,"
Pendekar Golok Baja hanya bergumam tidak jelas. Dia tidak begitu yakin kalau usaha yang dilakukan pelayannya akan berhasil. Tapi pendekar ini tidak mau mengecilkan hati kakek itu dengan mengatakan ketidak yakinannya.
Pandora menghapus sedikit peluh yang membasahi kening. Rupanya pekerjaan menghancurkan kereta tadi cukup menguras tenaga.
"Mari kita lanjutkan perjalanan, Pandora," ajak Pendekar Golok Baja seraya berjalan mendahului pelayannya.
Tanpa berkata-kata apa-apa lagi, Pandora mengikuti majikannya. Memang, perjalanan ditempat ini tidak bisa dilalui dengan berkuda. Apalagi dengan kereta kuda. Itulah sebabnya mengapa Pandora terpaksa menghancurkan kereta dan mengusir kuda-kuda itu.
Dengan langkah terhuyung-huyung dan sesekali diselingi batuk-batuk keras, Pendekar Golok Baja menerobos rerimbunan semak. Bahkan tak jarang tangan pendekar ini harus bekerja keras menguak rerimbunan semak-semak yang terlalu rapat.
Setelah melalui jalan berkelok-kelok, akhimya kedua orang itu tiba di sebuah lembah. Meskipun suasana malam remang-remang, tak jauh dari situ terlihat cukup jelas sebuah pondok berdinding bilik.
Pendekar Golok Baja segera mempercepat langkahnya begitu melihat pondok berdinding bilik itu. Dan Pandora pun terpaksa mempercepat langkahnya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini sebenarnya khawatir pada luka-luka parah yang diderita sang Majikan. Semestinya saat ini tidak boleh terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Tapi, ара dayanya? Pendekar Golok Baja tidak mau dibantah.
Так lama kemudian, Pendekar Golok Baja telah berada di depan pondok berdinding bilik itu.
Ток, tok, tok...!
Terdengar suara ketukan, begjtu kepalan tangan laki-laki gagah itu menyentuh pintu. Pelahan saja pintu itu diketuk. Tapi karena suasana malam sangat hening, ketukan tadi terdengar agak keras.
Kriiit...!
Terdengar suara berderit tajam begitu pintu terbuka. Disusul munculnya seraut wajah keriput dari balik pintu. Kekagetan terbayang jelas di wajah orang Itu begitu melihat siapa yang telah mengetuk pintu. Memang suasana malam remang-remang, tapi cukup untuk menerangi wajah Pendekar Golok Baja.
Mendadak saja tubuh Pendekar Golok Baja ambruk. Kalau saja kakek pemilik pondok tidak cepat-cepat menangkap, tentu tubuh laki-laki gagah bertambang bauk lebat itu sudah mencium tanah.
"Prajasena...?!" pekik kakek pemilikpondok. Suaranya jelas mengandung kekagetan.
"Tuan...!" ucap Pandora seraya bergegas mennburu tubuh junjungannya.
Melihat ada orang lain memburu tubuh Pendekar Golok Baja, kakek pemilik pondok baru sadar kalau orang yang dipanggilnya Prajasena tidak datang sendirian. Perhatiannya segera dialihkan pada kakek berwajah bintik-bintik putih itu. Sesaat lamanya sepasang mata pemilik pondok menatap penuh selidik.
"Kau... kau..., Pandora?" tanya kakek pemilik pondok dengan wajah berseri-seri.
Walaupun cukup lama Pandora dan Pendekar Golok Baja pergi meninggalkan Hutan Karimun, namun wajah kedua orang itu masih tertanam dalam ingatannya. Sehingga tidak aneh kalau pemilik pondok yang temyata adalah paman guru Pendekar Golok Baja masih mengenal Pandora.
"Benar, Tuan," jawab kakek berwajah bintik-bintik putih seraya menganggukkan kepala. Pandora memanggil paman guru majikan mudanya dengan panggilan tuan juga.
"Ара yang terjadi, Pandora? Katakanlah...! Ada ара dengan Prajasena? Siapa yang telah melakukan semua ini padanya?" kakek pemilik pondok memberondong Pandora dengan pertanyaan bertubi-tubi,
"Ceritanya cukup panjang, Tuan," sahut Pandora.
"Apakah tidak lebih baik kalau Tuan memeriksanya dulu?"
"Akh..., kau benar," sambut paman guru Pendekar Golok Baja. Kini perhatiannya segera dialihkan pada Prajasena yang berada dalam pelukannya.
"Mari masuk dulu, Pandora," ajak kakek pemilik pondok pada pelayan setia Pendekar Golok Baja alias Prajasena, seraya mendahului masuk ke dalam.
Tanpa berkata apa-apa, Pandora segera melangkah masuk. Dan begitu telah berada di dalam, dia segera menutup pintu pondok. Paman guru Pendekar Golok Baja membawa Prajasena ke dalam kamar khusus semadi yang cukup luas. Kemudian tubuh yang tergolek pingsan itu direbahkan perlahan-lahan di atas balai-balai bambu. Sepasang alis yang sudah berwarna dua itu tampak berkerut ketika memeriksa sekujur tubuh Prajasena.
"Racun...," desah kakek pemilik pondok seraya menatap tajam wajah Pandora yang berdiri di sampingnya Sepasang mata paman guru Prajasena penuh pertanyaan.
"Hhh...!"
Pandora hanya menghela napas berat. Pandang mata penuh pertanyaan dari pemilik pondok sama sekali tidak dihiraukannya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini terlalu mengkhawatirkan keadaan majikan mudanya. Yang ada dalam benaknya hanyalah, bagaimana secepatnya memberi pertolongan kepada Prajasena. Masalah-masalah lain bisa diurus belakangan.
Kakek pemilik pondok rupanya dapat merasakan ара yang dirasakan Pandora. Dihampirinya pelayan setia itu sambil tersenyum lebar, kemudian menepuk-nepuk bahunya.
"Tenanglah, Pandora. Pertanyaanku tadi bukan karena aku tidak ingin buru-buru menolong Prajasena. Tapi agar aku tahu jenis racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Kau bisa mengerti, bukan?"
Pandora menganggukkan kepala pertanda mengerti. Diam-diam dia memaki kebodohan dirinya sendiri. Kakek di depannya ini adalah paman guru dan sekaligus guru majikan mudanya. Dan belum tentu kasih sayang kakek itu pada Prajasena kalah besar jlka dibandingkan dengan kasih sayangnya.
Lagi pula, mana mungkin seorang guru tidak khawatir bila muridnya sedang sekarat? Maki Pandora dalam hati.
"Katakanlah, dengan siapa Prajasena bertarung?" tanya kakek pemilik pondok lagi.
"Tuan bertarung dengan Sepasang Iblis Gurun Banjar," sahut pelayan setia Pendekar Golok Baja pelan.
"Sepasang Iblis Gurun Banjar...," ulang paman guru Prajasena dengan alis berkerut.
"Jadi, dugaanku tepat rupanya...."
"Tuan sudah tahu...?" tanya Pandora setengah tak percaya.
Kakek pemilik pondok hanya menganggukkan kepala. "Aku sudah menduganya begitu memeriksa lukanya. Pertanyaanku hanya untuk memastikan saja. Dan, temyata dugaanku memang benar. Hhh...! Sungguh tidak kusangka kalau Sepasang Iblis Gurun Banjar bentrok dengan Prajasena."
"Dalam salah satu pengembaraannya, tuan telah membunuh murid Sepasang Iblis Gurun Banjar," ucap Pandora menjelaskan.
"Pantas...," sambut kakek pemilik pondok setengah mendesah. "Rupanya mereka ingin membalas dendam...."
"Benar, Tuan."
"Pandora, kumohon kau jangan memanggilku dengan panggilan tuan lagi. Gatal telingaku rasanya. Panggil aku dengan namaku saja, Wirageni."
"Baiklah, Tu... eh, Eyang." Pandora sengaja menyebut eyang karena penduduk dusun di sekitar Hutan Karimun memanggil paman guru Prajasena ini dengan sebutan Eyang Wirageni.
"Sekarang kau tenanglah, Pandora. Atau... lebih baik kau berjaga-jaga. Barangkali ada tamu-tamu tak diundang yang datang kemari. Malam ini aku punya firasat tidak enak, Pandora."
Ucapan Eyang Wirageni membuat Pandora gelisah. Laki-laki berwajah bintik-bintik putih ini kenal betul siapa Eyang Wirageni. Beliau adalah seorang tokoh sakti yang memiliki perasaan amat tajam.
"Apakah pengobatan majikanku butuh waktu cukup lama, Eyang?" tanya Pandora ingin tahu.
"Lama sih, tidak. Tapi, pengobatan ini butuh tenaga dalam yang amat kuat. Dan sudah pasti akan menguras seluruh tenagaku. Perlu kau ketahui, Pandora. Prajasena terkena racun yang berupa uap. Jadi, aku harus mengobatinya dengan cara mendorong uap beracun itu dengan tenaga dalamku. Kau tahu, Pandora, dalam keadaan begitu, mudah saja bagi seseorang membunuhku. Dan kalau pengobatan sudah kumulai, di tanganmulah terfetak keselamatanku dan majikanmu. Mengerti, Pandora?"
"Mengerti, Eyang," sahut Pandora sambil menganggukkan kepala.
Diam-diam jantung kakek berwajah bintik-bintik putih ini berdebar tegang, mengingat tugas berat yang harus diemban. Dua nyawa orang-orang yang sangat dihormati, kini bergantung kepadanya. Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa, harap pelayan setia ini dalam hati.
"Bersiaplah, Pandora. Aku akan mulai"
Setelah berkata demikian, Eyang Wirageni naik kebalai-balai bambu, kemudian duduk bersila. Perlahan-lahan tubuh Pendekar Golok Baja yang tertelentang, dibalikkan jadi tertelungkup. Kemudian dibukanya pakaian pendekar itu. Eyang Wirageni menarik napas dalam-dalam seraya menarik tangannya yang terkepal di kedua sisi pinggang .
"Ssshhh...!"
Terdengar suara berdesis begitu Eyang Wirageni mengeluarkan udara yang tadi disedot. Berbarengan dengan hembusan napas melalui muiut, kedua tangannуа didorong ke depan dengan jari-jari terbuka.
Lambat dan perlahan-lahan kedua tangan keriput itu didorong. Dan setelah itu, Eyang Wirageni kembali mengepalkan kedua tangannya ke sisi pinggang. Kali ini tanpa mengambil napas.
Kemudian kedua telapak tangannya ditempelkan pada punggung Pendekar Golok Baja. Kakek pemilik pondok ini mulai menyalurkan tenaga dalam untuk mengusir uap racun yang mengendap di tubuh murid keponakannya.
Pandora mulai pasang sikap waspada. Buntalan kain hitam yang sejak tadi dijinjing, ditaruh di bawah balai-balai bambu. Sepasang matanya diedarkan berkeliling, ke setiap sudut ruangan.
Kakek berwajah bintik-bintik putih ini merasa waktu berjalan begitu lambat Sebentar-sebentar sepasang matanya dialihkan, antara sekeliling ruangan dan dua sosok tubuh yang berada di balai-balai bambu. Dan kini dilihatnya bintik-bintik keringat mulai membasahi wajah Eyang Wirageni. Mula-mula hanya sedikit, tapi semakin lama semakin banyak. Sampai akhimya sekujur tubuh kakek itu mandi keringat.
Sepasang mata Pandora membelalak begitu melihat uap tipis berwarna kehijauan, keluar dari kedua lubang hidung majikan mudanya. Pelayan setia ini tahu kalau asap itu adalah uap racun yang berhasil didesak keluar oleh hawa murni Eyang Wirageni.
Semakin lama uap itu semakin bertambah tebal. Dan Pandora melihat kedua tangan Eyang Wirageni yang ditempel di punggung Pendekar Golok Baja mulai bergetar. Tahu kalau Eyang Wirageni telah mengerahkan tenaga dalam melewati batas, diam-diam jantung Pandora berdebar tegang.
Mendadak wajah Pandora berubah ketika pendengarannya yang tajam mendengar suara banyak langkah kaki mendekati pondok. Suara langkah yang ringan, pertanda pemiliknya memiliki ilmu meringankan tubuh cukup tinggj.
Karuan saja suara-suara tadi membuat pelayan setia ini jadi gelisah. Ternyata dugaan Eyang Wirageni tidak meleset, banyak tamu-tamu tak diundang yang berkunjung ke pondok ini.
Dengan gerak mata kalap, Pandora melirik ke arah dua sosok yang masih berada di atas balai-balai bambu. Tampak olehnya kalau asap yang keluar dari lubang hidung sang Majikan sudah menipis. Berarti tak lama lagi seluruh uap racun akan musnah dari tubuh majikannya.
Sementara itu, kedua tangan Eyang Wirageni semakin keras bergetar. Samar-samar tampak asap tipis mengepul dari kepala Eyang Wirageni yang wajahnya merah padam. Kian lama uap itu kian menebal.
Pandora khawatir andaikan racun dalam diri Pendekar Golok Baja belum habis keluar, tapi Eyang Wirageni sudah roboh kehabisan tenaga. Di saat-saat yang menegangkan itu, tiba-tiba....
Brakkk...!
Terdengar suara berderak keras dari arah luar kamar. Tanpa melihat pun Pandora tahu kalau pintu depan pondok telah dibobol orang. Jantung pelayan setia ini semakin berdebar keras karena tahu kalau tamu-tamu tak diundang sudah masuk di dalam pondok.
Meskipun begitu, Pandora tetap tidak bergeming dari tempatnya. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini tidak berani meninggalkan kedua tubuh tak berdaya Itu begitu saja. Khawatir kalau begitu ditinggalkan, tamu tak diundang masuk ke kamar dan membunuh kedua orang itu.
Kekhawatiran itulah yang membuat Pandora mengambil keputusan menunggu kedatangan tamu-tamu tak diundang di dalam kamar semadi Eyang Wirageni. Kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu kalau tamu tak diundang itu akhimya akan mencari majikannya ke ruangan ini juga.
Dan dugaan Pandora tidak meleset! Beberapa saat setelah suara berderak keras terdengar, tahu-tahu di ambang pintu kamar, berdiri beberapa sosok berpakaian serba merah. Sekelebatan saja kakek berwajah bintik-bintik putih ini tahu jumlah mereka. Lima orang, desis Pandora.
Lima orang berpakaian serba merah melangkah memasuki pintu kamar. Sekilas pandangan mereka melirik ke arah balai-balai bambu. Так sadar kakek berwajah bintik-bintik putih itu pun mengikuti arah lirikan tamu-tamu tak diundang Dan diam-diam pelayan setia ini bersyukur dalam hati melihat Eyang Wirageni telah menyelesaikan pengobatan. Dan kini dilihatnya tengah bersemadi memulihkan tenaga dalam yang terkuras tadi.
"Serahkan pusaka Iblis Hitam. Dan kami berjanji tidak akan mengganggu kalian," ujar salah seorang tamu tak diundang. Pandang matanya ditujukan pada Pandora.
"Siapa kalian? Dan ара yang kalian maksudkan dengan pusaka Iblis Hitam?" Tanya Pandora, pura-pura tidak mengerti.
"Kami adalah Lima Alap-alap Bukit Jabal," jawab laki-laki berkumis melintang, yang tadi meminta pusaka peninggalan Iblis Hitam. "Dan kami tidak suka main-main. Cepat serahkan pusaka itu. Atau..., kami ambil dengan kekerasan?!"
Pandora tidak mau bersikap main-main lagi. Sebelum tamu-tamu tak diundang lain berdatangan kemari, kelima orang ini harus cepat dibungkam.
"Kalian boleh mengambil pusaka itu setelah melangkahi mayatku!" tandas Pandora tegas.
"Keparat!" teriak laki-laki berkumis melintang, sambil melesat ke depan.
Kaki kanannya dikibaskan ke arah pelayan setia Pendekar Golok Baja seraya memutar tubuh.
Wuttt...!
Angin cukup keras berkesiut mengiringi tibanya serangan laki-laki berkumis melintang.
Pandora menyeringai lebar. Dari deru angin yang mengiringi tibanya serangan, kekuatan tenaga dalam lawan sudah bisa diukurnya. Мака tanpa ragu-ragu lagi tangan kirinya segera diangkat melindungi pelipis sambil melontarkan tendangan kaki kanannya ke arah lutut kiri laki-laki berkumis melintang itu.
Plakkk...! Tukkk!
"AkK..!"
Laki-laki berkumis melintang yang juga merupakan orang pertama dari Lima Alap-alap Bulat Jabal berseru tertahan. Kaki kanannya yang tertangkis tangan kakek berwajah bintik-bintik putih tadi terasa sakit dan ngilu bukan main.
Dan belum lagi rasa sakit itu hllang, tendangan lawan telah mengenai lutut kirinya. Kontan sambungan tulang lututnya terlepas.
Melihat dalam segebrakan saja rekan mereka telah dipecundangi, tentu saja keempat Alap-alap Bukit Jabal terkejut bukan main. Salah seorang dari mereka bergegas menangkap tubuh sahabatnya yang terhuyung-huyung.
"Kiгапуа kau memiliki kepandaian juga, Kakek Peot," ucap salah seorang Alap-alap Bukit Jabal yang bermata plcak.
Selesai berkata begitu, diterjangnya Pandora dengan serangan bertubi-tubi, Dan belum lagi serangan laki-laki bermata picak tiba, empat kawannya yang kini telah tahu kalau kakek berwajah bintik-bintik putih bukan orang sembarangan, segera ikut menyerang. Так terkecuali laki-laki berkumis melintang Dengan agak terpincang-pincang, dia Ikut membantu serangan saudara-saudaranya.
Dan sekali menyerang, Lima Alap-alap Bukit Jabal teah menggunakan senjata andalan. Mereka semua menggunakan sepasang pedang pendek berwama hitam mengkilat. Suara berkesiutan nyaring dari udara yang terbesel kelebatan pedang-pedang pendek Lima Alap-alap Bukit Jabal memecah keheningan malam.
Pandora yang memang sudah memutuskan untuk tidak bertindak setengah-setengah, segera mencabut sebatang golok pendek berwarna putih mengkilat.
Srattt!
Seketika memancar sinar terang menyilaukan mata ketika golok pendek keluar dari sarungnya. Dan secepat golok itu tercabut, secepat itu pula Pandora menangkis hujan serangan tamu tak diundang.
Trang, trang, tranggg...!
Terdengar suara berdentangan nyaring yang diiringi pijaran bunga-bunga api di udara, tatkala golok pelayan setia itu berbenturan dengan senjata-senjata para pengeroyok. Suara-suara pekikan kaget segera terdengar dari mulut Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Bahkan bukan itu saja, tubuh-tubuh merekapun terhuyung-huyung ke belakang. Jelas kalau tenaga dalam yang dimiliki kelima pemburu pusaka peninggalan Iblis Hitam itu masih jauh di bawah tenaga dalam Pandora.
Dan selagi tubuh-tubuh mereka terhuyung-huyung, pelayan setia Pendekar Golok Baja itu kembali menyabetkan golok berwarna putih mengkilat. Dan....
Srattt, srattt...!
"Aaakh...! Aaa...!
Terdengar jeritan-jeritan panjang menyayat begitu golok Pandora membabat leher Lima Alap-alap Bukit Jabal satu persatu. Darah segar kontan bermuncratan dari leher mereka yang terkoyak lebar. Seketika itu juga tubuh kelima orang itu roboh ke tanah. Setelah menggelepar-gelepar sesaat, akhimya diam tidak bergerak lagi. Tragis sekali nasib Lima Alap-alap Bukit Jabal, mereka tewas di tangan orang yang sama sekali tidak terkenaL
"Hhh...!"
Terdengar helaan napas berat dari mulut Pandora. Wajah pelayan setia Prajasena ini tidak tampak gembira meskipun melihat kelima lawan telah tewas. Bahkan terlihat penyesalan mendalam di wajah tua yang berbintik-bintik putih itu.
Memang sebenarnya Pandora menyesal sekali telah membunuh Lima Alap-alap Bukit Jabal. Kalau saja bukan karena terpaksa, belum tentu kakek ini tega membunuh kelima orang itu. Tapi setidak-tidaknya kematian Lima Alap-alap Bukit Jabal Itu telah mengurangi momok yang selama ini menakut-nakuti penduduk sekitar bukit itu.
Setelah memandangi lima sosok mayat yang tergolek bermandi darah sejenak, Pandora segera menyarungkan kembali goloknya. Так lupa menyeka dulu darah yang menodai batang golok dengan pakaian salah seorang mayat Lima Alap-alap Bukit Jabal.
Trekkk!
Kini golok putih berkilat telah masuk kembali ke dalam sarungnya. Baru setelah itu, Pandora mengalihkan perhatian ke arah dua sosok tubuh yang tergolek di atas balai-balai bambu.
Ditatapnya Eyang Wirageni yang masih khusuk bersemadi penuh perhatian. Terdengar desahan lembut berirama tetap setiap kali paman guru majikannya itu menarik dan mengeluarkan napas.
Sesaat kemudian, Pandora mengalihkan pandangan ke arah tubuh junjungan mudanya yang masih tergolek di balai-balai bambu. Desah napas lembut tapi teratur menandakan kalau Pendekar Golok Baja tengah tertidur lelap.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment