Tampak gigi Dewa Arak bergemeletuk. Seluruh kemampuannya telah dikeluarkan, tapi tak juga mampu mendesak kakek di hadapannya ini. Seratus jurus telah berlalu, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Sebetulnya dengan keistimewaan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak beberapa kali hampir berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke sekujur tubuh lawan. Dan memang, setiap pukulan itu selalu meleset dan tergelincir setiap mengenai sasaran. Itulah keistimewaan aji 'Welut Putih' yang mampu membuat kulit tubuh menjadi licin sekali.
Prabu Nalanda mengerutkan alisnya. Kecepatan gerak kedua tokoh sakti itu, membuatnya tidak dapat melihat jelas jalannya pertarungan. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan keunguan dan kekuningan yang kadang saling belit, tapi kadang terpisah.
Ki Temula sejak tadi tengah menunggu-nunggu Ki Kerpala menggunakan ilmu 'Sirna Raga'. Tapi, sampai sekian lamanya menanti, ternyata tak juga nampak ada tanda-tanda akan dikeluarkan. Jadi, rupanya kakak seperguruannya ini tidak berhasil mendapat-kan ilmu dahsyat itu.
"Bagaimana, Ki? Siapa kira-kira yang akan menang?" tanya Prabu Nalanda sambil menolehkan kepalanya menatap Ki Temula.
"Dewa Arak memang luar biasa," desah kakek kecil kurus itu sambil menggeleng-gelengkan kepala, penuh kekaguman.
"Jadi, kakak seperguruanmu itu akan dapat dikalahkannya?" tanya Prabu Nalanda berseri-seri.
Ada nada kekaguman dalam nada suaranya. Prabu Nalanda sukar membayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu pemuda yang berjuluk Dewa Arak itu. Padahal Ki Temula saja tidak mampu menghadapi Ki Kerpala.
"Sebenarnya Dewa Arak memang mampu mengalahkannya. Gusti Prabu. Tapi kakak seperguruan hamba memiliki aji 'Welut Putih'. Sehingga, setiap pukulan atau tendangan Dewa Arak tidak berarti apa-apa," jelas Ki Temula.
"Jadi... bagaimana, Ki?"
Ki Temula menghela napas panjang. "Rasanya sulit bagi pemuda itu untuk mengalahkannya. Sayang, dia masih kurang berpengalaman dalam menghadapi ilmu-ilmu aneh, Gusti. Padahal, dia memiliki ilmu yang dapat melumpuhkan aji 'Welut Putih' itu."
"Ahhh... , jadi ... " suara Prabu Nalanda terputus di tengah jalan.
"Yahhh.... Kita hanya tinggal menunggu waktu saja, Gusti. Mudah-mudahan Dewa Arak berhasil menemukan caranya. Kalau tidak, mungkin dia akan tewas di tangan kakak seperguruan hamba. Lambat laun Dewa Arak akan kelelahan karena setiap serangannya hanya sia-sia. Sementara kakak seperguruan hamba nampaknya menyimpan tenaga, karena jarang melakukan serangan. Hamba dapat menduga siasatnya. Dia menunggu Dewa Arak kelelahan, lalu baru turun tangan Dan saat itu, tidak begitu sulit untuk menjatuhkan Dewa Arak"
"Kau tahu, bagaimana seharusnya Dewa Arak menghadapi lawannya, Ki?" tanya Prabu Nalanda yang gelisah mendengar uraian panjang lebar kakek kecil kurus itu.
Ki Temula menganggukkan kepalanya,
"Cepat beritahukan padanya, Ki," pinta Prabu Nalanda penuh gairah.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba membantah perintah Gusti. Tapi hamba tidak bisa bersikap seperti itu. Biar mereka bertarung secara jantan."
"Ahhh...!"
Prabu Nalanda menghela napas. Alasan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu memang bisa diterima dan masuk akal. Maka, raja ini tidak mendesak lagi. Dialihkan pandangannya ke depan, ke arah pertarungan.
Sementara itu pertarungan sudah berlangsung hampir seratus tujuh puluh lima jurus. Dan selama itu, entah berapa kali pukulan, tendangan, dan gebukan guci Dewa Arak bersarang di sekujur tubuh Ki Kerpala, namun tanpa hasil apa-apa.
Sementara setiap serangan Ki Kerpala, belum ada satu pun yang mengenai sasarannya. Memang dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'-nya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan setiap serangan itu.
Pada jurus keseratus delapan puluh, Dewa Arak melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Sementara Ki Kerpala yang sejak menginjak jurus keseratus tujuh puluh lima, telah merasakan kalau serangan-serangan Dewa Arak telah mengendur, segera melompat memburu. Tidak dibiarkan lawannya memulihkan tenaga.
"Hiyaaa...!"
Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. Sengaja sekarang ini serangannya agak dikendurkan, supaya lawan mengira dirinya lelah. Padahal, berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Arya hampir tidak pernah lelah. Setiap kali tenaganya mengendur, dia segera meminum araknya, dan seketika itu juga pulih kembali. Dia berlaku seperti itu untuk menghilangkan kewaspadaan lawan.
Ternyata usahanya berhasil, karena Ki Kerpala sudah mulai terpancing dan memburunya penuh emosi. Di saat itulah, kedua tangan Dewa Arak dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wuuusss... !
Angin berhawa panas berhembus keras ke arah tubuh Ki Kerpala yang tengah berada di udara. Kakek berwajah hitam ini berteriak ngeri. Dan....
Bresss... !
"Aaa...!"
Pukulan jarak jauh itu telak bersarang di dada Ki Kerpala. Seketika itu juga tubuhnya terhempas jauh ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan tanpa nyawa. Sekujur tubuhnya hangus. Tampak darah bercucuran dari mulut, hidung, dan telinganya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega. Diangkatnya guci arak yang sejak tadi digenggam ke atas kepala, lalu dituangkan arak itu ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki tenggorokannya.
Prabu Nalanda dan Ki Temula bergegas menghampiri Dewa Arak. "Terima kasih atas semua pertolonganmu, Arya," ucap Prabu Nalanda tanpa ragu-ragu.
"Ah! Jangan berterima kasih padaku, Gusti Prabu. Berterima kasihlah pada Gusti Allah," elak Dewa Arak.
Memang pemuda ini sudah bisa menduga kalau orang yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang raja.
"Apa yang kau katakan tidak salah, Arya. Tapi, sebagai seorang yang telah menerima pertolongan begitu besar, wajar kalau aku memberi sesuatu, sebagai tanda syukurku atas pertolongan Gusti Allah," ujar Prabu Nalanda, sambil tersenyum lebar.
"Tapi, Gusti.. ," Arya mencoba membantah.
"Kau harus menerimanya, Arya. Atau kau ingin mempermalukanku di hadapan seluruh prajuritku?"
Dewa Arak tidak bisa membantah lagi.
"Nah! Sebagai tanda terima kasihku pada Gusti Allah, kau akan kunikahkan dengan putriku, Arya," tegas Prabu Nalanda penuh wibawa, namun terdengar buru-buru.
"Hah...?!" Dewa Arak melengak kaget, ucapan Prabu Nalanda itu tak ubahnya petir di tengah hari. "Tapi, Gusti Prabu... "
"Ingat, Arya. Jangan membantah perintah seorang raja...!" potong Prabu Nalanda cepat.
Dewa Arak tertegun kebingungan. Dengan pandangan mata seperti orang bodoh, ditatapnya Ki Temula. Tapi kakek itu malah mengangkat bahu, lalu menghindari pandangan mata Dewa Arak.
Di saat gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh, dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri seorang gadis berpakaian putih. Wajahnya tampak cantik laksana dewi. Rambutnya panjang terurai.
"Ayahanda... " sapa gadis itu lirih sambil memberi hormat pada Raja Bojong Gading itu.
Prabu Nalanda menoleh ke arah Ki Temula. "Inilah wanita yang kuceritakan itu, Ki. Wanita perkasa yang telah menyelamatkanku beberapa minggu lalu, dari tangan maut Peri Muka Seratus ketika aku tengah berburu." jelas Raja Bojong Gading itu. "Sebagai tanda terima kasihku, kujadikan dia anakku."
"Melati...," desah Dewa Arak terkejut. Sepasang matanya terbelalak melihat gadis yang dicintainya itu telah menjadi putri seorang raja.
"Inilah putriku yang akan kujodohkan denganmu, Arya. Bagaimana, kau suka?" tanya Prabu Nalanda sambil tersenyum dikulum.
Dia telah tahu ada pertalian cinta antara Melati, anak angkatnya dengan si Dewa Arak. Maka dia memang tidak ragu-ragu lagi untuk memutuskan demikian.
Wajah Dewa Arak seketika memerah. Sungguh terbuka sekali Prabu Nalanda mengajukan pertanyaan seperti itu. Bahkan Melati sendiri sampai menundukkan wajahnya yang mendadak menyemburat merah.
"Itu..., eh! Anu... terserah Gusti Prabu saja...," jawab Dewa Arak terbata-bata.
"Jawablah sebagaimana seorang lelaki memberi jawaban, Arya," tegur Prabu Nalanda dengan suara penuh wibawa.
Kian merah wajah Dewa Arak "Hamba setuju, Gusti Prabu." tegas Arya Buana
"Bagus! itu baru jawaban seorang lelaki sejati!" puji Raja Bojong Gading ini dengan wajah berseri-seri.
"Tapi hamba punya satu permintaan, Gusti," sambung Dewa Arak cepat.
"Apa itu, Arya? Katakan saja, jangan malu-rnalu."
"Hamba ingin usul agar pernikahan dilaksanakan nanti saja. Masih banyak tugas yang harus kukerjakan, Gusti Prabu."
Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya, tapi sesaat kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Disadari banyak orang yang membutuhkan pertolongan Dewa Arak.
"Aku tidak keberatan, Arya."
"Ayahanda...," ucap Melati yang sejak tadi menundukkan kepalanya. Suaranya pelan sekali.
"Ada apa, Anakku," sahut Prabu Nalanda.
"Maafkan Ananda, Ayahanda. Ananda datang terlambat sehingga tidak bisa membantu Ayahanda menghadapi para pengacau itu."
"Tidak mengapa, Anakku. Ayah pun memakluminya," jawab Prabu Nalanda sambil tersenyum.
Memang, Raja Bojong Gading ini tahu kalau selama ini Melati sibuk mencari Dewa Arak, setelah didengarnya Arya ada di Kotaraja Kerajaan Bojong Gading ini.
"Terima kasih, Ayahanda," ucap Melati seraya memberi hormat. "Ayahanda.... "
"Ada apa lagi, Anakku? Katakanlah...," tegas Prabu Nalanda, masih dengan senyum di bibir.
"Hamba mohon pamit, Ayahanda. Hamba khawatir akan keselamatan guru hamba."
Prabu Nalanda tersenyum maklum. Diusap-usapnya rambut Melati yang hitam tebal itu. "Pergilah, Anakku. Tapi ingat, jangan lupakan Ayahmu ini. Sekali-sekali mampirlah kemari."
"Akan ku usahakan, Ayahanda," sambut Melati gembira mendapat persetujuan itu.
"Hamba juga mohon diri, Gusti Prabu," pamit Dewa Arak pula.
"Silakan, Arya. O, ya. Kalau sempat, sering-seringlah datang kemari!"
Dewa Arak hanya menganggukkan kepalanya, lalu segera melesat dari situ bersama Melati. Dalam sekejap saja tubuh keduanya sudah lenyap meninggalkan para prajurit dan perwira Kerajaan Bojong Gading.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari, Melati?" tanya Dewa Arak yang agak bingung melihat kemunculan Melati di sini.
Melati menghela napas. Wajahnya yang semula cerah, mendadak muram. Tentu saja hal ini membuat Arya merasa tidak enak.
"Sejak kita datang waktu itu, sebenarnya Kakek sudah terluka dalam. Tapi, Kakek tidak ingin aku mengetahuinya. Sampai akhirnya aku mengetahuinya sendiri. Maka cepat-cepat aku pergi mencarimu, karena kaulah yang telah membawa obat pulung itu."
Arya terdiam. Ingatannya melayang pada Ki Julaga yang selalu dipanggil kakek oleh gadis itu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak, dalam episode "Cinta Sang Pendekar") Perlahan diambilnya sebuah gulungan kain dari jepitan sabuk di pinggangnya, kemudian diberikan pada Melati.
"O ya, Kang. Kita kan sekarang sudah dijodohkan!?" ujar Melati, tak tahan menyimpan perasaannya sejak tadi. Ditatapnya lekat-lekat wajah Dewa Arak.
"Benar! Seharusnya aku berterima kasih pada Prabu Nalanda. Kalau saja tidak ada beliau, mungkin aku belum resmi dijodohkan denganmu," goda Arya.
"Apa?!" pekik Melati. Sepasang matanya melotot "Enaknya!"
Setelah berkata demikian, dicubitnya pinggang Arya, namun tidak keras. Arya malah membiarkannya dan menangkap tangan gadis itu. Pelahan dibawanya tangan itu ke mulutnya, dan dikecup lembut. Lama sekali baru dilepaskan kecupan itu.
"Pergilah, Melati. Kakek menantikanmu," ucap Arya pelan, namun cukup jelas terdengar.
"Tapi aku masih kangen, Kang," rajuk Melati sambil merangkul pinggang Arya.
"Ya. Tapi di lain saat Kita kan masih bisa bertemu lagi," bujuk Arya dengan perasaan haru melihat Melati sangat membutuhkannya.
Setelah puas melepas kerinduan, akhirnya Melati meninggalkan tempat itu. "Nanti kau mampir ya, Kang...," teriak Melati di kejauhan.
"Pasti... , pasti Melati," teriak Arya pula sambil memperhatikan kepergian gadis yang disayanginya itu.
Setelah bayangan Melati lenyap di kejauhan, Arya baru melangkahkan kakinya untuk menyongsong tugas-tugas lain yang telah menunggunya. Tugas selaku seorang pendekar pembela keadilan.
SELESAI
Sebetulnya dengan keistimewaan Jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak beberapa kali hampir berhasil menyarangkan pukulan atau tendangan ke sekujur tubuh lawan. Dan memang, setiap pukulan itu selalu meleset dan tergelincir setiap mengenai sasaran. Itulah keistimewaan aji 'Welut Putih' yang mampu membuat kulit tubuh menjadi licin sekali.
Prabu Nalanda mengerutkan alisnya. Kecepatan gerak kedua tokoh sakti itu, membuatnya tidak dapat melihat jelas jalannya pertarungan. Yang terlihat hanyalah kelebatan bayangan keunguan dan kekuningan yang kadang saling belit, tapi kadang terpisah.
Ki Temula sejak tadi tengah menunggu-nunggu Ki Kerpala menggunakan ilmu 'Sirna Raga'. Tapi, sampai sekian lamanya menanti, ternyata tak juga nampak ada tanda-tanda akan dikeluarkan. Jadi, rupanya kakak seperguruannya ini tidak berhasil mendapat-kan ilmu dahsyat itu.
"Bagaimana, Ki? Siapa kira-kira yang akan menang?" tanya Prabu Nalanda sambil menolehkan kepalanya menatap Ki Temula.
"Dewa Arak memang luar biasa," desah kakek kecil kurus itu sambil menggeleng-gelengkan kepala, penuh kekaguman.
"Jadi, kakak seperguruanmu itu akan dapat dikalahkannya?" tanya Prabu Nalanda berseri-seri.
Ada nada kekaguman dalam nada suaranya. Prabu Nalanda sukar membayangkan, sampai di mana ketinggian ilmu pemuda yang berjuluk Dewa Arak itu. Padahal Ki Temula saja tidak mampu menghadapi Ki Kerpala.
"Sebenarnya Dewa Arak memang mampu mengalahkannya. Gusti Prabu. Tapi kakak seperguruan hamba memiliki aji 'Welut Putih'. Sehingga, setiap pukulan atau tendangan Dewa Arak tidak berarti apa-apa," jelas Ki Temula.
"Jadi... bagaimana, Ki?"
Ki Temula menghela napas panjang. "Rasanya sulit bagi pemuda itu untuk mengalahkannya. Sayang, dia masih kurang berpengalaman dalam menghadapi ilmu-ilmu aneh, Gusti. Padahal, dia memiliki ilmu yang dapat melumpuhkan aji 'Welut Putih' itu."
"Ahhh... , jadi ... " suara Prabu Nalanda terputus di tengah jalan.
"Yahhh.... Kita hanya tinggal menunggu waktu saja, Gusti. Mudah-mudahan Dewa Arak berhasil menemukan caranya. Kalau tidak, mungkin dia akan tewas di tangan kakak seperguruan hamba. Lambat laun Dewa Arak akan kelelahan karena setiap serangannya hanya sia-sia. Sementara kakak seperguruan hamba nampaknya menyimpan tenaga, karena jarang melakukan serangan. Hamba dapat menduga siasatnya. Dia menunggu Dewa Arak kelelahan, lalu baru turun tangan Dan saat itu, tidak begitu sulit untuk menjatuhkan Dewa Arak"
"Kau tahu, bagaimana seharusnya Dewa Arak menghadapi lawannya, Ki?" tanya Prabu Nalanda yang gelisah mendengar uraian panjang lebar kakek kecil kurus itu.
Ki Temula menganggukkan kepalanya,
"Cepat beritahukan padanya, Ki," pinta Prabu Nalanda penuh gairah.
"Maaf, Gusti Prabu. Bukannya hamba membantah perintah Gusti. Tapi hamba tidak bisa bersikap seperti itu. Biar mereka bertarung secara jantan."
"Ahhh...!"
Prabu Nalanda menghela napas. Alasan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu memang bisa diterima dan masuk akal. Maka, raja ini tidak mendesak lagi. Dialihkan pandangannya ke depan, ke arah pertarungan.
Sementara itu pertarungan sudah berlangsung hampir seratus tujuh puluh lima jurus. Dan selama itu, entah berapa kali pukulan, tendangan, dan gebukan guci Dewa Arak bersarang di sekujur tubuh Ki Kerpala, namun tanpa hasil apa-apa.
Sementara setiap serangan Ki Kerpala, belum ada satu pun yang mengenai sasarannya. Memang dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'-nya, tidak sulit bagi Dewa Arak untuk mengelakkan setiap serangan itu.
Pada jurus keseratus delapan puluh, Dewa Arak melentingkan tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara. Sementara Ki Kerpala yang sejak menginjak jurus keseratus tujuh puluh lima, telah merasakan kalau serangan-serangan Dewa Arak telah mengendur, segera melompat memburu. Tidak dibiarkan lawannya memulihkan tenaga.
"Hiyaaa...!"
Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu. Sengaja sekarang ini serangannya agak dikendurkan, supaya lawan mengira dirinya lelah. Padahal, berkat keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', Arya hampir tidak pernah lelah. Setiap kali tenaganya mengendur, dia segera meminum araknya, dan seketika itu juga pulih kembali. Dia berlaku seperti itu untuk menghilangkan kewaspadaan lawan.
Ternyata usahanya berhasil, karena Ki Kerpala sudah mulai terpancing dan memburunya penuh emosi. Di saat itulah, kedua tangan Dewa Arak dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Pukulan Belalang'!
Wuuusss... !
Angin berhawa panas berhembus keras ke arah tubuh Ki Kerpala yang tengah berada di udara. Kakek berwajah hitam ini berteriak ngeri. Dan....
Bresss... !
"Aaa...!"
Pukulan jarak jauh itu telak bersarang di dada Ki Kerpala. Seketika itu juga tubuhnya terhempas jauh ke belakang, dan jatuh berdebuk di tanah dalam keadaan tanpa nyawa. Sekujur tubuhnya hangus. Tampak darah bercucuran dari mulut, hidung, dan telinganya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas lega. Diangkatnya guci arak yang sejak tadi digenggam ke atas kepala, lalu dituangkan arak itu ke dalam mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu memasuki tenggorokannya.
Prabu Nalanda dan Ki Temula bergegas menghampiri Dewa Arak. "Terima kasih atas semua pertolonganmu, Arya," ucap Prabu Nalanda tanpa ragu-ragu.
"Ah! Jangan berterima kasih padaku, Gusti Prabu. Berterima kasihlah pada Gusti Allah," elak Dewa Arak.
Memang pemuda ini sudah bisa menduga kalau orang yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang raja.
"Apa yang kau katakan tidak salah, Arya. Tapi, sebagai seorang yang telah menerima pertolongan begitu besar, wajar kalau aku memberi sesuatu, sebagai tanda syukurku atas pertolongan Gusti Allah," ujar Prabu Nalanda, sambil tersenyum lebar.
"Tapi, Gusti.. ," Arya mencoba membantah.
"Kau harus menerimanya, Arya. Atau kau ingin mempermalukanku di hadapan seluruh prajuritku?"
Dewa Arak tidak bisa membantah lagi.
"Nah! Sebagai tanda terima kasihku pada Gusti Allah, kau akan kunikahkan dengan putriku, Arya," tegas Prabu Nalanda penuh wibawa, namun terdengar buru-buru.
"Hah...?!" Dewa Arak melengak kaget, ucapan Prabu Nalanda itu tak ubahnya petir di tengah hari. "Tapi, Gusti Prabu... "
"Ingat, Arya. Jangan membantah perintah seorang raja...!" potong Prabu Nalanda cepat.
Dewa Arak tertegun kebingungan. Dengan pandangan mata seperti orang bodoh, ditatapnya Ki Temula. Tapi kakek itu malah mengangkat bahu, lalu menghindari pandangan mata Dewa Arak.
Di saat gawat itu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh, dan tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri seorang gadis berpakaian putih. Wajahnya tampak cantik laksana dewi. Rambutnya panjang terurai.
"Ayahanda... " sapa gadis itu lirih sambil memberi hormat pada Raja Bojong Gading itu.
Prabu Nalanda menoleh ke arah Ki Temula. "Inilah wanita yang kuceritakan itu, Ki. Wanita perkasa yang telah menyelamatkanku beberapa minggu lalu, dari tangan maut Peri Muka Seratus ketika aku tengah berburu." jelas Raja Bojong Gading itu. "Sebagai tanda terima kasihku, kujadikan dia anakku."
"Melati...," desah Dewa Arak terkejut. Sepasang matanya terbelalak melihat gadis yang dicintainya itu telah menjadi putri seorang raja.
"Inilah putriku yang akan kujodohkan denganmu, Arya. Bagaimana, kau suka?" tanya Prabu Nalanda sambil tersenyum dikulum.
Dia telah tahu ada pertalian cinta antara Melati, anak angkatnya dengan si Dewa Arak. Maka dia memang tidak ragu-ragu lagi untuk memutuskan demikian.
Wajah Dewa Arak seketika memerah. Sungguh terbuka sekali Prabu Nalanda mengajukan pertanyaan seperti itu. Bahkan Melati sendiri sampai menundukkan wajahnya yang mendadak menyemburat merah.
"Itu..., eh! Anu... terserah Gusti Prabu saja...," jawab Dewa Arak terbata-bata.
"Jawablah sebagaimana seorang lelaki memberi jawaban, Arya," tegur Prabu Nalanda dengan suara penuh wibawa.
Kian merah wajah Dewa Arak "Hamba setuju, Gusti Prabu." tegas Arya Buana
"Bagus! itu baru jawaban seorang lelaki sejati!" puji Raja Bojong Gading ini dengan wajah berseri-seri.
"Tapi hamba punya satu permintaan, Gusti," sambung Dewa Arak cepat.
"Apa itu, Arya? Katakan saja, jangan malu-rnalu."
"Hamba ingin usul agar pernikahan dilaksanakan nanti saja. Masih banyak tugas yang harus kukerjakan, Gusti Prabu."
Prabu Nalanda mengernyitkan keningnya, tapi sesaat kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Disadari banyak orang yang membutuhkan pertolongan Dewa Arak.
"Aku tidak keberatan, Arya."
"Ayahanda...," ucap Melati yang sejak tadi menundukkan kepalanya. Suaranya pelan sekali.
"Ada apa, Anakku," sahut Prabu Nalanda.
"Maafkan Ananda, Ayahanda. Ananda datang terlambat sehingga tidak bisa membantu Ayahanda menghadapi para pengacau itu."
"Tidak mengapa, Anakku. Ayah pun memakluminya," jawab Prabu Nalanda sambil tersenyum.
Memang, Raja Bojong Gading ini tahu kalau selama ini Melati sibuk mencari Dewa Arak, setelah didengarnya Arya ada di Kotaraja Kerajaan Bojong Gading ini.
"Terima kasih, Ayahanda," ucap Melati seraya memberi hormat. "Ayahanda.... "
"Ada apa lagi, Anakku? Katakanlah...," tegas Prabu Nalanda, masih dengan senyum di bibir.
"Hamba mohon pamit, Ayahanda. Hamba khawatir akan keselamatan guru hamba."
Prabu Nalanda tersenyum maklum. Diusap-usapnya rambut Melati yang hitam tebal itu. "Pergilah, Anakku. Tapi ingat, jangan lupakan Ayahmu ini. Sekali-sekali mampirlah kemari."
"Akan ku usahakan, Ayahanda," sambut Melati gembira mendapat persetujuan itu.
"Hamba juga mohon diri, Gusti Prabu," pamit Dewa Arak pula.
"Silakan, Arya. O, ya. Kalau sempat, sering-seringlah datang kemari!"
Dewa Arak hanya menganggukkan kepalanya, lalu segera melesat dari situ bersama Melati. Dalam sekejap saja tubuh keduanya sudah lenyap meninggalkan para prajurit dan perwira Kerajaan Bojong Gading.
"Bagaimana kau bisa sampai kemari, Melati?" tanya Dewa Arak yang agak bingung melihat kemunculan Melati di sini.
Melati menghela napas. Wajahnya yang semula cerah, mendadak muram. Tentu saja hal ini membuat Arya merasa tidak enak.
"Sejak kita datang waktu itu, sebenarnya Kakek sudah terluka dalam. Tapi, Kakek tidak ingin aku mengetahuinya. Sampai akhirnya aku mengetahuinya sendiri. Maka cepat-cepat aku pergi mencarimu, karena kaulah yang telah membawa obat pulung itu."
Arya terdiam. Ingatannya melayang pada Ki Julaga yang selalu dipanggil kakek oleh gadis itu (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak, dalam episode "Cinta Sang Pendekar") Perlahan diambilnya sebuah gulungan kain dari jepitan sabuk di pinggangnya, kemudian diberikan pada Melati.
"O ya, Kang. Kita kan sekarang sudah dijodohkan!?" ujar Melati, tak tahan menyimpan perasaannya sejak tadi. Ditatapnya lekat-lekat wajah Dewa Arak.
"Benar! Seharusnya aku berterima kasih pada Prabu Nalanda. Kalau saja tidak ada beliau, mungkin aku belum resmi dijodohkan denganmu," goda Arya.
"Apa?!" pekik Melati. Sepasang matanya melotot "Enaknya!"
Setelah berkata demikian, dicubitnya pinggang Arya, namun tidak keras. Arya malah membiarkannya dan menangkap tangan gadis itu. Pelahan dibawanya tangan itu ke mulutnya, dan dikecup lembut. Lama sekali baru dilepaskan kecupan itu.
"Pergilah, Melati. Kakek menantikanmu," ucap Arya pelan, namun cukup jelas terdengar.
"Tapi aku masih kangen, Kang," rajuk Melati sambil merangkul pinggang Arya.
"Ya. Tapi di lain saat Kita kan masih bisa bertemu lagi," bujuk Arya dengan perasaan haru melihat Melati sangat membutuhkannya.
Setelah puas melepas kerinduan, akhirnya Melati meninggalkan tempat itu. "Nanti kau mampir ya, Kang...," teriak Melati di kejauhan.
"Pasti... , pasti Melati," teriak Arya pula sambil memperhatikan kepergian gadis yang disayanginya itu.
Setelah bayangan Melati lenyap di kejauhan, Arya baru melangkahkan kakinya untuk menyongsong tugas-tugas lain yang telah menunggunya. Tugas selaku seorang pendekar pembela keadilan.
SELESAI
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment