Brakkk...!
Sebuah meja bundar besar dari batu marmer, kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang, menghantamnya.
"Bodoh! Dungu kalian...!" teriaknya keras.
Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada dua sosok tubuh yang terduduk dengan kepala tunduk.
"Sagar! Gurat! Ceritakan sejelas-jelasnya semua yang terjadi! Memalukan! Kalian pulang seperti seekor anjing dipukul ekornya!"
Dua sosok tubuh yang tengah mendapat pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat. Dan kini mereka baru berani mengangkat kepalanya. Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan kejadian yang menimpa mereka.
"Seorang pemuda? Kira-kira berapa usianya?" tanya si kumis melintang yang ternyata Toga.
Suaranya terdengar mulai melunak. Terbayang kembali di benaknya, seorang anak berusia sekitar sebelas tahun yang lolos dari tangan mautnya beberapa tahun yang lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang mengalahkan Gurat adalah anak itu, anak Ki Panjar.
Gurat mengerutkan alisnya. Sejenak ia mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."
Toga menolehkan kepalanya ke belakang, menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang tengah duduk di sebuah kursi. Keningnya bekernyit.
"Apakah bukan anak Ki Panjar, Kang Gajula?" tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi berkecamuk di benaknya.
Agak heran juga hatinya melihat sikap kakaknya kali ini. Laki-laki yang wajahnya mirip kera itu membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya sepasang matanya terpaku pada wajah si kumis melintang itu, lalu perlahan kepalanya menggeleng.
"Aku yakin bukan...," sahut Gajula dengan suara mengambang.
"Lalu siapa?" tanya Toga putus asa.
"Lebih jelasnya akan kita ketahui nanti. Tapi ciri-ciri pemuda yang dikemukakan Sagar, mengingatkan aku pada seorang tokoh muda yang namanya belum lama ini menggemparkan dunia persilatan."
Toga mengerutkan alisnya. "Siapa yang kau maksud, Kang?"
Gajula sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah dialihkan pandangannya pada Sagar.
"Ada satu ciri yang mungkin belum kau ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.
Sagar mengerutkan alisnya, mencoba mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap saja tidak menemukan lagi ciri yang lainnya.
"Bagaimana dengan kau, Gurat?" tanya Gajula pada si wajah totol-totol hitam.
Tapi setelah sekian lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Gurat berusaha keras mengerahkan segenap ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan kepalanya juga.
"Hhh...!" Gajula menghela napas. "Mungkin aku salah. Tapi coba kalian ingat-ingat, apakah pemuda itu membawa guci arak?!"
"Guci?!" serentak Sagar dan Gurat berseru kaget.
Berbareng keduanya saling pandang, dan kontan teringat sesuatu. Memang di punggung pemuda berambut putih keperakan itu tergantung sebuah guci arak.
"Ya! Guci arak!" tegas Gajula. "Bagaimana? Ada atau tidak?"
Sagar menganggukkan kepalanya.
"Katakan yang jelas! Atau kau ingin menjadi orang bisu selamanya?!" sentak Gajula. Dingin dan datar suaranya.
Wajah Sagar kontan memucat. Tenggorokannya terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh ini adalah kakak kandung Toga. Dulu, seperti yang didengar dari cerita Toga, Gajula tidak selihai sekarang. Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian luar biasa. Tapi bukan karena kepandaiannya yang membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si wajah kera ini memiliki sifat yang luar biasa kejam!
"Benar, Kang," jawab Gurat dengan suara gemetar.
"Betul dugaanku!" teriak Gajula keras.
"Siapa orang itu, Kang?" tanya Toga penasaran.
"Pernah dengar julukan Dewa Arak?!" kata Gajula balik bertanya.
Toga mengerutkan alisnya.
"Sedikit" Gajula menghela napas dalam-dalam.
"Kau ketinggalan berita, Toga. Julukan Dewa Arak terkenal sekali. Banyak tokoh tangguh yang telah roboh di tangannya. Aku ragu, apakah mampu menandinginya."
Dahi Toga mengernyit. Agak heran hatinya melihat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di manakah kelihaian tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu? Batin Toga terus menduga-duga.
"Mengapa belum apa-apa sudah khawatir, Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang sudah pernah bertarung dengannya?"
Gajula menggelengkan kepalanya.
"Melihat dia bertarung?"
Lagi-lagi si wajah kera menggeleng.
"Lalu, mengapa khawatir, Kang? Berita yang tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa Arak mampu mengungguli Kakang, tapi mustahil akan mampu menghadapi kita berdua. Aku tidak percaya kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah kupelajari dengan tekun darimu, dapat dikalahkannya."
Si wajah kera termenung beberapa saat lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang dikatakan Toga. Tapi baru saja Gajula menarik napas lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk. Napasnya tampak terengah-engah.
"Ada orang mengamuk di luar, Tuan," lapor orang itu terputus-putus.
"Keparat!" Toga berteriak memaki. "Kalian tidak mampu meringkusnya?! Apa saja yang kalian mampu, heh?!"
"Ampun, Tuan. Mereka memiliki kepandaian tinggi."
"Mereka?" berkerut alis Toga. "Berapa jumlahnya?"
"Dua orang, Tuan."
Belum juga habis ucapan orang itu, tubuh Toga dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kemarahan yang hebat telah membakar hati mereka. Belum juga urusan mengenai Dewa Arak selesai, kini muncul kembali urusan lain.
Sagar dan Gurat saling pandang sebelum akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang yang tadi melapor.
Toga dan Gajula berdiri di ambang pintu. Di depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar tembok tinggi, terlihat dua sosok tubuh yang tengah mengamuk. yang seorang adalah pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kekar. Wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah Sapta.
Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil ramping, dan rambutnya digelung ke atas. Wajahnya cantik. Apalagi dengan pakaian warna jingga yang dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat Pengemis Tongkat Merah.
Toga dan Gajula memperhatikan dua orang itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu muda-mudi asuhan Pengemis Tongkat Merah terus mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan masing-masing. Ke mana senjata itu berkelebat, pastilah di tempat itu ada sesosok tubuh yang rubuh diiringi suara pekik lengking kesakitan.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian terdengar saling susul Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata kemerahan. Di wajah mereka terpancar kemarahan yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun bergemeletuk menahan geram.
"Keparat!" teriak Toga geram. "Mundur...!"
Belasan sosok tubuh yang sedang mengeroyok itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis Tongkat Merah itu membiarkan saja. Terlebih Sapta. Keroco-keroco itu memang bukanlah tujuannya. Toga dan Gajulalah yang dicari-cari! Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh berada di depannya.
"Kau masih ingat padaku, pengkhianat?!" bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari telunjuknya menuding ke arah Toga. Keras dan kasar suaranya.
Seketika merah wajah Toga, mendengar pertanyaan yang bernada kasar itu. Apalagi melihat jari yang menuding ke arahnya.
"Untuk apa aku mengingat anjing buduk sepertimu?!" balas Toga tak kalah kasar.
Sapta menggertakkan giginya. "Aku putra Ki Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan menagih hutang!"
"Ha ha ha...!" Toga tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa perlu bersusah payah mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga akan kutuntaskan pekerjaanku sepuluh tahun yang lalu."
"Tutup mulutmu, pengkhianat! Sekarang kau harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah ibu-ku!"
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar dan kekar ini melompat menerjang. Jari-jari kedua tangannya terbuka dan saling bersilang menyerang ke arah dada.
Wut...!
Angin keras berhembus mengiringi tibanya serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi.
Toga hanya mendengus. Kepandaian yang dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Selama itu Gajula telah membimbingnya. Sehingga kini kepandaian yang dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga bukanlah tokoh kosong.
"Haaat...!"
Kepala Desa Gebang ini berteriak keras. Kedua tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya.
Prattt..!
Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya tubuh Sapta tergetar hebat, sementara tubuh Toga terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main.
Wajah Toga langsung berubah. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki Panjar ini sedemikian hebatnya. Padahal selama sepuluh tahun, ia sudah berlatih keras di bawah bimbingan kakaknya.
Sapta yang memang menyimpan dendam hebat, tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda itu cepat melompat, dan laksana seekor burung garuda ia menerkam lawannya.
Kepala Desa Gebang ini kaget. Tapi untunglah kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru dilempar tubuhnya ke depan, dan kemudian bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta mengenai tempat kosong.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Sapta mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat itu pula kembali menerjang Toga.
Tapi Toga yang sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya, tidak berani bertindak gegabah. Dan kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru.
Begitu melihat Sapta telah menyerang lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika diserangnya pula orang berwajah kera yang berada di sebelah si kumis melintang.
Seperti halnya Sapta, Kami juga membuka serangannya dengan serangan kedua tangannya. Posisi jari-jarinya terbuka dan saling bersilang. Persis seperti yang dilakukan Toga, Gajula pun melakukan tindakan serupa untuk menangkis serangan Kami.
Prattt...!
Tubuh Kami terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Dari hasil benturan kedua pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki Gajula masih lebih unggul sedikit.
Gajula sadar kalau wanita di hadapannya adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu tidak mau bersikap sungkan-sungkan. Begitu tubuh gadis itu terhuyung mundur, segera dia bergerak mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan bertubi-tubi ke depan.
Plak! Plak! Wusss...!
Tendangan pertama yang berupa tendangan lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher dapat ditangkis Kami. Dan tendangan ketiga, berupa kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan membungkukkan tubuh. Tak lama kemudian, Kami dan Gajula pun sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.
Sementara itu di arena lain, Toga tampak mulai terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Memang bila dibanding Sapta, ia masih kalah segala-galanya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Bahkan menjelang jurus ketiga puluh, Toga hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya sesekali balas menyerang. Itu pun hanya untuk mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda berhidung melengkung ini.
Toga menggeram. Disadari kalau lamakelamaan dirinya akan roboh di tangan pemuda ini. Semakin lama keadaannya kian terjepit. Kini Kepala Desa Gebang itu benar-benar hanya mampu bermain mundur.
Berbeda dengan Sapta, keadaan yang dialami Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini kewalahan menghadapi hujan serangan Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah Toga. Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah kera dengan serangannya yang tak kalah dahsyat.
Keringat dingin sebesar-besar biji jagung bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama keadaannya semakin terjepit. Bahkan sudah beberapa kali tubuhnya terpontang-panting.
Pada jurus ketiga puluh, sebuah sapuan kaki Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh telentang.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, putra Ki Panjar ini menerkam tubuh Toga. Mata si kumis melintang terbelalak lebar. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu atau menangkisnya, karena begitu tibatiba datangnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, dan belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar. Sekitar satu setengah kali manusia sewajarnya.
Rambutnya panjang, lebat, dan terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur badan bagian depannya nampak dipenuhi bulu, karena si raksasa memang bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana berwarna hitam sebatas lutut. Di bagian lehernya terdapat sebuah kalung yang rantainya tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia. Sedangkan mata kalung itu dibuat dari kepala manusia dewasa.
Secepat berada di situ, secepat itu pula si raksasa menggerak-gerakkan perlahan tangannya. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut.
Ketika berada di situ, raksasa tersebut menggerakkan tangannya perlahan saja ke arah Sapta. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta seperti dipukul oleh godam yang sangat kuat dan terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.
Brakkk...!
Lontaran pada tubuh pemuda itu terhenti ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang.
Murid Pengemis Tongkat Merah ini berusaha bangkit. Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu terlihat menggigil keras. Ada cairan merah kental yang mengalir dari sudut bibirnya. Kelihatannya Sapta terluka dalam.
"Ha ha ha...!"
Kembali si raksasa tertawa tergelak. Sapta menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya bukanlah tandingan manusia setengah raksasa ini. Hatinya mendadak berdebar tegang ketika teringat penuturan gurunya tentang seorang tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti itu.
Diperhatikannya si raksasa yang masih saja tertawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan tangan dan kakinya tampak melingkar gelang yang terbuat dari tulang-tulang jari tangan manusia.
"Raksasa Rimba Neraka...," desis Sapta.
Pengemis Tongkat Merah memang pernah menceritakan tentang tokoh sesat yang kejam dan gemar makan daging manusia. Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu tinggal di sebuah hutan yang amat jauh letaknya dari Desa Gebang ini.
Sebuah hutan yang penuh bahaya maut. Penuh binatang besar, tanaman beracun, lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba Neraka.
"Grrrh...!" si, raksasa menggeram. Tampak dua buah taring pada bagian sudut-sudut mulutnya. "Dagingmu pasti empuk sekali, Anak Muda!"
Sambil berkata demikian, si raksasa yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambat-lambat menghampiri Sapta. Setiap langkahnya menimbulkan getaran keras di tanah.
Tubuh pemuda tinggi besar ini menggigil keras. Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung menghadapi kematian yang begitu mengerikan, dimakan hidup-hidup, rasa takutnya pun muncul.
"Kakang...!"
"Hiyaaa...!"
Kami menjerit melihat bahaya maut yang mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya menghadang Raksasa Rimba Neraka. Sadar akan kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera mencabut pedangnya.
Singgg...!
Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa. Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa.
"Jangan, Kami! Cepat kau pergi selamatkan diri!"
Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak memperingatkan.
Tapi Kami adalah gadis yang keras hati. Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti. Maka peringatan Sapta tidak digubrisnya.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali tertawa bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang Kami tiba.
Kreppp...!
Tanpa mengalami kesulitan apa-apa, pedang itu sudah dicengkeramnya.
"Akh...!"
Kami menjerit kaget. Sekuat tenaga gadis itu membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa itu.
Tapi betapapun segenap tenaganya telah dikerahkan, tetap saja pedangnya tak mampu dilepaskan dari cengkeraman tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka hanya tertawa-tawa saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Sementara di hadapannya, Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.
“Tidak kusangka, kalau malam ini aku mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan cantik. Ha ha ha...!"
Wajah Gajula berseri-seri ketika tadi melihat kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang kakek yang memiliki penampilan mengerikan itu adalah gurunya!
Namun demikian, di samping rasa gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan gurunya berarti membuat laki-laki kasar itu kehilangan kesempatan untuk menikmati tubuh montok Kami. Gajula tahu persis manusia macam apa gurunya. Di samping gemar makan daging manusia, kakek ini pun gemar terhadap wanita!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba Neraka telah balas membetot. Dan karena tenaga yang dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa menahan.
"Hiyaaa...!"
Putri Pengemis Tongkat Merah terpaksa melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga betotan, gadis Itu bersalto di udara.
Raksasa Rimba Neraka mendengus. Secepat kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.
Tappp...!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika pergelangan kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik tangannya kembali, tubuh gadis itu pun terbawa turun.
"Hup...!"
Tubuh molek Kami kini jatuh tepat di pelukan Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, tangan si raksasa telah lebih dulu bergerak menotok
Tukkk...!
"Oh...!"
Sekujur tubuh Kami lumpuh seketika. Dan sambil tertawa terkekeh-kekeh si raksasa mulai menjarah sekujur tubuh Kami. Dengan rakusnya, mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir Kami, begitu kasar dan buas.
"Oh...! Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih Kami.
Gadis ini mulai menyadari adanya ancaman yang mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini membuat ia takut bukan main. Ciuman kasar raksasa itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis yang memuakkan keluar dari mulut dan hidung raksasa di hadapannya ini, membuat gadis itu jadi ingin muntah.
Tapi orang seperti Raksasa Rimba Neraka, mana sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya, rintihan para korbannya tak ubahnya sebuah rintihan kenikmatan, yang membuatnya kian bergairah.
Sebuah meja bundar besar dari batu marmer, kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang, menghantamnya.
"Bodoh! Dungu kalian...!" teriaknya keras.
Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada dua sosok tubuh yang terduduk dengan kepala tunduk.
"Sagar! Gurat! Ceritakan sejelas-jelasnya semua yang terjadi! Memalukan! Kalian pulang seperti seekor anjing dipukul ekornya!"
Dua sosok tubuh yang tengah mendapat pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat. Dan kini mereka baru berani mengangkat kepalanya. Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan kejadian yang menimpa mereka.
"Seorang pemuda? Kira-kira berapa usianya?" tanya si kumis melintang yang ternyata Toga.
Suaranya terdengar mulai melunak. Terbayang kembali di benaknya, seorang anak berusia sekitar sebelas tahun yang lolos dari tangan mautnya beberapa tahun yang lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang mengalahkan Gurat adalah anak itu, anak Ki Panjar.
Gurat mengerutkan alisnya. Sejenak ia mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."
Toga menolehkan kepalanya ke belakang, menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang tengah duduk di sebuah kursi. Keningnya bekernyit.
"Apakah bukan anak Ki Panjar, Kang Gajula?" tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi berkecamuk di benaknya.
Agak heran juga hatinya melihat sikap kakaknya kali ini. Laki-laki yang wajahnya mirip kera itu membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya sepasang matanya terpaku pada wajah si kumis melintang itu, lalu perlahan kepalanya menggeleng.
"Aku yakin bukan...," sahut Gajula dengan suara mengambang.
"Lalu siapa?" tanya Toga putus asa.
"Lebih jelasnya akan kita ketahui nanti. Tapi ciri-ciri pemuda yang dikemukakan Sagar, mengingatkan aku pada seorang tokoh muda yang namanya belum lama ini menggemparkan dunia persilatan."
Toga mengerutkan alisnya. "Siapa yang kau maksud, Kang?"
Gajula sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah dialihkan pandangannya pada Sagar.
"Ada satu ciri yang mungkin belum kau ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.
Sagar mengerutkan alisnya, mencoba mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap saja tidak menemukan lagi ciri yang lainnya.
"Bagaimana dengan kau, Gurat?" tanya Gajula pada si wajah totol-totol hitam.
Tapi setelah sekian lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Gurat berusaha keras mengerahkan segenap ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan kepalanya juga.
"Hhh...!" Gajula menghela napas. "Mungkin aku salah. Tapi coba kalian ingat-ingat, apakah pemuda itu membawa guci arak?!"
"Guci?!" serentak Sagar dan Gurat berseru kaget.
Berbareng keduanya saling pandang, dan kontan teringat sesuatu. Memang di punggung pemuda berambut putih keperakan itu tergantung sebuah guci arak.
"Ya! Guci arak!" tegas Gajula. "Bagaimana? Ada atau tidak?"
Sagar menganggukkan kepalanya.
"Katakan yang jelas! Atau kau ingin menjadi orang bisu selamanya?!" sentak Gajula. Dingin dan datar suaranya.
Wajah Sagar kontan memucat. Tenggorokannya terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh ini adalah kakak kandung Toga. Dulu, seperti yang didengar dari cerita Toga, Gajula tidak selihai sekarang. Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian luar biasa. Tapi bukan karena kepandaiannya yang membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si wajah kera ini memiliki sifat yang luar biasa kejam!
"Benar, Kang," jawab Gurat dengan suara gemetar.
"Betul dugaanku!" teriak Gajula keras.
"Siapa orang itu, Kang?" tanya Toga penasaran.
"Pernah dengar julukan Dewa Arak?!" kata Gajula balik bertanya.
Toga mengerutkan alisnya.
"Sedikit" Gajula menghela napas dalam-dalam.
"Kau ketinggalan berita, Toga. Julukan Dewa Arak terkenal sekali. Banyak tokoh tangguh yang telah roboh di tangannya. Aku ragu, apakah mampu menandinginya."
Dahi Toga mengernyit. Agak heran hatinya melihat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di manakah kelihaian tokoh yang berjuluk Dewa Arak itu? Batin Toga terus menduga-duga.
"Mengapa belum apa-apa sudah khawatir, Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang sudah pernah bertarung dengannya?"
Gajula menggelengkan kepalanya.
"Melihat dia bertarung?"
Lagi-lagi si wajah kera menggeleng.
"Lalu, mengapa khawatir, Kang? Berita yang tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa Arak mampu mengungguli Kakang, tapi mustahil akan mampu menghadapi kita berdua. Aku tidak percaya kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah kupelajari dengan tekun darimu, dapat dikalahkannya."
Si wajah kera termenung beberapa saat lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang dikatakan Toga. Tapi baru saja Gajula menarik napas lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk. Napasnya tampak terengah-engah.
"Ada orang mengamuk di luar, Tuan," lapor orang itu terputus-putus.
"Keparat!" Toga berteriak memaki. "Kalian tidak mampu meringkusnya?! Apa saja yang kalian mampu, heh?!"
"Ampun, Tuan. Mereka memiliki kepandaian tinggi."
"Mereka?" berkerut alis Toga. "Berapa jumlahnya?"
"Dua orang, Tuan."
Belum juga habis ucapan orang itu, tubuh Toga dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kemarahan yang hebat telah membakar hati mereka. Belum juga urusan mengenai Dewa Arak selesai, kini muncul kembali urusan lain.
Sagar dan Gurat saling pandang sebelum akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang yang tadi melapor.
Toga dan Gajula berdiri di ambang pintu. Di depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar tembok tinggi, terlihat dua sosok tubuh yang tengah mengamuk. yang seorang adalah pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kekar. Wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah Sapta.
Sedangkan yang seorang lagi adalah gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil ramping, dan rambutnya digelung ke atas. Wajahnya cantik. Apalagi dengan pakaian warna jingga yang dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat Pengemis Tongkat Merah.
Toga dan Gajula memperhatikan dua orang itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu muda-mudi asuhan Pengemis Tongkat Merah terus mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan masing-masing. Ke mana senjata itu berkelebat, pastilah di tempat itu ada sesosok tubuh yang rubuh diiringi suara pekik lengking kesakitan.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian terdengar saling susul Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata kemerahan. Di wajah mereka terpancar kemarahan yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun bergemeletuk menahan geram.
"Keparat!" teriak Toga geram. "Mundur...!"
Belasan sosok tubuh yang sedang mengeroyok itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis Tongkat Merah itu membiarkan saja. Terlebih Sapta. Keroco-keroco itu memang bukanlah tujuannya. Toga dan Gajulalah yang dicari-cari! Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh berada di depannya.
"Kau masih ingat padaku, pengkhianat?!" bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari telunjuknya menuding ke arah Toga. Keras dan kasar suaranya.
Seketika merah wajah Toga, mendengar pertanyaan yang bernada kasar itu. Apalagi melihat jari yang menuding ke arahnya.
"Untuk apa aku mengingat anjing buduk sepertimu?!" balas Toga tak kalah kasar.
Sapta menggertakkan giginya. "Aku putra Ki Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan menagih hutang!"
"Ha ha ha...!" Toga tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa perlu bersusah payah mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga akan kutuntaskan pekerjaanku sepuluh tahun yang lalu."
"Tutup mulutmu, pengkhianat! Sekarang kau harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah ibu-ku!"
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar dan kekar ini melompat menerjang. Jari-jari kedua tangannya terbuka dan saling bersilang menyerang ke arah dada.
Wut...!
Angin keras berhembus mengiringi tibanya serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi.
Toga hanya mendengus. Kepandaian yang dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun yang lalu. Selama itu Gajula telah membimbingnya. Sehingga kini kepandaian yang dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga bukanlah tokoh kosong.
"Haaat...!"
Kepala Desa Gebang ini berteriak keras. Kedua tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya.
Prattt..!
Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya tubuh Sapta tergetar hebat, sementara tubuh Toga terhuyung dua langkah ke belakang. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main.
Wajah Toga langsung berubah. Sungguh tidak disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki Panjar ini sedemikian hebatnya. Padahal selama sepuluh tahun, ia sudah berlatih keras di bawah bimbingan kakaknya.
Sapta yang memang menyimpan dendam hebat, tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda itu cepat melompat, dan laksana seekor burung garuda ia menerkam lawannya.
Kepala Desa Gebang ini kaget. Tapi untunglah kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru dilempar tubuhnya ke depan, dan kemudian bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta mengenai tempat kosong.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Sapta mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat itu pula kembali menerjang Toga.
Tapi Toga yang sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya, tidak berani bertindak gegabah. Dan kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru.
Begitu melihat Sapta telah menyerang lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika diserangnya pula orang berwajah kera yang berada di sebelah si kumis melintang.
Seperti halnya Sapta, Kami juga membuka serangannya dengan serangan kedua tangannya. Posisi jari-jarinya terbuka dan saling bersilang. Persis seperti yang dilakukan Toga, Gajula pun melakukan tindakan serupa untuk menangkis serangan Kami.
Prattt...!
Tubuh Kami terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu langkah ke belakang. Dari hasil benturan kedua pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki Gajula masih lebih unggul sedikit.
Gajula sadar kalau wanita di hadapannya adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu tidak mau bersikap sungkan-sungkan. Begitu tubuh gadis itu terhuyung mundur, segera dia bergerak mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan bertubi-tubi ke depan.
Plak! Plak! Wusss...!
Tendangan pertama yang berupa tendangan lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher dapat ditangkis Kami. Dan tendangan ketiga, berupa kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan membungkukkan tubuh. Tak lama kemudian, Kami dan Gajula pun sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.
Sementara itu di arena lain, Toga tampak mulai terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Memang bila dibanding Sapta, ia masih kalah segala-galanya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun dalam hal ilmu meringankan tubuh.
Bahkan menjelang jurus ketiga puluh, Toga hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya sesekali balas menyerang. Itu pun hanya untuk mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda berhidung melengkung ini.
Toga menggeram. Disadari kalau lamakelamaan dirinya akan roboh di tangan pemuda ini. Semakin lama keadaannya kian terjepit. Kini Kepala Desa Gebang itu benar-benar hanya mampu bermain mundur.
Berbeda dengan Sapta, keadaan yang dialami Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini kewalahan menghadapi hujan serangan Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah Toga. Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah kera dengan serangannya yang tak kalah dahsyat.
Keringat dingin sebesar-besar biji jagung bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama keadaannya semakin terjepit. Bahkan sudah beberapa kali tubuhnya terpontang-panting.
Pada jurus ketiga puluh, sebuah sapuan kaki Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh telentang.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, putra Ki Panjar ini menerkam tubuh Toga. Mata si kumis melintang terbelalak lebar. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan serangan itu atau menangkisnya, karena begitu tibatiba datangnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, dan belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh tinggi besar. Sekitar satu setengah kali manusia sewajarnya.
Rambutnya panjang, lebat, dan terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur badan bagian depannya nampak dipenuhi bulu, karena si raksasa memang bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana berwarna hitam sebatas lutut. Di bagian lehernya terdapat sebuah kalung yang rantainya tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia. Sedangkan mata kalung itu dibuat dari kepala manusia dewasa.
Secepat berada di situ, secepat itu pula si raksasa menggerak-gerakkan perlahan tangannya. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut.
Ketika berada di situ, raksasa tersebut menggerakkan tangannya perlahan saja ke arah Sapta. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta seperti dipukul oleh godam yang sangat kuat dan terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.
Brakkk...!
Lontaran pada tubuh pemuda itu terhenti ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang.
Murid Pengemis Tongkat Merah ini berusaha bangkit. Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu terlihat menggigil keras. Ada cairan merah kental yang mengalir dari sudut bibirnya. Kelihatannya Sapta terluka dalam.
"Ha ha ha...!"
Kembali si raksasa tertawa tergelak. Sapta menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya bukanlah tandingan manusia setengah raksasa ini. Hatinya mendadak berdebar tegang ketika teringat penuturan gurunya tentang seorang tokoh yang memiliki ciri-ciri seperti itu.
Diperhatikannya si raksasa yang masih saja tertawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan tangan dan kakinya tampak melingkar gelang yang terbuat dari tulang-tulang jari tangan manusia.
"Raksasa Rimba Neraka...," desis Sapta.
Pengemis Tongkat Merah memang pernah menceritakan tentang tokoh sesat yang kejam dan gemar makan daging manusia. Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu tinggal di sebuah hutan yang amat jauh letaknya dari Desa Gebang ini.
Sebuah hutan yang penuh bahaya maut. Penuh binatang besar, tanaman beracun, lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba Neraka.
"Grrrh...!" si, raksasa menggeram. Tampak dua buah taring pada bagian sudut-sudut mulutnya. "Dagingmu pasti empuk sekali, Anak Muda!"
Sambil berkata demikian, si raksasa yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambat-lambat menghampiri Sapta. Setiap langkahnya menimbulkan getaran keras di tanah.
Tubuh pemuda tinggi besar ini menggigil keras. Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung menghadapi kematian yang begitu mengerikan, dimakan hidup-hidup, rasa takutnya pun muncul.
"Kakang...!"
"Hiyaaa...!"
Kami menjerit melihat bahaya maut yang mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya menghadang Raksasa Rimba Neraka. Sadar akan kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera mencabut pedangnya.
Singgg...!
Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa. Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa.
"Jangan, Kami! Cepat kau pergi selamatkan diri!"
Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak memperingatkan.
Tapi Kami adalah gadis yang keras hati. Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti. Maka peringatan Sapta tidak digubrisnya.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali tertawa bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang Kami tiba.
Kreppp...!
Tanpa mengalami kesulitan apa-apa, pedang itu sudah dicengkeramnya.
"Akh...!"
Kami menjerit kaget. Sekuat tenaga gadis itu membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa itu.
Tapi betapapun segenap tenaganya telah dikerahkan, tetap saja pedangnya tak mampu dilepaskan dari cengkeraman tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka hanya tertawa-tawa saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Sementara di hadapannya, Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.
“Tidak kusangka, kalau malam ini aku mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan cantik. Ha ha ha...!"
Wajah Gajula berseri-seri ketika tadi melihat kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang kakek yang memiliki penampilan mengerikan itu adalah gurunya!
Namun demikian, di samping rasa gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan gurunya berarti membuat laki-laki kasar itu kehilangan kesempatan untuk menikmati tubuh montok Kami. Gajula tahu persis manusia macam apa gurunya. Di samping gemar makan daging manusia, kakek ini pun gemar terhadap wanita!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba Neraka telah balas membetot. Dan karena tenaga yang dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa menahan.
"Hiyaaa...!"
Putri Pengemis Tongkat Merah terpaksa melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga betotan, gadis Itu bersalto di udara.
Raksasa Rimba Neraka mendengus. Secepat kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.
Tappp...!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika pergelangan kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik tangannya kembali, tubuh gadis itu pun terbawa turun.
"Hup...!"
Tubuh molek Kami kini jatuh tepat di pelukan Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, tangan si raksasa telah lebih dulu bergerak menotok
Tukkk...!
"Oh...!"
Sekujur tubuh Kami lumpuh seketika. Dan sambil tertawa terkekeh-kekeh si raksasa mulai menjarah sekujur tubuh Kami. Dengan rakusnya, mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir Kami, begitu kasar dan buas.
"Oh...! Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih Kami.
Gadis ini mulai menyadari adanya ancaman yang mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini membuat ia takut bukan main. Ciuman kasar raksasa itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis yang memuakkan keluar dari mulut dan hidung raksasa di hadapannya ini, membuat gadis itu jadi ingin muntah.
Tapi orang seperti Raksasa Rimba Neraka, mana sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya, rintihan para korbannya tak ubahnya sebuah rintihan kenikmatan, yang membuatnya kian bergairah.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment