Brakkk...!
Pintu sebuah rumah kecil yang berdinding bilik, hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya. Diiringi suara hiruk pikuk, kepingan-kepingan pintu itu jatuh berderai di lantai.
Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang tengah terbaring di dipan bambu langsung terlonjak. Wajahnya kian memucat ketika melihat dua sosok tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.
Belum juga rasa kagetnya hilang, sosok tubuh tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang pintu, berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sengaja dibuat lebar-lebar, menampilkan kepongahannya.
"Tua bangka tidak tahu diuntung!" geram si kepala botak sambil melayangkan kakinya kembali menendang.
Krak!
Brakkk...!
"Aaakh...!"
Si kakek memekik kesakitan. Kaki salah satu dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan. Seketika itu juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama kakek itu.
Si kepala botak membungkukkan badan. Dan di saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas.
"Hekh...!"
Si kakek mengeluh tertahan, dan jalan napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh lebih kecil daripada tubuh si kepala botak, maka tubuhnya jadi seperti menggantung.
"Ampun.... Maafkan aku, Den Sagar. Aku tidak bisa bekerja.... Aku sedang sakit..., ampunkan aku...," ucap kakek itu tersendat-sendat.
"Hugh...!"
Ucapan si kakek terhenti ketika lutut si kepala botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah kakek itu seketika memerah, dan kedua bola matanya membeliak lebar. Sodokan pada perutnya membuat napasnya sesak seketika.
"Enak saja kau bicara! Ingat, Ki Marta! Kau sudah terima upahnya! Mau sakit, kek.... Mau mati, kek.... aku tidak peduli! Yang penting, kau harus bekerja seperti biasanya! Mengerti?!"
Ki Marta menelan ludah, lalu menganggukkan kepala berulang-ulang.
"Bagus!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu diturunkan. Tapi karena keadaan kakek itu yang memang sedang sakit, apalagi baru saja mendapat sodokan lutut yang amat keras, begitu diturunkan Ki Marta langsung sempoyongan dan jatuh berdebuk di lantai.
Melihat hal itu, Sagar menggeram. "Bangun, Ki Marta! Cepat...! Kita pergi sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam Sagar tak sabar.
Tubuh Ki Marta menggigil. Kedua tangannya bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua tangannya untuk bangkit. Tapi betapapun berusaha, kondisinya yang tidak memungkinkan menggagalkan usahanya.
Melihat hal ini Sagar menjadi tidak sabar. Untuk yang kesekian kalinya, kakinya kembali bergerak
Buk!
Dengan telak tendangan Sagar menghantam perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak, tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi meskipun demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan terguling-guling.
"Rupanya kau memang sudah bosan hidup, tua bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap akan mati dengan enak! Kau akan kusiksa dulu sebelum kubunuh!"
Setelah berkata demikian, Sagar bergerak menyusul tubuh kakek itu.
"Hup...!"
Dengan kaki, dicungkilnya tubuh terkapar yang berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di saat itu, sapuan kaki laki-laki berkepala botak menyambutnya.
Buk...!
Kini pinggul Ki Marta yang mendapat giliran. Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang berada di udara itu meluruk ke luar.
Brukkk...!
Tubuh kakek itu jatuh deras mencium tanah. Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk orang yang keras hati. Buktinya ia kembali berusaha bangkit. Darah segar menetes keluar dari sela-sela bibirnya ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.
"Hekh...!"
Ki Marta memekik tersendat. Dirasakan adanya sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan susah payah laki-laki tua itu menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa pemilik kaki itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa tergelak dari mulut orang yang menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya bertatapan dengan wajah tua renta itu. Seraut wajah kasar, bertotol-totol hitam. Gurat, namanya.
"Uhk... uh...."
Suara napas Ki Marta tersendat-sendat ketika kaki itu kian keras menekan.
"Ha ha ha...!" Sagar juga tertawa terbahak-bahak. "Rupanya kau pun tidak ingin ketinggalan, Adi Gurat!"
"Begitulah, Kang Sagar!" jawab si wajah totoltotol hitam yang bernama Gurat seraya kian menambahkan tenaga pada kakinya.
Karuan saja hal ini membuat napas Ki Marta kian tersendat-sendat
Tuk!
"Akh...!"
Tiba-tiba Gurat memekik. Ternyata sebuah kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah menghantam tulang kering kakinya yang tengah menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main, sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan tekanannya.
Laki-laki berwajah kasar itu kontan meloncat-loncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi kaki yang terkena sambitan kerikil itu. Sakit sekali rasanya.
"Keparat!"
Sagar yang juga melihat sambaran batu kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.
Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak darinya. Yang aneh pada diri pemuda itu adalah rambutnya yang meriap dan berwarna putih keperakan.
"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusan kami?!" bentak Sagar penuh ancaman.
"Aku tidak berniat mencampuri urusan kalian, tapi hanya menentang Kesewenang-wenangan yang terjadi di depan mataku!" jawab pemuda itu.
"Hm..., rupanya kau seorang pendekar?!" tanya si kepala botak itu. Nada suaranya penuh ejekan. Ia memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Merah wajah pemuda yang ternyata Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
"Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."
"Pergilah kau cepat, Anak Muda! Aku kasihan padamu! Sudah terlalu banyak pahlawan kesiangan yang membuang nyawa percuma di sini! Apakah kau ingin menambah jumlah mereka dengan membela kakek pemalas ini?!"
"Apa boleh buat!?" ujar Arya sambil mengangkat bahu. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!"
Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya, Gurat yang kini kakinya telah sembuh seperti sediakala, telah menerjangnya dengan pukulan keras dan bertubi-tubi.
Sekali lihat saja Dewa Arak telah mengetahui kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totol-totol hitam ini masih amat rendah.
Buk! Buk! Buk...!
Berkali-kali pukulan itu mendarat telak di sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak mengelak. Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani tubuhnya. Dengan tenaga dalam amat kuat dan disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran pukulan, semua pukulan Gurat tidak berarti apa-apa bagi Arya.
"Ah...!"
Gurat memekik kaget. Kedua tangannya terasa bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan gumpalan baja yang keras bukan main. Bahkan kini kedua kepalan tangannya menjadi bengkak-bengkak!
Melihat kekejaman Gurat yang menyiksa orang tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud memberi pelajaran cukup keras padanya. Setelah membiarkan lawan puas memukuli, tangan Arya bergerak cepat.
"Hugh...!"
Gurat memekik tertahan ketika pukulan Dewa Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk, dan perutnya terasa mulas. Untung saja Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan seluruhnya, tentu laki-laki berwajah totol-totol hitam itu tewas dengan dada remuk!
Dan kini Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak, menampar.
Plak...!
Telak sekali tamparan itu mendarat di pipi. Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh berdebuk di tanah. Rasa pusing yang amat sangat menyergap kepala laki-laki itu. Beberapa saat lamanya dia terduduk diam, tidak mampu bangkit kembali.
Sagar terperanjat sekali melihat kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian Gurat, hanya sedikit di bawahnya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat kawannya begitu mudah dirubuhkan.
Sebaliknya Gurat merasa penasaran bukan main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu mudah, oleh seorang pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya. Setelah dirasakan peningnya lenyap, segera laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri. Dan....
Srat...!
Gurat menghunus senjatanya, sebuah golok panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras, dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak hanya mengerutkan keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan tidak senangnya semakin bertambah. Kelihatannya si wajah totol-totol hitam ini benar-benar tidak peduli kalau dia telah bersikap lunak.
Maka Arya memutuskan untuk memberi pelajaran yang lebih keras lagi. Dewa Arak benar-benar membiarkan saja babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat, tangan kirinya bergerak ke arah sambaran golok itu.
Tap...!
Gurat terperanjat melihat goloknya tahu-tahu telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak. Segera dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik goloknya, sekaligus hendak membabat putus jari-jari lawan.
Tapi walaupun si wajah totol-totol hitam ini mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja golok itu sama sekali tidak bergeming dari jepitan jari Dewa Arak.
Tiba-tiba tanpa diduga-duga, Dewa Arak menggerakkan jari-jarinya. Terdengar suara berdetak nyaring, ketika golok bermata gergaji itu patah dua. Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat terjengkang, akibat tarikan goloknya.
Brukkk...!
Tak pelak lagi, tubuh laki-laki kasar itu terjatuh di tanah cukup keras. Terbukti begitu bangkit kembali, ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang tadi menghantam tanah.
"Keparat...!"
Gurat berteriak memaki. Ditolehkan kepalanya ke arah Sagar yang masih berdiri terkesima. Kejadian demi kejadian yang disaksikan membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.
"Apa yang kau tunggu, Kakang Sagar! Ayo bantu aku menghajar orang sok ini!"
Teriakan Gurat menyadarkan Sagar dari terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi ditancapkan di tanah.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Senjata pendek bermata tiga itu diputar-putar. Angin menderu keras begitu senjata andalan itu digerakkannya.
"Hiyaaa...!"
Sagar berteriak keras sambil menusukkan trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu, serangan golok bermata gergaji milik Gurat yang kini telah tinggal setengah, juga menyambar tiba.
Dan kini, kesabaran Dewa Arak pupus! Kedua orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri, sehingga harus diberikan pelajaran yang lebih keras agar kapok. Tapi tentu saja, menghadapi lawan yang memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa Arak tidak mengeluarkan ilmu andalan.
Dia hanya mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kedua tangannya bergerak cepat, mencari sasaran.
Tap...! Tap...!
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum lagi kedua orang lawannya itu berbuat sesuatu, Arya segera menggerakkan tangannya.
Buk...! Tuk…!
"Uhk...!"
"Hugh...!"
Sagar dan Gurat mengeluh tertahan ketika gagang senjata masing-masing begitu keras menghantam dada mereka sendiri. Arya memang menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah perut lawan.
Beberapa saat lamanya kedua orang laki-laki itu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan merah kental nampak di sudut bibir mereka. Sodokan itu keras bukan main! Memang kali ini Dewa Arak sedikit menambah tenaganya dalam serangan itu.
Kini, Sagar dan Gurat baru menyadari kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bukan tandingan mereka. Apalagi ketika melihat lawan yang menggerakkan sedikit jari-jarinya, telah membuat senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang dipatahkan pemuda itu hanya sebatang lidi saja!
Jadi, meneruskan pertarungan sama saja mencari mati. Maka, Sagar dan Gurat tidak mau bertindak bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan serangannya, dan hanya berdiri menanti. Jelas kalau pemuda itu memang tidak berniat mencari-cari urusan.
Dan tanpa malu-malu lagi, dengan langkah kaki tertatih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun demikian tetap saja ada perasaan cemas kalau-kalau pemuda sakti itu tidak membiarkan mereka pergi. Legalah hati Sagar dan Gurat ketika melihat Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian mereka. Sebaliknya pemuda itu malah menghampiri tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas satu-satu.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau nyawa kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka akibat siksaan tadi terlalu parah. Apalagi itu terjadi sewaktu ia sedang sakit cukup parah.
"Terima.,., kasih atas..., pertolonganmu, Anak Muda. Hhh...," ucap kakek itu terengah-engah. "Tapi..., kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si... nii..."
"Sudahlah, Kek. Kakek tidak boleh banyak bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek sangat parah," Dewa Arak yang merasa tidak tega, berusaha mencegah.
Ki Marta menggelengkan kepalanya. Terpaksa Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke punggung kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.
Cukup lama juga Arya menyalurkan hawa murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup, baru dilepaskan tangannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang hendak Kakek sampaikan padaku?" pinta Dewa Arak terburu-buru.
Pemuda berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati sebelum apa yang hendak diutarakannya tersampaikan.
Ki Marta tersenyum. Dirasakan keadaannya sudah lebih baik sekarang. "Pesanku hanya singkat, Anak Muda. Pergilah cepat dari sini!"
"Mengapa, Kek?"
"Desa ini penuh orang jahat! Kepala desa yang sekarang juga bekas penjahat. Dulu sewaktu yang menjadi Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini aman tenteram. Tapi sejak Toga yang menjadi kepala desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan, diambilnya semua yang jadi milik kami. Sawah, ladang, ternak, bahkan anak gadis dan istri-istri kami. Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja di ladang dan di sawah dengan upah yang mencekik leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah kebetulan tidak panen, maka kami diperintahkan bekerja di ladang, atau beternak. Sakit tidak bisa menjadi halangan. Pokoknya harus bekerja! Tadi kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu datang dan memaksaku harus bekerja. Dan seterusnya seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."
Kepala Dewa Arak terangguk-angguk. "Siapa Toga itu, Kek?"
"Kepala keamanan desa ini, Anak Muda," jelas Ki Marta.
"Lalu, kepala desa yang dulu ke mana, Kek?" tanya Arya tidak mengerti
"Ki Panjar, maksudmu?"
"Ya."
Kakek itu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Beliau telah tewas."
"Tewas?!" Arya Buana mengerutkan keningnya. "Mengapa?"
Ki Marta mengangguk. "Menurut cerita Toga, sewaktu mereka sedang berburu, segerombolan perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para pengawal yang lain tidak tinggal diam. Tapi karena jumlah perampok yang terlalu banyak, mereka jadi tidak bisa melindungi Ki Panjar dan anak istrinya. Setelah melalui sebuah pertarungan sengit, akhirnya mereka berhasil mengusir gerombolan perampok itu. Tapi, Ki Panjar dan istrinya tewas. Sementara anaknya dibawa kawanan perampok itu."
Dewa Arak mengerutkan keningnya.
"Apakah para penduduk desa percaya?"
"Mulanya percaya. Maka kami percayakan kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang menurut kami, dialah yang paling pantas menjabat kedudukan itu. Tapi siapa sangka kalau jadi begini akibat-nya. Belakangan kami semua jadi curiga, jangan-jangan tewasnya Ki Panjar pun sudah direncanakan."
Dewa Arak tercenung diam.
"Yang lebih gila lagi, Toga membangun rumah-rumah judi dan pelacuran di desa ini. Akibatnya sudah jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini. Sebagian besar adalah orang yang terbiasa bertindak kasar. Maka tak heran jika sering terjadi bentrokan di antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka! Uhk... uhk...!"
Tiba-tiba saja Ki Marta terbatuk-batuk. Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar dari mulutnya. Melihat hal ini, Dewa Arak sadar kalau waktu kematian untuk kakek itu sudah hampir tiba. Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa saat setelah terbatuk-batuk untuk yang kesekian kalinya, tubuh Ki Marta terkulai lemas. Kakek ini pun pergi untuk selama-lamanya.
***
Arya termenung memandangi gundukan tanah merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah mayat Ki Marta dikuburkan. Beberapa saat lamanya kepalanya tertunduk.
"Maafkan aku, Ki," bisik Dewa Arak perlahan. "Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi dari sini. Tidak bisa kutinggalkan desa ini begitu saja. Aku akan berusaha menumpas kejahatan yang bersemayam di sini, apa pun akibatnya."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu Pikirannya bekerja keras. Memang sejak pertama kali memasuki pintu gerbang desa, sudah timbul rasa curiga di hatinya.
Desa yang kini diketahui bernama Desa Gebang ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa disinggahinya. Desa ini terlalu banyak dimasuki orang luar. Dan jika ditilik dari gelagatnya, mereka adalah orang-orang yang terbiasa bertindak kasar.
Kini kecurigaannya ternyata beralasan. Oleh karena itu, Dewa Arak memutuskan untuk tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali saja tenaganya bisa diperlukan di sini.
***
Pintu sebuah rumah kecil yang berdinding bilik, hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya. Diiringi suara hiruk pikuk, kepingan-kepingan pintu itu jatuh berderai di lantai.
Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, yang tengah terbaring di dipan bambu langsung terlonjak. Wajahnya kian memucat ketika melihat dua sosok tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.
Belum juga rasa kagetnya hilang, sosok tubuh tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang pintu, berjalan masuk ke dalam. Langkahnya sengaja dibuat lebar-lebar, menampilkan kepongahannya.
"Tua bangka tidak tahu diuntung!" geram si kepala botak sambil melayangkan kakinya kembali menendang.
Krak!
Brakkk...!
"Aaakh...!"
Si kakek memekik kesakitan. Kaki salah satu dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan. Seketika itu juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama kakek itu.
Si kepala botak membungkukkan badan. Dan di saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram leher baju kakek itu dan mengangkatnya ke atas.
"Hekh...!"
Si kakek mengeluh tertahan, dan jalan napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh lebih kecil daripada tubuh si kepala botak, maka tubuhnya jadi seperti menggantung.
"Ampun.... Maafkan aku, Den Sagar. Aku tidak bisa bekerja.... Aku sedang sakit..., ampunkan aku...," ucap kakek itu tersendat-sendat.
"Hugh...!"
Ucapan si kakek terhenti ketika lutut si kepala botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah kakek itu seketika memerah, dan kedua bola matanya membeliak lebar. Sodokan pada perutnya membuat napasnya sesak seketika.
"Enak saja kau bicara! Ingat, Ki Marta! Kau sudah terima upahnya! Mau sakit, kek.... Mau mati, kek.... aku tidak peduli! Yang penting, kau harus bekerja seperti biasanya! Mengerti?!"
Ki Marta menelan ludah, lalu menganggukkan kepala berulang-ulang.
"Bagus!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu diturunkan. Tapi karena keadaan kakek itu yang memang sedang sakit, apalagi baru saja mendapat sodokan lutut yang amat keras, begitu diturunkan Ki Marta langsung sempoyongan dan jatuh berdebuk di lantai.
Melihat hal itu, Sagar menggeram. "Bangun, Ki Marta! Cepat...! Kita pergi sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam Sagar tak sabar.
Tubuh Ki Marta menggigil. Kedua tangannya bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua tangannya untuk bangkit. Tapi betapapun berusaha, kondisinya yang tidak memungkinkan menggagalkan usahanya.
Melihat hal ini Sagar menjadi tidak sabar. Untuk yang kesekian kalinya, kakinya kembali bergerak
Buk!
Dengan telak tendangan Sagar menghantam perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kalau tidak, tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi meskipun demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan terguling-guling.
"Rupanya kau memang sudah bosan hidup, tua bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap akan mati dengan enak! Kau akan kusiksa dulu sebelum kubunuh!"
Setelah berkata demikian, Sagar bergerak menyusul tubuh kakek itu.
"Hup...!"
Dengan kaki, dicungkilnya tubuh terkapar yang berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di saat itu, sapuan kaki laki-laki berkepala botak menyambutnya.
Buk...!
Kini pinggul Ki Marta yang mendapat giliran. Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang berada di udara itu meluruk ke luar.
Brukkk...!
Tubuh kakek itu jatuh deras mencium tanah. Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk orang yang keras hati. Buktinya ia kembali berusaha bangkit. Darah segar menetes keluar dari sela-sela bibirnya ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.
"Hekh...!"
Ki Marta memekik tersendat. Dirasakan adanya sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan susah payah laki-laki tua itu menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa pemilik kaki itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa tergelak dari mulut orang yang menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya bertatapan dengan wajah tua renta itu. Seraut wajah kasar, bertotol-totol hitam. Gurat, namanya.
"Uhk... uh...."
Suara napas Ki Marta tersendat-sendat ketika kaki itu kian keras menekan.
"Ha ha ha...!" Sagar juga tertawa terbahak-bahak. "Rupanya kau pun tidak ingin ketinggalan, Adi Gurat!"
"Begitulah, Kang Sagar!" jawab si wajah totoltotol hitam yang bernama Gurat seraya kian menambahkan tenaga pada kakinya.
Karuan saja hal ini membuat napas Ki Marta kian tersendat-sendat
Tuk!
"Akh...!"
Tiba-tiba Gurat memekik. Ternyata sebuah kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah menghantam tulang kering kakinya yang tengah menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main, sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan tekanannya.
Laki-laki berwajah kasar itu kontan meloncat-loncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi kaki yang terkena sambitan kerikil itu. Sakit sekali rasanya.
"Keparat!"
Sagar yang juga melihat sambaran batu kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.
Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak darinya. Yang aneh pada diri pemuda itu adalah rambutnya yang meriap dan berwarna putih keperakan.
"Siapa kau?! Mengapa mencampuri urusan kami?!" bentak Sagar penuh ancaman.
"Aku tidak berniat mencampuri urusan kalian, tapi hanya menentang Kesewenang-wenangan yang terjadi di depan mataku!" jawab pemuda itu.
"Hm..., rupanya kau seorang pendekar?!" tanya si kepala botak itu. Nada suaranya penuh ejekan. Ia memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Merah wajah pemuda yang ternyata Arya Buana atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
"Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."
"Pergilah kau cepat, Anak Muda! Aku kasihan padamu! Sudah terlalu banyak pahlawan kesiangan yang membuang nyawa percuma di sini! Apakah kau ingin menambah jumlah mereka dengan membela kakek pemalas ini?!"
"Apa boleh buat!?" ujar Arya sambil mengangkat bahu. "Aku tidak bisa tinggal diam melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!"
Baru saja Arya menyelesaikan ucapannya, Gurat yang kini kakinya telah sembuh seperti sediakala, telah menerjangnya dengan pukulan keras dan bertubi-tubi.
Sekali lihat saja Dewa Arak telah mengetahui kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totol-totol hitam ini masih amat rendah.
Buk! Buk! Buk...!
Berkali-kali pukulan itu mendarat telak di sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak mengelak. Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani tubuhnya. Dengan tenaga dalam amat kuat dan disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran pukulan, semua pukulan Gurat tidak berarti apa-apa bagi Arya.
"Ah...!"
Gurat memekik kaget. Kedua tangannya terasa bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan gumpalan baja yang keras bukan main. Bahkan kini kedua kepalan tangannya menjadi bengkak-bengkak!
Melihat kekejaman Gurat yang menyiksa orang tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud memberi pelajaran cukup keras padanya. Setelah membiarkan lawan puas memukuli, tangan Arya bergerak cepat.
"Hugh...!"
Gurat memekik tertahan ketika pukulan Dewa Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk, dan perutnya terasa mulas. Untung saja Dewa Arak hanya mengerahkan sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan seluruhnya, tentu laki-laki berwajah totol-totol hitam itu tewas dengan dada remuk!
Dan kini Dewa Arak tidak berhenti sampai di situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak, menampar.
Plak...!
Telak sekali tamparan itu mendarat di pipi. Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh berdebuk di tanah. Rasa pusing yang amat sangat menyergap kepala laki-laki itu. Beberapa saat lamanya dia terduduk diam, tidak mampu bangkit kembali.
Sagar terperanjat sekali melihat kejadian yang tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian Gurat, hanya sedikit di bawahnya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat kawannya begitu mudah dirubuhkan.
Sebaliknya Gurat merasa penasaran bukan main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu mudah, oleh seorang pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya. Setelah dirasakan peningnya lenyap, segera laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri. Dan....
Srat...!
Gurat menghunus senjatanya, sebuah golok panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras, dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak hanya mengerutkan keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan tidak senangnya semakin bertambah. Kelihatannya si wajah totol-totol hitam ini benar-benar tidak peduli kalau dia telah bersikap lunak.
Maka Arya memutuskan untuk memberi pelajaran yang lebih keras lagi. Dewa Arak benar-benar membiarkan saja babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat, tangan kirinya bergerak ke arah sambaran golok itu.
Tap...!
Gurat terperanjat melihat goloknya tahu-tahu telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak. Segera dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik goloknya, sekaligus hendak membabat putus jari-jari lawan.
Tapi walaupun si wajah totol-totol hitam ini mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja golok itu sama sekali tidak bergeming dari jepitan jari Dewa Arak.
Tiba-tiba tanpa diduga-duga, Dewa Arak menggerakkan jari-jarinya. Terdengar suara berdetak nyaring, ketika golok bermata gergaji itu patah dua. Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat terjengkang, akibat tarikan goloknya.
Brukkk...!
Tak pelak lagi, tubuh laki-laki kasar itu terjatuh di tanah cukup keras. Terbukti begitu bangkit kembali, ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang tadi menghantam tanah.
"Keparat...!"
Gurat berteriak memaki. Ditolehkan kepalanya ke arah Sagar yang masih berdiri terkesima. Kejadian demi kejadian yang disaksikan membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.
"Apa yang kau tunggu, Kakang Sagar! Ayo bantu aku menghajar orang sok ini!"
Teriakan Gurat menyadarkan Sagar dari terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi ditancapkan di tanah.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Senjata pendek bermata tiga itu diputar-putar. Angin menderu keras begitu senjata andalan itu digerakkannya.
"Hiyaaa...!"
Sagar berteriak keras sambil menusukkan trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu, serangan golok bermata gergaji milik Gurat yang kini telah tinggal setengah, juga menyambar tiba.
Dan kini, kesabaran Dewa Arak pupus! Kedua orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri, sehingga harus diberikan pelajaran yang lebih keras agar kapok. Tapi tentu saja, menghadapi lawan yang memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa Arak tidak mengeluarkan ilmu andalan.
Dia hanya mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kedua tangannya bergerak cepat, mencari sasaran.
Tap...! Tap...!
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum lagi kedua orang lawannya itu berbuat sesuatu, Arya segera menggerakkan tangannya.
Buk...! Tuk…!
"Uhk...!"
"Hugh...!"
Sagar dan Gurat mengeluh tertahan ketika gagang senjata masing-masing begitu keras menghantam dada mereka sendiri. Arya memang menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah perut lawan.
Beberapa saat lamanya kedua orang laki-laki itu terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan merah kental nampak di sudut bibir mereka. Sodokan itu keras bukan main! Memang kali ini Dewa Arak sedikit menambah tenaganya dalam serangan itu.
Kini, Sagar dan Gurat baru menyadari kalau pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bukan tandingan mereka. Apalagi ketika melihat lawan yang menggerakkan sedikit jari-jarinya, telah membuat senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang dipatahkan pemuda itu hanya sebatang lidi saja!
Jadi, meneruskan pertarungan sama saja mencari mati. Maka, Sagar dan Gurat tidak mau bertindak bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan serangannya, dan hanya berdiri menanti. Jelas kalau pemuda itu memang tidak berniat mencari-cari urusan.
Dan tanpa malu-malu lagi, dengan langkah kaki tertatih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun demikian tetap saja ada perasaan cemas kalau-kalau pemuda sakti itu tidak membiarkan mereka pergi. Legalah hati Sagar dan Gurat ketika melihat Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian mereka. Sebaliknya pemuda itu malah menghampiri tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas satu-satu.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau nyawa kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka akibat siksaan tadi terlalu parah. Apalagi itu terjadi sewaktu ia sedang sakit cukup parah.
"Terima.,., kasih atas..., pertolonganmu, Anak Muda. Hhh...," ucap kakek itu terengah-engah. "Tapi..., kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si... nii..."
"Sudahlah, Kek. Kakek tidak boleh banyak bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek sangat parah," Dewa Arak yang merasa tidak tega, berusaha mencegah.
Ki Marta menggelengkan kepalanya. Terpaksa Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke punggung kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.
Cukup lama juga Arya menyalurkan hawa murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup, baru dilepaskan tangannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang hendak Kakek sampaikan padaku?" pinta Dewa Arak terburu-buru.
Pemuda berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati sebelum apa yang hendak diutarakannya tersampaikan.
Ki Marta tersenyum. Dirasakan keadaannya sudah lebih baik sekarang. "Pesanku hanya singkat, Anak Muda. Pergilah cepat dari sini!"
"Mengapa, Kek?"
"Desa ini penuh orang jahat! Kepala desa yang sekarang juga bekas penjahat. Dulu sewaktu yang menjadi Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini aman tenteram. Tapi sejak Toga yang menjadi kepala desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan, diambilnya semua yang jadi milik kami. Sawah, ladang, ternak, bahkan anak gadis dan istri-istri kami. Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja di ladang dan di sawah dengan upah yang mencekik leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah kebetulan tidak panen, maka kami diperintahkan bekerja di ladang, atau beternak. Sakit tidak bisa menjadi halangan. Pokoknya harus bekerja! Tadi kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu datang dan memaksaku harus bekerja. Dan seterusnya seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."
Kepala Dewa Arak terangguk-angguk. "Siapa Toga itu, Kek?"
"Kepala keamanan desa ini, Anak Muda," jelas Ki Marta.
"Lalu, kepala desa yang dulu ke mana, Kek?" tanya Arya tidak mengerti
"Ki Panjar, maksudmu?"
"Ya."
Kakek itu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Beliau telah tewas."
"Tewas?!" Arya Buana mengerutkan keningnya. "Mengapa?"
Ki Marta mengangguk. "Menurut cerita Toga, sewaktu mereka sedang berburu, segerombolan perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para pengawal yang lain tidak tinggal diam. Tapi karena jumlah perampok yang terlalu banyak, mereka jadi tidak bisa melindungi Ki Panjar dan anak istrinya. Setelah melalui sebuah pertarungan sengit, akhirnya mereka berhasil mengusir gerombolan perampok itu. Tapi, Ki Panjar dan istrinya tewas. Sementara anaknya dibawa kawanan perampok itu."
Dewa Arak mengerutkan keningnya.
"Apakah para penduduk desa percaya?"
"Mulanya percaya. Maka kami percayakan kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang menurut kami, dialah yang paling pantas menjabat kedudukan itu. Tapi siapa sangka kalau jadi begini akibat-nya. Belakangan kami semua jadi curiga, jangan-jangan tewasnya Ki Panjar pun sudah direncanakan."
Dewa Arak tercenung diam.
"Yang lebih gila lagi, Toga membangun rumah-rumah judi dan pelacuran di desa ini. Akibatnya sudah jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini. Sebagian besar adalah orang yang terbiasa bertindak kasar. Maka tak heran jika sering terjadi bentrokan di antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka! Uhk... uhk...!"
Tiba-tiba saja Ki Marta terbatuk-batuk. Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar dari mulutnya. Melihat hal ini, Dewa Arak sadar kalau waktu kematian untuk kakek itu sudah hampir tiba. Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa saat setelah terbatuk-batuk untuk yang kesekian kalinya, tubuh Ki Marta terkulai lemas. Kakek ini pun pergi untuk selama-lamanya.
***
Arya termenung memandangi gundukan tanah merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah mayat Ki Marta dikuburkan. Beberapa saat lamanya kepalanya tertunduk.
"Maafkan aku, Ki," bisik Dewa Arak perlahan. "Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi dari sini. Tidak bisa kutinggalkan desa ini begitu saja. Aku akan berusaha menumpas kejahatan yang bersemayam di sini, apa pun akibatnya."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu Pikirannya bekerja keras. Memang sejak pertama kali memasuki pintu gerbang desa, sudah timbul rasa curiga di hatinya.
Desa yang kini diketahui bernama Desa Gebang ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa disinggahinya. Desa ini terlalu banyak dimasuki orang luar. Dan jika ditilik dari gelagatnya, mereka adalah orang-orang yang terbiasa bertindak kasar.
Kini kecurigaannya ternyata beralasan. Oleh karena itu, Dewa Arak memutuskan untuk tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali saja tenaganya bisa diperlukan di sini.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment