"Hiyaaat...! Haaat...!"
Teriakan keras seperti tengah terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.
"Haaat...!"
Kembali pemuda itu berteriak nyaring melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya dikibaskan ke sebatang pohon.
“Brakkk...!”
Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi rubuhnya pohon itu ke tanah.
"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang sejak tadi memperhatikan.
Di sebelah kakek itu nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok sekali dengan warna kulitnya.
Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya menghadap kakek yang kira-kira berusia enam puluh tahun.
Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang seorang pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.
"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.
Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pemuda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh. Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan berhidung melengkung di hadapannya sebentar.
"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta. Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu, Sapta!"
Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung melengkung itu memerah, menerima pujian itu.
"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru, dan Kami juga," ucapnya merendah.
"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku hanya membantu, sedangkan hasilnya semua tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh, sehingga tidak aneh kalau hampir setingkat Kami yang telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil tersenyum.
Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa sepuluh tahun silam. Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke sebuah hutan.
Karena ayah Sapta adalah seorang kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu, mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya. Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak sebagai kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha....! Sekarang adalah akhir dari kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu.
Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar, istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas tahun.
Wajah Ki Panjar dan istrinya langsung berubah. Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.
"Apa maksudmu, Toga?" tanya Ki Panjar. Suaranya terdengar tenang.
"Maksudku sudah jelas, Panjar! Kau dan keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara aku akan menggantikan kedudukanmu menjadi kepala desa! Ha ha ha...!"
Wajah Nyi Panjar semakin bertambah pucat. Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.
"Apa yang kau andalkan, Toga? Apakah hanya keroco-keroco tak berguna ini?!" tanya Ki Panjar sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling.
Tawa Toga berhenti. Sepasang alis matanya berkerut. Sikap tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini merasa curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang mengatakan bahwa delapan orang pengawal itu hanyalah keroco-keroco tak berguna.
Toga memang tahu kalau Ki Panjar memiliki kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi? Paling-paling kepandaiannya hanya dapat menghadapi empat orang pengawal itu!
"Kau terkejut, Toga? Aku pun tahu kalau kau secara sembunyi-sembunyi sering mengintai latihanku. Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di depanmu aku melatih ilmu-ilmu tingkat rendahan saja. Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."
Wajah Toga berubah. Benarkah semua yang dikatakan kepala desa ini? Atau hanya bualan belaka? Selagi dia berpikir, tubuh Ki Panjar berkelebat.
Gerakannya cukup gesit, jauh di luar dugaan Toga. Dalam sekejap saja, tubuh Ki Panjar, Nyi Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda.
Segera Toga mengalihkan perhatiannya ke arah Ki Panjar tadi melesat. Ternyata Ki Panjar tidak pergi jauh-jauh. Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu berdiri tegak membelakangi anak dan istrinya. Di tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk tujuh.
"Seraaang...!" teriak Toga keras.
Belum juga gema suaranya habis, tubuhnya sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di tangannya yang sudah terhunus, cepat ditusukkan ke perut laki-laki yang sebenarnya adalah atasannya.
Ki Panjar tetap bersikap tenang. Keris di tangannya digerakkan cepat.
“Trak!”
"Akh...!"
Toga menjerit kesakitan. Ternyata bahu kirinya sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang ini tidak habis pikir. Padahal jelas terlihat kalau kepala desa itu menangkis serangan goloknya. Tapi mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat ke arah leher?
Untung dia cepat mengelak. Terlambat sedikit saja, mautlah baginya. Toga sama sekali tidak tahu kalau itu adalah keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis, keris di tangan kepala desa ini dapat terus melesat. Laksana bola, keris itu membal, begitu membentur golok. Hanya saja 'membalnya' keris itu diatur Ki Panjar.
"Kaget, Toga?!" tanya Ki Panjar. Senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Sekarang terimalah kematianmu!"
Untung saja sebelum Ki Panjar mengirimkan serangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan orang, cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak mau kepala desa itu memusatkan perhatiannya ke arah mereka.
Ternyata ucapan yang keluar dari mulut Ki Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan orang bekas pengawalnya memang sama sekali tidak berarti menghadapinya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya, mudah saja baginya untuk mengelakkan setiap serangan.
Sebaliknya setiap kali tangannya bergerak, pasti ada sosok tubuh yang rubuh tanpa nyawa. Jerit lengking kematian terdengar saling susul. Dalam sekejap mata saja, sudah tiga orang pengawal yang tewas.
Sementara Toga yang telah selesai menotok jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti mengalir, menjadi geram melihat kematian tiga orang anak buahnya. Kembali si kumis melintang menerjang. Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.
Kini gerakan Ki Panjar mulai agak tertahan. Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak bisa dibandingkan dengan delapan orang pengawal itu. Kalau tadi Toga terluka, ini karena belum mengetahui keistimewaan permainan keris lawan. Setelah tahu, Toga bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat lamanya, pertarungan itu berlangsung seru dan seimbang.
Tapi lewat dua puluh jurus, tampaklah keunggulan Ki Panjar. Perlahan namun pasti, kepala desa ini mulai berada di atas angin. Keris di tangannya kembali mengambil korban. Satu demi satu para pengawal berguguran.
Melihat hal ini, Toga menjadi gelisah. Sudah dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia bersama sisa tiga orang anak buahnya semakin terdesak hebat
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa bergelak. Belum lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar jatuh terduduk itu lenyap, sesosok tubuh tegap berwajah mirip seekor kera telah muncul di tempat itu. Pertarungan langsung terhenti. Ki Panjar, Toga, dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal suara.
"Kakang Gajula...!" teriak Toga.
Wajahnya langsung berseri-seri. Bergegas dihampirinya si wajah kera, yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.
Orang berwajah kera yang bernama Gajula hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi Toga! Menghadapi orang seperti itu saja sampai mengandalkan banyak orang!"
Merah wajah si kumis melintang.
"Dia lihai sekali, Kang!" sergah Toga keras.
Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di mana kelihaiannya!"
Setelah berkata demikian, dihampirinya Ki Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu. Orang yang bernama Gajula itu ternyata adalah kakak kepala pengawal yang bernama Toga.
Gajula menatap Ki Panjar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Melihat hal ini, seketika panas hati Ki Panjar. Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, diterjangnya lawan di hadapannya.
“Singgg...!”
Keris di tangan kepala desa itu ditusukkan ke arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi, masih lebih cepat gerakan Gajula! Begitu serangan keris lawan mendekat, dengan sebuah gerakan sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Ki Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung membetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh kepala desa itu tertarik ke depan. Belum lagi Ki Panjar sempat berbuat sesuatu, kembali tangan Gajula bergerak.
Krak!
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar. Kepala desa itu langsung mengeluh tertahan, karena tulang bahunya remuk seketika. Rasa sakit yang amat sangat mendera tubuhnya.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa Gajula yang bergelak "Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang lihai itu, Toga?! Atau, kau sendiri yang kurang becus!? Nih! Kuberikan padamu...!"
Setelah berkata demikian, Gajula melemparkan tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.
Si kumis melintang tertawa terkekeh. Tangannya bergerak cepat
Blesss...!
"Aaakh...!"
Ki Panjar memekik tertahan ketika golok Toga menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung! Dan begitu si kumis melintang ini mencabut kembali goloknya, darah langsung muncrat keluar.
Beberapa saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggelepar-gelepar di tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.
"Kakang...!" terdengar jerit penuh kepiluan memecah tawa kemenangan Gajula.
Seiring terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah baya berlari mendekati tubuh Ki Panjar. Wanita itu adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.
Sementara Sapta hanya memandang mayat ayahnya dengan mata meremang berkaca-kaca. Bibirnya terlihat menggigil gemetar, tapi tidak sedikit pun terdengar isak dari mulutnya.
Nyi Panjar terus menghambur. Tapi sebelum kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh suaminya, tangan Toga bergerak.
Singgg...!
Cappp...!
"Akh...!"
Nyi Panjar memekik tertahan. Ternyata golok yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh wanita itu hingga tembus ke punggung! Tanpa ampun lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. Dan saat itu pula, nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
"Ibu...!"
Kali ini Sapta tidak bisa lagi menahan perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini menjerit keras, sambil berlari menubruk ibunya.
"Anak ini akan menjadi bibit penyakit di kemudian hari!" desis Gajula.
Seketika didorongkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...!
Angin keras berhembus keluar dari kedua telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu meluncur deras ke arah Sapta yang tengah berlari menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di tanah.
Tapi sebelum angin pukulan Gajula itu mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu berkelebat menyambar bocah kecil itu.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah sasaran itu.
"Keparat...!"
Gajula berteriak memaki. Digenjotkan kakinya mengejar ke arah berkelebatnya sosok bayangan itu. Tapi, sosok bayangan itu telah lebih dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak dan pepohonan.
Sosok bayangan yang ternyata berjuluk Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke tempat tinggalnya di Lereng Gunung Jarak. Di situ kakek kurus kering ini memiliki sebuah perguruan, yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.
Sejak saat itu, Sapta menjadi muridnya. Apalagi setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat.
"Apa yang kau pikirkan, Sapta?" tanya Pengemis Tongkat Merah memenggal lamunan pemuda berhidung melengkung itu.
"Ah...!" Sapta berdesah kaget "Tidak, Guru. Tidak ada yang kupikirkan."
Pengemis Tongkat Merah tersenyum maklum. "Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil, kau tidak menyahut. Aku yakin, ada sesuatu yang tengah kau pikirkan."
Sapta tertunduk diam.
"Kau tengah memikirkan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.
Beberapa saat lamanya pemuda berhidung melengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah dengan sabar menunggu. Dan memang, penantian kakek ini tidak sia-sia. Perlahan namun pasti kepala muridnya terangguk pelan.
"Sudah kuduga...," ucap kakek berpakaian rompi tambalan itu. "Memang sudah saatnya kau mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk orang yang membutuhkan. Aku tidak akan menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas kematian orang tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku. Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan semampumu!"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru...."
Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tampak gembira. "Kapan kau akan berangkat?" tanya kakek itu.
"Besok, Guru!"
Kakek kurus kering ini terdiam sejenak. "Kau setuju, kalau Kami ikut turun gunung bersamamu?"
Sapta menundukkan kepalanya. Dengan ekor mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di samping gurunya. Selama ini Kami-lah yang selalu menemani berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di atas kepandaiannya. Karena di samping Kami memiliki bakat yang hebat, gadis itu telah dididik lebih dulu oleh Pengemis Tongkat Merah.
"Bagaimana, Sapta?" desak kakek itu ketika melihat pemuda berhidung melengkung itu diam saja.
"Terserah pada Kami, Guru," sahut Sapta mengelak.
"Jawablah sebagaimana seharusnya seorang laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu. Tajam nada suaranya.
"Kalau aku, setuju saja, Guru. Bahkan merasa senang sekali, bila Dik Kami bersedia ikut!" tegas pemuda itu.
Ekor matanya melirik wajah gadis di sebelah gurunya. Dilihatnya wajah gadis itu berseri-seri. Kami memang gadis pendiam. Dan secara diam-diam pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.
"Ha ha ha...! Itu baru jawaban seorang laki-laki, Sapta! Baik, besok kalian berangkat!"
Keesokan harinya, tampak dua sosok tubuh bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah Kami dan Sapta. Berkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk menuruni lereng gunung itu.
***
Teriakan keras seperti tengah terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang yang luas di Lereng Gunung Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang pemuda bertelanjang dada yang tengah berlatih.
"Haaat...!"
Kembali pemuda itu berteriak nyaring melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya dikibaskan ke sebatang pohon.
“Brakkk...!”
Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi rubuhnya pohon itu ke tanah.
"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang sejak tadi memperhatikan.
Di sebelah kakek itu nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya berwarna jingga, sehingga cocok sekali dengan warna kulitnya.
Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya menghadap kakek yang kira-kira berusia enam puluh tahun.
Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah lutut tampak penuh tambalan, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang seorang pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tongkat kayu berwarna merah. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.
"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang berusia sekitar dua puluh satu tahun itu.
Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pemuda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh. Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan berhidung melengkung di hadapannya sebentar.
"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta. Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan Kami," tegas kakek kurus kering itu sambil menoleh kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu, Sapta!"
Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung melengkung itu memerah, menerima pujian itu.
"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru, dan Kami juga," ucapnya merendah.
"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku hanya membantu, sedangkan hasilnya semua tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh, sehingga tidak aneh kalau hampir setingkat Kami yang telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil tersenyum.
Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa sepuluh tahun silam. Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke sebuah hutan.
Karena ayah Sapta adalah seorang kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu, mereka dikawal beberapa anak buah ayahnya. Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak sebagai kepala pengawal, tiba-tiba melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha....! Sekarang adalah akhir dari kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam, dan berkumis melintang itu.
Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan jarinya, seketika para pengawal yang berjumlah delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar, istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas tahun.
Wajah Ki Panjar dan istrinya langsung berubah. Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.
"Apa maksudmu, Toga?" tanya Ki Panjar. Suaranya terdengar tenang.
"Maksudku sudah jelas, Panjar! Kau dan keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara aku akan menggantikan kedudukanmu menjadi kepala desa! Ha ha ha...!"
Wajah Nyi Panjar semakin bertambah pucat. Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.
"Apa yang kau andalkan, Toga? Apakah hanya keroco-keroco tak berguna ini?!" tanya Ki Panjar sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling.
Tawa Toga berhenti. Sepasang alis matanya berkerut. Sikap tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini merasa curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang mengatakan bahwa delapan orang pengawal itu hanyalah keroco-keroco tak berguna.
Toga memang tahu kalau Ki Panjar memiliki kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi? Paling-paling kepandaiannya hanya dapat menghadapi empat orang pengawal itu!
"Kau terkejut, Toga? Aku pun tahu kalau kau secara sembunyi-sembunyi sering mengintai latihanku. Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di depanmu aku melatih ilmu-ilmu tingkat rendahan saja. Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."
Wajah Toga berubah. Benarkah semua yang dikatakan kepala desa ini? Atau hanya bualan belaka? Selagi dia berpikir, tubuh Ki Panjar berkelebat.
Gerakannya cukup gesit, jauh di luar dugaan Toga. Dalam sekejap saja, tubuh Ki Panjar, Nyi Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda.
Segera Toga mengalihkan perhatiannya ke arah Ki Panjar tadi melesat. Ternyata Ki Panjar tidak pergi jauh-jauh. Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu berdiri tegak membelakangi anak dan istrinya. Di tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk tujuh.
"Seraaang...!" teriak Toga keras.
Belum juga gema suaranya habis, tubuhnya sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di tangannya yang sudah terhunus, cepat ditusukkan ke perut laki-laki yang sebenarnya adalah atasannya.
Ki Panjar tetap bersikap tenang. Keris di tangannya digerakkan cepat.
“Trak!”
"Akh...!"
Toga menjerit kesakitan. Ternyata bahu kirinya sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang ini tidak habis pikir. Padahal jelas terlihat kalau kepala desa itu menangkis serangan goloknya. Tapi mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat ke arah leher?
Untung dia cepat mengelak. Terlambat sedikit saja, mautlah baginya. Toga sama sekali tidak tahu kalau itu adalah keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis, keris di tangan kepala desa ini dapat terus melesat. Laksana bola, keris itu membal, begitu membentur golok. Hanya saja 'membalnya' keris itu diatur Ki Panjar.
"Kaget, Toga?!" tanya Ki Panjar. Senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Sekarang terimalah kematianmu!"
Untung saja sebelum Ki Panjar mengirimkan serangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan orang, cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak mau kepala desa itu memusatkan perhatiannya ke arah mereka.
Ternyata ucapan yang keluar dari mulut Ki Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan orang bekas pengawalnya memang sama sekali tidak berarti menghadapinya. Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya, mudah saja baginya untuk mengelakkan setiap serangan.
Sebaliknya setiap kali tangannya bergerak, pasti ada sosok tubuh yang rubuh tanpa nyawa. Jerit lengking kematian terdengar saling susul. Dalam sekejap mata saja, sudah tiga orang pengawal yang tewas.
Sementara Toga yang telah selesai menotok jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti mengalir, menjadi geram melihat kematian tiga orang anak buahnya. Kembali si kumis melintang menerjang. Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.
Kini gerakan Ki Panjar mulai agak tertahan. Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak bisa dibandingkan dengan delapan orang pengawal itu. Kalau tadi Toga terluka, ini karena belum mengetahui keistimewaan permainan keris lawan. Setelah tahu, Toga bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat lamanya, pertarungan itu berlangsung seru dan seimbang.
Tapi lewat dua puluh jurus, tampaklah keunggulan Ki Panjar. Perlahan namun pasti, kepala desa ini mulai berada di atas angin. Keris di tangannya kembali mengambil korban. Satu demi satu para pengawal berguguran.
Melihat hal ini, Toga menjadi gelisah. Sudah dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia bersama sisa tiga orang anak buahnya semakin terdesak hebat
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa bergelak. Belum lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar jatuh terduduk itu lenyap, sesosok tubuh tegap berwajah mirip seekor kera telah muncul di tempat itu. Pertarungan langsung terhenti. Ki Panjar, Toga, dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal suara.
"Kakang Gajula...!" teriak Toga.
Wajahnya langsung berseri-seri. Bergegas dihampirinya si wajah kera, yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.
Orang berwajah kera yang bernama Gajula hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi Toga! Menghadapi orang seperti itu saja sampai mengandalkan banyak orang!"
Merah wajah si kumis melintang.
"Dia lihai sekali, Kang!" sergah Toga keras.
Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di mana kelihaiannya!"
Setelah berkata demikian, dihampirinya Ki Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu. Orang yang bernama Gajula itu ternyata adalah kakak kepala pengawal yang bernama Toga.
Gajula menatap Ki Panjar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Melihat hal ini, seketika panas hati Ki Panjar. Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, diterjangnya lawan di hadapannya.
“Singgg...!”
Keris di tangan kepala desa itu ditusukkan ke arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi, masih lebih cepat gerakan Gajula! Begitu serangan keris lawan mendekat, dengan sebuah gerakan sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika tangan kanannya menangkap pergelangan tangan Ki Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung membetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh kepala desa itu tertarik ke depan. Belum lagi Ki Panjar sempat berbuat sesuatu, kembali tangan Gajula bergerak.
Krak!
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar. Kepala desa itu langsung mengeluh tertahan, karena tulang bahunya remuk seketika. Rasa sakit yang amat sangat mendera tubuhnya.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa Gajula yang bergelak "Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang lihai itu, Toga?! Atau, kau sendiri yang kurang becus!? Nih! Kuberikan padamu...!"
Setelah berkata demikian, Gajula melemparkan tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.
Si kumis melintang tertawa terkekeh. Tangannya bergerak cepat
Blesss...!
"Aaakh...!"
Ki Panjar memekik tertahan ketika golok Toga menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung! Dan begitu si kumis melintang ini mencabut kembali goloknya, darah langsung muncrat keluar.
Beberapa saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggelepar-gelepar di tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.
"Kakang...!" terdengar jerit penuh kepiluan memecah tawa kemenangan Gajula.
Seiring terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah baya berlari mendekati tubuh Ki Panjar. Wanita itu adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.
Sementara Sapta hanya memandang mayat ayahnya dengan mata meremang berkaca-kaca. Bibirnya terlihat menggigil gemetar, tapi tidak sedikit pun terdengar isak dari mulutnya.
Nyi Panjar terus menghambur. Tapi sebelum kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh suaminya, tangan Toga bergerak.
Singgg...!
Cappp...!
"Akh...!"
Nyi Panjar memekik tertahan. Ternyata golok yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh wanita itu hingga tembus ke punggung! Tanpa ampun lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. Dan saat itu pula, nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
"Ibu...!"
Kali ini Sapta tidak bisa lagi menahan perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini menjerit keras, sambil berlari menubruk ibunya.
"Anak ini akan menjadi bibit penyakit di kemudian hari!" desis Gajula.
Seketika didorongkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...!
Angin keras berhembus keluar dari kedua telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu meluncur deras ke arah Sapta yang tengah berlari menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di tanah.
Tapi sebelum angin pukulan Gajula itu mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu berkelebat menyambar bocah kecil itu.
Brakkk...!
Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah sasaran itu.
"Keparat...!"
Gajula berteriak memaki. Digenjotkan kakinya mengejar ke arah berkelebatnya sosok bayangan itu. Tapi, sosok bayangan itu telah lebih dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak dan pepohonan.
Sosok bayangan yang ternyata berjuluk Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke tempat tinggalnya di Lereng Gunung Jarak. Di situ kakek kurus kering ini memiliki sebuah perguruan, yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.
Sejak saat itu, Sapta menjadi muridnya. Apalagi setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang baik untuk mempelajari ilmu silat.
"Apa yang kau pikirkan, Sapta?" tanya Pengemis Tongkat Merah memenggal lamunan pemuda berhidung melengkung itu.
"Ah...!" Sapta berdesah kaget "Tidak, Guru. Tidak ada yang kupikirkan."
Pengemis Tongkat Merah tersenyum maklum. "Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil, kau tidak menyahut. Aku yakin, ada sesuatu yang tengah kau pikirkan."
Sapta tertunduk diam.
"Kau tengah memikirkan peristiwa sepuluh tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.
Beberapa saat lamanya pemuda berhidung melengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah dengan sabar menunggu. Dan memang, penantian kakek ini tidak sia-sia. Perlahan namun pasti kepala muridnya terangguk pelan.
"Sudah kuduga...," ucap kakek berpakaian rompi tambalan itu. "Memang sudah saatnya kau mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk orang yang membutuhkan. Aku tidak akan menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas kematian orang tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku. Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan semampumu!"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru...."
Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tampak gembira. "Kapan kau akan berangkat?" tanya kakek itu.
"Besok, Guru!"
Kakek kurus kering ini terdiam sejenak. "Kau setuju, kalau Kami ikut turun gunung bersamamu?"
Sapta menundukkan kepalanya. Dengan ekor mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di samping gurunya. Selama ini Kami-lah yang selalu menemani berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di atas kepandaiannya. Karena di samping Kami memiliki bakat yang hebat, gadis itu telah dididik lebih dulu oleh Pengemis Tongkat Merah.
"Bagaimana, Sapta?" desak kakek itu ketika melihat pemuda berhidung melengkung itu diam saja.
"Terserah pada Kami, Guru," sahut Sapta mengelak.
"Jawablah sebagaimana seharusnya seorang laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu. Tajam nada suaranya.
"Kalau aku, setuju saja, Guru. Bahkan merasa senang sekali, bila Dik Kami bersedia ikut!" tegas pemuda itu.
Ekor matanya melirik wajah gadis di sebelah gurunya. Dilihatnya wajah gadis itu berseri-seri. Kami memang gadis pendiam. Dan secara diam-diam pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.
"Ha ha ha...! Itu baru jawaban seorang laki-laki, Sapta! Baik, besok kalian berangkat!"
Keesokan harinya, tampak dua sosok tubuh bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah Kami dan Sapta. Berkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk menuruni lereng gunung itu.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment