Baru beberapa jurus bertarung tiba-tiba terdengar suara riuh disusul munculnya puluhan orang rimba persilatan golongan putih. Inilah orang-orang yang berhasil dikumpulkan Satria dan Mega.
Karuan saja melihat serbuan ini anak buah Siluman Tengkorak Putih yang sejak tadi menonton pertarungan dahsyat itu bubar. Mereka segera menyambut serbuan tamu-tamu yang tak diundang itu. Maka kini terjadilah tiga kelompok pertempuran.
Di antara pertarungan itu yang paling ramai dan menegangkan adalah pertarungan antara Arya buana alias Dewa Arak melawan Siluman Tengkorak Putih. Mereka berdualah yang menjadi penentu kemenangan dua golongan yang saling bertarung itu.
Berbeda dengan pertarungan Siluman Tengkorak Putih yang berimbang, pertarungan Raja Racun Pencabut Nyawa melawan Satria, Mega dan Ningrum berjalan berat sebelah.
Memang bila diperhitungkan kepandaian Satria dan Mega masih terlalu jauh untuk menghadapi Raja Racun itu. di antara mereka bertiga Ningrumlah yang memiliki kepandaian paling tinggi. Maka gadis itulah yang mendapat tekanan dari Lindu alias Raja Racun Pencabut Nyawa. Raja Racun yang cerdik tahu kalau gadis putri si Raja Pisau Terbang ini bisa dirubuhkan maka rubuh pulalah semuanya.
Tentu saja akibatnya terasa sekali bagi Ningrum. Memang gadis ini masih kalah segala-galanya dibanding lawannya. Kalah tenaga, kelincahan dan juga pengalaman. Gadis putri Raja Pisau Terbang inipun segera terdesak. Sepasang pisau terbang di tangannya kini hanya dapat digunakan untuk melindungi dirinya.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang tidak ingin berlama-lama dalam pertarungan ini apalagi setelah sekian lama lawannya tidak juga dapat dirubuhkan segera mengeluarkan pukulan beracun. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama kemudian ketiga orang muda itu akan rubuh di tangan raja racun ini. Kalau saja…
“Keji sekali kau Raja Racun! Menghadapi anak-anak muda pun masih bermain racun!”.
Berbareng dengan suara teguran itu muncullah sesosok tubuh tinggi kurus dan berkulit hitam. Kumis dan jenggot yang telah memutih menghias wajahnya. Yang luar biasa adalah sepasang matanya. Begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata seekor kucing dalam gelap.
Begitu datang kakek ini segera menggerakkan kedua tangannya menghalau serangan-serangan beracun Raja Racun iu. Gerakan tangannya begitu cepat dan tiba-tiba seperti gerak seekor ular yang menyambar mangsa.
“Ah! Kau... Kau.!”
Teriak Raja Racun Pencabut Nyawa tertahan. Kegugupan tergambar jelas pada wajahnya. Untuk beberapa saat kewaspadaannya mengendur. Kesempatan ini tak disia-siakan Satria. Dengan kecepatan kilat pedangnya menyambar ke arah perut Raja Racun ini.
“Akh..!”
Raja Racun Pencabut Nyawa memekik tertahan. Darah langsung muncrat dari perut yang tertembus pedang hingga ke punggung itu.
Raja Racun Pencabut Nyawa meraung keras. Tangannya pun bergerak mengancam Satria sehingga pemuda itu kelihatan gugup. Untungnya kakek penolong itu bertindak cepat dan menangkis serangan itu.
“Plakkk!”
Tubuh Raja Racun Pencabut Nyawa terhuyung ke belakang. Dan saat itu hampir berbarengan Ningrum dan Mega melancarkan serangan.
“Cappp! Cappp! Cappp!”
Dua pisau terbang dan satu pedang itu telak sekali menghunjam tubuh Raja Racun. Laki-laki yang bernama asli Lindu itu berteriak ngeri. Tanpa ampun lagi tubuhnya ambruk ke tanah. Napasnya megap-megap.
“Arya... Arya...” Lirih terdengar suara iblis itu.
Satria yang melihat iblis itu belum tewas segera menyusuli dengan sebuah tusukan ke arah jantung. Tetapi sebelum pedang itu mengenai sasaran segundukan angin keras mendorongnya hingga terjengkang. Cepat pemuda ini bersalto di udara beberapa kali untuk mematahkan daya dorong itu lalu hinggap ringan di tanah.
“Tahan dulu pedangmu, Anak Muda. Nampaknya ia ingin mengatakan sesuatu”.
Kata kakek yang telah menolongnya tadi. Tahulah pemuda itu kini. Rupanya angin keras tadi berasal dari kakek ini.
Setelah berkata demikian kakek itu menghampiri Raja Racun Pencabut Nyawa yang tergolek tak berdaya.
“Ada yang ingin kau katakan untuk Arya, Raja Racun? Cepatlah katakan biar aku yang akan menyampaikannya”, ujar kakek itu ramah.
Bibir Raja Racun Pencabut Nyawa bergerak-gerak pelan. terpaksa kakek itu mendekatkan telinganya ke mulut Raja Racun beberapa saat lamanya. Kakek itu baru menjauhkan kepalanya setelah tidak terdengar lagi suara dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. Dia kini telah tewas.
Sementara itu pertarungan antara Arya buana melawan Siluman Tengkorak Putih telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus! Perlahan namun pasti Dewa Arak yang mengerahkan jurus Delapan Langkah Belalang dan jurus Belalang Mabuk yang dialiri pengerahan Tenaga Dalam Inti Matahari, mulai dapat menguasai keadaan. Sampai pada suatu saat.
“Hiyaaa...!”
Siluman Tengkorak Putih yang sudah putus asa langsung menyerang Dewa Arak tanpa memperdulikan pertahanan lagi. Jari-jari kedua tangannya yang membentuk patuk ular bertubi-tubi menyerang pelipis dan ubun-ubun Arya.
Arya Buana kaget sekali. Disadari kalau lawannya ini berniat mengadu nyawa. Rasanya tidak mungkin lagi mengelakkan serangan itu kalau masih ingin selamat. Dewa Arak itu tahu kalau mengelakkan serangan sepasang kaki Siluman Tengkorak Putih akan bertubi-tubi mengancamnya dengan jurus Tendangan Kilat. Dan hal ini akan lebih membahayakan dirinya. Maka pemuda ini memutuskan untuk menangkis walaupun posisinya saat itu tidak memungkinkan.
Arya mengangkat tangan kirinya menjegal kedua serangan yang mengancam ubun-ubun dan pelipisnya itu. Berbarengan dengan itu guci di tangan kanannya menggedor dada Siluman Tengkorak Putih yang terbuka lebar.
“Plakkk! Tukkk! Buggg!”
Arya terhuyung satu langkah. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit yang mendera tangan kiri. Serangan yang menuju ubun-ubunnya memang dapat ditangkis dengan jari-jari tangan. Akan tetapi serangan yang mengancam pelipis terpaksa dihadang dengan pangkal lengan. Dan akibatnya sesaat lamanya dirasakan tangan itu bagaikan lumpuh.
Tetapi meskipun demikian keadaan yang diterima Arya masih lebih ringan ketimbang yang diterima Siluman Tengkorak Putih. Tubuh siluman itu terjengkang ketika guci Dewa Arak menghantam keras dadanya. Bagian bawah selubungnya yang berwarna putih nampak kini memerah. Siluman itu telah menyemburkan darah dari mulutnya!
Arya yang tahu betapa berbahayanya Siluman Tengkorak Putih itu, tidak lagi memberi kesempatan. Cepat tubuhnya melesat menyusul tubuh siluman itu.
“Haaat…!”
Arya melempar gucinya ke udara. Dan kini dengan tangan kosong dihajarnya dada siluman itu.
“Bukkk!”
“Hugh!”
Siluman Tengkorak Putih mengeluh tertahan. Jelas terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang dada yang berpatahan. Tetapi Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat-cepat tangan kanannya menangkap guci yang kini meluncur turun. Dan secepat guci itu tertangkap secepat itu pula diayunkan ke arah kepala Siluman Tengkorak Putih.
“Wuuut!”
“Prakkk!”
Terdengar suara berderak keras ketika guci itu menghantam sasaran. Kontan tubuh siluman itu rubuh ke tanah. Tanpa dapat bersambat lagi dia tergeletak tak bergerak-gerak. Mati.
Arya segera menghampiri tubuh siluman itu. dicopotnya selubung yang selama ini menutupi wajah aslinya. Nampak seraut wajah kurus berkumis jarang-jarang. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Ada sebuah tompel pada pipi sebelah kiri.
“Bomantara”. Desis Dewa Arak begitu melihat ciri-ciri siluman itu.
“Benar, dia Bomantara alias Gerda”, sambut sebuah suara.
Arya menoleh ke sebelahnya dengan perasaan kaget. Suara itu amat dikenalnya! Nampak olehnya seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam berkumis dan berjenggot putih. Sorot matanya nampak mencorong kehijauan.
Beberapa saat lamanya Arya terdiam. Diamat-amati kakek ini penuh perhatian. Rasa-rasanya dikenali betul suara dan potongan kakek ini. Tapi.
“Ha..ha..ha.. Tidak mengenaliku lagi Arya?” setelah berkata demikian kakek itu mencopot kumis dan jenggotnya. Kini yakinlah Arya siapa kakek ini.
“Kakek Ular Hitam.!” Serunya gembira.
Si kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu tertawa bergelak. Dipeluknya Arya penuh rasa kasih sayang.
“Bagaimana Kakek bisa sampai di sini?” tanya Arya gembira.
“Nanti kuceritakan. Sekarang supaya kau tidak bingung, perlu kujelaskan mengenai Siluman Tengkorak Putih ini. dia oleh orang-orang persilatan dikenal bernama asli Gerda. Aku sendiri baru mengetahuinya sewaktu melihat kau bertarung dengannya. Nama aslinya memang Gerda. Dia murid Raja Racun Pencabut Nyawa. Padaku dia memakai nama palsu sebagai Bomantara. Jadi murid murtad itu telah sekaligus menjadi tiga tokoh. Gerda, Bomantara dan Siluman Tengkorak Putih. Untung saja waktu Bomantara masih jadi muridku aku tak pernah menceritakan kalau kitab-kitab ilmu milik Ki Gering Langit seluruhnya ada padaku. Kalau tidak...!” Desah Ular Hitam seperti untuk dirinya sendiri.
Arya manggut-manggut “Lalu kenapa Kakek sampai berada di sini? Dan mengapa pula harus menyamar?”
Ular Hitam tersenyum. “Sewaktu kau pergi aku mendengar kekacauan di dunia persilatan dengan munculnya Siluman Tengkorak Putih. Kudengar juga dia telah langsung merajai kaum sesat. Dugaanku siluman itu pasti Bomantara. Dan jika benar. Kau akan berhadapan dengan banyak lawan. Bomantara, Raja Racun Pencabut Nyawa dan juga Bargola. Maka kuputuskan untuk menyusulmu. Yah..siapa tahu kau butuh bantuan. Hm, paling tidak aku dapat mencegah Bargola membantu Bomantara. Dalam perjalanan aku bertemu Raja Pisau Terbang. Dan ketika melihatku dia langsung saja memohon agar aku mewakilinya membantu putrinya yang ingin menyerbu markas Siluman Tengkorak Putih. Karena telah menduga bahwa siluman itu adalah Bomantara aku terpaksa menyamar agar tidak membuatnya terkejut”.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda telah mengerti. Tak lama kemudian, Ular Hitam memberitahukan pesan mendiang Raja Racun Pencabut Nyawa kepada pemuda itu.
“Ah...!”
Dewa Arak tersentak kaget. Baru pemuda itu teringat pada pamannya. Bergegas ia berlari menghampiri mayat Raja Racun. Ada tersirat penyesalan yang mendalam pada wajah pemuda itu. biar bagaimanapun juga orang itu adalah pamannya sendiri.
Arya berjongkok di depan mayat Raja Racun itu. Dipandanginya sosok yang telah kaku itu dengan perasaan sedih. Bagaimanapun jahatnya pamannya itu tapi di saat-saat terakhir telah tumbuh kasih sayang kepada keponakannya. Ya, di saat menjelang ajal Raja Racun Pencabut Nyawa telah memberitahukan bahwa ibu Arya buana berada di Perguruan Mawar Merah.
Tanpa ragu-ragu lagi Aryapun mengulurkan tangan dan memondong tubuh pamannya itu. Perlahan-lahan ia bergerak bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Seiring tewasnya Siluman Tengkorak Putih pertarungan langsung berhenti. Para anak buah siluman itu sadar, bahwa tidak ada gunanya melawan lagi. Maka mereka segera melarikan diri. Yang tidak sempat melarikan diri segera menyerah untuk mencari selamat.
Sejak Arya berhasil merubuhkan Siluman Tengkorak Putih, pandang mata Ningrum tidak lepas-lepasnya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu. jantungnya berdetak aneh.
Berkali-kali ia mencuri-curi pandang. Ia baru mengalihkan perhatian ketika Satria memanggilnya. Dan sewaktu menoleh lagi ke arah Dewa Arak dan Ular Hitam berada, keduanya telah lenyap.
Betapapun Ningrum mengedarkan pandangannya tetap saja tidak terlihat pemuda berpakaian ungu itu lagi.
“Mencari siapa, Ningrung?” tanya Satria heran melihat gadis itu celingukan ke sana ke mari.
“Eh....anu.. orang yang mengalahkan Siluman Tengkorak Putih”. Sahut gadis itu gugup.
“Oh! Arya Buana, si Dewa Arak yang kuceritakan padamu. Ingat?”.
“Oh..” Ningrum manggut-manggut. “Lalu ke mana dia sekarang?”.
Satria celingukan sebentar.
“Dia sudah pergi, Ningrum”.
“Pergi?” tanya Ningrum.
Ada nada kekecewaan dalam suaranya. Dengan lunglai dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya, seiring perginya pemuda gagah bernama Arya buana yang dijuluki Dewa Arak.
Sementara itu di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, seorang pemuda berwajah jantan dan berambut putih keperakan perlahan-lahan meninggalkan sebuah gundukan tanah merah yang masih baru.
Jelas, pemuda itu adalah si Dewa Arak. Kini dengan langkah pasti pemuda berpakaian ungu itu melanjutkan perjalanannya. Banyak tugas yang menantinya sebagai seorang pendekar. Terlebih dia masih harus mencari ibunya di Perguruan Mawar Merah.
Nah, bagi para pembaca yang ingin mengikuti petualangan Arya buana selanjutnya, silahkan tunggu serial Dewa Arak dalam episode “Dewi Penyebar Maut”.
SELESAI
Karuan saja melihat serbuan ini anak buah Siluman Tengkorak Putih yang sejak tadi menonton pertarungan dahsyat itu bubar. Mereka segera menyambut serbuan tamu-tamu yang tak diundang itu. Maka kini terjadilah tiga kelompok pertempuran.
Di antara pertarungan itu yang paling ramai dan menegangkan adalah pertarungan antara Arya buana alias Dewa Arak melawan Siluman Tengkorak Putih. Mereka berdualah yang menjadi penentu kemenangan dua golongan yang saling bertarung itu.
Berbeda dengan pertarungan Siluman Tengkorak Putih yang berimbang, pertarungan Raja Racun Pencabut Nyawa melawan Satria, Mega dan Ningrum berjalan berat sebelah.
Memang bila diperhitungkan kepandaian Satria dan Mega masih terlalu jauh untuk menghadapi Raja Racun itu. di antara mereka bertiga Ningrumlah yang memiliki kepandaian paling tinggi. Maka gadis itulah yang mendapat tekanan dari Lindu alias Raja Racun Pencabut Nyawa. Raja Racun yang cerdik tahu kalau gadis putri si Raja Pisau Terbang ini bisa dirubuhkan maka rubuh pulalah semuanya.
Tentu saja akibatnya terasa sekali bagi Ningrum. Memang gadis ini masih kalah segala-galanya dibanding lawannya. Kalah tenaga, kelincahan dan juga pengalaman. Gadis putri Raja Pisau Terbang inipun segera terdesak. Sepasang pisau terbang di tangannya kini hanya dapat digunakan untuk melindungi dirinya.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang tidak ingin berlama-lama dalam pertarungan ini apalagi setelah sekian lama lawannya tidak juga dapat dirubuhkan segera mengeluarkan pukulan beracun. Sudah dapat dipastikan kalau tak lama kemudian ketiga orang muda itu akan rubuh di tangan raja racun ini. Kalau saja…
“Keji sekali kau Raja Racun! Menghadapi anak-anak muda pun masih bermain racun!”.
Berbareng dengan suara teguran itu muncullah sesosok tubuh tinggi kurus dan berkulit hitam. Kumis dan jenggot yang telah memutih menghias wajahnya. Yang luar biasa adalah sepasang matanya. Begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti mata seekor kucing dalam gelap.
Begitu datang kakek ini segera menggerakkan kedua tangannya menghalau serangan-serangan beracun Raja Racun iu. Gerakan tangannya begitu cepat dan tiba-tiba seperti gerak seekor ular yang menyambar mangsa.
“Ah! Kau... Kau.!”
Teriak Raja Racun Pencabut Nyawa tertahan. Kegugupan tergambar jelas pada wajahnya. Untuk beberapa saat kewaspadaannya mengendur. Kesempatan ini tak disia-siakan Satria. Dengan kecepatan kilat pedangnya menyambar ke arah perut Raja Racun ini.
“Akh..!”
Raja Racun Pencabut Nyawa memekik tertahan. Darah langsung muncrat dari perut yang tertembus pedang hingga ke punggung itu.
Raja Racun Pencabut Nyawa meraung keras. Tangannya pun bergerak mengancam Satria sehingga pemuda itu kelihatan gugup. Untungnya kakek penolong itu bertindak cepat dan menangkis serangan itu.
“Plakkk!”
Tubuh Raja Racun Pencabut Nyawa terhuyung ke belakang. Dan saat itu hampir berbarengan Ningrum dan Mega melancarkan serangan.
“Cappp! Cappp! Cappp!”
Dua pisau terbang dan satu pedang itu telak sekali menghunjam tubuh Raja Racun. Laki-laki yang bernama asli Lindu itu berteriak ngeri. Tanpa ampun lagi tubuhnya ambruk ke tanah. Napasnya megap-megap.
“Arya... Arya...” Lirih terdengar suara iblis itu.
Satria yang melihat iblis itu belum tewas segera menyusuli dengan sebuah tusukan ke arah jantung. Tetapi sebelum pedang itu mengenai sasaran segundukan angin keras mendorongnya hingga terjengkang. Cepat pemuda ini bersalto di udara beberapa kali untuk mematahkan daya dorong itu lalu hinggap ringan di tanah.
“Tahan dulu pedangmu, Anak Muda. Nampaknya ia ingin mengatakan sesuatu”.
Kata kakek yang telah menolongnya tadi. Tahulah pemuda itu kini. Rupanya angin keras tadi berasal dari kakek ini.
Setelah berkata demikian kakek itu menghampiri Raja Racun Pencabut Nyawa yang tergolek tak berdaya.
“Ada yang ingin kau katakan untuk Arya, Raja Racun? Cepatlah katakan biar aku yang akan menyampaikannya”, ujar kakek itu ramah.
Bibir Raja Racun Pencabut Nyawa bergerak-gerak pelan. terpaksa kakek itu mendekatkan telinganya ke mulut Raja Racun beberapa saat lamanya. Kakek itu baru menjauhkan kepalanya setelah tidak terdengar lagi suara dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. Dia kini telah tewas.
Sementara itu pertarungan antara Arya buana melawan Siluman Tengkorak Putih telah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus! Perlahan namun pasti Dewa Arak yang mengerahkan jurus Delapan Langkah Belalang dan jurus Belalang Mabuk yang dialiri pengerahan Tenaga Dalam Inti Matahari, mulai dapat menguasai keadaan. Sampai pada suatu saat.
“Hiyaaa...!”
Siluman Tengkorak Putih yang sudah putus asa langsung menyerang Dewa Arak tanpa memperdulikan pertahanan lagi. Jari-jari kedua tangannya yang membentuk patuk ular bertubi-tubi menyerang pelipis dan ubun-ubun Arya.
Arya Buana kaget sekali. Disadari kalau lawannya ini berniat mengadu nyawa. Rasanya tidak mungkin lagi mengelakkan serangan itu kalau masih ingin selamat. Dewa Arak itu tahu kalau mengelakkan serangan sepasang kaki Siluman Tengkorak Putih akan bertubi-tubi mengancamnya dengan jurus Tendangan Kilat. Dan hal ini akan lebih membahayakan dirinya. Maka pemuda ini memutuskan untuk menangkis walaupun posisinya saat itu tidak memungkinkan.
Arya mengangkat tangan kirinya menjegal kedua serangan yang mengancam ubun-ubun dan pelipisnya itu. Berbarengan dengan itu guci di tangan kanannya menggedor dada Siluman Tengkorak Putih yang terbuka lebar.
“Plakkk! Tukkk! Buggg!”
Arya terhuyung satu langkah. Mulutnya menyeringai menahan rasa sakit yang mendera tangan kiri. Serangan yang menuju ubun-ubunnya memang dapat ditangkis dengan jari-jari tangan. Akan tetapi serangan yang mengancam pelipis terpaksa dihadang dengan pangkal lengan. Dan akibatnya sesaat lamanya dirasakan tangan itu bagaikan lumpuh.
Tetapi meskipun demikian keadaan yang diterima Arya masih lebih ringan ketimbang yang diterima Siluman Tengkorak Putih. Tubuh siluman itu terjengkang ketika guci Dewa Arak menghantam keras dadanya. Bagian bawah selubungnya yang berwarna putih nampak kini memerah. Siluman itu telah menyemburkan darah dari mulutnya!
Arya yang tahu betapa berbahayanya Siluman Tengkorak Putih itu, tidak lagi memberi kesempatan. Cepat tubuhnya melesat menyusul tubuh siluman itu.
“Haaat…!”
Arya melempar gucinya ke udara. Dan kini dengan tangan kosong dihajarnya dada siluman itu.
“Bukkk!”
“Hugh!”
Siluman Tengkorak Putih mengeluh tertahan. Jelas terdengar suara gemeretak dari tulang-tulang dada yang berpatahan. Tetapi Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Cepat-cepat tangan kanannya menangkap guci yang kini meluncur turun. Dan secepat guci itu tertangkap secepat itu pula diayunkan ke arah kepala Siluman Tengkorak Putih.
“Wuuut!”
“Prakkk!”
Terdengar suara berderak keras ketika guci itu menghantam sasaran. Kontan tubuh siluman itu rubuh ke tanah. Tanpa dapat bersambat lagi dia tergeletak tak bergerak-gerak. Mati.
Arya segera menghampiri tubuh siluman itu. dicopotnya selubung yang selama ini menutupi wajah aslinya. Nampak seraut wajah kurus berkumis jarang-jarang. Usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Ada sebuah tompel pada pipi sebelah kiri.
“Bomantara”. Desis Dewa Arak begitu melihat ciri-ciri siluman itu.
“Benar, dia Bomantara alias Gerda”, sambut sebuah suara.
Arya menoleh ke sebelahnya dengan perasaan kaget. Suara itu amat dikenalnya! Nampak olehnya seorang kakek bertubuh tinggi kurus, berkulit hitam berkumis dan berjenggot putih. Sorot matanya nampak mencorong kehijauan.
Beberapa saat lamanya Arya terdiam. Diamat-amati kakek ini penuh perhatian. Rasa-rasanya dikenali betul suara dan potongan kakek ini. Tapi.
“Ha..ha..ha.. Tidak mengenaliku lagi Arya?” setelah berkata demikian kakek itu mencopot kumis dan jenggotnya. Kini yakinlah Arya siapa kakek ini.
“Kakek Ular Hitam.!” Serunya gembira.
Si kakek yang ternyata memang Ular Hitam itu tertawa bergelak. Dipeluknya Arya penuh rasa kasih sayang.
“Bagaimana Kakek bisa sampai di sini?” tanya Arya gembira.
“Nanti kuceritakan. Sekarang supaya kau tidak bingung, perlu kujelaskan mengenai Siluman Tengkorak Putih ini. dia oleh orang-orang persilatan dikenal bernama asli Gerda. Aku sendiri baru mengetahuinya sewaktu melihat kau bertarung dengannya. Nama aslinya memang Gerda. Dia murid Raja Racun Pencabut Nyawa. Padaku dia memakai nama palsu sebagai Bomantara. Jadi murid murtad itu telah sekaligus menjadi tiga tokoh. Gerda, Bomantara dan Siluman Tengkorak Putih. Untung saja waktu Bomantara masih jadi muridku aku tak pernah menceritakan kalau kitab-kitab ilmu milik Ki Gering Langit seluruhnya ada padaku. Kalau tidak...!” Desah Ular Hitam seperti untuk dirinya sendiri.
Arya manggut-manggut “Lalu kenapa Kakek sampai berada di sini? Dan mengapa pula harus menyamar?”
Ular Hitam tersenyum. “Sewaktu kau pergi aku mendengar kekacauan di dunia persilatan dengan munculnya Siluman Tengkorak Putih. Kudengar juga dia telah langsung merajai kaum sesat. Dugaanku siluman itu pasti Bomantara. Dan jika benar. Kau akan berhadapan dengan banyak lawan. Bomantara, Raja Racun Pencabut Nyawa dan juga Bargola. Maka kuputuskan untuk menyusulmu. Yah..siapa tahu kau butuh bantuan. Hm, paling tidak aku dapat mencegah Bargola membantu Bomantara. Dalam perjalanan aku bertemu Raja Pisau Terbang. Dan ketika melihatku dia langsung saja memohon agar aku mewakilinya membantu putrinya yang ingin menyerbu markas Siluman Tengkorak Putih. Karena telah menduga bahwa siluman itu adalah Bomantara aku terpaksa menyamar agar tidak membuatnya terkejut”.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda telah mengerti. Tak lama kemudian, Ular Hitam memberitahukan pesan mendiang Raja Racun Pencabut Nyawa kepada pemuda itu.
“Ah...!”
Dewa Arak tersentak kaget. Baru pemuda itu teringat pada pamannya. Bergegas ia berlari menghampiri mayat Raja Racun. Ada tersirat penyesalan yang mendalam pada wajah pemuda itu. biar bagaimanapun juga orang itu adalah pamannya sendiri.
Arya berjongkok di depan mayat Raja Racun itu. Dipandanginya sosok yang telah kaku itu dengan perasaan sedih. Bagaimanapun jahatnya pamannya itu tapi di saat-saat terakhir telah tumbuh kasih sayang kepada keponakannya. Ya, di saat menjelang ajal Raja Racun Pencabut Nyawa telah memberitahukan bahwa ibu Arya buana berada di Perguruan Mawar Merah.
Tanpa ragu-ragu lagi Aryapun mengulurkan tangan dan memondong tubuh pamannya itu. Perlahan-lahan ia bergerak bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Seiring tewasnya Siluman Tengkorak Putih pertarungan langsung berhenti. Para anak buah siluman itu sadar, bahwa tidak ada gunanya melawan lagi. Maka mereka segera melarikan diri. Yang tidak sempat melarikan diri segera menyerah untuk mencari selamat.
Sejak Arya berhasil merubuhkan Siluman Tengkorak Putih, pandang mata Ningrum tidak lepas-lepasnya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu. jantungnya berdetak aneh.
Berkali-kali ia mencuri-curi pandang. Ia baru mengalihkan perhatian ketika Satria memanggilnya. Dan sewaktu menoleh lagi ke arah Dewa Arak dan Ular Hitam berada, keduanya telah lenyap.
Betapapun Ningrum mengedarkan pandangannya tetap saja tidak terlihat pemuda berpakaian ungu itu lagi.
“Mencari siapa, Ningrung?” tanya Satria heran melihat gadis itu celingukan ke sana ke mari.
“Eh....anu.. orang yang mengalahkan Siluman Tengkorak Putih”. Sahut gadis itu gugup.
“Oh! Arya Buana, si Dewa Arak yang kuceritakan padamu. Ingat?”.
“Oh..” Ningrum manggut-manggut. “Lalu ke mana dia sekarang?”.
Satria celingukan sebentar.
“Dia sudah pergi, Ningrum”.
“Pergi?” tanya Ningrum.
Ada nada kekecewaan dalam suaranya. Dengan lunglai dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Terasa seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya, seiring perginya pemuda gagah bernama Arya buana yang dijuluki Dewa Arak.
Sementara itu di sebuah tempat yang jauh dari keramaian, seorang pemuda berwajah jantan dan berambut putih keperakan perlahan-lahan meninggalkan sebuah gundukan tanah merah yang masih baru.
Jelas, pemuda itu adalah si Dewa Arak. Kini dengan langkah pasti pemuda berpakaian ungu itu melanjutkan perjalanannya. Banyak tugas yang menantinya sebagai seorang pendekar. Terlebih dia masih harus mencari ibunya di Perguruan Mawar Merah.
Nah, bagi para pembaca yang ingin mengikuti petualangan Arya buana selanjutnya, silahkan tunggu serial Dewa Arak dalam episode “Dewi Penyebar Maut”.
SELESAI
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment