Dalam waktu yang tak lama, kehadiran pemuda yang dijuluki orang sebagai Dewa Arak telah menggegerkan rimba persilatan. Kata orang ciri-ciri dia adalah berambut putih keperakan dan berpakaian ungu. Sedangkan ciri yang menonjol adalah sebuah guci yang selalu tersampir di punggung!
Pagi ini udara nampak cerah. Hanya sedikit awan menggantung di langit. Walaupun udara begitu bersih tak ada tanda akan hujan namun seorang pemuda bergegas melangkah kakinya. Apalagi setelah melihat perbatasan Desa Kecipir.
Dia adalah Arya Buana yang ingin segera mengetahui keadaan ayahnya. Pemuda ini kawatir terjadi sesuatu pada ayahnya. Ucapan Ki Pandu waktu itu telah mengganggu pikirannya. Katanya Siluman Tengkorak Putih telah mengganas, membunuhi para pendekar dan menghancurkan perguruan-perguruan silat yang beraliran putih. Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Arya Buana.
Tetapi sebelum kakinya mencapai perbatasan desa, sebuah bisikan halus membuat dia harus menghentikan langkahnya.
“Dik Arya”.
Arya Buana menoleh ke arah asal suara. Dan dari balik kerimbunan semak-semak terlihat sebuah kepala tersembul. Untuk sesaat lamanya alis pemuda berbaju ungu ini berkerut. Rasanya pernah melihat wajah ini tapi kapan dan di mana, ia lupa.
“Aku Satria”.
“Ah, Ka.”
Kini Arya teringat di mana pernah bertemu pemuda itu. di mana lagi kalau bukan di Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di Gunung Waru.
“Dik Arya, sudah demikian besarnya dirimu. Hampir-hampir saja aku lupa”.
“Kang Satria bagaimana kabarmu?” tanya Arya gembira sehingga bersuara agak keras.
“Ssst….!”
Si pemilik suara yang ternyata adalah Satria itu menempelkan jari telunjuknya di bibir mencegah Arya bicara keras-keras. Dilambaikan tangannya pada pemuda itu.
Arya menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah dilihatnya suasana sekitar situ sepi, bergegas dihampirinya Satria yang hanya berjarak dua tombak darinya.
“Ada apa Kakang Satria?” tanya Arya dengan suara perlahan.
“Nanti saja kuceritakan. Sekarang kau ikut aku saja...” ajak Satria.
Arya meragu sejenak. “Sayang sekali, Kang. Kalau sekarang aku tidak bisa ikut... aku masih ada urusan”.
Wajah Satria mendadak murung. “Aku tahu Arya. Kau ingin menjumpai ayahmu, kan?”.
“Syukurlah kalau Kakang sudah tahu”, desah Arya pelan.
Dia memang merasa tidak enak melihat wajah Satria yang murung begitu menolak ajakannya.
“Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya”.
“Mengapa, Kang?” Arya tersentak.
“Karena... karena ayahmu... sudah tidak ada lagi, Arya”. Desah Satria pelan.
“Maksud, Kakang... ayah... tewas.?” tanya Arya dengan wajah pucat pasi.
Satria tidak mampu menjawab dan hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Tapi anggukkan itu sudah cukup buat Arya. Tiba-tiba saja pemuda ini berteriak keras.
Satria kontan jatuh terduduk karena dengkulnya mendadak lemas. Cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir pengaruh teriakan yang masih tersisa itu.
Dengan mata terbelalak tampaklah sebatang pohon besar tumbang. Daun-daunnya layu mengering. Pohon itu rubuh dengan diiringi suara bergemuruh begitu Arya mendorongkan kedua tangannya ke depan.
“Kubunuh kalian...! Kubunuh...! Ku... bunuuuuh...!”
Teriak pemuda berambut putih keperak-perakan itu keras. Sepasang matanya mencorong kehijauan.
Satria memandang pemuda itu dengan hati berdebar. Apa yang dlihat benar-benar mengejutkan hatinya. Sebuah pertunjukan yang menggiriskan hati!
“Katakan, Kakang, Katakan siapa yang telah membunuh ayahku?” tanya Arya dengan nafas terengah-engah.
“Sabar Arya. Tenangkan dulu pikiranmu. Aku tidak akan memberitahukan siapa pembunuh ayahmu jika kau masih diliputi amarah. Biarpun untuk itu aku harus mati di tanganmu!” tegas Satria.
Ucapan itu menyadarkan Arya dari amarahnya. Pemuda itu mengeluh pelan. Ditutupi mukanya dengan kedua tangannya. Baru setelah itu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat lamanya ia melakukan hal itu. Setelah dirasakan amarahnya telah mereda ditatapnya Satria dalam-dalam.
Satria tersenyum. “Hebat kau Arya. Jadi kau telah mendapatkan kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit itu?”
Arya hanya mengangguk.
“Jadi rupanya kaulah yang dijuluki Dewa Arak itu, Arya?” tanya Satria lebih lanjut.
“Dewa Arak? Aku? Ah, tidak salahkah apa yang kau ucapkan itu, Kang?” tanya Arya heran.
Dia memang tidak tahu julukan itu. Sebab itu memang pemberian dari orang-orang yang pernah ditolongnya.
“Ciri-ciri yang kau miliki memang menunjukkan kalau kaulah tokoh yang menggemparkan itu. Tokoh yang berani menentang kejahatan secara terang-terangan setelah Siluman Tengkorak Putih merajalela”.
“Ciri-ciri? Apakah ciri-ciri yang menunjukkan kalau aku adalah Dewa Arak itu, Kakang?”.
“Yahhh... Semua yang ada padamu itu adalah ciri-cirinya. Dewa Arak itu masih muda. Wajahnya tampan dan jantan, rahangnya kokoh rambutnya putih keperak-perakan berpakaian ungu. Selalu membawa guci arak. Dan kepandaiannya seperti Dewa yang tidak mempan senjata!”.
“Ah, belum tentu aku yang dimaksud sebagai tokoh itu, Kakang. Aku yakin bukan aku yang dimaksud”, Arya masih mencoba berkelit.
“Baiklah. Ada satu bukti lagi yang paling penting. Dan bukti inilah yang dapat menunjukkan benar tidaknya kalau kau adalah Dewa Arak yang telah menggemparkan itu”.
“Apa bukti itu, Kakang?” tanya Arya penuh gairah.
“Kenalkah kau dengan Harimau Mata Satu ?”.
“Kenal sih tidak. Tapi memang akulah yang membinasakan ketika ia hendak membumi hanguskan Desa Jati Alas”.
Satria tertawa penuh kemenangan. “Kau tahu Arya. Berita yang menyebar itupun menyebutkan demikian. Harimau Mata Satu dan gerombolannya telah dihancurkan secara mudah oleh seorang pemuda yang bernama Arya buana dan berjuluk Dewa Arak!”
“Jadi….jadi….”.
“Kau adalah Dewa Arak itu!” tegas Satria.
Arya termenung. Julukan yang aneh, pikirnya. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga julukan itu.
“Sudahlah, Kang. Aku tidak memperdulikan hal itu. Terserah orang akan menjuluki apa. Yang kuinginkan sekarang adalah jawaban darimu, Kakang. Siapa sebenarnya orang yang membunuh ayahku. Hanya itu!”.
Satria menghela napas seperti ingin mencari kata-kata yang tepat.
“Baiklah Arya. Semula aku ingin mengajakmu ke tempat kami. Aku dan tokoh-tokoh persilatan golongan putih diam-diam telah menyusun kekuatan. Di antara kami ada pula putri si Raja Pisau Terbang. Tapi karena tidak mempunyai orang yang dapat diandalkan untuk menghadapi Siluman Tengkorak Putih, kami terpaksa menahan diri. Putri Raja Pisau Terbang telah meminta ayahnya untuk membantu usaha kami. Mula-mula beliau menolak karena sudah terlalu tua dan tidak ingin mengotori tangannya dengan darah lagi. Tapi berkat usaha Ningrum yang tidak kenal putus asa, Raja Pisau Terbang mengalah juga. Beliau berjanji akan datang hari ini. Dan rencananya kami akan menyerang markas mereka nanti malam”.
“Mereka?” alis Arya berkerut.
“Ya,” jawab Satria singkat.
“Siapa mereka?” tanya Arya lagi.
“Siluman Tengkorak Putih dan anak buahnya”.
“Lalu siapa yang membunuh ayahku, Kakang?”
“Siluman Tengkorak Putih”
“Hm... Dia rupanya! Tunggulah pembalasanku keparat!” desis Arya yang berjuluk Dewa Arak dengan perasaan geram.
“Arya...” Panggil Satria ragu-ragu.
“Ada apa, Kakang”.
“Kau tidak ingin bergabung bersama kami? Kita menyerang mereka nanti malam dan sekarang hanya tinggal menunggu Raja Pisau Terbang”.
“Maafkan aku, Kakang. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu. Ingin selekasnya aku membuat perhitungan dengan siluman itu!”. tandas Arya.
“Terserah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu”, ujar Satria sambil mengangkat bahu. “Aku tidak akan menghalangi. Hanya saja pesanku, berhati-hatilah Arya. Siluman Tengkorak Putih hebat sekali. Bahkan paman gurumu telah tewas di tangannya”.
“Apa...?!” Sepasang mata Arya terbelalak. Terbayang di benaknya sesosok tubuh tua yang bertubuh bongkok udang yang amat menyayanginya. “Paman guru…. Tewas...?!”.
“Ya, bukan hanya itu saja. Si keparat itu telah membantai semua murid Perguruan Tangan Sakti. Beruntung aku, Mega dan beberapa orang berhasil menyelamatkan diri. Kalau tidak berpikir untuk membalas dendam mungkin kami labih suka mati bersama-sama mereka”. Jelas Satria lebih lanjut.
“Siluman Tengkorak Putih”. Desis Arya dengan suara ditekan. “Dosamu sudah terlampau banyak. Kau atau aku yang harus mati!”.
“Arya redakan kemarahanmu supaya kau tak celaka di tangannya. Sebelum guru tewas, Raja Pisau Terbang mengatakan kalau Siluman Tengkorak Putih itu memiliki ilmu Ular Terbang. Dan itu sempat kudengar”.
“Ilmu Ular Terbang? bukankah ilmu itu milik Ular Hitam?”
“Benar. Begitu pula yang diucapkan Raja Pisau Terbang”.
“Bomantara. Pasti! Ya, siluman itu pasti Bomantara. Tak ada lagi orang yang memiliki ilmu Ular Terbang, milik Ular Hitam kecuali dia”.
“Bomantara?” Satria mengerutkan alisnya. “Bukan, Arya. Bukan Bomantara nama siluman itu. aku ingat betul karena Raja Racun Pencabut Nyawa berkali-kali memanggil namanya. Dan bukan Bomantara nama yang dipanggil. Tapi, Gerda! Ya, Gerda”.
Beberapa saat lamanya, Arya buana termenung. Mana yang benar, Gerda atau Bomantara. Pusing memikirkannya! Apalagi ketika mendengar nama Raja Racun Pencabut Nyawa disebut-sebut. Ayahnya mengatakan kalau iblis itu adalah pamannya karena dia adalah kakak kandung ibunya. Tapi kini dia harus bertentangan dengan pamannya itu. Memang terpaksa. Bisakah ia bertarung dengan pamannya sendiri?
“Lalu dimanakah markas mereka, Kang?” tanya Arya tak ingin memikirkan masalah itu.
“Di rumahmu yang dulu”. Sahut Satria mengalah.
“Kalau begitu aku pergi dulu, Kang”.
Setelah berkata demikian tanpa menunggu jawaban Satria tubuh Arya melesat. Sebentar saja yang terlihat hanyalah titik hitam yang akhirnya lenyap di kejauhan.
Beberapa saat lamanya, Arya buana memperhatikan keadaan rumah tempat tinggalnya dari atas cabang sebuah pohon. Tampak halaman depan bangunan besar itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang nampak berjaga-jaga. Itupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh.
“Ah, hari sudah hampir gelap”, desah Arya dengan perasaan tidak sabar.
Matahari memang sudah condong ke barat. Bercak-bercak kemerahan nampak menyemburat di ujung barat sana.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak sabar lagi. Cepat dia melompat turun dari pohon itu dan bergerak mendekati tembok. Hanya dengan sebuah totolan ujung kaki yang ringan di tanah, tembok batu itu telah terlompati.
“Hup...!”
Ringan seperti jatuhnya seekor kucing, didaratkan kedua kakinya di tanah.
“Siluman Tengkorak Putih! Keluar kau!” teriak Arya dengan suara keras.
Karuan saja teriakan itu mengejutkan para penjaga. Langsung saja mereka datang mengurung pemuda berbaju ungu itu. sementara yang dikurung tenang-tenang saja sambil menenggak araknya.
“Gluk...gluk...gluk...!”
“Dia pasti Dewa Arak”. Desah salah seorang dari penjaga itu.
“Yang membasmi gerombolan Harimau Mata Satu itu?” tanya yang lainnya.
“Benar!” jawab orang itu lagi.
“Hm...!”
Terdengar suara mendengus dari mulut Arya buana. Suara dengusan itu menyadarkan para penjaga akan tujuan Dewa Arak datang ke situ. Apalagi kalau bukan membalas dendam? Bukankah Dewa Arak itu adalah Arya Buana, anak dari Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut?
Dan kini serempak para penjaga itu menyerbu Dewa Arak dengan senjata di tangan.
Arya buana yang tahu kalau nanti akan berhadapan dengan banyak lawan tidak mau bersikap main-main lagi. Langsung saja dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus Delapan Langkah Belalang dan jurus Belalang Mabuk. Guci, tangan dan semburan araknya semua ikut ambil bagian. Sesekali di tengah hujan serangan lawannya, Arya tenang-tenang saja meminum araknya.
“Prakkk! Tukkk! Prattt!“
“Akh...! Akh...! Akh...!”
Dalam segebrakan saja tiga orang penjaga kembali menjadi korban amukan Arya. Yang seorang tewas dengan kepala pecah terhantam guci arak. Seorang lagi pecah ubun-ubunnya terkena totokan jari pemuda berambut putih keperakan itu. Sedangkan yang lain lagi tewas dengan leher berlubang terkena semburan araknya.
Jerit kematian saling susul. Ke mana Arya bergerak di situ pasti ada lawan yang tewas.
Tak lama kemudian habislah para pengeroyoknya. Sebuah tawa yang pelan, berat dan bergaung segera menyambutnya begitu lawannya yang terakhir rubuh.
“Ha…ha….ha...!”
Arya cepat menoleh ke arah asal suara tawa itu. Di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak berdiri dua sosok tubuh. Sosok pertama bertubuh pendek tapi kekar, berambut awut-awutan dan bermata merah. Menilik ciri-cirinya Arya dapat menduga kalau si pendek kekar ini adalah kakak ibunya. Dialah Raja Racun Pencabut Nyawa.
Sosok kedua bertubuh tinggi kurus. Berselubung putih dan berpakaian juga serba putih. Inilah rupanya Siluman Tengkorak Putih yang menggemparkan itu. dipandanginya tokoh yang menggemparkan ini penuh perhatian. Dan betapa kagetnya Arya ketika melihat sorot mata Siluman Tengkorak Putih itu. Sorot mata itu begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan. Persis mata seekor kucing dalam gelap!
“Inikah putra Pendekar Ruyung Maut itu, Paman? Pemuda yang dulu membawa lari Pedang Bintang?” tanya Siluman Tengkorak Putih pada Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Betul, Gerda”, jawab Raja Racun itu.
“Kakang Satria benar”, gumam Arya pelan. nama iblis itu bukan Bomantara melainkan Gerda. Tapi kalau bukan Bomantara mengapa menguasai ilmu Ular Terbang?
“Ha..ha..ha..! hanya sekian sajakah ilmu yang diterimanya dari Ki Gering Langit? Huh! Kalau dulu kutahu, tidak akan sudi aku bersusah payah untuk mendapatkannya”.
“Siluman Tengkorak Putih!” bentak Arya geram. “Kau harus bayar nyawa ayahku!”.
Setelah berkata demikian, Arya segera melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih. Menyadari kelihaian lawan, sekali menyerang Arya sudah menggunakan ilmu andalannya. Guci di tangannya menyambar deras ke arah kepala lawannya.
Melihat Arya telah menerjang Siluman Tengkorak Putih, Raja Racun Pencabut Nyawa segera menghindar dari situ. Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang begitu melihat sambaran guci itu segera menundukkan kepalanya.
Untunglah sambaran guci itu lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Malah pakaian dan selubung yang dikenakan siluman itu sampai berkibar, begitu sambaran guci itu menyambar tempat kosong. Suatu tanda kalau tenaga yang mengayunkan guci itu sangat kuat.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Siluman Tengkorak Putih alias gerda ini. secepat ia mengelak secepat itu pula balas menyerang dengan sodokan tangan bertubi-tubi pada ulu hati dan leher Arya.
Arya Buana alias Dewa Arak buru-buru memiringkan kepalanya, maka serangan yang menuju lehernya mengenai tempat kosong. Sedangkan serangan yang menuju ulu hati ditangkisnya dengan tangan kiri disertai pengerahan seluruh tenaga.
“Plakkk!”
Sebuah benturan keras terdengar. Akibatnya tubuh Siluman Tengkorak Putih terhuyung mundur dua langkah. Sedangkan tubuh Arya yang berada di udara terlempar ke udara. Namun dengan manis tubuhnya melenting di udara kemudian laksana seekor kucing kedua kakinya hinggap di tanah.
“Jurus Ular Terbang?!” teriak Dewa Arak kaget.
Walau Siluman Tengkorak Putih itu baru mengeluarkan beberapa gerakan, Arya langsung mengenalinya.
“Hm. Pandangan matamu awas juga, tikus kecil!” ejek Siluman Tengkorak Putih. Baru kali ini dalam adu tenaga ia sampai terdorong dua langkah. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. “Tapi ingin kutahu apakah kaupun mampu mengenali yang ini!”.
Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih kembali menyerang Dewa Arak dengan sebuah tendangan lurus ke arah pusar. Kemudian langsung dilanjutkan tendangan menyamping ke arah leher begitu Arya menarik tubuhnya ke belakang. Tidak berhenti di situ lalu disusul tendangan yang dilakukannya sambil memutar tubuh.
“Ah...! Tendangan Kilat.?!” Desah Arya kaget.
Itulah ilmu milik Ki Gering Langit yang diwariskan kepada Bomantara. Cepat-cepat dielakkan tendangan itu dengan jurus Delapan Langkah Belalang.
“Tidak salah lagi, pasti kau Bomantara!”.
Mendadak Siluman Tengkorak Putih menghentikan gerakannya.
“Jahanam! Dari mana kau tahu nama itu, heh?!”.
“Memang sudah lama aku mencari-carimu manusia keparat! Murid murtad!” pemuda berpakaian ungu ini balas membentak.
“Keparat!”.
Setelah berkata demikian diterjangnya dewa arak. Tetapi pemuda itu tak menjadi gugup. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan dibalasnya dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyat.
Siluman Tengkorak Putih benar-benar telah mengamuk. Dikeluarkannya seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu Ular Terbang warisan Ular Hitam, ilmu Tendangan Kilat warisan Ki Gering Langit dan ilmu-ilmu racun yang diterima dari Raja Racun Pencabut Nyawa. Dan ini baru untuk pertama kalinya dilakukannya.
Tapi lawan yang dihadapi adalah Arya buana. Pewaris tunggal dari seluruh ilmu ciptaan Ki Gering Langit yang terbaru. Maka, walaupun Siluman Tengkorak Putih telah mengeluarkan segenap kemampuan tetap saja pemuda ini mampu menghadapi.
Bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyatnya. Kini Arya yang mengetahui kesaktian lawannya segera mengerahkan Tenaga Inti Matahari yang disusul dengan jurus Belalang Mabuk dan akhirnya jurus Delapan Langkah Belalang sehingga tubuhnya meliuk-liuk.
Raja Racun Pencabut Nyawa menonton pertarungan antara dua orang sakti itu tanpa berkedip. Baru kali ini disaksikan pertarungan yang begitu dahsyatnya. Debu mengepul tinggi ke udara. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon-pohon besar dan kecil yang terlanda angin pukulan nyasar bertumbangan diiringi suara gaduh.
Bukan hanya itu saja. Decit angin tajam yang berhembus dan diiringi bau amis yang memualkan perut, keluar dari setiap serangan Siluman Tengkorak Putih. Tentu saja gerombolan penjahat terpaksa menjauhi tempat itu. Belum lagi akibat setiap gerakan Arya yang berjuluk Dewa Arak itu menyebarkan hawa panas menyengat. Bahkan bisa menghanguskan kulit!
Siluman Tengkorak Putih penasaran bukan main. Apalagi ketika menyadari serangan pukulan beracunnya tidak berarti sama sekali bagi pemuda itu. dan memang tanpa diketahui Arya sendiri, pasangan ilmu Belalang Sakti dan Tenaga Dalam Inti Matahari membuatnya tidak terpengaruh segala macam racun.
Hawa beracun sudah terusir sebelum mendekati tubuh Arya. Hawa panas yang keluar dari tubuh pemuda itu telah menangkal hawa beracun yang datang menyerbu ke arahnya.
Lima puluh jurus telah cepat terlewat. Tapi tidak nampak ada tanda-tanda siapa yang akan terdesak dan siapa yang akan mendesak. Kepandaian mereka berdua sepertinya berimbang.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang menonton pertarungan itu menjadi tidak sabar, sehingga segera mendekati pertarungan. Sudah bulat tekadnya untuk membantu Gerda alias Siluman Tengkorak Putih menghadapi Dewa Arak yang sakti itu.
Tetapi baru juga bergerak mendekati terdengar suara bentakan keras disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh yang kemudian menghadang di depannya. Dua orang laki-laki yang berumur tiga puluhan dan seorang gadis yang berusia sekitar sembilan belas tahun dan berpakaian serba hijau. Wajahnya cantik manis. Apalagi dihiasi tahi lalat di pipinya. Inilah Ningrum putri Raja Pisau Terbang. Sedangkan dua laki-laki itu adalah Satria dan Mega.
Raja Racun Pencabut Nyawa menatap tiga sosok tubuh di depannya dengan pandangan mata meremehkan. Ia hanya melihat dengan ekor mata, walaupun dua laki-laki itu sudah bersiap-siap sambil menghunus pedang. Sedangkan gadis itu juga nampak sudah menggenggam sebilah pisau berwarna putih mengkilat pada kedua tangannya.
“Raja Racun! Kini saatnya kekejianmu harus ditebus dengan nyawamu!” teriak Satria keras.
Bersamaan dengan itu pedang di tangannya cepat meluncur lurus ke arah pusar Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Hiyaaa...!”
Mega yang tahu pasti betapa lihainya si Raja Racun ini dan sadar kalau kakak seperguruannya ini bukanlah lawan iblis itu segera membantu Satria. Pedang di tangannya melesat cepat membabat leher!
Ningrum pun tidak mau ketinggalan. Gadis perkasa ini segera ikut ambil bagian. Sepasang pisau terbang di tangannya berkelebat mencari sasaran di berbagai bagian tubuh lawan.
Kini Raja Racun Pencabut Nyawa tidak bisa main-main lagi. Apalagi setelah terbukti kalau tiga lawannya ini mampu saling membantu. Ia lalu mengerahkan seluruh kemampuannya.
Pagi ini udara nampak cerah. Hanya sedikit awan menggantung di langit. Walaupun udara begitu bersih tak ada tanda akan hujan namun seorang pemuda bergegas melangkah kakinya. Apalagi setelah melihat perbatasan Desa Kecipir.
Dia adalah Arya Buana yang ingin segera mengetahui keadaan ayahnya. Pemuda ini kawatir terjadi sesuatu pada ayahnya. Ucapan Ki Pandu waktu itu telah mengganggu pikirannya. Katanya Siluman Tengkorak Putih telah mengganas, membunuhi para pendekar dan menghancurkan perguruan-perguruan silat yang beraliran putih. Kata-kata itu kembali terngiang di telinga Arya Buana.
Tetapi sebelum kakinya mencapai perbatasan desa, sebuah bisikan halus membuat dia harus menghentikan langkahnya.
“Dik Arya”.
Arya Buana menoleh ke arah asal suara. Dan dari balik kerimbunan semak-semak terlihat sebuah kepala tersembul. Untuk sesaat lamanya alis pemuda berbaju ungu ini berkerut. Rasanya pernah melihat wajah ini tapi kapan dan di mana, ia lupa.
“Aku Satria”.
“Ah, Ka.”
Kini Arya teringat di mana pernah bertemu pemuda itu. di mana lagi kalau bukan di Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di Gunung Waru.
“Dik Arya, sudah demikian besarnya dirimu. Hampir-hampir saja aku lupa”.
“Kang Satria bagaimana kabarmu?” tanya Arya gembira sehingga bersuara agak keras.
“Ssst….!”
Si pemilik suara yang ternyata adalah Satria itu menempelkan jari telunjuknya di bibir mencegah Arya bicara keras-keras. Dilambaikan tangannya pada pemuda itu.
Arya menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah dilihatnya suasana sekitar situ sepi, bergegas dihampirinya Satria yang hanya berjarak dua tombak darinya.
“Ada apa Kakang Satria?” tanya Arya dengan suara perlahan.
“Nanti saja kuceritakan. Sekarang kau ikut aku saja...” ajak Satria.
Arya meragu sejenak. “Sayang sekali, Kang. Kalau sekarang aku tidak bisa ikut... aku masih ada urusan”.
Wajah Satria mendadak murung. “Aku tahu Arya. Kau ingin menjumpai ayahmu, kan?”.
“Syukurlah kalau Kakang sudah tahu”, desah Arya pelan.
Dia memang merasa tidak enak melihat wajah Satria yang murung begitu menolak ajakannya.
“Lebih baik kau urungkan niatmu, Arya”.
“Mengapa, Kang?” Arya tersentak.
“Karena... karena ayahmu... sudah tidak ada lagi, Arya”. Desah Satria pelan.
“Maksud, Kakang... ayah... tewas.?” tanya Arya dengan wajah pucat pasi.
Satria tidak mampu menjawab dan hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Tapi anggukkan itu sudah cukup buat Arya. Tiba-tiba saja pemuda ini berteriak keras.
Satria kontan jatuh terduduk karena dengkulnya mendadak lemas. Cepat dikerahkan tenaga dalamnya untuk mengusir pengaruh teriakan yang masih tersisa itu.
Dengan mata terbelalak tampaklah sebatang pohon besar tumbang. Daun-daunnya layu mengering. Pohon itu rubuh dengan diiringi suara bergemuruh begitu Arya mendorongkan kedua tangannya ke depan.
“Kubunuh kalian...! Kubunuh...! Ku... bunuuuuh...!”
Teriak pemuda berambut putih keperak-perakan itu keras. Sepasang matanya mencorong kehijauan.
Satria memandang pemuda itu dengan hati berdebar. Apa yang dlihat benar-benar mengejutkan hatinya. Sebuah pertunjukan yang menggiriskan hati!
“Katakan, Kakang, Katakan siapa yang telah membunuh ayahku?” tanya Arya dengan nafas terengah-engah.
“Sabar Arya. Tenangkan dulu pikiranmu. Aku tidak akan memberitahukan siapa pembunuh ayahmu jika kau masih diliputi amarah. Biarpun untuk itu aku harus mati di tanganmu!” tegas Satria.
Ucapan itu menyadarkan Arya dari amarahnya. Pemuda itu mengeluh pelan. Ditutupi mukanya dengan kedua tangannya. Baru setelah itu ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Beberapa saat lamanya ia melakukan hal itu. Setelah dirasakan amarahnya telah mereda ditatapnya Satria dalam-dalam.
Satria tersenyum. “Hebat kau Arya. Jadi kau telah mendapatkan kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit itu?”
Arya hanya mengangguk.
“Jadi rupanya kaulah yang dijuluki Dewa Arak itu, Arya?” tanya Satria lebih lanjut.
“Dewa Arak? Aku? Ah, tidak salahkah apa yang kau ucapkan itu, Kang?” tanya Arya heran.
Dia memang tidak tahu julukan itu. Sebab itu memang pemberian dari orang-orang yang pernah ditolongnya.
“Ciri-ciri yang kau miliki memang menunjukkan kalau kaulah tokoh yang menggemparkan itu. Tokoh yang berani menentang kejahatan secara terang-terangan setelah Siluman Tengkorak Putih merajalela”.
“Ciri-ciri? Apakah ciri-ciri yang menunjukkan kalau aku adalah Dewa Arak itu, Kakang?”.
“Yahhh... Semua yang ada padamu itu adalah ciri-cirinya. Dewa Arak itu masih muda. Wajahnya tampan dan jantan, rahangnya kokoh rambutnya putih keperak-perakan berpakaian ungu. Selalu membawa guci arak. Dan kepandaiannya seperti Dewa yang tidak mempan senjata!”.
“Ah, belum tentu aku yang dimaksud sebagai tokoh itu, Kakang. Aku yakin bukan aku yang dimaksud”, Arya masih mencoba berkelit.
“Baiklah. Ada satu bukti lagi yang paling penting. Dan bukti inilah yang dapat menunjukkan benar tidaknya kalau kau adalah Dewa Arak yang telah menggemparkan itu”.
“Apa bukti itu, Kakang?” tanya Arya penuh gairah.
“Kenalkah kau dengan Harimau Mata Satu ?”.
“Kenal sih tidak. Tapi memang akulah yang membinasakan ketika ia hendak membumi hanguskan Desa Jati Alas”.
Satria tertawa penuh kemenangan. “Kau tahu Arya. Berita yang menyebar itupun menyebutkan demikian. Harimau Mata Satu dan gerombolannya telah dihancurkan secara mudah oleh seorang pemuda yang bernama Arya buana dan berjuluk Dewa Arak!”
“Jadi….jadi….”.
“Kau adalah Dewa Arak itu!” tegas Satria.
Arya termenung. Julukan yang aneh, pikirnya. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga julukan itu.
“Sudahlah, Kang. Aku tidak memperdulikan hal itu. Terserah orang akan menjuluki apa. Yang kuinginkan sekarang adalah jawaban darimu, Kakang. Siapa sebenarnya orang yang membunuh ayahku. Hanya itu!”.
Satria menghela napas seperti ingin mencari kata-kata yang tepat.
“Baiklah Arya. Semula aku ingin mengajakmu ke tempat kami. Aku dan tokoh-tokoh persilatan golongan putih diam-diam telah menyusun kekuatan. Di antara kami ada pula putri si Raja Pisau Terbang. Tapi karena tidak mempunyai orang yang dapat diandalkan untuk menghadapi Siluman Tengkorak Putih, kami terpaksa menahan diri. Putri Raja Pisau Terbang telah meminta ayahnya untuk membantu usaha kami. Mula-mula beliau menolak karena sudah terlalu tua dan tidak ingin mengotori tangannya dengan darah lagi. Tapi berkat usaha Ningrum yang tidak kenal putus asa, Raja Pisau Terbang mengalah juga. Beliau berjanji akan datang hari ini. Dan rencananya kami akan menyerang markas mereka nanti malam”.
“Mereka?” alis Arya berkerut.
“Ya,” jawab Satria singkat.
“Siapa mereka?” tanya Arya lagi.
“Siluman Tengkorak Putih dan anak buahnya”.
“Lalu siapa yang membunuh ayahku, Kakang?”
“Siluman Tengkorak Putih”
“Hm... Dia rupanya! Tunggulah pembalasanku keparat!” desis Arya yang berjuluk Dewa Arak dengan perasaan geram.
“Arya...” Panggil Satria ragu-ragu.
“Ada apa, Kakang”.
“Kau tidak ingin bergabung bersama kami? Kita menyerang mereka nanti malam dan sekarang hanya tinggal menunggu Raja Pisau Terbang”.
“Maafkan aku, Kakang. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu. Ingin selekasnya aku membuat perhitungan dengan siluman itu!”. tandas Arya.
“Terserah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu”, ujar Satria sambil mengangkat bahu. “Aku tidak akan menghalangi. Hanya saja pesanku, berhati-hatilah Arya. Siluman Tengkorak Putih hebat sekali. Bahkan paman gurumu telah tewas di tangannya”.
“Apa...?!” Sepasang mata Arya terbelalak. Terbayang di benaknya sesosok tubuh tua yang bertubuh bongkok udang yang amat menyayanginya. “Paman guru…. Tewas...?!”.
“Ya, bukan hanya itu saja. Si keparat itu telah membantai semua murid Perguruan Tangan Sakti. Beruntung aku, Mega dan beberapa orang berhasil menyelamatkan diri. Kalau tidak berpikir untuk membalas dendam mungkin kami labih suka mati bersama-sama mereka”. Jelas Satria lebih lanjut.
“Siluman Tengkorak Putih”. Desis Arya dengan suara ditekan. “Dosamu sudah terlampau banyak. Kau atau aku yang harus mati!”.
“Arya redakan kemarahanmu supaya kau tak celaka di tangannya. Sebelum guru tewas, Raja Pisau Terbang mengatakan kalau Siluman Tengkorak Putih itu memiliki ilmu Ular Terbang. Dan itu sempat kudengar”.
“Ilmu Ular Terbang? bukankah ilmu itu milik Ular Hitam?”
“Benar. Begitu pula yang diucapkan Raja Pisau Terbang”.
“Bomantara. Pasti! Ya, siluman itu pasti Bomantara. Tak ada lagi orang yang memiliki ilmu Ular Terbang, milik Ular Hitam kecuali dia”.
“Bomantara?” Satria mengerutkan alisnya. “Bukan, Arya. Bukan Bomantara nama siluman itu. aku ingat betul karena Raja Racun Pencabut Nyawa berkali-kali memanggil namanya. Dan bukan Bomantara nama yang dipanggil. Tapi, Gerda! Ya, Gerda”.
Beberapa saat lamanya, Arya buana termenung. Mana yang benar, Gerda atau Bomantara. Pusing memikirkannya! Apalagi ketika mendengar nama Raja Racun Pencabut Nyawa disebut-sebut. Ayahnya mengatakan kalau iblis itu adalah pamannya karena dia adalah kakak kandung ibunya. Tapi kini dia harus bertentangan dengan pamannya itu. Memang terpaksa. Bisakah ia bertarung dengan pamannya sendiri?
“Lalu dimanakah markas mereka, Kang?” tanya Arya tak ingin memikirkan masalah itu.
“Di rumahmu yang dulu”. Sahut Satria mengalah.
“Kalau begitu aku pergi dulu, Kang”.
Setelah berkata demikian tanpa menunggu jawaban Satria tubuh Arya melesat. Sebentar saja yang terlihat hanyalah titik hitam yang akhirnya lenyap di kejauhan.
Beberapa saat lamanya, Arya buana memperhatikan keadaan rumah tempat tinggalnya dari atas cabang sebuah pohon. Tampak halaman depan bangunan besar itu sepi. Hanya ada beberapa orang yang nampak berjaga-jaga. Itupun kelihatannya tidak sungguh-sungguh.
“Ah, hari sudah hampir gelap”, desah Arya dengan perasaan tidak sabar.
Matahari memang sudah condong ke barat. Bercak-bercak kemerahan nampak menyemburat di ujung barat sana.
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak sabar lagi. Cepat dia melompat turun dari pohon itu dan bergerak mendekati tembok. Hanya dengan sebuah totolan ujung kaki yang ringan di tanah, tembok batu itu telah terlompati.
“Hup...!”
Ringan seperti jatuhnya seekor kucing, didaratkan kedua kakinya di tanah.
“Siluman Tengkorak Putih! Keluar kau!” teriak Arya dengan suara keras.
Karuan saja teriakan itu mengejutkan para penjaga. Langsung saja mereka datang mengurung pemuda berbaju ungu itu. sementara yang dikurung tenang-tenang saja sambil menenggak araknya.
“Gluk...gluk...gluk...!”
“Dia pasti Dewa Arak”. Desah salah seorang dari penjaga itu.
“Yang membasmi gerombolan Harimau Mata Satu itu?” tanya yang lainnya.
“Benar!” jawab orang itu lagi.
“Hm...!”
Terdengar suara mendengus dari mulut Arya buana. Suara dengusan itu menyadarkan para penjaga akan tujuan Dewa Arak datang ke situ. Apalagi kalau bukan membalas dendam? Bukankah Dewa Arak itu adalah Arya Buana, anak dari Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut?
Dan kini serempak para penjaga itu menyerbu Dewa Arak dengan senjata di tangan.
Arya buana yang tahu kalau nanti akan berhadapan dengan banyak lawan tidak mau bersikap main-main lagi. Langsung saja dikeluarkan ilmu andalannya. Jurus Delapan Langkah Belalang dan jurus Belalang Mabuk. Guci, tangan dan semburan araknya semua ikut ambil bagian. Sesekali di tengah hujan serangan lawannya, Arya tenang-tenang saja meminum araknya.
“Prakkk! Tukkk! Prattt!“
“Akh...! Akh...! Akh...!”
Dalam segebrakan saja tiga orang penjaga kembali menjadi korban amukan Arya. Yang seorang tewas dengan kepala pecah terhantam guci arak. Seorang lagi pecah ubun-ubunnya terkena totokan jari pemuda berambut putih keperakan itu. Sedangkan yang lain lagi tewas dengan leher berlubang terkena semburan araknya.
Jerit kematian saling susul. Ke mana Arya bergerak di situ pasti ada lawan yang tewas.
Tak lama kemudian habislah para pengeroyoknya. Sebuah tawa yang pelan, berat dan bergaung segera menyambutnya begitu lawannya yang terakhir rubuh.
“Ha…ha….ha...!”
Arya cepat menoleh ke arah asal suara tawa itu. Di depannya dalam jarak sekitar tiga tombak berdiri dua sosok tubuh. Sosok pertama bertubuh pendek tapi kekar, berambut awut-awutan dan bermata merah. Menilik ciri-cirinya Arya dapat menduga kalau si pendek kekar ini adalah kakak ibunya. Dialah Raja Racun Pencabut Nyawa.
Sosok kedua bertubuh tinggi kurus. Berselubung putih dan berpakaian juga serba putih. Inilah rupanya Siluman Tengkorak Putih yang menggemparkan itu. dipandanginya tokoh yang menggemparkan ini penuh perhatian. Dan betapa kagetnya Arya ketika melihat sorot mata Siluman Tengkorak Putih itu. Sorot mata itu begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan. Persis mata seekor kucing dalam gelap!
“Inikah putra Pendekar Ruyung Maut itu, Paman? Pemuda yang dulu membawa lari Pedang Bintang?” tanya Siluman Tengkorak Putih pada Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Betul, Gerda”, jawab Raja Racun itu.
“Kakang Satria benar”, gumam Arya pelan. nama iblis itu bukan Bomantara melainkan Gerda. Tapi kalau bukan Bomantara mengapa menguasai ilmu Ular Terbang?
“Ha..ha..ha..! hanya sekian sajakah ilmu yang diterimanya dari Ki Gering Langit? Huh! Kalau dulu kutahu, tidak akan sudi aku bersusah payah untuk mendapatkannya”.
“Siluman Tengkorak Putih!” bentak Arya geram. “Kau harus bayar nyawa ayahku!”.
Setelah berkata demikian, Arya segera melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih. Menyadari kelihaian lawan, sekali menyerang Arya sudah menggunakan ilmu andalannya. Guci di tangannya menyambar deras ke arah kepala lawannya.
Melihat Arya telah menerjang Siluman Tengkorak Putih, Raja Racun Pencabut Nyawa segera menghindar dari situ. Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang begitu melihat sambaran guci itu segera menundukkan kepalanya.
Untunglah sambaran guci itu lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Malah pakaian dan selubung yang dikenakan siluman itu sampai berkibar, begitu sambaran guci itu menyambar tempat kosong. Suatu tanda kalau tenaga yang mengayunkan guci itu sangat kuat.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Siluman Tengkorak Putih alias gerda ini. secepat ia mengelak secepat itu pula balas menyerang dengan sodokan tangan bertubi-tubi pada ulu hati dan leher Arya.
Arya Buana alias Dewa Arak buru-buru memiringkan kepalanya, maka serangan yang menuju lehernya mengenai tempat kosong. Sedangkan serangan yang menuju ulu hati ditangkisnya dengan tangan kiri disertai pengerahan seluruh tenaga.
“Plakkk!”
Sebuah benturan keras terdengar. Akibatnya tubuh Siluman Tengkorak Putih terhuyung mundur dua langkah. Sedangkan tubuh Arya yang berada di udara terlempar ke udara. Namun dengan manis tubuhnya melenting di udara kemudian laksana seekor kucing kedua kakinya hinggap di tanah.
“Jurus Ular Terbang?!” teriak Dewa Arak kaget.
Walau Siluman Tengkorak Putih itu baru mengeluarkan beberapa gerakan, Arya langsung mengenalinya.
“Hm. Pandangan matamu awas juga, tikus kecil!” ejek Siluman Tengkorak Putih. Baru kali ini dalam adu tenaga ia sampai terdorong dua langkah. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. “Tapi ingin kutahu apakah kaupun mampu mengenali yang ini!”.
Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih kembali menyerang Dewa Arak dengan sebuah tendangan lurus ke arah pusar. Kemudian langsung dilanjutkan tendangan menyamping ke arah leher begitu Arya menarik tubuhnya ke belakang. Tidak berhenti di situ lalu disusul tendangan yang dilakukannya sambil memutar tubuh.
“Ah...! Tendangan Kilat.?!” Desah Arya kaget.
Itulah ilmu milik Ki Gering Langit yang diwariskan kepada Bomantara. Cepat-cepat dielakkan tendangan itu dengan jurus Delapan Langkah Belalang.
“Tidak salah lagi, pasti kau Bomantara!”.
Mendadak Siluman Tengkorak Putih menghentikan gerakannya.
“Jahanam! Dari mana kau tahu nama itu, heh?!”.
“Memang sudah lama aku mencari-carimu manusia keparat! Murid murtad!” pemuda berpakaian ungu ini balas membentak.
“Keparat!”.
Setelah berkata demikian diterjangnya dewa arak. Tetapi pemuda itu tak menjadi gugup. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan dibalasnya dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyat.
Siluman Tengkorak Putih benar-benar telah mengamuk. Dikeluarkannya seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu Ular Terbang warisan Ular Hitam, ilmu Tendangan Kilat warisan Ki Gering Langit dan ilmu-ilmu racun yang diterima dari Raja Racun Pencabut Nyawa. Dan ini baru untuk pertama kalinya dilakukannya.
Tapi lawan yang dihadapi adalah Arya buana. Pewaris tunggal dari seluruh ilmu ciptaan Ki Gering Langit yang terbaru. Maka, walaupun Siluman Tengkorak Putih telah mengeluarkan segenap kemampuan tetap saja pemuda ini mampu menghadapi.
Bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyatnya. Kini Arya yang mengetahui kesaktian lawannya segera mengerahkan Tenaga Inti Matahari yang disusul dengan jurus Belalang Mabuk dan akhirnya jurus Delapan Langkah Belalang sehingga tubuhnya meliuk-liuk.
Raja Racun Pencabut Nyawa menonton pertarungan antara dua orang sakti itu tanpa berkedip. Baru kali ini disaksikan pertarungan yang begitu dahsyatnya. Debu mengepul tinggi ke udara. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah. Pohon-pohon besar dan kecil yang terlanda angin pukulan nyasar bertumbangan diiringi suara gaduh.
Bukan hanya itu saja. Decit angin tajam yang berhembus dan diiringi bau amis yang memualkan perut, keluar dari setiap serangan Siluman Tengkorak Putih. Tentu saja gerombolan penjahat terpaksa menjauhi tempat itu. Belum lagi akibat setiap gerakan Arya yang berjuluk Dewa Arak itu menyebarkan hawa panas menyengat. Bahkan bisa menghanguskan kulit!
Siluman Tengkorak Putih penasaran bukan main. Apalagi ketika menyadari serangan pukulan beracunnya tidak berarti sama sekali bagi pemuda itu. dan memang tanpa diketahui Arya sendiri, pasangan ilmu Belalang Sakti dan Tenaga Dalam Inti Matahari membuatnya tidak terpengaruh segala macam racun.
Hawa beracun sudah terusir sebelum mendekati tubuh Arya. Hawa panas yang keluar dari tubuh pemuda itu telah menangkal hawa beracun yang datang menyerbu ke arahnya.
Lima puluh jurus telah cepat terlewat. Tapi tidak nampak ada tanda-tanda siapa yang akan terdesak dan siapa yang akan mendesak. Kepandaian mereka berdua sepertinya berimbang.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang menonton pertarungan itu menjadi tidak sabar, sehingga segera mendekati pertarungan. Sudah bulat tekadnya untuk membantu Gerda alias Siluman Tengkorak Putih menghadapi Dewa Arak yang sakti itu.
Tetapi baru juga bergerak mendekati terdengar suara bentakan keras disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh yang kemudian menghadang di depannya. Dua orang laki-laki yang berumur tiga puluhan dan seorang gadis yang berusia sekitar sembilan belas tahun dan berpakaian serba hijau. Wajahnya cantik manis. Apalagi dihiasi tahi lalat di pipinya. Inilah Ningrum putri Raja Pisau Terbang. Sedangkan dua laki-laki itu adalah Satria dan Mega.
Raja Racun Pencabut Nyawa menatap tiga sosok tubuh di depannya dengan pandangan mata meremehkan. Ia hanya melihat dengan ekor mata, walaupun dua laki-laki itu sudah bersiap-siap sambil menghunus pedang. Sedangkan gadis itu juga nampak sudah menggenggam sebilah pisau berwarna putih mengkilat pada kedua tangannya.
“Raja Racun! Kini saatnya kekejianmu harus ditebus dengan nyawamu!” teriak Satria keras.
Bersamaan dengan itu pedang di tangannya cepat meluncur lurus ke arah pusar Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Hiyaaa...!”
Mega yang tahu pasti betapa lihainya si Raja Racun ini dan sadar kalau kakak seperguruannya ini bukanlah lawan iblis itu segera membantu Satria. Pedang di tangannya melesat cepat membabat leher!
Ningrum pun tidak mau ketinggalan. Gadis perkasa ini segera ikut ambil bagian. Sepasang pisau terbang di tangannya berkelebat mencari sasaran di berbagai bagian tubuh lawan.
Kini Raja Racun Pencabut Nyawa tidak bisa main-main lagi. Apalagi setelah terbukti kalau tiga lawannya ini mampu saling membantu. Ia lalu mengerahkan seluruh kemampuannya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment