Waktu berlalu tak terasa. Kadang seperti merayap lambat bagai langkah seekor siput. Tapi kadang pula seperti melesat laksana kelebatan anak panah. Tak terasa sudah lima tahun Arya berada di tempat si Ular Hitam berada, untuk berlatih ilmu-ilmu yang diwariskan Ki Gering Langit.
Kini Arya telah menjelma menjadi seorang pemuda yang tegap dan berdada bidang, bentuk wajahnya yang memang sudah terlihat jantan semakin bertambah jantan karena rahangnya yang kokoh. Rambutnya yang dulu berwarna hitam, sekarang berubah menjadi putih keperakan. Mungkin karena pengaruh Tenaga Dalam Inti Matahari dan ilmu Belalang Sakti. Usia Arya kini dua puluh tahun.
“Arya”, tegur Ular Hitam pagi itu.
Wajah kakek ini yang dulu agak gelap, sudah bersih lagi. Suatu tanda kalau racun yang berada di tubuhnya sudah lenyap.
“Ya, Kek”.
Jawab Arya yang tetap memanggil Ular Hitam seperti itu karena memang kakek itu tidak mau dipanggil guru.
“Kakek rasa sudah cukup rasanya kau menggembleng diri. Sudah tiba saatnya bagimu untuk mengamalkan apa yang dipelajari di sini untuk kepentingan orang banyak. Kakek kini telah lega melepasmu pergi. Besok kau boleh meninggalkan tempat ini....”
“Tapi, Kek....” Arya mencoba membantah.
“Tidak ada tapi-tapian lagi, Arya!” tegas Ular Hitam. “Ingat, kau banyak mempunyai tugas yang harus diselesaikan. Mencari Bomantara, ibumu juga ayahmu. Dan juga kalau aku tidak salah, Kakang Gering memberimu tugas pula, bukan?”.
“Benar, Kek” Arya mengangguk.
“Nah! Kalau begitu, apalagi yang memberatkanmu meninggalkan tempat ini?”
“Aku tidak tega meninggalkan Kakek”. Lirih suara Arya.
“Ha..ha..ha!” Ular Hitam tertawa terbahak-bahak. “Kau ini aneh, Arya. Sekarang kekuatanku telah pulih seperti Ular Hitam yang dulu. Apa yang dikawatirkan? Sudahlah Arya. Pokoknya besok kau harus meninggalkan tempat ini. Seorang pendekar tidak akan mementingkan diri sendiri, Arya. Tapi orang banyak!”.
Setelah berkata demikian, Ular Hitam melangkah pergi meninggalkan Arya yang hanya termenung memandangi punggung kakek itu hingga lenyap di kajauhan. Sama sekali pemuda itu tidak mengetahui kalau pipi kakek itu basah!
Pagi-pagi sekali Arya telah berangkat meninggalkan tempat itu. Di punggung pemuda itu bertengger guci arak terbuat dari perak pemberian Ki Gering Langit. Sedangkan Pedang Bintang sengaja ditinggalkan di tempat kediaman Ular Hitam.
Senjata itu memang tidak diperlukan lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu melangkahkan kakinya penuh semangat. Tujuannya yang pertama kali adalah mencari ayahnya. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi terhadap ayahnya sejak ia meninggalkannya lima tahun lalu. Apakah yang dikawatikan oleh ayahnya itu akan terjadi?
Beberapa hari kemudian sampailah pemuda itu di mulut sebuah desa. Maka dipercepat langkah kakinya. Perutnya kini terasa lapar bukan main. Hanya satu yang diinginkan. Makan!
Akan tetapi, Arya mengerutkan keningnya melihat suasana desa itu yang lengang. Semua pintu dan jendela nampak tertutup rapat.
“Ada apa ini?” tanya Arya dalam hati sambil mengamat-amati sekelilingnya.
“Singggg...! “
Arya terkejut mendengar desingan benda tajam yang menuju ke arahnya. Dari suaranya pemuda ini sudah bisa memperkirakan benda tajam yang terlontar itu adalah pisau.
Maka dibiarkan saja senjata gelap itu mengenainya. Pemuda ini tahu dengan tingkat tenaga dalam yang dimilikinya sekarang ini, serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
“Takkk!”
Dengan telak senjata gelap itu menghantam tubuhnya, dan langsung runtuh ke tanah! Seolah-olah yang dihantamnya bukanlah tubuh manusia, melainkan gumpalan baja!
Begitu serangan pisau itu kandas, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki berlarian menuju ke arah Arya. Pemuda ini kontan menoleh. Tampak puluhan orang menyerbu ke arahnya. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata seperti pisau, golok, kapak, pacul dan sekop!
Melihat pakaian dan senjata yang digunakan, Arya segera saja dapat menduga kalau mereka itu adalah penduduk desa ini. hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar mengapa para penduduk itu tiba-tiba menyerangnya?
“Tahan...!” Teriak Arya keras.
Akan tetapi para penduduk yang tengah marah itu tidak memperdulikan teriakan Arya. Mereka terus saja maju menerjang.
Arya segera menyadari kalau saat ini terjadi kesalah pahaman antara dirinya dengan mereka. Maka ia tidak akan bersikap keras. Setiap serangan yang datang, pemuda itu hanya berusaha menghindar saja. Apalagi setelah melihat serangan mereka. Pemuda ini tahu kalau penyerangnya kebanyakan tidak menguasai ilmu silat.
Arya hanya menggunakan jurus Delapan Langkah Belalang saja yang mempunyai kegunaan untuk mengelakkan serangan lawan. Dengan langkah sempoyongan dan gerak tubuh meliuk-liuk, dielakkan semua serangan itu sekaligus dirampasnya senjata para pengeroyoknya.
Hanya sekejap saja Arya telah membuat senjata para pengeroyoknya berpindah tangan. Sebagian di pegang sebagian lagi berserakan di tanah.
Karuan saja hal itu membuat para pengeroyoknya terbengong-bengong. Tapi hanya sebentar saja, karena di lain saat mereka sudah menyerbu kembali dengan tangan kosong. Itu setelah terdengar perintah dari orang yang paling depan yang berusia setengah baya dan berkumis tebal.
Kini Arya tahu. Maka mau tidak mau mereka harus segera dirubuhkan. Namun demikian tetap saja pemuda itu tidak ingin melukainya. Digerak-gerakkan tangannya perlahan saja dan dikerahkan sebagian kecil dari tenaganya.
Akibatnya hebat sekali! Dari kedua tangan Arya keluar angin keras berhawa hangat. Sehingga para pengeroyok itu terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah kecuali si kumis tebal itu. Dia hanya terhuyung-huyung ke belakang.
“Tahan...!”
Bentak Arya keras begitu dilihat para pengeroyoknya itu masih ingin bangkit dan menyerang lagi. Sengaja Arya mengerahkan tenaga dalam waktu berteriak sehingga membuat mereka tertegun.
“Mengapa kisanak semua menyerangku? Apa salahku?” tanya Arya penasaran.
Si kumis tebal tersenyum mengejek. Diperhatikan sebentar pemuda berpakaian ungu di hadapannya.
“Tidak usah pura-pura, Anak Muda. Bukankah kau utusan si Harimau Mata Satu untuk mematai-matai kami?”
“Ah! Kisanak salah paham. Aku bukanlah utusan si Harimau Mata Satu. Aku Arya yang kebetulan lewat sini”.
Si kumis tebal meragu sejenak.
“Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?”
“Kalau aku utusan si Harimau Mata Satu, apakah kisanak semua masih selamat?” kilah Arya sambil tersenyum.
“Hm... Benar juga ya?” si kumis tebal mengangguk. Pertanyaan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Aku juga tidak percaya kalau utusan si keparat itu bisa sehebat ini”.
“Syukurlah kalau kisanak percaya”. Desah Arya lega. “Oh ya. Kalau boleh tahu siapakah si Harimau Mata Satu itu?”
“Jadi, Nak...”
“Arya” potong pemuda itu memperkenalkan namanya. “Arya Buana. Panggil saja Arya. Dan kalau boleh tahu kisanak siapa?”.
“Aku kepala desa di sini. Panggil saja Ki Pandu. Jadi, kau benar-benar tidak mengenal Harimau Mata Satu?” tanya laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Pandu tidak percaya.
“Tidak. Mendengar namanya saja baru kali ini, Ki” jawab pemuda itu polos.
“Ah, rasanya mustahil! Orang sesakti Nak Arya ini tidak pernah mendengar namanya. Si Harimau Mata Satu terkenal sekali. Dia adalah pemimpin gerombolan perampok yang amat kejam. Biasanya hanya beroperasi di hutan. Dia waktu itu tidak berani menyerbu desa-desa karena masih banyak perguruan silat yang beraliran lurus dan pendekar-pendekar pembela kebenaran. Tapi kini sejak Siluman Tengkorak Putih muncul untuk menghancurkan perguruan-perguruan silat dan membunuh para pendekar, si Harimau Mata Satu berani meninggalkan sarangnya. Desa demi desa mereka datangi. Bagi desa yang tidak bersedia tunduk tidak segan-segan untuk dibumi hanguskannya. Kemarin desa kami kedatangan utusan mereka yang meminta agar takluk. Setiap musim panen, kami diwajibkan membayar upeti. Bahkan setiap minggu minta disediakan dua orang gadis cantik. Pokoknya banyak lagi permintaan yang tidak masuk akal. Dengan tegas semua itu kutolak mentah-mentah. Kami lebih suka mati terhormat ketimbang hidup tapi terhina! Jadi itu sebabnya mengapa kami tadi menyerangmu, Arya. Kami pikir kau adalah mata-mata mereka yang ingin mengetahui kekuatan kami”.
Arya mengangguk-angguk maklum.
“Ki Pandu...! Ki Pandu...!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang yang tergopoh-gopoh. Seketika kepala desa yang berkumis tebal itu menoleh ke arah asal suara. Nampak seorang laki-laki berlari-lari menghampiri.
“Ada apa, Surya?” tanya Ki Pandu.
“Mereka telah datang, Ki”. Ucap orang yang dipanggil Surya terengah-engah.
“Gerombolan Harimau Mata Satu ?” tegas Ki Pandu.
“Benar!” jawab Surya singkat.
“Kalau begitu, mari kita sambut kedatangan mereka!” sahut Ki Pandu.
“Tunggu, Ki!” cegah Arya begitu melihat Ki Pandu dan para penduduk hendak meninggalkan tempat itu.
“Ada apa, Arya?” tanya Ki Pandu sambil menghentikan langkahnya.
“Biarlah aku yang akan menghadapi mereka”.
“Tapi…”. kepala desa itu masih coba membantah.
“Tegakah Aki mengorbankan para penduduk itu?” desak Arya.
“Memang aku tidak tega. Tapi….”
“Sudahlah, Ki. Nanti kalau aku tidak mampu menghadapi mereka, baru Ki Pandu dan para penduduk bisa membantuku!”
Setelah berkata demikian, Arya segera meninggalkan tempat itu menuju mulut desa. Ki Pandu dan para penduduk memandangi pemuda berambut putih keperak-perakan yang hanya melangkah perlahan saja. Namun anehnya tubuh pemuda itu sudah berada lebih dari sepuluh tombak di depan.
“Luar biasa...!” Puji Ki Pandu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rasanya kali ini si Harimau Mata Satu ini harus menghadapi rintangan yang amat berat!”.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Arya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar saja pemuda itu telah berada di mulut desa. Agak jauh di depan, terlihat debu mengepul tinggi ke udara. Dari suara berderap yang menggetarkan bumi pemuda ini tahu gerombolam si Harimau Mata Satu ini berkendaraan kuda. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang.
Dalam waktu yang tidak berapa lama, rombongan orang berkuda itu telah berada dekat mulut desa.
“Hooop…!”
Orang yang berada paling depan bertubuh tinggi besar berwajah kasar dan bermata picak sebelah berteriak keras sambil mengangkat tangannya. Maka serentak rombongan itu hentikan lari kudanya.
“Siapa kau, Anak Muda?! Dan mengapa menghadang kami?! Menyingkirlah cepat!” bentak si mata picak yang berjuluk Harimau Mata Satu itu.
Dipandangnya Arya yang berdiri menghalangi jalan dengan mata merah menyala.
“Siapa diriku tidak perlu kau tahu! Yang jelas aku berdiri di sini untuk membasmi orang-orang semacam kau dan gerombolanmu itu!” sahut Arya tegas.
Kemudian di-angkatnya guci arak yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian guci itu dibawanya ke atas mulut lalu di-teguknya. Arya memang berniat mencoba kehebatan ilmu yang selama ini dipelajarinya.
“Gluk...gluk...gluk...!“
“Keparat!” Bentak si Harimau Mata Satu. “Bunuh tikus kecil ini!” perintah orang bermata picak itu pada anak buahnya.
Bergegas dua orang anak buanya melompat turun dari kuda sambil menghunus goloknya. Tanpa bicara apa-apa kedua orang perampok itu segera menerjang Arya.
“Singggg...! Singgg…!”
Dua bilah golok itu melayang deras menyambar leher dan dada Arya. Tapi Arya yang memang telah memutuskan untuk tidak memberi ampun pada gerombolan perampok itu membiarkan saja serangan dua batang golok yang datang ke arahnya.
“Takkk! Takkk!”
Kedua batang golok itu patah-patah ketika menghantam sasaran. Dan belum lagi kedua orang perampok itu sadar dari keterkejutannya, kedua tangan Arya yang diiringi jurus Belalang Mabuk telah menghajar mereka.
“Bukkkk! Bukkkk!”
Tubuh kedua orang perampok itu terpental jauh seperti diseruduk banteng. Tanpa sempat mengeluh lagi dua orang itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan! Darah langsung mengalir deras dari mulut, hidung dan matanya. Sekujur tubuh merekapun hangus bagai terbakar!
Mata si Harimau Mata Satu terbelalak. Untuk sesaat dipandangnya tubuh kedua anak buahnya yang terkapar di tanah, kemudian beralih pada Arya yang masih meliuk-liuk sempoyongan. Itulah jurus Belalang Mabuk!
“Serbu….!” Teriak Harimau Mata Satu keras.
Disadari kalau kepandaian pemuda berpakaian ungu itu tidak mungkin dapat dihadapi sendiri maka si Harimau Mata Satu tidak main-main lagi. Rasanya pemuda itu memang harus dihadapi bersama-sama.
Puluhan orang perampok itu bergegas melompat turun dari kuda masing-masing dan meluruk menyerbu Arya dengan senjata terhunus. Puluhan senjata yang beraneka ragam segera berkelebatan mengancam pemuda itu.
Arya sama sekali tidak bergerak atau menangkis. Dibiarkan saja hujan bermacam-macam senjata yang mengancam tubuhnya. Hanya yang mengancam bagian-bagian yang berbahaya saja yang ditangkis atau dielakkan dengan langkah sempoyongan.
“Takkk! Takkk! “
Senjata-senjata itu terpental balik ketika mengahantam tubuh maupun tangkisan tangan Arya. Dan sekali pemuda itu membalas dengan menggerakkan tangannya, nampak sesosok tubuh terlempar keluar dari gelanggang pertempuran dalam keadaan tewas mengerikan.
Harimau Mata Satu menggeram murka melihat betapa anak buahnya seperti semut menerjang api. Satu persatu mereka berguguran di tangan pemuda berambut putih keperak-perakan itu. Dengan perasaan geram dikeluarkan senjata andalannya, sebuah rantai baja panjang yang di ujungnya terdapat bola berduri.
“Hiyaaa…!” sambil berteriak nyaring, Harimau Mata Satu melompat turun dari kudanya.
Diputar-putarnya rantai berujung bola berduri itu sebentar sebelum diarahkan pada Arya.
“Wuuut…!”
Angin yang keras menderu mengiringi tibanya serangan bola berduri itu.
Arya yang tengah dikeroyok puluhan orang perampok itu tidak menjadi gugup melihat sambaran bola berduri yang menuju ke arah kepalanya. Dengan hanya menundukkan kepalanya sedikit, maka serangan bola berduri itu hanya mengenai tempat kosong di atas kepalanya.
Betapa kuat tenaga yang terkandung dalam lontaran itu sehingga rambut Arya yang panjang keperakan dibuat berkibar.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Arya. Pemuda itu segera mengulurkan tangan menangkap rantai itu, lalu menyentakkannya. Harimau Mata Satu kaget bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawannya ini mampu bergerak secepat itu. sekuat tenaga dicobanya untuk bertahan dari sentakan itu tapi kalah kuat. Tenaga dalam yang dimiliki Arya jauh di atasnya. Maka tanpa ampun lagi tubuhnyapun tersentak melayang ke arah pemuda itu.
Begitu tubuh Harimau Mata Satu itu berada di udara, Arya langsung menggerakkan rantai yang berhasil ditangkapnya. Dan dengan sekali sentak bola berduri itu melayang deras menyambut kedatangan tuannya.
Untuk kesekian kalinya Harimau Mata Satu terperanjat dan tidak punya pilihan lain lagi. Segea dilepaskan pegangannya pada rantai, setelah sebelumnya menggunakan rantai itu sebagai tempat berpijak untuk melenting ke udara.
Tetapi hal itu sudah diperhitungkan Arya. Cepat pemuda ini menyusulinya dengan menyampok beberapa batang golok yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya.
“Trakkk! Trakkk!”
“Singgg…! Singgg…!”
Beberapa batang golok menyambar deras ke arah Harimau Mata Satu. Kali ini Harimau Mata Satu tidak mampu lagi mengelak. Hanya tinggal satu jalan baginya untuk menyelamatkan diri yaitu menangkap golok-golok itu. Dan Harimau Mata Satu terpaksa melakukannya.
“Tappp! Cappp! Cappp!”
“Akh...!”
Harimau Mata Satu menjerit keras. Telapak tangan kanannya yang digunakan untuk menangkap seketika berlumuran darah. Sedangkan di perutnya tertancap tiga batang golok yang menembus hingga ke punggung.
Harimau Mata Satu gagal menyelamatkan selembar nyawanya. Lontaran golok-golok itu terlampau deras. Sehingga walau golok pertama yang menyambar ke arahnya dapat ditangkap, tapi tenaga pendorong golok itu terlalu kuat. Akibatnya golok itu terus meluncur deras dan menancap di perut, setelah melukai tangannya. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu dua batang golok lainnya menyusul tiba.
Tubuh Harimau Mata Satu langsung ambruk ke tanah. Sesaat lamanya ia menggeliat-geliat sebelum akhirnya diam tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.
Tentu saja kematian pemimpin membuat gerombolan perampok itu menjadi semakin gentar. Sejak tadi hati mereka memang sudah ciut bukan main melihat kehebatan pemuda itu.
Sudah lebih separuh dari mereka yang tewas di tangan pemuda yang rupanya pemabukan ini. Berkali-kali sambil menangkis, mengelak ataupun menyerang, pemuda itu meminum araknya. Sesekali terdengar suara dengikan keluar dari mulut pemuda itu.
Dalam sekejapan saja beberapa orang perampok itu sudah menyusul temannya ke akhirat. Yang tinggal kini hanya beberapa gelintir saja. Dan merekapun rupanya sadar kalau terus-terusan melawan tidak akan ada gunanya. Maka bergegas mereka semua melemparkan senjata masing-masing kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Arya.
“Ampun... Ampunkan kami, Tuan Pendekar. Kami berjanji tidak akan berbuat jahat lagi”, ujar salah seorang dari mereka dengan suara gemetar.
Ucapan itu disambut anggukan kepala teman-temannya.
“Orang semacam kalian sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi...!” Arya dengan posisi tidak tetap sambil sesekali meneguk araknya.
“Benar, Arya!” sambut satu suara.
Disusul munculnya Ki Pandu dan para penduduk desa itu. Mereka sudah sejak tadi berada di situ dan melihat semua sepak terjang Arya.
“Ampun, Tuan Pendekar! Jangan bunuh kami. Kami benar-benar tobat dan berjanji tidak akan berbuat jahat lagi. Kami akan menjadi orang baik-baik”.
“Masih berlakukah janji-janji bagi orang semacam kalian?”.
“Kami berjanji, Tuan Pendekar”.
“Baiklah. Tapi bila kudengar kalian berbuat jahat lagi. Aku tak akan mengampuni kalian lagi. Mengerti?!”.
“Mengerti, Tuan Pendekar”.
“Kalau begitu, pergilah! Sebelum aku mengubah keputusanku”. Usir Arya.
“Terima kasih, Tuan Pendekar” ucap mereka hampir bersamaan.
Saking gembiranya dibentur-benturkan dahi mereka ke tanah.
“Tapi, Arya.”
Ki Pandu mencoba membantah. Dan para penduduk sudah bergerak menghadang para perampok yang akan meninggalkan tempat itu.
Arya menggoyang-goyangkan tangannya. “Biarkan mereka pergi”.
Para penduduk itu merasa ragu-ragu dan langsung menatap Ki Pandu. Ketika kepala desa itupun menganggukkan kepalanya, maka para penduduk itupun menyingkir membiarkan para permpok itu pergi. Debu kembali mengepul tinggi ketika beberapa gelintir perampok itu pergi dari situ sambil membawa kawan-kawan mereka yang tewas.
Selagi semua pandangan mata tertuju pada para permpok yang kian menjauh, Arya telah melesat cepat meninggalkan tempat itu.
“Arya... Arya...!” Ki Pandu celingukan mencari-cari begitu teringat pada pemuda itu. “Ah, dia sudah pergi. Pendekar aneh. Gerakan-gerakannyapun aneh. Baru kali ini kulihat orang mabuk bermain silat begitu hebatnya. Hhh... Kepandaian yang dimilikinya tak lumrah bagi manusia. Atau jangan-jangan dia adalah Dewa yang menyamar menjadi manusia?”.
“Benar, Ki. Aku juga yakin kalau pemuda itu bukan manusia biasa, melainkan Dewa”. Sambut salah seorang penduduk.
“Tapi mana ada Dewa yang begitu doyan arak?” bantah yang lainnya.
“Lho?! Siapa tahu dia Dewa Arak”, sahut penduduk yang lainnya membantu yang pertama.
“Ah, tepat sekali. Tepat sekali julukan itu. Yahhh... Dewa Arak. Julukan yang amat cocok buat pemuda yang berkepandaian luar biasa itu. Dewa Arak. Ya...!” Tegas Ki Pandu sambil merenung.
Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan yang dipercakapkan hanya tentang Arya, yang hanya seorang diri telah mampu menghancurkan gerombolan si Harimau Mata Satu yang selama ini merajalela.
Beberapa hari kemudian, nama Arya alias si Dewa Arak telah mulai terkenal ke desa-desa sekitar. Seorang pemuda yang bertubuh kekar berwajah jantan dengan rahang kokoh dan alis tebal. Rambutnya berwarna putih keperakan dan pakaiannya ungu. Itulah Dewa Arak! Seorang pendekar yang siap menumpas keangkara murkaan!
***
Kini Arya telah menjelma menjadi seorang pemuda yang tegap dan berdada bidang, bentuk wajahnya yang memang sudah terlihat jantan semakin bertambah jantan karena rahangnya yang kokoh. Rambutnya yang dulu berwarna hitam, sekarang berubah menjadi putih keperakan. Mungkin karena pengaruh Tenaga Dalam Inti Matahari dan ilmu Belalang Sakti. Usia Arya kini dua puluh tahun.
“Arya”, tegur Ular Hitam pagi itu.
Wajah kakek ini yang dulu agak gelap, sudah bersih lagi. Suatu tanda kalau racun yang berada di tubuhnya sudah lenyap.
“Ya, Kek”.
Jawab Arya yang tetap memanggil Ular Hitam seperti itu karena memang kakek itu tidak mau dipanggil guru.
“Kakek rasa sudah cukup rasanya kau menggembleng diri. Sudah tiba saatnya bagimu untuk mengamalkan apa yang dipelajari di sini untuk kepentingan orang banyak. Kakek kini telah lega melepasmu pergi. Besok kau boleh meninggalkan tempat ini....”
“Tapi, Kek....” Arya mencoba membantah.
“Tidak ada tapi-tapian lagi, Arya!” tegas Ular Hitam. “Ingat, kau banyak mempunyai tugas yang harus diselesaikan. Mencari Bomantara, ibumu juga ayahmu. Dan juga kalau aku tidak salah, Kakang Gering memberimu tugas pula, bukan?”.
“Benar, Kek” Arya mengangguk.
“Nah! Kalau begitu, apalagi yang memberatkanmu meninggalkan tempat ini?”
“Aku tidak tega meninggalkan Kakek”. Lirih suara Arya.
“Ha..ha..ha!” Ular Hitam tertawa terbahak-bahak. “Kau ini aneh, Arya. Sekarang kekuatanku telah pulih seperti Ular Hitam yang dulu. Apa yang dikawatirkan? Sudahlah Arya. Pokoknya besok kau harus meninggalkan tempat ini. Seorang pendekar tidak akan mementingkan diri sendiri, Arya. Tapi orang banyak!”.
Setelah berkata demikian, Ular Hitam melangkah pergi meninggalkan Arya yang hanya termenung memandangi punggung kakek itu hingga lenyap di kajauhan. Sama sekali pemuda itu tidak mengetahui kalau pipi kakek itu basah!
Pagi-pagi sekali Arya telah berangkat meninggalkan tempat itu. Di punggung pemuda itu bertengger guci arak terbuat dari perak pemberian Ki Gering Langit. Sedangkan Pedang Bintang sengaja ditinggalkan di tempat kediaman Ular Hitam.
Senjata itu memang tidak diperlukan lagi. Pemuda berambut putih keperakan itu melangkahkan kakinya penuh semangat. Tujuannya yang pertama kali adalah mencari ayahnya. Dia juga ingin tahu apa yang terjadi terhadap ayahnya sejak ia meninggalkannya lima tahun lalu. Apakah yang dikawatikan oleh ayahnya itu akan terjadi?
Beberapa hari kemudian sampailah pemuda itu di mulut sebuah desa. Maka dipercepat langkah kakinya. Perutnya kini terasa lapar bukan main. Hanya satu yang diinginkan. Makan!
Akan tetapi, Arya mengerutkan keningnya melihat suasana desa itu yang lengang. Semua pintu dan jendela nampak tertutup rapat.
“Ada apa ini?” tanya Arya dalam hati sambil mengamat-amati sekelilingnya.
“Singggg...! “
Arya terkejut mendengar desingan benda tajam yang menuju ke arahnya. Dari suaranya pemuda ini sudah bisa memperkirakan benda tajam yang terlontar itu adalah pisau.
Maka dibiarkan saja senjata gelap itu mengenainya. Pemuda ini tahu dengan tingkat tenaga dalam yang dimilikinya sekarang ini, serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
“Takkk!”
Dengan telak senjata gelap itu menghantam tubuhnya, dan langsung runtuh ke tanah! Seolah-olah yang dihantamnya bukanlah tubuh manusia, melainkan gumpalan baja!
Begitu serangan pisau itu kandas, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki berlarian menuju ke arah Arya. Pemuda ini kontan menoleh. Tampak puluhan orang menyerbu ke arahnya. Di tangan mereka tergenggam berbagai macam senjata seperti pisau, golok, kapak, pacul dan sekop!
Melihat pakaian dan senjata yang digunakan, Arya segera saja dapat menduga kalau mereka itu adalah penduduk desa ini. hanya saja yang masih menjadi tanda tanya besar mengapa para penduduk itu tiba-tiba menyerangnya?
“Tahan...!” Teriak Arya keras.
Akan tetapi para penduduk yang tengah marah itu tidak memperdulikan teriakan Arya. Mereka terus saja maju menerjang.
Arya segera menyadari kalau saat ini terjadi kesalah pahaman antara dirinya dengan mereka. Maka ia tidak akan bersikap keras. Setiap serangan yang datang, pemuda itu hanya berusaha menghindar saja. Apalagi setelah melihat serangan mereka. Pemuda ini tahu kalau penyerangnya kebanyakan tidak menguasai ilmu silat.
Arya hanya menggunakan jurus Delapan Langkah Belalang saja yang mempunyai kegunaan untuk mengelakkan serangan lawan. Dengan langkah sempoyongan dan gerak tubuh meliuk-liuk, dielakkan semua serangan itu sekaligus dirampasnya senjata para pengeroyoknya.
Hanya sekejap saja Arya telah membuat senjata para pengeroyoknya berpindah tangan. Sebagian di pegang sebagian lagi berserakan di tanah.
Karuan saja hal itu membuat para pengeroyoknya terbengong-bengong. Tapi hanya sebentar saja, karena di lain saat mereka sudah menyerbu kembali dengan tangan kosong. Itu setelah terdengar perintah dari orang yang paling depan yang berusia setengah baya dan berkumis tebal.
Kini Arya tahu. Maka mau tidak mau mereka harus segera dirubuhkan. Namun demikian tetap saja pemuda itu tidak ingin melukainya. Digerak-gerakkan tangannya perlahan saja dan dikerahkan sebagian kecil dari tenaganya.
Akibatnya hebat sekali! Dari kedua tangan Arya keluar angin keras berhawa hangat. Sehingga para pengeroyok itu terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah kecuali si kumis tebal itu. Dia hanya terhuyung-huyung ke belakang.
“Tahan...!”
Bentak Arya keras begitu dilihat para pengeroyoknya itu masih ingin bangkit dan menyerang lagi. Sengaja Arya mengerahkan tenaga dalam waktu berteriak sehingga membuat mereka tertegun.
“Mengapa kisanak semua menyerangku? Apa salahku?” tanya Arya penasaran.
Si kumis tebal tersenyum mengejek. Diperhatikan sebentar pemuda berpakaian ungu di hadapannya.
“Tidak usah pura-pura, Anak Muda. Bukankah kau utusan si Harimau Mata Satu untuk mematai-matai kami?”
“Ah! Kisanak salah paham. Aku bukanlah utusan si Harimau Mata Satu. Aku Arya yang kebetulan lewat sini”.
Si kumis tebal meragu sejenak.
“Bisa kupercaya kata-katamu, Anak Muda?”
“Kalau aku utusan si Harimau Mata Satu, apakah kisanak semua masih selamat?” kilah Arya sambil tersenyum.
“Hm... Benar juga ya?” si kumis tebal mengangguk. Pertanyaan itu seperti ditujukan untuk dirinya sendiri. “Aku juga tidak percaya kalau utusan si keparat itu bisa sehebat ini”.
“Syukurlah kalau kisanak percaya”. Desah Arya lega. “Oh ya. Kalau boleh tahu siapakah si Harimau Mata Satu itu?”
“Jadi, Nak...”
“Arya” potong pemuda itu memperkenalkan namanya. “Arya Buana. Panggil saja Arya. Dan kalau boleh tahu kisanak siapa?”.
“Aku kepala desa di sini. Panggil saja Ki Pandu. Jadi, kau benar-benar tidak mengenal Harimau Mata Satu?” tanya laki-laki setengah baya yang ternyata bernama Ki Pandu tidak percaya.
“Tidak. Mendengar namanya saja baru kali ini, Ki” jawab pemuda itu polos.
“Ah, rasanya mustahil! Orang sesakti Nak Arya ini tidak pernah mendengar namanya. Si Harimau Mata Satu terkenal sekali. Dia adalah pemimpin gerombolan perampok yang amat kejam. Biasanya hanya beroperasi di hutan. Dia waktu itu tidak berani menyerbu desa-desa karena masih banyak perguruan silat yang beraliran lurus dan pendekar-pendekar pembela kebenaran. Tapi kini sejak Siluman Tengkorak Putih muncul untuk menghancurkan perguruan-perguruan silat dan membunuh para pendekar, si Harimau Mata Satu berani meninggalkan sarangnya. Desa demi desa mereka datangi. Bagi desa yang tidak bersedia tunduk tidak segan-segan untuk dibumi hanguskannya. Kemarin desa kami kedatangan utusan mereka yang meminta agar takluk. Setiap musim panen, kami diwajibkan membayar upeti. Bahkan setiap minggu minta disediakan dua orang gadis cantik. Pokoknya banyak lagi permintaan yang tidak masuk akal. Dengan tegas semua itu kutolak mentah-mentah. Kami lebih suka mati terhormat ketimbang hidup tapi terhina! Jadi itu sebabnya mengapa kami tadi menyerangmu, Arya. Kami pikir kau adalah mata-mata mereka yang ingin mengetahui kekuatan kami”.
Arya mengangguk-angguk maklum.
“Ki Pandu...! Ki Pandu...!”
Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang yang tergopoh-gopoh. Seketika kepala desa yang berkumis tebal itu menoleh ke arah asal suara. Nampak seorang laki-laki berlari-lari menghampiri.
“Ada apa, Surya?” tanya Ki Pandu.
“Mereka telah datang, Ki”. Ucap orang yang dipanggil Surya terengah-engah.
“Gerombolan Harimau Mata Satu ?” tegas Ki Pandu.
“Benar!” jawab Surya singkat.
“Kalau begitu, mari kita sambut kedatangan mereka!” sahut Ki Pandu.
“Tunggu, Ki!” cegah Arya begitu melihat Ki Pandu dan para penduduk hendak meninggalkan tempat itu.
“Ada apa, Arya?” tanya Ki Pandu sambil menghentikan langkahnya.
“Biarlah aku yang akan menghadapi mereka”.
“Tapi…”. kepala desa itu masih coba membantah.
“Tegakah Aki mengorbankan para penduduk itu?” desak Arya.
“Memang aku tidak tega. Tapi….”
“Sudahlah, Ki. Nanti kalau aku tidak mampu menghadapi mereka, baru Ki Pandu dan para penduduk bisa membantuku!”
Setelah berkata demikian, Arya segera meninggalkan tempat itu menuju mulut desa. Ki Pandu dan para penduduk memandangi pemuda berambut putih keperak-perakan yang hanya melangkah perlahan saja. Namun anehnya tubuh pemuda itu sudah berada lebih dari sepuluh tombak di depan.
“Luar biasa...!” Puji Ki Pandu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rasanya kali ini si Harimau Mata Satu ini harus menghadapi rintangan yang amat berat!”.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Arya sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar saja pemuda itu telah berada di mulut desa. Agak jauh di depan, terlihat debu mengepul tinggi ke udara. Dari suara berderap yang menggetarkan bumi pemuda ini tahu gerombolam si Harimau Mata Satu ini berkendaraan kuda. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang.
Dalam waktu yang tidak berapa lama, rombongan orang berkuda itu telah berada dekat mulut desa.
“Hooop…!”
Orang yang berada paling depan bertubuh tinggi besar berwajah kasar dan bermata picak sebelah berteriak keras sambil mengangkat tangannya. Maka serentak rombongan itu hentikan lari kudanya.
“Siapa kau, Anak Muda?! Dan mengapa menghadang kami?! Menyingkirlah cepat!” bentak si mata picak yang berjuluk Harimau Mata Satu itu.
Dipandangnya Arya yang berdiri menghalangi jalan dengan mata merah menyala.
“Siapa diriku tidak perlu kau tahu! Yang jelas aku berdiri di sini untuk membasmi orang-orang semacam kau dan gerombolanmu itu!” sahut Arya tegas.
Kemudian di-angkatnya guci arak yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian guci itu dibawanya ke atas mulut lalu di-teguknya. Arya memang berniat mencoba kehebatan ilmu yang selama ini dipelajarinya.
“Gluk...gluk...gluk...!“
“Keparat!” Bentak si Harimau Mata Satu. “Bunuh tikus kecil ini!” perintah orang bermata picak itu pada anak buahnya.
Bergegas dua orang anak buanya melompat turun dari kuda sambil menghunus goloknya. Tanpa bicara apa-apa kedua orang perampok itu segera menerjang Arya.
“Singggg...! Singgg…!”
Dua bilah golok itu melayang deras menyambar leher dan dada Arya. Tapi Arya yang memang telah memutuskan untuk tidak memberi ampun pada gerombolan perampok itu membiarkan saja serangan dua batang golok yang datang ke arahnya.
“Takkk! Takkk!”
Kedua batang golok itu patah-patah ketika menghantam sasaran. Dan belum lagi kedua orang perampok itu sadar dari keterkejutannya, kedua tangan Arya yang diiringi jurus Belalang Mabuk telah menghajar mereka.
“Bukkkk! Bukkkk!”
Tubuh kedua orang perampok itu terpental jauh seperti diseruduk banteng. Tanpa sempat mengeluh lagi dua orang itu tewas dengan tulang dada hancur berantakan! Darah langsung mengalir deras dari mulut, hidung dan matanya. Sekujur tubuh merekapun hangus bagai terbakar!
Mata si Harimau Mata Satu terbelalak. Untuk sesaat dipandangnya tubuh kedua anak buahnya yang terkapar di tanah, kemudian beralih pada Arya yang masih meliuk-liuk sempoyongan. Itulah jurus Belalang Mabuk!
“Serbu….!” Teriak Harimau Mata Satu keras.
Disadari kalau kepandaian pemuda berpakaian ungu itu tidak mungkin dapat dihadapi sendiri maka si Harimau Mata Satu tidak main-main lagi. Rasanya pemuda itu memang harus dihadapi bersama-sama.
Puluhan orang perampok itu bergegas melompat turun dari kuda masing-masing dan meluruk menyerbu Arya dengan senjata terhunus. Puluhan senjata yang beraneka ragam segera berkelebatan mengancam pemuda itu.
Arya sama sekali tidak bergerak atau menangkis. Dibiarkan saja hujan bermacam-macam senjata yang mengancam tubuhnya. Hanya yang mengancam bagian-bagian yang berbahaya saja yang ditangkis atau dielakkan dengan langkah sempoyongan.
“Takkk! Takkk! “
Senjata-senjata itu terpental balik ketika mengahantam tubuh maupun tangkisan tangan Arya. Dan sekali pemuda itu membalas dengan menggerakkan tangannya, nampak sesosok tubuh terlempar keluar dari gelanggang pertempuran dalam keadaan tewas mengerikan.
Harimau Mata Satu menggeram murka melihat betapa anak buahnya seperti semut menerjang api. Satu persatu mereka berguguran di tangan pemuda berambut putih keperak-perakan itu. Dengan perasaan geram dikeluarkan senjata andalannya, sebuah rantai baja panjang yang di ujungnya terdapat bola berduri.
“Hiyaaa…!” sambil berteriak nyaring, Harimau Mata Satu melompat turun dari kudanya.
Diputar-putarnya rantai berujung bola berduri itu sebentar sebelum diarahkan pada Arya.
“Wuuut…!”
Angin yang keras menderu mengiringi tibanya serangan bola berduri itu.
Arya yang tengah dikeroyok puluhan orang perampok itu tidak menjadi gugup melihat sambaran bola berduri yang menuju ke arah kepalanya. Dengan hanya menundukkan kepalanya sedikit, maka serangan bola berduri itu hanya mengenai tempat kosong di atas kepalanya.
Betapa kuat tenaga yang terkandung dalam lontaran itu sehingga rambut Arya yang panjang keperakan dibuat berkibar.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan Arya. Pemuda itu segera mengulurkan tangan menangkap rantai itu, lalu menyentakkannya. Harimau Mata Satu kaget bukan main. Sungguh tidak disangka kalau lawannya ini mampu bergerak secepat itu. sekuat tenaga dicobanya untuk bertahan dari sentakan itu tapi kalah kuat. Tenaga dalam yang dimiliki Arya jauh di atasnya. Maka tanpa ampun lagi tubuhnyapun tersentak melayang ke arah pemuda itu.
Begitu tubuh Harimau Mata Satu itu berada di udara, Arya langsung menggerakkan rantai yang berhasil ditangkapnya. Dan dengan sekali sentak bola berduri itu melayang deras menyambut kedatangan tuannya.
Untuk kesekian kalinya Harimau Mata Satu terperanjat dan tidak punya pilihan lain lagi. Segea dilepaskan pegangannya pada rantai, setelah sebelumnya menggunakan rantai itu sebagai tempat berpijak untuk melenting ke udara.
Tetapi hal itu sudah diperhitungkan Arya. Cepat pemuda ini menyusulinya dengan menyampok beberapa batang golok yang mengancam bagian-bagian berbahaya di tubuhnya.
“Trakkk! Trakkk!”
“Singgg…! Singgg…!”
Beberapa batang golok menyambar deras ke arah Harimau Mata Satu. Kali ini Harimau Mata Satu tidak mampu lagi mengelak. Hanya tinggal satu jalan baginya untuk menyelamatkan diri yaitu menangkap golok-golok itu. Dan Harimau Mata Satu terpaksa melakukannya.
“Tappp! Cappp! Cappp!”
“Akh...!”
Harimau Mata Satu menjerit keras. Telapak tangan kanannya yang digunakan untuk menangkap seketika berlumuran darah. Sedangkan di perutnya tertancap tiga batang golok yang menembus hingga ke punggung.
Harimau Mata Satu gagal menyelamatkan selembar nyawanya. Lontaran golok-golok itu terlampau deras. Sehingga walau golok pertama yang menyambar ke arahnya dapat ditangkap, tapi tenaga pendorong golok itu terlalu kuat. Akibatnya golok itu terus meluncur deras dan menancap di perut, setelah melukai tangannya. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu dua batang golok lainnya menyusul tiba.
Tubuh Harimau Mata Satu langsung ambruk ke tanah. Sesaat lamanya ia menggeliat-geliat sebelum akhirnya diam tidak bergerak-gerak lagi untuk selama-lamanya.
Tentu saja kematian pemimpin membuat gerombolan perampok itu menjadi semakin gentar. Sejak tadi hati mereka memang sudah ciut bukan main melihat kehebatan pemuda itu.
Sudah lebih separuh dari mereka yang tewas di tangan pemuda yang rupanya pemabukan ini. Berkali-kali sambil menangkis, mengelak ataupun menyerang, pemuda itu meminum araknya. Sesekali terdengar suara dengikan keluar dari mulut pemuda itu.
Dalam sekejapan saja beberapa orang perampok itu sudah menyusul temannya ke akhirat. Yang tinggal kini hanya beberapa gelintir saja. Dan merekapun rupanya sadar kalau terus-terusan melawan tidak akan ada gunanya. Maka bergegas mereka semua melemparkan senjata masing-masing kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Arya.
“Ampun... Ampunkan kami, Tuan Pendekar. Kami berjanji tidak akan berbuat jahat lagi”, ujar salah seorang dari mereka dengan suara gemetar.
Ucapan itu disambut anggukan kepala teman-temannya.
“Orang semacam kalian sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi...!” Arya dengan posisi tidak tetap sambil sesekali meneguk araknya.
“Benar, Arya!” sambut satu suara.
Disusul munculnya Ki Pandu dan para penduduk desa itu. Mereka sudah sejak tadi berada di situ dan melihat semua sepak terjang Arya.
“Ampun, Tuan Pendekar! Jangan bunuh kami. Kami benar-benar tobat dan berjanji tidak akan berbuat jahat lagi. Kami akan menjadi orang baik-baik”.
“Masih berlakukah janji-janji bagi orang semacam kalian?”.
“Kami berjanji, Tuan Pendekar”.
“Baiklah. Tapi bila kudengar kalian berbuat jahat lagi. Aku tak akan mengampuni kalian lagi. Mengerti?!”.
“Mengerti, Tuan Pendekar”.
“Kalau begitu, pergilah! Sebelum aku mengubah keputusanku”. Usir Arya.
“Terima kasih, Tuan Pendekar” ucap mereka hampir bersamaan.
Saking gembiranya dibentur-benturkan dahi mereka ke tanah.
“Tapi, Arya.”
Ki Pandu mencoba membantah. Dan para penduduk sudah bergerak menghadang para perampok yang akan meninggalkan tempat itu.
Arya menggoyang-goyangkan tangannya. “Biarkan mereka pergi”.
Para penduduk itu merasa ragu-ragu dan langsung menatap Ki Pandu. Ketika kepala desa itupun menganggukkan kepalanya, maka para penduduk itupun menyingkir membiarkan para permpok itu pergi. Debu kembali mengepul tinggi ketika beberapa gelintir perampok itu pergi dari situ sambil membawa kawan-kawan mereka yang tewas.
Selagi semua pandangan mata tertuju pada para permpok yang kian menjauh, Arya telah melesat cepat meninggalkan tempat itu.
“Arya... Arya...!” Ki Pandu celingukan mencari-cari begitu teringat pada pemuda itu. “Ah, dia sudah pergi. Pendekar aneh. Gerakan-gerakannyapun aneh. Baru kali ini kulihat orang mabuk bermain silat begitu hebatnya. Hhh... Kepandaian yang dimilikinya tak lumrah bagi manusia. Atau jangan-jangan dia adalah Dewa yang menyamar menjadi manusia?”.
“Benar, Ki. Aku juga yakin kalau pemuda itu bukan manusia biasa, melainkan Dewa”. Sambut salah seorang penduduk.
“Tapi mana ada Dewa yang begitu doyan arak?” bantah yang lainnya.
“Lho?! Siapa tahu dia Dewa Arak”, sahut penduduk yang lainnya membantu yang pertama.
“Ah, tepat sekali. Tepat sekali julukan itu. Yahhh... Dewa Arak. Julukan yang amat cocok buat pemuda yang berkepandaian luar biasa itu. Dewa Arak. Ya...!” Tegas Ki Pandu sambil merenung.
Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanan yang dipercakapkan hanya tentang Arya, yang hanya seorang diri telah mampu menghancurkan gerombolan si Harimau Mata Satu yang selama ini merajalela.
Beberapa hari kemudian, nama Arya alias si Dewa Arak telah mulai terkenal ke desa-desa sekitar. Seorang pemuda yang bertubuh kekar berwajah jantan dengan rahang kokoh dan alis tebal. Rambutnya berwarna putih keperakan dan pakaiannya ungu. Itulah Dewa Arak! Seorang pendekar yang siap menumpas keangkara murkaan!
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment