"Ayah...," suara pelan mengandung isak terdengar memecah kesunyian pagi.
Suara itu berasal dari sebuah mulut mungil berpakaian serba putih yang duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah merah. Wajah sosok tubuh ramping ini tidak terlihat karena kepalanya tertunduk.
"Aku menyesal sekali, Ayah...," kembali suara mengandung isak itu terdengar.
Menilik suaranya yang begitu menyayat, dapat diperkirakan kalau sosok tubuh ramping ini adalah seorang wanita.
"Kalau aku tidak datang terlambat, mungkin Ayah tidak meninggal. Aku menyesal sekali. Tapi, tenanglah di dalam kuburmu. Akan kubalaskan sakit hatimu. Akan kubunuh mereka yang telah secara curang mengeroyokmu. Dengar janjiku ini, Ayah. Kalau tidak berhasil memenuhi janjiku ini, maka akan kuganti namaku, Ayah. Akan kubuang nama Melati!"
Tegas dan mantap sekali ucapan terakhir yang keluar dari mulut sosok yang berpakaian serba putih, dan ternyata bernama Melati itu. Apalagi kata-kata itu ditutup dengan kepalan tangannya di depan dada, sambil mengangkat wajah!
Tangan yang terkepal itu begitu indah! Jari-jemarinya terlihat lentik, halus, dan berkulit putih mulus. Punggung tangannya yang tidak tertutup baju bertangan panjang itu pun putih, halus, dan mulus!
Tetapi bila dibandingkan dengan wajah yang kini nampak jelas itu, tangan itu tidak berarti apa-apa. Wajah sosok serba putih itu begitu cantik jelita, laksana Dewi! Kulit wajahnya putih, halus, dan mulus. Hidungnya mbangir, dan bibirnya yang tipis dan mungil itu berwarna merah segar.
Hanya satu yang menyeramkan pada gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu. Sepasang matanya yang tajam mencorong, dan bersinar kehijauan! Persis seperti sorot mata kucing dalam gelap.
Setelah mengucapkan sumpahnya, Melati bangkit dari duduk-nya, kemudian melesat dari situ. Cepat sekali gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata saja, hanya terlihat sebuah titik di kejauhan yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap.
Seraut wajah cantik jelita berpakaian serba putih, dengan sikap tak acuh melangkah memasuki sebuah kedai di Desa Waringin. Dihampirinya sebuah meja yang masih kosong. Dan dengan malas dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Tak dipedulikan berpasang-pasang mata yang menatap liar ke arahnya.
Sang pemilik kedai, seorang setengah tua yang berwajah totol-totol hitam, tergopoh-gopoh datang menghampirinya.
"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai ramah.
Wanita yang tidak lain dari Melati ini lalu memesan makanan yang disukainya. Suaranya begitu merdu.
Sang pemilik kedai mengangguk-angguk mengerti, kemudian berlalu untuk menyiapkan pesanan itu. Sebelum berlalu, mulutnya sempat berbisik pelahan pada Melati.
"Hati-hati, Nisanak. Di sini banyak orang jahat. Kalau bisa, cepatlah pergi dari sini... "
Melati hanya tersenyum sinis. Sama sekali tidak digubris peringatan pemilik kedai itu. Tidak lama, pemilik kedai itu sudah kembali sambil membawa makanan pesanan Melati. Setelah mempersilahkan, ia pun berlalu dari situ.
Baru beberapa langkah pemilik kedai itu meninggalkan meja Melati, dua orang berwajah kasar yang sejak tadi menatap liar pada Melati, bangkit dari kursinya. Tampaknya mereka melangkah mendekati meja Melati.
"Nisanak...," ucap salah seorang di antara mereka yang berkulit hitam dan berwajah penuh bercak-bercak putih.
Lagaknya membuat Melati merasa perutnya mual.
"Makan sendirian tidak enak. Lebih baik pindah ke meja kami, dan kita makan bersama-sama."
"Benar, Nisanak," sambut seorang lagi, yang bermulut lebar.
"Lalat-lalat kotor menyebalkan!" ucap Melati tak acuh. Tanpa mempedulikan mereka, gadis itu terus saja melanjutkan makannya. "Aku heran, kenapa di kedai sebersih ini masih ada dua ekor lalat busuk yang menjemukan?!"
"Keparat!" teriak si muka hitam berang. "Perempuan tak tahu diuntung! Berani benar kau menghina Sepasang Setan Hitam?! Kau harus dihukum atas kekurang ajaranmu itu! Kecuali kalau kau mau meminta maaf dan mencium kami masing-masing sepuluh kali."
"Ya, betul," sambut si mulut lebar.
Sudah terbayang di benaknya betapa nikmat dicium gadis secantik wanita berpakaian serba putih ini.
Sepasang mata Melati mencorong mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Tangannya yang tengah menyuap nasi, terhenti di depan mulut.
"Lalat-lalat busuk bermulut kotor! Orang seperti kalian tidak pantas hidup lebih lama lagi!" bentak gadis itu geram.
"Ha ha ha...!" si mulut lebar tertawa bergelak. "Kau dengar apa yang dikatakannya, Kang? Lucu! Sungguh lucu! Kelinci hendak mengalahkan harimau!"
Si muka hitam yang berangasan tidak menyahuti gurauan rekannya. Sambil mendengus seperti kerbau marah, kedua tangannya begitu kurang ajar hendak mencengkeram ke arah dada Melati.
Wajah gadis itu langsung memerah melihat serangan yang kurang ajar ini. Seketika itu juga tangannya cepat bergerak menyambut. Dan di lain saat, dua tangan yang mungil dan indah itu sudah mencekal pergelangan kedua tangan si muka hitam yang terarah ke dada.
Pelahan sekali tangan gadis itu meremas, tetapi akibatnya hebat bukan kepalang! Terdengar suara gemeretak tulang patah dari pergelangan si muka hitam. Kelihatannya tulang-tulang itu hancur diremas tangan mungil yang mengandung tenaga dalam tinggi itu.
"Akh...!" si muka hitam berteriak kesakitan.
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya karena menahan rasa sakit pada kedua tangannya.
Si muka hitam kaget bukan main. Sekuat tenaga ditarik kedua tangannya yang dipegangi Melati. Tapi betapa pun telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap saja dia tidak mampu membebaskan kedua tangannya dari cekalan tangan halus itu.
Belum lagi sempat berbuat sesuatu, tangan kiri gadis berpakaian serba putih itu sudah bergerak menampar pelipis si muka hitam.
“Prakkk...!"
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan halus gadis itu menghantam pelipis si muka hitam. Orang pertama dari Sepasang Setan Hitam ini mengeluh tertahan, sebelum rubuh ke tanah dengan napas putus.
Si mulut lebar meraung murka melihat temannya tewas. Tak dipikirkan lagi, bahwa kematian rekannya yang begitu mudah menjadi suatu tanda betapa tingginya kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu.
Dengan amarah meluap-luap, dicabut senjatanya yang berupa sebuah kapak dari baja putih. Seketika diayunkannya senjata itu ke kepala Melati. Dan memang, hilang sudah gairahnya pada gadis itu.
“Wuttt.. !”
Angin keras berhembus sebelum serangan kapak itu tiba. Tetapi, Melati sama sekali tidak gugup melihat serangan itu. Hanya dimiringkan kepalanya sedikit, maka kapak itu lewat beberapa rambut di depan mukanya. Dan sebelum kapak itu menghantam meja, tangan Melati sudah bergerak cepat menotok pergelangan tangan si mulut lebar.
Si mulut lebar mengeluh tertahan. Pergelangan tangannya terasa lumpuh, sulit digerakkan lagi. Dan sebelum ia berbuat sesuatu, kapak itu kini sudah berpindah ke tangan Melati.
Begitu tangan gadis yang kini telah menggenggam kapak itu bergerak, si mulut lebar menjerit ngeri. Dadanya tertembus kapaknya sendiri. Beberapa saat lamanya tubuh salah satu dari Sepasang Setan Hitam itu menggelepar-gelepar sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak untuk selama-lamanya.
Setelah menewaskan si mulut lebar, Melati kembali duduk menghadapi mejanya. Sikapnya tak acuh, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Para pengunjung yang melihat keganasan gadis itu menjadi ngeri. Beberapa di antara mereka secara diam-diam meninggalkan kedai itu setelah membayar makanannya. Tentu saja Melati mengetahuinya. Tapi, gadis itu tidak mempedulikan. Terus saja dilanjutkan makannya yang tertunda.
Tak lama kemudian, Melati menyelesaikan makannya. Diletakkan pembayarannya di atas meja. Dengan sikap tidak peduli, dilangkahkan kakinya berjalan ke luar kedai.
Sepeninggal Melati, maka terdengarlah suara-suara bergumam mirip kerumunan lebah di dalam kedai itu. Semuanya sibuk membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.
"Sayang sekali!" ucap salah seorang pengunjung menyayangkan. "Siapa sangka kalau di balik wajah cantik seperti Dewi, tersembunyi hati yang kejam."
"Benar!" sambut yang lain. "Begitu mudah dan enaknya ia menyebar maut di sini!"
"Tindakannya seperti Malaikat Pencabut Nyawa saja!" orang pertama menyahuti lagi.
"Ah, tidak cocok dong!" sergah yang lain. "Mana ada malaikat wanita! Kalau menurutku, julukan yang pantas baginya adalah Dewi Penyebar Maut!"
"Benar...!" sahut salah seorang.
"Akur...!"
Sejak peristiwa di kedai itu, tanpa sepengetahuan Melati sendiri, ia telah dijuluki orang Dewi Penyebar Maut. Dalam waktu sebentar saja, julukan itu telah menyebar ke seluruh pelosok desa. Bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Dewi Penyebar Maut, sebuah julukan bagi seorang gadis cantik yang berpakaian serba putih, tapi berhati kejam.
***
"Perguruan Elang Sakti," gumam Melati sinis, membaca tulisan pada sebuah papan besar dan tebal yang tergantung di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi.
"Hup!"
Melati melompati tembok yang tingginya tidak kurang dari satu tombak itu. Tanpa suara, kakinya mendarat seperti seekor kucing. Tetapi belum juga gadis itu berbuat sesuatu, terdengar sebuah bentakan keras.
"Berhenti!"
Melati menoleh ke arah asal suara itu. Nampak di depannya berdiri seorang pemuda gagah dengan kedua tangan bersedekap. Tatapan matanya penuh selidik. Tetapi, sepasang mata yang semula tajam itu mendadak lunak begitu melihat wajah Melati.
"Eh! Nggg... , siapa Nini? Mengapa masuk secara gelap-gelapan?" tanya pemuda itu gagap.
"Siapa pun aku, tidak perlu kau tahu. Yang jelas, kedatanganku ke sini adalah karena mempunyai keperluan yang sangat penting dengan gurumu!" sahut Melati sambil tersenyum sinis.
"Ahhh.... Ada keperluan apakah, sehingga Nini ingin bertemu guruku?"
"Aku ingin mengirimnya ke akherat!" lantang dan tegas kata-kata Melati.
"Apa?!" Sepasang mata pemuda itu terbelalak. Kini sikapnya seketika berubah kembali. "Jangan harap mampu melakukannya sebelum melangkahi mayatku!"
"Hi hi hi... ! Berapa sih, susahnya melangkahi mayatmu?!" ejek Melati tajam, setelah tawa mengikiknya selesai.
"Boleh kau coba!" tantang pemuda itu.
"Manusia dungu yang suka mencari penyakit sendiri! Jangan salahkan aku kalau kau mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, tubuh Melati berkelebat ke arah sasaran. Pemuda itu kaget sekali. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan yang cepat meluruk ke arahnya. Dengan sebisanya, pemuda itu bergerak menangkis. Tapi usahanya sia-sia.
“Crokkk!”
"Aaakh...!"
Pemuda malang itu langsung rubuh sambil berteriak keras menyayat. Darah segar seketika membasahi ubun-ubunnya yang pecah!
Tanpa mempedulikan keadaan pemuda itu lagi, Melati bergerak menghampiri pintu gerbang. Tepat di depan pintu gerbang itu langkahnya terhenti seraya bertolak pinggang.
"Satria, Mega... , keluar! Kalian harus menerima kematian!" teriak Melati lantang.
Teriakan Melati yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung menggema ke sekitar tempat itu. Akibatnya sudah bisa diduga. Belasan murid Perguruan Elang Sakti bermunculan, dan bersikap waspada.
"Iblis dari mana yang tersesat ke sini?!" tanya salah seorang murid kepala, bernada kasar.
Kemudian dengan amarah meluap-luap, dihampirinya Melati. Untuk sesaat hatinya terperangah melihat kecantikan si pengacau yang luar biasa itu. Tapi, sekejap kemudian perasaannya sudah bisa dikuasai.
Tetapi sebelum Melati menjawab, terdengar sebuah suara dari arah belakang para murid itu.
"Mundur, Kusna!"
Si murid kepala yang ternyata bernama Kusna, segera mengenali suara gurunya. Maka buru-buru dia melangkah mundur. Seiring mundurnya Kusna, dari belakang kerumunan murid itu menyeruak dua orang pria berusia tiga puluhan.
"Kaliankah yang bernama Satria dan Mega itu?" tanya Melati sinis.
"Tidak salah! Aku Satria, dan ini temanku, Mega," jawab Satria yang kini bersama Mega menjadi Ketua Perguruan Elang Sakti (Untuk mengetahui kisah tentang Satria dan Mega sebelumnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada urusan apakah, sehingga Nini datang mencari kami? Bahkan dengan cara yang sangat tidak sopan!"
Wajah Melati berubah beringas melihat orang yang dicarinya telah di depan mata.
"Hutang nyawa!" sahut gadis itu keras, bernada penuh kebencian.
Berkerut kening Satria mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu. "Hutang nyawa? Aku tidak mengerti maksudmu, Nini. Apakah kau tidak salah alamat?"
"Tidak!" bentak Melati lagi. "Bersiaplah kalian berdua untuk menerima kematian!"
"Tunggu dulu, Nini!" cegah Satria cepat. "Kalau boleh tahu, siapakah yang telah kami bunuh?"
Semakin beringas wajah Melati. Kini sepasang matanya mencorong tajam bersinar kehijauan.
"Ayahku," jawab Melati, agak ditekan suaranya.
"Ayahmu? Siapa nama ayahmu?" tanya Mega cepat.
"Ayahku berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa! Jelas?! Atau masih mau mungkir?"
Geraham Melati bergemeletuk, karena menahan amarah (Bila ingin jelas tentang Raja Racun Pencabut Nyawa, silakan baca serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang Bintang").
"Tidak mungkin!" potong Satria cepat. "Raja Racun itu tidak mempunyai anak, lagipula... "
"Terimalah kematianmu, manusia pengecut!" potong gadis itu cepat sambil menyerang Satria dengan mendorongkan tangannya ke depan.
“Wuuuttt... !”
Angin kuat berhembus menyambar ke arah Satria. Ketua Perguruan Elang Sakti ini buru-buru melempar tubuh ke samping dan bergulingan beberapa kali di tanah. Akibatnya serangan itu lewat terus ke belakang dan kontan menghantam murid-murid Satria yang tidak sempat mengelak lagi.
Suara jerit kesakitan terdengar saling susul, ketika pukulan jarak jauh Melati menghantam mereka. Tidak kurang dari lima orang terjengkang rubuh ke belakang dengan dada pecah!
Satria dan Mega terkejut bukan main. Dalam segebrakan saja dapat diketahui kalau gadis berpakaian serba putih ini memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera mencabut senjatanya dan menyerang secara berbareng.
"Hi hi hi...," Melati tertawa mengikik. "Keroyoklah aku, manusia-manusia pengecut! Tapi, kali ini jangan harap akan semujur dulu!" berbareng dengan selesainya Melati mengucapkan ancamannya, serangan dua batang pedang itu telah menyambar kembali.
Tetapi, gadis itu hanya tersenyum sinis. Kemudian, tangannya yang telanjang segera memapak bacokan kedua pedang itu.
Satria dan Mega kaget sekali. Apa yang diperbuat gadis berpakaian serba putih ini benar-benar membuat mereka terkejut. Menangkis serangan pedang dengan tangan telanjang, membutuhkan tenaga dalam yang amat tinggi.
Dan selama ini hanya Bargolalah yang berani menangkis seperti itu (Baca; Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang"). Mungkinkah gadis yang mengaku putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu mempunyai tenaga dalam setingkat Bargola? Tapi....
Trakkk! Trakkk!
Satria dan Mega menyeringai. Tangan dua orang Ketua Perguruan Elang Sakti yang menggenggam pedang, terasa lumpuh ketika tangan telanjang gadis itu menangkis pedang mereka. Hampir saja pedang mereka terlepas dari genggaman. Kini, terbukti bahwa tenaga dalam yang dimiliki gadis itu benar-benar setingkat dengan Bargola.
"Hi hi hi...," kembali Melati tertawa mengikik.
Hati gadis itu kelihatan gembira melihat kedua lawannya kaget. Sengaja dia tidak terburu-buru membinasakan, karena ingin melihat mereka ketakutan sebelum maut menjemput.
"Kini, terimalah kematian kalian!"
Setelah berkata demikian, tubuh Melati melesat cepat menerjang kedua pemimpin Perguruan Elang Sakti itu. Jari-jari kedua tangannya berkelebat cepat, membentuk cakar naga. Angin tajam berciutan mengiringi tibanya serangan itu.
Satria dan Mega kebingungan. Gerakan lawan yang terlalu cepat membuat mereka tidak dapat menduga, ke arah mana dan dengan cara bagaimana gadis itu menyerang. Dengan cara untung-untungan mereka memutar pedang bagai baling-baling untuk membuat pertahanan.
Tapi, mendadak putaran pedang itu lenyap. Sedangkan pedang-pedang itu sendiri sudah berpentalan jatuh ke lantai, sehingga menimbulkan suara berkerontangan.
Satria dan Mega tidak tahu bagaimana hal itu terjadi. Yang jelas, tiba-tiba sekujur tangan mereka terasa lumpuh. Tetapi diyakini, pasti tangan gadis berpakaian serba putih itu telah menotok pergelangan tangan mereka. Dan belum lagi dapat berbuat sesuatu, tangan Melati telah menyambar pelipis dan ubun-ubun mereka, yang merupakan dua bagian tubuh yang mematikan.
Crokkk! Plakkk!
Terdengar suara berderak dua kali berturut-turut Dan seiring lenyapnya suara itu, tubuh Satria dan Mega rubuh ke tanah, tanpa bersuara lagi. Mati.
Tentu saja kematian kedua pemimpin Perguruan Elang Sakti itu membuat para muridnya menjadi terkejut bercampur marah. Dengan serentak mereka yang kini berjumlah tiga belas orang, mencabut senjata masing-masing.
Srattt! Srattt! Srattt!
Melati hanya tersenyum sinis. "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Kuperingatkan, jangan ikut campur dalam masalah ini, kalau tidak ingin bernasib seperti guru kalian," ancam gadis itu.
"Perempuan keparat! Iblis berwajah manusia! Kau kira kami takut mati? Serbuuu...!" teriak salah seorang dari mereka.
Tiga belas orang murid itupun serentak menerjang Melati. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok berkelebat menyambar sekujur tubuh gadis itu. Tapi Melati melayani hanya dengan senyum sinis.
Dan seketika kedua tangannya yang lembut dan halus itu memapak semua serangan lawannya, sekaligus memberikan serangan-serangan balasan.
Akibatnya sudah bisa diduga. Ke mana tangan atau kaki Melati bergerak, berarti di situ ada korban. Dan dalam waktu yang singkat, tidak ada seorang pun murid Perguruan Elang Sakti yang masih berdiri. Semua telah terkapar tanpa nyawa.
Melati memandangi hamparan mayat-mayat di sekelilingnya beberapa saat. Pandang matanya berhenti agak lama pada tubuh Satria dan Mega. Kepalanya pun kemudian menengadah.
"Ayah...," desis gadis itu pelan tapi tajam. "Lihatlah! Telah kubalaskan dendammu. Telah kubunuh dua dari empat orang yang telah secara pengecut mengeroyokmu! Kini tinggal dua orang lagi, Ayah. Dan setelah itu tenanglah kau di alam sana!"
Belum habis gema suaranya, Melati sudah melesat dari situ. Tujuannya jelas, mencari pembunuh Raja Racun Pencabut Nyawa. Masih tinggal dua orang lagi yang dicarinya. Ningrum, dan Ular Hitam.
Tanpa sepengetahuan Melati, ada sepasang mata yang mengintai semua perbuatannya. Dan begitu dilihatnya gadis itu telah pergi, baru si pemilik sepasang mata itu berani keluar. Ditatapnya belasan sosok tubuh yang terkapar bergelimpangan disertai perasaan ngeri.
"Sungguh ganas dan kejam sekali, Dewi Penyebar Maut itu...," desahnya bergidik.
Memang, dia juga sudah melihat peristiwa di kedai beberapa hari yang lalu, sewaktu Melati menewaskan Sepasang Setan Hitam. Oleh karena itu, begitu melihat, langsung dikenalinya.
"Tolooong... ! Tolooong... ! Ada pembunuhan!" teriaknya sambil berlari ke luar.
Dalam waktu sebentar saja, halaman depan Perguruan Elang Sakti dipenuhi penduduk yang berkumpul karena mendengar teriakan itu! Dan julukan Dewi Penyebar Maut pun, kembali di-gumamkan orang dengan perasaan ngeri.
***
Suara itu berasal dari sebuah mulut mungil berpakaian serba putih yang duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah merah. Wajah sosok tubuh ramping ini tidak terlihat karena kepalanya tertunduk.
"Aku menyesal sekali, Ayah...," kembali suara mengandung isak itu terdengar.
Menilik suaranya yang begitu menyayat, dapat diperkirakan kalau sosok tubuh ramping ini adalah seorang wanita.
"Kalau aku tidak datang terlambat, mungkin Ayah tidak meninggal. Aku menyesal sekali. Tapi, tenanglah di dalam kuburmu. Akan kubalaskan sakit hatimu. Akan kubunuh mereka yang telah secara curang mengeroyokmu. Dengar janjiku ini, Ayah. Kalau tidak berhasil memenuhi janjiku ini, maka akan kuganti namaku, Ayah. Akan kubuang nama Melati!"
Tegas dan mantap sekali ucapan terakhir yang keluar dari mulut sosok yang berpakaian serba putih, dan ternyata bernama Melati itu. Apalagi kata-kata itu ditutup dengan kepalan tangannya di depan dada, sambil mengangkat wajah!
Tangan yang terkepal itu begitu indah! Jari-jemarinya terlihat lentik, halus, dan berkulit putih mulus. Punggung tangannya yang tidak tertutup baju bertangan panjang itu pun putih, halus, dan mulus!
Tetapi bila dibandingkan dengan wajah yang kini nampak jelas itu, tangan itu tidak berarti apa-apa. Wajah sosok serba putih itu begitu cantik jelita, laksana Dewi! Kulit wajahnya putih, halus, dan mulus. Hidungnya mbangir, dan bibirnya yang tipis dan mungil itu berwarna merah segar.
Hanya satu yang menyeramkan pada gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu. Sepasang matanya yang tajam mencorong, dan bersinar kehijauan! Persis seperti sorot mata kucing dalam gelap.
Setelah mengucapkan sumpahnya, Melati bangkit dari duduk-nya, kemudian melesat dari situ. Cepat sekali gerakannya. Sehingga dalam sekejap mata saja, hanya terlihat sebuah titik di kejauhan yang semakin lama semakin mengecil dan akhirnya lenyap.
Seraut wajah cantik jelita berpakaian serba putih, dengan sikap tak acuh melangkah memasuki sebuah kedai di Desa Waringin. Dihampirinya sebuah meja yang masih kosong. Dan dengan malas dihenyakkan tubuhnya ke kursi. Tak dipedulikan berpasang-pasang mata yang menatap liar ke arahnya.
Sang pemilik kedai, seorang setengah tua yang berwajah totol-totol hitam, tergopoh-gopoh datang menghampirinya.
"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya pemilik kedai ramah.
Wanita yang tidak lain dari Melati ini lalu memesan makanan yang disukainya. Suaranya begitu merdu.
Sang pemilik kedai mengangguk-angguk mengerti, kemudian berlalu untuk menyiapkan pesanan itu. Sebelum berlalu, mulutnya sempat berbisik pelahan pada Melati.
"Hati-hati, Nisanak. Di sini banyak orang jahat. Kalau bisa, cepatlah pergi dari sini... "
Melati hanya tersenyum sinis. Sama sekali tidak digubris peringatan pemilik kedai itu. Tidak lama, pemilik kedai itu sudah kembali sambil membawa makanan pesanan Melati. Setelah mempersilahkan, ia pun berlalu dari situ.
Baru beberapa langkah pemilik kedai itu meninggalkan meja Melati, dua orang berwajah kasar yang sejak tadi menatap liar pada Melati, bangkit dari kursinya. Tampaknya mereka melangkah mendekati meja Melati.
"Nisanak...," ucap salah seorang di antara mereka yang berkulit hitam dan berwajah penuh bercak-bercak putih.
Lagaknya membuat Melati merasa perutnya mual.
"Makan sendirian tidak enak. Lebih baik pindah ke meja kami, dan kita makan bersama-sama."
"Benar, Nisanak," sambut seorang lagi, yang bermulut lebar.
"Lalat-lalat kotor menyebalkan!" ucap Melati tak acuh. Tanpa mempedulikan mereka, gadis itu terus saja melanjutkan makannya. "Aku heran, kenapa di kedai sebersih ini masih ada dua ekor lalat busuk yang menjemukan?!"
"Keparat!" teriak si muka hitam berang. "Perempuan tak tahu diuntung! Berani benar kau menghina Sepasang Setan Hitam?! Kau harus dihukum atas kekurang ajaranmu itu! Kecuali kalau kau mau meminta maaf dan mencium kami masing-masing sepuluh kali."
"Ya, betul," sambut si mulut lebar.
Sudah terbayang di benaknya betapa nikmat dicium gadis secantik wanita berpakaian serba putih ini.
Sepasang mata Melati mencorong mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Tangannya yang tengah menyuap nasi, terhenti di depan mulut.
"Lalat-lalat busuk bermulut kotor! Orang seperti kalian tidak pantas hidup lebih lama lagi!" bentak gadis itu geram.
"Ha ha ha...!" si mulut lebar tertawa bergelak. "Kau dengar apa yang dikatakannya, Kang? Lucu! Sungguh lucu! Kelinci hendak mengalahkan harimau!"
Si muka hitam yang berangasan tidak menyahuti gurauan rekannya. Sambil mendengus seperti kerbau marah, kedua tangannya begitu kurang ajar hendak mencengkeram ke arah dada Melati.
Wajah gadis itu langsung memerah melihat serangan yang kurang ajar ini. Seketika itu juga tangannya cepat bergerak menyambut. Dan di lain saat, dua tangan yang mungil dan indah itu sudah mencekal pergelangan kedua tangan si muka hitam yang terarah ke dada.
Pelahan sekali tangan gadis itu meremas, tetapi akibatnya hebat bukan kepalang! Terdengar suara gemeretak tulang patah dari pergelangan si muka hitam. Kelihatannya tulang-tulang itu hancur diremas tangan mungil yang mengandung tenaga dalam tinggi itu.
"Akh...!" si muka hitam berteriak kesakitan.
Keringat sebesar biji-biji jagung bermunculan di wajahnya karena menahan rasa sakit pada kedua tangannya.
Si muka hitam kaget bukan main. Sekuat tenaga ditarik kedua tangannya yang dipegangi Melati. Tapi betapa pun telah mengerahkan segenap tenaganya, tetap saja dia tidak mampu membebaskan kedua tangannya dari cekalan tangan halus itu.
Belum lagi sempat berbuat sesuatu, tangan kiri gadis berpakaian serba putih itu sudah bergerak menampar pelipis si muka hitam.
“Prakkk...!"
"Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan halus gadis itu menghantam pelipis si muka hitam. Orang pertama dari Sepasang Setan Hitam ini mengeluh tertahan, sebelum rubuh ke tanah dengan napas putus.
Si mulut lebar meraung murka melihat temannya tewas. Tak dipikirkan lagi, bahwa kematian rekannya yang begitu mudah menjadi suatu tanda betapa tingginya kepandaian yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu.
Dengan amarah meluap-luap, dicabut senjatanya yang berupa sebuah kapak dari baja putih. Seketika diayunkannya senjata itu ke kepala Melati. Dan memang, hilang sudah gairahnya pada gadis itu.
“Wuttt.. !”
Angin keras berhembus sebelum serangan kapak itu tiba. Tetapi, Melati sama sekali tidak gugup melihat serangan itu. Hanya dimiringkan kepalanya sedikit, maka kapak itu lewat beberapa rambut di depan mukanya. Dan sebelum kapak itu menghantam meja, tangan Melati sudah bergerak cepat menotok pergelangan tangan si mulut lebar.
Si mulut lebar mengeluh tertahan. Pergelangan tangannya terasa lumpuh, sulit digerakkan lagi. Dan sebelum ia berbuat sesuatu, kapak itu kini sudah berpindah ke tangan Melati.
Begitu tangan gadis yang kini telah menggenggam kapak itu bergerak, si mulut lebar menjerit ngeri. Dadanya tertembus kapaknya sendiri. Beberapa saat lamanya tubuh salah satu dari Sepasang Setan Hitam itu menggelepar-gelepar sebelum akhirnya tidak bergerak-gerak untuk selama-lamanya.
Setelah menewaskan si mulut lebar, Melati kembali duduk menghadapi mejanya. Sikapnya tak acuh, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Para pengunjung yang melihat keganasan gadis itu menjadi ngeri. Beberapa di antara mereka secara diam-diam meninggalkan kedai itu setelah membayar makanannya. Tentu saja Melati mengetahuinya. Tapi, gadis itu tidak mempedulikan. Terus saja dilanjutkan makannya yang tertunda.
Tak lama kemudian, Melati menyelesaikan makannya. Diletakkan pembayarannya di atas meja. Dengan sikap tidak peduli, dilangkahkan kakinya berjalan ke luar kedai.
Sepeninggal Melati, maka terdengarlah suara-suara bergumam mirip kerumunan lebah di dalam kedai itu. Semuanya sibuk membicarakan kejadian yang baru saja terjadi.
"Sayang sekali!" ucap salah seorang pengunjung menyayangkan. "Siapa sangka kalau di balik wajah cantik seperti Dewi, tersembunyi hati yang kejam."
"Benar!" sambut yang lain. "Begitu mudah dan enaknya ia menyebar maut di sini!"
"Tindakannya seperti Malaikat Pencabut Nyawa saja!" orang pertama menyahuti lagi.
"Ah, tidak cocok dong!" sergah yang lain. "Mana ada malaikat wanita! Kalau menurutku, julukan yang pantas baginya adalah Dewi Penyebar Maut!"
"Benar...!" sahut salah seorang.
"Akur...!"
Sejak peristiwa di kedai itu, tanpa sepengetahuan Melati sendiri, ia telah dijuluki orang Dewi Penyebar Maut. Dalam waktu sebentar saja, julukan itu telah menyebar ke seluruh pelosok desa. Bahkan sampai ke desa-desa sekitar. Dewi Penyebar Maut, sebuah julukan bagi seorang gadis cantik yang berpakaian serba putih, tapi berhati kejam.
***
"Perguruan Elang Sakti," gumam Melati sinis, membaca tulisan pada sebuah papan besar dan tebal yang tergantung di depan pintu gerbang sebuah bangunan besar yang dikelilingi tembok tinggi.
"Hup!"
Melati melompati tembok yang tingginya tidak kurang dari satu tombak itu. Tanpa suara, kakinya mendarat seperti seekor kucing. Tetapi belum juga gadis itu berbuat sesuatu, terdengar sebuah bentakan keras.
"Berhenti!"
Melati menoleh ke arah asal suara itu. Nampak di depannya berdiri seorang pemuda gagah dengan kedua tangan bersedekap. Tatapan matanya penuh selidik. Tetapi, sepasang mata yang semula tajam itu mendadak lunak begitu melihat wajah Melati.
"Eh! Nggg... , siapa Nini? Mengapa masuk secara gelap-gelapan?" tanya pemuda itu gagap.
"Siapa pun aku, tidak perlu kau tahu. Yang jelas, kedatanganku ke sini adalah karena mempunyai keperluan yang sangat penting dengan gurumu!" sahut Melati sambil tersenyum sinis.
"Ahhh.... Ada keperluan apakah, sehingga Nini ingin bertemu guruku?"
"Aku ingin mengirimnya ke akherat!" lantang dan tegas kata-kata Melati.
"Apa?!" Sepasang mata pemuda itu terbelalak. Kini sikapnya seketika berubah kembali. "Jangan harap mampu melakukannya sebelum melangkahi mayatku!"
"Hi hi hi... ! Berapa sih, susahnya melangkahi mayatmu?!" ejek Melati tajam, setelah tawa mengikiknya selesai.
"Boleh kau coba!" tantang pemuda itu.
"Manusia dungu yang suka mencari penyakit sendiri! Jangan salahkan aku kalau kau mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, tubuh Melati berkelebat ke arah sasaran. Pemuda itu kaget sekali. Yang terlihat hanya sekelebat bayangan yang cepat meluruk ke arahnya. Dengan sebisanya, pemuda itu bergerak menangkis. Tapi usahanya sia-sia.
“Crokkk!”
"Aaakh...!"
Pemuda malang itu langsung rubuh sambil berteriak keras menyayat. Darah segar seketika membasahi ubun-ubunnya yang pecah!
Tanpa mempedulikan keadaan pemuda itu lagi, Melati bergerak menghampiri pintu gerbang. Tepat di depan pintu gerbang itu langkahnya terhenti seraya bertolak pinggang.
"Satria, Mega... , keluar! Kalian harus menerima kematian!" teriak Melati lantang.
Teriakan Melati yang disertai pengerahan tenaga dalam, langsung menggema ke sekitar tempat itu. Akibatnya sudah bisa diduga. Belasan murid Perguruan Elang Sakti bermunculan, dan bersikap waspada.
"Iblis dari mana yang tersesat ke sini?!" tanya salah seorang murid kepala, bernada kasar.
Kemudian dengan amarah meluap-luap, dihampirinya Melati. Untuk sesaat hatinya terperangah melihat kecantikan si pengacau yang luar biasa itu. Tapi, sekejap kemudian perasaannya sudah bisa dikuasai.
Tetapi sebelum Melati menjawab, terdengar sebuah suara dari arah belakang para murid itu.
"Mundur, Kusna!"
Si murid kepala yang ternyata bernama Kusna, segera mengenali suara gurunya. Maka buru-buru dia melangkah mundur. Seiring mundurnya Kusna, dari belakang kerumunan murid itu menyeruak dua orang pria berusia tiga puluhan.
"Kaliankah yang bernama Satria dan Mega itu?" tanya Melati sinis.
"Tidak salah! Aku Satria, dan ini temanku, Mega," jawab Satria yang kini bersama Mega menjadi Ketua Perguruan Elang Sakti (Untuk mengetahui kisah tentang Satria dan Mega sebelumnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
"Ada urusan apakah, sehingga Nini datang mencari kami? Bahkan dengan cara yang sangat tidak sopan!"
Wajah Melati berubah beringas melihat orang yang dicarinya telah di depan mata.
"Hutang nyawa!" sahut gadis itu keras, bernada penuh kebencian.
Berkerut kening Satria mendengar jawaban yang tidak disangka-sangka itu. "Hutang nyawa? Aku tidak mengerti maksudmu, Nini. Apakah kau tidak salah alamat?"
"Tidak!" bentak Melati lagi. "Bersiaplah kalian berdua untuk menerima kematian!"
"Tunggu dulu, Nini!" cegah Satria cepat. "Kalau boleh tahu, siapakah yang telah kami bunuh?"
Semakin beringas wajah Melati. Kini sepasang matanya mencorong tajam bersinar kehijauan.
"Ayahku," jawab Melati, agak ditekan suaranya.
"Ayahmu? Siapa nama ayahmu?" tanya Mega cepat.
"Ayahku berjuluk Raja Racun Pencabut Nyawa! Jelas?! Atau masih mau mungkir?"
Geraham Melati bergemeletuk, karena menahan amarah (Bila ingin jelas tentang Raja Racun Pencabut Nyawa, silakan baca serial Dewa Arak, dalam episode "Pedang Bintang").
"Tidak mungkin!" potong Satria cepat. "Raja Racun itu tidak mempunyai anak, lagipula... "
"Terimalah kematianmu, manusia pengecut!" potong gadis itu cepat sambil menyerang Satria dengan mendorongkan tangannya ke depan.
“Wuuuttt... !”
Angin kuat berhembus menyambar ke arah Satria. Ketua Perguruan Elang Sakti ini buru-buru melempar tubuh ke samping dan bergulingan beberapa kali di tanah. Akibatnya serangan itu lewat terus ke belakang dan kontan menghantam murid-murid Satria yang tidak sempat mengelak lagi.
Suara jerit kesakitan terdengar saling susul, ketika pukulan jarak jauh Melati menghantam mereka. Tidak kurang dari lima orang terjengkang rubuh ke belakang dengan dada pecah!
Satria dan Mega terkejut bukan main. Dalam segebrakan saja dapat diketahui kalau gadis berpakaian serba putih ini memiliki tenaga dalam tinggi. Tanpa ragu-ragu lagi, keduanya segera mencabut senjatanya dan menyerang secara berbareng.
"Hi hi hi...," Melati tertawa mengikik. "Keroyoklah aku, manusia-manusia pengecut! Tapi, kali ini jangan harap akan semujur dulu!" berbareng dengan selesainya Melati mengucapkan ancamannya, serangan dua batang pedang itu telah menyambar kembali.
Tetapi, gadis itu hanya tersenyum sinis. Kemudian, tangannya yang telanjang segera memapak bacokan kedua pedang itu.
Satria dan Mega kaget sekali. Apa yang diperbuat gadis berpakaian serba putih ini benar-benar membuat mereka terkejut. Menangkis serangan pedang dengan tangan telanjang, membutuhkan tenaga dalam yang amat tinggi.
Dan selama ini hanya Bargolalah yang berani menangkis seperti itu (Baca; Serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang"). Mungkinkah gadis yang mengaku putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu mempunyai tenaga dalam setingkat Bargola? Tapi....
Trakkk! Trakkk!
Satria dan Mega menyeringai. Tangan dua orang Ketua Perguruan Elang Sakti yang menggenggam pedang, terasa lumpuh ketika tangan telanjang gadis itu menangkis pedang mereka. Hampir saja pedang mereka terlepas dari genggaman. Kini, terbukti bahwa tenaga dalam yang dimiliki gadis itu benar-benar setingkat dengan Bargola.
"Hi hi hi...," kembali Melati tertawa mengikik.
Hati gadis itu kelihatan gembira melihat kedua lawannya kaget. Sengaja dia tidak terburu-buru membinasakan, karena ingin melihat mereka ketakutan sebelum maut menjemput.
"Kini, terimalah kematian kalian!"
Setelah berkata demikian, tubuh Melati melesat cepat menerjang kedua pemimpin Perguruan Elang Sakti itu. Jari-jari kedua tangannya berkelebat cepat, membentuk cakar naga. Angin tajam berciutan mengiringi tibanya serangan itu.
Satria dan Mega kebingungan. Gerakan lawan yang terlalu cepat membuat mereka tidak dapat menduga, ke arah mana dan dengan cara bagaimana gadis itu menyerang. Dengan cara untung-untungan mereka memutar pedang bagai baling-baling untuk membuat pertahanan.
Tapi, mendadak putaran pedang itu lenyap. Sedangkan pedang-pedang itu sendiri sudah berpentalan jatuh ke lantai, sehingga menimbulkan suara berkerontangan.
Satria dan Mega tidak tahu bagaimana hal itu terjadi. Yang jelas, tiba-tiba sekujur tangan mereka terasa lumpuh. Tetapi diyakini, pasti tangan gadis berpakaian serba putih itu telah menotok pergelangan tangan mereka. Dan belum lagi dapat berbuat sesuatu, tangan Melati telah menyambar pelipis dan ubun-ubun mereka, yang merupakan dua bagian tubuh yang mematikan.
Crokkk! Plakkk!
Terdengar suara berderak dua kali berturut-turut Dan seiring lenyapnya suara itu, tubuh Satria dan Mega rubuh ke tanah, tanpa bersuara lagi. Mati.
Tentu saja kematian kedua pemimpin Perguruan Elang Sakti itu membuat para muridnya menjadi terkejut bercampur marah. Dengan serentak mereka yang kini berjumlah tiga belas orang, mencabut senjata masing-masing.
Srattt! Srattt! Srattt!
Melati hanya tersenyum sinis. "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Kuperingatkan, jangan ikut campur dalam masalah ini, kalau tidak ingin bernasib seperti guru kalian," ancam gadis itu.
"Perempuan keparat! Iblis berwajah manusia! Kau kira kami takut mati? Serbuuu...!" teriak salah seorang dari mereka.
Tiga belas orang murid itupun serentak menerjang Melati. Belasan senjata tajam yang terdiri dari pedang dan golok berkelebat menyambar sekujur tubuh gadis itu. Tapi Melati melayani hanya dengan senyum sinis.
Dan seketika kedua tangannya yang lembut dan halus itu memapak semua serangan lawannya, sekaligus memberikan serangan-serangan balasan.
Akibatnya sudah bisa diduga. Ke mana tangan atau kaki Melati bergerak, berarti di situ ada korban. Dan dalam waktu yang singkat, tidak ada seorang pun murid Perguruan Elang Sakti yang masih berdiri. Semua telah terkapar tanpa nyawa.
Melati memandangi hamparan mayat-mayat di sekelilingnya beberapa saat. Pandang matanya berhenti agak lama pada tubuh Satria dan Mega. Kepalanya pun kemudian menengadah.
"Ayah...," desis gadis itu pelan tapi tajam. "Lihatlah! Telah kubalaskan dendammu. Telah kubunuh dua dari empat orang yang telah secara pengecut mengeroyokmu! Kini tinggal dua orang lagi, Ayah. Dan setelah itu tenanglah kau di alam sana!"
Belum habis gema suaranya, Melati sudah melesat dari situ. Tujuannya jelas, mencari pembunuh Raja Racun Pencabut Nyawa. Masih tinggal dua orang lagi yang dicarinya. Ningrum, dan Ular Hitam.
Tanpa sepengetahuan Melati, ada sepasang mata yang mengintai semua perbuatannya. Dan begitu dilihatnya gadis itu telah pergi, baru si pemilik sepasang mata itu berani keluar. Ditatapnya belasan sosok tubuh yang terkapar bergelimpangan disertai perasaan ngeri.
"Sungguh ganas dan kejam sekali, Dewi Penyebar Maut itu...," desahnya bergidik.
Memang, dia juga sudah melihat peristiwa di kedai beberapa hari yang lalu, sewaktu Melati menewaskan Sepasang Setan Hitam. Oleh karena itu, begitu melihat, langsung dikenalinya.
"Tolooong... ! Tolooong... ! Ada pembunuhan!" teriaknya sambil berlari ke luar.
Dalam waktu sebentar saja, halaman depan Perguruan Elang Sakti dipenuhi penduduk yang berkumpul karena mendengar teriakan itu! Dan julukan Dewi Penyebar Maut pun, kembali di-gumamkan orang dengan perasaan ngeri.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment