Malam itu langit kelihatan cerah. Tidak ada awan yang menggantung di langit. Bulan penuh yang tampak di langit menambah terangnya suasana.
Tetapi rupanya suasan cerah tidak menjamin bahwa suasana akan aman. Terbukti di malam ini nampak dua sosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar tembok bangunan milik Pendekar Ruyung Maut, yang dulunya adalah milik Ki Gering Langit.
Gerakan mereka cepat bukan main. Suatu tanda kalau dua sosok tubuh itu bukanlah orang sembarangan! Dan hal itu memang tidak salah. Ternyata dua sosok itu adalah Gerda, si Siluman Tengkorak Putih dan si Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Tribuana! Keluar kau!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa memanggil nama asli Pendekar Ruyung Maut.
Begitu ia dan Siluman Tengkorak Putih berada di depan pintu bangunan besar itu. Suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat itu, bergema ke sekitar bangunan besar milik Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut.
Karuan saja suara penggilan dari luar itu mengagetkan Pendekar Ruyung Maut yang berada di dalam. Apalagi suara penggilan itu menyebut nama aslinya. Nama yang jarang diketahui orang.
Sepengetahuannya hanya dua orang saja yang tahu nama aslinya. Mereka adalah kakak seperguruannya, Ki Wanayasa dan istrinya sendiri. Tetapi menilik dari suara panggilan itu, Tribuana berani bertaruh kalau suara itu bukan salah satu dari kedua orang yang dimaksudkan. Lalu siapa?
Pendekar Ruyung Maut melangkah ke luar. Tidak lupa diselipkan ruyungnya di pinggang. Memang dari nada suaranya orang yang memanggil itu tidak bermaksud baik.
Begitu pintu dibuka, nampak sekitar tiga tombak di depannya berdiri dua sosok tubuh. Suasana yang cukup terang membuat Pendekar Ruyung Maut ini dapat melihat jelas dua sosok tubuh itu. salah satunya langsung dapat dikenali sebagai si Raja Racun Pencabut Nyawa.
Telah dua kali dia bertemu tokoh ini. iblis itu adalah kakak kandung istrinya. Dan hal ini membuatnya serba salah. Sulit baginya untuk bertempur melawan si Raja Racun Pencabut Nyawa ini!
Perhatian Tribuana kini beralih pada sosok serba putih yang berdiri di samping Raja Racun Pencabut Nyawa. Dicobanya untuk mengingat-ingat barangkali saja pernah kenal atau setidaknya mendengar tokoh ini. Tapi sampai lelah mengingat-ingat, tidak juga dikenali orang itu. meskipun demikian Pendekar Ruyung Maut ini harus bersikap waspada.
Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti maka kucing dalam gelap itu benar-benar membuatnya terkejut. Sebagai seorang yang telah kenyang dengan pengalaman, Tribuana tahu kalau sorot mata seperti itu hanya akan muncul pada mata orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi.
“Apa keperluanmu sehingga Kakang Lindu menemuiku?” tanya Pendekar Ruyung Maut pelan.
Si Raja Racun Pencabut Nyawa yang ternyata bernama Lindu, mendengus. “Tidak perlu berbasa-basi, Tribuana! Cepat serahkan Pedang Bintang padaku!”.
“Pedang Bintang?!” sahut Pendekar Ruyung Maut pura-pura.
“Tidak usah pura-pura, Tribuana! Atau kini kau telah menjadi seorang pengecut sehingga tidak berani mengakui benda yang ada di tanganmu?!”
Pendekar Ruyung Maut menghela napas panjang. Ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa membuatnya mati kutu.
“Kuakui, kalau pedang itu semula ada padaku, Kang Lindu. Tapi sekarang, tidak lagi”.
“Keparat! Lalu, sekarang di mana pedang itu?!” desak si Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Sayang sekali, Kang Lindu. Tidak mungkin kuberitahukan padamu!” tegas sekali kata-kata Pendekar Ruyung Maut itu.
“Menyingkirlah, Paman” selak Siluman Tengkorak Putih sambil melangkah maju menghampiri Tribuana.
“Jangan gegabah dulu, Gerda. Akan kuperiksa dulu bangunan ini. Seingatku ia mempunyai seorang anak lelaki yang kini pasti sudah remaja. Aku akan mencari anak itu dulu!”.
“Cepatlah, Paman” sahut Siluman Tengkorak Putih tak sabar.
Raja Racun Pencabut Nyawa segera melesat ke dalam rumah besar itu, Pendekar Ruyung Maut berusaha menghadang, tetapi terjangan Siluman Tengkorak Putih membuat niatnya terhenti.
Kagetlah pendekar ini melihat kehebatan serangan dan kekuatan tenaga yang tekandung dalam serangan Siluman Tengkorak Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, langsung mengerahkan ilmu andalan Delapan Cara Menaklukkan Harimau.
Tetapi dalam beberapa jurus saja Pendekar Ruyung Maut sudah terdesak. Pendekar ini memang kalah segala-segalanya jika dibandingkan lawannya. Baik kecepatan gerak maupun kekuatan tenaga dalam. Sehingga tidak aneh jika hanya sebentar saja ia sudah dibuat pontang-panting.
“Hiyaaa...!”
Pendekar Ruyung Maut berteriak keras sambil mencabut senjatanya. Langsung diayunkan ruyungnya itu ke kepala lawan.
Siluman Tengkorak Putih hanya mendengus. Tangan kanannya cepat-cepat diangkat melindungi kepalanya.
“Takkk...!”
Pendekar Ruyung Maut terhuyung. Mulutnya menyeringai. Sekujur tangannya seolah-olah terasa lumpuh tatkala tangna sosok serba putih itu menangkis ruyungnya. Di saat yang tidak menguntungkan bagi pendekar itu, totokan ujung kaki Siluman Tengkorak Putih menyambar cepat ke arah lututnya.
“Tukkk...! “
“Akh...!”
Pendekar Ruyung Maut mangeluh. Sambungan tulang lututnya kontan terlepas. Akibatnya tubuhnyapun sempoyongan. Dan kini lagi-lagi serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih kembali menyambar.
“Hugh...!”
Kembali Tribuana mengeluh ketika sebuah sepakan laki-laki berjubah putih itu telak menghantam dadanya. Ketika pendekar ini terbatuk ada segumpal darah kental keluar dari mulutnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terbanting ke tanah. Serangan itu memang dahsyat sekali.
Dan saat itulah si Raja Racun Pencabut Nyawa keluar dari dalam rumah besar itu.
“Bagaimana, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih.
Si Raja Racun Pencabut Nyawa hanya menggeleng.
“Bagaimana Tribuana?” Siluman Tengkorak Putih menoleh ke arah Pendekar Ruyung Maut yang masih tergolek di tanah dengan napas tersenggal-senggal. “Kau ingin menunjukkan ke mana perginya putramu itu dengan Pedang Bintangnya?”.
“Lebih baik aku mati!” tandas Tribuana.
“Baik, kalau itu yang diinginkan! Tapi jangan harap akan kubunuh begitu saja! Kau akan kusiksa pelan-pelan!”. ancamnya.
“Jangan harap dapat membuatku takut, iblis! Cuhhh..!”
“Bangsat!” maki Siluman Tengkorak Putih.
Seketika kaki Siluman Tengkorak Putih bergerak menginjak. Kemarahan membuatnya lupa pada ancamannya. Kakinya dijejakkan pada dada Tribuana sambil menekan kuat-kuat. Terdengar suara gemeretaknya tulang-tulang yang berpatahan. Darah segar memancur deras dari mulut, hidung, telinga dan bahkan mata Pendekar Ruyung Maut.
Sejak malam itu maka gemparlah dunia persilatan. Siluman Tengkorak Putih benar-benar mengamuk. Setiap perguruan silat yang beraliran putih dihancurkan, tak terkecuali Perguruan Tangan Sakti.
Bahkan Ki Wanayasa telah ditewaskannya! Sementara para tokoh kaum hitam mulai bersorak gembira. Kini mereka berani melakukan kejahatan dengan lebih leluasa. Hanya saja si Raja Pisau Terbang dan Bergola belum terdengar lagi beritanya.
***
“Byurrr..!”
Setelah beberapa saat lamanya melayang di udara tubuh Arya Buana langsung jatuh di permukaan air sumur itu. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi, pemuda itu tidak menemukan halangan berarti.
Beberapa saat tubuh Arya Buana mengapung di permukaan air. Sepasang matanya nyalang mengamati bagian dinding sumur mencari-cari lubang yang dikatakan ayahnya. Berkat kegigihannya akhirnya lubang itu berhasil ditemukan. Persis seperti yang dikatakan ayahnya. Lubang itu terletak hanya sekitar setengah tombak dari pemukaan air sumur.
Arya Buana menimbang-nimbang sejenak. Rasanya tidak mungkin dapat mencapai lubang itu dengan melompat. Kalau di darat jarak seperti itu memang bukanlah apa-apa. Tapi kalau di air bagaimana hal itu dapat dilakukannya? Kakinya tidak mempunyai landasan yang cukup mantap untuk tempat menjejak. Kalau ayahnya memang sudah dapat dipastikan akan melakukan hal itu.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Arya Buana segera berenang ke dinding sumur mendekati lubang itu. segera diambilnya sebilah pisau kemudian pelan saja ditancapkannya di dinding sumur.
Sesaat kemudian dikeluarkan pula Pedang Bintang dari warangkanya. Baru setelah itu tubuhnya melenting dan hinggap di atas pisau yang tadi ditancapkannya di dinding. Pisau itu nampak agak goyah karena Arya Buana hanya menghujamkan perlahan saja.
“Hup!”
Sambil menekankan pada landasan, Arya Buana melompat ke atas. Dan ketika tubuhnya berada tepat di depan lubang yang hanya kecil saja itu. Segera ditancapkan pedangnya sekuat tenaga.
“Crap!”
Pedang itu amblas ke dinding sumur hingga setengahnya lebih. Karuan saja hal ini membuat tubuh Arya Buana tergantung di depan lubang itu. Sekilas Arya melirik ke bawah, ke tempat ia menancapkan pisaunya. Mulutnya menyunggingkan senyum lega ketika pisau itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Memang agar tidak meninggalkan jejak yang dapat diketahui para pemburu pusaka Ki Gering Langit.
Kini Arya mengalihkan perhatian pada lubang kecil yang tepat berada di depannya. Lubang itu kelihatan kecil dan gelap. Garis tengahnya tidak lebih dari setengah tombak. Dengan hanya mengayunkan tubuhnya sedikit, pemuda remaja itu telah berada di dalam.
Arya Buana memasukkan Pedang Bintang ke warangkanya kembali. Tubuhnya terpaksa merangkak karena sempitnya lubang untuk masuk lebih ke dalam. Dan ternyata lubang itu tidak datar saja.
Arya Buana merasa kalau arah lubang ini menanjak. Dan ternyata semakin ke dalam, lubang itu semakin membesar. Sampai akhirnya pemuda remaja itu tidak merangkak lagi bahkan bisa berjalan biasa.
Setelah beberapa lama akhirnya sampailah Arya Buana pada sebuah ruangan yang cukup luas dan terang seperti ada cahaya yang menyinarinya. Entah dari mana asal sinar itu dan pemuda itu tidak mengetahuinya. Apalagi untuk memikirkannya. Tubuh dan pikirannya lelah sekali.
Di sini Arya Buana menjatuhkan tubuhnya kemudian bersandar pada dinding. Untuk beberapa saat lamanya tubuhnya tetap bersandar tapi sebentar kemudian telah duduk bersila.
Ditegakkannya tubuhnya dan dirapatkan kedua tangannya di depan dada. Dan kini Arya Buana sudah tenggelam dalam semadinya. Suasana sekitar tempat itu yang semula hening, kini dipecahkan suara napas yang keluar masuk dari mulut dan hidung Arya Buana. Suara napas yang berirama tetap.
Setelah dirasakan tenaganya kembali pulih, Arya Buana menghentikan semadinya. Sebentar diperhatikan ruangan di sekitarnya. Ruangan ini ternyata mempunyai beberapa buah lorong. Segera pemuda ini mengeluarkan gulungan kain yang disimpan. Dibuka dan diperhatikannya petunjuk dan coretan yang ada. Setelah hatinya mantap barulan dipilihnya lorong sebelah kanan.
Berbeda dengan lorong gua di atas permukaan sumur, lorong ini lebih nyaman dan enak untuk dijalani. Arya Buana melewatinya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Entah berapa lama Arya Buana menempuh lorong itu sehingga tidak tahu siang atau malam. Yang dilakukannya hanya terus berlari sampai lelah dan lapar. Baru setelah dirasakan letih dia beristirahat dan makan. Kini dia harus melanjutkan perjalanan lagi hingga akhirnya ia melihat berkas sinar di ujung lorong yang tengah dilalui.
Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, Arya Buana segera mempercepat langkah menuju asal sinar itu.
Sekali lihat saja dari jarak jauh, Arya telah mengetahui kalau sinar itu berasal dari cahaya matahari. Dan itu berarti di ujung yang berhubungan dengan dunia bebas!
Tak berapa lama kemudian, Arya Buana telah berada tidak jauh dari sinar itu. setibanya di sini, dugaannya memang benar. Ujung lorong ini memang berhubungan dengan dunia luar. Hanya saja lubangnya ditutupi rerimbunan semak belukar sehingga tak terlihat oleh pandangan orang luar. Dan sinar yang dilihatnya itu memang berasal dari sinar matahari yang menerobos rerimbunan semak belukar itu.
Dengan tangan agak gemetar, Arya menyibakkan semak belukar itu. untuk sesaat lamanya pemuda itu menundukkan kepala sambil menutupi kedua matanya dengan tangan kanan. Silau rasanya diterpa sinar yang telah sekian lama tidak dilihatnya.
Setelah agak terbiasa, barulah Arya menurunkan tangannya. Dilangkahkan kakinya keluar dari lorong itu setelah terlebih dahulu merapikan kembali semak belukar yang tadi disibaknya. Kemudian sepasang matanya memandang berkeliling mengamati sekitarnya.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu masih mengamati sekitarnya. Sepasang alisnya yang tebal dan berbentuk golok nampak berkerut. Rupanya ada yang tengah dipikirkan.
Tak lama kemudian dikeluarkan kembali gulungan kain yang diselipkannya di balik baju di pinggang. Dibukanya kembali dan diamat-amati lagi coretan-coretan dan garis-garis yang tertera di situ.
“Hm...pantas saja tidak kutemukan. Rupanya ada sesuatu yang kulupakan”. Gumam pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri. “Dari mulut lorong melangkah ke kanan sejauh dua puluh langkah. Lalu ke kiri sepuluh langkah dan ke depan tiga langkah”.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Arya menyelipkan kembali gulungan kain itu di pinggang. Maka kakinya mulai melangkah sesuai petunjuk yang tertera di gulungan kain itu. dan kini tubuh Arya telah berada di depan sebuah pohon berbatang besar dan berongga. Tanpa ragu-ragu lagi dimasukinya rongga pohon itu.
Baru sekitar lima langkah melangkahkan kaki di depannya telah terbentang sebuah tangga menuju ke bawah yang terdapat jalan lurus sekitar sepuluh tombak.
Tak lama ditemukan tangga lagi yang menuju ke atas. Arya segera menaikinya. Di situ ditemukan lagi jalan yang berakhir pada sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat dan Arya segera melangkahkan kakinya.
Sampai di sini Arya bimbang. Haruskah dibukanya pintu itu? Tidakkah perbuatan itu sangat tidak sopan. Karena bagaimanapun juga diyakini kalau tempat ini mempunyai pemilik.
Selagi Arya dicekam keragu-raguan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam ruangan itu.
“Mengapa ragu-ragu murid murtad! Ayo masuk! Dan bunuhlah aku! Mengapa hanya termenung di depan pintu?”.
Karuan saja bentakan itu membuat Arya kebingungan. Siapakah yang dimaksud oleh orang yang membentak di dalam itu. Diakah? Lalu, kalau betul kenapa dia dimaki sebagai murid murtad? Bukankah Arya hanya mempunyai seorang guru yakni ayahnya sendiri? Jangan-jangan yang dimaksudkan orang yang di dalam itu adalah dirinya. Kalau bukan lalu siapa? Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkecamuk di benak Arya.
Beberapa saat lamanya Arya termenung di depan pintu ruangan itu. Dipertimbangkan apakah lebih baik masuk atau menunggu saja. Jelas bila melihat coretan dan garis yang tertera di gulungan kain itu, di ruang itulah tersimpan kitab-kitab Ki Gering Langit. Tapi apakah sepantasnya jika langsung masuk? Tidakkah sebaiknya meminta ijin dulu pada pemiliknya? Benar! Ia harus meminta ijin dulu. Dan pemiliknya pasti berada di dalam.
Kini Arya tidak ragu-ragu lagi. Segera digerakkan tangannya hendak mengetuk pintu itu. Tapi mendadak gerakan tangannya terhenti di udara. Ternyata dia menemukan adanya kejanggalan pada pintu ini!
Pintu itu ternyata dikunci dari luar. Berkerut kening Arya melihat hal ini. Otaknya yang cerdas segera dapat menduga kalau orang yang melakukan ini bermaksud mengurung sesuatu. Dan suara makian tadi berasal dari dalam. Jadi itu adalah suara orang yang terkurung!
Kembali hati Arya dilanda kebimbangan. Haruskah dibuka paksa pintu itu? tidakkah itu berarti telah bertindak lancang? Siapa tahu kalau seseorang yang terkurung itu adalah tokoh yang berbahaya. Bukankah itu berarti dia telah berbuat suatu kesalahan? Pemuda ini memutar otaknya. Diingat-ingatnya lagi ucapan yang tadi keluar dari dalam. Masih jelas terngiang di telinganya bunyi makian tadi.
Dari bunyi makian itu Arya segera saja dapat menduga kalau yang terkurung itu adalah seorang guru. Sementara orang yang mengurungnnya adalah muridnya yang murtad. Lenyaplah kini keragu-raguan Arya.
Ditatapnya pintu itu sejenak. Walau kelihatannya pintu itu begitu tebal dan kuat, tapi pemuda itu yakin kalau akan mampu menghancurkannya dengan sekali pukul saja! Hal ini diam-diam membuat Arya agak heran. Ia tahu seorang tokoh rendahpun akan mampu menghancurkan pintu itu. Tapi kenapa orang yang berkedudukan sebagai guru itu tidak mampu melakukannya?
“Brakkk...!”
Dengan mengeluarkan suara agak ribut, pintu itu hancur berkeping-keping. Sejenak Arya mengawasi keadaan di dalamnya. Segera dilangkahkan kakinya masuk disertai sikap waspada. Begitu melangkah masuk, Arya sudah menyiapkan ilmu andalannya, Delapan Cara Menaklukkan Harimau”.
Tapi kewaspadaannya seketika pupus. Ternyata dia melihat pemandangan yang mengenaskan di hadapannya kini. Tampak sesosok tubuh kurus tua yang tengah duduk bersila di atas tanah lembab. Kedua tangannya nampak dililit gelang baja yang masing-masing dihubungkan dengan rantai. Begitu pula pada sepasang kakinya.
Kakek itu mengangkat wajahnya menatap Arya. Seketika meremang bulu kuduk pemuda itu. sepasang mata kakek itu begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan mirip mata seekor kucing dalam gelap.
Sekali pandang saja Arya sadar kalau kakek itu pasti memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hanya orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang memiliki sinar mata seperti itu. hanya saja yang masih menjadi teka-teki bagi Arya mengapa kakek ini tidak membebaskan diri dari kurungan dan belenggu rantai itu? Dengan tenaga dalam yang dimiliki semua belenggu bagaikan permainan anak-anak saja!
“Siapa kau, Anak Muda?” tanya kakek itu pelan. Sepasang mata itupun kembali meredup. “Dan apa hubunganmu dengan Boma?”
“Boma? Maaf, Kek. Aku tidak mengenal nama itu”, jawab Arya hati-hati.
“Tidak mengenalnya? Jangan bohong kau, Anak Muda. Kalau bukan teman atau suruhannya, mana mungkin kau bisa tiba di sini. Tidak ada seorangpun yang tahu tempat ini kecuali Boma. Bomantara si murid murtad!” tegas kakek itu.
“Sungguh, Kek. Aku tidak mengenal orang yang Kakek sebut itu. aku tahu tempat ini secara kebetulan saja”, bantah Arya.
“Kebetulan?!” kakek itu tersenyum pahit.
Sepasang matanya kini kembali mencorong menatap Arya penuh selidik. Tapi tiba-tiba saja sepasang mata itu terbelalak.
Arya tentu saja dapat melihat keterkejutan sorot mata dan wajah kakek itu. segera diikuti arah pandangan kakek itu. Dan hatinya tersentak ketika ia menyadari kalau yang membuat kakek itu terkejut adalah benda yang tergantung di punggungnya. Pedang Bintang!
Cepat-cepat Arya berusaha menyembunyikannya dari pandangan kakek itu, tapi terlambat. Kakek itu rupanya sudah mengetahui.
“Pedang Bintang”. Desak kakek itu pelan. “Kakang Gering. Setelah sekian tahun, akhirnya muncul juga pewaris yang kau sebut-sebut itu. Ah, rupanya Gusti Allah masih berkenan mengabulkan permohonanku. Anak Muda, kemarilah...!” Ajak kakek itu sambil melambaikan tangannya.
Tetapi rupanya suasan cerah tidak menjamin bahwa suasana akan aman. Terbukti di malam ini nampak dua sosok tubuh berkelebat cepat melompati pagar tembok bangunan milik Pendekar Ruyung Maut, yang dulunya adalah milik Ki Gering Langit.
Gerakan mereka cepat bukan main. Suatu tanda kalau dua sosok tubuh itu bukanlah orang sembarangan! Dan hal itu memang tidak salah. Ternyata dua sosok itu adalah Gerda, si Siluman Tengkorak Putih dan si Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Tribuana! Keluar kau!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa memanggil nama asli Pendekar Ruyung Maut.
Begitu ia dan Siluman Tengkorak Putih berada di depan pintu bangunan besar itu. Suara yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat itu, bergema ke sekitar bangunan besar milik Tribuana alias Pendekar Ruyung Maut.
Karuan saja suara penggilan dari luar itu mengagetkan Pendekar Ruyung Maut yang berada di dalam. Apalagi suara penggilan itu menyebut nama aslinya. Nama yang jarang diketahui orang.
Sepengetahuannya hanya dua orang saja yang tahu nama aslinya. Mereka adalah kakak seperguruannya, Ki Wanayasa dan istrinya sendiri. Tetapi menilik dari suara panggilan itu, Tribuana berani bertaruh kalau suara itu bukan salah satu dari kedua orang yang dimaksudkan. Lalu siapa?
Pendekar Ruyung Maut melangkah ke luar. Tidak lupa diselipkan ruyungnya di pinggang. Memang dari nada suaranya orang yang memanggil itu tidak bermaksud baik.
Begitu pintu dibuka, nampak sekitar tiga tombak di depannya berdiri dua sosok tubuh. Suasana yang cukup terang membuat Pendekar Ruyung Maut ini dapat melihat jelas dua sosok tubuh itu. salah satunya langsung dapat dikenali sebagai si Raja Racun Pencabut Nyawa.
Telah dua kali dia bertemu tokoh ini. iblis itu adalah kakak kandung istrinya. Dan hal ini membuatnya serba salah. Sulit baginya untuk bertempur melawan si Raja Racun Pencabut Nyawa ini!
Perhatian Tribuana kini beralih pada sosok serba putih yang berdiri di samping Raja Racun Pencabut Nyawa. Dicobanya untuk mengingat-ingat barangkali saja pernah kenal atau setidaknya mendengar tokoh ini. Tapi sampai lelah mengingat-ingat, tidak juga dikenali orang itu. meskipun demikian Pendekar Ruyung Maut ini harus bersikap waspada.
Sepasang matanya yang tajam mencorong dan bersinar kehijauan seperti maka kucing dalam gelap itu benar-benar membuatnya terkejut. Sebagai seorang yang telah kenyang dengan pengalaman, Tribuana tahu kalau sorot mata seperti itu hanya akan muncul pada mata orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi.
“Apa keperluanmu sehingga Kakang Lindu menemuiku?” tanya Pendekar Ruyung Maut pelan.
Si Raja Racun Pencabut Nyawa yang ternyata bernama Lindu, mendengus. “Tidak perlu berbasa-basi, Tribuana! Cepat serahkan Pedang Bintang padaku!”.
“Pedang Bintang?!” sahut Pendekar Ruyung Maut pura-pura.
“Tidak usah pura-pura, Tribuana! Atau kini kau telah menjadi seorang pengecut sehingga tidak berani mengakui benda yang ada di tanganmu?!”
Pendekar Ruyung Maut menghela napas panjang. Ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa membuatnya mati kutu.
“Kuakui, kalau pedang itu semula ada padaku, Kang Lindu. Tapi sekarang, tidak lagi”.
“Keparat! Lalu, sekarang di mana pedang itu?!” desak si Raja Racun Pencabut Nyawa.
“Sayang sekali, Kang Lindu. Tidak mungkin kuberitahukan padamu!” tegas sekali kata-kata Pendekar Ruyung Maut itu.
“Menyingkirlah, Paman” selak Siluman Tengkorak Putih sambil melangkah maju menghampiri Tribuana.
“Jangan gegabah dulu, Gerda. Akan kuperiksa dulu bangunan ini. Seingatku ia mempunyai seorang anak lelaki yang kini pasti sudah remaja. Aku akan mencari anak itu dulu!”.
“Cepatlah, Paman” sahut Siluman Tengkorak Putih tak sabar.
Raja Racun Pencabut Nyawa segera melesat ke dalam rumah besar itu, Pendekar Ruyung Maut berusaha menghadang, tetapi terjangan Siluman Tengkorak Putih membuat niatnya terhenti.
Kagetlah pendekar ini melihat kehebatan serangan dan kekuatan tenaga yang tekandung dalam serangan Siluman Tengkorak Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, langsung mengerahkan ilmu andalan Delapan Cara Menaklukkan Harimau.
Tetapi dalam beberapa jurus saja Pendekar Ruyung Maut sudah terdesak. Pendekar ini memang kalah segala-segalanya jika dibandingkan lawannya. Baik kecepatan gerak maupun kekuatan tenaga dalam. Sehingga tidak aneh jika hanya sebentar saja ia sudah dibuat pontang-panting.
“Hiyaaa...!”
Pendekar Ruyung Maut berteriak keras sambil mencabut senjatanya. Langsung diayunkan ruyungnya itu ke kepala lawan.
Siluman Tengkorak Putih hanya mendengus. Tangan kanannya cepat-cepat diangkat melindungi kepalanya.
“Takkk...!”
Pendekar Ruyung Maut terhuyung. Mulutnya menyeringai. Sekujur tangannya seolah-olah terasa lumpuh tatkala tangna sosok serba putih itu menangkis ruyungnya. Di saat yang tidak menguntungkan bagi pendekar itu, totokan ujung kaki Siluman Tengkorak Putih menyambar cepat ke arah lututnya.
“Tukkk...! “
“Akh...!”
Pendekar Ruyung Maut mangeluh. Sambungan tulang lututnya kontan terlepas. Akibatnya tubuhnyapun sempoyongan. Dan kini lagi-lagi serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih kembali menyambar.
“Hugh...!”
Kembali Tribuana mengeluh ketika sebuah sepakan laki-laki berjubah putih itu telak menghantam dadanya. Ketika pendekar ini terbatuk ada segumpal darah kental keluar dari mulutnya. Tanpa ampun lagi tubuhnya terbanting ke tanah. Serangan itu memang dahsyat sekali.
Dan saat itulah si Raja Racun Pencabut Nyawa keluar dari dalam rumah besar itu.
“Bagaimana, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih.
Si Raja Racun Pencabut Nyawa hanya menggeleng.
“Bagaimana Tribuana?” Siluman Tengkorak Putih menoleh ke arah Pendekar Ruyung Maut yang masih tergolek di tanah dengan napas tersenggal-senggal. “Kau ingin menunjukkan ke mana perginya putramu itu dengan Pedang Bintangnya?”.
“Lebih baik aku mati!” tandas Tribuana.
“Baik, kalau itu yang diinginkan! Tapi jangan harap akan kubunuh begitu saja! Kau akan kusiksa pelan-pelan!”. ancamnya.
“Jangan harap dapat membuatku takut, iblis! Cuhhh..!”
“Bangsat!” maki Siluman Tengkorak Putih.
Seketika kaki Siluman Tengkorak Putih bergerak menginjak. Kemarahan membuatnya lupa pada ancamannya. Kakinya dijejakkan pada dada Tribuana sambil menekan kuat-kuat. Terdengar suara gemeretaknya tulang-tulang yang berpatahan. Darah segar memancur deras dari mulut, hidung, telinga dan bahkan mata Pendekar Ruyung Maut.
Sejak malam itu maka gemparlah dunia persilatan. Siluman Tengkorak Putih benar-benar mengamuk. Setiap perguruan silat yang beraliran putih dihancurkan, tak terkecuali Perguruan Tangan Sakti.
Bahkan Ki Wanayasa telah ditewaskannya! Sementara para tokoh kaum hitam mulai bersorak gembira. Kini mereka berani melakukan kejahatan dengan lebih leluasa. Hanya saja si Raja Pisau Terbang dan Bergola belum terdengar lagi beritanya.
***
“Byurrr..!”
Setelah beberapa saat lamanya melayang di udara tubuh Arya Buana langsung jatuh di permukaan air sumur itu. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah cukup tinggi, pemuda itu tidak menemukan halangan berarti.
Beberapa saat tubuh Arya Buana mengapung di permukaan air. Sepasang matanya nyalang mengamati bagian dinding sumur mencari-cari lubang yang dikatakan ayahnya. Berkat kegigihannya akhirnya lubang itu berhasil ditemukan. Persis seperti yang dikatakan ayahnya. Lubang itu terletak hanya sekitar setengah tombak dari pemukaan air sumur.
Arya Buana menimbang-nimbang sejenak. Rasanya tidak mungkin dapat mencapai lubang itu dengan melompat. Kalau di darat jarak seperti itu memang bukanlah apa-apa. Tapi kalau di air bagaimana hal itu dapat dilakukannya? Kakinya tidak mempunyai landasan yang cukup mantap untuk tempat menjejak. Kalau ayahnya memang sudah dapat dipastikan akan melakukan hal itu.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Arya Buana segera berenang ke dinding sumur mendekati lubang itu. segera diambilnya sebilah pisau kemudian pelan saja ditancapkannya di dinding sumur.
Sesaat kemudian dikeluarkan pula Pedang Bintang dari warangkanya. Baru setelah itu tubuhnya melenting dan hinggap di atas pisau yang tadi ditancapkannya di dinding. Pisau itu nampak agak goyah karena Arya Buana hanya menghujamkan perlahan saja.
“Hup!”
Sambil menekankan pada landasan, Arya Buana melompat ke atas. Dan ketika tubuhnya berada tepat di depan lubang yang hanya kecil saja itu. Segera ditancapkan pedangnya sekuat tenaga.
“Crap!”
Pedang itu amblas ke dinding sumur hingga setengahnya lebih. Karuan saja hal ini membuat tubuh Arya Buana tergantung di depan lubang itu. Sekilas Arya melirik ke bawah, ke tempat ia menancapkan pisaunya. Mulutnya menyunggingkan senyum lega ketika pisau itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Memang agar tidak meninggalkan jejak yang dapat diketahui para pemburu pusaka Ki Gering Langit.
Kini Arya mengalihkan perhatian pada lubang kecil yang tepat berada di depannya. Lubang itu kelihatan kecil dan gelap. Garis tengahnya tidak lebih dari setengah tombak. Dengan hanya mengayunkan tubuhnya sedikit, pemuda remaja itu telah berada di dalam.
Arya Buana memasukkan Pedang Bintang ke warangkanya kembali. Tubuhnya terpaksa merangkak karena sempitnya lubang untuk masuk lebih ke dalam. Dan ternyata lubang itu tidak datar saja.
Arya Buana merasa kalau arah lubang ini menanjak. Dan ternyata semakin ke dalam, lubang itu semakin membesar. Sampai akhirnya pemuda remaja itu tidak merangkak lagi bahkan bisa berjalan biasa.
Setelah beberapa lama akhirnya sampailah Arya Buana pada sebuah ruangan yang cukup luas dan terang seperti ada cahaya yang menyinarinya. Entah dari mana asal sinar itu dan pemuda itu tidak mengetahuinya. Apalagi untuk memikirkannya. Tubuh dan pikirannya lelah sekali.
Di sini Arya Buana menjatuhkan tubuhnya kemudian bersandar pada dinding. Untuk beberapa saat lamanya tubuhnya tetap bersandar tapi sebentar kemudian telah duduk bersila.
Ditegakkannya tubuhnya dan dirapatkan kedua tangannya di depan dada. Dan kini Arya Buana sudah tenggelam dalam semadinya. Suasana sekitar tempat itu yang semula hening, kini dipecahkan suara napas yang keluar masuk dari mulut dan hidung Arya Buana. Suara napas yang berirama tetap.
Setelah dirasakan tenaganya kembali pulih, Arya Buana menghentikan semadinya. Sebentar diperhatikan ruangan di sekitarnya. Ruangan ini ternyata mempunyai beberapa buah lorong. Segera pemuda ini mengeluarkan gulungan kain yang disimpan. Dibuka dan diperhatikannya petunjuk dan coretan yang ada. Setelah hatinya mantap barulan dipilihnya lorong sebelah kanan.
Berbeda dengan lorong gua di atas permukaan sumur, lorong ini lebih nyaman dan enak untuk dijalani. Arya Buana melewatinya sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Entah berapa lama Arya Buana menempuh lorong itu sehingga tidak tahu siang atau malam. Yang dilakukannya hanya terus berlari sampai lelah dan lapar. Baru setelah dirasakan letih dia beristirahat dan makan. Kini dia harus melanjutkan perjalanan lagi hingga akhirnya ia melihat berkas sinar di ujung lorong yang tengah dilalui.
Dengan perasaan gembira yang meluap-luap, Arya Buana segera mempercepat langkah menuju asal sinar itu.
Sekali lihat saja dari jarak jauh, Arya telah mengetahui kalau sinar itu berasal dari cahaya matahari. Dan itu berarti di ujung yang berhubungan dengan dunia bebas!
Tak berapa lama kemudian, Arya Buana telah berada tidak jauh dari sinar itu. setibanya di sini, dugaannya memang benar. Ujung lorong ini memang berhubungan dengan dunia luar. Hanya saja lubangnya ditutupi rerimbunan semak belukar sehingga tak terlihat oleh pandangan orang luar. Dan sinar yang dilihatnya itu memang berasal dari sinar matahari yang menerobos rerimbunan semak belukar itu.
Dengan tangan agak gemetar, Arya menyibakkan semak belukar itu. untuk sesaat lamanya pemuda itu menundukkan kepala sambil menutupi kedua matanya dengan tangan kanan. Silau rasanya diterpa sinar yang telah sekian lama tidak dilihatnya.
Setelah agak terbiasa, barulah Arya menurunkan tangannya. Dilangkahkan kakinya keluar dari lorong itu setelah terlebih dahulu merapikan kembali semak belukar yang tadi disibaknya. Kemudian sepasang matanya memandang berkeliling mengamati sekitarnya.
Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu masih mengamati sekitarnya. Sepasang alisnya yang tebal dan berbentuk golok nampak berkerut. Rupanya ada yang tengah dipikirkan.
Tak lama kemudian dikeluarkan kembali gulungan kain yang diselipkannya di balik baju di pinggang. Dibukanya kembali dan diamat-amati lagi coretan-coretan dan garis-garis yang tertera di situ.
“Hm...pantas saja tidak kutemukan. Rupanya ada sesuatu yang kulupakan”. Gumam pemuda itu seperti untuk dirinya sendiri. “Dari mulut lorong melangkah ke kanan sejauh dua puluh langkah. Lalu ke kiri sepuluh langkah dan ke depan tiga langkah”.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Arya menyelipkan kembali gulungan kain itu di pinggang. Maka kakinya mulai melangkah sesuai petunjuk yang tertera di gulungan kain itu. dan kini tubuh Arya telah berada di depan sebuah pohon berbatang besar dan berongga. Tanpa ragu-ragu lagi dimasukinya rongga pohon itu.
Baru sekitar lima langkah melangkahkan kaki di depannya telah terbentang sebuah tangga menuju ke bawah yang terdapat jalan lurus sekitar sepuluh tombak.
Tak lama ditemukan tangga lagi yang menuju ke atas. Arya segera menaikinya. Di situ ditemukan lagi jalan yang berakhir pada sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat dan Arya segera melangkahkan kakinya.
Sampai di sini Arya bimbang. Haruskah dibukanya pintu itu? Tidakkah perbuatan itu sangat tidak sopan. Karena bagaimanapun juga diyakini kalau tempat ini mempunyai pemilik.
Selagi Arya dicekam keragu-raguan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dari dalam ruangan itu.
“Mengapa ragu-ragu murid murtad! Ayo masuk! Dan bunuhlah aku! Mengapa hanya termenung di depan pintu?”.
Karuan saja bentakan itu membuat Arya kebingungan. Siapakah yang dimaksud oleh orang yang membentak di dalam itu. Diakah? Lalu, kalau betul kenapa dia dimaki sebagai murid murtad? Bukankah Arya hanya mempunyai seorang guru yakni ayahnya sendiri? Jangan-jangan yang dimaksudkan orang yang di dalam itu adalah dirinya. Kalau bukan lalu siapa? Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkecamuk di benak Arya.
Beberapa saat lamanya Arya termenung di depan pintu ruangan itu. Dipertimbangkan apakah lebih baik masuk atau menunggu saja. Jelas bila melihat coretan dan garis yang tertera di gulungan kain itu, di ruang itulah tersimpan kitab-kitab Ki Gering Langit. Tapi apakah sepantasnya jika langsung masuk? Tidakkah sebaiknya meminta ijin dulu pada pemiliknya? Benar! Ia harus meminta ijin dulu. Dan pemiliknya pasti berada di dalam.
Kini Arya tidak ragu-ragu lagi. Segera digerakkan tangannya hendak mengetuk pintu itu. Tapi mendadak gerakan tangannya terhenti di udara. Ternyata dia menemukan adanya kejanggalan pada pintu ini!
Pintu itu ternyata dikunci dari luar. Berkerut kening Arya melihat hal ini. Otaknya yang cerdas segera dapat menduga kalau orang yang melakukan ini bermaksud mengurung sesuatu. Dan suara makian tadi berasal dari dalam. Jadi itu adalah suara orang yang terkurung!
Kembali hati Arya dilanda kebimbangan. Haruskah dibuka paksa pintu itu? tidakkah itu berarti telah bertindak lancang? Siapa tahu kalau seseorang yang terkurung itu adalah tokoh yang berbahaya. Bukankah itu berarti dia telah berbuat suatu kesalahan? Pemuda ini memutar otaknya. Diingat-ingatnya lagi ucapan yang tadi keluar dari dalam. Masih jelas terngiang di telinganya bunyi makian tadi.
Dari bunyi makian itu Arya segera saja dapat menduga kalau yang terkurung itu adalah seorang guru. Sementara orang yang mengurungnnya adalah muridnya yang murtad. Lenyaplah kini keragu-raguan Arya.
Ditatapnya pintu itu sejenak. Walau kelihatannya pintu itu begitu tebal dan kuat, tapi pemuda itu yakin kalau akan mampu menghancurkannya dengan sekali pukul saja! Hal ini diam-diam membuat Arya agak heran. Ia tahu seorang tokoh rendahpun akan mampu menghancurkan pintu itu. Tapi kenapa orang yang berkedudukan sebagai guru itu tidak mampu melakukannya?
“Brakkk...!”
Dengan mengeluarkan suara agak ribut, pintu itu hancur berkeping-keping. Sejenak Arya mengawasi keadaan di dalamnya. Segera dilangkahkan kakinya masuk disertai sikap waspada. Begitu melangkah masuk, Arya sudah menyiapkan ilmu andalannya, Delapan Cara Menaklukkan Harimau”.
Tapi kewaspadaannya seketika pupus. Ternyata dia melihat pemandangan yang mengenaskan di hadapannya kini. Tampak sesosok tubuh kurus tua yang tengah duduk bersila di atas tanah lembab. Kedua tangannya nampak dililit gelang baja yang masing-masing dihubungkan dengan rantai. Begitu pula pada sepasang kakinya.
Kakek itu mengangkat wajahnya menatap Arya. Seketika meremang bulu kuduk pemuda itu. sepasang mata kakek itu begitu tajam mencorong dan bersinar kehijauan mirip mata seekor kucing dalam gelap.
Sekali pandang saja Arya sadar kalau kakek itu pasti memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hanya orang yang memiliki tenaga dalam tinggilah yang memiliki sinar mata seperti itu. hanya saja yang masih menjadi teka-teki bagi Arya mengapa kakek ini tidak membebaskan diri dari kurungan dan belenggu rantai itu? Dengan tenaga dalam yang dimiliki semua belenggu bagaikan permainan anak-anak saja!
“Siapa kau, Anak Muda?” tanya kakek itu pelan. Sepasang mata itupun kembali meredup. “Dan apa hubunganmu dengan Boma?”
“Boma? Maaf, Kek. Aku tidak mengenal nama itu”, jawab Arya hati-hati.
“Tidak mengenalnya? Jangan bohong kau, Anak Muda. Kalau bukan teman atau suruhannya, mana mungkin kau bisa tiba di sini. Tidak ada seorangpun yang tahu tempat ini kecuali Boma. Bomantara si murid murtad!” tegas kakek itu.
“Sungguh, Kek. Aku tidak mengenal orang yang Kakek sebut itu. aku tahu tempat ini secara kebetulan saja”, bantah Arya.
“Kebetulan?!” kakek itu tersenyum pahit.
Sepasang matanya kini kembali mencorong menatap Arya penuh selidik. Tapi tiba-tiba saja sepasang mata itu terbelalak.
Arya tentu saja dapat melihat keterkejutan sorot mata dan wajah kakek itu. segera diikuti arah pandangan kakek itu. Dan hatinya tersentak ketika ia menyadari kalau yang membuat kakek itu terkejut adalah benda yang tergantung di punggungnya. Pedang Bintang!
Cepat-cepat Arya berusaha menyembunyikannya dari pandangan kakek itu, tapi terlambat. Kakek itu rupanya sudah mengetahui.
“Pedang Bintang”. Desak kakek itu pelan. “Kakang Gering. Setelah sekian tahun, akhirnya muncul juga pewaris yang kau sebut-sebut itu. Ah, rupanya Gusti Allah masih berkenan mengabulkan permohonanku. Anak Muda, kemarilah...!” Ajak kakek itu sambil melambaikan tangannya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment