Mendengar ucapan itu lagsung Siluman Tengkorak Putih menghentikan desakannya pada Ki Wanayasa. Tubuhnya melenting cepat ke belakang meninggalkan lawannya.
Akan tetapi Ki Wanayasa yang sudah mencium adanya bahaya yang mengancam tempat Pedang Bintang berada tidak membiarkan lawannya. Cepat-cepat dia melompat mengejar.
“Adi Kirin tolong cegah Raja Racun itu pergi!” teriak Ki Wanayasa sambil terus mengejar.
Raja Pisau Terbang yang telah melihat Ki Wanayasa tengah berusaha menghalangi kepergian Siluman Tengkorak Putih, segera bergerak ke arah Raja Racun Pencabut Nyawa begitu mendengar teriakan rekannya itu.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang juga mendengar teriakan tadi juga tahu kalau sampai berhadapan si Raja Pisau Terbang, kemungkinan untuk dapat lolos sangat kecil. Buru-buru dirogoh balik bajunya untuk mengambil sebuah benda bulat sebesar telur bebek. Tanpa ragu-ragu lagi benda itu dilemparkan ke arah Raja Pisau Terbang yang tengah bergerak mengejar.
Tentu saja Raja Pisau Terbang yang telah tahu betapa telengasnya Raja Racun itu dengan permainan racunnya, tidak berani bertindak ceroboh. Segera dilempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara menjauhi benda bulat itu.
“Blarrr...!“
Terdengar ledakan keras begitu benda bulat itu menyentuh tanah. Asap yang berwarna hitampun menyebar mengahalangi pandangan.
Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang tengah dikejar Ki Wanayasa rupanya menjadi tidak sabar juga. Sambil terus bersalto ke belakang dikirimkan serangan jarak jauh. Seketika angin keras yang berbau amis keluar dari tangan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa segera tahu kalau pukulan jarak jauh itu di samping mengandung tenaga dalam kuat, juga mengandung racun amat jahat. Maka dia tidak bertindak gegabah lalu buru-buru melompat ke samping. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah menghindari pukulan itu.
Kesempatan itupun digunakan Gerda atau Siluman Tengkorak Putih untuk meloloskan diri dari kejaran Ki Wanayasa.
Setelah sama-sama gagal dalam mengejar Raja Racun Pencabut Nyawa dan Siluman Tengkorak Putih, Ki Wanayasa hanya menatap kepergian Siluman Tengkorak Putih diiringi sinar mata cemas. Ia tahu kalau Raja Racun Pencabut Nyawa tidak main-main dengan ucapannya yang mengatakan telah mengetahui tempat Pedang Bintang itu berada.
“Betulkah apa yang dikatakan Raja Racun itu, Kakang?” tanya Raja Pisau Terbang yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya.
Ki Wanayasa menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. “Kemungkinan besar memang begitu, Adi” ucapnya pelan.
“Aku jadi tidak mengerti Kakang”.
“Begini, Adi. Beberapa tahun yang lalu Ki Gering Langit berkunjung ke tempat ini menemuiku. Kami berbincang-bincang beberapa lama, sampai akhirnya dia mengajakku bermain sintir. Padahal telah lama aku berjanji dalam hatiku untuk tidak memainkan permainan itu. Tapi Ki Gering Langit terus memaksa. Aku menolak, tapi dia terus mendesak. Bahkan sampai-sampai mempertaruhkan kitab-kitab ilmu silatnya. Akhirnya aku tidak tega, lalu mengalah. Dan akhirnya kami bermain. Melalui sebuah permainan yang lama dan menegangkan akhirnya aku dapat mengalahkannya. Maka iapun memenuhi janjinya menyerahkan kitab-kitab ilmu silatnya padaku. Tentu saja hal itu kutolak. Kukatakan padanya kalau aku terpaksa menerima ajakan itu bukan karena ingin taruhan. Tapi ia tetap memaksa. Katanya janji adalah hutang. Dan ia tak ingin berhutang. Tapi aku berkeras menolak. Sampai akhirnya kami menemukan jalan tengah yang disepakati bersama. Kitab-kitab itu dibawa olehnya tapi dia meninggalkan sebilah pedang yang di dalamnya terdapat petunjuk mengenai tempat kitab-kitab peninggalannya. Pedang itu bernama Pedang Bintang”.
“Lalu mengapa tadi Kakang bersikeras mengatakan tidak menyimpannya? Bahkan sampai membawa-bawa kedudukan untuk menguatkan pernyataan Kakang itu”, selak Raja Pisau Terbang.
“Sabar, Adi Kirin”, ucap Ki Wanayasa sambil tersenyum. “Aku belum selesai dengan ceritaku”.
Wajah Raja Pisau Terbang memerah mendengar teguran halus itu. “Mulanya aku berniat menyerahkan Pedang Bintang itu pada salah satu seorang muridku. Tapi sayangnya tidak ada satupun murid-muridku yang memiliki bakat luar biasa. Sampai akhirnya suatu hari adik seperguruanku yang berjuluk Pendekar Ruyung Maut datang mengunjungiku bersama anak lelakinya. Anak itu ternyata memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Jadi kuberikan saja Pedang Bintang itu padanya”.
“Tapi kenapa Raja Racun Pencabut Nyawa itu mengatakan bahwa ia tahu di mana adanya Pedang Bintang itu, Kakang? Apakah itu hanya tipu muslihat saja?”.
“Kemungkinan besar yang dikatakannya benar”, ujar Ki Wanayasa. Kecemasan nampak tergambar di wajahnya. “Karena dia pernah bertarung mati-matian melawan adik seperguruanku. Dalam pertarungan itu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Kedua-duanya sama-sama terluka”.
“Aku mengerti sekarang, Kakang”. Tandas Raja Pisau Terbang mulai paham. “Karena pernah bertarung dengan adik seperguruanmu sampai sekian lamanya, setidak-tidaknya ia mengenali ilmu-ilmu andalan dan mengenal gerakan-gerakannya. Pantaslah, tadi begitu melihat pertarunganmu dengan Siluman Tengkorak Putih, ia tampak kaget”.
“Benar. Rupanya ia melihat adanya persamaan jurus yang kugunakan dengan lawannya dulu, Pendekar Ruyung Maut”. Desah Ki Wanayasa pelan. “Tapi mudah-mudahan saja dia salah duga”.
“Menurutku kemungkinan itu sangat kecil, Kakang. Raja Racun Pencabut Nyawa itu sudah terkenal kecerdikannya di samping kelicikannya. Kakang toh telah lihat sendiri kenyataannya sewaktu dia menyudutkan Kakang dengan pertanyaan yang membuat Kakang tidak mampu berkelit lagi”, tebak Raja Pisau Terbang seraya menggelengkan kepalanya.
“Ya…”, ucap Ketua Perguruan Tangan Sakti itu singkat.
“Hhh…. Entah siapa tokoh yang tersembunyi di balik selubung itu”. Raja Pisau Terbang mengerutkan alisnya.
Ki Wanayasa menghela napas. “Akupun tidak habis pikir, Adi Kirin. Kepandaian siluman itu malah lebih hebat dari Bargola.!”
“Aku tahu itu. sebetulnya jika menuruti keinginan hati rasanya ingin kujajal kelihaiannya. Sayangnya aku sudah jenuh berkelahi terus, Kakang. Aku ke sinipun sebenarnya sekalian ingin mengucapkan selamat tinggal karena ingin pergi ke tempat yang sepi. Mendidik Ningrum putri tunggalku”.
Ki Wanayasa termenung. Nampak jelas kalau kakek ini dilanda kebingungan. “Memang sudah seharusnya kalau kita yang sudah tua-tua ini menyepi. Biarlah sekarang giliran yang muda-muda untuk turun tangan. Ah, mudah-mudahan saja adik seperguruanku itu telah menunaikan amanatku. Kalau tidak….”.
“Benar. Kita memang hanya bisa berharap, Kakang. Sekarang aku pamit, Kang”.
“Silahkan Adi. Terima kasih atas kunjunganmu”.
Setelah memberi hormat sebentar, tubuh Raja Pisau Terbang langsung berkelebat. Dalam sekejap saja yang nampak hanya titik hitam yang semakin lama semakin mengecil untuk kemudian lenyap sama sekali.
***
“Haaat...! Hup,,,,! Hiyaaaa...!”
Terdengar teriakan-teriakan nyaring dari balik sebuah tembok yang mengelilingi sebuah bangunan besar dan megah.
Teriakan-teriakan itu ternyata berasal dari mulut seorang pemuda tampan yang tengah berlatih silat. Usia-nya sekitar lima belas tahun. Bertubuh tegap dan kekar. Bentuk wajahnya persegi dan terlihat jantan. Alis matanya tebal dan berbentuk golok menampakkan kekerasan wajahnya.
“Hiyaaat...!”
Untuk kesekian kalinya pemuda itu berteriak keras. Belum lagi gema suaranya itu lenyap, tubuhnya sudah melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, dia melakukan tendangan sambil memutar tubuhnya.
“Wut...!”
Angin keras berhembus mengiringi tendangan itu. Suatu tanda kalau tendangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.
“Hup!”
Dengan ringan dan indah kedua kaki pemuda itu menjejak tanah. Tapi baru saja hendak melanjutkan gerakan-nya, tiba-tiba….
“Cukup Arya...!”
Suara itu membuat pemuda yang ternyata bernama Arya Buana menghentikan gerakannya. Dengan ragu-ragu dipalingkan wajahnya ke arah asal suara itu. Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Sedangkan si pemilik suara itu rupanya mengetahui juga keragu-raguan Arya Buana.
“Ayah ingin bicara sebentar”
Kali ini Arya Buana tidak ragu-ragu lagi dan segera menghentikan latihannya. Disekanya peluh yang membasahi leher, dahi dan wajahnya. Tak lama kemudian kaki-nya melangkah menghampiri ayahnya.
“Ada apa Ayah?” tanya Arya Buana sambil menatap wajah laki-laki setengah tua yang masih kelihatan gagah.
Tubuhnya tinggi tegap. Ada sebaris kumis tipis menghiasi bagian atas bibirnya. Dia adalah Pendekar Ruyung Maut.
“Kita bicara di dalam saja”, ucap Pendekar Ruyung Maut sambil beranjak ke dalam.
Tanpa banyak cakap, Arya Buana ikut melangkah masuk menguntit di belakang ayahnya.
“Arya”. Ucap Pendekar Ruyung Maut itu ketika mereka telah berada di dalam beranda rumah besar itu. Mereka duduk berhadapan di kursi berukir indah dari kayu jati. “Rasanya ini adalah hari terakhir pertemuan kita”.
“Maksud Ayah?” tanya Arya Buana kaget. Sepasang matanya terbelalak.
Pendekar Ruyung Maut menarik napas dalam-dalam. Nampak jelas kalau ia merasa berat untuk mengatakan apa yang terkandung dalam benaknya.
“Terpaksa, Arya. Ini terpaksa harus kulakukan kalau aku masih ingin melihatmu hidup”.
“Jadi maksud Ayah. Kalau kita tidak berpisah aku akan mati? Mati oleh siapa, Ayah?” tanya Arya Buana penasaran.
“Ceritanya cukup panjang Arya”
Pendekar Ruyung Maut menghela napas dalam-dalam seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak.
“Tak mengapa, Ayah. Aku akan sabar mendengarkannya”.
“Baiklah kalau begitu”, Pendekar Ruyung Maut menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Masih ingatkah kau waktu aku membawamu ke tempat paman gurumu di Gunung Waru?”.
“Masih Ayah”, Arya Buana mengangguk.
“Nah! Sewaktu aku akan pulang, Paman Gurumu itu memberi Pedang Bintang kepadaku”.
“Pedang Bintang?!” tanya Arya Buana terkejut.
Memang pemuda itu juga mendengar akan kerusuhan yang terjadi di dunia persilatan akibat berita mengenai pedang itu. Di mana-mana selalu terjadi keributan dan pembunuhan. Semuanya itu berpokok pangkal dari Pedang Bintang.
“Ya”, Pendekar Ruyung Maut mengangguk membenarkan. “Pesannya pedang itu harus kuserahkan padamu”.
“Untukku, Ayah?” lagi-lagi Arya Buana menyelak cerita ayahnya.
“Benar. Paman gurumu juga mengatakan kepadaku apa yang tersembunyi di balik pedang itu. Dan semua itu ternyata sesuai dengan berita yang tersebar di dunia persilatan. Akupun telah menyelidiki rahasia yang tersembunyi dalam pedang itu”.
“Dan Ayah berhasil?” tanya Arya Buana penuh rasa ingin tahu.
Pendekar Ruyung Maut tercenung sebentar sebelum mengangguk ragu-ragu. “Bisa dikatakan begitu”.
“Maksud ayah?” Arya Buana mengerutkan keningnya bingung.
“Semua tempat dan petunjuk yang diberikan telah kutemukan. Tapi tempat terakhir yang menunjukkan di mana kitab-kitab itu berada belum kudatangi. Maksudku biar kau sendiri yang mencarinya”.
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu, mengapa tadi ayah mengatakan kalau ini adalah hari terakhir kita bertemu? Dan kalau kita tetap bersama-sama aku akan tewas?”.
“Arya, kau tentu telah mendengar akibat yang ditimbulkan berita mengenai Pedang Bintang ini. Pada mulanya aku masih tidak ambil pusing. Tapi perkembangan terakhir yang kudengar membuatku kawatir. Entah bagaimana caranya orang-orang persilatan itu akhirnya mengetahui kalau Pedang Bintang itu berada di Perguruan Tangan Sakti. Lambat laun merekapun tahu di mana pedang itu kini. Apabila itu terjadi pasti mereka berbondong-bondong datang ke sini. Dan tidak berani kupastikan apakah aku akan dapat menghadapi mereka atau tidak. Apalagi jika yang datang itu datuk-datuk persilatan. Jangankan aku, walau paman gurumu membantupun tetap tidak akan dapat membendung mereka”.
“Kalau begitu kenapa kita tidak pergi saja dari sini, Ayah?”. usul Arya Buana.
Pendekar Ruyung Maut menatap Arya Buana tajam. Wajahnya nampak agak memerah. “Ucapan apa itu, Arya?! Apakah kau ingin melihat aku ditertawakan orang-orang persilatan? Mereka pasti bilang, lihat! Pendekar Ruyung Maut melarikan diri seperti seekor anjing! Tidak, Arya! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi dari sini! Aku bukan seorang pengecut!”.
“Akupun bukan seorang pengecut, Ayah! Aku tidak akan meninggalkan Ayah dan akan tetap di sini, untuk membantu Ayah menghadapi mereka”.
“Jangan salah mengerti, Arya”, potong Pendekar Ruyung Maut cepat. “Musuh yang akan kita hadapi tidak sedikit. Tidak ada gunanya kalau kau berniat menentang mereka. Hanya membuang nyawa sia-sia saja”.
“Tapi, Ayah”. Arya Buana coba membantah.
“Kalau aku lain, Arya. Lagi pula kalau kau ikut tewas bersamaku di sini, siapa yang akan menyelamatkan Pedang Bintang? Apakah kau tidak merasa sayang kalau pedang ini nanti akan terjatuh ke tangan orang yang jahat? Bagaimana nanti harus kupertanggung jawabkan semua ini pada paman gurumu? Apakah kau senang bila nanti paman gurumu menuding di kuburku sebagai orang yang menyia-nyiakan amanat?”.
Arya Buana terdiam. Pertanyaan ayahnya bertubi-tubi itu membuatnya bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Dan lagi. Tidak rindukah kau pada ibumu, Arya? Tidak inginkah kau bertemu dengannya?” tanya Pendekar Ruyung Maut lagi. Tapi kali ini suaranya bergetar tidak meledak-ledak seperti tadi.
Kontan Arya Buana tersentak. Ibunya? Dia tidak rindu kepada ibunya? Dia tidak ingin bertemu ibunya? Ingin rasanya dia berteriak untuk mengatakan betapa rindunya pada ibunya.
Bertahun-tahun rasa rindunya ini dipendam sejak ibunya pergi meninggalkan dirinya dan ayahnya. Waktu itu Arya Buana berusia lima tahun sehingga tidak pernah tahu ibunya pergi meninggalkan mereka.
“Ibu…Ibu,,, Ayah?” tanya Arya Buana ragu-ragu sambil menatap ayahnya.
Nampak dilihatnya wajah laki-laki setengah baya itu berubah muram. “Benar. Rasanya perlu kuberitahukan padamu persoalan yang sebenarnya. Aku takut nanti kau menduga jelek pada Ibu ataupun Ayah”.
Pemuda remaja itu hanya menundukkan kepalanya diam tanpa berkata-kata. “Enam belas tahun yang lalu aku menikahi seorang gadis yang kemudian menjadi ibumu. Namun sama sekali tidak kuketahui asal-usul ibumu. Sewaktu kutanyakan dia mengatakan kalau kedua orang tuanya telah tiada. Yang tinggal hanya kakak laki-lakinya yang saat itu berada entah di mana. Setelah kau berumur empat tahun baru kuketahui siapa kakak kandung ibumu. Dan hal ini membuat aku kaget bukan kepalang. Ternyata kakak ibumu si Raja Racun Pencabut Nyawa, seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan telengas! Si Raja Racun ini pernah bertarung denganku yang berkesudahan tanpa pemenang. Rupanya dia masih dendam padaku. Sewaktu kau berumur lima hampir lima tahun, ia datang lagi hendak menantangku dan hendak membunuhmu. Ibumu tentu saja menjadi bingung ketika menyadari kalau pertarungan di antara kami tidak dapat dielakkan lagi. Ia tidak ingin salah satu di antara kami terluka atau tewas. Akhirnya si Raja Racun mengalah. Ia bersedia membatalkan pertarungan asal ibumu pergi meninggalkan aku dan dirimu. Ibumu tidak punya pilihan lain, Arya. Jadi, yahhh... Itulah yang terjadi”.
Arya Buana tercenung begitu ayahnya menyelesaikan ceritanya. Pemuda remaja itu masih tetap menundukkan kepalanya.
“Arya”.
Perlahan-lahan Arya mengangkat kapalanya.
“Ini amanat dari paman gurumu”, ujar Pendekar Ruyung Maut sambil mengulurkan tangannya menyerahkan Pedang Bintang.
Dengan tangan gemetar, Arya Buana menerima pedang itu.
“Di dalam gagang pedang itu ada petunjuk. Pergilah, Arya. Mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa dan berkumpul lagi bersama. Kau, aku dan... ibumu”.
Arya Buana memperhatikan pedang yang kini berada di tangannya itu sejenak. Pada kedua ujung sisi gagang pedang masing-masing melekar sebuah bintang bersegi lima berwarna keemasan.
Segera dicabutnya gagang pedang itu. memang tepat perkataan ayahnya. Di dalam gagang itu terdapat segulung kain yang berisikan coretan-coretan. Arya memperhatikannya beberapa saat lalu disimpannya gulungan kain itu. Selanjutnya dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam warangkanya.
“Aku rasa sudah tiba waktunya kau harus pergi, Arya” kata ayahnya lagi.
Arya Buana hanya mengangguk.
“Kalau begitu cepatlah!” setelah berkata begitu Pendekar Ruyung Maut itu bergegas melangkah ke belakang, diikuti oleh Arya Buana di belakangnya.
Laki-laki setengah baya itu menghentikan langkahnya di dekat sebuah sumur. Arya yang telah memperhatikan coretan-coretan pada gulungann kain itu segera mengetahui kalau sumur ini adalah pintu pertama menuju tempat kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit.
“Inilah pintu pertama itu, Arya. Di atas permukaan sumur ini kira-kira setengah tombak di atasnya terdapat sebuah lobang. Dari situlah awal perjalananmu. Cepatlah! Jangan membuang-buang waktu lagi”.
Arya hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berpamitan tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat ke dalam sumur itu. Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi di bawah sana.
Pendekar Ruyung Maut memperhatikan sejenak, sampai tubuh Arya Buana menyentuh permukaan air sumur. Baru setelah Arya Buana melambaikan tangan tanda siap, ia berjalan meninggalkan sumur itu menuju ruangan dalam bangunan besar rumahnya.
***
Akan tetapi Ki Wanayasa yang sudah mencium adanya bahaya yang mengancam tempat Pedang Bintang berada tidak membiarkan lawannya. Cepat-cepat dia melompat mengejar.
“Adi Kirin tolong cegah Raja Racun itu pergi!” teriak Ki Wanayasa sambil terus mengejar.
Raja Pisau Terbang yang telah melihat Ki Wanayasa tengah berusaha menghalangi kepergian Siluman Tengkorak Putih, segera bergerak ke arah Raja Racun Pencabut Nyawa begitu mendengar teriakan rekannya itu.
Raja Racun Pencabut Nyawa yang juga mendengar teriakan tadi juga tahu kalau sampai berhadapan si Raja Pisau Terbang, kemungkinan untuk dapat lolos sangat kecil. Buru-buru dirogoh balik bajunya untuk mengambil sebuah benda bulat sebesar telur bebek. Tanpa ragu-ragu lagi benda itu dilemparkan ke arah Raja Pisau Terbang yang tengah bergerak mengejar.
Tentu saja Raja Pisau Terbang yang telah tahu betapa telengasnya Raja Racun itu dengan permainan racunnya, tidak berani bertindak ceroboh. Segera dilempar tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa kali di udara menjauhi benda bulat itu.
“Blarrr...!“
Terdengar ledakan keras begitu benda bulat itu menyentuh tanah. Asap yang berwarna hitampun menyebar mengahalangi pandangan.
Sedangkan Siluman Tengkorak Putih yang tengah dikejar Ki Wanayasa rupanya menjadi tidak sabar juga. Sambil terus bersalto ke belakang dikirimkan serangan jarak jauh. Seketika angin keras yang berbau amis keluar dari tangan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa segera tahu kalau pukulan jarak jauh itu di samping mengandung tenaga dalam kuat, juga mengandung racun amat jahat. Maka dia tidak bertindak gegabah lalu buru-buru melompat ke samping. Tubuhnya langsung bergulingan di tanah menghindari pukulan itu.
Kesempatan itupun digunakan Gerda atau Siluman Tengkorak Putih untuk meloloskan diri dari kejaran Ki Wanayasa.
Setelah sama-sama gagal dalam mengejar Raja Racun Pencabut Nyawa dan Siluman Tengkorak Putih, Ki Wanayasa hanya menatap kepergian Siluman Tengkorak Putih diiringi sinar mata cemas. Ia tahu kalau Raja Racun Pencabut Nyawa tidak main-main dengan ucapannya yang mengatakan telah mengetahui tempat Pedang Bintang itu berada.
“Betulkah apa yang dikatakan Raja Racun itu, Kakang?” tanya Raja Pisau Terbang yang tahu-tahu sudah berada di sampingnya.
Ki Wanayasa menghela napas berat sebelum menjawab pertanyaan itu. “Kemungkinan besar memang begitu, Adi” ucapnya pelan.
“Aku jadi tidak mengerti Kakang”.
“Begini, Adi. Beberapa tahun yang lalu Ki Gering Langit berkunjung ke tempat ini menemuiku. Kami berbincang-bincang beberapa lama, sampai akhirnya dia mengajakku bermain sintir. Padahal telah lama aku berjanji dalam hatiku untuk tidak memainkan permainan itu. Tapi Ki Gering Langit terus memaksa. Aku menolak, tapi dia terus mendesak. Bahkan sampai-sampai mempertaruhkan kitab-kitab ilmu silatnya. Akhirnya aku tidak tega, lalu mengalah. Dan akhirnya kami bermain. Melalui sebuah permainan yang lama dan menegangkan akhirnya aku dapat mengalahkannya. Maka iapun memenuhi janjinya menyerahkan kitab-kitab ilmu silatnya padaku. Tentu saja hal itu kutolak. Kukatakan padanya kalau aku terpaksa menerima ajakan itu bukan karena ingin taruhan. Tapi ia tetap memaksa. Katanya janji adalah hutang. Dan ia tak ingin berhutang. Tapi aku berkeras menolak. Sampai akhirnya kami menemukan jalan tengah yang disepakati bersama. Kitab-kitab itu dibawa olehnya tapi dia meninggalkan sebilah pedang yang di dalamnya terdapat petunjuk mengenai tempat kitab-kitab peninggalannya. Pedang itu bernama Pedang Bintang”.
“Lalu mengapa tadi Kakang bersikeras mengatakan tidak menyimpannya? Bahkan sampai membawa-bawa kedudukan untuk menguatkan pernyataan Kakang itu”, selak Raja Pisau Terbang.
“Sabar, Adi Kirin”, ucap Ki Wanayasa sambil tersenyum. “Aku belum selesai dengan ceritaku”.
Wajah Raja Pisau Terbang memerah mendengar teguran halus itu. “Mulanya aku berniat menyerahkan Pedang Bintang itu pada salah satu seorang muridku. Tapi sayangnya tidak ada satupun murid-muridku yang memiliki bakat luar biasa. Sampai akhirnya suatu hari adik seperguruanku yang berjuluk Pendekar Ruyung Maut datang mengunjungiku bersama anak lelakinya. Anak itu ternyata memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu silat. Jadi kuberikan saja Pedang Bintang itu padanya”.
“Tapi kenapa Raja Racun Pencabut Nyawa itu mengatakan bahwa ia tahu di mana adanya Pedang Bintang itu, Kakang? Apakah itu hanya tipu muslihat saja?”.
“Kemungkinan besar yang dikatakannya benar”, ujar Ki Wanayasa. Kecemasan nampak tergambar di wajahnya. “Karena dia pernah bertarung mati-matian melawan adik seperguruanku. Dalam pertarungan itu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Kedua-duanya sama-sama terluka”.
“Aku mengerti sekarang, Kakang”. Tandas Raja Pisau Terbang mulai paham. “Karena pernah bertarung dengan adik seperguruanmu sampai sekian lamanya, setidak-tidaknya ia mengenali ilmu-ilmu andalan dan mengenal gerakan-gerakannya. Pantaslah, tadi begitu melihat pertarunganmu dengan Siluman Tengkorak Putih, ia tampak kaget”.
“Benar. Rupanya ia melihat adanya persamaan jurus yang kugunakan dengan lawannya dulu, Pendekar Ruyung Maut”. Desah Ki Wanayasa pelan. “Tapi mudah-mudahan saja dia salah duga”.
“Menurutku kemungkinan itu sangat kecil, Kakang. Raja Racun Pencabut Nyawa itu sudah terkenal kecerdikannya di samping kelicikannya. Kakang toh telah lihat sendiri kenyataannya sewaktu dia menyudutkan Kakang dengan pertanyaan yang membuat Kakang tidak mampu berkelit lagi”, tebak Raja Pisau Terbang seraya menggelengkan kepalanya.
“Ya…”, ucap Ketua Perguruan Tangan Sakti itu singkat.
“Hhh…. Entah siapa tokoh yang tersembunyi di balik selubung itu”. Raja Pisau Terbang mengerutkan alisnya.
Ki Wanayasa menghela napas. “Akupun tidak habis pikir, Adi Kirin. Kepandaian siluman itu malah lebih hebat dari Bargola.!”
“Aku tahu itu. sebetulnya jika menuruti keinginan hati rasanya ingin kujajal kelihaiannya. Sayangnya aku sudah jenuh berkelahi terus, Kakang. Aku ke sinipun sebenarnya sekalian ingin mengucapkan selamat tinggal karena ingin pergi ke tempat yang sepi. Mendidik Ningrum putri tunggalku”.
Ki Wanayasa termenung. Nampak jelas kalau kakek ini dilanda kebingungan. “Memang sudah seharusnya kalau kita yang sudah tua-tua ini menyepi. Biarlah sekarang giliran yang muda-muda untuk turun tangan. Ah, mudah-mudahan saja adik seperguruanku itu telah menunaikan amanatku. Kalau tidak….”.
“Benar. Kita memang hanya bisa berharap, Kakang. Sekarang aku pamit, Kang”.
“Silahkan Adi. Terima kasih atas kunjunganmu”.
Setelah memberi hormat sebentar, tubuh Raja Pisau Terbang langsung berkelebat. Dalam sekejap saja yang nampak hanya titik hitam yang semakin lama semakin mengecil untuk kemudian lenyap sama sekali.
***
“Haaat...! Hup,,,,! Hiyaaaa...!”
Terdengar teriakan-teriakan nyaring dari balik sebuah tembok yang mengelilingi sebuah bangunan besar dan megah.
Teriakan-teriakan itu ternyata berasal dari mulut seorang pemuda tampan yang tengah berlatih silat. Usia-nya sekitar lima belas tahun. Bertubuh tegap dan kekar. Bentuk wajahnya persegi dan terlihat jantan. Alis matanya tebal dan berbentuk golok menampakkan kekerasan wajahnya.
“Hiyaaat...!”
Untuk kesekian kalinya pemuda itu berteriak keras. Belum lagi gema suaranya itu lenyap, tubuhnya sudah melompat ke atas. Dan selagi tubuhnya berada di udara, dia melakukan tendangan sambil memutar tubuhnya.
“Wut...!”
Angin keras berhembus mengiringi tendangan itu. Suatu tanda kalau tendangan itu mengandung tenaga dalam tinggi.
“Hup!”
Dengan ringan dan indah kedua kaki pemuda itu menjejak tanah. Tapi baru saja hendak melanjutkan gerakan-nya, tiba-tiba….
“Cukup Arya...!”
Suara itu membuat pemuda yang ternyata bernama Arya Buana menghentikan gerakannya. Dengan ragu-ragu dipalingkan wajahnya ke arah asal suara itu. Dikenali betul siapa pemilik suara itu. Sedangkan si pemilik suara itu rupanya mengetahui juga keragu-raguan Arya Buana.
“Ayah ingin bicara sebentar”
Kali ini Arya Buana tidak ragu-ragu lagi dan segera menghentikan latihannya. Disekanya peluh yang membasahi leher, dahi dan wajahnya. Tak lama kemudian kaki-nya melangkah menghampiri ayahnya.
“Ada apa Ayah?” tanya Arya Buana sambil menatap wajah laki-laki setengah tua yang masih kelihatan gagah.
Tubuhnya tinggi tegap. Ada sebaris kumis tipis menghiasi bagian atas bibirnya. Dia adalah Pendekar Ruyung Maut.
“Kita bicara di dalam saja”, ucap Pendekar Ruyung Maut sambil beranjak ke dalam.
Tanpa banyak cakap, Arya Buana ikut melangkah masuk menguntit di belakang ayahnya.
“Arya”. Ucap Pendekar Ruyung Maut itu ketika mereka telah berada di dalam beranda rumah besar itu. Mereka duduk berhadapan di kursi berukir indah dari kayu jati. “Rasanya ini adalah hari terakhir pertemuan kita”.
“Maksud Ayah?” tanya Arya Buana kaget. Sepasang matanya terbelalak.
Pendekar Ruyung Maut menarik napas dalam-dalam. Nampak jelas kalau ia merasa berat untuk mengatakan apa yang terkandung dalam benaknya.
“Terpaksa, Arya. Ini terpaksa harus kulakukan kalau aku masih ingin melihatmu hidup”.
“Jadi maksud Ayah. Kalau kita tidak berpisah aku akan mati? Mati oleh siapa, Ayah?” tanya Arya Buana penasaran.
“Ceritanya cukup panjang Arya”
Pendekar Ruyung Maut menghela napas dalam-dalam seolah-olah ingin melonggarkan dadanya yang terasa sesak.
“Tak mengapa, Ayah. Aku akan sabar mendengarkannya”.
“Baiklah kalau begitu”, Pendekar Ruyung Maut menarik napas panjang sebelum memulai ceritanya. “Masih ingatkah kau waktu aku membawamu ke tempat paman gurumu di Gunung Waru?”.
“Masih Ayah”, Arya Buana mengangguk.
“Nah! Sewaktu aku akan pulang, Paman Gurumu itu memberi Pedang Bintang kepadaku”.
“Pedang Bintang?!” tanya Arya Buana terkejut.
Memang pemuda itu juga mendengar akan kerusuhan yang terjadi di dunia persilatan akibat berita mengenai pedang itu. Di mana-mana selalu terjadi keributan dan pembunuhan. Semuanya itu berpokok pangkal dari Pedang Bintang.
“Ya”, Pendekar Ruyung Maut mengangguk membenarkan. “Pesannya pedang itu harus kuserahkan padamu”.
“Untukku, Ayah?” lagi-lagi Arya Buana menyelak cerita ayahnya.
“Benar. Paman gurumu juga mengatakan kepadaku apa yang tersembunyi di balik pedang itu. Dan semua itu ternyata sesuai dengan berita yang tersebar di dunia persilatan. Akupun telah menyelidiki rahasia yang tersembunyi dalam pedang itu”.
“Dan Ayah berhasil?” tanya Arya Buana penuh rasa ingin tahu.
Pendekar Ruyung Maut tercenung sebentar sebelum mengangguk ragu-ragu. “Bisa dikatakan begitu”.
“Maksud ayah?” Arya Buana mengerutkan keningnya bingung.
“Semua tempat dan petunjuk yang diberikan telah kutemukan. Tapi tempat terakhir yang menunjukkan di mana kitab-kitab itu berada belum kudatangi. Maksudku biar kau sendiri yang mencarinya”.
Arya Buana mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lalu, mengapa tadi ayah mengatakan kalau ini adalah hari terakhir kita bertemu? Dan kalau kita tetap bersama-sama aku akan tewas?”.
“Arya, kau tentu telah mendengar akibat yang ditimbulkan berita mengenai Pedang Bintang ini. Pada mulanya aku masih tidak ambil pusing. Tapi perkembangan terakhir yang kudengar membuatku kawatir. Entah bagaimana caranya orang-orang persilatan itu akhirnya mengetahui kalau Pedang Bintang itu berada di Perguruan Tangan Sakti. Lambat laun merekapun tahu di mana pedang itu kini. Apabila itu terjadi pasti mereka berbondong-bondong datang ke sini. Dan tidak berani kupastikan apakah aku akan dapat menghadapi mereka atau tidak. Apalagi jika yang datang itu datuk-datuk persilatan. Jangankan aku, walau paman gurumu membantupun tetap tidak akan dapat membendung mereka”.
“Kalau begitu kenapa kita tidak pergi saja dari sini, Ayah?”. usul Arya Buana.
Pendekar Ruyung Maut menatap Arya Buana tajam. Wajahnya nampak agak memerah. “Ucapan apa itu, Arya?! Apakah kau ingin melihat aku ditertawakan orang-orang persilatan? Mereka pasti bilang, lihat! Pendekar Ruyung Maut melarikan diri seperti seekor anjing! Tidak, Arya! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi dari sini! Aku bukan seorang pengecut!”.
“Akupun bukan seorang pengecut, Ayah! Aku tidak akan meninggalkan Ayah dan akan tetap di sini, untuk membantu Ayah menghadapi mereka”.
“Jangan salah mengerti, Arya”, potong Pendekar Ruyung Maut cepat. “Musuh yang akan kita hadapi tidak sedikit. Tidak ada gunanya kalau kau berniat menentang mereka. Hanya membuang nyawa sia-sia saja”.
“Tapi, Ayah”. Arya Buana coba membantah.
“Kalau aku lain, Arya. Lagi pula kalau kau ikut tewas bersamaku di sini, siapa yang akan menyelamatkan Pedang Bintang? Apakah kau tidak merasa sayang kalau pedang ini nanti akan terjatuh ke tangan orang yang jahat? Bagaimana nanti harus kupertanggung jawabkan semua ini pada paman gurumu? Apakah kau senang bila nanti paman gurumu menuding di kuburku sebagai orang yang menyia-nyiakan amanat?”.
Arya Buana terdiam. Pertanyaan ayahnya bertubi-tubi itu membuatnya bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
“Dan lagi. Tidak rindukah kau pada ibumu, Arya? Tidak inginkah kau bertemu dengannya?” tanya Pendekar Ruyung Maut lagi. Tapi kali ini suaranya bergetar tidak meledak-ledak seperti tadi.
Kontan Arya Buana tersentak. Ibunya? Dia tidak rindu kepada ibunya? Dia tidak ingin bertemu ibunya? Ingin rasanya dia berteriak untuk mengatakan betapa rindunya pada ibunya.
Bertahun-tahun rasa rindunya ini dipendam sejak ibunya pergi meninggalkan dirinya dan ayahnya. Waktu itu Arya Buana berusia lima tahun sehingga tidak pernah tahu ibunya pergi meninggalkan mereka.
“Ibu…Ibu,,, Ayah?” tanya Arya Buana ragu-ragu sambil menatap ayahnya.
Nampak dilihatnya wajah laki-laki setengah baya itu berubah muram. “Benar. Rasanya perlu kuberitahukan padamu persoalan yang sebenarnya. Aku takut nanti kau menduga jelek pada Ibu ataupun Ayah”.
Pemuda remaja itu hanya menundukkan kepalanya diam tanpa berkata-kata. “Enam belas tahun yang lalu aku menikahi seorang gadis yang kemudian menjadi ibumu. Namun sama sekali tidak kuketahui asal-usul ibumu. Sewaktu kutanyakan dia mengatakan kalau kedua orang tuanya telah tiada. Yang tinggal hanya kakak laki-lakinya yang saat itu berada entah di mana. Setelah kau berumur empat tahun baru kuketahui siapa kakak kandung ibumu. Dan hal ini membuat aku kaget bukan kepalang. Ternyata kakak ibumu si Raja Racun Pencabut Nyawa, seorang tokoh sesat yang terkenal kejam dan telengas! Si Raja Racun ini pernah bertarung denganku yang berkesudahan tanpa pemenang. Rupanya dia masih dendam padaku. Sewaktu kau berumur lima hampir lima tahun, ia datang lagi hendak menantangku dan hendak membunuhmu. Ibumu tentu saja menjadi bingung ketika menyadari kalau pertarungan di antara kami tidak dapat dielakkan lagi. Ia tidak ingin salah satu di antara kami terluka atau tewas. Akhirnya si Raja Racun mengalah. Ia bersedia membatalkan pertarungan asal ibumu pergi meninggalkan aku dan dirimu. Ibumu tidak punya pilihan lain, Arya. Jadi, yahhh... Itulah yang terjadi”.
Arya Buana tercenung begitu ayahnya menyelesaikan ceritanya. Pemuda remaja itu masih tetap menundukkan kepalanya.
“Arya”.
Perlahan-lahan Arya mengangkat kapalanya.
“Ini amanat dari paman gurumu”, ujar Pendekar Ruyung Maut sambil mengulurkan tangannya menyerahkan Pedang Bintang.
Dengan tangan gemetar, Arya Buana menerima pedang itu.
“Di dalam gagang pedang itu ada petunjuk. Pergilah, Arya. Mudah-mudahan kelak kita dapat berjumpa dan berkumpul lagi bersama. Kau, aku dan... ibumu”.
Arya Buana memperhatikan pedang yang kini berada di tangannya itu sejenak. Pada kedua ujung sisi gagang pedang masing-masing melekar sebuah bintang bersegi lima berwarna keemasan.
Segera dicabutnya gagang pedang itu. memang tepat perkataan ayahnya. Di dalam gagang itu terdapat segulung kain yang berisikan coretan-coretan. Arya memperhatikannya beberapa saat lalu disimpannya gulungan kain itu. Selanjutnya dimasukkannya kembali pedang itu ke dalam warangkanya.
“Aku rasa sudah tiba waktunya kau harus pergi, Arya” kata ayahnya lagi.
Arya Buana hanya mengangguk.
“Kalau begitu cepatlah!” setelah berkata begitu Pendekar Ruyung Maut itu bergegas melangkah ke belakang, diikuti oleh Arya Buana di belakangnya.
Laki-laki setengah baya itu menghentikan langkahnya di dekat sebuah sumur. Arya yang telah memperhatikan coretan-coretan pada gulungann kain itu segera mengetahui kalau sumur ini adalah pintu pertama menuju tempat kitab-kitab peninggalan Ki Gering Langit.
“Inilah pintu pertama itu, Arya. Di atas permukaan sumur ini kira-kira setengah tombak di atasnya terdapat sebuah lobang. Dari situlah awal perjalananmu. Cepatlah! Jangan membuang-buang waktu lagi”.
Arya hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berpamitan tanpa ragu-ragu pemuda ini melompat ke dalam sumur itu. Dikerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi di bawah sana.
Pendekar Ruyung Maut memperhatikan sejenak, sampai tubuh Arya Buana menyentuh permukaan air sumur. Baru setelah Arya Buana melambaikan tangan tanda siap, ia berjalan meninggalkan sumur itu menuju ruangan dalam bangunan besar rumahnya.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment