Walaupun mereka telah digembleng untuk tidak takut menghadapi maut, akan tetapi pada mahluk halus tetap saja gentar! Tapi rupanya salah seorang penjaga yang bernama Wiji tidak percaya dengan adanya hantu.
“Aku tidak percaya kalau hantu atau siluman itu ada. Buktinya dari dulu aku tidak pernah bertemu segala mahluk tetek bengek itu! aku yakin ini hanyalah satu siasat orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari suasana malam yang tidak seperti biasanya ini!” tegas Wiji dengan sikap tenang.
Ucapan dan sikap dari Wiji membuat Parja dan teman-temannya menjadi agak lebih berani. Kini mereka menatap sosok bayangan putih itu penuh perhatian.
Mendadak saja sosok bayangan putih itu bangkit dari bersilanya. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat dari ranting pohon yang tadi didudukinya kearah Wiji, Parja dan seorang rekannya yang tengah memperhatikan. Sosok bayangan putih itu begitu ringan hinggap sekitar empat tombak di depan para murid Perguruan Tangan Sakti.
Dengan bantuan sinar obor apalagi pakaian orang itu serba putih, Wiji dan tiga murid lainnya dapat melihat lebih jelas sosok bayangan putih itu lagi. Sedangkan Parja bergerak menjauh karena rasa takut yang menyerangnya. Dia hanya memperhatikan tanpa berkedip.
Sosok bayangan putih itu bertubuh tinggi kurus. Wajahnya tertutup selubung putih yang memiliki dua buah lobang kecil untuk mata. Pakaiannya juga serba putih. Di bagian dada terdapat sebuah gambar tengkorak kepala manusia.
Wiji dan teman-temannya memperhatikan sosok bayangan putih itu dengan bulu tengkuk meremang. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong kehijauan di balik selubung itu! Sepasang mata itu lebih mirip mata harimau dalam gelap! Manusiakah sosok yang berdiri di hadapan mereka ini?
Dan belum lagi sadar dari keterpakuannya, sosok serba putih itu tiba-tiba mengebutkan tangannya. Kelihatannya pelan saja tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Wiji dan kedua orang temannya terlempar ke belakang sejauh lima tombak lebih. Bagai diterjang angin ribut saja layaknya.
Tubuh mereka masih terguling-guling di tanah beberapa tombak jauhnya. Dan begitu daya lontar serangan sosok serba putih itu habis, tubuh merekapun berhenti. Mereka kini tidak bergerak lagi dengan sekujur tubuh berwarna kebiruan. Tewas!
Parja dari kejauhan menatap mayat ketiga temannya dengan perasaan campur aduk. Marah, kaget dan juga ngeri! Jelas sekali dilihatnya kalau sosok serba putih itu hanya menggerakkan tangannya perlahan saja. Dan akibatnya begitu hebat dan mengerikan! Parja sadar kalau sosok serba putih ini memiliki kepandaian amat tinggi dan jelas bukan tandingannya. Maka cepat-cepat dia memukul kentongan tanda bahaya.
“Tidak ada ampun bagi orang yang berani meremehkan Siluman Tengkorak Putih!” ucap sosok serba putih itu.
“Tok! Tok! Tok!”
Dalam sekejapan saja suara kentongan itu telah memecah keheningan malam kelam. Sosok serba putih yang ternyata berjuluk Siluman Tengkorak Putih membiarkan saja apa yang dilakukan Parja.
Parja memang sengaja tidak di bunuh agar memberitahukan kedatangannya. Keonaran ini memang sengaja dibuat untuk membuat Ki Wanayasa keluar dari tempatnya.
Apa yang diharapkan Siluman Tengkorak Putih ternyata memang tidak salah. Suara kentongan yang dipukul Parja itu segera saja menimbulkan kegemparan di bangunan besar Perguruan Tangan Sakti.
Berbondong-bondong para murid perguruan bergerak menuju arah kentongan berbunyi. Di antara mereka nampak pula murid utama Perguruan Tangan Sakti.
Seta yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling tinggi di antara murid-murid lainnya adalah orang pertama yang paling dulu tiba di tempat Parja memukul kentongan. Ia telah sembuh kembali seperti sediakala setelah diobati gurunya siang tadi.
Yang pertama dilihat Seta adalah sosok serba putih yang tengah berdiri tenang sambil menatap parja yang masih sibuk memukul kentongan.
“Ada apa Parja?” tanya Seta begitu tiba di samping Parja.
“Siluman itu membunuh rekan-rekan kita Kang”, jawab Parja dengan suara tersendat.
Untuk beberapa saat lamanya Seta celingukan. Sepasang matanya nyalang mengawasi sekitarnya. Yang dicari adalah mayat adik-adik seperguruannya yang menurut laporan Parja telah dubunuh sosok putih di depannya. Tapi sampai sakit matanya dia tidak melihat apa-apa. Suasana malam yang gelap menghalangi pandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika para murid perguruan lainnya yang membawa obor tiba, Seta akhirnya dapat melihat mayat adik-adik seperguruannya. Obor-obor yang dibawa cukup menerangi keadaan sekitar tempat itu. Melihat hal ini amarah Seta meluap. Dengan sinar mata merah ditatapnya sosok bayangan putih di depannya.
“Hai, Siluman! Apa persoalannya dengan kami sehingga kau begitu kejam membunuh murid-murid Perguruan Tangan Sakti?!”
Siluman Tengkorak Putih hanya tertawa. Tawanya begitu aneh. Pelan, berat dan bergaung. Sepertinya bukan keluar dari mulut manusia!
Semula tidak ada yang aneh pada tawa itu selain bunyinya yang tidak seperti tawa manusia pada umumnya. Tapi beberapa saat kemudian suara tawa itu mulai menampakkan akibatnya.
Seta merasakan suara tawa perlahan namun pasti, mulai menyakiti telinga dan membuat sesak dadanya. Otak Seta yang cerdas segera saja menduga ada ketidak wajaran pada suara tawa itu. Sekilas diliriknya Parja.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Seta melihat Parja tengah duduk bersila. Kedua tangannya menutupi kedua telinga untuk menghalangi serangan suara tawa itu.
Ternyata bukan hanya Praja saja. Terlihat semua adik seperguruannya duduk bersila dan menutup kedua telinganya. Tak terkecuali Satria dan Mega! Bahkan ada beberapa orang adik seperguruannya yang telah menggigil sekujur tubuhnya.
Seta yang telah berpengalaman, tahu kalau adik seperguruannya itu tidak akan dapat bertahan lama. Sebenarnya dia juga mengalami hal yang sama. Tapi karena tenaga dalamnya lebih kuat, dia lebih dapat bertahan.
“Hiyaaaat..!”
Sambil berteriak keras Seta melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih yang masih tertawa. Disadari kalau lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu lagi dicabut pedangnya dan langsung dikeluarkan ilmu andalan Ilmu Pedang Pembunuh Naga!
Suara berdesing nyaring mengawali serangan. Walaupun Siluman Tengkorak Putih sudah dapat memperkirakan kedahsyatan serangan lawan, tetapi dia hanya mendengus saja.
“Manusia tidak tahu diri! Kalau mau aku telah membunuhmu dengan suara tawaku itu!”
Setelah berkata demikian tangannya yang telanjang bergerak cepat menangkis serangan pedang Seta. Kecepatan gerak tangannya mengingatkan orang pada serangan seekor ular pada mangsanya. Begitu cepat dan tiba-tiba.
“Trak!”
“Akh..!”
Seta menyeringai. Tangannya yang menggenggam pedang mendadak lumpuh sesaat begitu tangan Siluman Tengkorak Putih menangkis pedangnya. Tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas dari pegangan.
Belum lagi Seta sempat berbuat sesuatu, serangan balasan Siluman Tengkorak Putih telah mengancam. Murid utama Perguruan Tangan Sakti itu hanya melihat kelebatan sinar putih menyambar ke arahnya. Dirasakannya juga hembusan angin dingin menuju ke arahnya.
Seta kaget bukan main. Sebisa-bisanya dilempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah beberapa kali. Tapi tetap saja ekor matanya melihat ada sekelabatan sinar putih mendekati ubun-ubunnya. Seta terus bergulingan. Sementara itu kelebatan sinar putih itu tetap mencecar ubun-ubunnya.
Satria, Mega dan beberapa adik seperguruannya melihat semua itu disertai rasa cemas yang mendalam. Berbeda dengan Seta mereka yang kini sudah bebas dari serangan tawa itu dapat melihat jelas semua yang terjadi.
Memang kakak seperguruan mereka berusaha mati-matian mengelak dari ancaman tangan Siluman Tengkorak Putih yang mencecar ubun-ubunnya.
Satria dan Mega yang bergegas melompat hendak membantu ternyata terlambat! Tangan manusia siluman itu telak sekali menghantam ubun-ubun murid utama Perguruan Tangan Sakti itu.
“Crokkk..!”
“Akh!”
Seta memekik tertahan, sebelum tubuhnya rubuh dengan ubun-ubun kepala pecah.
“Kang Seta..!” teriak Satria dan Mega hampir bersamaan.
Dua orang murid utama Perguruan Tangan Sakti itu tercenung. Pandangan mata mereka seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk beberapa saat lamanya keduanya terbengong-bengong.
“Tidak ada ampun bagi orang yang berani menyerang Siluman Tengkorak Putih!” ancam sosok bayangan putih itu dengan suara yang khas. Pelan, berat dan bergaung.
Kontan Satria dan Mega tersadar dari termenungnya. Ketika kesadaran mereka timbul maka timbul pula kemarahan di dada.
“Srat! Srat!”
Bagai dikomando kedunya mencabut pedangnya masing-masing secara bersamaan. Akan tetapi,,..
“Tahan...!”
Tiba-tiba suatu bentakan nyaring menahan gerak Satria dan Mega yang akan menerjang Siluman Tengkorak Putih. Serentak keduanya mengurungkan niatnya. Dikenali betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan guru mereka, Ki Wanayasa.
Keduanya serentak menoleh ke arah asal suara.
Tampaklah Ki Wanayasa berjalan bersama tamunya Raja Pisau Terbang.
“Aku telah dapat memastikan, Kakang Wanayasa. Siluman Tengkorak Putih ini ada hubungannya dengan si Ular Hitam! Aku tahu betul gerakannya waktu menewaskan Seta adalah ilmu Ular Terbang!” bisik Raja Pisau Terbang pada Ki Wanayasa.
“Tapi... bukankah Ular Hitam telah lama lenyap dari dunia persilatan? Lagi pula, sepanjang yang kuketahui si Ular Hitam tidak pernah punya murid!” bantah Ki Wanayasa. Sepasang matanya menatap marah ke arah Siluman Tengkorak Putih yang telah membunuh murid kesayangannya.
“Ah, Kakang. Siapa yang mengetahuinya? Di antara seluruh datuk persilatan dialah satu-satunya datuk yang paling misterius. Siapa yang tahu dia punya murid atau tidak?”
“Hey...! Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa? Mengakulah sebelum terlambat!” bentak Siluman Tengkorak Putih. Nadanya tidak sabar begitu melihat keduanya telah mendekat.
Raja Pisau Terbang dan Ki Wanayasa hanya tersenyum. Apalagi si Raja Pisau Terbang. Padahal si Raja Pisau Terbang adalah salah seorang datuk persilatan yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dan kini diancam seorang tokoh yang baru dikenal dan berjuluk Siluman Tengkorak Putih! Siapa yang tidak geli?
“Kisanak,” ucap Raja Pisau Terbang dengan sabar. “Sungguh tidak kusangka kalau kau begitu sombong. Melihat gerakanmu aku yakin kau mempunyai hubungan dengan si Ular Hitam. Entah sebagai murid atau adik seperguruannya. Atau kau adalah pencuri kitab-kitab ilmu silatnya? Hanya yang perlu kau ketahui Kisanak. Jangankan dirimu. Ular Hitam saja tidak berani berkata seperti itu kepadaku!”
“Ha..ha..ha..!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak begitu Raja Pisau Terbang mengakhiri ucapannya. Belum lagi gema suara itu lenyap, muncul sesosok tubuh pendek kekar. Rambutnya awut-awutan dan bermata merah. Dan kini orang itu telah berada di sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.
“Raja Racun Pencabut Nyawa”.
Desis Raja Pisau Terbang begitu melihat sosok tubuh yang berdiri di sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa tersentak kaget juga. Telah didengar banyak tentang tokoh ini dari adik seperguruannya. Raja Racun Pencabut Nyawa tinggal di Barat dan pernah dikalahkan si Ular Hitam dalam pertarungan merebutkan kedudukan datuk di Barat.
Karena kekalahannya itu dia menyingkir ke Selatan. Ternyata dia di situ membuat kekacauan sehingga membuat adik seperguruan Ki Wanayasa turun tangan menantangnya. Kali inipun Raja Racun Pencabut Nyawa harus menelan pil pahit.
Adik seperguruan Ki Wanayasa tidak mampu dikalahkannya. Kepandaian keduanya berimbang. Sehingga dalam pertarungan mati-matian itu mereka sama-sama mendapat luka. Itulah berita yang didengar Ki Wanayasa dari adik seperguruannya. Sungguh tidak diduga kalau malam ini dia akan bertemu tokoh itu.
“Gerda, orang yang berbicara tadi itu adalah Raja Pisau Terbang”, ujar Raja Racun Pencabut Nyawa memberitahu.
“Oh, pantas. Dia begitu sombong. Jadi kalau begitu orang yang disebelahnya adalah Ki Wanayasa, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih meminta ketegasan.
“Betul”.
Kini dengan sorot mata garang, Siluman Tengkorak Putih menatap Ki Wanayasa penuh selidik. Diperhatikannya kakek bongkok udang itu lekat-lekat.
“Ki Wanayasa! Kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini bukan?” tanya Siluman Tengkorak Putih tenang.
Ki Wanayasa hanya tersenyum. “Sudah bisa kutebak maksud kedatanganmu, Siluman Tengkorak Putih. Apalagi kalau bukan masalah Pedang Bintang?! Bukankah demikian?”
“He…he…he” Siluman Tengkorak Putih hanya terkekeh.
“Ahhhh...sayang sekali!” ujar Ki Wanayasa sambil menghela napas.
“Mengapa?”
“Pedang itu sama sekali tidak ada padaku”.
“Bohong!” bentak Siluman Tengkorak Putih keras.
“Jaga mulutmu Kisanak!!” bentak Ki Wanayasa tak kalah garangnya. “Jangan dikira aku takut padamu!”
“Keparat!”
Siluman Tengkorak Putih menggeram hebat. Sudah dapat diduga kalau akhirnya laki-laki berjubah ini akan menyerang Ki Wanayasa.
“Gerda, sabar dulu”.
Siluman Tengkorak Putih yang bernama Gerda itu mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Raja Racun Pencabut Nyawa lekat-lekat.
“Dia telah menghinaku, paman” protes Siluman Tengkorak Putih.
“Hal itu bisa diurus nanti. Sekarang yang penting adalah persoalan Pedang Bintang. Sabarlah sebentar” jelas Raja Racun Pencabut Nyawa sambil memegang bahu Siluman Tengkorak Putih.
Beberapa saat lamanya Siluman Tengkorak Putih termenung. Tapi akhirnya menganggukkan kepalanya juga. Kini Raja Racun Pencabut Nyawa mengalihkan pandangannya pada Ki Wanayasa.
“Ki Wanayasa”. Sapa Raja Racun Pencabut Nyawa pelan. Seulas senyum licik tersungging di bibirnya.
“Tidak usah banyak peradatan, Raja Racun!” selak Ki Wanayasa keras. “Katakan saja apa maumu dan jangan bertele-tele!”
Seketika wajah Raja Racun Pencabut Nyawa berubah setelah mendengar teguran kasar itu. Sesaat sepasang matanya berkilat penuh kemarahan. Tapi itu hanya sebentar saja karena sekejap kemudian sudah kembali biasa.
“Baiklah Wanayasa. Sungguh tidak kusangka sama sekali kalau orang terhormat seperti dirimu yang juga Ketua Perguruan Tangan Sakti ternyata hanya seorang pengecut! Bahkan tidak segan-segan berdusta untuk menyelamatkan nyawanya!”
“Keparat kau, Raja Racun!” bentak Ki Wanayasa marah. “Jelaskan apa maksudmu, sebelum aku terpaksa bersikap yang tidak sepantasnya terhadapmu!” kakek bongkok udang ini memang paling pantang di katakan pengecut. Maka kemarahannyapun langsung bergolak mendengar ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa.
Raja Racun Pencabut Nyawa hanya terkekeh saja mendengar ancaman itu. “Wanayasa. Hampir semua orang persilatan tahu kalau Pedang Bintang itu ada padamu. Tapi kini kau menyangkalnya! Bukankah orang seperti itu pengecut namanya?”
“Raja Racun Pencabut Nyawa... dan kau juga Siluman Tengkorak Putih!” ucap Ki Wanayasa seraya memandang Siluman Tengkorak Putih sekilas. “Dengarlah baik-baik. Demi kehormatanku selaku Ketua Perguruan Tangan Sakti, kukatakan pada kalian bahwa Pedang Bintang itu tidak ada di sini!”
“Kau berdusta, Wanayasa!” teriak Siluman Tengkorak Putih kalap seraya melangkah maju.
“Tenang Gerda”, Raja Racun Pencabut Nyawa menyentuh tangan Siluman Tengkorak Putih.
“Dia berdusta, Paman”.
“Dia berkata benar”.
Raja Racun Pencabut Nyawa menggelengkan kepalanya. Dia tahu pasti kalau Ki Wanayasa tidak berdusta. Seorang seperti dia lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Dan diketahui betul hal itu.
“Tapi, Paman...” Siluman Tengkorak Putih masih penasaran.
“Biar aku yang mengurusnya, Gerda. Percayalah. Masalah ini pasti akan tuntas!”
Mendengar jaminan Raja Racun Pencabut Nyawa, Siluman Tengkorak Putih kembali mundur ke tempatnya. Dia percaya penuh akan kemampuan orang yang dipanggilnya paman ini. Dia juga tahu kalau pamannya itu mempunyai berbagai macam tipu muslihat.
“Wanayasa... aku mempercayai keterangan yang kau berikan itu. Aku juga percaya kalau Pedang Bintang itu memang tidak ada padamu. Tapi itu bukan berarti kalau kau tidak tahu menahu di mana adanya pedang itu. Bukan begitu Wanayasa?” pancing Raja Racun Pencabut Nyawa.
Wajah Ki Wanayasa berubah hebat. Sungguh di luar dugaan kalau Raja Racun Pencabut Nyawa itu sedemikian cerdiknya. Dan ini membuatnya cemas bukan main.
“Apa urusannya hal itu denganku?!”
“Katakan saja di mana adanya Pedang Bintang itu. Maka, kami akan segera pergi dari sini!” desak Raja Racun Pencabut Nyawa tidak sabar.
“Kalau aku tidak memberitahukannya?”
“Aku akan memaksamu!”
“Silahkan, Raja Racun”, tantang Ki Wanayasa sambil tersenyum.
“Keparat!” Raja Racun Pencabut Nyawa memaki.
“Tunggu, Paman!” Siluman Tengkorak Putih segera mencekal lengan Raja Racun Pencabut Nyawa yang hendak menerjang Ki Wanayasa. Raja Racun Pencabut Nyawa menoleh. “Serahkan dia padaku”, ucapnya lagi.
Raja Racun Pencabut Nyawa menangkap adanya tekanan pada nada suara itu. Dan ia tahu kalau kali ini Siluman Tengkorak Putih itu tidak ingin dibantah lagi. Maka dengan berat kakinya melangkah mundur.
Siluman Tengkorak Putih maju beberapa tindak. “Wanayasa, sekali lagi kau kuberi kesempatan. Katakan di mana Pedang Bintang itu!”
“Jangan harap aku mengatakannya, bocah!” tegas Ki Wanayasa tajam.
“Keparat! Kalau begitu mampuslah kau!”
Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih menerjang Ki Wanayasa. Gerakannya cepat bukan main. Kedua tangannya yang terbuka lurus dan mengejang kaku menyerang bertubi-tubi pada pusar, ulu hati dan tenggorokan Ketua Perguruan Tangan Sakti itu. Deru angin nyaring mengawali tibanya serangan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa yang sudah mengetahui kecepatan gerak lawannya yang luar biasa ini, memang sudah sejak tadi bersikap waspada. Maka ketika melihat serangan yang bertubi-tubi mengancam beberapa bagian yang berbahaya di tubuhnya, dia tidak menjadi gugup. Cepat-cepat ditarik mundur kaki kirinya ke kanan belakang. Sehingga serangan-serangan Siluman Tengkorak Putih itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Wanayasa. Saat ditarik mundur kaki kirinya, kedua tangannya yang disertai pengerahan ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau, mencengkeram ke arah pelipis dan lambung lawan.
Hebat dan berbahaya bukan main serangan yang dilakukan Ki Wanayasa itu! Apalagi dilakukan dalam jarak yang demikian dekat. Maka serangan itu menjadi tambah berbahaya saja. Dan rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi bagi Siluman Tengkorak Putih itu untuk menangkis atau mengelakkan serangan itu. Begitu tiba-tiba dan mendadak!
“Ah...” desah Raja Racun Pencabut Nyawa pelan, ketika melihat keadaan berbahaya yang mengancam Siluman Tengkorak Putih. Bahkan Raja Pisau Terbang diam-diam menarik nafas karena terlalu tegang.
Hati Siluman Tengkorak Putihpun sempat terkesiap, melihat serangan yang begitu tiba-tiba itu. Akan tetapi dengan kecepatan gerak yang luar biasa segera ditarik pulang serangannya dan cepat-cepat ditangkis serangan Ki Wanayasa. Tangan kiri melindungi pelipis, sedangkan tangan kanannya menjegal serangan yang menuju ke lambung.
“Plak! Plak!”
Ki Wanayasa terhuyung tiga langkah ke belakang akibat benturan dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Sedangkan Siluman Tengkorak Putih hanya terhuyung satu langkah.
Ki Wanayasa kaget bukan main melihat kenyataan ini. Sungguh tidak disangka kalau dirinya akan terhuyung sampai tiga langkah. Bahkan sekujur tangannyapun dirasakan sakit akibat benturan itu. Dan herannya lawan hanya terhuyung satu langkah ke belakang!
Tidak adakah yang salah dalam hal ini? Bukankah tadi telah dikerahkan segenap tenaga dalam penyerangannya tadi? Bukankah dia menang posisi bila dibandingkan dengan Siluman Tengkorak Putih dalam benturan tadi? Mungkinkah tenaga dalam lawannya ini lebih kuat dari Bargola? Mustahil!
Akan tetapi Ki Wanayasa tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih menghentikan kesibukan berpikirnya. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan kemudian dibalasnya dengan ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau. Maka kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang luar biasa.
Akan tetapi tidak sampai lima belas jurus kemudian terbuktilah Ki Wanayasa bukan tandingan Siluman Tengkorak Putih. Kakek bongkok udang itu perlahan namun pasti mulai terdesak. Hal ini tidaklah aneh karena memang Ketua Perguruan Tangan Sakti ini kalah segala-galanya dibanding lawannya. Dapat dipastikan kalau tak lama lagi Ki Wanayasa akan rubuh di tangan lawannya yang luar biasa itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. “Gerda! Hentikan!” teriaknya keras.
“Tidak, Paman. Aku tidak akan berhenti sebelum membunuh tua bangka keparat ini!” bentak Siluman Tengkorak Putih yang memang bernama asli Gerda dengan suara keras pula. Bahkan dia terus menhujani lawan dengan serangan-serangan yang mematikan.
Raja Pisau Terbang segera bersiap melihat sikap Raja Racun Pencabut Nyawa yang aneh ini. Akan tetapi tidak terlihat tanda-tanda kalau tokoh itu akan bertindak curang.
“Hentikan, Gerda! Cepat! Aku sudah tahu di mana Pedang Bintang itu!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa lagi.
“Aku tidak percaya kalau hantu atau siluman itu ada. Buktinya dari dulu aku tidak pernah bertemu segala mahluk tetek bengek itu! aku yakin ini hanyalah satu siasat orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari suasana malam yang tidak seperti biasanya ini!” tegas Wiji dengan sikap tenang.
Ucapan dan sikap dari Wiji membuat Parja dan teman-temannya menjadi agak lebih berani. Kini mereka menatap sosok bayangan putih itu penuh perhatian.
Mendadak saja sosok bayangan putih itu bangkit dari bersilanya. Dan secepat itu pula tubuhnya melompat dari ranting pohon yang tadi didudukinya kearah Wiji, Parja dan seorang rekannya yang tengah memperhatikan. Sosok bayangan putih itu begitu ringan hinggap sekitar empat tombak di depan para murid Perguruan Tangan Sakti.
Dengan bantuan sinar obor apalagi pakaian orang itu serba putih, Wiji dan tiga murid lainnya dapat melihat lebih jelas sosok bayangan putih itu lagi. Sedangkan Parja bergerak menjauh karena rasa takut yang menyerangnya. Dia hanya memperhatikan tanpa berkedip.
Sosok bayangan putih itu bertubuh tinggi kurus. Wajahnya tertutup selubung putih yang memiliki dua buah lobang kecil untuk mata. Pakaiannya juga serba putih. Di bagian dada terdapat sebuah gambar tengkorak kepala manusia.
Wiji dan teman-temannya memperhatikan sosok bayangan putih itu dengan bulu tengkuk meremang. Apalagi ketika menatap sepasang mata yang mencorong kehijauan di balik selubung itu! Sepasang mata itu lebih mirip mata harimau dalam gelap! Manusiakah sosok yang berdiri di hadapan mereka ini?
Dan belum lagi sadar dari keterpakuannya, sosok serba putih itu tiba-tiba mengebutkan tangannya. Kelihatannya pelan saja tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Wiji dan kedua orang temannya terlempar ke belakang sejauh lima tombak lebih. Bagai diterjang angin ribut saja layaknya.
Tubuh mereka masih terguling-guling di tanah beberapa tombak jauhnya. Dan begitu daya lontar serangan sosok serba putih itu habis, tubuh merekapun berhenti. Mereka kini tidak bergerak lagi dengan sekujur tubuh berwarna kebiruan. Tewas!
Parja dari kejauhan menatap mayat ketiga temannya dengan perasaan campur aduk. Marah, kaget dan juga ngeri! Jelas sekali dilihatnya kalau sosok serba putih itu hanya menggerakkan tangannya perlahan saja. Dan akibatnya begitu hebat dan mengerikan! Parja sadar kalau sosok serba putih ini memiliki kepandaian amat tinggi dan jelas bukan tandingannya. Maka cepat-cepat dia memukul kentongan tanda bahaya.
“Tidak ada ampun bagi orang yang berani meremehkan Siluman Tengkorak Putih!” ucap sosok serba putih itu.
“Tok! Tok! Tok!”
Dalam sekejapan saja suara kentongan itu telah memecah keheningan malam kelam. Sosok serba putih yang ternyata berjuluk Siluman Tengkorak Putih membiarkan saja apa yang dilakukan Parja.
Parja memang sengaja tidak di bunuh agar memberitahukan kedatangannya. Keonaran ini memang sengaja dibuat untuk membuat Ki Wanayasa keluar dari tempatnya.
Apa yang diharapkan Siluman Tengkorak Putih ternyata memang tidak salah. Suara kentongan yang dipukul Parja itu segera saja menimbulkan kegemparan di bangunan besar Perguruan Tangan Sakti.
Berbondong-bondong para murid perguruan bergerak menuju arah kentongan berbunyi. Di antara mereka nampak pula murid utama Perguruan Tangan Sakti.
Seta yang memiliki ilmu meringankan tubuh paling tinggi di antara murid-murid lainnya adalah orang pertama yang paling dulu tiba di tempat Parja memukul kentongan. Ia telah sembuh kembali seperti sediakala setelah diobati gurunya siang tadi.
Yang pertama dilihat Seta adalah sosok serba putih yang tengah berdiri tenang sambil menatap parja yang masih sibuk memukul kentongan.
“Ada apa Parja?” tanya Seta begitu tiba di samping Parja.
“Siluman itu membunuh rekan-rekan kita Kang”, jawab Parja dengan suara tersendat.
Untuk beberapa saat lamanya Seta celingukan. Sepasang matanya nyalang mengawasi sekitarnya. Yang dicari adalah mayat adik-adik seperguruannya yang menurut laporan Parja telah dubunuh sosok putih di depannya. Tapi sampai sakit matanya dia tidak melihat apa-apa. Suasana malam yang gelap menghalangi pandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika para murid perguruan lainnya yang membawa obor tiba, Seta akhirnya dapat melihat mayat adik-adik seperguruannya. Obor-obor yang dibawa cukup menerangi keadaan sekitar tempat itu. Melihat hal ini amarah Seta meluap. Dengan sinar mata merah ditatapnya sosok bayangan putih di depannya.
“Hai, Siluman! Apa persoalannya dengan kami sehingga kau begitu kejam membunuh murid-murid Perguruan Tangan Sakti?!”
Siluman Tengkorak Putih hanya tertawa. Tawanya begitu aneh. Pelan, berat dan bergaung. Sepertinya bukan keluar dari mulut manusia!
Semula tidak ada yang aneh pada tawa itu selain bunyinya yang tidak seperti tawa manusia pada umumnya. Tapi beberapa saat kemudian suara tawa itu mulai menampakkan akibatnya.
Seta merasakan suara tawa perlahan namun pasti, mulai menyakiti telinga dan membuat sesak dadanya. Otak Seta yang cerdas segera saja menduga ada ketidak wajaran pada suara tawa itu. Sekilas diliriknya Parja.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Seta melihat Parja tengah duduk bersila. Kedua tangannya menutupi kedua telinga untuk menghalangi serangan suara tawa itu.
Ternyata bukan hanya Praja saja. Terlihat semua adik seperguruannya duduk bersila dan menutup kedua telinganya. Tak terkecuali Satria dan Mega! Bahkan ada beberapa orang adik seperguruannya yang telah menggigil sekujur tubuhnya.
Seta yang telah berpengalaman, tahu kalau adik seperguruannya itu tidak akan dapat bertahan lama. Sebenarnya dia juga mengalami hal yang sama. Tapi karena tenaga dalamnya lebih kuat, dia lebih dapat bertahan.
“Hiyaaaat..!”
Sambil berteriak keras Seta melompat menerjang Siluman Tengkorak Putih yang masih tertawa. Disadari kalau lawannya ini mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu lagi dicabut pedangnya dan langsung dikeluarkan ilmu andalan Ilmu Pedang Pembunuh Naga!
Suara berdesing nyaring mengawali serangan. Walaupun Siluman Tengkorak Putih sudah dapat memperkirakan kedahsyatan serangan lawan, tetapi dia hanya mendengus saja.
“Manusia tidak tahu diri! Kalau mau aku telah membunuhmu dengan suara tawaku itu!”
Setelah berkata demikian tangannya yang telanjang bergerak cepat menangkis serangan pedang Seta. Kecepatan gerak tangannya mengingatkan orang pada serangan seekor ular pada mangsanya. Begitu cepat dan tiba-tiba.
“Trak!”
“Akh..!”
Seta menyeringai. Tangannya yang menggenggam pedang mendadak lumpuh sesaat begitu tangan Siluman Tengkorak Putih menangkis pedangnya. Tanpa dapat dicegah lagi pedangnya terlepas dari pegangan.
Belum lagi Seta sempat berbuat sesuatu, serangan balasan Siluman Tengkorak Putih telah mengancam. Murid utama Perguruan Tangan Sakti itu hanya melihat kelebatan sinar putih menyambar ke arahnya. Dirasakannya juga hembusan angin dingin menuju ke arahnya.
Seta kaget bukan main. Sebisa-bisanya dilempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di tanah beberapa kali. Tapi tetap saja ekor matanya melihat ada sekelabatan sinar putih mendekati ubun-ubunnya. Seta terus bergulingan. Sementara itu kelebatan sinar putih itu tetap mencecar ubun-ubunnya.
Satria, Mega dan beberapa adik seperguruannya melihat semua itu disertai rasa cemas yang mendalam. Berbeda dengan Seta mereka yang kini sudah bebas dari serangan tawa itu dapat melihat jelas semua yang terjadi.
Memang kakak seperguruan mereka berusaha mati-matian mengelak dari ancaman tangan Siluman Tengkorak Putih yang mencecar ubun-ubunnya.
Satria dan Mega yang bergegas melompat hendak membantu ternyata terlambat! Tangan manusia siluman itu telak sekali menghantam ubun-ubun murid utama Perguruan Tangan Sakti itu.
“Crokkk..!”
“Akh!”
Seta memekik tertahan, sebelum tubuhnya rubuh dengan ubun-ubun kepala pecah.
“Kang Seta..!” teriak Satria dan Mega hampir bersamaan.
Dua orang murid utama Perguruan Tangan Sakti itu tercenung. Pandangan mata mereka seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk beberapa saat lamanya keduanya terbengong-bengong.
“Tidak ada ampun bagi orang yang berani menyerang Siluman Tengkorak Putih!” ancam sosok bayangan putih itu dengan suara yang khas. Pelan, berat dan bergaung.
Kontan Satria dan Mega tersadar dari termenungnya. Ketika kesadaran mereka timbul maka timbul pula kemarahan di dada.
“Srat! Srat!”
Bagai dikomando kedunya mencabut pedangnya masing-masing secara bersamaan. Akan tetapi,,..
“Tahan...!”
Tiba-tiba suatu bentakan nyaring menahan gerak Satria dan Mega yang akan menerjang Siluman Tengkorak Putih. Serentak keduanya mengurungkan niatnya. Dikenali betul pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan guru mereka, Ki Wanayasa.
Keduanya serentak menoleh ke arah asal suara.
Tampaklah Ki Wanayasa berjalan bersama tamunya Raja Pisau Terbang.
“Aku telah dapat memastikan, Kakang Wanayasa. Siluman Tengkorak Putih ini ada hubungannya dengan si Ular Hitam! Aku tahu betul gerakannya waktu menewaskan Seta adalah ilmu Ular Terbang!” bisik Raja Pisau Terbang pada Ki Wanayasa.
“Tapi... bukankah Ular Hitam telah lama lenyap dari dunia persilatan? Lagi pula, sepanjang yang kuketahui si Ular Hitam tidak pernah punya murid!” bantah Ki Wanayasa. Sepasang matanya menatap marah ke arah Siluman Tengkorak Putih yang telah membunuh murid kesayangannya.
“Ah, Kakang. Siapa yang mengetahuinya? Di antara seluruh datuk persilatan dialah satu-satunya datuk yang paling misterius. Siapa yang tahu dia punya murid atau tidak?”
“Hey...! Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa? Mengakulah sebelum terlambat!” bentak Siluman Tengkorak Putih. Nadanya tidak sabar begitu melihat keduanya telah mendekat.
Raja Pisau Terbang dan Ki Wanayasa hanya tersenyum. Apalagi si Raja Pisau Terbang. Padahal si Raja Pisau Terbang adalah salah seorang datuk persilatan yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dan kini diancam seorang tokoh yang baru dikenal dan berjuluk Siluman Tengkorak Putih! Siapa yang tidak geli?
“Kisanak,” ucap Raja Pisau Terbang dengan sabar. “Sungguh tidak kusangka kalau kau begitu sombong. Melihat gerakanmu aku yakin kau mempunyai hubungan dengan si Ular Hitam. Entah sebagai murid atau adik seperguruannya. Atau kau adalah pencuri kitab-kitab ilmu silatnya? Hanya yang perlu kau ketahui Kisanak. Jangankan dirimu. Ular Hitam saja tidak berani berkata seperti itu kepadaku!”
“Ha..ha..ha..!”
Tiba-tiba terdengar suara tawa terbahak-bahak begitu Raja Pisau Terbang mengakhiri ucapannya. Belum lagi gema suara itu lenyap, muncul sesosok tubuh pendek kekar. Rambutnya awut-awutan dan bermata merah. Dan kini orang itu telah berada di sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.
“Raja Racun Pencabut Nyawa”.
Desis Raja Pisau Terbang begitu melihat sosok tubuh yang berdiri di sebelah kanan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa tersentak kaget juga. Telah didengar banyak tentang tokoh ini dari adik seperguruannya. Raja Racun Pencabut Nyawa tinggal di Barat dan pernah dikalahkan si Ular Hitam dalam pertarungan merebutkan kedudukan datuk di Barat.
Karena kekalahannya itu dia menyingkir ke Selatan. Ternyata dia di situ membuat kekacauan sehingga membuat adik seperguruan Ki Wanayasa turun tangan menantangnya. Kali inipun Raja Racun Pencabut Nyawa harus menelan pil pahit.
Adik seperguruan Ki Wanayasa tidak mampu dikalahkannya. Kepandaian keduanya berimbang. Sehingga dalam pertarungan mati-matian itu mereka sama-sama mendapat luka. Itulah berita yang didengar Ki Wanayasa dari adik seperguruannya. Sungguh tidak diduga kalau malam ini dia akan bertemu tokoh itu.
“Gerda, orang yang berbicara tadi itu adalah Raja Pisau Terbang”, ujar Raja Racun Pencabut Nyawa memberitahu.
“Oh, pantas. Dia begitu sombong. Jadi kalau begitu orang yang disebelahnya adalah Ki Wanayasa, Paman?” tanya Siluman Tengkorak Putih meminta ketegasan.
“Betul”.
Kini dengan sorot mata garang, Siluman Tengkorak Putih menatap Ki Wanayasa penuh selidik. Diperhatikannya kakek bongkok udang itu lekat-lekat.
“Ki Wanayasa! Kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini bukan?” tanya Siluman Tengkorak Putih tenang.
Ki Wanayasa hanya tersenyum. “Sudah bisa kutebak maksud kedatanganmu, Siluman Tengkorak Putih. Apalagi kalau bukan masalah Pedang Bintang?! Bukankah demikian?”
“He…he…he” Siluman Tengkorak Putih hanya terkekeh.
“Ahhhh...sayang sekali!” ujar Ki Wanayasa sambil menghela napas.
“Mengapa?”
“Pedang itu sama sekali tidak ada padaku”.
“Bohong!” bentak Siluman Tengkorak Putih keras.
“Jaga mulutmu Kisanak!!” bentak Ki Wanayasa tak kalah garangnya. “Jangan dikira aku takut padamu!”
“Keparat!”
Siluman Tengkorak Putih menggeram hebat. Sudah dapat diduga kalau akhirnya laki-laki berjubah ini akan menyerang Ki Wanayasa.
“Gerda, sabar dulu”.
Siluman Tengkorak Putih yang bernama Gerda itu mengurungkan niatnya. Ditatapnya wajah Raja Racun Pencabut Nyawa lekat-lekat.
“Dia telah menghinaku, paman” protes Siluman Tengkorak Putih.
“Hal itu bisa diurus nanti. Sekarang yang penting adalah persoalan Pedang Bintang. Sabarlah sebentar” jelas Raja Racun Pencabut Nyawa sambil memegang bahu Siluman Tengkorak Putih.
Beberapa saat lamanya Siluman Tengkorak Putih termenung. Tapi akhirnya menganggukkan kepalanya juga. Kini Raja Racun Pencabut Nyawa mengalihkan pandangannya pada Ki Wanayasa.
“Ki Wanayasa”. Sapa Raja Racun Pencabut Nyawa pelan. Seulas senyum licik tersungging di bibirnya.
“Tidak usah banyak peradatan, Raja Racun!” selak Ki Wanayasa keras. “Katakan saja apa maumu dan jangan bertele-tele!”
Seketika wajah Raja Racun Pencabut Nyawa berubah setelah mendengar teguran kasar itu. Sesaat sepasang matanya berkilat penuh kemarahan. Tapi itu hanya sebentar saja karena sekejap kemudian sudah kembali biasa.
“Baiklah Wanayasa. Sungguh tidak kusangka sama sekali kalau orang terhormat seperti dirimu yang juga Ketua Perguruan Tangan Sakti ternyata hanya seorang pengecut! Bahkan tidak segan-segan berdusta untuk menyelamatkan nyawanya!”
“Keparat kau, Raja Racun!” bentak Ki Wanayasa marah. “Jelaskan apa maksudmu, sebelum aku terpaksa bersikap yang tidak sepantasnya terhadapmu!” kakek bongkok udang ini memang paling pantang di katakan pengecut. Maka kemarahannyapun langsung bergolak mendengar ucapan Raja Racun Pencabut Nyawa.
Raja Racun Pencabut Nyawa hanya terkekeh saja mendengar ancaman itu. “Wanayasa. Hampir semua orang persilatan tahu kalau Pedang Bintang itu ada padamu. Tapi kini kau menyangkalnya! Bukankah orang seperti itu pengecut namanya?”
“Raja Racun Pencabut Nyawa... dan kau juga Siluman Tengkorak Putih!” ucap Ki Wanayasa seraya memandang Siluman Tengkorak Putih sekilas. “Dengarlah baik-baik. Demi kehormatanku selaku Ketua Perguruan Tangan Sakti, kukatakan pada kalian bahwa Pedang Bintang itu tidak ada di sini!”
“Kau berdusta, Wanayasa!” teriak Siluman Tengkorak Putih kalap seraya melangkah maju.
“Tenang Gerda”, Raja Racun Pencabut Nyawa menyentuh tangan Siluman Tengkorak Putih.
“Dia berdusta, Paman”.
“Dia berkata benar”.
Raja Racun Pencabut Nyawa menggelengkan kepalanya. Dia tahu pasti kalau Ki Wanayasa tidak berdusta. Seorang seperti dia lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Dan diketahui betul hal itu.
“Tapi, Paman...” Siluman Tengkorak Putih masih penasaran.
“Biar aku yang mengurusnya, Gerda. Percayalah. Masalah ini pasti akan tuntas!”
Mendengar jaminan Raja Racun Pencabut Nyawa, Siluman Tengkorak Putih kembali mundur ke tempatnya. Dia percaya penuh akan kemampuan orang yang dipanggilnya paman ini. Dia juga tahu kalau pamannya itu mempunyai berbagai macam tipu muslihat.
“Wanayasa... aku mempercayai keterangan yang kau berikan itu. Aku juga percaya kalau Pedang Bintang itu memang tidak ada padamu. Tapi itu bukan berarti kalau kau tidak tahu menahu di mana adanya pedang itu. Bukan begitu Wanayasa?” pancing Raja Racun Pencabut Nyawa.
Wajah Ki Wanayasa berubah hebat. Sungguh di luar dugaan kalau Raja Racun Pencabut Nyawa itu sedemikian cerdiknya. Dan ini membuatnya cemas bukan main.
“Apa urusannya hal itu denganku?!”
“Katakan saja di mana adanya Pedang Bintang itu. Maka, kami akan segera pergi dari sini!” desak Raja Racun Pencabut Nyawa tidak sabar.
“Kalau aku tidak memberitahukannya?”
“Aku akan memaksamu!”
“Silahkan, Raja Racun”, tantang Ki Wanayasa sambil tersenyum.
“Keparat!” Raja Racun Pencabut Nyawa memaki.
“Tunggu, Paman!” Siluman Tengkorak Putih segera mencekal lengan Raja Racun Pencabut Nyawa yang hendak menerjang Ki Wanayasa. Raja Racun Pencabut Nyawa menoleh. “Serahkan dia padaku”, ucapnya lagi.
Raja Racun Pencabut Nyawa menangkap adanya tekanan pada nada suara itu. Dan ia tahu kalau kali ini Siluman Tengkorak Putih itu tidak ingin dibantah lagi. Maka dengan berat kakinya melangkah mundur.
Siluman Tengkorak Putih maju beberapa tindak. “Wanayasa, sekali lagi kau kuberi kesempatan. Katakan di mana Pedang Bintang itu!”
“Jangan harap aku mengatakannya, bocah!” tegas Ki Wanayasa tajam.
“Keparat! Kalau begitu mampuslah kau!”
Setelah berkata demikian, Siluman Tengkorak Putih menerjang Ki Wanayasa. Gerakannya cepat bukan main. Kedua tangannya yang terbuka lurus dan mengejang kaku menyerang bertubi-tubi pada pusar, ulu hati dan tenggorokan Ketua Perguruan Tangan Sakti itu. Deru angin nyaring mengawali tibanya serangan Siluman Tengkorak Putih.
Ki Wanayasa yang sudah mengetahui kecepatan gerak lawannya yang luar biasa ini, memang sudah sejak tadi bersikap waspada. Maka ketika melihat serangan yang bertubi-tubi mengancam beberapa bagian yang berbahaya di tubuhnya, dia tidak menjadi gugup. Cepat-cepat ditarik mundur kaki kirinya ke kanan belakang. Sehingga serangan-serangan Siluman Tengkorak Putih itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Ki Wanayasa. Saat ditarik mundur kaki kirinya, kedua tangannya yang disertai pengerahan ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau, mencengkeram ke arah pelipis dan lambung lawan.
Hebat dan berbahaya bukan main serangan yang dilakukan Ki Wanayasa itu! Apalagi dilakukan dalam jarak yang demikian dekat. Maka serangan itu menjadi tambah berbahaya saja. Dan rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi bagi Siluman Tengkorak Putih itu untuk menangkis atau mengelakkan serangan itu. Begitu tiba-tiba dan mendadak!
“Ah...” desah Raja Racun Pencabut Nyawa pelan, ketika melihat keadaan berbahaya yang mengancam Siluman Tengkorak Putih. Bahkan Raja Pisau Terbang diam-diam menarik nafas karena terlalu tegang.
Hati Siluman Tengkorak Putihpun sempat terkesiap, melihat serangan yang begitu tiba-tiba itu. Akan tetapi dengan kecepatan gerak yang luar biasa segera ditarik pulang serangannya dan cepat-cepat ditangkis serangan Ki Wanayasa. Tangan kiri melindungi pelipis, sedangkan tangan kanannya menjegal serangan yang menuju ke lambung.
“Plak! Plak!”
Ki Wanayasa terhuyung tiga langkah ke belakang akibat benturan dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Sedangkan Siluman Tengkorak Putih hanya terhuyung satu langkah.
Ki Wanayasa kaget bukan main melihat kenyataan ini. Sungguh tidak disangka kalau dirinya akan terhuyung sampai tiga langkah. Bahkan sekujur tangannyapun dirasakan sakit akibat benturan itu. Dan herannya lawan hanya terhuyung satu langkah ke belakang!
Tidak adakah yang salah dalam hal ini? Bukankah tadi telah dikerahkan segenap tenaga dalam penyerangannya tadi? Bukankah dia menang posisi bila dibandingkan dengan Siluman Tengkorak Putih dalam benturan tadi? Mungkinkah tenaga dalam lawannya ini lebih kuat dari Bargola? Mustahil!
Akan tetapi Ki Wanayasa tidak dapat berpikir lebih lama lagi. Serangan susulan dari Siluman Tengkorak Putih menghentikan kesibukan berpikirnya. Cepat-cepat dielakkan serangan itu dan kemudian dibalasnya dengan ilmu Delapan Cara Menaklukkan Harimau. Maka kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan yang luar biasa.
Akan tetapi tidak sampai lima belas jurus kemudian terbuktilah Ki Wanayasa bukan tandingan Siluman Tengkorak Putih. Kakek bongkok udang itu perlahan namun pasti mulai terdesak. Hal ini tidaklah aneh karena memang Ketua Perguruan Tangan Sakti ini kalah segala-galanya dibanding lawannya. Dapat dipastikan kalau tak lama lagi Ki Wanayasa akan rubuh di tangan lawannya yang luar biasa itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari mulut Raja Racun Pencabut Nyawa. “Gerda! Hentikan!” teriaknya keras.
“Tidak, Paman. Aku tidak akan berhenti sebelum membunuh tua bangka keparat ini!” bentak Siluman Tengkorak Putih yang memang bernama asli Gerda dengan suara keras pula. Bahkan dia terus menhujani lawan dengan serangan-serangan yang mematikan.
Raja Pisau Terbang segera bersiap melihat sikap Raja Racun Pencabut Nyawa yang aneh ini. Akan tetapi tidak terlihat tanda-tanda kalau tokoh itu akan bertindak curang.
“Hentikan, Gerda! Cepat! Aku sudah tahu di mana Pedang Bintang itu!” teriak Raja Racun Pencabut Nyawa lagi.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment