Hari masih pagi, ketika di kaki lereng Gunung Waru berkelebat beberapa bayangan yang bergerak cepat menuju ke puncak. Menilik dari gerakan yang rata-rata ringan dan gesit, dapat diketahui kalau bayangan-bayangan itu adalah orang-orang persilatan yang berkepandaian cukup tinggi
Tentu saja berkelebatnya bayangan-bayangan itu segera diketahui para murid Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di sana. Maka murid-murid itupun segera memberitahukan hal tersebut kepada kakak seperguruan mereka.
Ketika berita itu sampai di telinga tiga orang kakak seperguruan mereka yang bernama Seta, Satria dan Mega, tokoh-tokoh yang berdatangan itu sudah tiba di depan pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti yang cukup luas. Sedangkan para murid Perguruan Tangan Sakti yang bertugas jaga di sana hanya mengawasi dengan sikap waspada.
“Wanayasa, keluar kau! Serahkan Pedang Bintang itu!” teriak salah seorang yang datang itu.
“Benar, serahkanlah pedang itu..!” sambung yang lain.
“Cepat, Wanayasa! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku terpaksa menerobos masuk menggunakan kekerasan!” ancam seorang yang bertubuh tinggi besar, berteriak tak sabar.
Tangannya yang besar dan kekar berotot nampak menggenggam sebatang tongkat yang terbuat dari baja putih.
Tokoh itu berjuluk si Kerbau Gila. Seorang tokoh sesat yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga kuat. Apalagi ilmu tongkatnya juga dahsyat. Entah berapa banyak tokoh golongan putih yang mencegah sepak terjang si Kerbau Gila, tewas di tangannya.
Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya membuat si Kerbau Gila ini manjadi sombong dan jumawa. Pikirnya, selain datuk-datuk dunia persilatan, tidak ada lagi tokoh yang bisa menandinginya!
Karena keyakinannya yang besar, si Kerbau Gila segera memisahkan diri dari orang-orang yang bersamanya. Dengan langkah lebar sambil menggenggam tongkat, dihampirinya pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
Tentu saja melihat tindakan si Kerbau Gila itu, tokoh-tokoh persilatan lainnya menjadi khawatir. Sebab mereka takut kalau-kalau keduluan laki-laki tinggi besar itu. Maka, begitu si Kerbau Gila ini menghampiri pintu gerbang, mereka segera berbondong-bondong ikut melangkah maju.
Tapi baru beberapa tindak saja, terdengar suara berderak keras disusul bergeraknya pintu gerbang itu. Si Kerbau Gila beserta para tokoh persilatan yang mengikuti di belakangnya, serentak menghentikan langkah. Mereka semua sama-sama memandang ke arah pintu gerbang itu sambil memasang sikap waspada.
Perlahan-lahan pintu gerbang itu terbuka. Dari balik pintunya, muncul belasan sosok yang kemudian dengan gagahnya melangkah ke luar.
Laki-laki tinggi besar yang berjuluk si Kerbau Gila itu menatap satu persatu belasan wajah yang berdiri beberapa tombak di hadapannya. Ia mencoba menduga-duga, mana di antara mereka yang bernama Ki Wanayasa.
“Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?! Majulah! Dan berikan Pedang Bintang itu padaku!” ucap si Kerbau Gila keras dan kasar.
Belum sempat salah satu dari belasan orang itu menyahut, terdengar suara tawa bergelak. Tak lama kemudian, salah seorang dari belasan orang yang berdiri di belakang si Kerbau Gila melesat maju ke depan.
“Ha..ha…ha...! kau jangan mau menang sendiri, Kerbau Gila! Dikira hanya kau saja yang berniat memiliki Pedang Bintang? Aku dan semua orang yang berada di belakangmupun mempunyai niat yang sama.”
Si Kerbau Gila menoleh ke arah orang yang baru saja bicara lantang yang kini telah berada setengah tombak di samping kanannya. Untuk sesaat dia agak terkejut melihat seseorang yang bertubuh kecil kurus. Wajahnya mirip tikus dan berwarna merah. Rupanya dia adalah si Tikus Muka Merah yang tak mau ketinggalan. Tokoh sesat yang pengaruhnya merajalela di beberapa desa, dan sampai saat ini tak ada yang berani menentangnya!
Hanya untuk sesaat si Kerbau Gila ini agak terkejut, dan kini sudah kembali pada sikapnya semula. Sombong dan memandang rendah orang lain.
“Apa peduliku dengan segala urusanmu, tikus got?” ejek Kerbau Gila bernada kasar.
Wajah si Tikus Muka Merah berubah semakin merah mendengar ejekan kasar itu. Seumur hidupnya, baru kali ini dirinya dihina orang. Kemarahan yang hebat, kini membakar hatinya.
Pada saat dia sangat ditakuti sampai di beberapa desa, tapi kini dihina si Kerbau Gila begitu saja. Memang nama besar si Kerbau Gila telah didengarnya, maka tentu saja hatinya menjadi gentar juga. Walaupun belum dibuktikan kebenarannya.
“Kerbau Gila,” ucap si Tikus Muka Merah mencoba bersikap tenang, sungguhpun nada suaranya tetap terdengar gemetar dan penuh tekanan. “Kalau tidak mengingat urusan yang sangat penting ini, saat ini juga aku sudah turun tangan untuk menghancurkan mulutmu yang telah begitu lancang menghinaku. Tapi biarlah. Kalau tidak sekarang, nantipun jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” sambungnya, berusaha memberanikan diri, karena di hadapan orang banyak.
“Keparat!”
Kerbau Gila berteriak memaki. Ia marah bukan main mendengar ucapan Tikus Muka Merah yang begitu merendahkan dirinya. Hampir-hampir saja diterjang laki-laki kurus berwajah merah itu. Untung saja segera teringat akan tujuannya datang ke Gunung Waru ini. Maka segera diredam amarahnya. Tapi sempat juga dikeluarkan sebuah ancaman yang berbau maut.
“Berhati-hatilah kau, tikus got. Sehabis mengambil Pedang Bintang, aku akan mencarimu ke manapun. Dan.. kukuliti dagingmu!”
Setelah puas mengancam, Kerbau Gila kini mengalihkan perhatiannya kepada belasan orang yang keluar dari pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
“Jawab pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang. Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?!” bentak Kerbau Gila.
“Apa urusanmu mencari guru kami?” tanya Seta, salah seorang dari tiga orang yang berdiri paling depan.
“O, jadi kalian ini murid-murid Wanayasa?” tanya Kerbau Gila lagi, bernada kurang ajar sambil memperhatikan Seta yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis. Kulitnya coklat sawo matang.
Seta hanya mengangguk. Masih dicobanya untuk bersabar, walaupun kemarahannya sejak tadi telah bergolak melihat kekurang ajaran orang yang berdiri di hadapannya ini. baginya kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian.
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” bentak si Kerbau Gila keras. “Aku hanya mempunyai urusan dengan Wanayasa! Ayo, panggil dia dan cepat menemuiku!”
“Sret! Sret!”
Bagai dikomando, belasan murid Perguruan Tangan Sakti yang berdiri di belakang Seta, bersama-sama menghunus pedangnya. Para murid Perguruan Tangan Sakti itu sudah tidak sanggup lagi menahan amarah melihat sikap si Kerbau Gila yang telah keterlaluan menghina guru mereka.
Bahkan Satria dan Megapun sudah bersiap-siap menyerang. Kalau saja tidak menghormati kakak seperguruan, mungkin sudah sejak tadi mereka menerjang si Kerbau Gila yang keterlaluan itu.
“Tahan.!”
Teriak Seta mencegah tindak lanjut adik-adik seperguruannya. Kemudian dengan sikap masih tenang, dihadapinya si Kerbau Gila.
“Kerbau Gila! Perlu kau ketahui. Bahwa setiap persoalan apapun yang menyangkut guru kami, juga menjadi wewenangku untuk mengurusnya. Apapun bentuk persoalan itu. Apalagi hanya persoalan denganmu, yang sangat sepele ini. Jangankan guruku. Akupun mampu mengatasinya!” ujar Seta tandas.
“Keparat! Kau tidak akan mampu mengurus masalah ini. Panggil Wanayasa. Cepat, sebelum kesabaranku hilang!”
“Sudah kukatakan tadi. Semua urusan yan menyangkut guruku, apapun bentuk urusan itu, telah diserahkan padaku untuk mengurusnya.”
“Baiklah!” si Kerbau Gila itu terpaksa mengalah. “Karena kau telah mengaku wakil Wanayasa, maka cepat serahkan Pedang Bintang itu padaku!” desak Kerbau Gila.
“Pedang Bintang?”
Seta mengerutkan keningnya, dan untuk sesaat lamanya tercenung. Tentu saja berita mengenai pedang itu telah didengarnya. Sebilah pedang yang telah membuat dunia persilatan gempar. Kabarnya Pedang Bintang itu dapat menurunkan ilmu-ilmu peninggalan Ki Gering Langit, tokoh persilatan yang pernah mengalahkan datuk-datuk dunia persilatan di empat penjuru angin! Itulah sebabnya semua tokoh persilatan tergiur untuk mencari dan mendapatkan pedang itu.
“Ya!” ulang Kerbau Gila keras, karena melihat pemuda di hadapannya terbengong.
“Hah!” Seta sedikit terkejut. “Luar biasa! Kau meminta Pedang Bintang pada kami? Apa aku tidak salah dengar, Kerbau Gila? Sepanjang yang kuketahui, guruku tidak memiliki Pedang Bintang. Ki Gering Langitlah yang memilikinya. Minta padanya, bukan pada kami.”
“Tidak usah banyak alasan! Kau tinggal pilih. Berikan, atau mampus?!” gertak si Kerbau Gila.
“Tidak!” jawab Seta tegas.
“Kalau begitu, mampuslah!” si Kerbau Gila segera menerjang Seta.
Dalam kemarahannya yang memuncak, laki-laki tinggi besar itu langsung menyerang dengan tongkatnya. Angin menderu-deru hebat mengawali serangannya.
“Menyingkir kalian semua!” perintah Seta pada adik-adik seperguruannya.
Tanpa diperintah dua kali, Satria, Mega dan para murid Perguruan Tangan Sakti lainnya segera menghindar dari situ.
Bagai dikomando, begitu si Kerbau Gila telah menyerang Seta, Tikus Muka Merah dan tokoh-tokoh persilatan lainnyapun meluruk menyerang murid Perguruan Tangan Sakti lainnya.
Tikus Muka Merah segera menerjang Satria, yang paling dekat dengannya. Terpaksa Satria melayaninya. Begitu juga para murid Perguruan Tangan Sakti. Mereka semuapun diserbu puluhan orang yang sejak tadi bergerombol di belakang si Kerbau Gila.
Tentu saja hal ini amat mengejutkan Seta dan adik-adik seperguruannya. Mereka tidak punya pilihan lain lagi kecuali mempertahankan diri. Bahkan kalau mungkin, melawan sekuat tenaga dan balas menyerang.
Para murid Perguruan Tangan Sakti yang masih berada di dalam, segera berbondong-bondong keluar, membantu kakak-kakak seperguruannya. Memang, para murid yang keluar sejak tadi adalah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Mereka terdiri dari tiga orang murid kepala, Seta, Satria dan Mega. Dan tiga belas orang murid yang setingkat di bawah mereka.
Sudah dapat diduga, maka terjadilah pertarungan semrawut di lapangan yang luas itu, antara para murid Perguruan Tangan Sakti melawan para pemburu pedang pusaka milik Ki Gering Langit.
Di antara semua pertarungan itu yang paling dahsyat adalah pertarungan antara Seta melawan si Kerbau Gila. Laki-laki tinggi besar ini adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Terutama ilmu tongkatnya yang bernama “Ilmu Tongkat Angin Badai”. Boleh dibilang, sekali tongkatnya digunakan sudah dapat dipastikan kalau nyawa lawan melayang. Ilmu Tongkat Angin Badai itu memang luar biasa. Dan itu dirasakan Seta secara langsung yang menghadapi si Kerbau Gila.
Sejak awal, si Kerbau Gila itu menyerang lewat sapuan tongkatnya ke arah kaki. Dan hembusan angin dahsyat dirasakan betul oleh Seta. Angin akibat sapuan tongkat itu bisa membuat orang yang kurang kuat tenaga dalamnya akan terlempar. Suara menderu-deru mengiringi serangan tongkat itu. Sehingga kalau saja Seta tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tentu sudah terjengkang sebelum serangan tongkat itu mengenai sasaran.
Akan tetapi, Seta adalah salah satu murid andalan Perguruan Tangan Sakti. Maka saat melihat sambaran tongkat yang menyapu kakinya, sikapnya begitu tenang. Hanya dengan lompatan sederhana, Seta telah membuat sapuan tongkat Kerbau Gila itu menyambar tempat kosong, lewat di bawah kakinya. Dengan cepat, murid andalan Perguruan Tangan Sakti itu segera membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Seperti halnya Seta, Satriapun menghadapi lawan yang amat tangguh, yakni Tikus Muka Merah. Laki-laki kurus ini adalah tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Tak terhitung tokoh golongan putih yang tewas di tangannya. Malah sebagian besar dari mereka tewas, di saat Tikus Muka Merah belum mengeluarkan senjata andalannya berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam mengkilat!
Akan tetapi, lawannya kali ini adalah Satria, salah seorang murid kepala Perguruan Tangan Sakti. Bahkan juga murid kesayangan Ki Wanayasa! Jadi, walaupun Tikus Muka Merah telah berusaha sekuat tenaga untuk merubuhkan Satria, tetap saja tidak mampu melakukannya. Jangankan untuk merubuhkan, mendesakpun tidak mampu. Padahal, segenap kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan. Bahkan pelahan namun pasti, Satria mulai mendesaknya.
Tikus Muka Merah akhirnya sadar kalau Satria terlalu tangguh jika dihadapi dengan tangan kosong. Jelas dia kalah segala-galanya. Baik tenaga, kelincahan, maupun ilmu silat. Kalau hal ini dipaksakan, sudah dapat dipasikan dia akan rubuh di tangan Satria.
Maka pantaslah kalau Ki Wanayasa menamakan perguruan silatnya, Perguruan Tangan Sakti. Memang, ilmu silat tangan kosong perguruan ini luar biasa. Pertahanannya sulit ditembus. Sedangkan penyerangannya begitu dahsyat dan bertubi-tubi laksana gelombang.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi Tikus Muka Merah langsung mengeluarkan senjata andalannya yang berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam mengkilat. Kini dengan senjata andalannya, laki-laki kurus bermuka merah itu berusaha mendesak Satria.
Satria terperanjat ketika merasakan desakan lawan yang menggunakan sepasang tombak pendek itu. Kemampuan Tikus Muka Merah menjadi berlipat ganda! Maka Satria tidak mau mengambil resiko. Cepat-cepat dicabut pedangnya dan langsung dikerahkan ilmu andalannya Ilmu Pedang Pembunuh Naga.
Dengan Ilmu Pedang Pembunuh Naga, memang gerakan-gerakan Satria menjadi luar biasa. Belum lagi ilmu pedang itu sendiri yang memang dahsyat. Tidak heran dalam beberapa gebrakan saja, Tikus Muka Merah mulai terdesak hebat. Dan pada jurus yang kedelapan, sebuah sabetan pedang Satria berhasil membacok leher laki-laki kurus itu.
“Crakkk!”
Tanpa dapat berteriak lagi, tubuh Tikus Muka Merah rubuh ke tanah dengan leher hampir putus. Darah langsung muncrat dari luka sayatan di lehernya. Tokoh sesat itupun tewas seketika, setelah meregang nyawa sesaat.
Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara Seta melawan Kerbau Gila masih berlangsung sengit. Walaupun laki-laki tinggi besar itu telah menggunakan senjata andalannya, dan Seta hanya bertangan kosong, tapi tetap saja Kerbau Gila tidak mampu berbuat banyak.
Jurus Delapan Cara Menaklukkan Harimau yang digunakan Seta terlalu tangguh buat si Kerbau Gila. Pertahanan Seta begitu kokoh, membuat setiap serangan Kerbau Gila kandas di tengah jalan. Sementara serangan balasan dari pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu semakin lama semakin bertambah saja kekuatannya. Sehingga dalam beberapa puluh jurus saja Kerbau Gila sudah terdesak hebat. Sampai akhirnya pada jurus kelima puluh delapan, sebuah totokan ujung kaki kanan Seta dengan keras menghantam lutut kiri laki-laki tinggi besar itu.
“Tukkk!”
Si Kerbau Gila meringis. Totokan ujung kaki Seta yang ditunjang tenaga dalam tinggi itu membuat sambungan tulang lututnya terlepas. Rasa sakit yang hebatpun seketika menyerang lututnya.
Akan tetapi, tidak sedikitpun terdengar keluhan dari mulut Kerbau Gila. Sifat sombong melarangnya bersikap cengeng di hadapan lawan. Dan saat Kerbau Gila sempoyongan, tiba-tiba Seta menyerang dahsyat.
Pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu mengibaskan kaki kirinya sambil berputar. Inilah salah satu gerakan Delapan Cara Menaklukkan Harimau.
“Desss!”
“Aaaakh.!”
Diiringi suara berdebum keras, tubuh si Kerbau Gila itu ambruk ke tanah. Tidak bangun-bangun lagi.
Sementara itu di arena lain, pertarungan antara murid-murid Perguruan Tangan Sakti dengan para pemburu pusaka Ki Gering Langit kian menghebat. Murid-murid tingkat rendahan perguruan itu sudah banyak yang berguguran. Begitu pula dari pihak para pemburu pusaka Ki Gering Langit.
Baru saja Seta hendak terjun lagi dalam kancah pertarungan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak. Sesaat kemudian muncul sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Dua tangannya yang kekar itu langsung diputar-putarkan di depan dada dari luar ke dalam. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Seketika bertiup angin keras yang mampu membuat mereka yang sedang bertarung bagai dilanda angin ribut. Padahal jarak orang bertubuh tinggi besar itu dengan arena pertempuran tak kurang dari lima tombak.
Pertarungan seketika berhenti. Seluruh pasang mata kini tertuju pada manusia tinggi besar yang masih berdiri sambil terkekeh. Tak terkecuali Seta. Murid terpandai Ki Wanayasa ini kaget bukan main melihat peragaan tenaga dalam yang dipertunjukkan manusia tinggi besar itu. Dia sadar kalau orang yang baru datang itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang berada jauh di atasnya.
Terdengar gumaman kaget dari kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit. Rupanya banyak di antara mereka yang mengenal laki-laki tinggi besar itu. Dia adalah Bargola, yang merupakan datuk bagi kaum sesat.
Bagai kucing ditakut-takuti sapu lidi, kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit kontan buyar. Mereka semua saling mendahului melangkah mundur, karena takut menjadi korban Bargola.
Jantung Seta berdebar keras ketika mengetahui manusia tinggi besar ini adalah Bargola. Sungguh di luar dugaan kalau dia saat ini berhadapan dengan tokoh yang belum pernah terkalahkan, kecuali oleh Ki Gering Langit!
Tanpa bertempur lagi, Setapun sudah tahu kalau Bargola tak mungkin dapat dikalahkannya. Bahkan gurunya sendiri yang bernama Ki Wanayasa, belum tentu mampu menandingi Bargola.
Akan tetapi walau demikian Seta merasa bertanggung jawab sebagai wakil penuh dari gurunya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju menghampiri laki-laki tinggi besar itu.
Melihat hal ini Satria dan Mega tidak mau berdiam diri saja. Mereka memang telah mendengar kedahsyatan ilmu Bargola. Merekapun tahu kalau Seta bukanlah tandingan tokoh sesat itu. Namun demikian mereka segera melangkah mengikuti di belakang Seta. Satria dan Mega benar-benar tidak sampai hati jika harus membiarkan kakak seperguruan mereka menentang maut sendirian.
“Merupakan kehormatan besar, seorang tokoh besar sepertimu sudi mengunjungi tempat kami, Bargola”, ucap Seta dengan suara yang terdengar tenang. Tapi ketegangan yang luar biasa masih juga menyelimuti hatinya.
“Siapa kau? Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!” bentak Bargola tanpa memperdulikan ucapan Seta.
“Namaku Seta, murid Ki Wanayasa”, jawab Seta tegas.
“O, jadi kau murid Wanayasa? Bagus. Kalau begitu cepat panggil Wanayasa! Katakan padanya aku meminta Pedang Bintang!” tegas Bargola dengan suara keras.
“Sayang sekali Bargola. Guruku saat ini tidak ingin diganggu. Jadi menyesal sekali kalau aku tidak dapat menyampaikan pesanmu!”.
“He…he…he…. Kau beruntung Anak Muda. Sekarang ini hatiku tengah gembira. Kalau tidak, sudah sejak tadi kau telah jadi mayat! Tapi biarlah. Kalau kau tak mau memanggil Wanayasa, aku sendiri yang akan memanggilnya”.
Setelah berkata demikian, Bargola melangkah tenang menuju pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
“Langkahi dulu mayatku!” teriak Seta tegas. Dengan berani dihadangnya tokoh sesat itu. dan..
“Srattt!”
Cepat sekali Seta mencabut pedangnya. Ia tahu betul kalau lawannya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang sulit diukur. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dicabut senjatanya. Sebab, Bargola tidak bisa disamakan dengan Kerbau Gila! Kepandaian Bargola jauh di atas Kerbau Gila.
“Ha..ha…ha..!” Bargola tertawa terbahak-bahak. “Maju dan seranglah aku, kunyuk! Ingin kulihat sampai di mana kelihaian Ilmu Pedang Pembunuh Naga milik gurumu itu!”.
“Hiyaaaa..!”
Teriak Seta keras. Tubuhnya melesat menerjang Bargola dengan satu tusukan lurus ke arah perut. Cepat sekali serangan yang dilakukan Seta itu.
“Hm..” dengus Bargola.
Dengan gerakan yang seperti malas-malasan, Bargola memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam. Angin keras seketika timbul dari kedua tangan yang berputaran itu. begitu kerasnya angin itu sehingga membuat tubuh Seta tertahan, tak dapat maju. Tubuhnya bagai menembus dinding yang tidak nampak.
Seta menggertakkan giginya. Dikerahkan seluruh tenaganya, mencoba meneruskan serangannya yang kandas sebelum mencapai sasaran. Sekujur tubuhnya terutama tangannya yang terjulur menusukkan pedang bergetar keras. Sementara Bargola tenang-tenang saja sambil memuta-mutarkan kedua tangannya di depan dada.
Sementara Satria dan Mega yang kawatir melihat keadaan kakak seperguruan mereka yang kritis, segera mencabut pedangnya hampir bersamaan.
“Srattt! Srattt!”
Dengan gerakan lincah dan indah, Satria dan Mega segera meloncat ke depan dan bersalto di udara melewati kepala Bargola. Dalam keadaan masih di atas, mereka menukik menyerang bagian atas tubuh Bargola dengan tusukan pedang.
Hebat juga serangan kedua orang murid Perguruan Tangan Sakti itu. semua yang ada di situ dan menyaksikan pertempuran mereka sampai menahan nafas melihat kedahsyatan serangan itu.
Mereka semua merasa tegang menantikan bagaimana caranya datuk kaum sesat itu menghadapi serangan gabungan dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Rupanya menghadapi keadaan yang sulit itu, Bargola hanya mendengus. Putaran tangannya mendadak bertambah cepat dan berakibat dahsyat. Seta yang sejak tadi masih memaksa maju tanpa ampun lagi terlempar ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya menetes darah segar.
Setelah merubuhkan Seta dengan kecepatan mengagumkan, Bargola mengibaskan kedua tangannya ke atas. Hasilnya tusukan pedang Satria dan Mega tersampok tangan telanjang datuk kaum sesat itu.
“Trak! Trak!”
Satria dan Mega merasakan seluruh tubuh mereka bergetar hebat. Terutama sekali tangan yang menggenggam pedang yang bagaikan lumpuh. Tubuh kedua murid Perguruan Tangan Sakti itu berputar di udara, lalu hinggap beberapa depa di belakang Bargola seraya terhuyung-huyung. Wajah keduanya nampak agak pucat karena sampokan tangan Bargola memang dahsyat sekali.
Bargola balikkan tubuhnya menghadap Satria dan Mega. Kedua murid kepala itu merasakan jantungnya berdebar hebat. Datuk kaum sesat itu memang memiliki sorot mata yang menggiriskan.
Dengan menggertakkan gigi, Satria dan Mega berusaha menghilangkan debaran jantung mereka. Kini kedua murid kepala itu bersama-sama mulai memasang jurus pembukaan Ilmu Pedang Pembunuh Naga. Walaupun keduanya sadar kalau ilmu yang diandalkan itu tidak berarti apa-apa bagi Bargola, tapi tetap saja mereka bersiap-siap menyerang kembali.
“Manusia-manusia tak tahu diri!” teriak Bargola dengan suara mengguntur. “Sebenarnya aku tidak berniat bermain-main pada kalian. Tapi karena terlalu kurang ajar, maka aku tidak sungkan-sungkan lagi memberi pelajaran pada kalian!”.
Tentu saja berkelebatnya bayangan-bayangan itu segera diketahui para murid Perguruan Tangan Sakti yang bermarkas di sana. Maka murid-murid itupun segera memberitahukan hal tersebut kepada kakak seperguruan mereka.
Ketika berita itu sampai di telinga tiga orang kakak seperguruan mereka yang bernama Seta, Satria dan Mega, tokoh-tokoh yang berdatangan itu sudah tiba di depan pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti yang cukup luas. Sedangkan para murid Perguruan Tangan Sakti yang bertugas jaga di sana hanya mengawasi dengan sikap waspada.
“Wanayasa, keluar kau! Serahkan Pedang Bintang itu!” teriak salah seorang yang datang itu.
“Benar, serahkanlah pedang itu..!” sambung yang lain.
“Cepat, Wanayasa! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku terpaksa menerobos masuk menggunakan kekerasan!” ancam seorang yang bertubuh tinggi besar, berteriak tak sabar.
Tangannya yang besar dan kekar berotot nampak menggenggam sebatang tongkat yang terbuat dari baja putih.
Tokoh itu berjuluk si Kerbau Gila. Seorang tokoh sesat yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga kuat. Apalagi ilmu tongkatnya juga dahsyat. Entah berapa banyak tokoh golongan putih yang mencegah sepak terjang si Kerbau Gila, tewas di tangannya.
Kemenangan demi kemenangan yang diraihnya membuat si Kerbau Gila ini manjadi sombong dan jumawa. Pikirnya, selain datuk-datuk dunia persilatan, tidak ada lagi tokoh yang bisa menandinginya!
Karena keyakinannya yang besar, si Kerbau Gila segera memisahkan diri dari orang-orang yang bersamanya. Dengan langkah lebar sambil menggenggam tongkat, dihampirinya pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
Tentu saja melihat tindakan si Kerbau Gila itu, tokoh-tokoh persilatan lainnya menjadi khawatir. Sebab mereka takut kalau-kalau keduluan laki-laki tinggi besar itu. Maka, begitu si Kerbau Gila ini menghampiri pintu gerbang, mereka segera berbondong-bondong ikut melangkah maju.
Tapi baru beberapa tindak saja, terdengar suara berderak keras disusul bergeraknya pintu gerbang itu. Si Kerbau Gila beserta para tokoh persilatan yang mengikuti di belakangnya, serentak menghentikan langkah. Mereka semua sama-sama memandang ke arah pintu gerbang itu sambil memasang sikap waspada.
Perlahan-lahan pintu gerbang itu terbuka. Dari balik pintunya, muncul belasan sosok yang kemudian dengan gagahnya melangkah ke luar.
Laki-laki tinggi besar yang berjuluk si Kerbau Gila itu menatap satu persatu belasan wajah yang berdiri beberapa tombak di hadapannya. Ia mencoba menduga-duga, mana di antara mereka yang bernama Ki Wanayasa.
“Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?! Majulah! Dan berikan Pedang Bintang itu padaku!” ucap si Kerbau Gila keras dan kasar.
Belum sempat salah satu dari belasan orang itu menyahut, terdengar suara tawa bergelak. Tak lama kemudian, salah seorang dari belasan orang yang berdiri di belakang si Kerbau Gila melesat maju ke depan.
“Ha..ha…ha...! kau jangan mau menang sendiri, Kerbau Gila! Dikira hanya kau saja yang berniat memiliki Pedang Bintang? Aku dan semua orang yang berada di belakangmupun mempunyai niat yang sama.”
Si Kerbau Gila menoleh ke arah orang yang baru saja bicara lantang yang kini telah berada setengah tombak di samping kanannya. Untuk sesaat dia agak terkejut melihat seseorang yang bertubuh kecil kurus. Wajahnya mirip tikus dan berwarna merah. Rupanya dia adalah si Tikus Muka Merah yang tak mau ketinggalan. Tokoh sesat yang pengaruhnya merajalela di beberapa desa, dan sampai saat ini tak ada yang berani menentangnya!
Hanya untuk sesaat si Kerbau Gila ini agak terkejut, dan kini sudah kembali pada sikapnya semula. Sombong dan memandang rendah orang lain.
“Apa peduliku dengan segala urusanmu, tikus got?” ejek Kerbau Gila bernada kasar.
Wajah si Tikus Muka Merah berubah semakin merah mendengar ejekan kasar itu. Seumur hidupnya, baru kali ini dirinya dihina orang. Kemarahan yang hebat, kini membakar hatinya.
Pada saat dia sangat ditakuti sampai di beberapa desa, tapi kini dihina si Kerbau Gila begitu saja. Memang nama besar si Kerbau Gila telah didengarnya, maka tentu saja hatinya menjadi gentar juga. Walaupun belum dibuktikan kebenarannya.
“Kerbau Gila,” ucap si Tikus Muka Merah mencoba bersikap tenang, sungguhpun nada suaranya tetap terdengar gemetar dan penuh tekanan. “Kalau tidak mengingat urusan yang sangat penting ini, saat ini juga aku sudah turun tangan untuk menghancurkan mulutmu yang telah begitu lancang menghinaku. Tapi biarlah. Kalau tidak sekarang, nantipun jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” sambungnya, berusaha memberanikan diri, karena di hadapan orang banyak.
“Keparat!”
Kerbau Gila berteriak memaki. Ia marah bukan main mendengar ucapan Tikus Muka Merah yang begitu merendahkan dirinya. Hampir-hampir saja diterjang laki-laki kurus berwajah merah itu. Untung saja segera teringat akan tujuannya datang ke Gunung Waru ini. Maka segera diredam amarahnya. Tapi sempat juga dikeluarkan sebuah ancaman yang berbau maut.
“Berhati-hatilah kau, tikus got. Sehabis mengambil Pedang Bintang, aku akan mencarimu ke manapun. Dan.. kukuliti dagingmu!”
Setelah puas mengancam, Kerbau Gila kini mengalihkan perhatiannya kepada belasan orang yang keluar dari pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
“Jawab pertanyaanku sebelum kesabaranku hilang. Siapa di antara kalian yang bernama Wanayasa?!” bentak Kerbau Gila.
“Apa urusanmu mencari guru kami?” tanya Seta, salah seorang dari tiga orang yang berdiri paling depan.
“O, jadi kalian ini murid-murid Wanayasa?” tanya Kerbau Gila lagi, bernada kurang ajar sambil memperhatikan Seta yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis tipis. Kulitnya coklat sawo matang.
Seta hanya mengangguk. Masih dicobanya untuk bersabar, walaupun kemarahannya sejak tadi telah bergolak melihat kekurang ajaran orang yang berdiri di hadapannya ini. baginya kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian.
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!” bentak si Kerbau Gila keras. “Aku hanya mempunyai urusan dengan Wanayasa! Ayo, panggil dia dan cepat menemuiku!”
“Sret! Sret!”
Bagai dikomando, belasan murid Perguruan Tangan Sakti yang berdiri di belakang Seta, bersama-sama menghunus pedangnya. Para murid Perguruan Tangan Sakti itu sudah tidak sanggup lagi menahan amarah melihat sikap si Kerbau Gila yang telah keterlaluan menghina guru mereka.
Bahkan Satria dan Megapun sudah bersiap-siap menyerang. Kalau saja tidak menghormati kakak seperguruan, mungkin sudah sejak tadi mereka menerjang si Kerbau Gila yang keterlaluan itu.
“Tahan.!”
Teriak Seta mencegah tindak lanjut adik-adik seperguruannya. Kemudian dengan sikap masih tenang, dihadapinya si Kerbau Gila.
“Kerbau Gila! Perlu kau ketahui. Bahwa setiap persoalan apapun yang menyangkut guru kami, juga menjadi wewenangku untuk mengurusnya. Apapun bentuk persoalan itu. Apalagi hanya persoalan denganmu, yang sangat sepele ini. Jangankan guruku. Akupun mampu mengatasinya!” ujar Seta tandas.
“Keparat! Kau tidak akan mampu mengurus masalah ini. Panggil Wanayasa. Cepat, sebelum kesabaranku hilang!”
“Sudah kukatakan tadi. Semua urusan yan menyangkut guruku, apapun bentuk urusan itu, telah diserahkan padaku untuk mengurusnya.”
“Baiklah!” si Kerbau Gila itu terpaksa mengalah. “Karena kau telah mengaku wakil Wanayasa, maka cepat serahkan Pedang Bintang itu padaku!” desak Kerbau Gila.
“Pedang Bintang?”
Seta mengerutkan keningnya, dan untuk sesaat lamanya tercenung. Tentu saja berita mengenai pedang itu telah didengarnya. Sebilah pedang yang telah membuat dunia persilatan gempar. Kabarnya Pedang Bintang itu dapat menurunkan ilmu-ilmu peninggalan Ki Gering Langit, tokoh persilatan yang pernah mengalahkan datuk-datuk dunia persilatan di empat penjuru angin! Itulah sebabnya semua tokoh persilatan tergiur untuk mencari dan mendapatkan pedang itu.
“Ya!” ulang Kerbau Gila keras, karena melihat pemuda di hadapannya terbengong.
“Hah!” Seta sedikit terkejut. “Luar biasa! Kau meminta Pedang Bintang pada kami? Apa aku tidak salah dengar, Kerbau Gila? Sepanjang yang kuketahui, guruku tidak memiliki Pedang Bintang. Ki Gering Langitlah yang memilikinya. Minta padanya, bukan pada kami.”
“Tidak usah banyak alasan! Kau tinggal pilih. Berikan, atau mampus?!” gertak si Kerbau Gila.
“Tidak!” jawab Seta tegas.
“Kalau begitu, mampuslah!” si Kerbau Gila segera menerjang Seta.
Dalam kemarahannya yang memuncak, laki-laki tinggi besar itu langsung menyerang dengan tongkatnya. Angin menderu-deru hebat mengawali serangannya.
“Menyingkir kalian semua!” perintah Seta pada adik-adik seperguruannya.
Tanpa diperintah dua kali, Satria, Mega dan para murid Perguruan Tangan Sakti lainnya segera menghindar dari situ.
Bagai dikomando, begitu si Kerbau Gila telah menyerang Seta, Tikus Muka Merah dan tokoh-tokoh persilatan lainnyapun meluruk menyerang murid Perguruan Tangan Sakti lainnya.
Tikus Muka Merah segera menerjang Satria, yang paling dekat dengannya. Terpaksa Satria melayaninya. Begitu juga para murid Perguruan Tangan Sakti. Mereka semuapun diserbu puluhan orang yang sejak tadi bergerombol di belakang si Kerbau Gila.
Tentu saja hal ini amat mengejutkan Seta dan adik-adik seperguruannya. Mereka tidak punya pilihan lain lagi kecuali mempertahankan diri. Bahkan kalau mungkin, melawan sekuat tenaga dan balas menyerang.
Para murid Perguruan Tangan Sakti yang masih berada di dalam, segera berbondong-bondong keluar, membantu kakak-kakak seperguruannya. Memang, para murid yang keluar sejak tadi adalah yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi. Mereka terdiri dari tiga orang murid kepala, Seta, Satria dan Mega. Dan tiga belas orang murid yang setingkat di bawah mereka.
Sudah dapat diduga, maka terjadilah pertarungan semrawut di lapangan yang luas itu, antara para murid Perguruan Tangan Sakti melawan para pemburu pedang pusaka milik Ki Gering Langit.
Di antara semua pertarungan itu yang paling dahsyat adalah pertarungan antara Seta melawan si Kerbau Gila. Laki-laki tinggi besar ini adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Terutama ilmu tongkatnya yang bernama “Ilmu Tongkat Angin Badai”. Boleh dibilang, sekali tongkatnya digunakan sudah dapat dipastikan kalau nyawa lawan melayang. Ilmu Tongkat Angin Badai itu memang luar biasa. Dan itu dirasakan Seta secara langsung yang menghadapi si Kerbau Gila.
Sejak awal, si Kerbau Gila itu menyerang lewat sapuan tongkatnya ke arah kaki. Dan hembusan angin dahsyat dirasakan betul oleh Seta. Angin akibat sapuan tongkat itu bisa membuat orang yang kurang kuat tenaga dalamnya akan terlempar. Suara menderu-deru mengiringi serangan tongkat itu. Sehingga kalau saja Seta tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tentu sudah terjengkang sebelum serangan tongkat itu mengenai sasaran.
Akan tetapi, Seta adalah salah satu murid andalan Perguruan Tangan Sakti. Maka saat melihat sambaran tongkat yang menyapu kakinya, sikapnya begitu tenang. Hanya dengan lompatan sederhana, Seta telah membuat sapuan tongkat Kerbau Gila itu menyambar tempat kosong, lewat di bawah kakinya. Dengan cepat, murid andalan Perguruan Tangan Sakti itu segera membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah dahsyatnya. Sebentar saja keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit.
Seperti halnya Seta, Satriapun menghadapi lawan yang amat tangguh, yakni Tikus Muka Merah. Laki-laki kurus ini adalah tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Tak terhitung tokoh golongan putih yang tewas di tangannya. Malah sebagian besar dari mereka tewas, di saat Tikus Muka Merah belum mengeluarkan senjata andalannya berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam mengkilat!
Akan tetapi, lawannya kali ini adalah Satria, salah seorang murid kepala Perguruan Tangan Sakti. Bahkan juga murid kesayangan Ki Wanayasa! Jadi, walaupun Tikus Muka Merah telah berusaha sekuat tenaga untuk merubuhkan Satria, tetap saja tidak mampu melakukannya. Jangankan untuk merubuhkan, mendesakpun tidak mampu. Padahal, segenap kemampuan yang dimilikinya telah dikerahkan. Bahkan pelahan namun pasti, Satria mulai mendesaknya.
Tikus Muka Merah akhirnya sadar kalau Satria terlalu tangguh jika dihadapi dengan tangan kosong. Jelas dia kalah segala-galanya. Baik tenaga, kelincahan, maupun ilmu silat. Kalau hal ini dipaksakan, sudah dapat dipasikan dia akan rubuh di tangan Satria.
Maka pantaslah kalau Ki Wanayasa menamakan perguruan silatnya, Perguruan Tangan Sakti. Memang, ilmu silat tangan kosong perguruan ini luar biasa. Pertahanannya sulit ditembus. Sedangkan penyerangannya begitu dahsyat dan bertubi-tubi laksana gelombang.
Maka, tanpa ragu-ragu lagi Tikus Muka Merah langsung mengeluarkan senjata andalannya yang berupa sepasang tombak pendek berwarna hitam mengkilat. Kini dengan senjata andalannya, laki-laki kurus bermuka merah itu berusaha mendesak Satria.
Satria terperanjat ketika merasakan desakan lawan yang menggunakan sepasang tombak pendek itu. Kemampuan Tikus Muka Merah menjadi berlipat ganda! Maka Satria tidak mau mengambil resiko. Cepat-cepat dicabut pedangnya dan langsung dikerahkan ilmu andalannya Ilmu Pedang Pembunuh Naga.
Dengan Ilmu Pedang Pembunuh Naga, memang gerakan-gerakan Satria menjadi luar biasa. Belum lagi ilmu pedang itu sendiri yang memang dahsyat. Tidak heran dalam beberapa gebrakan saja, Tikus Muka Merah mulai terdesak hebat. Dan pada jurus yang kedelapan, sebuah sabetan pedang Satria berhasil membacok leher laki-laki kurus itu.
“Crakkk!”
Tanpa dapat berteriak lagi, tubuh Tikus Muka Merah rubuh ke tanah dengan leher hampir putus. Darah langsung muncrat dari luka sayatan di lehernya. Tokoh sesat itupun tewas seketika, setelah meregang nyawa sesaat.
Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara Seta melawan Kerbau Gila masih berlangsung sengit. Walaupun laki-laki tinggi besar itu telah menggunakan senjata andalannya, dan Seta hanya bertangan kosong, tapi tetap saja Kerbau Gila tidak mampu berbuat banyak.
Jurus Delapan Cara Menaklukkan Harimau yang digunakan Seta terlalu tangguh buat si Kerbau Gila. Pertahanan Seta begitu kokoh, membuat setiap serangan Kerbau Gila kandas di tengah jalan. Sementara serangan balasan dari pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu semakin lama semakin bertambah saja kekuatannya. Sehingga dalam beberapa puluh jurus saja Kerbau Gila sudah terdesak hebat. Sampai akhirnya pada jurus kelima puluh delapan, sebuah totokan ujung kaki kanan Seta dengan keras menghantam lutut kiri laki-laki tinggi besar itu.
“Tukkk!”
Si Kerbau Gila meringis. Totokan ujung kaki Seta yang ditunjang tenaga dalam tinggi itu membuat sambungan tulang lututnya terlepas. Rasa sakit yang hebatpun seketika menyerang lututnya.
Akan tetapi, tidak sedikitpun terdengar keluhan dari mulut Kerbau Gila. Sifat sombong melarangnya bersikap cengeng di hadapan lawan. Dan saat Kerbau Gila sempoyongan, tiba-tiba Seta menyerang dahsyat.
Pemuda murid Perguruan Tangan Sakti itu mengibaskan kaki kirinya sambil berputar. Inilah salah satu gerakan Delapan Cara Menaklukkan Harimau.
“Desss!”
“Aaaakh.!”
Diiringi suara berdebum keras, tubuh si Kerbau Gila itu ambruk ke tanah. Tidak bangun-bangun lagi.
Sementara itu di arena lain, pertarungan antara murid-murid Perguruan Tangan Sakti dengan para pemburu pusaka Ki Gering Langit kian menghebat. Murid-murid tingkat rendahan perguruan itu sudah banyak yang berguguran. Begitu pula dari pihak para pemburu pusaka Ki Gering Langit.
Baru saja Seta hendak terjun lagi dalam kancah pertarungan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak. Sesaat kemudian muncul sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Dua tangannya yang kekar itu langsung diputar-putarkan di depan dada dari luar ke dalam. Dan akibatnya sungguh dahsyat. Seketika bertiup angin keras yang mampu membuat mereka yang sedang bertarung bagai dilanda angin ribut. Padahal jarak orang bertubuh tinggi besar itu dengan arena pertempuran tak kurang dari lima tombak.
Pertarungan seketika berhenti. Seluruh pasang mata kini tertuju pada manusia tinggi besar yang masih berdiri sambil terkekeh. Tak terkecuali Seta. Murid terpandai Ki Wanayasa ini kaget bukan main melihat peragaan tenaga dalam yang dipertunjukkan manusia tinggi besar itu. Dia sadar kalau orang yang baru datang itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang berada jauh di atasnya.
Terdengar gumaman kaget dari kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit. Rupanya banyak di antara mereka yang mengenal laki-laki tinggi besar itu. Dia adalah Bargola, yang merupakan datuk bagi kaum sesat.
Bagai kucing ditakut-takuti sapu lidi, kerumunan para pemburu pusaka Ki Gering Langit kontan buyar. Mereka semua saling mendahului melangkah mundur, karena takut menjadi korban Bargola.
Jantung Seta berdebar keras ketika mengetahui manusia tinggi besar ini adalah Bargola. Sungguh di luar dugaan kalau dia saat ini berhadapan dengan tokoh yang belum pernah terkalahkan, kecuali oleh Ki Gering Langit!
Tanpa bertempur lagi, Setapun sudah tahu kalau Bargola tak mungkin dapat dikalahkannya. Bahkan gurunya sendiri yang bernama Ki Wanayasa, belum tentu mampu menandingi Bargola.
Akan tetapi walau demikian Seta merasa bertanggung jawab sebagai wakil penuh dari gurunya. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju menghampiri laki-laki tinggi besar itu.
Melihat hal ini Satria dan Mega tidak mau berdiam diri saja. Mereka memang telah mendengar kedahsyatan ilmu Bargola. Merekapun tahu kalau Seta bukanlah tandingan tokoh sesat itu. Namun demikian mereka segera melangkah mengikuti di belakang Seta. Satria dan Mega benar-benar tidak sampai hati jika harus membiarkan kakak seperguruan mereka menentang maut sendirian.
“Merupakan kehormatan besar, seorang tokoh besar sepertimu sudi mengunjungi tempat kami, Bargola”, ucap Seta dengan suara yang terdengar tenang. Tapi ketegangan yang luar biasa masih juga menyelimuti hatinya.
“Siapa kau? Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!” bentak Bargola tanpa memperdulikan ucapan Seta.
“Namaku Seta, murid Ki Wanayasa”, jawab Seta tegas.
“O, jadi kau murid Wanayasa? Bagus. Kalau begitu cepat panggil Wanayasa! Katakan padanya aku meminta Pedang Bintang!” tegas Bargola dengan suara keras.
“Sayang sekali Bargola. Guruku saat ini tidak ingin diganggu. Jadi menyesal sekali kalau aku tidak dapat menyampaikan pesanmu!”.
“He…he…he…. Kau beruntung Anak Muda. Sekarang ini hatiku tengah gembira. Kalau tidak, sudah sejak tadi kau telah jadi mayat! Tapi biarlah. Kalau kau tak mau memanggil Wanayasa, aku sendiri yang akan memanggilnya”.
Setelah berkata demikian, Bargola melangkah tenang menuju pintu gerbang Perguruan Tangan Sakti.
“Langkahi dulu mayatku!” teriak Seta tegas. Dengan berani dihadangnya tokoh sesat itu. dan..
“Srattt!”
Cepat sekali Seta mencabut pedangnya. Ia tahu betul kalau lawannya kali ini memiliki tingkat kepandaian yang sulit diukur. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera dicabut senjatanya. Sebab, Bargola tidak bisa disamakan dengan Kerbau Gila! Kepandaian Bargola jauh di atas Kerbau Gila.
“Ha..ha…ha..!” Bargola tertawa terbahak-bahak. “Maju dan seranglah aku, kunyuk! Ingin kulihat sampai di mana kelihaian Ilmu Pedang Pembunuh Naga milik gurumu itu!”.
“Hiyaaaa..!”
Teriak Seta keras. Tubuhnya melesat menerjang Bargola dengan satu tusukan lurus ke arah perut. Cepat sekali serangan yang dilakukan Seta itu.
“Hm..” dengus Bargola.
Dengan gerakan yang seperti malas-malasan, Bargola memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam. Angin keras seketika timbul dari kedua tangan yang berputaran itu. begitu kerasnya angin itu sehingga membuat tubuh Seta tertahan, tak dapat maju. Tubuhnya bagai menembus dinding yang tidak nampak.
Seta menggertakkan giginya. Dikerahkan seluruh tenaganya, mencoba meneruskan serangannya yang kandas sebelum mencapai sasaran. Sekujur tubuhnya terutama tangannya yang terjulur menusukkan pedang bergetar keras. Sementara Bargola tenang-tenang saja sambil memuta-mutarkan kedua tangannya di depan dada.
Sementara Satria dan Mega yang kawatir melihat keadaan kakak seperguruan mereka yang kritis, segera mencabut pedangnya hampir bersamaan.
“Srattt! Srattt!”
Dengan gerakan lincah dan indah, Satria dan Mega segera meloncat ke depan dan bersalto di udara melewati kepala Bargola. Dalam keadaan masih di atas, mereka menukik menyerang bagian atas tubuh Bargola dengan tusukan pedang.
Hebat juga serangan kedua orang murid Perguruan Tangan Sakti itu. semua yang ada di situ dan menyaksikan pertempuran mereka sampai menahan nafas melihat kedahsyatan serangan itu.
Mereka semua merasa tegang menantikan bagaimana caranya datuk kaum sesat itu menghadapi serangan gabungan dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
Rupanya menghadapi keadaan yang sulit itu, Bargola hanya mendengus. Putaran tangannya mendadak bertambah cepat dan berakibat dahsyat. Seta yang sejak tadi masih memaksa maju tanpa ampun lagi terlempar ke belakang. Tampak dari sudut bibirnya menetes darah segar.
Setelah merubuhkan Seta dengan kecepatan mengagumkan, Bargola mengibaskan kedua tangannya ke atas. Hasilnya tusukan pedang Satria dan Mega tersampok tangan telanjang datuk kaum sesat itu.
“Trak! Trak!”
Satria dan Mega merasakan seluruh tubuh mereka bergetar hebat. Terutama sekali tangan yang menggenggam pedang yang bagaikan lumpuh. Tubuh kedua murid Perguruan Tangan Sakti itu berputar di udara, lalu hinggap beberapa depa di belakang Bargola seraya terhuyung-huyung. Wajah keduanya nampak agak pucat karena sampokan tangan Bargola memang dahsyat sekali.
Bargola balikkan tubuhnya menghadap Satria dan Mega. Kedua murid kepala itu merasakan jantungnya berdebar hebat. Datuk kaum sesat itu memang memiliki sorot mata yang menggiriskan.
Dengan menggertakkan gigi, Satria dan Mega berusaha menghilangkan debaran jantung mereka. Kini kedua murid kepala itu bersama-sama mulai memasang jurus pembukaan Ilmu Pedang Pembunuh Naga. Walaupun keduanya sadar kalau ilmu yang diandalkan itu tidak berarti apa-apa bagi Bargola, tapi tetap saja mereka bersiap-siap menyerang kembali.
“Manusia-manusia tak tahu diri!” teriak Bargola dengan suara mengguntur. “Sebenarnya aku tidak berniat bermain-main pada kalian. Tapi karena terlalu kurang ajar, maka aku tidak sungkan-sungkan lagi memberi pelajaran pada kalian!”.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment