HARI ITU telah lewat tengah hari. Matahari condong ke barat dengan memancarkan sinar teriknya, ditengah-tengah lembah hutan yang lebat agaknya Sungai Ogan dan Sungai Komering nampak ada gerombolan manusia yang duduk bercakap-cakap dengan asyiknya. Pohon-pohon yang tumbuh liar dan lebat dapat dijadikan tempat persembunyian yang aman.
Diantara pohon-pohon yang rindang dan tumbuh liar terdapat sebuah pohon raksasa yang telah berabad-abad usianya. Daunnya menyerupai pohon beringin demikian pula batang dan ranting-rantingnya. Tapi akar-akarnya yang panjang bagaikan tali tambang tumbuh lebat dibatang dan cabang-cabangnya yang besar, bergantungan dimana-mana tak teratur. Akar pokoknya yang dibawah amat besar dan kokoh, menonjol keluar dan menjulur kesemua penjuru.
Besar pohonnya kira-kira lebih dari pelukan lima orang bergandeng. Demikian besarnya dan rindangnya pohon itu hingga dapat melindungi seratus oranq lebih dari panas terik matahari dan hujan. Sesungguhnya lembah hutan belantara itu tak seberapa jauh letaknya dari kota RaJja Sriwiijaya. Ia berada disebelah selatan dan dapat ditempuh dengan jalan kaki sehari penuh hingga sampai di Kotaraja. Akan tetapi karena lembah hutan itu amat lebatnya dan banyak rawa rawa serta binatang buas, maa tak seorangpun sudi memasuki hutan belukar itu.
Dan baru pertama kali inilah tempat yang tak pernah dikunjungi manusia, menjadi tempat pertemuan para Tamtama dan Priyaguna Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung yang dipimpin Yoga Kumala. Mungkin bagi mereka dipandang sebagai tempat yang paling aman untuk merundingkan rahasia yang amat penting berkenaan dengan siasat perangnya. Ternyata memang benar demikian.
Kini tempat itu telah menjadi kota dan dinamakan kota Kayu Agung sebagai kenang-kenangan pada pohon raksasa yang pernah berdiri megah dan bersejarah dimasa-masa yang telah silam.
Yoga Kumala didampingi Talang Pati dan Dirham duduk bersandar pada pohon raksasa. Sedangkan Damar Kerinci duduk dekat dihadapannya. Dibelakang tamtama Damar Kerinci dan sekitarnya nampak para tamtama utusan-utusan dari pasukan yang kini telah mengepung Kota Raja Sriwijaja dari segenap penjuru dalam Susunan perang "Sandhi Yudha".
Dalam pasewakan paripurna ditengah hutan belantara ini telah ditentukan waktu dan harinya untuk mengadakan serangan serentak yang langsung ditujukan pada Kota Raja jantung kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dan isyarat-isyarat sebagai perintah pucuk pimpinan dari Manggala Yudha Yoga Kumala telah pula ditetapkan.
Senapati Damar Kerinci berkenan untuk sementara waktu memimpin pasukan penyerbuan, sedangkan Yoga Kumala akan membebaskan seluruh tawanan dan menumpas gerombolan bajak laut yang dipimpin Kobar.
Pasewakan yang dihadiri para utusan pasukan yang terdiri dari 100 orang priyagung tamtama kerajaan mulai berkobar dimana-mana induk pasukan tak mengherankan karena kebanyakan praja Kerajaan yang memegang kekuasaan pada umumnya bertindak semena-mena terhadap rakyatnya. Para bajak laut, perampok-perampok dan orang2 jahat dibina oleh para priyagung yang mempunyai wewenang, untuk dijadikan perisai dan alat untuk memeras rakyat.
Ajaran-ajaran agama telah dikesampingkan, dan hanya nafsu angkara murkalah yang selalu diketengahkan. Mereka tak mengenal lagi Tuhan Penciptanya. Demikian jauhnya mereka tersesat. Pendeta-pendeta yang mengajar kebajikan serta membela rakyat tertindas, diusirnya dan bahkan banyak diantaranya yang dibunuh dengan kejam.
Kuil-kuil dan candi-candi tempat sembahyang tidak lagi mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Rakyat miskin dan hidup dalam ketakutan. Kepercayaan pada kerajaan telah lenyap. Dengan demikian keagungan Kerajaan Sriwijaya menjadi pudar. Kedatangan pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Rujung disambut rakyat bagaikan mendapat pelita dalam kegelapan.
Kaum pria yang masih memiliki keberanian segera menggabungkan diri dengan kerelaan turut serta dalam menumpas penguasa-penguasa yang menyeleweng dan tersesat jauh. Sedangkan kaum wanita membantu dibelakang barisan dengan mengumpulkan perbekalan pangan dan sebagainya.
Dan mereka yang takut akan peperangan telah mulai mengungsi berbondong-bondong menjauhi Kota Raja. Kiranya bukan hanya rakyat jelata saja yang mengungsi tetapi sebagian besar dari para priyagung yang mencintai harta bendanya telah pula sibuk mengungsi dengan membawa hasil perasaan rakyat yang berlimpah-limpah. Mereka ingin hidup terus untuk dapat menikmati harta kekayaan yang diperolehnya dengan tak wajar. Yaaaa, mereka telah lupa bahwa mati dan hidup manusia berada dalam Kekuasaan Tuhan.
Desa demi desa dan kota demi kota direbut dan beralih dalam tangan kekuasaan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Rujung. Dengan menyusuri Sungai Komering sebagai nelayan, akhirnya Yoga Kumala didampingi Talang Pati dan Dirham dapat pula memasuki Bandar Muara Musi.
Sementara itu pasukan-pasukan kecil telah berada pula di Tanjung Kalimantan dan sebagian lagi telah tiba disebelah selatan Muara Sungai Musi ialah didekat Muara Sungai Sabal.
Siang telah berlalu dan hari mulai gelap Dewi malam mulai nampak di ketinggian dengan pancaran sinarnya menerangi remang remang mayapada, bagaikan Ratu Ayu yang duduk di Singgasana. Langit biru membentang cerah dan bintang-bintang gemerlapan di angkasa, laksana batu permata bertaburan.
Muara Sungai Musi yang amat lebar mengalir dengan tenang. Namun jelas nampak adanya suatu kesibukan lain dari biasanya diatas permukaan air yang setenang itu. Berpuluh puluh perahu layar besar berlabuh di Bandar Muara sungai Musi. Bendera lambang kebesaran Kerajaan Sriwijaja dan panji-panji berkibar di atas perahu yang berlabuh. Satu diantaranya terdapat sebuah perahu layar yang cukup besar, dan berlabuh ditengah-tengah dengan dihiasi lampu lampu dan pintu kain sutra beraneka warna. Dari gladag sampai dimenara nampak terang benderang karena banyaknya Iampu yang bergantian.
Para priyagung dan tamtama Kerajaan berpakaian kebesaran kelihatan hilir mudik di gladak perahu itu dalam suasana kesibukan. Kemudian terdengar sayup-sayup bunyi gamelan yang bertalu-talu dari atas geladak.
Seorang priyagung dalam pakaian kebesarannya sebagai Senapati Manggala muda tamtama Kerajaan Sriwidiaja tiba tiba muncul diatas geladak. Ia berdiri sempoyongan sambil ketawa riang terbahak-bahak dalam keadaan setengah mabok karena kebanyakan minuman keras. Ia adalah pengkhianat Kobar yang sedang pesta pora hendak melangsungkan perkawinannya dengan Indah Kumala Wardhani diatas geladak perahu layar itu. Sepuluh pengawal pribadinya dalam pakaian tamtama Kerajaan mengikuti di belakangnya. Menyusul kini para priyagung yang kebanyakan terdiri para pemimpin bajak laut, hingga hampir memenuhi ruang diatas geladak.
Diantara pohon-pohon yang rindang dan tumbuh liar terdapat sebuah pohon raksasa yang telah berabad-abad usianya. Daunnya menyerupai pohon beringin demikian pula batang dan ranting-rantingnya. Tapi akar-akarnya yang panjang bagaikan tali tambang tumbuh lebat dibatang dan cabang-cabangnya yang besar, bergantungan dimana-mana tak teratur. Akar pokoknya yang dibawah amat besar dan kokoh, menonjol keluar dan menjulur kesemua penjuru.
Besar pohonnya kira-kira lebih dari pelukan lima orang bergandeng. Demikian besarnya dan rindangnya pohon itu hingga dapat melindungi seratus oranq lebih dari panas terik matahari dan hujan. Sesungguhnya lembah hutan belantara itu tak seberapa jauh letaknya dari kota RaJja Sriwiijaya. Ia berada disebelah selatan dan dapat ditempuh dengan jalan kaki sehari penuh hingga sampai di Kotaraja. Akan tetapi karena lembah hutan itu amat lebatnya dan banyak rawa rawa serta binatang buas, maa tak seorangpun sudi memasuki hutan belukar itu.
Dan baru pertama kali inilah tempat yang tak pernah dikunjungi manusia, menjadi tempat pertemuan para Tamtama dan Priyaguna Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung yang dipimpin Yoga Kumala. Mungkin bagi mereka dipandang sebagai tempat yang paling aman untuk merundingkan rahasia yang amat penting berkenaan dengan siasat perangnya. Ternyata memang benar demikian.
Kini tempat itu telah menjadi kota dan dinamakan kota Kayu Agung sebagai kenang-kenangan pada pohon raksasa yang pernah berdiri megah dan bersejarah dimasa-masa yang telah silam.
Yoga Kumala didampingi Talang Pati dan Dirham duduk bersandar pada pohon raksasa. Sedangkan Damar Kerinci duduk dekat dihadapannya. Dibelakang tamtama Damar Kerinci dan sekitarnya nampak para tamtama utusan-utusan dari pasukan yang kini telah mengepung Kota Raja Sriwijaja dari segenap penjuru dalam Susunan perang "Sandhi Yudha".
Dalam pasewakan paripurna ditengah hutan belantara ini telah ditentukan waktu dan harinya untuk mengadakan serangan serentak yang langsung ditujukan pada Kota Raja jantung kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dan isyarat-isyarat sebagai perintah pucuk pimpinan dari Manggala Yudha Yoga Kumala telah pula ditetapkan.
Senapati Damar Kerinci berkenan untuk sementara waktu memimpin pasukan penyerbuan, sedangkan Yoga Kumala akan membebaskan seluruh tawanan dan menumpas gerombolan bajak laut yang dipimpin Kobar.
Pasewakan yang dihadiri para utusan pasukan yang terdiri dari 100 orang priyagung tamtama kerajaan mulai berkobar dimana-mana induk pasukan tak mengherankan karena kebanyakan praja Kerajaan yang memegang kekuasaan pada umumnya bertindak semena-mena terhadap rakyatnya. Para bajak laut, perampok-perampok dan orang2 jahat dibina oleh para priyagung yang mempunyai wewenang, untuk dijadikan perisai dan alat untuk memeras rakyat.
Ajaran-ajaran agama telah dikesampingkan, dan hanya nafsu angkara murkalah yang selalu diketengahkan. Mereka tak mengenal lagi Tuhan Penciptanya. Demikian jauhnya mereka tersesat. Pendeta-pendeta yang mengajar kebajikan serta membela rakyat tertindas, diusirnya dan bahkan banyak diantaranya yang dibunuh dengan kejam.
Kuil-kuil dan candi-candi tempat sembahyang tidak lagi mendapat perawatan sebagaimana mestinya. Rakyat miskin dan hidup dalam ketakutan. Kepercayaan pada kerajaan telah lenyap. Dengan demikian keagungan Kerajaan Sriwijaya menjadi pudar. Kedatangan pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Rujung disambut rakyat bagaikan mendapat pelita dalam kegelapan.
Kaum pria yang masih memiliki keberanian segera menggabungkan diri dengan kerelaan turut serta dalam menumpas penguasa-penguasa yang menyeleweng dan tersesat jauh. Sedangkan kaum wanita membantu dibelakang barisan dengan mengumpulkan perbekalan pangan dan sebagainya.
Dan mereka yang takut akan peperangan telah mulai mengungsi berbondong-bondong menjauhi Kota Raja. Kiranya bukan hanya rakyat jelata saja yang mengungsi tetapi sebagian besar dari para priyagung yang mencintai harta bendanya telah pula sibuk mengungsi dengan membawa hasil perasaan rakyat yang berlimpah-limpah. Mereka ingin hidup terus untuk dapat menikmati harta kekayaan yang diperolehnya dengan tak wajar. Yaaaa, mereka telah lupa bahwa mati dan hidup manusia berada dalam Kekuasaan Tuhan.
Desa demi desa dan kota demi kota direbut dan beralih dalam tangan kekuasaan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Rujung. Dengan menyusuri Sungai Komering sebagai nelayan, akhirnya Yoga Kumala didampingi Talang Pati dan Dirham dapat pula memasuki Bandar Muara Musi.
Sementara itu pasukan-pasukan kecil telah berada pula di Tanjung Kalimantan dan sebagian lagi telah tiba disebelah selatan Muara Sungai Musi ialah didekat Muara Sungai Sabal.
Siang telah berlalu dan hari mulai gelap Dewi malam mulai nampak di ketinggian dengan pancaran sinarnya menerangi remang remang mayapada, bagaikan Ratu Ayu yang duduk di Singgasana. Langit biru membentang cerah dan bintang-bintang gemerlapan di angkasa, laksana batu permata bertaburan.
Muara Sungai Musi yang amat lebar mengalir dengan tenang. Namun jelas nampak adanya suatu kesibukan lain dari biasanya diatas permukaan air yang setenang itu. Berpuluh puluh perahu layar besar berlabuh di Bandar Muara sungai Musi. Bendera lambang kebesaran Kerajaan Sriwijaja dan panji-panji berkibar di atas perahu yang berlabuh. Satu diantaranya terdapat sebuah perahu layar yang cukup besar, dan berlabuh ditengah-tengah dengan dihiasi lampu lampu dan pintu kain sutra beraneka warna. Dari gladag sampai dimenara nampak terang benderang karena banyaknya Iampu yang bergantian.
Para priyagung dan tamtama Kerajaan berpakaian kebesaran kelihatan hilir mudik di gladak perahu itu dalam suasana kesibukan. Kemudian terdengar sayup-sayup bunyi gamelan yang bertalu-talu dari atas geladak.
Seorang priyagung dalam pakaian kebesarannya sebagai Senapati Manggala muda tamtama Kerajaan Sriwidiaja tiba tiba muncul diatas geladak. Ia berdiri sempoyongan sambil ketawa riang terbahak-bahak dalam keadaan setengah mabok karena kebanyakan minuman keras. Ia adalah pengkhianat Kobar yang sedang pesta pora hendak melangsungkan perkawinannya dengan Indah Kumala Wardhani diatas geladak perahu layar itu. Sepuluh pengawal pribadinya dalam pakaian tamtama Kerajaan mengikuti di belakangnya. Menyusul kini para priyagung yang kebanyakan terdiri para pemimpin bajak laut, hingga hampir memenuhi ruang diatas geladak.
“Hai, Berhala dan Kelingi!! Bawa segera sesaat untuk upacara perkawinanku kemari. Hahaha…!!”. Suara perintah Kobar terdengar lantang diiringi tawanya yang terbahak-bahak.
Dua orang yang diperintah segera turun ke bawah dan tak lama kemudian kembali diatas geladak dengan membawa 3 orang tawanan yang masing-masing diikat kedua tangannya ke belakang erat-erat. 2 orang pria dan seorang wanita. Dua orang pria itu Sontani dan Braja Semandang, sedangkan wanita yang rambutnya terurai dan duduk tertunduk adalah Ktut Chandra. Ketiganya berpakaian serba hitam dan duduk berpegang pada dinding perahu.
Sesaat suasana menjadi sunyi, perhatian para hadiriin terpusat pada ketiga tawanan yang duduk tertunduk tak bergerak. Beberapa hadirin ada yang berbisik-bisik sambil sebentar-sebentar berpaling kearah Ktut Chandra. Ada yang merasa kasihan menyaksikan putri pulau Dewata itu. Tetapi banyak pula yang hanya merasakan sayang, karena tertarik akan cantiknya, dan bukan karena perasaan perikemanusiaan.
Tak seorang berani buka mulut menyatakan perasaannya. Semua hadirin membisu. Mereka tahu bahwa Kobar memegang kekuasaan yang tinggi dan apapun yang dikehendaki tak akan ada yang dapat merintanginya. Suasana sepi itu hanya berlangsung sejenak. Karena tiba2 Kobar bicara lantang memecah kesunyian.
“Hadirin dan segenap priyagung tamtama Kerajaan yang berada dibawah perintahku! Kini upacara perkawinanku akan segera dimulai. Sebagai upacara pembukaan aku akan sesaji pada dewa-dewa yang bersemayam di Sungai Musi lambang kebesaran kita ini dan Dewa2 di lautan. Sesajiku berupa darah manusia yang segar. Darah kedua pria yang akan kupenggal lehernya nanti adalah untuk Dewa Sungai Musi, sedangkan darah gadis remaja adalah sesajiku untuk Dewa2 Lautan.
Kali ini aku akan sesaji besar dan lain dari pada biasanya demi untuk syahnya perkawinanku dan demi untuk kemenangankul Aku berjanji pula pada segenap priyagung tamtama yang berada dibawah perintahku, bahwa kelak akan kuberi hadiah-hadiah dan pangkat yang setimpal dengan jasa saudara-saudara. Ketahuilah bahwa cita-citaku tentu akan tercapai. Tak lama lagi aku akan duduk disinggasana Kerajaan Sriwijaya, karena saudara-saudara telah mengetahui sendiri, bahwa si Baginda kini telah lolos meninggalkan Kerajaan. Kiraku dengan kekuatan yang ada sekarang, aku sangat mudah menumpas Sanggahan Alam beserta pasukannya.
Ini semua akan segera ku lakukan setelah pesta perkawinanku selesai! Nah… saudara-saudara hadirin semua! Jika ada usul ataupun pertanyaan hendaklah segera diajukan sebelum aku memulai dengan sesaji!”. Suaranya parau tetapi berkumandang penuh wibawa. Kata demi kata dapat jelas ditangkap para priyagung yang hadir.
Kiranya Kobar telah memusatkan tenaga shaktinya untuk memumalkan rasa maboknya. Seakan-akan ia percaya penuh pada kemampuannya sendiri. Suatu khayalan yang baying-bayang, bahwa ia sebentar lagi akan menjadi raja telah nampak didepannya. Maksud siasat pengkhianatan yang kedua kalinya ini tentu akan berhasil pula pikirnya. Ia menyapu dengan pandangan mata yang tajam ke arah semua.
Dan segenap priyagung yang kebanyakan terdiri dari para pimpinan bajak laut dan perampok itu menanggapi maksud pengkhianatan Kobar dengan sangat gembira. Telah lama mereka menunggu-nunggu ketegasan Kobar. Mereka saling berebut menunjukkan kesetiaannya, demi kepentingan masing-masing.
Dan nafsu angkara murka melonjak-lonjak. Mereka ingin cepat-cepat dapat menikmati kekuasaan yang lebih dari pada sekarang dengan harta kekayaan yang berlimpah-limpah, sekalipun harus menginjak2 kerangka rakyatnya sendiri. Kini mereka berunding untuk mengajukan usul masing-masing. Suaranya beriring memenuhi geladak perahu layar yang besar itu bagaikan lebah dalam sarang.
Kelingipun nampak mondar-mandir dan turut serta berunding dengan para priyagung yang berkelompok2. Sejenak kemudian, tiba2 Kelingi menghadap Kobar dan bicara dengan semangat me-nyala2.
“Gustiku Kobar! saya mewakili segenap para priyagung untuk menyampaikan suatu usul”.
“Bagus ! Bagus! Bicaralah segera!”. Sahut Kobar sambil tertawa lebar.
“Gustiku Kobar tentunya telah mengetahui tentang kesetiaan kita semua. Dan kemampuan serta jasa-jasa kita semua selama mengabdi pada Gustiku Kobar tentunya telah diketahui pula. Dan kiranya gustiku tentu takkan ragu lagi pada kita. Untuk apa Gustiku Kobar menunda pemberian pangkat pada kita? Bukankah Gustiku Kobar sekarang telah pula menentukan dan mengangkatnya sebagai calon dengan disaksikan kita semua yang hadir?. Dengan demikian kita akan lebih bersemangat dalam mengemban tugas masing2”.
Sesaat Kelingi berhenti bicara, sambil berpaling ke arah hadirin, menunggu suara dukungan dari teman2nya. Namun semua diam dan hanya saling bisik2 lirih, menunggu jawaban keputusan Kobar. Tiba2 Kobar ketawa ter-bahak2 sambil bicara lantang.
“HaHaHa… usul yang bagus ! Aku dapat menangkap isi hati kalian, Baiklah ! Hari ini juga aku akan membentuk Kerajaan bayangan, dan aku sendirilah Maharajanya. Susunan tatapraja. Kerajaan bayangan ini akan kutentukan sekarang juga, agar kalian tiada ragu2 lagi dan kelak setelah menjadi kenyataan, kalian tinggal menduduki pangkat dan jabatan sesuai dengan ketentuan yang telah saya tempatkan sekarang!”.
Tepuk tangan terdengar riuh gegap gempita menyambut ketegasan Kobar. Dan memang itulah yang telah lama dinanti2. Semua puas diliputi rasa gembira.
“Diam! Dan dengarlah keputusan saya baik2!!”.
Mendengar seruan Kobar yang berwibawa itu, suasana kini menjadi sepi. Tak seorangpun berani buka mulutnya. Dengan hati berdebar2 mereka menanti keputusan pemberian pangkat bayangan.
Dalam hati Sontani, Brojo Semandang dan Ktut Chandra yang duduk dilantai geladak, ketawa geli demi mendengar percakapan mereka. Akan tetapi ketiganya tetap duduk tertunduk dengan tenang, mereka tak berdaya, kedua belah tangan dibelenggu kebelakang erat2.
Sampai saat akan menghadapi hukuman maut, mereka tak menunjukan rasa takutnya. Mereka telah menyerah pada Dewata Yang Maha Agung, Maha Kuasa serta Maha sayang dan asih. Rasa cemas telah hilang lenyap dan sedikitpun mereka tak mengeluh. Mereka percaya penuh, bahwa apapun yang akan terjadi adalah kehendak Dewata Yang Maha Agung.
“Berhala ! Bawa calon permaisuriku ke atas geladak, agar ia turut serta menyaksikan segala keputusanku ini”. Perintah Kobar kemudian.
Sejenak kemudian semua priyagung yang berada di geladak perahu bergeser, untuk memberi jalan pada seorang wanita yang berkerudung putih dan dikawal oleh Berhala. Semua hadirin segera membungkukkan badannya sebagai penghormatan atas hadirnya calon permaisuri.
Namun puteri berkerudung putih itu sedikitpun tak menghiraukan akan penghormatan yang diberikan. Ia tetap berjalan tenang dengan langkahnya yang kecil2 matanya memandang tajam kedepan dengan pancaran sinar penuh wibawa. la adalah Indah Kumala Wardhani, semua yang hadir diam terpaku tak bergerak.
Dengan tangan yang masih terbelenggu serta duduk bersila Sontani berpaling sesaat ke arah Indah Kumala Wardhani dan kemudian tertunduk kembali. la tahu bahwa saat ini sang maut telah berada diubun2nya; DETAK jantung yang berdebar2 ditekannya sendiri untuk kembali tenang; Tak sudi ia mengeluh. Dan tak sudi pula ia merengek-rengek minta belas kasihan Kobar agar jiwanya dilindungi.
Dan demikian pula perasaan Braja Semandang dan Khut Chandra. Mati ditangan musuh, sebagai tamtama adalah hal yang wajar. Akan tetapi, demi menyaksikan hadirnya Indah Kumala Wardhani yang sebentar lagi akan menyerah menjadi istrinya Kobar, mereka tak rela. Rasa hatinya akan membrontak, akan tetapi apa daya! Mereka telah dibelenggu erat2 hingga tak mungkin dapat melepaskannya.
Benarkah Indah Kumala Wardhani akan menyerah sedemikian saja ? Jika tidak, mengapa lndah Kumala Wardhani sudi datang memenuhi panggilan Kobar? Bukankah ia dapat berbuat sesuatu untuk menentangnya ? Melawan ataupun bunuh diri? Akan tetapi kesempatan untuk melayangkan angan-angan itu tiba-tiba berhenti seketika. Indah Kumala Wardhani yang kini berada kira-kira tiga langkah lagi dari Kobar, tiba-tiba berdiri tegak serta membuka dengan renggutan pada krudungnya sendiri.
“Bangsat pengkhianat Kobar! terimalah hadiahku ini!”. serunya.
Bersamaan dengan lenyapnya seruan Indah Kumala Wardhani, sebuah tusuk konde melesat bagaikan kilat mengarah dada Kobar. Serangan lemparan tusuk konde yang tidak diduga sebelumnya membuat Kobar terkesiap sesaat. Ia melompat tinggi kesamping menghindari senjata rahasia yang aneh itu, sambil berseru mengejek dan menghunus pedangnya.
“Hahaha…! tak kusangka bahwa calon istriku dapat pula bermain dengan tusuk konde!!!”
Namun walaupun ia terhindar dari bahaya maut akan tetapi bulu tengkuknya berdiri juga. Karena ternyata lengan kirinya masih dapat tergores dengan mengeluarkan darah segar. Kiranya serangan yang dilancarkan Indah Kumala Wardhani tidak berhenti hanya sekian saja, sebagai cucu Ajengan Cahaya Buana yang sejak kecil mendapat warisan ilmu kanuragan dan membenci sifat-sifat kejahatan, ia menjadi lebih marah setelah mengetahui serangannya gagal.
la maju selangkah sambil melepaskan angkin sutra dari pinggangnya, dan bersamaan dengan berkelebatnya angkin sutra merah ditangan kanannya, dua buah tusuk konde dilemparkan beruntun mengarah kepala dan dada Kobar.
“Sambutlah senjata pamungkasku”. serunya!
Saat itu Kobar belum berdiri tegak, dan kiranya tak mungkin melompat menghindar. Pedang pusaka ditangan kanan Kobar berputar cepat sambil merendah, menghindari melesatnya tusuk konde emas yang mengarah kepala bagaikan sambaran kilat :
“Criiiing!”
Sebuah tusuk konde terkena sambaran pedang pusaka Kobar hingga terpental dan jatuh tertancap diatas geladak tepat dihadapan Sontani yang sedang duduk tak berkutik. Akan tetapi, tiba-tiba hadirin yang diam terpaku melihat ketangkasan Kobar, kini menjadi gaduh. Karena bersamaan dengan terpentalnya sebuah tusuk konde, Kobar tiba2 beseru tertahan sambil terhuyung huyung kebelakang tiga langkah dengan mendekap mata sebelah kirinya.
“Aduh…!”
Kiranya ia kurang waspada dan sebuah tusuk konde lagi mengarah dadanya kini tepat mengenai mata sebelah kiri, secara kebetulan karena pada saat itu ia merendah. Lebih sejari tusuk konde itu menghujam di mata kirinya dan darah mengalir deras.
“Jahanam iblis betina! Saksikan dulu sesajiku”. Seru Kobar sambil membalikkan badannya serta mengayunkan pedang pusakanya dalam gaya “tebangan maut” mengarah leher Sontani yang sedang duduk terbelenggu.
Dua orang yang diperintah segera turun ke bawah dan tak lama kemudian kembali diatas geladak dengan membawa 3 orang tawanan yang masing-masing diikat kedua tangannya ke belakang erat-erat. 2 orang pria dan seorang wanita. Dua orang pria itu Sontani dan Braja Semandang, sedangkan wanita yang rambutnya terurai dan duduk tertunduk adalah Ktut Chandra. Ketiganya berpakaian serba hitam dan duduk berpegang pada dinding perahu.
Sesaat suasana menjadi sunyi, perhatian para hadiriin terpusat pada ketiga tawanan yang duduk tertunduk tak bergerak. Beberapa hadirin ada yang berbisik-bisik sambil sebentar-sebentar berpaling kearah Ktut Chandra. Ada yang merasa kasihan menyaksikan putri pulau Dewata itu. Tetapi banyak pula yang hanya merasakan sayang, karena tertarik akan cantiknya, dan bukan karena perasaan perikemanusiaan.
Tak seorang berani buka mulut menyatakan perasaannya. Semua hadirin membisu. Mereka tahu bahwa Kobar memegang kekuasaan yang tinggi dan apapun yang dikehendaki tak akan ada yang dapat merintanginya. Suasana sepi itu hanya berlangsung sejenak. Karena tiba2 Kobar bicara lantang memecah kesunyian.
“Hadirin dan segenap priyagung tamtama Kerajaan yang berada dibawah perintahku! Kini upacara perkawinanku akan segera dimulai. Sebagai upacara pembukaan aku akan sesaji pada dewa-dewa yang bersemayam di Sungai Musi lambang kebesaran kita ini dan Dewa2 di lautan. Sesajiku berupa darah manusia yang segar. Darah kedua pria yang akan kupenggal lehernya nanti adalah untuk Dewa Sungai Musi, sedangkan darah gadis remaja adalah sesajiku untuk Dewa2 Lautan.
Kali ini aku akan sesaji besar dan lain dari pada biasanya demi untuk syahnya perkawinanku dan demi untuk kemenangankul Aku berjanji pula pada segenap priyagung tamtama yang berada dibawah perintahku, bahwa kelak akan kuberi hadiah-hadiah dan pangkat yang setimpal dengan jasa saudara-saudara. Ketahuilah bahwa cita-citaku tentu akan tercapai. Tak lama lagi aku akan duduk disinggasana Kerajaan Sriwijaya, karena saudara-saudara telah mengetahui sendiri, bahwa si Baginda kini telah lolos meninggalkan Kerajaan. Kiraku dengan kekuatan yang ada sekarang, aku sangat mudah menumpas Sanggahan Alam beserta pasukannya.
Ini semua akan segera ku lakukan setelah pesta perkawinanku selesai! Nah… saudara-saudara hadirin semua! Jika ada usul ataupun pertanyaan hendaklah segera diajukan sebelum aku memulai dengan sesaji!”. Suaranya parau tetapi berkumandang penuh wibawa. Kata demi kata dapat jelas ditangkap para priyagung yang hadir.
Kiranya Kobar telah memusatkan tenaga shaktinya untuk memumalkan rasa maboknya. Seakan-akan ia percaya penuh pada kemampuannya sendiri. Suatu khayalan yang baying-bayang, bahwa ia sebentar lagi akan menjadi raja telah nampak didepannya. Maksud siasat pengkhianatan yang kedua kalinya ini tentu akan berhasil pula pikirnya. Ia menyapu dengan pandangan mata yang tajam ke arah semua.
Dan segenap priyagung yang kebanyakan terdiri dari para pimpinan bajak laut dan perampok itu menanggapi maksud pengkhianatan Kobar dengan sangat gembira. Telah lama mereka menunggu-nunggu ketegasan Kobar. Mereka saling berebut menunjukkan kesetiaannya, demi kepentingan masing-masing.
Dan nafsu angkara murka melonjak-lonjak. Mereka ingin cepat-cepat dapat menikmati kekuasaan yang lebih dari pada sekarang dengan harta kekayaan yang berlimpah-limpah, sekalipun harus menginjak2 kerangka rakyatnya sendiri. Kini mereka berunding untuk mengajukan usul masing-masing. Suaranya beriring memenuhi geladak perahu layar yang besar itu bagaikan lebah dalam sarang.
Kelingipun nampak mondar-mandir dan turut serta berunding dengan para priyagung yang berkelompok2. Sejenak kemudian, tiba2 Kelingi menghadap Kobar dan bicara dengan semangat me-nyala2.
“Gustiku Kobar! saya mewakili segenap para priyagung untuk menyampaikan suatu usul”.
“Bagus ! Bagus! Bicaralah segera!”. Sahut Kobar sambil tertawa lebar.
“Gustiku Kobar tentunya telah mengetahui tentang kesetiaan kita semua. Dan kemampuan serta jasa-jasa kita semua selama mengabdi pada Gustiku Kobar tentunya telah diketahui pula. Dan kiranya gustiku tentu takkan ragu lagi pada kita. Untuk apa Gustiku Kobar menunda pemberian pangkat pada kita? Bukankah Gustiku Kobar sekarang telah pula menentukan dan mengangkatnya sebagai calon dengan disaksikan kita semua yang hadir?. Dengan demikian kita akan lebih bersemangat dalam mengemban tugas masing2”.
Sesaat Kelingi berhenti bicara, sambil berpaling ke arah hadirin, menunggu suara dukungan dari teman2nya. Namun semua diam dan hanya saling bisik2 lirih, menunggu jawaban keputusan Kobar. Tiba2 Kobar ketawa ter-bahak2 sambil bicara lantang.
“HaHaHa… usul yang bagus ! Aku dapat menangkap isi hati kalian, Baiklah ! Hari ini juga aku akan membentuk Kerajaan bayangan, dan aku sendirilah Maharajanya. Susunan tatapraja. Kerajaan bayangan ini akan kutentukan sekarang juga, agar kalian tiada ragu2 lagi dan kelak setelah menjadi kenyataan, kalian tinggal menduduki pangkat dan jabatan sesuai dengan ketentuan yang telah saya tempatkan sekarang!”.
Tepuk tangan terdengar riuh gegap gempita menyambut ketegasan Kobar. Dan memang itulah yang telah lama dinanti2. Semua puas diliputi rasa gembira.
“Diam! Dan dengarlah keputusan saya baik2!!”.
Mendengar seruan Kobar yang berwibawa itu, suasana kini menjadi sepi. Tak seorangpun berani buka mulutnya. Dengan hati berdebar2 mereka menanti keputusan pemberian pangkat bayangan.
Dalam hati Sontani, Brojo Semandang dan Ktut Chandra yang duduk dilantai geladak, ketawa geli demi mendengar percakapan mereka. Akan tetapi ketiganya tetap duduk tertunduk dengan tenang, mereka tak berdaya, kedua belah tangan dibelenggu kebelakang erat2.
Sampai saat akan menghadapi hukuman maut, mereka tak menunjukan rasa takutnya. Mereka telah menyerah pada Dewata Yang Maha Agung, Maha Kuasa serta Maha sayang dan asih. Rasa cemas telah hilang lenyap dan sedikitpun mereka tak mengeluh. Mereka percaya penuh, bahwa apapun yang akan terjadi adalah kehendak Dewata Yang Maha Agung.
“Berhala ! Bawa calon permaisuriku ke atas geladak, agar ia turut serta menyaksikan segala keputusanku ini”. Perintah Kobar kemudian.
Sejenak kemudian semua priyagung yang berada di geladak perahu bergeser, untuk memberi jalan pada seorang wanita yang berkerudung putih dan dikawal oleh Berhala. Semua hadirin segera membungkukkan badannya sebagai penghormatan atas hadirnya calon permaisuri.
Namun puteri berkerudung putih itu sedikitpun tak menghiraukan akan penghormatan yang diberikan. Ia tetap berjalan tenang dengan langkahnya yang kecil2 matanya memandang tajam kedepan dengan pancaran sinar penuh wibawa. la adalah Indah Kumala Wardhani, semua yang hadir diam terpaku tak bergerak.
Dengan tangan yang masih terbelenggu serta duduk bersila Sontani berpaling sesaat ke arah Indah Kumala Wardhani dan kemudian tertunduk kembali. la tahu bahwa saat ini sang maut telah berada diubun2nya; DETAK jantung yang berdebar2 ditekannya sendiri untuk kembali tenang; Tak sudi ia mengeluh. Dan tak sudi pula ia merengek-rengek minta belas kasihan Kobar agar jiwanya dilindungi.
Dan demikian pula perasaan Braja Semandang dan Khut Chandra. Mati ditangan musuh, sebagai tamtama adalah hal yang wajar. Akan tetapi, demi menyaksikan hadirnya Indah Kumala Wardhani yang sebentar lagi akan menyerah menjadi istrinya Kobar, mereka tak rela. Rasa hatinya akan membrontak, akan tetapi apa daya! Mereka telah dibelenggu erat2 hingga tak mungkin dapat melepaskannya.
Benarkah Indah Kumala Wardhani akan menyerah sedemikian saja ? Jika tidak, mengapa lndah Kumala Wardhani sudi datang memenuhi panggilan Kobar? Bukankah ia dapat berbuat sesuatu untuk menentangnya ? Melawan ataupun bunuh diri? Akan tetapi kesempatan untuk melayangkan angan-angan itu tiba-tiba berhenti seketika. Indah Kumala Wardhani yang kini berada kira-kira tiga langkah lagi dari Kobar, tiba-tiba berdiri tegak serta membuka dengan renggutan pada krudungnya sendiri.
“Bangsat pengkhianat Kobar! terimalah hadiahku ini!”. serunya.
Bersamaan dengan lenyapnya seruan Indah Kumala Wardhani, sebuah tusuk konde melesat bagaikan kilat mengarah dada Kobar. Serangan lemparan tusuk konde yang tidak diduga sebelumnya membuat Kobar terkesiap sesaat. Ia melompat tinggi kesamping menghindari senjata rahasia yang aneh itu, sambil berseru mengejek dan menghunus pedangnya.
“Hahaha…! tak kusangka bahwa calon istriku dapat pula bermain dengan tusuk konde!!!”
Namun walaupun ia terhindar dari bahaya maut akan tetapi bulu tengkuknya berdiri juga. Karena ternyata lengan kirinya masih dapat tergores dengan mengeluarkan darah segar. Kiranya serangan yang dilancarkan Indah Kumala Wardhani tidak berhenti hanya sekian saja, sebagai cucu Ajengan Cahaya Buana yang sejak kecil mendapat warisan ilmu kanuragan dan membenci sifat-sifat kejahatan, ia menjadi lebih marah setelah mengetahui serangannya gagal.
la maju selangkah sambil melepaskan angkin sutra dari pinggangnya, dan bersamaan dengan berkelebatnya angkin sutra merah ditangan kanannya, dua buah tusuk konde dilemparkan beruntun mengarah kepala dan dada Kobar.
“Sambutlah senjata pamungkasku”. serunya!
Saat itu Kobar belum berdiri tegak, dan kiranya tak mungkin melompat menghindar. Pedang pusaka ditangan kanan Kobar berputar cepat sambil merendah, menghindari melesatnya tusuk konde emas yang mengarah kepala bagaikan sambaran kilat :
“Criiiing!”
Sebuah tusuk konde terkena sambaran pedang pusaka Kobar hingga terpental dan jatuh tertancap diatas geladak tepat dihadapan Sontani yang sedang duduk tak berkutik. Akan tetapi, tiba-tiba hadirin yang diam terpaku melihat ketangkasan Kobar, kini menjadi gaduh. Karena bersamaan dengan terpentalnya sebuah tusuk konde, Kobar tiba2 beseru tertahan sambil terhuyung huyung kebelakang tiga langkah dengan mendekap mata sebelah kirinya.
“Aduh…!”
Kiranya ia kurang waspada dan sebuah tusuk konde lagi mengarah dadanya kini tepat mengenai mata sebelah kiri, secara kebetulan karena pada saat itu ia merendah. Lebih sejari tusuk konde itu menghujam di mata kirinya dan darah mengalir deras.
“Jahanam iblis betina! Saksikan dulu sesajiku”. Seru Kobar sambil membalikkan badannya serta mengayunkan pedang pusakanya dalam gaya “tebangan maut” mengarah leher Sontani yang sedang duduk terbelenggu.
“Aaaiiiii !”.
Jeritan panjang melontar dari mulut Indah Kumala Wardhani dan bersamaan dengan jeritannya, ia langsung menubruk Sontani yang sedang duduk diambang maut. Kiranya sebagai seorang putri, ia tak tega melihat kekejaman Kobar yang akan merenggut jiwa Sontani. Dan lebih dari itu, iapun ingin mengadu jiwa demi melindungi Sontani kekasihnya.
Tiba tiba perahu layar bergoncang keras. Pedang pusaka Kobar yang hampir mengenai sasaran terbentur pada sebuah pedang pusaka lain yang berkelebat tepat menghadang arahnya. Yoga Kumala dengan pakaian hitam yang basah kuyub telah berada dihadapan Kobar dengan pedang pusaka terhunus.
Beratus-ratus tamtama kerajaan Pagar Ruyung dengan pakaiannya yang basah kuyub mengikuti jejak Yoga Kumala dan langsung menyerang para priyagung yang berada digeladak itu. Rencana pesta upacara perkawinan kini menjadi pertempuran yang besar. Suatu serangan yang tiba2 dan tak terduga sama sekali, Jeritan ngeri terdengar susul-menyusul diselingi gemerincing beradunya senjata. Pertempuran berlangsung sengit, dan telah banyak pula kepala manusia terpisah dari badan serta jatuh tercebur di Sungai Musi.
“Haaai Kobar!! Hukuman maut untukmu sebagai pengkhianat, kini telah tiba pada saatnya? segeralah mohon ampun pada Dewata, sebelum kau menghadapNya!!” Seru Yoga sambil menyerang.
“HaHahaa…! Jahanam budak penjilat! Yoga Kumala. Kedatanganmu adalah mengantar jiwa. Menyerahlah sebelum terlambat!”.
Membalas demikian Kobar sambil melompat kesamping menghindari serangan Yoga Kumala yang bertubi-tubi dan membalasnya pula dengan jurus-jurus pedang warisan ayahnya si Ular Merah yang terkenal ampuh. Walaupun matanya yang kiri telah terluka dan menjadi buta. namun Kobar yang shakti itu masih dapat mengimbangi ketangkasan Yoga Kumala.
Dua pedang pusaka berkelebat menyambar-nyambar pada masing-masing lawan, dan sebentar-sebentar terlihat muncratnya percikan api karena beradunya kedua pedang pusaka.
Sementara ituSontani. Braja Semandang dan Ktut Chandra telah terbebas belenggunya berkat bantuan Talang Pati, kini mereka mengamuk dalam kancah pertempuran. Dengan pedang rampasan Sontani menyerang Berhala. Sedangkan Braja Semandang menghadapi Kelingi yang sedang mengamuk punggung bagaikan Banteng terluka.
Empat priyagung tamtama pasukan Kobar mengurung Talang Pati dengan senjatanya masing2. Namun Talang Pati yang bersenjatakan cambuk ular dan golok panjang, murid setia Mbah Duwung dan murid terakhir dari kakek Dadung Ngawuk yang shakti dengan mudah dapat merobohkan keempat lawannya. Belum sampai sepuluh jurus keempat lawannya roboh mandi darah dan jatuh terjebur terbenam arus Sungai Musi. Cepat Talang Pati melompat ke samping dan hendak membantu Yoga Kumala. Akan tetapi kiranya ini tak dikehendaki oleh Yoga.
“Kakang Talang Pati! biarlah pengkhianat Kobar ini mati ditanganku! Dan Bantulah teman-teman yang lain!”. Elak Yoga Kumala.
Dikala itu, waktu tengah malam. Langit biru membentang cerah, dan bulan nampak bulat diketinggian dengan memancarkan cahayanya yang terang remang2. Bintang bintang bertaburan di angkasa. Awan putih bagaikan kapas tipis bergantungan terpencar2 merupakan hiasan yang indah.
Air sungai Musi yang keruh mengalir bercampur lumpur kini menjadi kemerah-merahan bercampur darah. Mayat-mayat yang terapung terbawa arus segera lenyap menjadi santapan ikan-ikan buas. Suatu sesaji besar bagai keagungan Sungai Musi.
Pertempuran masih berlangsung terus dengan sengitnya tiba-tiba beratus-ratus panah berapi berlintasan di udara dan perahu-perahu layar yang berlabuh disekitarnya menjadi lautan api. Kiranya pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung atas perintah Damar Kerinci telah datang membantu pasukan Yoga Kumala.
Disela-sela asap hitam yang bergulung-gulung membumbung ke angkasa dan api yang menjilat-jilat, pertempuran sengit tengah berlangsung pula. Beberapa perahu layar tenggelam didasar Muara Sungai Musi diiringi suara jeritan-jeritan ngeri.
Pun bersamaan waktunya, nampak di sebelah barat di atas Kota Raja Kerajaan Sriwijaja asap hitam bergulung gulung membumbung tinggi dan api menyala menjilat jilat di angkasa. Langit yang tadinya cerah cemerlang, kini menjadi gelap tertutup awan hitam semburat merah. Pertempuran besar di Kota Raja, kiranya telah mengakhiri sejarah keagungan Sriwijaya.
Demi melihat lautan api disekitarnya. Kobar segera menggagalkan serangannnya. Ia melompat tinggi dan Iangsung menceburkan diri di Sungai Musi yang deras mengalir. Pertempuran terhenti dengan sendirinya. Musuh yang masih hidup segera membuang senjatanya masing-masing tanda menyerah.
Berhala dan Kelingi mati dengan kepala terbabat pisah dari badan oleh amukan Sontani dan Braja Semandang. Suara genderang bertalu diiringi derap langkah kaki kuda yang beribu-ribu terdengar di daratan tebing Muara Sungai Musi. Pasukan Keradiaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung dibawah pimpinan Bintang Minang telah tiba untuk menyambut Yoga Kumala beserta pasukannya.
Dalam sambutan besar itu, Manggala Yudha Bintang Minang berkenan pula memberikan anugerah gelar "Pahlawan Pengemban Sumpah Palapa terakhir" pada Yoga Kumala. Fajar telah merekah diufuk timur, dan cahayanya yang cerah semburat kuning keemasan memancar menerangi buana.
Bendera-bendera Sang Saka "Dwiwarna" berkibar dengan megahnya disepanjang jalan seluruh Kota Raja, memenuhi Sumpah "Tan Amukti Palapa", ialah Sumpah Shakti mendiang Maha Patih Gajah Mada (Akhir abadXIV).
Tak lama kemudian Kota Raja mengadakan pesta besar merayakan hari perkawinan empat pasang temanten agung. YOGA KUMALA dengan KTUT CHANDRA, Sontani mendapatkan Indah Kumala Wardani, Braja Semandang dengan Sampur Sekar Sedangkan Ratnasari hidup berbahagia dengan suaminya Talang Pati.
Jeritan panjang melontar dari mulut Indah Kumala Wardhani dan bersamaan dengan jeritannya, ia langsung menubruk Sontani yang sedang duduk diambang maut. Kiranya sebagai seorang putri, ia tak tega melihat kekejaman Kobar yang akan merenggut jiwa Sontani. Dan lebih dari itu, iapun ingin mengadu jiwa demi melindungi Sontani kekasihnya.
Tiba tiba perahu layar bergoncang keras. Pedang pusaka Kobar yang hampir mengenai sasaran terbentur pada sebuah pedang pusaka lain yang berkelebat tepat menghadang arahnya. Yoga Kumala dengan pakaian hitam yang basah kuyub telah berada dihadapan Kobar dengan pedang pusaka terhunus.
Beratus-ratus tamtama kerajaan Pagar Ruyung dengan pakaiannya yang basah kuyub mengikuti jejak Yoga Kumala dan langsung menyerang para priyagung yang berada digeladak itu. Rencana pesta upacara perkawinan kini menjadi pertempuran yang besar. Suatu serangan yang tiba2 dan tak terduga sama sekali, Jeritan ngeri terdengar susul-menyusul diselingi gemerincing beradunya senjata. Pertempuran berlangsung sengit, dan telah banyak pula kepala manusia terpisah dari badan serta jatuh tercebur di Sungai Musi.
“Haaai Kobar!! Hukuman maut untukmu sebagai pengkhianat, kini telah tiba pada saatnya? segeralah mohon ampun pada Dewata, sebelum kau menghadapNya!!” Seru Yoga sambil menyerang.
“HaHahaa…! Jahanam budak penjilat! Yoga Kumala. Kedatanganmu adalah mengantar jiwa. Menyerahlah sebelum terlambat!”.
Membalas demikian Kobar sambil melompat kesamping menghindari serangan Yoga Kumala yang bertubi-tubi dan membalasnya pula dengan jurus-jurus pedang warisan ayahnya si Ular Merah yang terkenal ampuh. Walaupun matanya yang kiri telah terluka dan menjadi buta. namun Kobar yang shakti itu masih dapat mengimbangi ketangkasan Yoga Kumala.
Dua pedang pusaka berkelebat menyambar-nyambar pada masing-masing lawan, dan sebentar-sebentar terlihat muncratnya percikan api karena beradunya kedua pedang pusaka.
Sementara ituSontani. Braja Semandang dan Ktut Chandra telah terbebas belenggunya berkat bantuan Talang Pati, kini mereka mengamuk dalam kancah pertempuran. Dengan pedang rampasan Sontani menyerang Berhala. Sedangkan Braja Semandang menghadapi Kelingi yang sedang mengamuk punggung bagaikan Banteng terluka.
Empat priyagung tamtama pasukan Kobar mengurung Talang Pati dengan senjatanya masing2. Namun Talang Pati yang bersenjatakan cambuk ular dan golok panjang, murid setia Mbah Duwung dan murid terakhir dari kakek Dadung Ngawuk yang shakti dengan mudah dapat merobohkan keempat lawannya. Belum sampai sepuluh jurus keempat lawannya roboh mandi darah dan jatuh terjebur terbenam arus Sungai Musi. Cepat Talang Pati melompat ke samping dan hendak membantu Yoga Kumala. Akan tetapi kiranya ini tak dikehendaki oleh Yoga.
“Kakang Talang Pati! biarlah pengkhianat Kobar ini mati ditanganku! Dan Bantulah teman-teman yang lain!”. Elak Yoga Kumala.
Dikala itu, waktu tengah malam. Langit biru membentang cerah, dan bulan nampak bulat diketinggian dengan memancarkan cahayanya yang terang remang2. Bintang bintang bertaburan di angkasa. Awan putih bagaikan kapas tipis bergantungan terpencar2 merupakan hiasan yang indah.
Air sungai Musi yang keruh mengalir bercampur lumpur kini menjadi kemerah-merahan bercampur darah. Mayat-mayat yang terapung terbawa arus segera lenyap menjadi santapan ikan-ikan buas. Suatu sesaji besar bagai keagungan Sungai Musi.
Pertempuran masih berlangsung terus dengan sengitnya tiba-tiba beratus-ratus panah berapi berlintasan di udara dan perahu-perahu layar yang berlabuh disekitarnya menjadi lautan api. Kiranya pasukan Kerajaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung atas perintah Damar Kerinci telah datang membantu pasukan Yoga Kumala.
Disela-sela asap hitam yang bergulung-gulung membumbung ke angkasa dan api yang menjilat-jilat, pertempuran sengit tengah berlangsung pula. Beberapa perahu layar tenggelam didasar Muara Sungai Musi diiringi suara jeritan-jeritan ngeri.
Pun bersamaan waktunya, nampak di sebelah barat di atas Kota Raja Kerajaan Sriwijaja asap hitam bergulung gulung membumbung tinggi dan api menyala menjilat jilat di angkasa. Langit yang tadinya cerah cemerlang, kini menjadi gelap tertutup awan hitam semburat merah. Pertempuran besar di Kota Raja, kiranya telah mengakhiri sejarah keagungan Sriwijaya.
Demi melihat lautan api disekitarnya. Kobar segera menggagalkan serangannnya. Ia melompat tinggi dan Iangsung menceburkan diri di Sungai Musi yang deras mengalir. Pertempuran terhenti dengan sendirinya. Musuh yang masih hidup segera membuang senjatanya masing-masing tanda menyerah.
Berhala dan Kelingi mati dengan kepala terbabat pisah dari badan oleh amukan Sontani dan Braja Semandang. Suara genderang bertalu diiringi derap langkah kaki kuda yang beribu-ribu terdengar di daratan tebing Muara Sungai Musi. Pasukan Keradiaan Negeri Tanah Melayu Pagar Ruyung dibawah pimpinan Bintang Minang telah tiba untuk menyambut Yoga Kumala beserta pasukannya.
Dalam sambutan besar itu, Manggala Yudha Bintang Minang berkenan pula memberikan anugerah gelar "Pahlawan Pengemban Sumpah Palapa terakhir" pada Yoga Kumala. Fajar telah merekah diufuk timur, dan cahayanya yang cerah semburat kuning keemasan memancar menerangi buana.
Bendera-bendera Sang Saka "Dwiwarna" berkibar dengan megahnya disepanjang jalan seluruh Kota Raja, memenuhi Sumpah "Tan Amukti Palapa", ialah Sumpah Shakti mendiang Maha Patih Gajah Mada (Akhir abadXIV).
Tak lama kemudian Kota Raja mengadakan pesta besar merayakan hari perkawinan empat pasang temanten agung. YOGA KUMALA dengan KTUT CHANDRA, Sontani mendapatkan Indah Kumala Wardani, Braja Semandang dengan Sampur Sekar Sedangkan Ratnasari hidup berbahagia dengan suaminya Talang Pati.
TAMAT
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment