Sepekan lebih Arya Buana alias si Dewa Arak terkapar di pembaringan. Untungnya di saat-saat terakhir, masih sempat diegoskan tubuhnya, sehingga pukulan Melati hanya bersarang di bahu.
Tapi walaupun demikian, karena dahsyatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, tak urung luka dalamnya cukup parah. Padahal Arya telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.
Pada hari ke delapan, Arya baru diijinkan Kakek Ular Hitam meninggalkan pembaringan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa sekujur tubuhnya terasa lemas sekali. Pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini segera mengambil tempat untuk duduk bersila, sesaat kemudian sudah tenggelam dalam semadinya.
Selama tiga hari setelah diijinkan meninggalkan pembaringan, Arya berusaha memulihkan tenaga dalam dengan semadi, dan melatih ilmu andalan. Baru pada hari yang keempat, pemuda itu meminta ijin Ular Hitam dan ibunya untuk melanjutkan perjalanan, karena masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Terutama tugas dari gurunya, Ki Gering Langit.
"Arya...," ujar Ular Hitam sebelum Arya berangkat meninggalkan dirinya dan ibunya.
Nyi Sani memang telah memutuskan untuk tinggal di kediaman Ular Hitam.
"Ya, Kek...."
"Sebelum kau pergi, aku akan memberitahukan sesuatu hal kepadamu. Hm, mengenai gadis yang berpakaian serba putih itu."
"Maksud, Kakek?" tanya Arya tidak mengerti.
"Selama di sini, aku dan ibumu terus memikirkan gadis itu. Dan, syukurlah! Akhirnya kami berhasil mengetahui keberadaan gadis itu. Ibumu mengetahui asal-usulnya, sedangkan aku mengetahui siapa gurunya."
Pemuda berambut putih keperakan ini merasa jantung dalam dadanya berdetak kencang. Entah kenapa, ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada pembicaraan mengenai gadis berpakaian serba putih itu, jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasa.
"Benar, Arya," sambung Nyi Sani. "Berhari-hari di sini Ibu memeras ingatan tentang semua perkataan yang diucapkan almarhum pamanmu. Beruntung sebelum gadis itu pergi, Ibu sempat melihatnya. Dan hal itu yang sangat membantu, sehingga Ibu berhasil mengingatnya."
"Jadi... , benarkah gadis itu putri dari Paman, Bu?" tanya Arya dengan suara gemetar.
Nyi Sani tersenyum. Bisa dimaklumi ketegangan yang melanda hati putranya itu.
"Sebenarnya bukan."
"Jadi...?"
"Ia adalah seorang anak yang diselamatkan pamanmu ketika masih bayi. Orang tuanya telah tewas dalam keadaan menyedihkan. Mungkin dibunuh orang jahat. Sejak masih bayi pamanmu merawatnya penuh kasih sayang, sampai ia berumur lima tahun. Anak itu diberi nama Melati. Karena kesukaannya pada pakaian serba putih yang terdapat sulaman bunga melati pada dada kiri. Pada suatu hari, ketika pamanmu pergi entah untuk urusan apa, anak itu ditinggalkan. Dan ketika ia kembali, anak itu telah lenyap. Tak ada yang tahu, ke mana perginya anak itu. Pamanmu mencari-cari, bahkan sampai meminta bantuan Ibu. Tapi, tetap saja Melati tidak berhasil ditemukan. Ia lenyap begitu saja seperti ditelan bumi," urai Nyi Sani menutup ceritanya.
"Kenapa Paman tidak menitipkannya pada Ibu?" tanya Arya heran.
Nyi Sani menghela napas panjang. Sejenak ditatap anaknya dalam-dalam. "Aku sendiri juga tidak mengerti, Arya. Pamanmu tidak pernah menjawab setiap kali Ibu menanyakannya."
Pemuda berbaju ungu ini terdiam beberapa saat. Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Kakek menemukan suatu hal yang mengejutkan, Arya," selak Ular Hitam memenggal lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa, Kek?" tanya pemuda itu ingin tahu.
"Kau sudah pernah bertarung melawan gadis itu kan?" Ular Hitam malah balik bertanya.
"Sudah, Kek," Arya menganggukkan kepalanya.
"Apa kau menjumpai sesuatu yang mengejutkanmu?" desak kakek itu lagi.
"Ada, Kek," sahut Arya membenarkan. "Jurus 'Cakar Naga Merah'!"
"Tepat!"
"Apa tidak mungkin kalau Melati adalah murid Guru, Kek?" tebak Dewa Arak.
"Bukan, Arya. Gadis itu sama sekali tidak mengenal Kakang Gering Langit!"
"Jadi...?" desak Arya.
"Heh?!" Sepasang alis Ular Hitam berkerut. "Kau tidak dapat menduganya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya sejenak. Dicobanya untuk berpikir, tapi tetap saja tidak dapat menduga apa-apa. Pikirannya benar-benar seperti buntu!
"Hhh...!" Ular Hitam menghela napas. "Rupanya ada sesuatu yang memberati pikiranmu, Arya. Sehingga otakmu yang biasanya cerdas, kini tidak mampu menduga hal yang sebenarnya sangat mudah!"
Wajah Arya memerah. Memang secara jujur diakui, kalau benaknya diganggu bayangan Melati. Sikap gadis itu yang selalu memusuhi, membuatnya hampir gila. Otaknya buntu, tidak bisa diajak berpikir. Melihat keadaan Arya, Ular Hitam tidak tega untuk mendesak lebih lama.
"Gadis yang bernama Melati itu adalah murid orang yang hendak kau cari atas perintah gurumu!" jelas Ular Hitam.
"Ahhh...!" Dewa Arak tersentak.
Arya jadi merasa begitu bodoh. Dalam Kitab Belalang Sakti, Ki Gering Langit telah memberi tugas untuk mencari dua orang yang sebenarnya pelayan di rumah kakek itu. Mereka telah kabur membawa lari kitab-kitab milik Ki Gering Langit. Waktu itu puluhan tahun yang lalu, rumah Ki Gering Langit adalah rumah yang selama ini ditempati Pendekar Ruyung Maut.
"Jadi...?"
"Ya!" selak Ular Hitam. "Melati adalah satu-satunya kunci yang dapat menunjukkan kepadamu di mana dua orang pengkhianat itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Satu yang perlu kau perhatikan, Arya," sambung kakek itu lagi. "Kau harus berhati-hati! Aku tidak bisa membayangkan sampai di mana kepandaian pengkhianat-pengkhianat itu. Bayangkan! Muridnya saja sampai selihai itu! Hhh... ! Kau harus sering-sering bersemadi untuk lebih memantapkan tenaga dalammu, Arya. Aku khawatir, pengkhianat-pengkhianat itu kini telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur tingginya!"
"Akan kuingat baik-baik nasihat Kakek. O ya, Kek. Aku ada suatu masalah yang ingin kutanyakan pada Kakek."
Kemudian Arya menceritakan tentang Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa.
Setelah mendengar penuturan pemuda berambut putih keperakan ini Ular Hitam mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Setiap ilmu memiliki kelemahan, Arya. Apalagi ilmu yang didapat dengan cara tidak wajar. Mengenai ilmu kekebalan tubuh yang kau ceritakan itu, banyak sekali yang kuketahui penangkalnya. Mungkin salah satunya ada yang benar."
Lalu Ular Hitam memberitahu macam-macam cara menaklukkan ilmu kekebalan tubuh. Arya mendengarkan dan mencatat di otaknya semua petunjuk yang diberikan Ular Hitam.
Setelah semua petunjuk kakek bertubuh tinggi kurus itu dihapalnya, Arya pun pamit pada ibu dan kakeknya. Mereka melepas kepergian pemuda berambut putih keperakan itu dengan pandang mata berkaca-kaca.
Arya kini melakukan perjalanan mencari berita tentang Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut. Karena ciri-ciri gadis itu yang memang menyolok, pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan pengejaran. Hampir di setiap tempat berita mengenai Melati selalu didapat. Dan berita yang didapatnya membuat Arya mengerutkan dahinya.
Betapa tidak? Hampir di setiap desa dan tempat yang dikunjunginya, Melati selalu menyebar maut! Tidak ada orang yang masih hidup apabila telah berurusan dengannya. Satu hal yang melegakan Arya, Melati menimbulkan korban karena ia diusik. Tak pernah gadis itu yang memulai lebih dulu.
Arya mempercepat langkahnya. Dari desa yang baru saja ditanyainya, didapat keterangan bahwa orang yang tengah dicarinya belum lama melalui desa itu. Dan sudah pasti telah menimbulkan korban nyawa! Perkara biasa. Bergajul-bergajul itu pasti hendak berbuat kurang ajar padanya.
Setelah melewati perbatasan desa, dan mendekati mulut sebuah hutan, pendengaran Arya yang tajam menangkap adanya suara-suara pertarungan di depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda ini berkelebat cepat ke arah asal suara pertempuran.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, dalam waktu sebentar saja Arya sudah melihat orang yang bertarung. Dan mendadak pemuda berambut putih keperakan ini tersentak begitu mengenali kedua orang yang sedang bertarung itu.
Tidak jauh darinya, sekitar sepuluh tombak di depan, nampak seorang gadis cantik berpakaian serba putih dan bersenjatakan pedang, tengah bertarung melawan seseorang bertubuh tinggi besar, dan berwajah kasar. Di lehernya tergantung kalung yang bermatakan tengkorak kepala bayi. Siapa lagi kalau bukan Melati yang tengah bertarung melawan Raksasa Kulit Baja.
Pandangan mata Dewa Arak yang tajam segera saja dapat mengetahui kalau Melati terlihat kelelahan. Peluhnya yang membanjiri tubuh dan gerakannya yang sudah tidak gesit lagi, menjadi bukti dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa terbahak-bahak dari mulut Raksasa Kulit Baja itu.
Pemuda ini tahu kalau Melati, seperti dirinya juga dulu, kebingungan dan habis daya melawan kehebatan ilmu lawannya. Dan Dewa Arak yang telah mendapat petunjuk cara menghadapi Raksasa Kulit Baja, segera melompat ke arena pertempuran. .
"Mundur, Melati!" perintah Dewa Arak.
Terdengar seruan kaget dari mulut gadis itu. Dan memang sebenarnya Melati mengalami kekagetan yang bertumpuk-tumpuk. Dari mana Arya Buana mengetahui namanya? Tapi dalam kekagetan yang melanda hatinya itu, menyeruak rasa gembira yang tak terperikan. Arya Buana ternyata masih hidup! Pemuda yang telah membuat gejolak perasaannya tak menentu itu ternyata tidak mati akibat pukulannya!
Oh, mengapa dia tidak pernah merasa segembira seperti sekarang? Inikah yang dinamakan cinta? Mengapa pemuda itu ada di sini? Apakah Arya juga memperhatikan dirinya? Tanpa sadar gadis itu melompat mundur.
Arya yang melihat hal ini menjadi tersentak sekaligus gembira. Berarti benarlah dugaan ibunya. Gadis ini adalah Melati kecil yang dulu ditemukan pamannya sewaktu masih bayi!
"Grrroah...!"
Raksasa Kulit Baja meraung murka begitu melihat siapa yang masuk ke arena pertempuran, dan kini berdiri di hadapannya sambil menuangkan arak ke dalam mulut.
“Gluk... gluk... gluk... !”
"Sungguh besar nyalimu, Dewa Arak! Kali ini jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, manusia raksasa itu melolos rantai berujung arit yang melilit pinggangnya. Sambil menggeram marah, diputar-putar, dan dilemparkannya ke arah Arya.
“Singgg... !”
Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai berujung arit itu meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu seperti biasa tengah sempoyongan sehabis menenggak araknya, seolah-olah tidak menyadari adanya bahaya mengancam.
Tapi begitu serangan rantai itu menyambar dekat, Dewa Arak cepat menggerakkan tangan memapak, setelah lebih dulu menyimpan kembali gucinya di punggung.
“Pralll... !”
Rantai yang terbuat dari baja itu putus berantakan ketika mengenai tangan kanan Dewa Arak. Berbareng dengan itu, tangan kiri pemuda itu menangkap ujung rantai yang tersisa.
“Kreppp!”
"Hup!"
Hanya sekali sentak, tubuh Raksasa Kulit Baja terbetot dan melayang ke arah Dewa Arak. Hal ini memang disengaja. Pemuda itu ingin mencoba salah satu cara yang diberikan Ular Hitam.
Menurut Ular Hitam, kalau Raksasa Kulit Baja memperoleh kekebalan dengan cara melumuri ramuan-ramuan ke tubuhnya, pasti ada bagian tubuh yang tidak terkena ramuan itu. Karena tidak mungkin seluruh tubuhnya terlumuri ramuan. Dan bagian yang tidak terkena ramuan itu adalah kelemahan dari Raksasa Kulit Baja.
Arya tahu, di antara seluruh tubuh tinggi besar ini hanya satu anggota tubuh yang belum pernah diserangnya. Telapak kaki! Kini pemuda berambut putih keperakan itu akan mencobanya.
“Wuuuttt...!”
Begitu tubuh Raksasa Kulit Baja itu telah menyambar dekat, Dewa Arak mencuatkan kakinya. Maka dengan ujung kaki, disodoknya telapak kaki manusia bertubuh raksasa itu.
“Tukkk... !”
Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental ke atas. Pegangannya pada rantai langsung terlepas. Sesaat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, kemudian jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara berdebuk keras.
Dengan hati berdebar tegang, Arya menunggu hasil percobaannya itu. Tapi betapa kecewa hatinya ketika lawannya bangkit kembali tanpa kurang suatu apa. Berarti manusia raksasa ini tidak mempergunakan ramu-ramuan untuk mendapatkan kekebalan.
“Srattt... !”
Arya mencabut sesuatu dari balik punggungnya Cara kedua yang diajarkan Ular Hitam untuk menaklukkan kekebalan tubuh Raksasa Kulit Baja.
"Ha ha ha...!" manusia raksasa itu tertawa bergelak ketika melihat senjata yang tergenggam di tangan Dewa Arak. Bambu kuning! Panjangnya sama dengan panjang sebatang pedang.
"Rupanya kau ini sudah jadi gila karena bingung, Dewa Arak! Jangankan bambu, baja pun tidak akan membuat kulitku lecet!"
Tapi Arya tidak mempedulikan ejekan itu. Sambil mengeluarkan pekik melengking, Dewa Arak melompat menyerang lawannya. Raksasa Kulit Baja yang mempunyai gerakan lambat, tidak mungkin menghindari serangan Dewa Arak yang sangat cepat itu? Bertubi-tubi bambu kuning di tangan Arya mengenai sasarannya. Ditusuk, disabet, disontek, sampai akhirnya bambu itu hancur!
"Ha ha ha...!" kembali Raksasa Kulit Baja tertawa bergelak.
"Masih ada lagi senjatamu, Dewa Arak? Keluarkan! Puaskan hatimu, sebelum kau tewas di tanganku!"
Arya membuang sisa bambu yang masih digenggamnya. Sesaat kemudian matanya liar mengawasi sekelilingnya. Dan seketika matanya berseri ketika melihat sebuah pohon yang memang dicarinya. Pohon kelor!
Cepat laksana kilat, tubuh Arya melesat ke atas. Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun. Kini di tangannya tergenggam sebatang ranting pohon itu yang berdaun lebat.
Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Daun kelor yang tergenggam di tangannya disabetkan ke tubuh manusia raksasa itu.
“Prattt! “
"Akh...!"
Dengan telak sabetan itu mengenai badan Raksasa Kulit Baja. Mendadak saja terdengar jerit kesakitan dari mulut manusia raksasa yang kebal ini. Jerit yang lebih menyerupai raungan binatang buas terluka.
Dewi Penyebar Maut tersentak kaget melihat hal ini. Hampir tidak dipercaya akan apa yang dilihatnya barusan. Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan luar biasa itu meraung-raung hanya dengan sabetan daun kelor!
Dan sebaliknya, begitu Arya melihat usahanya berhasil, ia pun cepat menghujani sekujur tubuh lawan dengan sabetan-sabetan daun kelor yang digenggamnya.
“Prattt! Prattt!”
"Akh... ! Aduh! Ahhh...!"
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul. Tubuh Raksasa Kulit Baja ini menggeliat-geliat, bahkan terguling-guling. Tapi, Dewa Arak tidak memberi kesempatan. Tubuh yang bergulingan di tanah itu terus dihujaninya dengan daun kelor.
Baru setelah ranting yang digenggamnya hancur, Arya menghentikan sabetan. Dibuangnya ranting itu, lalu ditatapnya sejenak tubuh tinggi besar yang masih berguling-guling. Kemudian sambil mengumpulkan seluruh tenaga, didorongkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka ke depan. Dewa Arak menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' dalam lambaran 'Tenaga Dalam Inti Matahari'!
“Wuuuttt... !”
Angin yang berhawa panas menderu keras ke arah tubuh Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan.
“Bresss... !”
Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental keras ke belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak menghantam tubuhnya. Suara jerit menyayat keluar dari mulut si tinggi besar ini.
Tubuhnya bergulingan jauh. Dari mulut, hidung, mata, dan telinga mengalir darah segar. Dan begitu gulingan itu terhenti, berhenti pulalah riwayat tokoh menggiriskan ini. Sekujur tubuhnya nampak menghitam hangus!
Sambil mengumpulkan seluruh tenaganya, Dewa Arak mendorongkan kedua tangannya ke arah Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan! Arya Buana tercenung memandang sosok tubuh yang kini tergolek di hadapannya.
Dalam hati, dikagumi juga kehebatan ilmu yang dimiliki orang bertubuh seperti raksasa itu. Cukup lama juga pemuda itu tercenung, dan baru sadar ketika mendengar suara gerakan halus di belakangnya. Dalam sekelebatan, benaknya teringat pada Melati. Buru-buru ditolehkan kepalanya ke belakang.
Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya hati pemuda berambut putih keperakan ini ketika tidak melihat siapa-siapa di situ. Dengan perasaan cemas, diedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap saja tidak dijumpai sosok tubuh yang dirindukan dan yang selalu mengganggu ingatannya.
"Melati...!" teriak Arya kalap.
Teriakannya yang disertai pengerahan tenaga dalam itu bergaung, menggema ke sekitarnya. Sesaat pemuda berbaju ungu ini menunggu sambutan. Tapi sampai lelah menunggu, tak juga ada tanda-tanda akan adanya sahutan. Hanya gema suaranya sendiri yang menyambut panggilannya.
"Melati...!" teriak Dewa Arak lagi.
Dan memang, suaranya terdengar bernada putus asa. Dia seperti, kehilangan sesuatu yang amat dicintainya. Tanpa pikir lagi, Dewa Arak bergerak mengejar ke dalam hutan.
Tujuannya jelas, mencari Melati! Selain untuk ketenangan hatinya, juga untuk memenuhi tugas gurunya. Seperti diketahui, gadis ini adalah satu-satunya kunci untuk mencari pencuri kitab-kitab milik Ki Gering Langit.
Tanpa sepengetahuan Arya, dari balik pohon, seraut wajah cantik berpakaian serba putih menatap kepergiannya dengan mata merembang berkaca-kaca. Gadis itu merasa malu menemui Arya, karena sejak pertama kali selalu bentrok dengannya.
Tapi gadis itu juga merasa sedih tidak bisa bersama-sama dengan Arya, pemuda yang diam-diam dicintainya. Dia hanya bisa menatap tubuh Arya Buana hingga lenyap di kejauhan....
Nah, apakah kelak Melati mau menjumpai Dewa Arak lagi? Berhasilkah Arya mencari Melati? Dan memenuhi tugas dari gurunya untuk mengambil kitab-kitab yang dicuri oleh pelayan Ki Gering Langit? Bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah selanjutnya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar".
SELESAI
Tapi walaupun demikian, karena dahsyatnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu, tak urung luka dalamnya cukup parah. Padahal Arya telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya.
Pada hari ke delapan, Arya baru diijinkan Kakek Ular Hitam meninggalkan pembaringan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa sekujur tubuhnya terasa lemas sekali. Pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini segera mengambil tempat untuk duduk bersila, sesaat kemudian sudah tenggelam dalam semadinya.
Selama tiga hari setelah diijinkan meninggalkan pembaringan, Arya berusaha memulihkan tenaga dalam dengan semadi, dan melatih ilmu andalan. Baru pada hari yang keempat, pemuda itu meminta ijin Ular Hitam dan ibunya untuk melanjutkan perjalanan, karena masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Terutama tugas dari gurunya, Ki Gering Langit.
"Arya...," ujar Ular Hitam sebelum Arya berangkat meninggalkan dirinya dan ibunya.
Nyi Sani memang telah memutuskan untuk tinggal di kediaman Ular Hitam.
"Ya, Kek...."
"Sebelum kau pergi, aku akan memberitahukan sesuatu hal kepadamu. Hm, mengenai gadis yang berpakaian serba putih itu."
"Maksud, Kakek?" tanya Arya tidak mengerti.
"Selama di sini, aku dan ibumu terus memikirkan gadis itu. Dan, syukurlah! Akhirnya kami berhasil mengetahui keberadaan gadis itu. Ibumu mengetahui asal-usulnya, sedangkan aku mengetahui siapa gurunya."
Pemuda berambut putih keperakan ini merasa jantung dalam dadanya berdetak kencang. Entah kenapa, ia sendiri tidak mengerti. Setiap kali ada pembicaraan mengenai gadis berpakaian serba putih itu, jantungnya selalu berdetak lebih cepat dari biasa.
"Benar, Arya," sambung Nyi Sani. "Berhari-hari di sini Ibu memeras ingatan tentang semua perkataan yang diucapkan almarhum pamanmu. Beruntung sebelum gadis itu pergi, Ibu sempat melihatnya. Dan hal itu yang sangat membantu, sehingga Ibu berhasil mengingatnya."
"Jadi... , benarkah gadis itu putri dari Paman, Bu?" tanya Arya dengan suara gemetar.
Nyi Sani tersenyum. Bisa dimaklumi ketegangan yang melanda hati putranya itu.
"Sebenarnya bukan."
"Jadi...?"
"Ia adalah seorang anak yang diselamatkan pamanmu ketika masih bayi. Orang tuanya telah tewas dalam keadaan menyedihkan. Mungkin dibunuh orang jahat. Sejak masih bayi pamanmu merawatnya penuh kasih sayang, sampai ia berumur lima tahun. Anak itu diberi nama Melati. Karena kesukaannya pada pakaian serba putih yang terdapat sulaman bunga melati pada dada kiri. Pada suatu hari, ketika pamanmu pergi entah untuk urusan apa, anak itu ditinggalkan. Dan ketika ia kembali, anak itu telah lenyap. Tak ada yang tahu, ke mana perginya anak itu. Pamanmu mencari-cari, bahkan sampai meminta bantuan Ibu. Tapi, tetap saja Melati tidak berhasil ditemukan. Ia lenyap begitu saja seperti ditelan bumi," urai Nyi Sani menutup ceritanya.
"Kenapa Paman tidak menitipkannya pada Ibu?" tanya Arya heran.
Nyi Sani menghela napas panjang. Sejenak ditatap anaknya dalam-dalam. "Aku sendiri juga tidak mengerti, Arya. Pamanmu tidak pernah menjawab setiap kali Ibu menanyakannya."
Pemuda berbaju ungu ini terdiam beberapa saat. Pandangan matanya tertuju pada satu titik. Jelas ada sesuatu yang tengah dipikirkannya.
"Kakek menemukan suatu hal yang mengejutkan, Arya," selak Ular Hitam memenggal lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Apa, Kek?" tanya pemuda itu ingin tahu.
"Kau sudah pernah bertarung melawan gadis itu kan?" Ular Hitam malah balik bertanya.
"Sudah, Kek," Arya menganggukkan kepalanya.
"Apa kau menjumpai sesuatu yang mengejutkanmu?" desak kakek itu lagi.
"Ada, Kek," sahut Arya membenarkan. "Jurus 'Cakar Naga Merah'!"
"Tepat!"
"Apa tidak mungkin kalau Melati adalah murid Guru, Kek?" tebak Dewa Arak.
"Bukan, Arya. Gadis itu sama sekali tidak mengenal Kakang Gering Langit!"
"Jadi...?" desak Arya.
"Heh?!" Sepasang alis Ular Hitam berkerut. "Kau tidak dapat menduganya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan alisnya sejenak. Dicobanya untuk berpikir, tapi tetap saja tidak dapat menduga apa-apa. Pikirannya benar-benar seperti buntu!
"Hhh...!" Ular Hitam menghela napas. "Rupanya ada sesuatu yang memberati pikiranmu, Arya. Sehingga otakmu yang biasanya cerdas, kini tidak mampu menduga hal yang sebenarnya sangat mudah!"
Wajah Arya memerah. Memang secara jujur diakui, kalau benaknya diganggu bayangan Melati. Sikap gadis itu yang selalu memusuhi, membuatnya hampir gila. Otaknya buntu, tidak bisa diajak berpikir. Melihat keadaan Arya, Ular Hitam tidak tega untuk mendesak lebih lama.
"Gadis yang bernama Melati itu adalah murid orang yang hendak kau cari atas perintah gurumu!" jelas Ular Hitam.
"Ahhh...!" Dewa Arak tersentak.
Arya jadi merasa begitu bodoh. Dalam Kitab Belalang Sakti, Ki Gering Langit telah memberi tugas untuk mencari dua orang yang sebenarnya pelayan di rumah kakek itu. Mereka telah kabur membawa lari kitab-kitab milik Ki Gering Langit. Waktu itu puluhan tahun yang lalu, rumah Ki Gering Langit adalah rumah yang selama ini ditempati Pendekar Ruyung Maut.
"Jadi...?"
"Ya!" selak Ular Hitam. "Melati adalah satu-satunya kunci yang dapat menunjukkan kepadamu di mana dua orang pengkhianat itu!"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Satu yang perlu kau perhatikan, Arya," sambung kakek itu lagi. "Kau harus berhati-hati! Aku tidak bisa membayangkan sampai di mana kepandaian pengkhianat-pengkhianat itu. Bayangkan! Muridnya saja sampai selihai itu! Hhh... ! Kau harus sering-sering bersemadi untuk lebih memantapkan tenaga dalammu, Arya. Aku khawatir, pengkhianat-pengkhianat itu kini telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur tingginya!"
"Akan kuingat baik-baik nasihat Kakek. O ya, Kek. Aku ada suatu masalah yang ingin kutanyakan pada Kakek."
Kemudian Arya menceritakan tentang Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa.
Setelah mendengar penuturan pemuda berambut putih keperakan ini Ular Hitam mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Setiap ilmu memiliki kelemahan, Arya. Apalagi ilmu yang didapat dengan cara tidak wajar. Mengenai ilmu kekebalan tubuh yang kau ceritakan itu, banyak sekali yang kuketahui penangkalnya. Mungkin salah satunya ada yang benar."
Lalu Ular Hitam memberitahu macam-macam cara menaklukkan ilmu kekebalan tubuh. Arya mendengarkan dan mencatat di otaknya semua petunjuk yang diberikan Ular Hitam.
Setelah semua petunjuk kakek bertubuh tinggi kurus itu dihapalnya, Arya pun pamit pada ibu dan kakeknya. Mereka melepas kepergian pemuda berambut putih keperakan itu dengan pandang mata berkaca-kaca.
Arya kini melakukan perjalanan mencari berita tentang Melati yang berjuluk Dewi Penyebar Maut. Karena ciri-ciri gadis itu yang memang menyolok, pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk melakukan pengejaran. Hampir di setiap tempat berita mengenai Melati selalu didapat. Dan berita yang didapatnya membuat Arya mengerutkan dahinya.
Betapa tidak? Hampir di setiap desa dan tempat yang dikunjunginya, Melati selalu menyebar maut! Tidak ada orang yang masih hidup apabila telah berurusan dengannya. Satu hal yang melegakan Arya, Melati menimbulkan korban karena ia diusik. Tak pernah gadis itu yang memulai lebih dulu.
Arya mempercepat langkahnya. Dari desa yang baru saja ditanyainya, didapat keterangan bahwa orang yang tengah dicarinya belum lama melalui desa itu. Dan sudah pasti telah menimbulkan korban nyawa! Perkara biasa. Bergajul-bergajul itu pasti hendak berbuat kurang ajar padanya.
Setelah melewati perbatasan desa, dan mendekati mulut sebuah hutan, pendengaran Arya yang tajam menangkap adanya suara-suara pertarungan di depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuh pemuda ini berkelebat cepat ke arah asal suara pertempuran.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan, dalam waktu sebentar saja Arya sudah melihat orang yang bertarung. Dan mendadak pemuda berambut putih keperakan ini tersentak begitu mengenali kedua orang yang sedang bertarung itu.
Tidak jauh darinya, sekitar sepuluh tombak di depan, nampak seorang gadis cantik berpakaian serba putih dan bersenjatakan pedang, tengah bertarung melawan seseorang bertubuh tinggi besar, dan berwajah kasar. Di lehernya tergantung kalung yang bermatakan tengkorak kepala bayi. Siapa lagi kalau bukan Melati yang tengah bertarung melawan Raksasa Kulit Baja.
Pandangan mata Dewa Arak yang tajam segera saja dapat mengetahui kalau Melati terlihat kelelahan. Peluhnya yang membanjiri tubuh dan gerakannya yang sudah tidak gesit lagi, menjadi bukti dugaan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Ha ha ha...!" terdengar tawa terbahak-bahak dari mulut Raksasa Kulit Baja itu.
Pemuda ini tahu kalau Melati, seperti dirinya juga dulu, kebingungan dan habis daya melawan kehebatan ilmu lawannya. Dan Dewa Arak yang telah mendapat petunjuk cara menghadapi Raksasa Kulit Baja, segera melompat ke arena pertempuran. .
"Mundur, Melati!" perintah Dewa Arak.
Terdengar seruan kaget dari mulut gadis itu. Dan memang sebenarnya Melati mengalami kekagetan yang bertumpuk-tumpuk. Dari mana Arya Buana mengetahui namanya? Tapi dalam kekagetan yang melanda hatinya itu, menyeruak rasa gembira yang tak terperikan. Arya Buana ternyata masih hidup! Pemuda yang telah membuat gejolak perasaannya tak menentu itu ternyata tidak mati akibat pukulannya!
Oh, mengapa dia tidak pernah merasa segembira seperti sekarang? Inikah yang dinamakan cinta? Mengapa pemuda itu ada di sini? Apakah Arya juga memperhatikan dirinya? Tanpa sadar gadis itu melompat mundur.
Arya yang melihat hal ini menjadi tersentak sekaligus gembira. Berarti benarlah dugaan ibunya. Gadis ini adalah Melati kecil yang dulu ditemukan pamannya sewaktu masih bayi!
"Grrroah...!"
Raksasa Kulit Baja meraung murka begitu melihat siapa yang masuk ke arena pertempuran, dan kini berdiri di hadapannya sambil menuangkan arak ke dalam mulut.
“Gluk... gluk... gluk... !”
"Sungguh besar nyalimu, Dewa Arak! Kali ini jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, manusia raksasa itu melolos rantai berujung arit yang melilit pinggangnya. Sambil menggeram marah, diputar-putar, dan dilemparkannya ke arah Arya.
“Singgg... !”
Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai berujung arit itu meluncur cepat ke arah kepala Dewa Arak. Sedangkan pemuda itu seperti biasa tengah sempoyongan sehabis menenggak araknya, seolah-olah tidak menyadari adanya bahaya mengancam.
Tapi begitu serangan rantai itu menyambar dekat, Dewa Arak cepat menggerakkan tangan memapak, setelah lebih dulu menyimpan kembali gucinya di punggung.
“Pralll... !”
Rantai yang terbuat dari baja itu putus berantakan ketika mengenai tangan kanan Dewa Arak. Berbareng dengan itu, tangan kiri pemuda itu menangkap ujung rantai yang tersisa.
“Kreppp!”
"Hup!"
Hanya sekali sentak, tubuh Raksasa Kulit Baja terbetot dan melayang ke arah Dewa Arak. Hal ini memang disengaja. Pemuda itu ingin mencoba salah satu cara yang diberikan Ular Hitam.
Menurut Ular Hitam, kalau Raksasa Kulit Baja memperoleh kekebalan dengan cara melumuri ramuan-ramuan ke tubuhnya, pasti ada bagian tubuh yang tidak terkena ramuan itu. Karena tidak mungkin seluruh tubuhnya terlumuri ramuan. Dan bagian yang tidak terkena ramuan itu adalah kelemahan dari Raksasa Kulit Baja.
Arya tahu, di antara seluruh tubuh tinggi besar ini hanya satu anggota tubuh yang belum pernah diserangnya. Telapak kaki! Kini pemuda berambut putih keperakan itu akan mencobanya.
“Wuuuttt...!”
Begitu tubuh Raksasa Kulit Baja itu telah menyambar dekat, Dewa Arak mencuatkan kakinya. Maka dengan ujung kaki, disodoknya telapak kaki manusia bertubuh raksasa itu.
“Tukkk... !”
Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental ke atas. Pegangannya pada rantai langsung terlepas. Sesaat lamanya tubuh itu melayang-layang di udara, kemudian jatuh ke tanah sehingga menimbulkan suara berdebuk keras.
Dengan hati berdebar tegang, Arya menunggu hasil percobaannya itu. Tapi betapa kecewa hatinya ketika lawannya bangkit kembali tanpa kurang suatu apa. Berarti manusia raksasa ini tidak mempergunakan ramu-ramuan untuk mendapatkan kekebalan.
“Srattt... !”
Arya mencabut sesuatu dari balik punggungnya Cara kedua yang diajarkan Ular Hitam untuk menaklukkan kekebalan tubuh Raksasa Kulit Baja.
"Ha ha ha...!" manusia raksasa itu tertawa bergelak ketika melihat senjata yang tergenggam di tangan Dewa Arak. Bambu kuning! Panjangnya sama dengan panjang sebatang pedang.
"Rupanya kau ini sudah jadi gila karena bingung, Dewa Arak! Jangankan bambu, baja pun tidak akan membuat kulitku lecet!"
Tapi Arya tidak mempedulikan ejekan itu. Sambil mengeluarkan pekik melengking, Dewa Arak melompat menyerang lawannya. Raksasa Kulit Baja yang mempunyai gerakan lambat, tidak mungkin menghindari serangan Dewa Arak yang sangat cepat itu? Bertubi-tubi bambu kuning di tangan Arya mengenai sasarannya. Ditusuk, disabet, disontek, sampai akhirnya bambu itu hancur!
"Ha ha ha...!" kembali Raksasa Kulit Baja tertawa bergelak.
"Masih ada lagi senjatamu, Dewa Arak? Keluarkan! Puaskan hatimu, sebelum kau tewas di tanganku!"
Arya membuang sisa bambu yang masih digenggamnya. Sesaat kemudian matanya liar mengawasi sekelilingnya. Dan seketika matanya berseri ketika melihat sebuah pohon yang memang dicarinya. Pohon kelor!
Cepat laksana kilat, tubuh Arya melesat ke atas. Dan di lain saat tubuhnya sudah melayang turun. Kini di tangannya tergenggam sebatang ranting pohon itu yang berdaun lebat.
Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Daun kelor yang tergenggam di tangannya disabetkan ke tubuh manusia raksasa itu.
“Prattt! “
"Akh...!"
Dengan telak sabetan itu mengenai badan Raksasa Kulit Baja. Mendadak saja terdengar jerit kesakitan dari mulut manusia raksasa yang kebal ini. Jerit yang lebih menyerupai raungan binatang buas terluka.
Dewi Penyebar Maut tersentak kaget melihat hal ini. Hampir tidak dipercaya akan apa yang dilihatnya barusan. Raksasa Kulit Baja yang memiliki kekebalan luar biasa itu meraung-raung hanya dengan sabetan daun kelor!
Dan sebaliknya, begitu Arya melihat usahanya berhasil, ia pun cepat menghujani sekujur tubuh lawan dengan sabetan-sabetan daun kelor yang digenggamnya.
“Prattt! Prattt!”
"Akh... ! Aduh! Ahhh...!"
Jerit kesakitan terdengar susul-menyusul. Tubuh Raksasa Kulit Baja ini menggeliat-geliat, bahkan terguling-guling. Tapi, Dewa Arak tidak memberi kesempatan. Tubuh yang bergulingan di tanah itu terus dihujaninya dengan daun kelor.
Baru setelah ranting yang digenggamnya hancur, Arya menghentikan sabetan. Dibuangnya ranting itu, lalu ditatapnya sejenak tubuh tinggi besar yang masih berguling-guling. Kemudian sambil mengumpulkan seluruh tenaga, didorongkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka ke depan. Dewa Arak menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' dalam lambaran 'Tenaga Dalam Inti Matahari'!
“Wuuuttt... !”
Angin yang berhawa panas menderu keras ke arah tubuh Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan.
“Bresss... !”
Tubuh Raksasa Kulit Baja terpental keras ke belakang ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak menghantam tubuhnya. Suara jerit menyayat keluar dari mulut si tinggi besar ini.
Tubuhnya bergulingan jauh. Dari mulut, hidung, mata, dan telinga mengalir darah segar. Dan begitu gulingan itu terhenti, berhenti pulalah riwayat tokoh menggiriskan ini. Sekujur tubuhnya nampak menghitam hangus!
Sambil mengumpulkan seluruh tenaganya, Dewa Arak mendorongkan kedua tangannya ke arah Raksasa Kulit Baja yang masih berguling kesakitan! Arya Buana tercenung memandang sosok tubuh yang kini tergolek di hadapannya.
Dalam hati, dikagumi juga kehebatan ilmu yang dimiliki orang bertubuh seperti raksasa itu. Cukup lama juga pemuda itu tercenung, dan baru sadar ketika mendengar suara gerakan halus di belakangnya. Dalam sekelebatan, benaknya teringat pada Melati. Buru-buru ditolehkan kepalanya ke belakang.
Dapat dibayangkan betapa terperanjatnya hati pemuda berambut putih keperakan ini ketika tidak melihat siapa-siapa di situ. Dengan perasaan cemas, diedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap saja tidak dijumpai sosok tubuh yang dirindukan dan yang selalu mengganggu ingatannya.
"Melati...!" teriak Arya kalap.
Teriakannya yang disertai pengerahan tenaga dalam itu bergaung, menggema ke sekitarnya. Sesaat pemuda berbaju ungu ini menunggu sambutan. Tapi sampai lelah menunggu, tak juga ada tanda-tanda akan adanya sahutan. Hanya gema suaranya sendiri yang menyambut panggilannya.
"Melati...!" teriak Dewa Arak lagi.
Dan memang, suaranya terdengar bernada putus asa. Dia seperti, kehilangan sesuatu yang amat dicintainya. Tanpa pikir lagi, Dewa Arak bergerak mengejar ke dalam hutan.
Tujuannya jelas, mencari Melati! Selain untuk ketenangan hatinya, juga untuk memenuhi tugas gurunya. Seperti diketahui, gadis ini adalah satu-satunya kunci untuk mencari pencuri kitab-kitab milik Ki Gering Langit.
Tanpa sepengetahuan Arya, dari balik pohon, seraut wajah cantik berpakaian serba putih menatap kepergiannya dengan mata merembang berkaca-kaca. Gadis itu merasa malu menemui Arya, karena sejak pertama kali selalu bentrok dengannya.
Tapi gadis itu juga merasa sedih tidak bisa bersama-sama dengan Arya, pemuda yang diam-diam dicintainya. Dia hanya bisa menatap tubuh Arya Buana hingga lenyap di kejauhan....
Nah, apakah kelak Melati mau menjumpai Dewa Arak lagi? Berhasilkah Arya mencari Melati? Dan memenuhi tugas dari gurunya untuk mengambil kitab-kitab yang dicuri oleh pelayan Ki Gering Langit? Bagi para pembaca yang ingin mengetahui kisah selanjutnya, silakan ikuti serial Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar".
SELESAI
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment