"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras yang memecah kesunyian di pagi ini. Sesosok tubuh berkulit hitam yang tengah bersemadi, membuka sepasang matanya dan memandang ke arah asal suara itu. Suara tawa yang menggelegar, membuat isi dadanya terasa bergetar. Suatu bukti nyata ketinggian tenaga dalam pemilik suara itu.
Sekitar tiga tombak di hadapan laki-laki berkulit hitam itu, berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bibirnya tampak tersenyum sinis, dan sepasang matanya berkilat tajam.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun. Kulitnya berwarna kecoklatan, seperti juga warna pakaiannya. Di kanan-kiri pinggangnya terselip sebatang kapak berwarna perak mengkilat.
"Kaget, Ular Hitam?" tanya pemuda itu mengejek. Sikapnya terlihat memandang rendah kepada orang di depannya.
Orang tua berjuluk Ular Hitam itu, bangkit dari semadinya dengan sikap waspada. Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat suara tadi membuatnya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ular Hitam tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu.
Seketika sepasang mata pemuda berpakaian serba coklat itu berkilat, karena pertanyaannya sama sekali tidak dipedulikan kakek di hadapannya. Raut wajahnya terpancar kemarahan.
"Kau kenal Ki Jatayu?" tanya pemuda itu. Dingin dan datar suaranya.
"Hah...?! Apa hubunganmu dengannya...?" tanya Datuk Barat ini dengan jantung berdebar keras.
Wajah Ular Hitam langsung berubah mendengar nama yang disebut pemuda itu. Dia kenal betul siapa Ki Jatayu. Salah seorang pelayan kakaknya yang kabur membawa kitab pusaka.
"Aku muridnya...," pelan dan tenang suara pemuda itu.
"Apa?!" sepasang mata Ular Hitam terbelalak bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Ular Hitam? Aku yakin sekarang kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini, bukan?"
Belum juga gema ucapannya habis, murid Ki Jatayu itu telah melesat menerjang Ular Hitam. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus. Tangan kanannya bergerak menusuk ke arah leher, sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdecit tajam, berdesing dan mengaung, seolah-olah sebatang pedang yang amat tajam mengibas-ngibas mencari sasaran.
Sebagai datuk yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan, Ular Hitam mengenal betul serangan berbahaya. Maka, buru-¬buru digeser kakinya ke samping. Sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya. Tetapi sesuatu yang mengejutkan kakek itu terjadi.
“Brettt...! “
Baju di bagian dadanya robek memanjang, seperti tersayat pisau atau pedang tajam. Tentu saja hal ini membuat Datuk Barat ini kaget bukan main! Padahal kakek ini tahu pasti kalau serangan itu telah dielakkan sebelum sempat mengenainya.
Jadi, angin serangan itulah yang telah menyerempet bajunya. Seketika Ular Hitam tersentak ketika teringat akan ilmu yang mempunyai akibat begitu dahysat itu.
'"Tangan Pedang'...!" teriak Datuk Barat itu keras.
'Tangan Pedang' adalah salah satu ilmu milik Ki Gering Langit yang mempunyai keistimewaan membuat tangan setajam pedang! Bahkan bagi yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, angin serangannya pun tak kalah dahsyatnya dibanding babaTan pedang tajam!
"Rupanya matamu belum lamur, Ular Hitam!" ejek pemuda berpakaian coklat itu.
Ular Hitam menggeram. Terdengar suara bergemeletuk keras dari sekujur tulang-tulang tubuhnya. Ketika amarahnya meluap-luap, kakek ini mengeluarkan ilmu andalannya. ilmu 'Ular Terbang'. Kedua tangannya yang membentuk kepala ular, berkelebatan cepat melakukan sodokan-sodokan tak terduga ke bagian ulu hati dan tenggorokan.
Angin berdecit keras mengiringi tibanya serangan serangan Ular Hitam itu. Suatu tanda kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi.
Tetapi pemuda berbaju coklat itu hanya tersenyum mengejek. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, dijegalnya serangan-serangan yang mengancam lewat tebasan-tebasan dengan sisi tapak tangan miring.
“Takkk! Takkk! “
Benturan antara dua tangan yang sama-¬sama memiliki tenaga dalam tinggi pun tak terhindari lagi. Tubuh Ular Hitam terhuyung dua langkah ke belakang, sementara tubuh pemuda murid Ki Jatayu hanya bergetar saja.
Ular Hitam terperanjat melihat kenyataan ini. Memang sudah diduga kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda sombong di hadapannya cukup tinggi. Namun sungguh di luar dugaan kalau sampai begitu tinggi, sehingga tidak kalah dahsyat dengan yang dimiliki anak asuhnya, si Dewa Arak.
Rasa perih yang melanda, membuat kakek itu melirik kedua tangannya yang tadi berbenturan dengan sisi tangan pemuda itu. Pucat wajah Ular Hitam ketika melihat lengan bajunya robek seperti tersayat pedang. Bahkan sepasang tangannya pun nampak bergaris tipis memanjang, yang pelahan namun pasti muncul bintik-bintik merah. Darah!
Tapi kakek ini tidak mempedulikan. Kembali diterjangnya murid Ki Jatayu itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Tentu saja pemuda berbaju coklat itu tidak tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan dahsyat itu dengan tak kalah dahsyat. Baik Ular Hitam maupun murid Ki Jatayu, sama-sama memiliki gerakan yang amat cepat. Sehingga tidak aneh, kalau yang nampak hanyalah dua buah bayangan berwarna hitam dan coklat yang saling sambar, dan terkadang saling terpental.
Dalam waktu sebentar saja pertarungan itu telah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan selama itu, beberapa kali sosok bayangan hitam terpental keluar dari arena pertarungan.
Tapi, hal itu berlangsung hanya sekejap saja karena sosok bayangan coklat kemudian memburunya. Maka kembali kedua bayangan itu saling sambar. Suara mendesing dan mengaung menyemaraki pertarungan antara kedua orang sakti
Pada jurus kelima puluh tujuh, untuk yang kesekian kalinya, sosok bayangan hitam kembali terpental ke belakang. Tapi kali ini lebih parah dari sebelumnya. Sosok bayangan hitam memang adalah Ular Hitam, terjengkang dan terguling-guling di tanah. Namun dengan sigap laki-laki tua itu mematahkan daya guling, kemudian melompat bangkit dan kembali bersiap siaga.
Keadaan kakek ini sungguh mengenaskan! Seluruh pakaiannya koyak bagai tersayat-sayat pedang. Bahkan pada beberapa bagian tubuhnya terdapat garis memanjang samar-samar!.
Pepohonan bertumbangan, batu-batu besar maupun kecil beterbangan. Dan debu pun ikut mengepul tinggi ke udara. Ular Hitam sekarang menyadari kalau pemuda di hadapannya ini tidak mungkin dapat dikalahkan. Maka kakek itu memutuskan untuk bertindak nekad. Pemuda ini akan diajaknya mengadu nyawa!
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian kalinya, pemuda berpakaian coklat itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan. Sementara Datuk Barat itu hanya menatap tanpa berkedip, penuh kewaspadaan. Seluruh panca inderanya terpusat penuh.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki mendekat dari belakangnya. Sambil tetap tak melepaskan pengawasan terhadap pemuda di hadapannya, kakek ini menengok ke belakang.
Beberapa tombak di belakangnya tertihat seorang wanita setengah baya. Pakaiannya serba kuning, dan di bagian dada sebelah kiri terdapat sulaman bunga mawar berwarna merah. Dia berjalan menghampirinya. Wanita itu adalah Nyi Sani, ibu Arya Buana atau Dewa Arak
"Sani! Cepat pergi dari sini! Cepat...!" teriak Ular Hitam kalap.
Setelah berkata demikian, kakek itu segera menerjang pemuda berbaju coklat di hadapannya dengan serangan-serangan yang mematikan. Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian pemuda itu dari Nyi Sani.
Nyi Sani adalah seorang wanita cerdik. Ia tahu, Ular Hitam tak akan menyuruhnya pergi dengan nada begitu keras, kalau tidak ada sesuatu yang berbahaya. Itulah sebabnya bergegas dibalikkan tubuhnya dan berlari ke arah kedatangannya tadi. Tapi baru beberapa langkah, wanita itu teringat sesuatu.
"Bagaimana dengan Aki sendiri?!" tanya Nyi Sani sambil mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, suaranya terdengar keras mengatasi bisingnya suara pertempuran.
"Jangan pikirkan aku! Aku akan menyusul belakangan!"
Untuk sesaat Nyi Sani terdiam. Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini bimbang. Berat rasanya meninggalkan kakek itu sendirian yang menghadapi lawan tangguh. Digigit bibirnya untuk menguatkan hati, baru setelah itu dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tetap melakukan desakan-desakan, tangan pemuda berbaju coklat yang bernama Darba ini sudah menyelusup ke balik pinggang.
Sementara Ular Hitam hanya dapat mundur dan bertahan. Dengan kecepatan gerak yang sukar diikuti mata, tangan itu telah keluar lagi, lalu menyambar cepat ke arah Ular Hitam.
“Wuttt...! “
Datuk Barat ini kaget bukan kepalang. Sekelebatan terlihat seleret sinar berwarna keperakan menyambar ke arahnya. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, maka untung-untungan sinar itu ditangkis dengan tangannya.
"Akh...!"
Seketika Ular Hitam menjerit kesakitan. Darah langsung muncrat dari tangan kanannya yang buntung sebatas pergelangan. Rupanya seleret sinar keperakan itu adalah kapak mengkilat yang tergantung di pinggang pemuda itu. Belum lagi kakek ini sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Darba telah kembali melayang. Rasanya kibasan kaki itu memang sulit dihindari.
“Buk! “
"Hugh...!"
Dengan telak dan keras, kaki itu menghantam perut Datuk Barat. Kakek itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk. Ada cairan merah menitik di sudut bibirnya. Jelas kalau Ular Hitam terluka dalam. Dan belum lagi kakek itu mampu berbuat sesuatu, kembali tangan murid Ki Jatayu yang memegang kapak keperakan itu berkelebat cepat bagai kilat
“Crakkk...! “
"Akh...!"
Ular Hitam memekik sesaat, sebelum akhirnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher! Datuk ini tewas seketika. Dan rupanya kapak di tangan Darba tidak bertugas sampai di situ saja. Kembali tangan pemuda ini bergerak, mengayunkan kapak perak itu.
“Singgg...! “
Seleret sinar keperakan melesat ke arah Nyi Sani yang tengah berlari. Ibu Dewa Arak ini mencoba berkelit, tapi sayang terlambat!
“Crakkk...! “
"Akh...!"
Nyi Sani memekik tertahan. Tanpa ampun lagi, kapak itu menembus punggungnya. Langkah kakinya pun langsung terhenti seiring dengan lenyapnya nyawa dari badan. Seketika tubuh yang bersimbah darah itu ambruk ke tanah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan dan kepuasan yang berkepanjangan menggema di sekitar tempat itu. Dengan cepat, pemuda itu melesat meninggalkan tempat pembantaian. Suara itu pelahan lenyap seiring lenyapnya tubuh Darba di kejauhan.
"Tidaaak...!"
Jeritan keras melengking terdengar memecah ke sunyian malam. Seorang pemuda berwajah jantan dan berambut putih keperakan, tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Napasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh. Wajah pemuda berpakaian ungu itu basah oleh keringat.
Di dalam mimpi tadi, pemuda itu melihat ada banjir besar yang tiba-tiba melanda tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam. Kakek itu dan ibunya pun tak luput dari amukan air bah. Betapapun kedua orang yang disayanginya itu mencoba bertahan, tapi air itu terlalu kuat buat mereka. Maka keduanya hanyut dilanda air bah itu!
"Ah...!" pelahan pemuda itu mengeluh.
Kedua tangannya ditekapkan ke wajah. Beberapa saat lamanya, dibiarkan kedua tapak tangannya hinggap di sana. Kemudian pelahan-lahan diusap keringat yang membasahi wajah.
"Mimpi itu lagi...," keluh pemuda itu lagi pelan. "Mimpi yang sama. Aneh! Ataukah ini merupakan suatu petunjuk dari Gusti Allah?" duga pemuda itu tiba-tiba.
Teringat hal itu, pemuda yang tak lain adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak bergegas bangkit dari pembaringan. Pemuda ini berbaring di sebuah dipan beralaskan tikar butut.
Ia memang tidak berada di dalam kamar sebuah rumah penginapan, melainkan di sebuah gubuk kecil. Rupanya gubuk kecil itu memang tidak terpakai lagi, dan terletak di tengah sawah.
Diraihnya guci yang diletakkan di sampingnya, lalu didekatkan ke mulutnya. Dituangkan arak itu ke dalam mulutnya. Seketika tubuh Dewa Arak terasa hangat. Baru kemudian guci itu diikat di punggungnya.
Kini pemuda itu bergegas bangkit melangkahkan kakinya menghampiri pintu. Begitu pintu terbuka, tampak hamparan tanaman padi yang telah mengering, menyambutnya di tengah keredupan malam yang hanya diterangi bulan sepotong.
Arya melangkahkan kakinya melalui pematang-pematang sawah. Pikirannya terus menerawang memikirkan mimpi-mimpi yang sama dan senantiasa mengganggu tidurnya setiap malam.
Malam hari itu juga, Arya Buana melanjutkan perjalanannya. Mimpi-mimpi yang sama dan berturut-turut dialami, membuat perasaannya tidak enak. Dia merasakan ada hal¬-hal yang tidak beres terjadi pada diri Ular Hitam dan ibunya.
Dewa Arak segera menuju ke arah Barat. Karena pemuda itu mendengar dari para perantau, kalau di sana terjadi tindak kekacauan dan kejahatan. Karena mungkin saja Ular Hitam dan ibunya memerlukan pertolongan saat ini, maka pemuda ini memutuskan untuk menunda dulu urusannya mencari Melati.
Arya yang tengah gelisah memikirkan nasib ibunya dan Ular Hitam, melakukan perjalanan dengan cepat, tanpa menghentikan langkahnya sekali pun. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, menjelang siang hari, Arya sudah tiba di sebuah tanah lapang yang luas. Tanah di daerah ini kering, bahkan pecah-pecah. Tak ada satu pun tanaman yang tumbuh di sana.
"Hhh...!"
Arya menghela napas panjang. Panas matahari mulai terasa menyengat kulitnya. Matanya beredar ke sekelilingnya. Tak nampak apa-apa kecuali hamparan tanah lapang yang luas.
Tidak nampak satu pohon pun untuk berteduh dari sengatan panas yang amat terik ini. Tengah pemuda berpakaian ungu ini termenung bimbang, pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda di belakangnya.
Dengan perasaan harap-harap cemas, Dewa Arak menolehkan kepalanya ke belakang. Dia khawatir kalau suara itu tercipta karena khayalannya semata-mata. Tapi ternyata tidak. Ternyata agak jauh di depan sana, tampak seekor kuda coklat yang menarik sebuah gerobak.
Setelah yakin dengan penglihatannya, Dewa Arak ini segera membalikkan tubuhnya. Dihadapkan wajah dan tubuhnya ke arah kereta kuda itu berasal. Semakin lama kereta kuda itu semakin dekat jaraknya dari tempat Arya berada. Dan begitu berjarak sekitar lima tombak, pemuda berambut putih keperakan ini melambaikan tangannya.
"Hooop...!"
Seketika si kusir menarik tali kekang kudanya, maka kuda berwarna coklat kehitaman yang sejak tadi memang berjalan lambat-lambat kontan berhenti.
Arya menghampiri kusir kereta kuda itu. Dalam jarak sekitar tiga tombak tadi, Dewa Arak segera dapat mengetahui kalau kusir itu masih amat muda. Dan setelah melangkah mendekati, jelas terlihat kalau wajah kusir itu sungguh tampan.
Kusir yang ternyata seorang pria berusia sekitar sembilan belas tahun itu berkulit putih, halus, dan mulus. Rasanya terlalu tampan untuk seorang lelaki. Hidungnya mancung, dan bibirnya merah.
Kalau saja Arya tidak melihat sebaris kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya, pasti pemuda ini menduga kalau kusir itu seorang wanita. Dandanan rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya serba hitam, sehingga terlihat kontras sekali dengan kulitnya yang putih.
"Mengapa kau memandangiku seperti itu, Kisanak?" tegur kusir itu, yang merasa jengah dipandangi Arya Buana terus-menerus.
"Ah...! Eh..., maaf. Maksudku, aku hanya terpana saja. Maaf," ucap Arya gugup.
Kini pemuda berpakaian ungu ini menyadari betapa tidak sopan sikapnya barusan. "Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tertawa. "Boleh aku mengenal namamu? Namaku Gumala."
Arya tersenyum simpul. Entah kenapa ia merasa suka sekali kepada pemuda tampan ini. Mungkin karena sikapnya yang lucu, atau karena hal-hal lain yang kurang diketahuinya secara pasti. Yang jelas, ia merasa tertarik pada pemuda tampan di hadapannya ini.
"Boleh saja...," sahut Dewa Arak.
"Benar?" tanya Gumala meminta ketegasan.
"Tentu saja!" tegas Arya. ''Tapi ada syaratnya.... ''
Wajah Gumala yang tadinya berseri-seri kontan berubah. "Untuk mengenal namamu saja, ada syaratnya?"
''Tentu!" jawab Arya dengan wajah dibuat sungguh-sungguh. Dia memang mencoba untuk memancing pemuda itu.
"Apa syaratnya?" tanya pemuda yang mengaku bernama Gumala lagi. Wajahnya yang tadi ceria kini terlihat muram.
"Kau memberikan tumpangan di keretamu! Bagaimana?"
"Ha ha ha...!" Gumala tertawa. Wajahnya kembali berseri. "Kukira apa?! Tidak tahunya itu syaratnya! Kalau hanya itu, dengan senang hati kuterima syaratmu! Nah, sekarang perkenalkan siapa dirimu?"
"Namaku Arya Buana. Orang-orang yang dekat denganku biasa memanggil Arya."
"Arya Buana? Cukup gagah namamu!" puji Gumala.
"Tentu saja!" potong Arya cepat "Nama harus disesuaikan dengan orangnya!"
"Ah! Bisa saja kau ini!" cibir Gumala. Tapi tiba-tiba dahinya berkerut seperti tengah mengingat-ingat. "Eh, tunggu dulu. Arya Buana.... Sering kudengar, kalau orang membicarakan namamu. Apakah kau orangnya yang selalu diperbincangkan itu? Kaukah yang dijuluki Dewa Arak itu? Kalau melihat ciri-ciri yang ada, aku yakin kaulah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Begitulah orang menjulukiku. Tapi, aku lebih suka kau memanggilku Arya saja," tegas Arya Buana, disertai helaan napas.
Gumala manggut-manggut. "Oh ya, berapa sih..., umurmu?"
"Heh?! Mau apa tanya-tanya umur segala? Atau... barangkali kau ingin menjodohkan aku dengan adik atau kakakmu? Sayang sekali, aku sudah punya kekasih!" tegas Arya menggoda sambil tertawa.
Tapi tawa Arya secara mendadak berhenti, karena melihat wajah Gumala berubah hebat! Sekilas tadi rasanya sepasang mata pemuda itu mencorong tajam. Ataukah ia salah lihat?
"Ha ha ha...!"
Sekarang ganti Gumala yang tertawa melihat tawa pemuda berambut putih keperakan itu yang lenyap secara mendadak. Sementara Arya yang tadi sudah merasa cemas melihat perubahan wajah pemuda itu jadi ikut tertawa juga.
"Kau ini kelihatannya terlalu genit. Kau tahu, maksudku bertanya demikian adalah untuk mengetahui, siapa di antara kita yang lebih tua. Umurku sembilan belas tahun...."
"Aku dua puluh...," jawab Arya setengah hati.
"Nah! Kalau begitu, bagaimana kalau aku memanggilmu Kakang Arya?" usul pemuda tampan mirip wanita itu.
"Boleh saja," sahut Arya. "Dan aku memanggilmu Adi Gumala."
"Ya! Bagus, bukan?"
Arya hanya tersenyum saja. Sungguhpun sebenarnya perasaan bingung berkecamuk di benaknya. Rasanya dia seperti pernah melihat wajah, mata maupun bibir pemuda itu. Tapi Arya lupa, kapan dan di mana?
"Ayo, Kang Arya. Naiklah cepat! Atau, kau memang senang tertawa-tawa di situ terus sampai kulit dan rambutmu hitam terbakar sinar matahari?" ledek Gumala memenggal lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera naik ke atas kereta. Pemuda itu duduk di samping Gumala, seketika Gumala menyentak tali kekang kudanya. Mulutnya mendecak pelan, dan kudanya pun berjalan pelahan meninggalkan tanah lapang yang luas itu.
"Kau mau ke Barat juga, Adi Gumala?" tanya Dewa Arak.
"Ya. Tak ada salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan?"
"Tentu saja tidak!"
Mereka adalah Arya Buana dan kawan barunya, Gumala. Selama beberapa hari menempuh perjalanan bersama Gumala. Pemuda berambut putih keperakan ini banyak melihat keanehan terhadap pemuda itu.
Pernah suatu ketika mereka singgah di penginapan, Gumala tidak menyewa satu kamar. Dia selalu memaksa untuk menyewa dua buah kamar. Alasannya, karena tidak biasa tidur berdua. Sejak kecil sampai dewasa pemuda itu terbiasa tidur sendiri.
Apabila dipaksa tidur berdua, matanya tak akan bisa terpejam sampai pagi hari. Begitu alasannya jika didesak Arya. Mendengar alasan pemuda itu, Arya tentu saja tidak ingin memaksa. Dan yang lebih mengherankan, Arya Buana sering memergoki Gumala tengah menatapnya dengan sinar mata aneh. Sampai saat ini kelakuan Gumala memang menjadi beban pikiran Dewa Arak itu.
Dan sekarang ini Dewa Arak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi. Dalam hati pemuda ini mulai timbul rasa curiga. Timbullah satu pertanyaan, mengapa Desa Jipang begini sepi?
Belum juga pemuda ini mendapat jawaban dari pertanyaan yang bergayut di benaknya, penglihatannya yang tajam menangkap banyak kelebatan gerakan tubuh, di balik pepohonan yang berjajar di kanan kiri jalan utama desa ini. Kontan seluruh urat syaraf di sekujur tubuh Arya menegang waspada.
Dugaannya sebentar lagi pasti akan terjadi pertempuran. Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak meleset. Belum berapa jauh kereta kuda yang ditumpangi memasuki desa, terdengar suara berdesing nyaring.
“Cappp! “
Sebatang tombak menancap tepat di depan kereta kuda itu. Kontan kuda itu menjadi terkejut, meringkik keras sambil mengangkat kedua kakinya ke atas.
Terdengar suara tawa keras yang memecah kesunyian di pagi ini. Sesosok tubuh berkulit hitam yang tengah bersemadi, membuka sepasang matanya dan memandang ke arah asal suara itu. Suara tawa yang menggelegar, membuat isi dadanya terasa bergetar. Suatu bukti nyata ketinggian tenaga dalam pemilik suara itu.
Sekitar tiga tombak di hadapan laki-laki berkulit hitam itu, berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bibirnya tampak tersenyum sinis, dan sepasang matanya berkilat tajam.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun. Kulitnya berwarna kecoklatan, seperti juga warna pakaiannya. Di kanan-kiri pinggangnya terselip sebatang kapak berwarna perak mengkilat.
"Kaget, Ular Hitam?" tanya pemuda itu mengejek. Sikapnya terlihat memandang rendah kepada orang di depannya.
Orang tua berjuluk Ular Hitam itu, bangkit dari semadinya dengan sikap waspada. Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat suara tadi membuatnya berhati-hati.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya Ular Hitam tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu.
Seketika sepasang mata pemuda berpakaian serba coklat itu berkilat, karena pertanyaannya sama sekali tidak dipedulikan kakek di hadapannya. Raut wajahnya terpancar kemarahan.
"Kau kenal Ki Jatayu?" tanya pemuda itu. Dingin dan datar suaranya.
"Hah...?! Apa hubunganmu dengannya...?" tanya Datuk Barat ini dengan jantung berdebar keras.
Wajah Ular Hitam langsung berubah mendengar nama yang disebut pemuda itu. Dia kenal betul siapa Ki Jatayu. Salah seorang pelayan kakaknya yang kabur membawa kitab pusaka.
"Aku muridnya...," pelan dan tenang suara pemuda itu.
"Apa?!" sepasang mata Ular Hitam terbelalak bagaikan melihat hantu.
"Kau terkejut, Ular Hitam? Aku yakin sekarang kau tentu sudah tahu maksud kedatanganku ke sini, bukan?"
Belum juga gema ucapannya habis, murid Ki Jatayu itu telah melesat menerjang Ular Hitam. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus. Tangan kanannya bergerak menusuk ke arah leher, sementara tangan kiri terpalang di depan dada.
Angin berdecit tajam, berdesing dan mengaung, seolah-olah sebatang pedang yang amat tajam mengibas-ngibas mencari sasaran.
Sebagai datuk yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan, Ular Hitam mengenal betul serangan berbahaya. Maka, buru-¬buru digeser kakinya ke samping. Sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depan tubuhnya. Tetapi sesuatu yang mengejutkan kakek itu terjadi.
“Brettt...! “
Baju di bagian dadanya robek memanjang, seperti tersayat pisau atau pedang tajam. Tentu saja hal ini membuat Datuk Barat ini kaget bukan main! Padahal kakek ini tahu pasti kalau serangan itu telah dielakkan sebelum sempat mengenainya.
Jadi, angin serangan itulah yang telah menyerempet bajunya. Seketika Ular Hitam tersentak ketika teringat akan ilmu yang mempunyai akibat begitu dahysat itu.
'"Tangan Pedang'...!" teriak Datuk Barat itu keras.
'Tangan Pedang' adalah salah satu ilmu milik Ki Gering Langit yang mempunyai keistimewaan membuat tangan setajam pedang! Bahkan bagi yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, angin serangannya pun tak kalah dahsyatnya dibanding babaTan pedang tajam!
"Rupanya matamu belum lamur, Ular Hitam!" ejek pemuda berpakaian coklat itu.
Ular Hitam menggeram. Terdengar suara bergemeletuk keras dari sekujur tulang-tulang tubuhnya. Ketika amarahnya meluap-luap, kakek ini mengeluarkan ilmu andalannya. ilmu 'Ular Terbang'. Kedua tangannya yang membentuk kepala ular, berkelebatan cepat melakukan sodokan-sodokan tak terduga ke bagian ulu hati dan tenggorokan.
Angin berdecit keras mengiringi tibanya serangan serangan Ular Hitam itu. Suatu tanda kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi.
Tetapi pemuda berbaju coklat itu hanya tersenyum mengejek. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, dijegalnya serangan-serangan yang mengancam lewat tebasan-tebasan dengan sisi tapak tangan miring.
“Takkk! Takkk! “
Benturan antara dua tangan yang sama-¬sama memiliki tenaga dalam tinggi pun tak terhindari lagi. Tubuh Ular Hitam terhuyung dua langkah ke belakang, sementara tubuh pemuda murid Ki Jatayu hanya bergetar saja.
Ular Hitam terperanjat melihat kenyataan ini. Memang sudah diduga kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda sombong di hadapannya cukup tinggi. Namun sungguh di luar dugaan kalau sampai begitu tinggi, sehingga tidak kalah dahsyat dengan yang dimiliki anak asuhnya, si Dewa Arak.
Rasa perih yang melanda, membuat kakek itu melirik kedua tangannya yang tadi berbenturan dengan sisi tangan pemuda itu. Pucat wajah Ular Hitam ketika melihat lengan bajunya robek seperti tersayat pedang. Bahkan sepasang tangannya pun nampak bergaris tipis memanjang, yang pelahan namun pasti muncul bintik-bintik merah. Darah!
Tapi kakek ini tidak mempedulikan. Kembali diterjangnya murid Ki Jatayu itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki.
Tentu saja pemuda berbaju coklat itu tidak tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan dahsyat itu dengan tak kalah dahsyat. Baik Ular Hitam maupun murid Ki Jatayu, sama-sama memiliki gerakan yang amat cepat. Sehingga tidak aneh, kalau yang nampak hanyalah dua buah bayangan berwarna hitam dan coklat yang saling sambar, dan terkadang saling terpental.
Dalam waktu sebentar saja pertarungan itu telah berlangsung lebih dari sepuluh jurus. Dan selama itu, beberapa kali sosok bayangan hitam terpental keluar dari arena pertarungan.
Tapi, hal itu berlangsung hanya sekejap saja karena sosok bayangan coklat kemudian memburunya. Maka kembali kedua bayangan itu saling sambar. Suara mendesing dan mengaung menyemaraki pertarungan antara kedua orang sakti
Pada jurus kelima puluh tujuh, untuk yang kesekian kalinya, sosok bayangan hitam kembali terpental ke belakang. Tapi kali ini lebih parah dari sebelumnya. Sosok bayangan hitam memang adalah Ular Hitam, terjengkang dan terguling-guling di tanah. Namun dengan sigap laki-laki tua itu mematahkan daya guling, kemudian melompat bangkit dan kembali bersiap siaga.
Keadaan kakek ini sungguh mengenaskan! Seluruh pakaiannya koyak bagai tersayat-sayat pedang. Bahkan pada beberapa bagian tubuhnya terdapat garis memanjang samar-samar!.
Pepohonan bertumbangan, batu-batu besar maupun kecil beterbangan. Dan debu pun ikut mengepul tinggi ke udara. Ular Hitam sekarang menyadari kalau pemuda di hadapannya ini tidak mungkin dapat dikalahkan. Maka kakek itu memutuskan untuk bertindak nekad. Pemuda ini akan diajaknya mengadu nyawa!
"Ha ha ha...!"
Untuk yang kesekian kalinya, pemuda berpakaian coklat itu tertawa terbahak-bahak. Sebuah tawa kemenangan. Sementara Datuk Barat itu hanya menatap tanpa berkedip, penuh kewaspadaan. Seluruh panca inderanya terpusat penuh.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara langkah-langkah kaki mendekat dari belakangnya. Sambil tetap tak melepaskan pengawasan terhadap pemuda di hadapannya, kakek ini menengok ke belakang.
Beberapa tombak di belakangnya tertihat seorang wanita setengah baya. Pakaiannya serba kuning, dan di bagian dada sebelah kiri terdapat sulaman bunga mawar berwarna merah. Dia berjalan menghampirinya. Wanita itu adalah Nyi Sani, ibu Arya Buana atau Dewa Arak
"Sani! Cepat pergi dari sini! Cepat...!" teriak Ular Hitam kalap.
Setelah berkata demikian, kakek itu segera menerjang pemuda berbaju coklat di hadapannya dengan serangan-serangan yang mematikan. Tujuannya jelas untuk mengalihkan perhatian pemuda itu dari Nyi Sani.
Nyi Sani adalah seorang wanita cerdik. Ia tahu, Ular Hitam tak akan menyuruhnya pergi dengan nada begitu keras, kalau tidak ada sesuatu yang berbahaya. Itulah sebabnya bergegas dibalikkan tubuhnya dan berlari ke arah kedatangannya tadi. Tapi baru beberapa langkah, wanita itu teringat sesuatu.
"Bagaimana dengan Aki sendiri?!" tanya Nyi Sani sambil mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, suaranya terdengar keras mengatasi bisingnya suara pertempuran.
"Jangan pikirkan aku! Aku akan menyusul belakangan!"
Untuk sesaat Nyi Sani terdiam. Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini bimbang. Berat rasanya meninggalkan kakek itu sendirian yang menghadapi lawan tangguh. Digigit bibirnya untuk menguatkan hati, baru setelah itu dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
"Jangan harap dapat lolos dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, sambil tetap melakukan desakan-desakan, tangan pemuda berbaju coklat yang bernama Darba ini sudah menyelusup ke balik pinggang.
Sementara Ular Hitam hanya dapat mundur dan bertahan. Dengan kecepatan gerak yang sukar diikuti mata, tangan itu telah keluar lagi, lalu menyambar cepat ke arah Ular Hitam.
“Wuttt...! “
Datuk Barat ini kaget bukan kepalang. Sekelebatan terlihat seleret sinar berwarna keperakan menyambar ke arahnya. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, maka untung-untungan sinar itu ditangkis dengan tangannya.
"Akh...!"
Seketika Ular Hitam menjerit kesakitan. Darah langsung muncrat dari tangan kanannya yang buntung sebatas pergelangan. Rupanya seleret sinar keperakan itu adalah kapak mengkilat yang tergantung di pinggang pemuda itu. Belum lagi kakek ini sempat berbuat sesuatu, kaki kiri Darba telah kembali melayang. Rasanya kibasan kaki itu memang sulit dihindari.
“Buk! “
"Hugh...!"
Dengan telak dan keras, kaki itu menghantam perut Datuk Barat. Kakek itu mengeluh pendek, dan tubuhnya terbungkuk. Ada cairan merah menitik di sudut bibirnya. Jelas kalau Ular Hitam terluka dalam. Dan belum lagi kakek itu mampu berbuat sesuatu, kembali tangan murid Ki Jatayu yang memegang kapak keperakan itu berkelebat cepat bagai kilat
“Crakkk...! “
"Akh...!"
Ular Hitam memekik sesaat, sebelum akhirnya ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher! Datuk ini tewas seketika. Dan rupanya kapak di tangan Darba tidak bertugas sampai di situ saja. Kembali tangan pemuda ini bergerak, mengayunkan kapak perak itu.
“Singgg...! “
Seleret sinar keperakan melesat ke arah Nyi Sani yang tengah berlari. Ibu Dewa Arak ini mencoba berkelit, tapi sayang terlambat!
“Crakkk...! “
"Akh...!"
Nyi Sani memekik tertahan. Tanpa ampun lagi, kapak itu menembus punggungnya. Langkah kakinya pun langsung terhenti seiring dengan lenyapnya nyawa dari badan. Seketika tubuh yang bersimbah darah itu ambruk ke tanah.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa kemenangan dan kepuasan yang berkepanjangan menggema di sekitar tempat itu. Dengan cepat, pemuda itu melesat meninggalkan tempat pembantaian. Suara itu pelahan lenyap seiring lenyapnya tubuh Darba di kejauhan.
"Tidaaak...!"
Jeritan keras melengking terdengar memecah ke sunyian malam. Seorang pemuda berwajah jantan dan berambut putih keperakan, tiba-tiba bangkit dari tidurnya. Napasnya terengah-engah seperti habis berlari jauh. Wajah pemuda berpakaian ungu itu basah oleh keringat.
Di dalam mimpi tadi, pemuda itu melihat ada banjir besar yang tiba-tiba melanda tempat tinggal pembimbingnya, Ular Hitam. Kakek itu dan ibunya pun tak luput dari amukan air bah. Betapapun kedua orang yang disayanginya itu mencoba bertahan, tapi air itu terlalu kuat buat mereka. Maka keduanya hanyut dilanda air bah itu!
"Ah...!" pelahan pemuda itu mengeluh.
Kedua tangannya ditekapkan ke wajah. Beberapa saat lamanya, dibiarkan kedua tapak tangannya hinggap di sana. Kemudian pelahan-lahan diusap keringat yang membasahi wajah.
"Mimpi itu lagi...," keluh pemuda itu lagi pelan. "Mimpi yang sama. Aneh! Ataukah ini merupakan suatu petunjuk dari Gusti Allah?" duga pemuda itu tiba-tiba.
Teringat hal itu, pemuda yang tak lain adalah Arya Buana atau berjuluk Dewa Arak bergegas bangkit dari pembaringan. Pemuda ini berbaring di sebuah dipan beralaskan tikar butut.
Ia memang tidak berada di dalam kamar sebuah rumah penginapan, melainkan di sebuah gubuk kecil. Rupanya gubuk kecil itu memang tidak terpakai lagi, dan terletak di tengah sawah.
Diraihnya guci yang diletakkan di sampingnya, lalu didekatkan ke mulutnya. Dituangkan arak itu ke dalam mulutnya. Seketika tubuh Dewa Arak terasa hangat. Baru kemudian guci itu diikat di punggungnya.
Kini pemuda itu bergegas bangkit melangkahkan kakinya menghampiri pintu. Begitu pintu terbuka, tampak hamparan tanaman padi yang telah mengering, menyambutnya di tengah keredupan malam yang hanya diterangi bulan sepotong.
Arya melangkahkan kakinya melalui pematang-pematang sawah. Pikirannya terus menerawang memikirkan mimpi-mimpi yang sama dan senantiasa mengganggu tidurnya setiap malam.
Malam hari itu juga, Arya Buana melanjutkan perjalanannya. Mimpi-mimpi yang sama dan berturut-turut dialami, membuat perasaannya tidak enak. Dia merasakan ada hal¬-hal yang tidak beres terjadi pada diri Ular Hitam dan ibunya.
Dewa Arak segera menuju ke arah Barat. Karena pemuda itu mendengar dari para perantau, kalau di sana terjadi tindak kekacauan dan kejahatan. Karena mungkin saja Ular Hitam dan ibunya memerlukan pertolongan saat ini, maka pemuda ini memutuskan untuk menunda dulu urusannya mencari Melati.
Arya yang tengah gelisah memikirkan nasib ibunya dan Ular Hitam, melakukan perjalanan dengan cepat, tanpa menghentikan langkahnya sekali pun. Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, menjelang siang hari, Arya sudah tiba di sebuah tanah lapang yang luas. Tanah di daerah ini kering, bahkan pecah-pecah. Tak ada satu pun tanaman yang tumbuh di sana.
"Hhh...!"
Arya menghela napas panjang. Panas matahari mulai terasa menyengat kulitnya. Matanya beredar ke sekelilingnya. Tak nampak apa-apa kecuali hamparan tanah lapang yang luas.
Tidak nampak satu pohon pun untuk berteduh dari sengatan panas yang amat terik ini. Tengah pemuda berpakaian ungu ini termenung bimbang, pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda di belakangnya.
Dengan perasaan harap-harap cemas, Dewa Arak menolehkan kepalanya ke belakang. Dia khawatir kalau suara itu tercipta karena khayalannya semata-mata. Tapi ternyata tidak. Ternyata agak jauh di depan sana, tampak seekor kuda coklat yang menarik sebuah gerobak.
Setelah yakin dengan penglihatannya, Dewa Arak ini segera membalikkan tubuhnya. Dihadapkan wajah dan tubuhnya ke arah kereta kuda itu berasal. Semakin lama kereta kuda itu semakin dekat jaraknya dari tempat Arya berada. Dan begitu berjarak sekitar lima tombak, pemuda berambut putih keperakan ini melambaikan tangannya.
"Hooop...!"
Seketika si kusir menarik tali kekang kudanya, maka kuda berwarna coklat kehitaman yang sejak tadi memang berjalan lambat-lambat kontan berhenti.
Arya menghampiri kusir kereta kuda itu. Dalam jarak sekitar tiga tombak tadi, Dewa Arak segera dapat mengetahui kalau kusir itu masih amat muda. Dan setelah melangkah mendekati, jelas terlihat kalau wajah kusir itu sungguh tampan.
Kusir yang ternyata seorang pria berusia sekitar sembilan belas tahun itu berkulit putih, halus, dan mulus. Rasanya terlalu tampan untuk seorang lelaki. Hidungnya mancung, dan bibirnya merah.
Kalau saja Arya tidak melihat sebaris kumis tipis yang bertengger di atas bibirnya, pasti pemuda ini menduga kalau kusir itu seorang wanita. Dandanan rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya serba hitam, sehingga terlihat kontras sekali dengan kulitnya yang putih.
"Mengapa kau memandangiku seperti itu, Kisanak?" tegur kusir itu, yang merasa jengah dipandangi Arya Buana terus-menerus.
"Ah...! Eh..., maaf. Maksudku, aku hanya terpana saja. Maaf," ucap Arya gugup.
Kini pemuda berpakaian ungu ini menyadari betapa tidak sopan sikapnya barusan. "Ha ha ha...!" pemuda tampan itu tertawa. "Boleh aku mengenal namamu? Namaku Gumala."
Arya tersenyum simpul. Entah kenapa ia merasa suka sekali kepada pemuda tampan ini. Mungkin karena sikapnya yang lucu, atau karena hal-hal lain yang kurang diketahuinya secara pasti. Yang jelas, ia merasa tertarik pada pemuda tampan di hadapannya ini.
"Boleh saja...," sahut Dewa Arak.
"Benar?" tanya Gumala meminta ketegasan.
"Tentu saja!" tegas Arya. ''Tapi ada syaratnya.... ''
Wajah Gumala yang tadinya berseri-seri kontan berubah. "Untuk mengenal namamu saja, ada syaratnya?"
''Tentu!" jawab Arya dengan wajah dibuat sungguh-sungguh. Dia memang mencoba untuk memancing pemuda itu.
"Apa syaratnya?" tanya pemuda yang mengaku bernama Gumala lagi. Wajahnya yang tadi ceria kini terlihat muram.
"Kau memberikan tumpangan di keretamu! Bagaimana?"
"Ha ha ha...!" Gumala tertawa. Wajahnya kembali berseri. "Kukira apa?! Tidak tahunya itu syaratnya! Kalau hanya itu, dengan senang hati kuterima syaratmu! Nah, sekarang perkenalkan siapa dirimu?"
"Namaku Arya Buana. Orang-orang yang dekat denganku biasa memanggil Arya."
"Arya Buana? Cukup gagah namamu!" puji Gumala.
"Tentu saja!" potong Arya cepat "Nama harus disesuaikan dengan orangnya!"
"Ah! Bisa saja kau ini!" cibir Gumala. Tapi tiba-tiba dahinya berkerut seperti tengah mengingat-ingat. "Eh, tunggu dulu. Arya Buana.... Sering kudengar, kalau orang membicarakan namamu. Apakah kau orangnya yang selalu diperbincangkan itu? Kaukah yang dijuluki Dewa Arak itu? Kalau melihat ciri-ciri yang ada, aku yakin kaulah orang yang berjuluk Dewa Arak."
"Begitulah orang menjulukiku. Tapi, aku lebih suka kau memanggilku Arya saja," tegas Arya Buana, disertai helaan napas.
Gumala manggut-manggut. "Oh ya, berapa sih..., umurmu?"
"Heh?! Mau apa tanya-tanya umur segala? Atau... barangkali kau ingin menjodohkan aku dengan adik atau kakakmu? Sayang sekali, aku sudah punya kekasih!" tegas Arya menggoda sambil tertawa.
Tapi tawa Arya secara mendadak berhenti, karena melihat wajah Gumala berubah hebat! Sekilas tadi rasanya sepasang mata pemuda itu mencorong tajam. Ataukah ia salah lihat?
"Ha ha ha...!"
Sekarang ganti Gumala yang tertawa melihat tawa pemuda berambut putih keperakan itu yang lenyap secara mendadak. Sementara Arya yang tadi sudah merasa cemas melihat perubahan wajah pemuda itu jadi ikut tertawa juga.
"Kau ini kelihatannya terlalu genit. Kau tahu, maksudku bertanya demikian adalah untuk mengetahui, siapa di antara kita yang lebih tua. Umurku sembilan belas tahun...."
"Aku dua puluh...," jawab Arya setengah hati.
"Nah! Kalau begitu, bagaimana kalau aku memanggilmu Kakang Arya?" usul pemuda tampan mirip wanita itu.
"Boleh saja," sahut Arya. "Dan aku memanggilmu Adi Gumala."
"Ya! Bagus, bukan?"
Arya hanya tersenyum saja. Sungguhpun sebenarnya perasaan bingung berkecamuk di benaknya. Rasanya dia seperti pernah melihat wajah, mata maupun bibir pemuda itu. Tapi Arya lupa, kapan dan di mana?
"Ayo, Kang Arya. Naiklah cepat! Atau, kau memang senang tertawa-tawa di situ terus sampai kulit dan rambutmu hitam terbakar sinar matahari?" ledek Gumala memenggal lamunan pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera naik ke atas kereta. Pemuda itu duduk di samping Gumala, seketika Gumala menyentak tali kekang kudanya. Mulutnya mendecak pelan, dan kudanya pun berjalan pelahan meninggalkan tanah lapang yang luas itu.
"Kau mau ke Barat juga, Adi Gumala?" tanya Dewa Arak.
"Ya. Tak ada salahnya kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan?"
"Tentu saja tidak!"
Mereka adalah Arya Buana dan kawan barunya, Gumala. Selama beberapa hari menempuh perjalanan bersama Gumala. Pemuda berambut putih keperakan ini banyak melihat keanehan terhadap pemuda itu.
Pernah suatu ketika mereka singgah di penginapan, Gumala tidak menyewa satu kamar. Dia selalu memaksa untuk menyewa dua buah kamar. Alasannya, karena tidak biasa tidur berdua. Sejak kecil sampai dewasa pemuda itu terbiasa tidur sendiri.
Apabila dipaksa tidur berdua, matanya tak akan bisa terpejam sampai pagi hari. Begitu alasannya jika didesak Arya. Mendengar alasan pemuda itu, Arya tentu saja tidak ingin memaksa. Dan yang lebih mengherankan, Arya Buana sering memergoki Gumala tengah menatapnya dengan sinar mata aneh. Sampai saat ini kelakuan Gumala memang menjadi beban pikiran Dewa Arak itu.
Dan sekarang ini Dewa Arak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sepi. Dalam hati pemuda ini mulai timbul rasa curiga. Timbullah satu pertanyaan, mengapa Desa Jipang begini sepi?
Belum juga pemuda ini mendapat jawaban dari pertanyaan yang bergayut di benaknya, penglihatannya yang tajam menangkap banyak kelebatan gerakan tubuh, di balik pepohonan yang berjajar di kanan kiri jalan utama desa ini. Kontan seluruh urat syaraf di sekujur tubuh Arya menegang waspada.
Dugaannya sebentar lagi pasti akan terjadi pertempuran. Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak meleset. Belum berapa jauh kereta kuda yang ditumpangi memasuki desa, terdengar suara berdesing nyaring.
“Cappp! “
Sebatang tombak menancap tepat di depan kereta kuda itu. Kontan kuda itu menjadi terkejut, meringkik keras sambil mengangkat kedua kakinya ke atas.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment