"Keparat...!" Gumala berteriak memaki.
Pemuda itu bergegas menenangkan kudanya. Dan begitu kuda coklat kehitaman itu sudah tenang, tubuhnya pun melesat keluar dari kereta. Gerakannya gesit dan indah.
Arya sendiri jadi terkejut dibuatnya. Baru saja kedua kaki pemuda tampan itu mendarat di tanah, di depannya telah bermunculan banyak sekali laki-laki berwajah kasar dengan senjata terhunus di tangan.
"Siapa kalian?! Mengapa menghadang perjalanan kami?! Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!" ucap pemuda berbaju hitam ini keras.
Ternyata pertanyaan Gumala dijawab dengan serbuan belasan sosok tubuh itu. Mereka menerjang pemuda tampan itu dengan senjata terhunus. Seketika terdengar suara desing pedang dan golok yang berkelebatan menyambar Gumala bagai hujan.
Tapi pemuda yang wajahnya bagai wanita itu hanya tersenyum mengejek. Dengan enaknya dielakkan setiap serangan yang menyambar ke arahnya. Tubuh Gumala menyelinap cepat di balik kelebatan babatan sinar pedang dan golok.
Arya yang semula sudah bersiap-siap membantu bila kawan barunya ini terancam bahaya, segera mengurungkan niatnya begitu melihat gerakan kawannya. Sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan ini segera tahu bahwa Gumala sulit untuk dapat dicelakakan lawan-lawannya.
Apa yang diperkirakan Dewa Arak ini memang tidak salah. Ketika Gumala balas menyerang, satu demi satu lawannya berjatuhan. Kemana saja tangan atau kaki pemuda itu bergerak, di situ pasti ada saja yang rubuh.
"Akh...!"
"Ugh...!"
Terdengar jerit kesakitan saling sambut. Maka tidak sampai delapan jurus, sembilan penghadang itu sudah bergeletakan di tanah. Ada yang patah kakinya, ada yang patah tangannya, dan ada yang bocor kepalanya. Yang jelas, tidak ada satu pun di antara mereka yang terluka parah.
“Plok! Plok! Plok! “
Suara tepuk tangan terdengar seiring rubuhnya penghadang terakhir. Gumala memandang ke arah kereta. Ditatapnya Arya yang tengah duduk sambil bertepuk tangan. Dikebut¬-kebutkannya tangan dan pakaiannya sebelum berjalan menghampiri kereta.
''Tidak kusangka kau selihai itu, Adi Gumala!" puji Arya tulus.
"Kau ini memuji atau meledek, Kang Arya! Apa sih artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan dengan kepandaianmu?! Siapa yang tidak kenal Dewa Arak yang telah menewaskan banyak lawan tangguh?" sergah Gumala sedikit merah wajahnya.
Kontan wajah Arya memerah. "Ah! Sudahlah, Adi Gumala! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan ini. Kurasa ada sesuatu yang tengah terjadi di desa ini. Rasanya aku harus berbuat sesuatu."
"Sekarang akan kemana, Kang Arya?" tanya Gumala setelah duduk di samping pemuda berambut putih keperakan itu, seraya menggenggam tali kekang kuda.
"Jalan saja terus, nanti kutunjukkan jalannya!"
Gumala menghela tali kekang kudanya. Mulutnya berdecak pelan. Dan kuda coklat kehitaman itu pun melangkah pelahan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan di tanah merintih-rintih.
***
"Hooop...!"
Gumala menarik tali kekang kudanya, ketika Arya memberitahukan untuk berhenti. Dan tepat di depan sebuah kedai, kereta kuda itu berhenti. Arya lalu melompat turun diikuti Gumala. Ringan sekali gerakan tubuh mereka. Secara beriringan keduanya berjalan memasuki kedai itu. Suasana kedai tampak sepi-sepi saja.
Arya berjalan menghampiri sebuah meja yang kosong, kemudian duduk di situ. Gumala pun mengikuti. Pemilik kedai itu terkejut bukan main melihat kedatangan Arya Buana. Tergopoh-gopoh ia berlari menyambut.
"Arya...!" teriak laki-laki tua pemilik kedai itu gembira. "Syukur pada Gusti Allah kau datang kemari."
"Memangnya ada apa, Ki?" tanya Arya.
Tenang saja terdengar suaranya. Kakek pemilik kedai itu merenung sebentar. Dia memang telah kenal betul dengan Arya. Karena pemuda ini pernah singgah di kedainya dan menginap di situ.
"Nanti saja Aki ceritakan, Den. Sekarang mungkin Den Arya dan Den...."
"Gumala," sahut Gumala singkat, begitu dilihatnya kakek pemilik kedai itu memandang ke arahnya.
"Oh ya..., Den Arya dan Den Gumala mungkin sudah lapar. Akan kusediakan dulu pesanan Aden berdua."
Arya yang memang sudah lapar, segera saja memesan makanan untuk mereka berdua. Kakek pemilik kedai itu segera melangkah masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan makanan. Sambil menunggu pesanan siap, Gumala mengedarkan pandangan ke luar. Dari meja mereka, memang dapat melihat bebas ke luar melalui pintu.
"Hei...!" tiba-tiba Gumala berteriak keras.
Pandangannya yang tajam melihat seorang lelaki mengendap-endap mendekati kudanya sambil menghunus golok. Kuda itu memang ditambatkan Gumala di seberang jalan depan rumah makan. Sadar akan bahaya yang mengancam kudanya, Gumala cepat menggerakkan tangannya.
“Krakkk!”
Pinggiran meja kontan gompal ketika tangan halus Gumala menekan pelan. Dan secepat kilat pemuda berpakaian serba hitam itu melemparkan potongan kayu yang hanya selebar dua jari.
“Singgg...!”
Laksana lesatan sebatang anak panah lepas dari busur, potongan daun meja itu melesat ke arah orang yang menghampiri kuda. Bersamaan dengan melesatnya potongan daun meja itu, tubuh Gumala melesat keluar pintu. Gerakannya cepat bukan main. Bahkan Arya yang melihatnya jadi terlongong.
“Takkk! Akh...!"
Potongan daun meja itu tepat menghantam siku orang yang mengendap-endap mendekati kuda. Keras bukan main, sehingga orang itu terpekik tertahan. Golok di tangannya pun terlepas dan jatuh di tanah. Baru saja orang itu memungut goloknya kembali, di hadapannya telah berdiri Gumala.
"Pengecut...!" maki Gumala geram.
Seketika tangan kanan pemuda itu bergerak menampar. Cepat bukan main gerakannya. Walaupun orang yang hendak mencelakakan kuda itu bergerak mengelak, tetap saja tapak tangan Gumala mendarat keras di pipi kanannya. Tubuh orang yang sial itu langsung terputar sebelum akhirnya rubuh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Pemuda berpakaian serba hitam ini memandang ke sekeliling, karena barangkali saja orang yang sial ini tidak sendirian. Tapi tak ditemukannya tanda-tanda adanya teman-teman orang sial itu. Maka setelah melempar pandang sekali lagi pada sosok tubuh yang tergolek di tanah, Gumala beranjak meninggalkan tempat itu menuju kedai.
"Luar biasa kau, Adi Gumala," puji Arya begitu melihat pemuda tampan itu telah duduk kembali di mejanya, menghadapi makanan yang telah terhidang. "Sekarang marilah kita makan dulu!"
Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian ungu ini mulai menyantap pesanannya. Tanpa banyak cakap Gumala pun mengikutinya. Beberapa saat kemudian kedua pemuda ini sudah sibuk dengan santapannya masing-masing. Dewa Arak diam-diam semakin sering memperhatikan Gumala terutama tentang kepandaiannya. Dan tentu saja tanpa sepengetahuan pemuda itu. Kepandaian Gumala memang belum dapat diketahui secara pasti.
Semula sewaktu melihat perkelahian pemuda itu dalam menghadapi kawanan penghadang, sedikit sudah bisa diperkirakannya tingkat kepandaian pemuda ini. Tapi apa yang disaksikannya waktu itu, berbeda dengan yang baru saja disaksikan tadi. Kecepatan gerakan pemuda itu benar-benar mengejutkannya. Namun Arya bersikap biasa-biasa saja. Dari gelagatnya, pemuda ini tahu kalau Gumala memang berusaha menyembunyikan kepandaiannya, Entah apa alasannya. Itulah sebabnya pemuda berambut putih keperakan ini tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hal itu.
Setelah selesai menyantap pesanannya, baru Arya Buana memanggil kakek pemilik kedai. Bergegas laki-laki tua itu datang menghampiri.
"Sekarang kuharap Aki bersedia menceritakan apa yang terjadi di desa ini," pinta Arya Buana ketika kakek itu telah duduk.
Kakek pemilik kedai itu menghela napas. Sebentar dipandanginya wajah Arya dalam-dalam.
"Kejadiannya belum lama terjadi, Den. Beberapa pekan yang lalu muncul seorang pemuda tampan dan berpakaian serba coklat ke desa ini. Ilmu kepandaiannya luar biasa. Hanya seorang diri saja dia mampu membasmi Perguruan Garuda Emas, yang menjadi pelindung desa ini dari kejahatan para penjahat yang hendak menjarah. Dan benar saja. Setelah Perguruan Garuda Emas runtuh, penjahat-penjahat mulai menjarah desa ini. Siapa yang menentang pasti akan merasakan akibatnya! Hanya Adenlah yang kami harapkan akan dapat membebaskan desa ini dari belenggu kekejaman mereka."
Dewa Arak tercenung, Perguruan Garuda Emas runtuh! Hampir tidak dipercayai pendengarannya sendiri. Perguruan itu ternyata runtuh oleh seorang pemuda tidak dikenal.
"Bagaimana keadaan si Paruh Garuda?" tanya Arya menyebut nama pemimpin Perguruan Garuda Emas.
"Beliau tewas di tangan pemuda itu. Yang selamat dari maut hanya si Cakar Garuda. Itu pun karena kebetulan ia tidak berada di tempat."
"Lalu, apakah pemuda itu masih berada di sini, Ki?"
"Tidak! Sehabis menghancurkan bangunan Perguruan Garuda Emas, ia pergi dari desa ini. Yang tinggal di sini hanya para penjahat yang menjadi anak buahnya," jelas kakek pemilik kedai itu lagi.
"Bisa Aki tunjukkan di mana markas penjahat itu?" pinta Arya.
"Den Arya tahu rumah kepala desa?" kakek itu malah balik bertanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepalanya. "Jadi, penjahat-penjahat itu bermarkas di sana?"
"Ya!" jawab kakek pemilik kedai itu singkat.
"Kalau begitu, kami akan ke sana sekarang, Ki!" ujar Dewa Arak cepat. "Mari, Adi Gumala!"
Setelah berkata demikian, Arya membayar makanannya, lalu segera melesat keluar kedai, diikuti Gumala yang tak kalah gesitnya. Mereka melompat menaiki kereta kuda hampir bersamaan.
"Hiya...!"
Gumala segera menggebah kudanya. Sesaat kemudian kereta kuda itu sudah bergerak cepat meninggalkan kedai itu, diikuti pandangan mata kakek pemilik kedai hingga lenyap di kejauhan. Kereta kuda itu bergerak cepat menyusuri jalan utama Desa Jipang. Rumah kepala desa itu memang jauh dari kedai yang tadi disinggahi Arya.
"Adi Gumala," sapa Dewa Arak ketika kereta kuda ini mulai melewati jalan yang agak sempit. Di sebelah kanannya, nampak sungai mengalir. Melihat sungai itu timbullah keinginan pemuda ini untuk mandi.
"Ada apa, Kang?" tanya Gumala sambil menolehkan kepalanya sebentar.
Sesaat lamanya Arya terkesima. Sementara itu tercium bau harum aneh yang menyergap hidungnya. Bau harum seperti yang biasa keluar dari tubuh seorang wanita!
"Heh! Ditanya malah melamun!"
"Oh..., eh..., apa Adi Gumala?" tanya Arya gugup.
"Lho"! Yang mau bertanya itu sebenarnya siapa Aku atau Kakang Arya?"
“Plak!”
Arya menepak keningnya. Betapa pelupanya dia! Diam-diam pemuda itu menertawakan kebodohannya sendiri.
"Kenapa, Kang. Digigit nyamuk?" goda Gumala lagi.
"Ya... eh, tidak!"
"Lalu, kenapa kepalanya sendiri dipukul?"
"Tidak apa-apa! Aku hanya ingin mandi saja. Bagaimana kalau kita mandi sama-sama, Adi Gumala?"
Sekelebat Arya melihat wajah pemuda itu memerah. Tapi di lain saat kembali normal seperti sediakala.
"Kakang sajalah," tolak Gumala halus.
"Aku masih belum ingin mandi. Biar aku menunggu saja di sini."
Arya temnenung sejenak. "Baiklah kalau begitu!"
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera melompat turun. Arya Buana kemudian bergegas menuruni jalan itu, menuju sungai yang terletak di bawah jalan. Sebentar kemudian, dia sudah sampai di pinggir sungai yang berair cukup jernih. Pemuda ini segera meletakkan guci araknya di tanah, lalu membuka bajunya. Hanya celananya saja yang tidak ditanggalkan. Sesaat kemudian....
“Byurrr...!”
Air muncrat tinggi ke atas ketika Arya Buana terjun ke dalam air. Tubuh pemuda itu pun langsung tenggelam ke dalam air. Beberapa saat lamanya menyelam di air, baru setelah itu kepalanya muncul dari dalam air. Kemudian menyelam kembali beberapa saat, lalu timbul lagi. Tapi tiba-tiba....
"Tolooong...!"
Terdengar jerit seorang wanita mengusik keasyikan Arya dari mandinya. Pemuda berambut putih keperakan ini kontan menolehkan kepalanya ke arah asal jeritan itu. Beberapa tombak dari tempatnya berada, tampak seorang wanita yang tengah timbul tenggelam terbawa arus sungai. Melihat adanya cucian dan pakaian yang tercerai berai terbawa arus, Arya cepat mengetahui kalau wanita itu tengah mencuci di situ. Kemudian tubuhnya terpeleset tercebur ke sungai, dan terbawa arus.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera mengejar tubuh wanita yang tengah terbawa arus itu. Tapi betapapun Arya telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap harus diakui kalau kemampuannya tak mampu menandingi arus sungai. Jarak antara Arya dengan wanita itu nyaris tidak berubah. Arus air memang deras, apalagi di tempat hanyutnya wanita itu. Sesaat lamanya terjadi kejar-kejaran antara Dewa Arak yang sekuat tenaga berenang dibantu arus air dengan wanita yang terbawa arus sungai.
Pemuda itu bergegas menenangkan kudanya. Dan begitu kuda coklat kehitaman itu sudah tenang, tubuhnya pun melesat keluar dari kereta. Gerakannya gesit dan indah.
Arya sendiri jadi terkejut dibuatnya. Baru saja kedua kaki pemuda tampan itu mendarat di tanah, di depannya telah bermunculan banyak sekali laki-laki berwajah kasar dengan senjata terhunus di tangan.
"Siapa kalian?! Mengapa menghadang perjalanan kami?! Menyingkirlah sebelum kesabaranku hilang!" ucap pemuda berbaju hitam ini keras.
Ternyata pertanyaan Gumala dijawab dengan serbuan belasan sosok tubuh itu. Mereka menerjang pemuda tampan itu dengan senjata terhunus. Seketika terdengar suara desing pedang dan golok yang berkelebatan menyambar Gumala bagai hujan.
Tapi pemuda yang wajahnya bagai wanita itu hanya tersenyum mengejek. Dengan enaknya dielakkan setiap serangan yang menyambar ke arahnya. Tubuh Gumala menyelinap cepat di balik kelebatan babatan sinar pedang dan golok.
Arya yang semula sudah bersiap-siap membantu bila kawan barunya ini terancam bahaya, segera mengurungkan niatnya begitu melihat gerakan kawannya. Sekali lihat saja, pemuda berambut putih keperakan ini segera tahu bahwa Gumala sulit untuk dapat dicelakakan lawan-lawannya.
Apa yang diperkirakan Dewa Arak ini memang tidak salah. Ketika Gumala balas menyerang, satu demi satu lawannya berjatuhan. Kemana saja tangan atau kaki pemuda itu bergerak, di situ pasti ada saja yang rubuh.
"Akh...!"
"Ugh...!"
Terdengar jerit kesakitan saling sambut. Maka tidak sampai delapan jurus, sembilan penghadang itu sudah bergeletakan di tanah. Ada yang patah kakinya, ada yang patah tangannya, dan ada yang bocor kepalanya. Yang jelas, tidak ada satu pun di antara mereka yang terluka parah.
“Plok! Plok! Plok! “
Suara tepuk tangan terdengar seiring rubuhnya penghadang terakhir. Gumala memandang ke arah kereta. Ditatapnya Arya yang tengah duduk sambil bertepuk tangan. Dikebut¬-kebutkannya tangan dan pakaiannya sebelum berjalan menghampiri kereta.
''Tidak kusangka kau selihai itu, Adi Gumala!" puji Arya tulus.
"Kau ini memuji atau meledek, Kang Arya! Apa sih artinya kepandaian yang kumiliki bila dibandingkan dengan kepandaianmu?! Siapa yang tidak kenal Dewa Arak yang telah menewaskan banyak lawan tangguh?" sergah Gumala sedikit merah wajahnya.
Kontan wajah Arya memerah. "Ah! Sudahlah, Adi Gumala! Lebih baik kita lanjutkan perjalanan ini. Kurasa ada sesuatu yang tengah terjadi di desa ini. Rasanya aku harus berbuat sesuatu."
"Sekarang akan kemana, Kang Arya?" tanya Gumala setelah duduk di samping pemuda berambut putih keperakan itu, seraya menggenggam tali kekang kuda.
"Jalan saja terus, nanti kutunjukkan jalannya!"
Gumala menghela tali kekang kudanya. Mulutnya berdecak pelan. Dan kuda coklat kehitaman itu pun melangkah pelahan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan di tanah merintih-rintih.
***
"Hooop...!"
Gumala menarik tali kekang kudanya, ketika Arya memberitahukan untuk berhenti. Dan tepat di depan sebuah kedai, kereta kuda itu berhenti. Arya lalu melompat turun diikuti Gumala. Ringan sekali gerakan tubuh mereka. Secara beriringan keduanya berjalan memasuki kedai itu. Suasana kedai tampak sepi-sepi saja.
Arya berjalan menghampiri sebuah meja yang kosong, kemudian duduk di situ. Gumala pun mengikuti. Pemilik kedai itu terkejut bukan main melihat kedatangan Arya Buana. Tergopoh-gopoh ia berlari menyambut.
"Arya...!" teriak laki-laki tua pemilik kedai itu gembira. "Syukur pada Gusti Allah kau datang kemari."
"Memangnya ada apa, Ki?" tanya Arya.
Tenang saja terdengar suaranya. Kakek pemilik kedai itu merenung sebentar. Dia memang telah kenal betul dengan Arya. Karena pemuda ini pernah singgah di kedainya dan menginap di situ.
"Nanti saja Aki ceritakan, Den. Sekarang mungkin Den Arya dan Den...."
"Gumala," sahut Gumala singkat, begitu dilihatnya kakek pemilik kedai itu memandang ke arahnya.
"Oh ya..., Den Arya dan Den Gumala mungkin sudah lapar. Akan kusediakan dulu pesanan Aden berdua."
Arya yang memang sudah lapar, segera saja memesan makanan untuk mereka berdua. Kakek pemilik kedai itu segera melangkah masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan makanan. Sambil menunggu pesanan siap, Gumala mengedarkan pandangan ke luar. Dari meja mereka, memang dapat melihat bebas ke luar melalui pintu.
"Hei...!" tiba-tiba Gumala berteriak keras.
Pandangannya yang tajam melihat seorang lelaki mengendap-endap mendekati kudanya sambil menghunus golok. Kuda itu memang ditambatkan Gumala di seberang jalan depan rumah makan. Sadar akan bahaya yang mengancam kudanya, Gumala cepat menggerakkan tangannya.
“Krakkk!”
Pinggiran meja kontan gompal ketika tangan halus Gumala menekan pelan. Dan secepat kilat pemuda berpakaian serba hitam itu melemparkan potongan kayu yang hanya selebar dua jari.
“Singgg...!”
Laksana lesatan sebatang anak panah lepas dari busur, potongan daun meja itu melesat ke arah orang yang menghampiri kuda. Bersamaan dengan melesatnya potongan daun meja itu, tubuh Gumala melesat keluar pintu. Gerakannya cepat bukan main. Bahkan Arya yang melihatnya jadi terlongong.
“Takkk! Akh...!"
Potongan daun meja itu tepat menghantam siku orang yang mengendap-endap mendekati kuda. Keras bukan main, sehingga orang itu terpekik tertahan. Golok di tangannya pun terlepas dan jatuh di tanah. Baru saja orang itu memungut goloknya kembali, di hadapannya telah berdiri Gumala.
"Pengecut...!" maki Gumala geram.
Seketika tangan kanan pemuda itu bergerak menampar. Cepat bukan main gerakannya. Walaupun orang yang hendak mencelakakan kuda itu bergerak mengelak, tetap saja tapak tangan Gumala mendarat keras di pipi kanannya. Tubuh orang yang sial itu langsung terputar sebelum akhirnya rubuh ke tanah dalam keadaan pingsan.
Pemuda berpakaian serba hitam ini memandang ke sekeliling, karena barangkali saja orang yang sial ini tidak sendirian. Tapi tak ditemukannya tanda-tanda adanya teman-teman orang sial itu. Maka setelah melempar pandang sekali lagi pada sosok tubuh yang tergolek di tanah, Gumala beranjak meninggalkan tempat itu menuju kedai.
"Luar biasa kau, Adi Gumala," puji Arya begitu melihat pemuda tampan itu telah duduk kembali di mejanya, menghadapi makanan yang telah terhidang. "Sekarang marilah kita makan dulu!"
Setelah berkata demikian, pemuda berpakaian ungu ini mulai menyantap pesanannya. Tanpa banyak cakap Gumala pun mengikutinya. Beberapa saat kemudian kedua pemuda ini sudah sibuk dengan santapannya masing-masing. Dewa Arak diam-diam semakin sering memperhatikan Gumala terutama tentang kepandaiannya. Dan tentu saja tanpa sepengetahuan pemuda itu. Kepandaian Gumala memang belum dapat diketahui secara pasti.
Semula sewaktu melihat perkelahian pemuda itu dalam menghadapi kawanan penghadang, sedikit sudah bisa diperkirakannya tingkat kepandaian pemuda ini. Tapi apa yang disaksikannya waktu itu, berbeda dengan yang baru saja disaksikan tadi. Kecepatan gerakan pemuda itu benar-benar mengejutkannya. Namun Arya bersikap biasa-biasa saja. Dari gelagatnya, pemuda ini tahu kalau Gumala memang berusaha menyembunyikan kepandaiannya, Entah apa alasannya. Itulah sebabnya pemuda berambut putih keperakan ini tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang hal itu.
Setelah selesai menyantap pesanannya, baru Arya Buana memanggil kakek pemilik kedai. Bergegas laki-laki tua itu datang menghampiri.
"Sekarang kuharap Aki bersedia menceritakan apa yang terjadi di desa ini," pinta Arya Buana ketika kakek itu telah duduk.
Kakek pemilik kedai itu menghela napas. Sebentar dipandanginya wajah Arya dalam-dalam.
"Kejadiannya belum lama terjadi, Den. Beberapa pekan yang lalu muncul seorang pemuda tampan dan berpakaian serba coklat ke desa ini. Ilmu kepandaiannya luar biasa. Hanya seorang diri saja dia mampu membasmi Perguruan Garuda Emas, yang menjadi pelindung desa ini dari kejahatan para penjahat yang hendak menjarah. Dan benar saja. Setelah Perguruan Garuda Emas runtuh, penjahat-penjahat mulai menjarah desa ini. Siapa yang menentang pasti akan merasakan akibatnya! Hanya Adenlah yang kami harapkan akan dapat membebaskan desa ini dari belenggu kekejaman mereka."
Dewa Arak tercenung, Perguruan Garuda Emas runtuh! Hampir tidak dipercayai pendengarannya sendiri. Perguruan itu ternyata runtuh oleh seorang pemuda tidak dikenal.
"Bagaimana keadaan si Paruh Garuda?" tanya Arya menyebut nama pemimpin Perguruan Garuda Emas.
"Beliau tewas di tangan pemuda itu. Yang selamat dari maut hanya si Cakar Garuda. Itu pun karena kebetulan ia tidak berada di tempat."
"Lalu, apakah pemuda itu masih berada di sini, Ki?"
"Tidak! Sehabis menghancurkan bangunan Perguruan Garuda Emas, ia pergi dari desa ini. Yang tinggal di sini hanya para penjahat yang menjadi anak buahnya," jelas kakek pemilik kedai itu lagi.
"Bisa Aki tunjukkan di mana markas penjahat itu?" pinta Arya.
"Den Arya tahu rumah kepala desa?" kakek itu malah balik bertanya.
Pemuda berambut putih keperakan itu menganggukkan kepalanya. "Jadi, penjahat-penjahat itu bermarkas di sana?"
"Ya!" jawab kakek pemilik kedai itu singkat.
"Kalau begitu, kami akan ke sana sekarang, Ki!" ujar Dewa Arak cepat. "Mari, Adi Gumala!"
Setelah berkata demikian, Arya membayar makanannya, lalu segera melesat keluar kedai, diikuti Gumala yang tak kalah gesitnya. Mereka melompat menaiki kereta kuda hampir bersamaan.
"Hiya...!"
Gumala segera menggebah kudanya. Sesaat kemudian kereta kuda itu sudah bergerak cepat meninggalkan kedai itu, diikuti pandangan mata kakek pemilik kedai hingga lenyap di kejauhan. Kereta kuda itu bergerak cepat menyusuri jalan utama Desa Jipang. Rumah kepala desa itu memang jauh dari kedai yang tadi disinggahi Arya.
"Adi Gumala," sapa Dewa Arak ketika kereta kuda ini mulai melewati jalan yang agak sempit. Di sebelah kanannya, nampak sungai mengalir. Melihat sungai itu timbullah keinginan pemuda ini untuk mandi.
"Ada apa, Kang?" tanya Gumala sambil menolehkan kepalanya sebentar.
Sesaat lamanya Arya terkesima. Sementara itu tercium bau harum aneh yang menyergap hidungnya. Bau harum seperti yang biasa keluar dari tubuh seorang wanita!
"Heh! Ditanya malah melamun!"
"Oh..., eh..., apa Adi Gumala?" tanya Arya gugup.
"Lho"! Yang mau bertanya itu sebenarnya siapa Aku atau Kakang Arya?"
“Plak!”
Arya menepak keningnya. Betapa pelupanya dia! Diam-diam pemuda itu menertawakan kebodohannya sendiri.
"Kenapa, Kang. Digigit nyamuk?" goda Gumala lagi.
"Ya... eh, tidak!"
"Lalu, kenapa kepalanya sendiri dipukul?"
"Tidak apa-apa! Aku hanya ingin mandi saja. Bagaimana kalau kita mandi sama-sama, Adi Gumala?"
Sekelebat Arya melihat wajah pemuda itu memerah. Tapi di lain saat kembali normal seperti sediakala.
"Kakang sajalah," tolak Gumala halus.
"Aku masih belum ingin mandi. Biar aku menunggu saja di sini."
Arya temnenung sejenak. "Baiklah kalau begitu!"
Setelah berkata demikian, pemuda berambut putih keperakan ini segera melompat turun. Arya Buana kemudian bergegas menuruni jalan itu, menuju sungai yang terletak di bawah jalan. Sebentar kemudian, dia sudah sampai di pinggir sungai yang berair cukup jernih. Pemuda ini segera meletakkan guci araknya di tanah, lalu membuka bajunya. Hanya celananya saja yang tidak ditanggalkan. Sesaat kemudian....
“Byurrr...!”
Air muncrat tinggi ke atas ketika Arya Buana terjun ke dalam air. Tubuh pemuda itu pun langsung tenggelam ke dalam air. Beberapa saat lamanya menyelam di air, baru setelah itu kepalanya muncul dari dalam air. Kemudian menyelam kembali beberapa saat, lalu timbul lagi. Tapi tiba-tiba....
"Tolooong...!"
Terdengar jerit seorang wanita mengusik keasyikan Arya dari mandinya. Pemuda berambut putih keperakan ini kontan menolehkan kepalanya ke arah asal jeritan itu. Beberapa tombak dari tempatnya berada, tampak seorang wanita yang tengah timbul tenggelam terbawa arus sungai. Melihat adanya cucian dan pakaian yang tercerai berai terbawa arus, Arya cepat mengetahui kalau wanita itu tengah mencuci di situ. Kemudian tubuhnya terpeleset tercebur ke sungai, dan terbawa arus.
Tanpa pikir panjang lagi, Dewa Arak segera mengejar tubuh wanita yang tengah terbawa arus itu. Tapi betapapun Arya telah mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, tetap harus diakui kalau kemampuannya tak mampu menandingi arus sungai. Jarak antara Arya dengan wanita itu nyaris tidak berubah. Arus air memang deras, apalagi di tempat hanyutnya wanita itu. Sesaat lamanya terjadi kejar-kejaran antara Dewa Arak yang sekuat tenaga berenang dibantu arus air dengan wanita yang terbawa arus sungai.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment