Arya memandangi sosok tubuh tinggi besar berkulit hitam legam yang kini terkapar di depannya. Sebentar kemudian pandangannya dialihkan pada sesosok tubuh wanita setengah baya yang masih bersembunyi di balik lemari. Dada Arya berdebar keras menatap wanita berpakaian serba kuning itu. Wajah ibunya yang telah sekian belas tahun dirindukan.
Wanita berpakaian serba kuning yang bernama Nyi Sani, memperhatikan pemuda berambut putih keperakan itu tanpa berkedip. Wajah Arya memang mirip wajah suaminya, sehingga tidak aneh kalau Nyi Sani merasa mengenali.
"I... Ibu...," Arya memanggil dengan suara serak.
"Si... siapa kau?" tanya Nyi Sani tersentak. Nada suaranya terdengar menggigil.
"A... aku... aku Arya, Bu. Arya Buana...," jawab pemuda berpakaian ungu itu.
"Arya... Arya Buana...?" ulang Ketua Perguruan Mawar Merah itu. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.
"B... benar, Bu. Ayahku bernama Tribuana, dan berjuluk Pendekar Ruyung Maut... "
"Tidak mungkin!" sentak Nyi Sani. "Wajahmu memang mirip suamiku. Juga, warna pakaianmu memang warna kesenangan anakku. Tapi.. , kau bukan Arya Buana! Kau bukan anakku!"
"Ibu...," lirih suara pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku benar-benar Arya Buana anakmu... "
"Bukan! Kau bohong! Anakku tidak memiliki rambut mengerikan seperti itu! Juga tidak pemabukan! Arya adalah anak yang baik!" Nyi Sani masih mencoba menyangkal.
"Percayalah, Bu. Aku memang benar Arya Buana, anakmu. Rambutku menjadi seperti ini karena pengaruh ilmu yang kupelajari. Begitu pula arak yang selalu menemaniku."
Nyi Sani hanya terdiam saja. Ia sebenarnya sudah menduga keras kalau pemuda yang berdiri di hadapannya ini adalah anaknya. Nalurinya sebagai seorang ibu menyatakan demikian. Tapi melihat keadaan aneh pada pemuda itu membuatnya ragu, walaupun bukti-bukti telah cukup meyakinkan.
Melihat wanita yang diduga ibunya itu diam saja, Arya buru-buru melanjutkan ucapannya.
"Aku mencari Ibu atas perintah Ayah, dan petunjuk Paman Lin-du..."
Kini wanita berpakaian serba kuning ini tidak ragu-ragu lagi. Mulutnya yang gemetar nampak komat-kamit seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat lamanya, baru keluarlah kata-kata yang sejak tadi hendak diucapkannya.
"Arya... , Arya anakku... "
"Ibu...!" seru Arya.
Tubuhnya pun meluruk ke arah ibunya. Dijatuhkan tubuhnya bersimpuh di hadapan ibunya dan dipeluknya kedua kaki itu erat-erat.
"Bu.... betapa rindunya aku pada Ibu.... "
Nyi Sani mengusap-usap rambut anaknya yang putih keperak-perakan itu penuh kasih sayang.
"Aku pun merindukanmu, Arya...," ucap Nyi Sani lirih menahan keharuan yang menyeruak ke dalam rongga dadanya. "Bagaimana keadaan ayahmu? Apakah baik-baik saja?"
Tangan pemuda yang memeluk kedua kaki wanita itu menegang seketika. Didongakkan kepalanya dan ditatapnya wajah ibunya dengan pandangan sedih.
"Ada apa, Arya? Katakan, apa yang terjadi terhadap ayahmu?" desak wanita berpakaian kuning itu dengan perasaan tidak enak.
Dari sikap yang diperlihatkan anaknya, wanita itu merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Hatinya kini dalam perasaan yang tidak menentu.
Pelahan-lahan Arya bangkit dari berlututnya. Sambil menundukkan kepala, karena tak ingin melihat kekecewaan dan kesedihan yang akan dialami ibunya, pemuda itu menatap tanah di ujung kaki ibunya.
"Ayah sudah tiada, Bu... "
"Apa katamu, Arya?" walau sudah dapat menduga, tak urung berita yang didengar dari mulut anaknya ini membuatnya kaget bukan kepalang.
Tanpa sadar dicengkeram kedua bahu Arya dan diguncang-guncangnya. "Ayahmu tewas? Siapa yang membunuhnya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperak-perakan ini lalu menceritakan semuanya. Mulai dari perpisahan dengan ayahnya, sampai menerima pesan dari pamannya tempat di mana ibunya berada.
"Walau Paman telah mengetahui bahwa Ibu telah tidak berada lagi di Perguruan Mawar Merah, Paman tetap memberitahu tempat itu. Mungkin maksud Paman agar aku dapat melacak jejak Ibu," ucap Arya Buana menutup ceritanya.
Nyi Sani tercenung setelah putranya itu mengakhiri cerita. Raut wajahnya nampak memancarkan kesedihan yang hebat. Baru saja ia merasa gembira dapat bertemu putranya kembali, kini harus mendengar berita mengenai kematian suami dan kakak kandungnya.
"Sungguh tidak kusangka, kalau umur ayah dan pamanmu begitu singkat, Arya," keluh Nyi Sani.
Mendengar keluhan ibunya, Arya tersadar. Tidak sepantasnya kalau mereka tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Yang mati tidak akan hidup kembali, sekalipun mereka menangis hingga mengeluarkan air mata darah.
"Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya kita menangisi kepergian mereka. Ini akan merugikan diri kita sendiri Yang sudah tiada, toh tidak akan kembali lagi."
Mendengar ucapan putranya, Nyi Sani tersadar. Disusut air matanya, kemudian sambil tersenyum ditatapnya wajah Arya. Senyumnya terlihat getir.
"Nah! Begitu dong, Bu," puji pemuda berpakaian ungu ini. "Sekarang, aku ingin mendengar pengalaman Ibu sejak Paman Lindu membawa Ibu meninggalkan aku dan Ayah."
Istri Pendekar Ruyung Maut itu menghela napas sebelum memulai bicara. "Ceritanya panjang, Arya. Panjang dan sama sekali tidak menarik."
"Tak apa, Bu. Aku ingin mendengarnya," sahut pemuda berambut putih keperakan ini mendesak.
"Baiklah, kalau itu maumu." Nyi Sani terpaksa mengalah. Pandang matanya menerawang keatas.
"Lebih dari lima belas tahun lalu, karena tidak punya pilihan lain lagi, aku terpaksa pergi mengikuti kakak kandungku, yaitu pamanmu Arya. Ia membawaku ke sebuah tempat yang jauh. Di sana, kami tinggal berdua. Tapi itu hanya berlangsung beberapa bulan saja, karena pamanmu kembali pergi dan lama tidak pernah kembali. Untuk mengisi waktu luang yang membuatku bosan, aku mendirikan perguruan silat. Perguruan itu kuberi nama Perguruan Mawar Merah."
Sampai di sini, wanita setengah baya ini menghentikan ceritanya. Arya yang memang tidak berniat memotong cerita itu, tetap diam mendengarkan. Sesaat lamanya suasana menjadi hening.
"Lebih dari setengah tahun suasana tenang-tenang saja. Sampai suatu hari muncul seorang kakek tinggi besar berkulit hitam legam...
"Bargola...," desis Arya.
"Benar. Sialnya kakek itu tertarik padaku. Wajahku, katanya, mengingatkan pada istrinya. Ia pun lalu meminta agar aku bersedia menjadi istrinya."
"Dan Ibu mau?" selak Arya.
"Tidak! Dengan tegas permintaannya kutolak!" tandas wanita berpakaian kuning ini. "Tapi ternyata, itu tidak membuatnya putus asa. Tahu kalau lewat cara baik-baik gagal, dia lalu menggunakan cara kasar. Maka dengan paksa aku dibawanya kabur. Karena kepandaiannya jauh berada di atasku, aku jadi tidak berdaya sehingga dibawa ke sini. Setiap hari dia membujukku agar aku bersedia menjadi istrinya. Tapi aku tetap mengulur waktu, sampai akhirnya kesabarannya habis. Untung engkau datang, Arya," ucap Nyi Sani menutup ceritanya.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini pemuda itu mengerti, mengapa Bargola tidak terdengar kabar beritanya lagi. Rupanya datuk itu disibuki oleh urusan asmara! Hatinya telah terpincuk pada seorang wanita.
Terpikir begitu, tak terasa jantung dalam dada pemuda berambut putih keperak-perakan ini berdebar keras. Terbayang kembali di benaknya wajah seorang gadis berpakaian serba putih yang telah membuat pikirannya tak karuan. Wajah seorang wanita yang telah mencuri sekeping hatinya. Tak terasa wajah pemuda ini berubah mendung.
"Ada apa, Arya?" tanya ibunya yang tentu saja melihat perubahan wajah putranya.
Karena memang sejak tadi ibunya memperhatikan wajah pemuda itu. Dari sepasang mata pemuda di hadapannya yang tengah memandang kosong pada satu titik, Nyi Sani tahu kalau putranya ini tengah melamun. Hanya saja ia tidak tahu, apa yang dilamunkan Arya Buana.
Dewa Arak tersentak. Teguran itu mengingatkan kalau dirinya tidak sendirian di tempat ini..
"Ah... ! Tid... , tidak ada apa-apa, Bu," jawab Arya gagap.
"Ibu tahu ada sesuatu yang sedang memberatkan pikiranmu. Katakanlah, barangkali Ibu bisa membantumu. Atau... , Ibu tidak boleh mengetahuinya? Rahasia pribadimu barangkali?" tanya Nyi Sani sambil tersenyum maklum.
Seketika wajah Arya menyemburat merah. "Sama sekali bukan, Bu."
"Lalu, kenapa kau tampaknya berat untuk mengatakannya?"
Dewa Arak menghembuskan napasnya. Sepertinya dengan menghembuskan napas, dia berharap dapat membuang beban yang bersarang di dadanya.
"Ini menyangkut Paman Lindu, Bu."
"Paman Lindu?! Memangnya ada apa dengan pamanmu?!"
"Bu, apakah Paman Lindu mempunyai anak?"
"Anak? Pamanmu? Tidak, Arya. Pamanmu tidak mempunyai anak. Bagaimana mungkin mempunyai anak kalau beristri pun tidak. Dari mana kau mendapat berita seperti itu, Arya?" tanya Nyi Sani penasaran.
"Itulah masalahnya, Bu," keluh Arya.
"Katakan Arya, dari mana kau mendapat fitnah seperti itu?" desak ibunya lagi.
Pemuda berambut putih keperakan ini ragu. Tapi ketika melihat pandangan mata ibunya, ia tidak dapat menghindar lagi.
"Dari orang yang bersangkutan, Bu," ujar Arya lemah.
"Dari orang yang bersangkutan? Apa maksudmu, Arya? Ibu tidak mengerti! Katakanlah yang jelas! Aneh, mengapa kau kelihatannya takut betul untuk mengatakannya," desak Nyi Sani sambil mengerutkan dahinya.
Merah wajah pemuda itu. Teguran ibunya telak betul mengenai sasaran. Segera dikuatkan hatinya untuk mengucapkan sesuatu.
"Dari anak Paman Lindu sendiri, Bu."
"Anak Paman Lindu? Baiklah. Rupanya kau perlu tahu juga, Arya. Tapi janganlah berprasangka buruk pada pamanmu, karena mungkin saja kau menduga dia mempunyai istri gelap. Kau tahu, pamanmu itu mandul. Itu karena kesukaannya bermain racun yang akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya mandul saja. Pamanmu itu sama sekali tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jadi, bagaimana mungkin mempunyai seorang anak? O ya... , orang yang mengaku-aku anak pamanmu itu laki-laki?" jelas Nyi Sani yang diakhiri dengan pertanyaan.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Wanita?"
Kali ini Arya menganggukkan kepalanya.
"Berapa kira-kira usianya?" tanya Nyi Sani lagi.
Dan memang, sedikit banyak istri Pendekar Ruyung Maut ini sudah bisa menduga, kalau putranya ini mempunyai perasaan lain terhadap wanita yang mengaku anak kakak kandungnya.
Sebenarnya tanpa diberitahu pun bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah dapat memperkirakan usia wanita itu. Tapi dia ingin memastikan kebenaran dugaannya lebih dahulu.
"Kira-kira... , sembilan belas atau delapan belas, Bu...," jelas Arya, yang wajahnya kian memerah. Bahkan dahinya pun berkerut.
Nyi Sani menahan senyum yang hampir saja tercipta dari mulutnya. Tepat dugaannya! Putranya ini pasti sudah terpincuk pada gadis itu.
"Cantik?" goda Nyi Sani.
Semakin merah wajah Arya. "Begitulah kira-kira, Bu."
"Siapa namanya?" tanya wanita itu dengan senyum dikulum.
"Entahlah, Bu," jawab Arya sambil menggelengkan kepalanya.
"Lho, aneh?! Kau tidak tahu namanya?" sepasang mata Nyi Sani terbelalak.
"Bagaimana mungkin ia akan memperkenalkan namanya, Bu. Begitu bertemu, dia marah-marah. Bahkan hendak membunuhku."
"Heh?! Ini lebih gila lagi! Apakah tidak kau katakan kalau kau adalah keponakan orang yang dianggap ayahnya?"
"Dia sudah tahu, Bu. Justru karena itulah ia hendak membunuhku. Katanya, aku keponakan yang sama sekali tidak berguna. Pamannya dibunuh orang, sama sekali tidak berniat membalaskan kematiannya. Begitu katanya."
Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini tercenung. Bisa diterima alasan gadis itu menyerang Arya. Tapi, Arya pun sama sekali tidak bersalah. Lindu, kakaknya memang terlalu banyak membuat kesalahan. Adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang yang dendam padanya.
Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Arya telah selesai dengan ceritanya. Sementara ibunya sibuk dengan pikirannya sendiri. Wanita ini tengah mencoba memeras seluruh ingatannya terhadap setiap perkataan yang diucapkan kakaknya dulu. Tapi, tetap saja dia tidak mampu mengingatnya.
"Bu, apa tidak sebaiknya kalau kita keluar dari tempat ini dulu...?" usul Arya memenggal lamunan ibunya.
Nyi Sani tersentak sadar dari lamunannya. "Kau benar, Arya. Memang sebaiknya kalau kita keluar dari tempat terkutuk ini. Aku sudah bosan tinggal di sini, dan ingin melihat dunia luar yang bebas lepas!"
Di lain saat ibu dan anak ini sudah beranjak dari ruangan itu. Masing-masing melangkahkan kakinya dengan benak yang dipenuhi pikiran sendiri-sendiri. Sementara itu, Sentaka masih tergeletak pingsan.
***
Wanita berpakaian serba kuning yang bernama Nyi Sani, memperhatikan pemuda berambut putih keperakan itu tanpa berkedip. Wajah Arya memang mirip wajah suaminya, sehingga tidak aneh kalau Nyi Sani merasa mengenali.
"I... Ibu...," Arya memanggil dengan suara serak.
"Si... siapa kau?" tanya Nyi Sani tersentak. Nada suaranya terdengar menggigil.
"A... aku... aku Arya, Bu. Arya Buana...," jawab pemuda berpakaian ungu itu.
"Arya... Arya Buana...?" ulang Ketua Perguruan Mawar Merah itu. Nada suaranya terdengar ragu-ragu.
"B... benar, Bu. Ayahku bernama Tribuana, dan berjuluk Pendekar Ruyung Maut... "
"Tidak mungkin!" sentak Nyi Sani. "Wajahmu memang mirip suamiku. Juga, warna pakaianmu memang warna kesenangan anakku. Tapi.. , kau bukan Arya Buana! Kau bukan anakku!"
"Ibu...," lirih suara pemuda berambut putih keperakan itu. "Aku benar-benar Arya Buana anakmu... "
"Bukan! Kau bohong! Anakku tidak memiliki rambut mengerikan seperti itu! Juga tidak pemabukan! Arya adalah anak yang baik!" Nyi Sani masih mencoba menyangkal.
"Percayalah, Bu. Aku memang benar Arya Buana, anakmu. Rambutku menjadi seperti ini karena pengaruh ilmu yang kupelajari. Begitu pula arak yang selalu menemaniku."
Nyi Sani hanya terdiam saja. Ia sebenarnya sudah menduga keras kalau pemuda yang berdiri di hadapannya ini adalah anaknya. Nalurinya sebagai seorang ibu menyatakan demikian. Tapi melihat keadaan aneh pada pemuda itu membuatnya ragu, walaupun bukti-bukti telah cukup meyakinkan.
Melihat wanita yang diduga ibunya itu diam saja, Arya buru-buru melanjutkan ucapannya.
"Aku mencari Ibu atas perintah Ayah, dan petunjuk Paman Lin-du..."
Kini wanita berpakaian serba kuning ini tidak ragu-ragu lagi. Mulutnya yang gemetar nampak komat-kamit seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Beberapa saat lamanya, baru keluarlah kata-kata yang sejak tadi hendak diucapkannya.
"Arya... , Arya anakku... "
"Ibu...!" seru Arya.
Tubuhnya pun meluruk ke arah ibunya. Dijatuhkan tubuhnya bersimpuh di hadapan ibunya dan dipeluknya kedua kaki itu erat-erat.
"Bu.... betapa rindunya aku pada Ibu.... "
Nyi Sani mengusap-usap rambut anaknya yang putih keperak-perakan itu penuh kasih sayang.
"Aku pun merindukanmu, Arya...," ucap Nyi Sani lirih menahan keharuan yang menyeruak ke dalam rongga dadanya. "Bagaimana keadaan ayahmu? Apakah baik-baik saja?"
Tangan pemuda yang memeluk kedua kaki wanita itu menegang seketika. Didongakkan kepalanya dan ditatapnya wajah ibunya dengan pandangan sedih.
"Ada apa, Arya? Katakan, apa yang terjadi terhadap ayahmu?" desak wanita berpakaian kuning itu dengan perasaan tidak enak.
Dari sikap yang diperlihatkan anaknya, wanita itu merasa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Hatinya kini dalam perasaan yang tidak menentu.
Pelahan-lahan Arya bangkit dari berlututnya. Sambil menundukkan kepala, karena tak ingin melihat kekecewaan dan kesedihan yang akan dialami ibunya, pemuda itu menatap tanah di ujung kaki ibunya.
"Ayah sudah tiada, Bu... "
"Apa katamu, Arya?" walau sudah dapat menduga, tak urung berita yang didengar dari mulut anaknya ini membuatnya kaget bukan kepalang.
Tanpa sadar dicengkeram kedua bahu Arya dan diguncang-guncangnya. "Ayahmu tewas? Siapa yang membunuhnya, Arya?"
Pemuda berambut putih keperak-perakan ini lalu menceritakan semuanya. Mulai dari perpisahan dengan ayahnya, sampai menerima pesan dari pamannya tempat di mana ibunya berada.
"Walau Paman telah mengetahui bahwa Ibu telah tidak berada lagi di Perguruan Mawar Merah, Paman tetap memberitahu tempat itu. Mungkin maksud Paman agar aku dapat melacak jejak Ibu," ucap Arya Buana menutup ceritanya.
Nyi Sani tercenung setelah putranya itu mengakhiri cerita. Raut wajahnya nampak memancarkan kesedihan yang hebat. Baru saja ia merasa gembira dapat bertemu putranya kembali, kini harus mendengar berita mengenai kematian suami dan kakak kandungnya.
"Sungguh tidak kusangka, kalau umur ayah dan pamanmu begitu singkat, Arya," keluh Nyi Sani.
Mendengar keluhan ibunya, Arya tersadar. Tidak sepantasnya kalau mereka tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Yang mati tidak akan hidup kembali, sekalipun mereka menangis hingga mengeluarkan air mata darah.
"Sudahlah, Bu. Tidak ada gunanya kita menangisi kepergian mereka. Ini akan merugikan diri kita sendiri Yang sudah tiada, toh tidak akan kembali lagi."
Mendengar ucapan putranya, Nyi Sani tersadar. Disusut air matanya, kemudian sambil tersenyum ditatapnya wajah Arya. Senyumnya terlihat getir.
"Nah! Begitu dong, Bu," puji pemuda berpakaian ungu ini. "Sekarang, aku ingin mendengar pengalaman Ibu sejak Paman Lindu membawa Ibu meninggalkan aku dan Ayah."
Istri Pendekar Ruyung Maut itu menghela napas sebelum memulai bicara. "Ceritanya panjang, Arya. Panjang dan sama sekali tidak menarik."
"Tak apa, Bu. Aku ingin mendengarnya," sahut pemuda berambut putih keperakan ini mendesak.
"Baiklah, kalau itu maumu." Nyi Sani terpaksa mengalah. Pandang matanya menerawang keatas.
"Lebih dari lima belas tahun lalu, karena tidak punya pilihan lain lagi, aku terpaksa pergi mengikuti kakak kandungku, yaitu pamanmu Arya. Ia membawaku ke sebuah tempat yang jauh. Di sana, kami tinggal berdua. Tapi itu hanya berlangsung beberapa bulan saja, karena pamanmu kembali pergi dan lama tidak pernah kembali. Untuk mengisi waktu luang yang membuatku bosan, aku mendirikan perguruan silat. Perguruan itu kuberi nama Perguruan Mawar Merah."
Sampai di sini, wanita setengah baya ini menghentikan ceritanya. Arya yang memang tidak berniat memotong cerita itu, tetap diam mendengarkan. Sesaat lamanya suasana menjadi hening.
"Lebih dari setengah tahun suasana tenang-tenang saja. Sampai suatu hari muncul seorang kakek tinggi besar berkulit hitam legam...
"Bargola...," desis Arya.
"Benar. Sialnya kakek itu tertarik padaku. Wajahku, katanya, mengingatkan pada istrinya. Ia pun lalu meminta agar aku bersedia menjadi istrinya."
"Dan Ibu mau?" selak Arya.
"Tidak! Dengan tegas permintaannya kutolak!" tandas wanita berpakaian kuning ini. "Tapi ternyata, itu tidak membuatnya putus asa. Tahu kalau lewat cara baik-baik gagal, dia lalu menggunakan cara kasar. Maka dengan paksa aku dibawanya kabur. Karena kepandaiannya jauh berada di atasku, aku jadi tidak berdaya sehingga dibawa ke sini. Setiap hari dia membujukku agar aku bersedia menjadi istrinya. Tapi aku tetap mengulur waktu, sampai akhirnya kesabarannya habis. Untung engkau datang, Arya," ucap Nyi Sani menutup ceritanya.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini pemuda itu mengerti, mengapa Bargola tidak terdengar kabar beritanya lagi. Rupanya datuk itu disibuki oleh urusan asmara! Hatinya telah terpincuk pada seorang wanita.
Terpikir begitu, tak terasa jantung dalam dada pemuda berambut putih keperak-perakan ini berdebar keras. Terbayang kembali di benaknya wajah seorang gadis berpakaian serba putih yang telah membuat pikirannya tak karuan. Wajah seorang wanita yang telah mencuri sekeping hatinya. Tak terasa wajah pemuda ini berubah mendung.
"Ada apa, Arya?" tanya ibunya yang tentu saja melihat perubahan wajah putranya.
Karena memang sejak tadi ibunya memperhatikan wajah pemuda itu. Dari sepasang mata pemuda di hadapannya yang tengah memandang kosong pada satu titik, Nyi Sani tahu kalau putranya ini tengah melamun. Hanya saja ia tidak tahu, apa yang dilamunkan Arya Buana.
Dewa Arak tersentak. Teguran itu mengingatkan kalau dirinya tidak sendirian di tempat ini..
"Ah... ! Tid... , tidak ada apa-apa, Bu," jawab Arya gagap.
"Ibu tahu ada sesuatu yang sedang memberatkan pikiranmu. Katakanlah, barangkali Ibu bisa membantumu. Atau... , Ibu tidak boleh mengetahuinya? Rahasia pribadimu barangkali?" tanya Nyi Sani sambil tersenyum maklum.
Seketika wajah Arya menyemburat merah. "Sama sekali bukan, Bu."
"Lalu, kenapa kau tampaknya berat untuk mengatakannya?"
Dewa Arak menghembuskan napasnya. Sepertinya dengan menghembuskan napas, dia berharap dapat membuang beban yang bersarang di dadanya.
"Ini menyangkut Paman Lindu, Bu."
"Paman Lindu?! Memangnya ada apa dengan pamanmu?!"
"Bu, apakah Paman Lindu mempunyai anak?"
"Anak? Pamanmu? Tidak, Arya. Pamanmu tidak mempunyai anak. Bagaimana mungkin mempunyai anak kalau beristri pun tidak. Dari mana kau mendapat berita seperti itu, Arya?" tanya Nyi Sani penasaran.
"Itulah masalahnya, Bu," keluh Arya.
"Katakan Arya, dari mana kau mendapat fitnah seperti itu?" desak ibunya lagi.
Pemuda berambut putih keperakan ini ragu. Tapi ketika melihat pandangan mata ibunya, ia tidak dapat menghindar lagi.
"Dari orang yang bersangkutan, Bu," ujar Arya lemah.
"Dari orang yang bersangkutan? Apa maksudmu, Arya? Ibu tidak mengerti! Katakanlah yang jelas! Aneh, mengapa kau kelihatannya takut betul untuk mengatakannya," desak Nyi Sani sambil mengerutkan dahinya.
Merah wajah pemuda itu. Teguran ibunya telak betul mengenai sasaran. Segera dikuatkan hatinya untuk mengucapkan sesuatu.
"Dari anak Paman Lindu sendiri, Bu."
"Anak Paman Lindu? Baiklah. Rupanya kau perlu tahu juga, Arya. Tapi janganlah berprasangka buruk pada pamanmu, karena mungkin saja kau menduga dia mempunyai istri gelap. Kau tahu, pamanmu itu mandul. Itu karena kesukaannya bermain racun yang akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya mandul saja. Pamanmu itu sama sekali tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jadi, bagaimana mungkin mempunyai seorang anak? O ya... , orang yang mengaku-aku anak pamanmu itu laki-laki?" jelas Nyi Sani yang diakhiri dengan pertanyaan.
Arya menggelengkan kepalanya.
"Wanita?"
Kali ini Arya menganggukkan kepalanya.
"Berapa kira-kira usianya?" tanya Nyi Sani lagi.
Dan memang, sedikit banyak istri Pendekar Ruyung Maut ini sudah bisa menduga, kalau putranya ini mempunyai perasaan lain terhadap wanita yang mengaku anak kakak kandungnya.
Sebenarnya tanpa diberitahu pun bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah dapat memperkirakan usia wanita itu. Tapi dia ingin memastikan kebenaran dugaannya lebih dahulu.
"Kira-kira... , sembilan belas atau delapan belas, Bu...," jelas Arya, yang wajahnya kian memerah. Bahkan dahinya pun berkerut.
Nyi Sani menahan senyum yang hampir saja tercipta dari mulutnya. Tepat dugaannya! Putranya ini pasti sudah terpincuk pada gadis itu.
"Cantik?" goda Nyi Sani.
Semakin merah wajah Arya. "Begitulah kira-kira, Bu."
"Siapa namanya?" tanya wanita itu dengan senyum dikulum.
"Entahlah, Bu," jawab Arya sambil menggelengkan kepalanya.
"Lho, aneh?! Kau tidak tahu namanya?" sepasang mata Nyi Sani terbelalak.
"Bagaimana mungkin ia akan memperkenalkan namanya, Bu. Begitu bertemu, dia marah-marah. Bahkan hendak membunuhku."
"Heh?! Ini lebih gila lagi! Apakah tidak kau katakan kalau kau adalah keponakan orang yang dianggap ayahnya?"
"Dia sudah tahu, Bu. Justru karena itulah ia hendak membunuhku. Katanya, aku keponakan yang sama sekali tidak berguna. Pamannya dibunuh orang, sama sekali tidak berniat membalaskan kematiannya. Begitu katanya."
Bekas Ketua Perguruan Mawar Merah ini tercenung. Bisa diterima alasan gadis itu menyerang Arya. Tapi, Arya pun sama sekali tidak bersalah. Lindu, kakaknya memang terlalu banyak membuat kesalahan. Adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang yang dendam padanya.
Sesaat lamanya suasana menjadi hening. Arya telah selesai dengan ceritanya. Sementara ibunya sibuk dengan pikirannya sendiri. Wanita ini tengah mencoba memeras seluruh ingatannya terhadap setiap perkataan yang diucapkan kakaknya dulu. Tapi, tetap saja dia tidak mampu mengingatnya.
"Bu, apa tidak sebaiknya kalau kita keluar dari tempat ini dulu...?" usul Arya memenggal lamunan ibunya.
Nyi Sani tersentak sadar dari lamunannya. "Kau benar, Arya. Memang sebaiknya kalau kita keluar dari tempat terkutuk ini. Aku sudah bosan tinggal di sini, dan ingin melihat dunia luar yang bebas lepas!"
Di lain saat ibu dan anak ini sudah beranjak dari ruangan itu. Masing-masing melangkahkan kakinya dengan benak yang dipenuhi pikiran sendiri-sendiri. Sementara itu, Sentaka masih tergeletak pingsan.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment