Pandangan mata pemuda berbaju ungu itu terpaku pada sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. Dia adalah Arya Buana alias Dewa Arak. Setelah cukup lama bersikap seperti itu, baru kemudian dihampirinya gerbang yang sudah tidak memiliki pintu lagi.
Di ambang pintu itu, langkah kaki Arya terhenti. Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati kepingan-kepingan papan tebal yang berserakan di bawah kakinya. Pada tiap kepingan papan tebal itu tertera tulisan.
Dewa Arak lalu menyusun tiap kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah dugaannya. Kepingan papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama perguruan, yang kini sudah hancur berantakan.
"Perguruan Beruang Hitam," gumam pemuda itu pelan.
Perguruan itu memang didirikan Bargola, yang sekarang tengah dicarinya. Pemuda itu datang ke sini dengan harapan ada berita mengenai tempat Datuk Timur itu mengasingkan diri.
Dengan langkah setengah hati-hati, Arya melangkah masuk. Seperti yang sudah diduganya, hanya kelengangan dan kesunyian saja yang dijumpai. Juga, bangunan-bangunan yang bekas terbakar di sana-sini.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas kecewa. Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang yang mengobrak-abrik perguruan ini. Siapa lagi kalau bukan Raja Racun Pencabut Nyawa yang dibantu Siluman Tengkorak Putih?
Kali ini Arya tidak menyalahkan tindakan pamannya itu. Wajar bila pamannya melampiaskan kekesalan atas tindakan Bargola yang menculik adik kandungnya. Tidak tanggung-tanggung, dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu.
Tengah pemuda itu termenung bingung, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki dari arah bangunan yang tidak terbakar.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya melompat ke atas dan hinggap di atas sebuah cabang pohon yang terletak tidak jauh dari situ. Dari situ Dewa Arak mengintai ke arah suara langkah kaki tadi berasal.
Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah keluar dari bangunan itu. Wajah maupun potongan tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh. Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada sesuatu yang ditakutinya. Baru setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar dengan berindap-indap.
Melihat tindak-tanduk orang itu, Arya menjadi curiga. Keadaan tempat itu sebenarnya sudah membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya. Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di situ, berarti ada satu dugaan.
Dia sengaja bersembunyi di situ. Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, Arya melompat turun dari tempat persembunyiannya. Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah masuk. Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu. Begitu kotor, kumuh dan tak terurus. Debu dan sarang laba-laba berserakan di sana-sini. Semua ruangan keadaannya sama. Lalu, di manakah orang itu tinggal?
Sungguh pun jaraknya cukup jauh, Arya dapat melihat kalau pakaian orang itu bersih. Padahal di seluruh ruangan yang ada di dalam bangunan ini, tidak ada tempat yang bersih. Aneh! Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini?
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat lama, kalau mencoba mencari ruang rahasia itu. Jalan yang paling mudah adalah menunggu lelaki tadi kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu. Kalau memang benar ruang rahasia itu ada.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera keluar dari gedung itu. Diintainya keadaan di depan sebelum dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali saja orang yang tadi diintainya telah kembali. Tapi di luar sepi. Bergegas pemuda ini kembali ke tempat persembunyiannya semula. Menunggu.
Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di kejauhan. Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang aneh.
Sebelum melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap penuh curiga. Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam.
Kelihatannya setengah berlari saat memasuki bangunan besar yang baru saja ditinggalkan Arya. Bergegas Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon itu. Dan dengan hati-hati diikutinya orang itu.
Orang yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh sedang, dan berkumis tebal itu, sama sekali tidak sadar kalau tengah diikuti. Bahkan tenang-tenang saja saat melangkahkan kakinya di dalam.
Sampai di sebuah ruangan, diambilnya sebuah kursi rusak yang memang terdapat di situ, lalu, berdiri di atasnya. Sebentar kemudian diulurkan tangannya ke atas.
Arya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka, kaget juga melihat apa yang dilakukan orang itu. Si kumis tebal itu ternyata hendak menangkap cecak yang tadi juga dilihatnya.
Anehnya, cecak itu diam saja. Binatang melata itu tidak berusaha mengelak dari ancaman tangan si kumis tebal. Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya yang mengancam.
“Kreppp!”
Tangan si kumis tebal dengan tepatnya mencengkeram tubuh cecak itu. Arya terbelalak. Tapi di lain saat, pemuda ini sadar, kalau cecak itu bukanlah cecak sungguhan. Cecak itu pasti alat rahasia menuju ruangan tersembunyi.
Dugaan Arya tidak salah. Begitu si kumis telah memutar 'cecak' itu, tiba-tiba terdengar suara berderak keras. Sesaat kemudian lantai di tengah-tengah ruangan bergeser. Dan begitu bunyi berderak itu berakhir di belakang si kumis tebal terlihat sebuah lubang berukuran setengah tombak kali setengah tombak.
Begitu melihat lantai ruangan itu bergeser, tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera melesat dan melompat masuk ke dalam.
Untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu yang tidak diinginkan, pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Ringan dan hampir tanpa suara, kedua kaki Arya hinggap di tanah. Belum lagi pemuda ini berbuat sesuatu, terdengar sebuah teguran keras.
"Kaukah itu, Sentaka?"
Tercekat hati Arya mendengar teguran keras itu dan buru-buru menyelinap ke balik tiang. Baru saja Arya bersembunyi, terdengar suara yang cukup keras. Pemuda berbaju ungu ini mengintai dari balik tiang.
Tampak si kumis tebal itu kini telah turut pula. Rupanya suara itu berasal dari kedua kaki kumis tebal itu yang hinggap di dalam ruangan ini. Sekilas Arya memperhatikan sekelilingnya. Segera saja dapat diketahui, kalau dirinya kini berada di dalam sebuah ruangan cukup luas. Keadaan di sini hanya remang-remang saja, karena hanya diterangi sebuah obor yang terpasang di sudut ruangan ini.
Arya memperhatikan arah asal suara teguran itu. Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal dari ruangan yang terang benderang di sebelah sana. Kini Arya mengalihkan perhatiannya pada si kumis tebal yang sekarang diketahui bernama Sentaka.
Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai obor yang tidak terpakai, lalu ditarik ke bawah. Terdengar suara berderak keras. Maka, lantai di ruangan atas yang tadi terbuka itu pun bergerak menutup kembali.
Tiba-tiba pendengaran Arya yang tajam menangkap suara langkah mendekati. Dari bunyi suara langkah yang pelan hampir tanpa suara, pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau orang yang akan hadir ini memiliki kepandaian tinggi. Dengan demikian dia harus bersikap waspada. Bahkan suara napasnya pun ditahan.
Sesaat kemudian terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam tiba di situ. Sungguhpun suasana di situ remang-remang, Arya dapat mengenali kalau sosok tubuh itu adalah orang yang tengah dicari-carinya. Siapa lagi kalau bukan Bargola! Ciri-ciri orang itu persis dengan apa yang dikatakan Kakek Ular Hitam.
"Sentaka," sapa orang tinggi besar itu kepada si kumis tebal.
"Ada apa, Guru?" sahut Sentaka.
"Tahukah kau, ada orang lain yang masuk ke sini sebelum kau tiba? Kuakui ilmu meringankan tubuh orang itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada penuh, tidak mungkin aku mendengarnya."
"Tapi, Guru. Aku yakin betul, kalau aku masuk ke dalam bangunan ini sendiri. Bagaimana mungkin ada orang yang masuk ke sini?" bantah si kumis tebal yang bernama Sentaka itu.
"Tapi aku mendengar suaranya, Sentaka! Dan telingaku belum pernah tertipu!" tandas Bargola.
"Barangkali saja hanya suara kucing melompat... "
Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar suara mengeong lirih. Sebentar kemudian muncullah seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu.
Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya. Bargola tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Arya menunggu sampai tubuh Bargola lenyap di balik ruangan. Kemudian, dipungutnya sebuah batu sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah Sentaka.
“Singgg..! Tukkk!”
Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu pingsan. Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih keperakan itu telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh.
Perlahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah. Setelah itu dengan hati-hati, Arya melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi lenyap. Pemuda berpakaian ungu ini melintasi lorong yang diterangi cahaya obor yang terpancang di kanan kiri dinding.
Baru beberapa langkah Arya memasuki lorong, terdengar suara-suara bernada marah dari arah depannya. Buru-buru Dewa Arak mempercepat langkahnya, seraya tetap mendengarkan suara itu.
"Sampai kapan lagi aku harus bersabar, Sani," pendengaran Arya menangkap suara yang bernada marah itu. Suara itu segera dikenal sebagai suara Bargola!
Arya merasa tengkuknya tiba-tiba dingin mendengar suara itu. Bukan karena gentar pada pemilik suara itu. Tapi, karena isi ucapan itu. Datuk itu marah-marah pada orang yang bernama Sani!
"Sani? Ibukukah?" tanya Arya dalam hati.
Tak terasa pemuda itu mempercepat langkahnya. Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong yang dilalui.
"Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, Sani. Bayangkan! Empat belas tahun lamanya aku menunggu kesediaanmu, untuk sukarela menyerahkan diri padaku. Tapi kau benar-benar wanita tak tahu diuntung! Padahal, karena kaulah aku rela mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat tenaga kutahan rasa penasaranku untuk menantang Siluman Tengkorak Putih. Hhh... ! Kini kesabaranku sudah habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang wanita yang lebih suka dikasari daripada diperlakukan baik-baik!"
"Jangan harap dapat menyentuh tubuhku, Bargola!" teriak wanita itu. "Sebelum kau menjamah tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!"
"Ha ha ha... ! Boleh kau coba kalau bisa, Sani!" tantang Bargola.
Tepat pada saat itu, Arya berada di ambang pintu. Tampak Bargola bergerak lambat-lambat menghampiri seorang wanita setengah baya berpakaian kuning, yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah.
Dan pemuda berambut putih keperakan ini melihat jelas kalau wanita itu tengah menggerakkan tangan kanannya untuk memukul ubun-ubunnya sendiri.
“Wut... !”
Serasa terbang semangat Arya melihat hal ini. Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya yang agak terlambat, membuatnya tidak berdaya untuk mencegah. Tapi sebelum niat wanita itu terlaksana, Bargola sambil tertawa terbahak-bahak memutar-mutar kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam. Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup angin keras yang langsung menyerbu ke arah wanita setengah baya itu.
Wanita berpakaian kuning itu memekik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlontar ke belakang, dan jatuh di pembaringan.
Untung Bargola tidak berniat mencelakainya, sehingga dalam serangannya itu hanya membuat perut wanita itu mual dan tubuhnya terlempar. Sambil terkekeh-kekeh, Datuk Timur itu melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah. Pandang matanya nampak liar penuh nafsu.
Tapi sebelum datuk yang menggiriskan ini mengoyak-ngoyak pakaian wanita yang dipanggil Sani, tiba-tiba...
"Bargola, manusia rendah! Orang semacam kau memang tidak layak dibiarkan hidup!" terdengar bentakan keras menggeledek.
"Heh!"
Bargola sangat terkejut mendengar teriakan itu. Dengan amarah yang meluap karena kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah asal suara. Di ambang pintu, tampak berdiri seorang pemuda berambut putih keperak-perakan, berwajah jantan, dan berpakaian ungu. Di tangannya tergenggam sebuah guci arak yang terbuat dari perak.
"Ha ha ha...!" kembali Bargola tertawa bergelak. “Tidak salahkah penglihatanku? Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak itu? Ha ha ha... ! Pucuk dicinta. ulam tiba! Bahkan lebih dari yang kuharapkan. Mari, mari Dewa Arak. Ingin kulihat, sampai di mana kelihaianmu. Sehingga mampu menundukkan Siluman Tengkorak Putih yang tersohor itu!" (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
Arya sudah bisa mengukur kelihaian lawan di hadapannya ini. Memang, kemungkinan besar kepandaian datuk ini masih di bawah kepandaian Siluman Tengkorak Putih. Tapi biar bagaimanapun, datuk ini tidak kalah berbahaya. Bargola telah memiliki pengalaman luas. Dan itu kelebihannya dibanding Siluman Tengkorak Putih.
Sekilas Dewa Arak menatap wajah wanita berpakaian kuning yang masih meringkuk di pembaringan. Kontan hatinya bergetar. Walaupun waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya, raut wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan. Wanita yang tengah meringkuk di pembaringan itu benar-benar ibunya!
Amarah Arya pun bangkit. Bargola nyata-nyata telah melukai ibunya. Bahkan kalau ia tadi terlambat, mungkin datuk ini telah pula menodai. Kesalahan datuk sesat ini tidak dapat diampuni lagi. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini bertekad untuk melenyapkan datuk ini selama-lamanya.
"Hm...!"
Diawali sebuah dengusan yang menjadi ciri khasnya, Datuk Timur itu melesat menerjang Arya. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan ilmu andalannya, 'Tapak Bara'.
Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berwarna merah, menyambar ganas ke arah ulu hati dan pusar Dewa Arak. Seketika hawa panas berhembus keras sebelum serangan itu tiba. Arya yang tahu betapa berbahayanya kedua serangan itu, sebelum datuk itu menyerangnya, telah menuangkan guci arak ke dalam mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk... !”
Begitu serangan Bargola tiba, Arya mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kakinya bergerak sempoyongan seperti akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.
Hebatnya, kedua serangan itu dapat dielakkan seperti tidak sengaja. Bahkan tubuh Dewa Arak ini telah berada di belakang datuk itu. Dengan cepat pemuda berambut putih keperakan ini pun mengayunkan gucinya menghantam punggung Bargola.
Bargola terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya bisa berbuat seperti itu dalam tempo yang cepat! Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah kenyang pengalaman.
Telah puluhan bahkan mungkin ratusan kali laki-laki kasar ini berhasil meloloskan diri dari ancaman maut. Maka, pada saat yang kritis itu pun ia masih sanggup menyelamatkan selembar nyawanya. Cepat dibanting tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan bertumpu pada kedua tangan dan ujung kakinya.
“Wuttt!”
Sambaran guci Arya lewat di atas tubuhnya.
Sementara itu, saat kedua tapak tangannya hinggap di tanah, kaki kanan Bargola menendang ke belakang, mengarah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini tercekat hatinya melihat serangan itu. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari serangan tiba-tiba itu. Tendangan Bargola datangnya hampir bersamaan dengan lolosnya serangan guci yang mengancam punggung datuk itu. Tidak ada jalan lain bagi Arya, kecuali menangkis serangan itu dengan tangan kirinya yang bebas. Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki Bargola.
“Plakkk!”
Tubuh Datuk Timur itu terputar dan terpelanting. Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke belakang. Bargola meraung murka. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertarung, baru kali ini sewaktu adu tenaga dalam, tubuhnya sampai terpelanting. Apalagi oleh seorang lawan yang masih sangat muda. Rasa penasarannya pun semakin memuncak. Sebagai akibatnya, serangan-serangannya seketika bertambah dahsyat!
Datuk ini mengamuk membabi buta. Kedua tangannya yang berisi ilmu 'Tapak Bara', dan mengandung tenaga panas itu menyambar-nyambar ganas mencari sasaran.
Tetapi yang dihadapi Bargola kali ini adalah Dewa Arak, murid pilihan Ki Gering Langit. Bagi pemuda berambut putih keperak-perakan itu, hawa panas yang mengiringi setiap serangan Bargola seperti tiupan angin sejuk. Karena, dia sendiri memiliki tenaga yang mengandung hawa panas. Bahkan jauh lebih dahsyat ketimbang hawa panas yang dimiliki datuk itu.
Dengan ilmu 'Belalang Sakti', Arya menghadapi setiap serangan Bargola. Setiap serangan yang datang dielakkan secara mudah, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Bahkan pemuda itu sekaligus mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya, menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'.
Nyi Sani bergegas menghindar dari tempat itu. Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak sempat lagi, terpaksa dia bersembunyi di balik sebuah lemari. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari sambaran pukulan yang nyasar. Sebentar saja sekujur tubuh Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah basah oleh keringat. Hawa di dalam ruangan ini terasa panas bukan main, dan terasa menyengat kulit.
Sementara itu pertarungan antara kedua orang sakti itu berjalan sengit, dan terlihat seimbang. Tapi lewat enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak. Datuk sesat ini memang kalah segala-galanya dibanding Dewa Arak. Baik tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun kalah dalam mutu ilmunya. Hanya berkat pengalaman bertarung saja yang membuat Arya agak mengalami sedikit kesulitan untuk mendesak laki-laki kasar itu.
Keadaan sekitar arena pertempuran itu sudah kacau-balau. Dinding ruangan itu tak henti-hentinya bergetar setiap kali Dewa Arak atau Bargola melepaskan pukulan. Dan setiap kali kedua tangan atau kaki mereka beradu, lantai dan dinding ruangan bergetar lebih kuat lagi. Pada jurus ke delapan puluh satu, Bargola menggerakkan kaki kanannya menyapu kaki Arya.
“Wut... !”
"Hup...!" Dewa Arak melompat ke belakang dengan langkah sempoyongan.
Bargola memang sudah menunggu saat ini. Begitu dilihatnya Arya melompat ke belakang, segera disusulnya tubuh Arya dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam penuh. Seketika didorongkan ke arah dada pemuda berambut putih keperak-perakan itu.
“Wut.. !”
Angin berhawa panas luar biasa kerasnya, menderu hebat. Dalam perkiraan Datuk Timur ini, Dewa Arak tidak akan sanggup mengelak lagi. Jalan satu-satunya hanya menangkis, karena serangannya itu begitu tiba-tiba. Dan melihat posisi lawan yang kurang menguntungkan, ia banyak menerima keuntungan dalam adu tenaga ini.
Tetapi, Bargola lupa pada satu hal. Ilmu yang dimiliki Arya adalah ilmu 'Belalang Sakti'. Dan belalang adalah binatang yang dapat terbang. Sehingga walaupun sebagai manusia Arya tidak mungkin dapat terbang, tapi keistimewaan binatang itu dimiliki juga.
Dewa Arak memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak dimiliki manusia biasa! Dalam posisi yang seburuk apa pun, ia dapat melompat atau melenting sempurna.
Baru datuk ini terperanjat kaget ketika tiba-tiba Dewa Arak melompat melewati atas kepalanya. Bukan itu saja yang diperbuat pemuda berambut putih keperakan itu. Sambil melompat, diayunkan guci araknya ke kepala Datuk Timur itu.
“Wuuuttt!”
Bargola terperanjat kaget bukan main. Serangan guci itu berbarengan dengan serangan kedua tangannya yang hanya menghantam tempat kosong. Itu jelas, karena Dewa Arak telah melompat dari situ. Sebisa-bisanya dirundukkan kepalanya.
“Bukkk... !”
Bargola menyeringai. Tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke depan. Kepalanya memang dapat diselamatkan dari ancaman maut guci Dewa Arak, tapi tak urung guci itu berhasil juga menghantam bahunya.
Terdengar suara berderak keras, ketika guci itu menghantam sasaran. Suatu bukti kalau tulang-tulang bahu itu patah. Datuk Timur ini berusaha memperbaiki posisi, dan secepat itu pula membalikkan tubuhnya.
Tapi, sayangnya terlambat. Arya yang melihat tubuh datuk sesat itu terhuyung-huyung jauh ke depan, segera melesat mengejar. Dewa Arak kembali mengayunkan gucinya ke arah kepala Bargola, tepat saat tubuh datuk itu berbalik. Kali ini serangan susulan Arya tidak dapat dielakkan lagi. Dan....
“Wut... ! Prakkk... ! “
"Akh...!"
Telak dan keras sekali guci perak itu menghantam kepala Bargola. Terdengar suara berderak keras ketika kepala datuk itu pecah, terhantam guci yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Darah seketika muncrat dari kepala yang pecah. Sesaat lamanya tubuh Bargola bergoyang-goyang, baru kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya.
***
Di ambang pintu itu, langkah kaki Arya terhenti. Pemuda ini lalu berjongkok, mengamat-amati kepingan-kepingan papan tebal yang berserakan di bawah kakinya. Pada tiap kepingan papan tebal itu tertera tulisan.
Dewa Arak lalu menyusun tiap kepingan papan bertulisan itu, dan benarlah dugaannya. Kepingan papan tebal itu memang mulanya adalah papan nama perguruan, yang kini sudah hancur berantakan.
"Perguruan Beruang Hitam," gumam pemuda itu pelan.
Perguruan itu memang didirikan Bargola, yang sekarang tengah dicarinya. Pemuda itu datang ke sini dengan harapan ada berita mengenai tempat Datuk Timur itu mengasingkan diri.
Dengan langkah setengah hati-hati, Arya melangkah masuk. Seperti yang sudah diduganya, hanya kelengangan dan kesunyian saja yang dijumpai. Juga, bangunan-bangunan yang bekas terbakar di sana-sini.
"Hhh...!"
Arya menghembuskan napas kecewa. Tanpa diberitahu pun, ia telah bisa menebak orang yang mengobrak-abrik perguruan ini. Siapa lagi kalau bukan Raja Racun Pencabut Nyawa yang dibantu Siluman Tengkorak Putih?
Kali ini Arya tidak menyalahkan tindakan pamannya itu. Wajar bila pamannya melampiaskan kekesalan atas tindakan Bargola yang menculik adik kandungnya. Tidak tanggung-tanggung, dihancurkannya perguruan yang didirikan Bargola itu.
Tengah pemuda itu termenung bingung, pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki dari arah bangunan yang tidak terbakar.
Tanpa pikir panjang lagi, Arya melompat ke atas dan hinggap di atas sebuah cabang pohon yang terletak tidak jauh dari situ. Dari situ Dewa Arak mengintai ke arah suara langkah kaki tadi berasal.
Tampaklah seorang laki-laki tengah melangkah keluar dari bangunan itu. Wajah maupun potongan tubuhnya tidak jelas, karena jarak yang cukup jauh. Kepala laki-laki itu nampak menoleh ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada sesuatu yang ditakutinya. Baru setelah itu, sosok tubuh itu melangkah ke luar dengan berindap-indap.
Melihat tindak-tanduk orang itu, Arya menjadi curiga. Keadaan tempat itu sebenarnya sudah membuat orang berpikir kalau di situ tidak ada penghuninya. Kalau sosok tubuh itu tetap tinggal di situ, berarti ada satu dugaan.
Dia sengaja bersembunyi di situ. Setelah sosok tubuh itu lenyap ditelan kejauhan, Arya melompat turun dari tempat persembunyiannya. Rasa ingin tahu memaksanya untuk menyelidiki ke dalam bangunan itu.
Dengan sikap waspada, Arya melangkah masuk. Heran juga hatinya ketika melihat keadaan dalam bangunan itu. Begitu kotor, kumuh dan tak terurus. Debu dan sarang laba-laba berserakan di sana-sini. Semua ruangan keadaannya sama. Lalu, di manakah orang itu tinggal?
Sungguh pun jaraknya cukup jauh, Arya dapat melihat kalau pakaian orang itu bersih. Padahal di seluruh ruangan yang ada di dalam bangunan ini, tidak ada tempat yang bersih. Aneh! Ataukah ada ruang rahasia di dalam bangunan besar ini?
Pemuda berambut putih keperakan ini tahu bahwa akan memakan waktu yang sangat lama, kalau mencoba mencari ruang rahasia itu. Jalan yang paling mudah adalah menunggu lelaki tadi kembali, kemudian menguntitnya menuju ruang rahasia itu. Kalau memang benar ruang rahasia itu ada.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera keluar dari gedung itu. Diintainya keadaan di depan sebelum dilangkahkan kakinya ke luar. Barangkali saja orang yang tadi diintainya telah kembali. Tapi di luar sepi. Bergegas pemuda ini kembali ke tempat persembunyiannya semula. Menunggu.
Cukup lama juga pemuda berambut putih keperakan ini menunggu, sebelum akhirnya melihat orang itu di kejauhan. Kini nampak jelas, kalau kelakuan orang itu yang aneh.
Sebelum melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang yang terdapat papan nama perguruan, orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap penuh curiga. Baru setelah yakin tidak ada yang melihatnya, orang itu bergegas masuk ke dalam.
Kelihatannya setengah berlari saat memasuki bangunan besar yang baru saja ditinggalkan Arya. Bergegas Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon itu. Dan dengan hati-hati diikutinya orang itu.
Orang yang ternyata adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh sedang, dan berkumis tebal itu, sama sekali tidak sadar kalau tengah diikuti. Bahkan tenang-tenang saja saat melangkahkan kakinya di dalam.
Sampai di sebuah ruangan, diambilnya sebuah kursi rusak yang memang terdapat di situ, lalu, berdiri di atasnya. Sebentar kemudian diulurkan tangannya ke atas.
Arya yang mengintip dari balik pintu yang terbuka, kaget juga melihat apa yang dilakukan orang itu. Si kumis tebal itu ternyata hendak menangkap cecak yang tadi juga dilihatnya.
Anehnya, cecak itu diam saja. Binatang melata itu tidak berusaha mengelak dari ancaman tangan si kumis tebal. Seolah-olah tidak tahu adanya bahaya yang mengancam.
“Kreppp!”
Tangan si kumis tebal dengan tepatnya mencengkeram tubuh cecak itu. Arya terbelalak. Tapi di lain saat, pemuda ini sadar, kalau cecak itu bukanlah cecak sungguhan. Cecak itu pasti alat rahasia menuju ruangan tersembunyi.
Dugaan Arya tidak salah. Begitu si kumis telah memutar 'cecak' itu, tiba-tiba terdengar suara berderak keras. Sesaat kemudian lantai di tengah-tengah ruangan bergeser. Dan begitu bunyi berderak itu berakhir di belakang si kumis tebal terlihat sebuah lubang berukuran setengah tombak kali setengah tombak.
Begitu melihat lantai ruangan itu bergeser, tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya segera melesat dan melompat masuk ke dalam.
Untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu yang tidak diinginkan, pemuda berambut putih keperakan ini mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Ringan dan hampir tanpa suara, kedua kaki Arya hinggap di tanah. Belum lagi pemuda ini berbuat sesuatu, terdengar sebuah teguran keras.
"Kaukah itu, Sentaka?"
Tercekat hati Arya mendengar teguran keras itu dan buru-buru menyelinap ke balik tiang. Baru saja Arya bersembunyi, terdengar suara yang cukup keras. Pemuda berbaju ungu ini mengintai dari balik tiang.
Tampak si kumis tebal itu kini telah turut pula. Rupanya suara itu berasal dari kedua kaki kumis tebal itu yang hinggap di dalam ruangan ini. Sekilas Arya memperhatikan sekelilingnya. Segera saja dapat diketahui, kalau dirinya kini berada di dalam sebuah ruangan cukup luas. Keadaan di sini hanya remang-remang saja, karena hanya diterangi sebuah obor yang terpasang di sudut ruangan ini.
Arya memperhatikan arah asal suara teguran itu. Segera saja dapat diketahui kalau suara itu berasal dari ruangan yang terang benderang di sebelah sana. Kini Arya mengalihkan perhatiannya pada si kumis tebal yang sekarang diketahui bernama Sentaka.
Tampak Sentaka tengah mendekati sebuah tangkai obor yang tidak terpakai, lalu ditarik ke bawah. Terdengar suara berderak keras. Maka, lantai di ruangan atas yang tadi terbuka itu pun bergerak menutup kembali.
Tiba-tiba pendengaran Arya yang tajam menangkap suara langkah mendekati. Dari bunyi suara langkah yang pelan hampir tanpa suara, pemuda berbaju ungu ini dapat memperkirakan kalau orang yang akan hadir ini memiliki kepandaian tinggi. Dengan demikian dia harus bersikap waspada. Bahkan suara napasnya pun ditahan.
Sesaat kemudian terlihat sesosok tubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam tiba di situ. Sungguhpun suasana di situ remang-remang, Arya dapat mengenali kalau sosok tubuh itu adalah orang yang tengah dicari-carinya. Siapa lagi kalau bukan Bargola! Ciri-ciri orang itu persis dengan apa yang dikatakan Kakek Ular Hitam.
"Sentaka," sapa orang tinggi besar itu kepada si kumis tebal.
"Ada apa, Guru?" sahut Sentaka.
"Tahukah kau, ada orang lain yang masuk ke sini sebelum kau tiba? Kuakui ilmu meringankan tubuh orang itu hebat sekali. Kalau saja tidak waspada penuh, tidak mungkin aku mendengarnya."
"Tapi, Guru. Aku yakin betul, kalau aku masuk ke dalam bangunan ini sendiri. Bagaimana mungkin ada orang yang masuk ke sini?" bantah si kumis tebal yang bernama Sentaka itu.
"Tapi aku mendengar suaranya, Sentaka! Dan telingaku belum pernah tertipu!" tandas Bargola.
"Barangkali saja hanya suara kucing melompat... "
Dan seperti hendak membela Sentaka, terdengar suara mengeong lirih. Sebentar kemudian muncullah seekor kucing, yang langsung berjalan mendekati kedua orang itu.
Dengan sorot mata penuh kemenangan, Sentaka menatap wajah gurunya. Bargola tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ditatapnya binatang itu sejenak, sebelum dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Arya menunggu sampai tubuh Bargola lenyap di balik ruangan. Kemudian, dipungutnya sebuah batu sebesar kacang kedelai dan dijentokkan ke arah Sentaka.
“Singgg..! Tukkk!”
Tubuh Sentaka mengejang ketika batu itu mengenai punggungnya. Tanpa sempat mengeluh lagi, si kumis tebal itu pingsan. Sebelum tubuh itu sempat jatuh ke tanah, pemuda berambut putih keperakan itu telah lebih dulu melesat untuk menyangga tubuh Sentaka yang hendak rubuh.
Perlahan-lahan sekali, direbahkannya tubuh itu di tanah. Setelah itu dengan hati-hati, Arya melangkahkan kakinya menuju arah Bargola tadi lenyap. Pemuda berpakaian ungu ini melintasi lorong yang diterangi cahaya obor yang terpancang di kanan kiri dinding.
Baru beberapa langkah Arya memasuki lorong, terdengar suara-suara bernada marah dari arah depannya. Buru-buru Dewa Arak mempercepat langkahnya, seraya tetap mendengarkan suara itu.
"Sampai kapan lagi aku harus bersabar, Sani," pendengaran Arya menangkap suara yang bernada marah itu. Suara itu segera dikenal sebagai suara Bargola!
Arya merasa tengkuknya tiba-tiba dingin mendengar suara itu. Bukan karena gentar pada pemilik suara itu. Tapi, karena isi ucapan itu. Datuk itu marah-marah pada orang yang bernama Sani!
"Sani? Ibukukah?" tanya Arya dalam hati.
Tak terasa pemuda itu mempercepat langkahnya. Sementara suara itu terus bergema sepanjang lorong yang dilalui.
"Empat belas tahun bukan waktu yang singkat, Sani. Bayangkan! Empat belas tahun lamanya aku menunggu kesediaanmu, untuk sukarela menyerahkan diri padaku. Tapi kau benar-benar wanita tak tahu diuntung! Padahal, karena kaulah aku rela mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekuat tenaga kutahan rasa penasaranku untuk menantang Siluman Tengkorak Putih. Hhh... ! Kini kesabaranku sudah habis, Sani! Mungkin kau termasuk seorang wanita yang lebih suka dikasari daripada diperlakukan baik-baik!"
"Jangan harap dapat menyentuh tubuhku, Bargola!" teriak wanita itu. "Sebelum kau menjamah tubuhku, aku lebih dulu akan bunuh diri!"
"Ha ha ha... ! Boleh kau coba kalau bisa, Sani!" tantang Bargola.
Tepat pada saat itu, Arya berada di ambang pintu. Tampak Bargola bergerak lambat-lambat menghampiri seorang wanita setengah baya berpakaian kuning, yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah.
Dan pemuda berambut putih keperakan ini melihat jelas kalau wanita itu tengah menggerakkan tangan kanannya untuk memukul ubun-ubunnya sendiri.
“Wut... !”
Serasa terbang semangat Arya melihat hal ini. Jaraknya yang terlampau jauh dan kedatangannya yang agak terlambat, membuatnya tidak berdaya untuk mencegah. Tapi sebelum niat wanita itu terlaksana, Bargola sambil tertawa terbahak-bahak memutar-mutar kedua tangannya di depan dada dari luar ke dalam. Dari kedua tangan yang berputar itu, bertiup angin keras yang langsung menyerbu ke arah wanita setengah baya itu.
Wanita berpakaian kuning itu memekik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlontar ke belakang, dan jatuh di pembaringan.
Untung Bargola tidak berniat mencelakainya, sehingga dalam serangannya itu hanya membuat perut wanita itu mual dan tubuhnya terlempar. Sambil terkekeh-kekeh, Datuk Timur itu melangkah mendekati wanita yang di dada sebelah kirinya terdapat sulaman bunga mawar merah. Pandang matanya nampak liar penuh nafsu.
Tapi sebelum datuk yang menggiriskan ini mengoyak-ngoyak pakaian wanita yang dipanggil Sani, tiba-tiba...
"Bargola, manusia rendah! Orang semacam kau memang tidak layak dibiarkan hidup!" terdengar bentakan keras menggeledek.
"Heh!"
Bargola sangat terkejut mendengar teriakan itu. Dengan amarah yang meluap karena kesenangannya terganggu, dibalikkan tubuhnya menghadap ke arah asal suara. Di ambang pintu, tampak berdiri seorang pemuda berambut putih keperak-perakan, berwajah jantan, dan berpakaian ungu. Di tangannya tergenggam sebuah guci arak yang terbuat dari perak.
"Ha ha ha...!" kembali Bargola tertawa bergelak. “Tidak salahkah penglihatanku? Bukankah kau yang berjuluk Dewa Arak itu? Ha ha ha... ! Pucuk dicinta. ulam tiba! Bahkan lebih dari yang kuharapkan. Mari, mari Dewa Arak. Ingin kulihat, sampai di mana kelihaianmu. Sehingga mampu menundukkan Siluman Tengkorak Putih yang tersohor itu!" (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
Arya sudah bisa mengukur kelihaian lawan di hadapannya ini. Memang, kemungkinan besar kepandaian datuk ini masih di bawah kepandaian Siluman Tengkorak Putih. Tapi biar bagaimanapun, datuk ini tidak kalah berbahaya. Bargola telah memiliki pengalaman luas. Dan itu kelebihannya dibanding Siluman Tengkorak Putih.
Sekilas Dewa Arak menatap wajah wanita berpakaian kuning yang masih meringkuk di pembaringan. Kontan hatinya bergetar. Walaupun waktu itu usianya belum mencapai lima tahun saat ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya, raut wajah ibunya tak mungkin dapat terlupakan. Wanita yang tengah meringkuk di pembaringan itu benar-benar ibunya!
Amarah Arya pun bangkit. Bargola nyata-nyata telah melukai ibunya. Bahkan kalau ia tadi terlambat, mungkin datuk ini telah pula menodai. Kesalahan datuk sesat ini tidak dapat diampuni lagi. Maka, pemuda berambut putih keperakan ini bertekad untuk melenyapkan datuk ini selama-lamanya.
"Hm...!"
Diawali sebuah dengusan yang menjadi ciri khasnya, Datuk Timur itu melesat menerjang Arya. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Bargola mengerahkan ilmu andalannya, 'Tapak Bara'.
Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka berwarna merah, menyambar ganas ke arah ulu hati dan pusar Dewa Arak. Seketika hawa panas berhembus keras sebelum serangan itu tiba. Arya yang tahu betapa berbahayanya kedua serangan itu, sebelum datuk itu menyerangnya, telah menuangkan guci arak ke dalam mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk... !”
Begitu serangan Bargola tiba, Arya mengelakkannya dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Kakinya bergerak sempoyongan seperti akan jatuh, melangkah, dan meliuk-liuk aneh.
Hebatnya, kedua serangan itu dapat dielakkan seperti tidak sengaja. Bahkan tubuh Dewa Arak ini telah berada di belakang datuk itu. Dengan cepat pemuda berambut putih keperakan ini pun mengayunkan gucinya menghantam punggung Bargola.
Bargola terperanjat. Sungguh di luar dugaan kalau lawannya bisa berbuat seperti itu dalam tempo yang cepat! Tapi, Bargola adalah seorang datuk yang telah kenyang pengalaman.
Telah puluhan bahkan mungkin ratusan kali laki-laki kasar ini berhasil meloloskan diri dari ancaman maut. Maka, pada saat yang kritis itu pun ia masih sanggup menyelamatkan selembar nyawanya. Cepat dibanting tubuhnya ke tanah, dan hinggap dengan bertumpu pada kedua tangan dan ujung kakinya.
“Wuttt!”
Sambaran guci Arya lewat di atas tubuhnya.
Sementara itu, saat kedua tapak tangannya hinggap di tanah, kaki kanan Bargola menendang ke belakang, mengarah dada Dewa Arak.
Pemuda berambut putih keperakan ini tercekat hatinya melihat serangan itu. Tidak ada waktu lagi untuk menghindari serangan tiba-tiba itu. Tendangan Bargola datangnya hampir bersamaan dengan lolosnya serangan guci yang mengancam punggung datuk itu. Tidak ada jalan lain bagi Arya, kecuali menangkis serangan itu dengan tangan kirinya yang bebas. Cepat-cepat digerakkan tangan kirinya menepak kaki Bargola.
“Plakkk!”
Tubuh Datuk Timur itu terputar dan terpelanting. Sedangkan tubuh Arya sendiri terjajar satu langkah ke belakang. Bargola meraung murka. Selama puluhan bahkan mungkin ratusan kali bertarung, baru kali ini sewaktu adu tenaga dalam, tubuhnya sampai terpelanting. Apalagi oleh seorang lawan yang masih sangat muda. Rasa penasarannya pun semakin memuncak. Sebagai akibatnya, serangan-serangannya seketika bertambah dahsyat!
Datuk ini mengamuk membabi buta. Kedua tangannya yang berisi ilmu 'Tapak Bara', dan mengandung tenaga panas itu menyambar-nyambar ganas mencari sasaran.
Tetapi yang dihadapi Bargola kali ini adalah Dewa Arak, murid pilihan Ki Gering Langit. Bagi pemuda berambut putih keperak-perakan itu, hawa panas yang mengiringi setiap serangan Bargola seperti tiupan angin sejuk. Karena, dia sendiri memiliki tenaga yang mengandung hawa panas. Bahkan jauh lebih dahsyat ketimbang hawa panas yang dimiliki datuk itu.
Dengan ilmu 'Belalang Sakti', Arya menghadapi setiap serangan Bargola. Setiap serangan yang datang dielakkan secara mudah, menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Bahkan pemuda itu sekaligus mengirimkan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya, menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'.
Nyi Sani bergegas menghindar dari tempat itu. Karena untuk keluar dari ruangan sudah tidak sempat lagi, terpaksa dia bersembunyi di balik sebuah lemari. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga dari sambaran pukulan yang nyasar. Sebentar saja sekujur tubuh Ketua Perguruan Mawar Merah ini sudah basah oleh keringat. Hawa di dalam ruangan ini terasa panas bukan main, dan terasa menyengat kulit.
Sementara itu pertarungan antara kedua orang sakti itu berjalan sengit, dan terlihat seimbang. Tapi lewat enam puluh jurus, Bargola mulai terdesak. Datuk sesat ini memang kalah segala-galanya dibanding Dewa Arak. Baik tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun kalah dalam mutu ilmunya. Hanya berkat pengalaman bertarung saja yang membuat Arya agak mengalami sedikit kesulitan untuk mendesak laki-laki kasar itu.
Keadaan sekitar arena pertempuran itu sudah kacau-balau. Dinding ruangan itu tak henti-hentinya bergetar setiap kali Dewa Arak atau Bargola melepaskan pukulan. Dan setiap kali kedua tangan atau kaki mereka beradu, lantai dan dinding ruangan bergetar lebih kuat lagi. Pada jurus ke delapan puluh satu, Bargola menggerakkan kaki kanannya menyapu kaki Arya.
“Wut... !”
"Hup...!" Dewa Arak melompat ke belakang dengan langkah sempoyongan.
Bargola memang sudah menunggu saat ini. Begitu dilihatnya Arya melompat ke belakang, segera disusulnya tubuh Arya dengan kedua tangan yang berisi tenaga dalam penuh. Seketika didorongkan ke arah dada pemuda berambut putih keperak-perakan itu.
“Wut.. !”
Angin berhawa panas luar biasa kerasnya, menderu hebat. Dalam perkiraan Datuk Timur ini, Dewa Arak tidak akan sanggup mengelak lagi. Jalan satu-satunya hanya menangkis, karena serangannya itu begitu tiba-tiba. Dan melihat posisi lawan yang kurang menguntungkan, ia banyak menerima keuntungan dalam adu tenaga ini.
Tetapi, Bargola lupa pada satu hal. Ilmu yang dimiliki Arya adalah ilmu 'Belalang Sakti'. Dan belalang adalah binatang yang dapat terbang. Sehingga walaupun sebagai manusia Arya tidak mungkin dapat terbang, tapi keistimewaan binatang itu dimiliki juga.
Dewa Arak memang memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak dimiliki manusia biasa! Dalam posisi yang seburuk apa pun, ia dapat melompat atau melenting sempurna.
Baru datuk ini terperanjat kaget ketika tiba-tiba Dewa Arak melompat melewati atas kepalanya. Bukan itu saja yang diperbuat pemuda berambut putih keperakan itu. Sambil melompat, diayunkan guci araknya ke kepala Datuk Timur itu.
“Wuuuttt!”
Bargola terperanjat kaget bukan main. Serangan guci itu berbarengan dengan serangan kedua tangannya yang hanya menghantam tempat kosong. Itu jelas, karena Dewa Arak telah melompat dari situ. Sebisa-bisanya dirundukkan kepalanya.
“Bukkk... !”
Bargola menyeringai. Tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke depan. Kepalanya memang dapat diselamatkan dari ancaman maut guci Dewa Arak, tapi tak urung guci itu berhasil juga menghantam bahunya.
Terdengar suara berderak keras, ketika guci itu menghantam sasaran. Suatu bukti kalau tulang-tulang bahu itu patah. Datuk Timur ini berusaha memperbaiki posisi, dan secepat itu pula membalikkan tubuhnya.
Tapi, sayangnya terlambat. Arya yang melihat tubuh datuk sesat itu terhuyung-huyung jauh ke depan, segera melesat mengejar. Dewa Arak kembali mengayunkan gucinya ke arah kepala Bargola, tepat saat tubuh datuk itu berbalik. Kali ini serangan susulan Arya tidak dapat dielakkan lagi. Dan....
“Wut... ! Prakkk... ! “
"Akh...!"
Telak dan keras sekali guci perak itu menghantam kepala Bargola. Terdengar suara berderak keras ketika kepala datuk itu pecah, terhantam guci yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Darah seketika muncrat dari kepala yang pecah. Sesaat lamanya tubuh Bargola bergoyang-goyang, baru kemudian ambruk dan tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment