"Nini," ucap Arya sambil menengadahkan kepala.
Sesaat tak ada suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Dia hanya menatap wajah cantik yang berdiri di depannya. Pandangan matanya sayu. Memang pemuda ini merasa terpukul melihat gadis yang dikagumi ini nampak membencinya. Dan sekarang bahkan memusuhinya.
"Bukankah telah kukatakan padamu, kalau peristiwa itu terjadi tidak sengaja. Aku.... "
"Aku tidak meributkan masalah itu lagi!" potong Melati cepat. Wajahnya seketika menyemburat merah.
"Lalu masalah apa, Nini? Rasanya baru dua kali kita bertemu. Dan sepengetahuanku, belum pernah aku berbuat salah pada Nini. Kecuali peristiwa di sungai itu...," sahut pemuda ini setelah termenung beberapa saat lamanya.
"Kau memang tidak salah padaku, Dewa Arak. Tapi, pada ayahku kau mempunyai kesalahan besar."
Tercekat hati Arya Buana mendengar ucapan gadis itu. "Ayahmu? Siapa ayahmu?"
Melati menghela napas berat. Digertakkan giginya untuk lebih menguatkan hati. "Raja Racun Pencabut Nyawa... "
Pelan dan lambat-lambat gadis itu mengucapkan kata-katanya. Tapi, akibatnya tidak demikian bagi Arya.
"Apa?!"
Arya terlonjak kaget. Bangku yang didudukinya hancur berantakan karena getaran tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya.
"Siapa nama ayahmu, Nini...?" pemuda berambut putih keperakan ini mengulangi pertanyaannya dengan suara gemetar.
"Raja Racun Pencabut Nyawa!" ulang Melati. Kali ini suaranya lebih keras.
"Tidak mungkin!" teriak Arya lantang.
Benda-benda yang terletak di atas meja, bergetaran keras. Jelas, ini akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam dahsyat.
"Paman Lindu tidak punya anak!"
Melati sama sekali tidak mengacuhkan bantahan Arya. Sambil meletakkan tangan kirinya di pinggang, tangan kanannya yang menggenggam pedang menuding wajah pemuda berpakaian ungu ini.
"Paman?! Kau memanggil ayahku paman?! Aneh sekali! Sang Paman mati dibunuh, tapi si Keponakan membiarkan saja pembunuh-pembunuh pamannya berkeliaran! Aneh sekali! Keponakan macam apa kau ini, Dewa Arak?!"
Merah muka Arya mendengar sindiran tajam itu. Ditatapnya wajah gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini lekat-lekat.
"Banyak hal yang tidak kau mengerti, Nini. Paman Lindu bukan orang baik-baik. Tindakannya banyak merugikan orang. Tak sedikit orang yang tewas di tangannya. Dan adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang-orang yang telah dirugikannya itu. Setidak-tidaknya, orang yang membunuh Paman Lindu memiliki itikad baik, yakni memusnahkan sumber kerusakan di muka bumi," kilah Arya.
"Aku tidak peduli orang macam apa ayahku! Yang kutahu, beliau telah dibunuh secara pengecut. Dan telah menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya. Pikirlah, Dewa Arak! Kapan lagi aku membalas budinya, kalau tidak sekarang?"
Suara gadis itu kian pelan. Dan Arya menangkap ada isak tertahan di dalamnya, sehingga membuat hatinya tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang terkandung dalam hati gadis itu, karena dia sendiri pernah mengalami hal yang serupa. Hal ini membuatnya terdiam.
"Bersiaplah, Dewa Arak," tegas Melati lagi. Kini suaranya sudah kembali terdengar seperti biasa. Dingin.
"Eh! Apa maksudmu, Nini?" tanya Arya kaget.
"Tidak usah banyak cakap, Dewa Arak! Aku harus membuat perhitungan padamu atas kematian ayahku! Bersiaplah, agar tidak mati percuma!"
"Tahan dulu, Nini!" teriak pemuda ini mencegah.
Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di tangan kanannya berkelebat menebas leher Arya. Suara berdesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Buru-buru Arya melempar tubuhnya ke belakang seraya tangan kanannya menyambar guci arak yang terletak di atas meja.
“Wut...!”
“Tappp!”
Pedang Melati hanya menyambar tempat kosong, karena tubuh pemuda berambut putih keperakan itu telah agak jauh dari situ. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya segera melompat ke luar kedai. Tak lupa dilemparkan uang pembayaran pesanannya ke meja tempat dia tadi duduk.
"Mau kabur kemana kau, pengecut! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" sambil berkata demikian, Melati melompat mengejar.
Dewa Arak tentu saja tidak suka dianggap pengecut Sesampainya di luar kedai, dihentikan langkahnya. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menanti Melati.
Baru juga Arya membalikkan tubuhnya, Melati telah berdiri di hadapannya. Dalam hati, Arya memuji kecepatan gerak gadis ini. Sulit dibayangkan kepandaian dan tenaga dalam gadis itu. Dan jika melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis berpakaian serba putih ini merupakan seorang lawan yang amat berat dan berbahaya!
"Rupanya kau tidak pengecut, Dewa Arak. Tidak seperti Raja Pisau Terbang dan putrinya! Sebelum berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri dengan cara licik. Mudah-mudahan kau tidak sepengecut itu," ujar Dewi Penyebar Maut seraya tersenyum sinis.
Berubah wajah Arya. Benarkah apa yang dikatakan gadis ini. Rasanya mustahil Raja Pisau Terbang dapat dikalahkan. Tokoh itu adalah seorang datuk. Kalau benar gadis itu telah mengalahkannya, sukar dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian gadis berpakaian serba putih itu.
"Kau... , kau telah menemui mereka? Dari mana kau mengetahuinya?" tanya pemuda berambut putih keperakan ini dengan suara tersendat.
Memang, Arya Buana kaget juga mendengar ucapan itu. Dia dapat memperkirakan kalau ikut campurnya Raja Pisau Terbang, karena anaknya terancam maut. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana gadis itu mengetahui kalau Ningrum adalah salah seorang pembunuh ayahnya?
"Lho, apa susahnya mengetahui siapa pengecut-pengecut yang membunuh ayahku? Saksi sangat banyak!" jawab Dewi Penyebar Maut. "Sayang sekali, Ningrum bisa lolos dari tanganku. Kalau tidak, hanya tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah itu tugasku pun selesai!"
"Jadi... , jadi... " Arya tergagap, karena tercekat hatinya.
"Ya. Dua orang yang ikut andil dalam membunuh ayahku telah kubereskan," selak Melati sambil menganggukkan kepalanya.
"Maksudmu, Kakang Satria dan Kakang Mega?" tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi.
Gadis berpakaian serba putih itu tidak menjawab, tapi hanya mengangguk kecil. Tapi anggukan itu sudah cukup bagi Arya.
"Kau keterlaluan, Nini!" bentak Arya Buana keras.
Tapi gadis itu hanya menyambutnya dengan tawa sinis.
“Srakkk!”
Melati memasukkan pedang ke dalam sarungnya. "Sekarang giliranmu, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba putih ini menerjang Arya. Kaki kanannya melangkah ke depan membentuk kuda-kuda ke arah kanan. Tangan kiri mengancam pelipis, sedangkan tangan kanan terpalang di depan perut.
Melati yang sebenarnya tidak sampai hati mencelakai pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini, tidak mengerahkan seluruh tenaga sewaktu menyerang. Hanya dikerahkan tiga perempat dari tenaganya.
Angin berciut keras menyambar Arya sebelum serangan itu tiba. Pemuda berambut putih keperakan ini pun segera tahu kalau serangan lawan itu mengandung tenaga dalam cukup kuat.
Dewa Arak cepat menarik kaki kanannya mundur sambil mencondongkan tubuhnya ke belakang. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya diulurkan memapak serangan yang mengarah ke pelipis. Arya yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku putri pamannya ini, hanya mengerahkan separuh dari tenaganya.
“Plakkk!”
Dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam yang sangat kuat bertemu. Arya terhuyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Melati hanya terhuyung satu langkah. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut.
Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga. Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini, ternyata hanya mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah dibanding tenaga dalamnya. Jadi dia tidak akan menambah kekuatan tenaganya dalam serangan selanjutnya.
Sedangkan Arya yang merasakan betapa kuatnya tenaga dalam gadis itu, terpaksa menambah tenaga untuk pertarungan selanjutnya. Dalam pertarungannya melawan gadis ini, pemuda berambut putih keperakan ini hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu andalannya. Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus. Melati penasaran bukan main ketika menyadari tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat.
Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung. Tapi kini sampai mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu menangkisnya tanpa terhuyung.
Kini gadis ini sadar kalau Dewa Arak tadi tidak bersungguh-sungguh dalam menangkis serangannya. Hal ini membuat Dewi Penyebar Maut yang memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung. Gadis ini merasa diremehkan. Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh kemampuan dalam serangan selanjutnya. Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya menyambar-nyambar buas ke arah Arya.
"Tahan...!"
Dewa Arak berseru keras sambil melentingkan tubuhnya ke belakang menghindari serangan Melati yang bertubi-tubi.
Gadis berpakaian serba putih yang tengah dilanda penasaran itu terpaksa menahan serangannya. Dengan napas masih memburu, ditatapnya Arya.
"Mengapa berhenti, Dewa Arak? Takut?"
Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak menggubris ejekan tajam Melati. Wajahnya terlihat tegang bukan main.
"Dari mana kau dapatkan ilmu itu, Nini?" tanya Dewa Arak dengan suara gemetar.
Sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu seketika membelalak. "Apa hubunganmu dengan ilmu yang kumiliki?! Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri pun itu urusanku. Dan tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" jawab gadis itu ketus.
"Memang ada hubungannya, jika dugaanku benar. Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau gunakan itu adalah 'Cakar Naga Merah'," tandas Arya tegas.
"Kalau memang benar ilmu itu adalah 'Cakar Naga Merah', kau mau apa?" tantang Melati.
"Harus kau katakan dari mana memperolehnya! Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?"
Wajah Melati memerah. Pelahan-lahan kemarahan mulai membakar hatinya. Pemuda di hadapannya ini terlalu usilan dan sombong.
"Apa hakmu dengan ilmuku ini, Dewa Arak?!"
"Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?" desak Arya, tidak menggubris ucapan gadis itu.
Kemarahan yang sejak tadi membakar hati Melati, kini tak bisa ditahan lagi. "Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Jangan dikira aku takut padamu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali menerjang Arya. Tidak dipedulikannya lagi teriakan-teriakan mencegah dari pemuda itu. Hatinya telah sangat tersinggung terhadap sikap pemuda itu, yang sama sekali tidak menganggap dirinya.
Dewa Arak tidak punya pilihan lagi. Cepat-cepat disambut serangan Melati, dan dibalasnya dengan serangan yang tak kalah dahsat. Kali ini Dewa Arak terpaksa menggunakan ilmu anda-lannya. 'Belalang Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'. Tak lupa, diambilnya guci arak yang berada di punggungnya. Dan diangkat ke atas mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk... !”
Terdengar suara berceglukan dari mulut Arya ketika arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian tubuhnya mulai sempoyongan.
Melati mulai menyerang secara ganas. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan segenap kemampuannya. Disadari kalau kepandaian pemuda di hadapannya ini tidak serendah dugaannya.
Berkali-kali tubuhnya terhuyung setiap kali pemuda itu menangkis serangannya. Hal ini membuat amarah gadis itu kian meluap. Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali membalas serangannya. Lebih sering Arya mengelakkan serangan atau menangkisnya.
Delapan puluh jurus telah terlewati, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Diam-diam Arya memuji kelihaian lawannya ini. Pantaslah kalau Raja Pisau Terbang harus melarikan diri dari hadapannya. Kepandaian gadis berpakaian serba putih ini memang sangat tinggi.
Melati menggertakkan gigi. Gadis ini sadar, tak mungkin rasanya mengalahkan Arya Buana. Diiringi sebuah keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi Penyebar Maut segera melesat meninggalkan Dewa Arak.
Tentu saja Arya yang tidak menduga hal itu menjadi kaget bukan main.
"Nini!" teriak Arya keras. "Tunggu...!"
Tetapi gadis berpakaian serba putih itu tak menggubris teriakan Arya, dan terus saja berlari. Dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap di kejauhan. Arya hanya termenung memandangi kepergian Melati. Disadari kalau tidak ada gunanya mengejar gadis itu.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, untuk menyusuri jejak Bargola yang telah menculik ibunya.
***
Sesaat tak ada suara yang keluar dari mulut pemuda itu. Dia hanya menatap wajah cantik yang berdiri di depannya. Pandangan matanya sayu. Memang pemuda ini merasa terpukul melihat gadis yang dikagumi ini nampak membencinya. Dan sekarang bahkan memusuhinya.
"Bukankah telah kukatakan padamu, kalau peristiwa itu terjadi tidak sengaja. Aku.... "
"Aku tidak meributkan masalah itu lagi!" potong Melati cepat. Wajahnya seketika menyemburat merah.
"Lalu masalah apa, Nini? Rasanya baru dua kali kita bertemu. Dan sepengetahuanku, belum pernah aku berbuat salah pada Nini. Kecuali peristiwa di sungai itu...," sahut pemuda ini setelah termenung beberapa saat lamanya.
"Kau memang tidak salah padaku, Dewa Arak. Tapi, pada ayahku kau mempunyai kesalahan besar."
Tercekat hati Arya Buana mendengar ucapan gadis itu. "Ayahmu? Siapa ayahmu?"
Melati menghela napas berat. Digertakkan giginya untuk lebih menguatkan hati. "Raja Racun Pencabut Nyawa... "
Pelan dan lambat-lambat gadis itu mengucapkan kata-katanya. Tapi, akibatnya tidak demikian bagi Arya.
"Apa?!"
Arya terlonjak kaget. Bangku yang didudukinya hancur berantakan karena getaran tenaga dalam yang menghambur dari tubuhnya.
"Siapa nama ayahmu, Nini...?" pemuda berambut putih keperakan ini mengulangi pertanyaannya dengan suara gemetar.
"Raja Racun Pencabut Nyawa!" ulang Melati. Kali ini suaranya lebih keras.
"Tidak mungkin!" teriak Arya lantang.
Benda-benda yang terletak di atas meja, bergetaran keras. Jelas, ini akibat pengaruh teriakan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam dahsyat.
"Paman Lindu tidak punya anak!"
Melati sama sekali tidak mengacuhkan bantahan Arya. Sambil meletakkan tangan kirinya di pinggang, tangan kanannya yang menggenggam pedang menuding wajah pemuda berpakaian ungu ini.
"Paman?! Kau memanggil ayahku paman?! Aneh sekali! Sang Paman mati dibunuh, tapi si Keponakan membiarkan saja pembunuh-pembunuh pamannya berkeliaran! Aneh sekali! Keponakan macam apa kau ini, Dewa Arak?!"
Merah muka Arya mendengar sindiran tajam itu. Ditatapnya wajah gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini lekat-lekat.
"Banyak hal yang tidak kau mengerti, Nini. Paman Lindu bukan orang baik-baik. Tindakannya banyak merugikan orang. Tak sedikit orang yang tewas di tangannya. Dan adalah wajar kalau akhirnya tewas di tangan orang-orang yang telah dirugikannya itu. Setidak-tidaknya, orang yang membunuh Paman Lindu memiliki itikad baik, yakni memusnahkan sumber kerusakan di muka bumi," kilah Arya.
"Aku tidak peduli orang macam apa ayahku! Yang kutahu, beliau telah dibunuh secara pengecut. Dan telah menjadi kewajibanku untuk membalaskan kematiannya. Pikirlah, Dewa Arak! Kapan lagi aku membalas budinya, kalau tidak sekarang?"
Suara gadis itu kian pelan. Dan Arya menangkap ada isak tertahan di dalamnya, sehingga membuat hatinya tersentuh. Bisa dimaklumi perasaan yang terkandung dalam hati gadis itu, karena dia sendiri pernah mengalami hal yang serupa. Hal ini membuatnya terdiam.
"Bersiaplah, Dewa Arak," tegas Melati lagi. Kini suaranya sudah kembali terdengar seperti biasa. Dingin.
"Eh! Apa maksudmu, Nini?" tanya Arya kaget.
"Tidak usah banyak cakap, Dewa Arak! Aku harus membuat perhitungan padamu atas kematian ayahku! Bersiaplah, agar tidak mati percuma!"
"Tahan dulu, Nini!" teriak pemuda ini mencegah.
Tetapi gadis itu tidak menghiraukannya. Pedang di tangan kanannya berkelebat menebas leher Arya. Suara berdesing nyaring mengawali tibanya serangan itu. Buru-buru Arya melempar tubuhnya ke belakang seraya tangan kanannya menyambar guci arak yang terletak di atas meja.
“Wut...!”
“Tappp!”
Pedang Melati hanya menyambar tempat kosong, karena tubuh pemuda berambut putih keperakan itu telah agak jauh dari situ. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Arya segera melompat ke luar kedai. Tak lupa dilemparkan uang pembayaran pesanannya ke meja tempat dia tadi duduk.
"Mau kabur kemana kau, pengecut! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" sambil berkata demikian, Melati melompat mengejar.
Dewa Arak tentu saja tidak suka dianggap pengecut Sesampainya di luar kedai, dihentikan langkahnya. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menanti Melati.
Baru juga Arya membalikkan tubuhnya, Melati telah berdiri di hadapannya. Dalam hati, Arya memuji kecepatan gerak gadis ini. Sulit dibayangkan kepandaian dan tenaga dalam gadis itu. Dan jika melihat ilmu meringankan tubuhnya, gadis berpakaian serba putih ini merupakan seorang lawan yang amat berat dan berbahaya!
"Rupanya kau tidak pengecut, Dewa Arak. Tidak seperti Raja Pisau Terbang dan putrinya! Sebelum berhasil kubunuh, mereka telah melarikan diri dengan cara licik. Mudah-mudahan kau tidak sepengecut itu," ujar Dewi Penyebar Maut seraya tersenyum sinis.
Berubah wajah Arya. Benarkah apa yang dikatakan gadis ini. Rasanya mustahil Raja Pisau Terbang dapat dikalahkan. Tokoh itu adalah seorang datuk. Kalau benar gadis itu telah mengalahkannya, sukar dibayangkan sampai di mana tingkat kepandaian gadis berpakaian serba putih itu.
"Kau... , kau telah menemui mereka? Dari mana kau mengetahuinya?" tanya pemuda berambut putih keperakan ini dengan suara tersendat.
Memang, Arya Buana kaget juga mendengar ucapan itu. Dia dapat memperkirakan kalau ikut campurnya Raja Pisau Terbang, karena anaknya terancam maut. Tapi yang menjadi pertanyaan, dari mana gadis itu mengetahui kalau Ningrum adalah salah seorang pembunuh ayahnya?
"Lho, apa susahnya mengetahui siapa pengecut-pengecut yang membunuh ayahku? Saksi sangat banyak!" jawab Dewi Penyebar Maut. "Sayang sekali, Ningrum bisa lolos dari tanganku. Kalau tidak, hanya tinggal kau dan Ular Hitam. Dan setelah itu tugasku pun selesai!"
"Jadi... , jadi... " Arya tergagap, karena tercekat hatinya.
"Ya. Dua orang yang ikut andil dalam membunuh ayahku telah kubereskan," selak Melati sambil menganggukkan kepalanya.
"Maksudmu, Kakang Satria dan Kakang Mega?" tanya Dewa Arak dengan wajah pucat pasi.
Gadis berpakaian serba putih itu tidak menjawab, tapi hanya mengangguk kecil. Tapi anggukan itu sudah cukup bagi Arya.
"Kau keterlaluan, Nini!" bentak Arya Buana keras.
Tapi gadis itu hanya menyambutnya dengan tawa sinis.
“Srakkk!”
Melati memasukkan pedang ke dalam sarungnya. "Sekarang giliranmu, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian serba putih ini menerjang Arya. Kaki kanannya melangkah ke depan membentuk kuda-kuda ke arah kanan. Tangan kiri mengancam pelipis, sedangkan tangan kanan terpalang di depan perut.
Melati yang sebenarnya tidak sampai hati mencelakai pemuda yang telah menjatuhkan hatinya ini, tidak mengerahkan seluruh tenaga sewaktu menyerang. Hanya dikerahkan tiga perempat dari tenaganya.
Angin berciut keras menyambar Arya sebelum serangan itu tiba. Pemuda berambut putih keperakan ini pun segera tahu kalau serangan lawan itu mengandung tenaga dalam cukup kuat.
Dewa Arak cepat menarik kaki kanannya mundur sambil mencondongkan tubuhnya ke belakang. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya diulurkan memapak serangan yang mengarah ke pelipis. Arya yang tidak ingin mencelakakan gadis yang mengaku putri pamannya ini, hanya mengerahkan separuh dari tenaganya.
“Plakkk!”
Dua buah tangan yang mengandung tenaga dalam yang sangat kuat bertemu. Arya terhuyung dua langkah ke belakang. Sedangkan Melati hanya terhuyung satu langkah. Pemuda berambut putih keperakan ini terkejut.
Ternyata tenaga dalam gadis itu cukup tinggi juga. Sedangkan Melati sudah bisa memastikan kalau pemuda yang berjuluk Dewa Arak ini, ternyata hanya mengeluarkan kekuatan tenaga dalam sedikit rendah dibanding tenaga dalamnya. Jadi dia tidak akan menambah kekuatan tenaganya dalam serangan selanjutnya.
Sedangkan Arya yang merasakan betapa kuatnya tenaga dalam gadis itu, terpaksa menambah tenaga untuk pertarungan selanjutnya. Dalam pertarungannya melawan gadis ini, pemuda berambut putih keperakan ini hanya menggunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'.
Rasanya, tidak tega jika menggunakan ilmu andalannya. Dalam waktu sebentar saja, mereka sudah bertarung lebih dari lima jurus. Melati penasaran bukan main ketika menyadari tenaga dalam pemuda itu ternyata sepertinya semakin lama semakin kuat.
Semula dengan tiga perempat dari tenaganya saja, pemuda itu sudah terhuyung. Tapi kini sampai mengeluarkan hampir seluruh tenaganya, pemuda itu mampu menangkisnya tanpa terhuyung.
Kini gadis ini sadar kalau Dewa Arak tadi tidak bersungguh-sungguh dalam menangkis serangannya. Hal ini membuat Dewi Penyebar Maut yang memang mempunyai watak ganjil jadi tersinggung. Gadis ini merasa diremehkan. Dan sebagai akibatnya, kini dikerahkan seluruh kemampuan dalam serangan selanjutnya. Ilmu 'Cakar Naga Merah'-nya menyambar-nyambar buas ke arah Arya.
"Tahan...!"
Dewa Arak berseru keras sambil melentingkan tubuhnya ke belakang menghindari serangan Melati yang bertubi-tubi.
Gadis berpakaian serba putih yang tengah dilanda penasaran itu terpaksa menahan serangannya. Dengan napas masih memburu, ditatapnya Arya.
"Mengapa berhenti, Dewa Arak? Takut?"
Pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak menggubris ejekan tajam Melati. Wajahnya terlihat tegang bukan main.
"Dari mana kau dapatkan ilmu itu, Nini?" tanya Dewa Arak dengan suara gemetar.
Sepasang mata putri Raja Racun Pencabut Nyawa itu seketika membelalak. "Apa hubunganmu dengan ilmu yang kumiliki?! Mau kudapatkan dari mana saja, atau dari mencuri pun itu urusanku. Dan tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" jawab gadis itu ketus.
"Memang ada hubungannya, jika dugaanku benar. Maka sudah menjadi urusanku kalau ilmu yang kau gunakan itu adalah 'Cakar Naga Merah'," tandas Arya tegas.
"Kalau memang benar ilmu itu adalah 'Cakar Naga Merah', kau mau apa?" tantang Melati.
"Harus kau katakan dari mana memperolehnya! Apakah kau mempelajarinya dari Ki Gering Langit?"
Wajah Melati memerah. Pelahan-lahan kemarahan mulai membakar hatinya. Pemuda di hadapannya ini terlalu usilan dan sombong.
"Apa hakmu dengan ilmuku ini, Dewa Arak?!"
"Apakah Ki Gering Langit itu gurumu, Nini?" desak Arya, tidak menggubris ucapan gadis itu.
Kemarahan yang sejak tadi membakar hati Melati, kini tak bisa ditahan lagi. "Keparat! Kau terlalu sombong, Dewa Arak! Jangan dikira aku takut padamu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu kembali menerjang Arya. Tidak dipedulikannya lagi teriakan-teriakan mencegah dari pemuda itu. Hatinya telah sangat tersinggung terhadap sikap pemuda itu, yang sama sekali tidak menganggap dirinya.
Dewa Arak tidak punya pilihan lagi. Cepat-cepat disambut serangan Melati, dan dibalasnya dengan serangan yang tak kalah dahsat. Kali ini Dewa Arak terpaksa menggunakan ilmu anda-lannya. 'Belalang Mabuk', dan 'Delapan langkah Belalang'. Tak lupa, diambilnya guci arak yang berada di punggungnya. Dan diangkat ke atas mulutnya.
“Gluk... gluk... gluk... !”
Terdengar suara berceglukan dari mulut Arya ketika arak itu memasuki mulutnya. Sesaat kemudian tubuhnya mulai sempoyongan.
Melati mulai menyerang secara ganas. Kini hatinya tidak ragu-ragu lagi mengeluarkan segenap kemampuannya. Disadari kalau kepandaian pemuda di hadapannya ini tidak serendah dugaannya.
Berkali-kali tubuhnya terhuyung setiap kali pemuda itu menangkis serangannya. Hal ini membuat amarah gadis itu kian meluap. Apalagi terlihat jelas kalau pemuda itu jarang sekali membalas serangannya. Lebih sering Arya mengelakkan serangan atau menangkisnya.
Delapan puluh jurus telah terlewati, tapi belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak. Diam-diam Arya memuji kelihaian lawannya ini. Pantaslah kalau Raja Pisau Terbang harus melarikan diri dari hadapannya. Kepandaian gadis berpakaian serba putih ini memang sangat tinggi.
Melati menggertakkan gigi. Gadis ini sadar, tak mungkin rasanya mengalahkan Arya Buana. Diiringi sebuah keluhan tertahan dari kerongkongannya, Dewi Penyebar Maut segera melesat meninggalkan Dewa Arak.
Tentu saja Arya yang tidak menduga hal itu menjadi kaget bukan main.
"Nini!" teriak Arya keras. "Tunggu...!"
Tetapi gadis berpakaian serba putih itu tak menggubris teriakan Arya, dan terus saja berlari. Dalam sekejap tubuhnya sudah lenyap di kejauhan. Arya hanya termenung memandangi kepergian Melati. Disadari kalau tidak ada gunanya mengejar gadis itu.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Dilangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu, untuk menyusuri jejak Bargola yang telah menculik ibunya.
***
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment