"Saya akan mencoba menjauhkan dia dari desa ini, Paman," jawab Arya merendah, sambil tersenyum tipis.
"Tapi.... "
"Sudahlah, Paman. Lebih baik, padamkanlah api yang membakar rumah itu sebelum seluruh desa ini musnah dilalap api!"
Ucapan itu menyadarkan para penduduk desa akan ancaman bahaya lain. Kontan mereka serentak meninggalkan arena pertarungan.
"Groahhh..!" tiba-tiba saja Raksasa Kulit Baja itu menggeram hebat.
Sejak tadi ia memang menatap Arya seperti orang terkesima. Keningnya berkerut, seperti sedang mengingat sesuatu.
"Jahanam! Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?!" tanya manusia tinggi besar itu dengan suara keras. Sepasang matanya memerah karena amarah yang meluap-luap.
Belum lagi Arya memberikan tanggapan, Raksasa Kulit Baja itu telah menyelak lagi. "Ya. Kau pasti Dewa Arak itu. Pakaianmu, rambutmu, dan juga guci arak di punggungmu! Grrrhhh... ! Kau harus mati di tanganku, keparat!"
"Tunggu...!" cegah Arya begitu melihat manusia raksasa itu akan menyerangnya. "Siapa kau? Dan mengapa ingin membunuhku?! Padahal kita bertemu pun baru kali ini?"
"Groahhh...!" dengus Raksasa Kulit Baja menggeram. "Baiklah! Agar tidak mati penasaran, akan kuberitahu padamu, keparat! Aku, Raksasa Kulit Baja. Saudara angkat Harimau Mata Satu yang telah kau bunuh! Dan aku membakar rumah itu, karena orang-orang keparat itu tidak mau memberitahu di mana dirimu. Sungguh tidak kusangka kalau kau datang sendiri mencari mati. Orang lain boleh takut padamu. Tapi, jangan harap kau akan mampu menghadapiku!"
Arya manggut-manggut. Disadari kalau tidak mungkin lagi menghindari pertempuran. Raksasa Kulit Baja tidak mungkin akan menghabiskan persoalan sebelum salah satu di antara mereka tewas. Tentu saja pemuda berambut putih keperak-perakan ini tidak ingin mati. Masih banyak tugas yang belum diselesaikan.
"Mampuslah kau, keparat!" teriak Raksasa Kulit Baja disertai suara mengguntur seraya menyerang dengan sebuah pukulan ke arah dada Dewa Arak.
Angin keras bertiup mengawali serangan itu. Dari sini saja Dewa Arak dapat menilai kekuatan yang terkandung dalam serangan itu. Hanya saja gerakan itu terlalu lambat. Dewa Arak mencondongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di depan dadanya. Dan cepat bagai kilat kaki kanannya terayun deras ke arah perut lawan.
“Tukkk... !”
Tendangan cepat yang dilakukan Dewa Arak tidak mampu dielakkan Raksasa Kulit Baja yang memiliki gerakan terlampau lambat. Dengan telak tendangan itu mengenai perutnya. Tapi lagi-lagi tendangan Dewa Arak tidak menghasilkan apa-apa. Tubuh manusia raksasa itu hanya terhuyung dua langkah ke belakang. Kini ia kembali menerjang dengan serangan-serangan buas dan brutal.
Sadarlah Arya kalau lawannya ini benar-benar memiliki kekebalan tubuh. Pemuda itu kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyarangkan serangan pada sasaran-sasaran yang berbahaya dan bertenaga dalam penuh. Hanya saja, Dewa Arak ini masih belum ingin menggunakan ilmu andalannya. Untuk menghadapi Raksasa Kulit Baja ini, hanya digunakan ilmu warisan ayahnya saja.
Beberapa jurus telah berlalu. Dan entah sudah berapa kali serangan Dewa Arak mendarat di berbagai bagian tubuh Raksasa Kulit Baja. Namun tak nampak tanda tanda sedikit pun kalau serangan Arya itu dirasakannya.
Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini terkejut bukan kepalang melihat kekuatan tubuh lawannya ini. Sepanjang pengetahuannya, kekebalan hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, misalnya Dewa Arak sendiri. Itu pun hanya terbatas pada bagian-bagian yang tidak berbahaya saja. Tapi kekebalan yang dimiliki Raksasa Kulit Baja ini sungguh aneh. Padahal si manusia raksasa ini tidak memiliki tenaga dalam, tapi hanya memiliki tenaga luar yang besar.
Dewa Arak segera sadar kalau Raksasa Kulit Baja ini mendapatkan ilmu kekebalan tubuh lewat cara yang tidak wajar. Ular Hitam pernah menceritakan kepadanya tentang berbagai macam ilmu yang terdapat di dunia persilatan.
Sebagai seorang yang telah lama malang-melintang dalam rimba persilatan, tentu saja Ular Hitam memiliki pengetahuan luas. Pengalamannya yang sudah ratusan kali bertempur menghadapi lawan. Ular Hitam mengatakan kalau kekebalan bisa didapat dengan dua cara. Dengan meningkatkan tenaga dalam, dan dengan mempelajari ilmu hitam. Dari sini Arya menduga bahwa orang macam Raksasa Kulit Baja pasti mendapatkannya dari ilmu hitam.
Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu. Dan pertarungan antara kedua orang itu telah bergeser jauh dari tempat semula. Itu memang disengaja Dewa Arak, karena ingin menghindari dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
“Plakkk!”
Kibasan kaki Dewa Arak yang dilakukan sambil berputar itu telak menghantam pelipis Raksasa Kulit Baja. Kibasan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya itu membuat tubuh lawannya terlempar, melayang sejauh beberapa tombak. Kemudian tubuh besar itu jatuh, dan terguling guling di tanah. Tapi lagi-lagi, Raksasa Kulit Baja kembali bangkit tanpa kurang suatu apa pun.
"Gila...!" teriak Arya putus asa.
Pemuda berambut putih keperak-perakan ini jadi hilang kesabarannya. Dengan perasaan geram bercampur bingung, diambil guci araknya.
“Gluk... gluk... gluk....”
Terdengar suara berceglukan ketika arak itu memasuki tenggorokan. Arya mengusap mulutnya dengan punggung tangan, lalu disimpan lagi guci araknya di punggung. Tak berapa lama kemudian, tubuhnya pun mulai sempoyongan. Pemuda berbaju ungu ini terpaksa menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'-nya.
"Haaat...!"
Raksasa Kulit Baja melolos senjatanya. Tampak sebuah rantai baja berujung mata arit tajam berkilat, yang sejak tadi melilit pinggang, kini berputar-putar mencari mangsa.
“Wukkk... wukkk... wukkk... !”
Seketika disabetkan rantai baja itu ke arah kepala Dewa Arak.
“Singgg. .!”
Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai baja itu menyambar ke arah kepala Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperak-perakan yang semula sempoyongan itu, mendadak berubah kokoh.
Dan secepat posisi tubuh itu berubah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Kedua tangannya bergerak persis seperti seekor belalang yang tengah mempermainkan kaki-kakinya.
“Prattt... ! Pralll. .!”
Rantai baja yang menyambar kepala itu tertangkis tangan Arya, dan kontan putus berantakan!
Belum lagi, Raksasa Kulit Baja berbuat sesuatu, tubuh Arya telah berada di mukanya. Dan...
“Prattt! Prattt! Desss. !”
Bertubi-tubi dan hampir bersamaan, tiga buah serangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran. Kedua tangannya menghantam pelipis dan ubun-ubun. Disusul kedua kakinya menggedor dada.
Kelihatannya itu adalah serangan maut! Jangankan ketiga-tiganya. Satu saja serangan itu diterima seorang seperti datuk sesat sekalipun, cukup membuat orang itu pergi ke alam kubur! Kini ketiga tiganya diterima sekaligus oleh Raksasa Kulit Baja!
Tanpa ampun lagi, tubuh Raksasa Kulit Baja terlempar jauh, tidak kurang dari delapan tombak! Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar hingga tumbang, menimbulkan suara gemuruh. Bahkan pohon itu juga menimpa tubuh Raksasa Kulit Baja yang tergolek di bawahnya.
Arya menghentikan gerakannya. Dengan posisi kaki tidak tetap, dia masih bergerak sempoyongan. Kedua tangannya terus bergerak-gerak liar di depan dada. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini menunggu.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau lawannya yang luar biasa itu akan bangkit kembali. Lalu Arya pun membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, walaupun langkahnya sempoyongan.
Tapi tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari arah belakangnya. Segera Arya menoleh. Terbelalaklah sepasang matanya yang sudah sayu itu ketika melihat pemandangan di belakangnya. Tampak batang pohon itu bergerak-gerak, kemudian tiba-tiba terangkat dan terlempar ke arahnya. Suara yang ditimbulkan begitu bergemuruh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan, mengirimkan pukulan jarak jauh.
“Wuttt... ! Brakkk... !”
Batang pohon itu hancur berkeping-keping sebelum mengenai Arya. Bahkan daun-daunnya langsung mengering layu. Arya Buana menatap sosok tubuh yang kini bangkit dari tindihan pohon tadi. Siapa lagi kalau bukan sosok Raksasa Kulit Baja. Seketika sepasang mata Dewa Arak membelalak. Ternyata manusia raksasa itu tidak terluka sama sekali!
"Ilmu iblis!" desah Arya, antara takjub dan ngeri.
"Ha ha ha... ! Keluarkan semua ilmumu, dewa keparat!" Raksasa Kulit Baja tertawa pongah. "Sekarang kau baru tahu kehebatan ilmu 'Tameng Waja'ku! Kalau saja ilmu ini sudah kumiliki sejak dulu, mungkin akulah yang akan menjadi raja kaum sesat! Ha ha ha...!"
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam. Dikumpulkannya segenap tenaganya. Kemudian...
"Hiyaaa...!" Arya Buana berteriak keras, kemudian mendorongkan kedua tangannya ke depan.
“Wuttt... !”
Angin panas berhembus keras menyambar tubuh Raksasa Kulit Baja yang tengah melangkah menghampirinya.
“Bresss... !”
Pukulan jarak jauh yang dilepaskan pemuda berambut putih keperakan itu telak menghantam dada saudara angkat Harimau Mata Satu. Akibatnya hebat sekali! Tubuh Raksasa Kulit Baja melayang jauh bagai dihempas angin ribut, dan jatuh belasan tombak dari tempat semula.
"Iblis!" pekik Arya ketika melihat lawannya itu bangkit kembali.
Sungguh tidak ada tanda-tanda sedikit pun kalau tokoh itu terpengaruh pukulan yang merupakan usaha terakhir Dewa Arak. Hanya satu yang membuktikan kalau pukulan Arya tepat menghantam sasaran. Pakaian Raksasa Kulit Baja itu hangus, dan pelahan-lahan hancur berkeping-keping ketika angin meniupnya. Dan kini, si tinggi besar ini jadi telanjang bulat!
"Keparat!" Raksasa Kulit Baja berteriak memaki.
"Kali ini kau mujur, Dewa Arak! Tapi, jangan harap lain kali akan seberuntung ini!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja melesat kabur dari situ. Dia merasa malu melanjutkan pertarungan tanpa penutup tubuh. Arya menghela napas lega. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa lelah bukan main. Sungguh bingung memikirkan bagaimana caranya menghadapi Raksasa Kulit Baja itu. Dengan langkah lunglai, diayunkan kakinya melanjutkan perjalanan mencari jejak Bargola.
***
Siang ini udara begitu panas. Matahari menyengat kulit seluruh makhluk yang ada di permukaan maya-pada ini. Demikian pula dengan Arya Buana. Pemuda itu tengah mempercepat langkah-nya ketika beberapa tombak di depannya membentang sebuah sungai.
Ingin rasanya segera mandi atau setidak-tidaknya membasuh muka untuk menyegarkan diri. Sekujur tubuhnya dirasakan penat dan lengket akibat pertarungannya melawan Raksasa Kulit Baja. Apalagi udara demikian panasnya.
Pertarungannya yang alot tadi benar-benar membuat tenaga Dewa Arak terkuras. Tetapi diam-diam pemuda itu mengakui kehebatan ilmu Tameng Waja' milik Raksasa Kulit Baja. Bahkan pertarungannya melawan Siluman Tengkorak Putih seperti tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan manusia yang tubuhnya bagai raksasa itu.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat.
Dia memang baru menyadari kalau kepandaian yang tinggi tidak menjamin kemenangan dalam suatu pertarungan. Ternyata pengalaman dan pengetahuan luas juga tidak kalah pentingnya. Dan ini telah dialaminya sendiri.
Pemuda berbaju ungu ini yakin, masih banyak lagi hal baru yang akan dijumpai dalam petualangannya. Ia memang belum berpengalaman, sehingga banyak hal yang tidak diketahuinya. Berbeda dengan Ular Hitam. Pembimbing Dewa Arak itu banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin kalau Ular Hitam yang menghadapi, Raksasa Kulit Baja belum tentu akan mampu menandingi.
Arya terus menyusuri sepanjang sungai itu. Melihat betapa jernihnya air itu, maka dia berniat mandi untuk menyegarkan tubuh. Tentu saja untuk itu, harus dicari tempat yang tersembunyi sehingga tidak dapat dilihat orang.
Hampir saja pemuda itu bersorak ketika melihat ada tempat tersembunyi, yang terletak di kelokan sungai. Rerimbunan semak dan pepohonan, rapat menutupinya.
Bergegas Dewa Arak menghampiri tempat itu. Ketika rerimbunan semak-semak dan pepohonan disibak, mendadak wajah Arya memerah. Ternyata di dalam sungai itu ada seorang wanita yang tengah mandi! Memang, hanya rambutnya saja yang terlihat, tapi cukup membuat pemuda ini memerah wajahnya.
Tubuh wanita itu terlindung sebuah batu besar yang datar, dan tengah menundukkan kepalanya. Rupanya bunyi semak-semak dan pepohonan yang tersibak tangan Arya cukup keras. Terbukti wanita itu mendongakkan kepalanya, memandang ke arah suara itu berasal. Sesaat lamanya sepasang mata wanita itu terbelalak. Keterkejutan yang amat sangat nampak pada wajahnya.
"Manusia kurang ajar!" teriak wanita itu keras seraya lebih menyembunyikan tubuhnya ke dalam air.
Kontan wajah Arya kian memerah. "Celaka! Bisa-bisa aku dituduh sebagai lelaki hidung belang yang hendak mengintip wanita mandi!" ujar Dewa Arak dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan itu langsung membatalkan niatnya untuk mandi, dan buru-buru berlalu dari situ dengan wajah memerah. Jantung dalam dadanya berdetak keras. Ada perasaan aneh menyelinap ketika sekilas melihat wajah yang memandang kepadanya dengan terbelalak itu.
Wajah itu demikian cantik. Belum pernah Arya melihat wajah secantik itu. Ada sesuatu yang terselip dalam dadanya ketika melihat wajah itu. Sesuatu yang belum pernah dirasakan ketika melihat wanita-wanita cantik lainnya.
Pemuda berbaju ungu ini meninggalkan tempat itu dengan perasaan berat. Seketika ada sesuatu yang hilang dalam rongga dadanya. Hal ini membuat Arya merasa bingung sendiri. Apa yang terjadi pada dirinya?
Baru kali ini Arya mengalami hal seperti itu. Dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tanpa sadar Arya menghentikan larinya. Ditolehkan kepalanya ke arah tempat yang baru saja ditinggalkan. Ada dorongan kuat yang seolah-olah membetot kedua kakinya untuk kembali ke sana.
Selagi Dewa Arak ini dilanda perasaan bimbang, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat mendekatinya. Cepat sekali gerakan bayangan itu, sehingga dalam sekejap saja telah berdiri di depannya.
Arya menatap sosok bayangan putih di hadapannya, yang ternyata seorang wanita berwajah sangat cantik. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperak-perakan ini terkesima, tapi mendadak tersentak kaget. Memang! Wajah wanita di depannya adalah wanita yang tadi tengah mandi!
"Mau lari kemana kau, manusia kurang ajar?!" tanya gadis yang berpakaian serba putih itu sinis. Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek. "Manusia semacam kau tidak pantas dibiarkan hidup!"
Kontan wajah Arya memerah. "Ini... , eh anu... Kau salah paham, Nini. Nggg... sungguh! Aku... aku tidak bermaksud begitu.... Sungguh!" dengan gugup pemuda ini mencoba menerangkan yang sebenarnya.
"Pengecut!" desis sosok serba putih itu.
Walaupun wanita itu mendamprat, namun tak urung memperhatikan Arya sekilas. Diam-diam dipuji kegagahan pemuda berambut putih keperakan yang ada di depannya ini. Dan memang ada perasaan aneh yang mencuat dari dalam dadanya ketika menatap wajah pemuda ini. Dan perasaannya ini pula yang telah mencegahnya untuk menurunkan tangan maut pada pemuda di hadapannya.
Gadis yang berpakaian serba putih ini ternyata Melati. Kalau saja tidak terpengaruh perasaan aneh yang menjalari hatinya, pasti ia akan tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini adalah orang yang dicari-carinya untuk diberikan hukuman! Arya Buana, si Dewa Arak yang juga keponakan ayahnya!
Merah padam wajah Arya dimaki seperti itu. Kalau saja bukan gadis ini yang mengatakan demikian, mungkin sudah turun tangan menghajarnya. Pantang baginya dimaki seperti itu.
Sementara itu, si gadis setelah memaki Arya segera melesat kabur dari situ. Tercekat hati Dewa Arak melihat kecepatan gerak gadis itu. Dan ini dipujinya dalam hati. Mata pemuda itu terus menatap punggung gadis yang habis memakinya hingga lenyap di kejauhan.
"Huh...!"
Arya mendesah pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menyerang. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dada, seiring dengan perginya gadis berpakaian putih itu.
Arya memasuki sebuah kedai dengan langkah lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis yang ditemuinya di sungai, Arya jadi sering merasa lesu. Bahkan jadi sering melamun.
Kadang-kadang tersenyum sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis itu sewaktu dipergoki tengah mandi di sungai. Tapi di lain saat, wajah pemuda berambut keperakan ini menjadi murung, mengingat betapa gadis itu seperti jadi membencinya karena persoalan itu.
"Hhh...!" desah Arya pelan.
Pemuda itu menghenyakkan tubuhnya di salah satu kursi dalam kedai. Sering dicobanya untuk mengusir bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, tapi tidak mampu. Selalu terbayang kembali di benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga, keterkejutannya sewaktu dipergokinya tengah mandi. Apalagi sikapnya yang begitu dingin. Dan anehnya, semua tingkah laku itu di matanya sangat menarik.
"Mau pesan apa, Tuan?" sebuah suara, pelan dan sopan menyadarkan Arya dari lamunan.
Dengan suara agak gagap, disebutkan pesanannya. Dan pemilik kedai itu pun bergegas masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan pemuda berbaju ungu itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa terbahak-bahak dari meja yang terletak di sebelah kiri Arya.
Dengan sudut mata, Arya melirik ke arah asal suara itu. Dilihat-nya tiga orang laki-laki kasar tengah tertawa-tawa. Dengan lagak memuakkan, mereka memandang ke satu arah.
Sambil lalu Arya mengikuti arah pandangan ketiga orang kasar itu. Kontan sepasang matanya terbelalak. Jantung dalam dadanya berdebar kencang. Betapa tidak? Di sebuah meja di sudut sana duduk tenang sesosok tubuh yang selama ini mengganggu pikirannya.
Jadi, rupanya orang-orang kasar itu tengah mengganggu gadis itu. Perasaan tegang melanda hatinya. Dan ini disadari Arya. Diam-diam pemuda itu merasa heran, karena tidak pernah merasa tegang seperti ini walaupun keadaan yang dihadapi begitu gawat. Tapi sekarang?
Salah seorang dari tiga laki-laki kasar itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Sambil tertawa-tawa dihampirinya meja gadis berpakaian serba putih, yang ternyata Melati. Jantung dalam dada Arya kian keras berdetak. Perasaan pemuda ini tegang bukan main. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang, untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sungguh bertolak belakang keadaan pemuda ini dengan keadaan Melati. Gadis itu nampak tenang-tenang saja menikmati makanannya. Perasaan tegang yang melanda Dewa Arak memaksanya meraih guci arak yang sejak tadi sudah diletakkan di atas meja.
“Gluk... gluk... gluk....”
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokan. Sesaat kemudian hawa arak yang hangat menyerbu, membuat perasaan tegangnya berkurang. Suara tegukan yang timbul sewaktu Arya meminum arak, rupanya terdengar tiga orang kasar itu.
Terbukti ketiganya menoleh ke arah asal suara itu. Dan ketika pandangan mereka tertumbuk pada sesosok tubuh yang mengeluarkan suara tegukan itu, kontan wajah mereka memucat.
"De... , Dewa Arak?!" desis mereka dengan suara bergetar.
Tentu saja mereka telah mendengar berita yang menggemparkan tentang tokoh aneh ini, yang dalam pemunculannya telah membuat dunia persilatan gempar.
Sebenarnya mereka tadi juga telah melihat Arya. Tapi karena tengah terpusat pada gadis berpakaian serba putih, mereka tidak teringat akan tokoh itu. Baru setelah pemuda berambut putih keperak-perakan itu mengeluarkan suara tegukan yang keluar dari mulutnya, mereka semua tersadar.
Ketiga pasang mata milik orang-orang kasar itu berputar liar, mencari jalan untuk kabur. Begitu ada kesempatan, bergegas mereka bergerak saling mendahului untuk melarikan diri. Sedangkan Arya sama sekali tidak mengejar, dan dibiarkan saja ketiga orang kasar itu melarikan diri.
Tetapi baru saja Dewa Arak hendak menikmati araknya kembali, terdengar bunyi kursi terseret. Sebentar kemudian disusul suara langkah kaki mendekati mejanya. Arya mengangkat kepalanya, dan tampaklah gadis berpakaian serba putih itu telah berdiri di hadapannya. Pandangan matanya begitu menusuk.
"Kau yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya Melati dengan suara merdu.
Dan sebenarnya diam-diam gadis ini merasa heran terhadap kelakuannya kali ini. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini jika berhadapan dengan orang yang diduga sebagai musuh. Biasanya, Melati selalu mengharapkan anggukan kepala dari orang yang ditanya. Namun kali ini, gadis itu berharap agar pemuda itu menggelengkan kepalanya. Betapa kecewanya hati gadis itu ketika dilihatnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Namamu Arya Buana?" tanya Melati lagi.
Kembali Arya menganggukkan kepalanya. "Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Nini... "
"Kalau begitu, bersiaplah kau, Dewa Arak...!" teriak Melati dengan suara yang diusahakan keras.
Berat rasanya bersikap kasar terhadap pemuda di hadapannya ini. Tapi, hal itu mau tidak mau harus dilakukannya. Tidak mungkin sumpahnya sendiri dikhianati.
“Srattt!”
Dicabut pedangnya, dan ditodongkan ke dada Arya. "Keluarkan senjatamu, Dewa Arak! Atau kau lebih suka mati sia-sia di tanganku!" teriak Melati yang dijuluki Dewi Penyebar Maut itu.
Namun demikian, suaranya terdengar agak gemetar. Bukan karena perasaan marah, tapi karena harus berperang melawan perasaannya sendiri. Tak heran kalau dia mencabut pedang, karena untuk lebih menguatkan hatinya.
"Tapi.... "
"Sudahlah, Paman. Lebih baik, padamkanlah api yang membakar rumah itu sebelum seluruh desa ini musnah dilalap api!"
Ucapan itu menyadarkan para penduduk desa akan ancaman bahaya lain. Kontan mereka serentak meninggalkan arena pertarungan.
"Groahhh..!" tiba-tiba saja Raksasa Kulit Baja itu menggeram hebat.
Sejak tadi ia memang menatap Arya seperti orang terkesima. Keningnya berkerut, seperti sedang mengingat sesuatu.
"Jahanam! Kaukah yang berjuluk Dewa Arak itu?!" tanya manusia tinggi besar itu dengan suara keras. Sepasang matanya memerah karena amarah yang meluap-luap.
Belum lagi Arya memberikan tanggapan, Raksasa Kulit Baja itu telah menyelak lagi. "Ya. Kau pasti Dewa Arak itu. Pakaianmu, rambutmu, dan juga guci arak di punggungmu! Grrrhhh... ! Kau harus mati di tanganku, keparat!"
"Tunggu...!" cegah Arya begitu melihat manusia raksasa itu akan menyerangnya. "Siapa kau? Dan mengapa ingin membunuhku?! Padahal kita bertemu pun baru kali ini?"
"Groahhh...!" dengus Raksasa Kulit Baja menggeram. "Baiklah! Agar tidak mati penasaran, akan kuberitahu padamu, keparat! Aku, Raksasa Kulit Baja. Saudara angkat Harimau Mata Satu yang telah kau bunuh! Dan aku membakar rumah itu, karena orang-orang keparat itu tidak mau memberitahu di mana dirimu. Sungguh tidak kusangka kalau kau datang sendiri mencari mati. Orang lain boleh takut padamu. Tapi, jangan harap kau akan mampu menghadapiku!"
Arya manggut-manggut. Disadari kalau tidak mungkin lagi menghindari pertempuran. Raksasa Kulit Baja tidak mungkin akan menghabiskan persoalan sebelum salah satu di antara mereka tewas. Tentu saja pemuda berambut putih keperak-perakan ini tidak ingin mati. Masih banyak tugas yang belum diselesaikan.
"Mampuslah kau, keparat!" teriak Raksasa Kulit Baja disertai suara mengguntur seraya menyerang dengan sebuah pukulan ke arah dada Dewa Arak.
Angin keras bertiup mengawali serangan itu. Dari sini saja Dewa Arak dapat menilai kekuatan yang terkandung dalam serangan itu. Hanya saja gerakan itu terlalu lambat. Dewa Arak mencondongkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan itu lewat di depan dadanya. Dan cepat bagai kilat kaki kanannya terayun deras ke arah perut lawan.
“Tukkk... !”
Tendangan cepat yang dilakukan Dewa Arak tidak mampu dielakkan Raksasa Kulit Baja yang memiliki gerakan terlampau lambat. Dengan telak tendangan itu mengenai perutnya. Tapi lagi-lagi tendangan Dewa Arak tidak menghasilkan apa-apa. Tubuh manusia raksasa itu hanya terhuyung dua langkah ke belakang. Kini ia kembali menerjang dengan serangan-serangan buas dan brutal.
Sadarlah Arya kalau lawannya ini benar-benar memiliki kekebalan tubuh. Pemuda itu kini tidak ragu-ragu lagi untuk menyarangkan serangan pada sasaran-sasaran yang berbahaya dan bertenaga dalam penuh. Hanya saja, Dewa Arak ini masih belum ingin menggunakan ilmu andalannya. Untuk menghadapi Raksasa Kulit Baja ini, hanya digunakan ilmu warisan ayahnya saja.
Beberapa jurus telah berlalu. Dan entah sudah berapa kali serangan Dewa Arak mendarat di berbagai bagian tubuh Raksasa Kulit Baja. Namun tak nampak tanda tanda sedikit pun kalau serangan Arya itu dirasakannya.
Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini terkejut bukan kepalang melihat kekuatan tubuh lawannya ini. Sepanjang pengetahuannya, kekebalan hanya dapat dimiliki oleh orang yang telah memiliki tenaga dalam tinggi, misalnya Dewa Arak sendiri. Itu pun hanya terbatas pada bagian-bagian yang tidak berbahaya saja. Tapi kekebalan yang dimiliki Raksasa Kulit Baja ini sungguh aneh. Padahal si manusia raksasa ini tidak memiliki tenaga dalam, tapi hanya memiliki tenaga luar yang besar.
Dewa Arak segera sadar kalau Raksasa Kulit Baja ini mendapatkan ilmu kekebalan tubuh lewat cara yang tidak wajar. Ular Hitam pernah menceritakan kepadanya tentang berbagai macam ilmu yang terdapat di dunia persilatan.
Sebagai seorang yang telah lama malang-melintang dalam rimba persilatan, tentu saja Ular Hitam memiliki pengetahuan luas. Pengalamannya yang sudah ratusan kali bertempur menghadapi lawan. Ular Hitam mengatakan kalau kekebalan bisa didapat dengan dua cara. Dengan meningkatkan tenaga dalam, dan dengan mempelajari ilmu hitam. Dari sini Arya menduga bahwa orang macam Raksasa Kulit Baja pasti mendapatkannya dari ilmu hitam.
Tak terasa dua puluh jurus telah berlalu. Dan pertarungan antara kedua orang itu telah bergeser jauh dari tempat semula. Itu memang disengaja Dewa Arak, karena ingin menghindari dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
“Plakkk!”
Kibasan kaki Dewa Arak yang dilakukan sambil berputar itu telak menghantam pelipis Raksasa Kulit Baja. Kibasan yang disertai pengerahan tenaga sepenuhnya itu membuat tubuh lawannya terlempar, melayang sejauh beberapa tombak. Kemudian tubuh besar itu jatuh, dan terguling guling di tanah. Tapi lagi-lagi, Raksasa Kulit Baja kembali bangkit tanpa kurang suatu apa pun.
"Gila...!" teriak Arya putus asa.
Pemuda berambut putih keperak-perakan ini jadi hilang kesabarannya. Dengan perasaan geram bercampur bingung, diambil guci araknya.
“Gluk... gluk... gluk....”
Terdengar suara berceglukan ketika arak itu memasuki tenggorokan. Arya mengusap mulutnya dengan punggung tangan, lalu disimpan lagi guci araknya di punggung. Tak berapa lama kemudian, tubuhnya pun mulai sempoyongan. Pemuda berbaju ungu ini terpaksa menggunakan jurus 'Belalang Mabuk'-nya.
"Haaat...!"
Raksasa Kulit Baja melolos senjatanya. Tampak sebuah rantai baja berujung mata arit tajam berkilat, yang sejak tadi melilit pinggang, kini berputar-putar mencari mangsa.
“Wukkk... wukkk... wukkk... !”
Seketika disabetkan rantai baja itu ke arah kepala Dewa Arak.
“Singgg. .!”
Suara mendesing nyaring terdengar ketika rantai baja itu menyambar ke arah kepala Arya. Tubuh pemuda berambut putih keperak-perakan yang semula sempoyongan itu, mendadak berubah kokoh.
Dan secepat posisi tubuh itu berubah, secepat itu pula tubuh Dewa Arak melayang ke arah Raksasa Kulit Baja. Kedua tangannya bergerak persis seperti seekor belalang yang tengah mempermainkan kaki-kakinya.
“Prattt... ! Pralll. .!”
Rantai baja yang menyambar kepala itu tertangkis tangan Arya, dan kontan putus berantakan!
Belum lagi, Raksasa Kulit Baja berbuat sesuatu, tubuh Arya telah berada di mukanya. Dan...
“Prattt! Prattt! Desss. !”
Bertubi-tubi dan hampir bersamaan, tiga buah serangan Dewa Arak mendarat telak pada sasaran. Kedua tangannya menghantam pelipis dan ubun-ubun. Disusul kedua kakinya menggedor dada.
Kelihatannya itu adalah serangan maut! Jangankan ketiga-tiganya. Satu saja serangan itu diterima seorang seperti datuk sesat sekalipun, cukup membuat orang itu pergi ke alam kubur! Kini ketiga tiganya diterima sekaligus oleh Raksasa Kulit Baja!
Tanpa ampun lagi, tubuh Raksasa Kulit Baja terlempar jauh, tidak kurang dari delapan tombak! Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika menabrak sebuah pohon besar hingga tumbang, menimbulkan suara gemuruh. Bahkan pohon itu juga menimpa tubuh Raksasa Kulit Baja yang tergolek di bawahnya.
Arya menghentikan gerakannya. Dengan posisi kaki tidak tetap, dia masih bergerak sempoyongan. Kedua tangannya terus bergerak-gerak liar di depan dada. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperakan ini menunggu.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda kalau lawannya yang luar biasa itu akan bangkit kembali. Lalu Arya pun membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu, walaupun langkahnya sempoyongan.
Tapi tiba-tiba saja terdengar suara ribut-ribut dari arah belakangnya. Segera Arya menoleh. Terbelalaklah sepasang matanya yang sudah sayu itu ketika melihat pemandangan di belakangnya. Tampak batang pohon itu bergerak-gerak, kemudian tiba-tiba terangkat dan terlempar ke arahnya. Suara yang ditimbulkan begitu bergemuruh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan, mengirimkan pukulan jarak jauh.
“Wuttt... ! Brakkk... !”
Batang pohon itu hancur berkeping-keping sebelum mengenai Arya. Bahkan daun-daunnya langsung mengering layu. Arya Buana menatap sosok tubuh yang kini bangkit dari tindihan pohon tadi. Siapa lagi kalau bukan sosok Raksasa Kulit Baja. Seketika sepasang mata Dewa Arak membelalak. Ternyata manusia raksasa itu tidak terluka sama sekali!
"Ilmu iblis!" desah Arya, antara takjub dan ngeri.
"Ha ha ha... ! Keluarkan semua ilmumu, dewa keparat!" Raksasa Kulit Baja tertawa pongah. "Sekarang kau baru tahu kehebatan ilmu 'Tameng Waja'ku! Kalau saja ilmu ini sudah kumiliki sejak dulu, mungkin akulah yang akan menjadi raja kaum sesat! Ha ha ha...!"
Dewa Arak menarik napas dalam-dalam. Dikumpulkannya segenap tenaganya. Kemudian...
"Hiyaaa...!" Arya Buana berteriak keras, kemudian mendorongkan kedua tangannya ke depan.
“Wuttt... !”
Angin panas berhembus keras menyambar tubuh Raksasa Kulit Baja yang tengah melangkah menghampirinya.
“Bresss... !”
Pukulan jarak jauh yang dilepaskan pemuda berambut putih keperakan itu telak menghantam dada saudara angkat Harimau Mata Satu. Akibatnya hebat sekali! Tubuh Raksasa Kulit Baja melayang jauh bagai dihempas angin ribut, dan jatuh belasan tombak dari tempat semula.
"Iblis!" pekik Arya ketika melihat lawannya itu bangkit kembali.
Sungguh tidak ada tanda-tanda sedikit pun kalau tokoh itu terpengaruh pukulan yang merupakan usaha terakhir Dewa Arak. Hanya satu yang membuktikan kalau pukulan Arya tepat menghantam sasaran. Pakaian Raksasa Kulit Baja itu hangus, dan pelahan-lahan hancur berkeping-keping ketika angin meniupnya. Dan kini, si tinggi besar ini jadi telanjang bulat!
"Keparat!" Raksasa Kulit Baja berteriak memaki.
"Kali ini kau mujur, Dewa Arak! Tapi, jangan harap lain kali akan seberuntung ini!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Kulit Baja melesat kabur dari situ. Dia merasa malu melanjutkan pertarungan tanpa penutup tubuh. Arya menghela napas lega. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa lelah bukan main. Sungguh bingung memikirkan bagaimana caranya menghadapi Raksasa Kulit Baja itu. Dengan langkah lunglai, diayunkan kakinya melanjutkan perjalanan mencari jejak Bargola.
***
Siang ini udara begitu panas. Matahari menyengat kulit seluruh makhluk yang ada di permukaan maya-pada ini. Demikian pula dengan Arya Buana. Pemuda itu tengah mempercepat langkah-nya ketika beberapa tombak di depannya membentang sebuah sungai.
Ingin rasanya segera mandi atau setidak-tidaknya membasuh muka untuk menyegarkan diri. Sekujur tubuhnya dirasakan penat dan lengket akibat pertarungannya melawan Raksasa Kulit Baja. Apalagi udara demikian panasnya.
Pertarungannya yang alot tadi benar-benar membuat tenaga Dewa Arak terkuras. Tetapi diam-diam pemuda itu mengakui kehebatan ilmu Tameng Waja' milik Raksasa Kulit Baja. Bahkan pertarungannya melawan Siluman Tengkorak Putih seperti tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan manusia yang tubuhnya bagai raksasa itu.
"Hhh...!" Arya menghela napas berat.
Dia memang baru menyadari kalau kepandaian yang tinggi tidak menjamin kemenangan dalam suatu pertarungan. Ternyata pengalaman dan pengetahuan luas juga tidak kalah pentingnya. Dan ini telah dialaminya sendiri.
Pemuda berbaju ungu ini yakin, masih banyak lagi hal baru yang akan dijumpai dalam petualangannya. Ia memang belum berpengalaman, sehingga banyak hal yang tidak diketahuinya. Berbeda dengan Ular Hitam. Pembimbing Dewa Arak itu banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Mungkin kalau Ular Hitam yang menghadapi, Raksasa Kulit Baja belum tentu akan mampu menandingi.
Arya terus menyusuri sepanjang sungai itu. Melihat betapa jernihnya air itu, maka dia berniat mandi untuk menyegarkan tubuh. Tentu saja untuk itu, harus dicari tempat yang tersembunyi sehingga tidak dapat dilihat orang.
Hampir saja pemuda itu bersorak ketika melihat ada tempat tersembunyi, yang terletak di kelokan sungai. Rerimbunan semak dan pepohonan, rapat menutupinya.
Bergegas Dewa Arak menghampiri tempat itu. Ketika rerimbunan semak-semak dan pepohonan disibak, mendadak wajah Arya memerah. Ternyata di dalam sungai itu ada seorang wanita yang tengah mandi! Memang, hanya rambutnya saja yang terlihat, tapi cukup membuat pemuda ini memerah wajahnya.
Tubuh wanita itu terlindung sebuah batu besar yang datar, dan tengah menundukkan kepalanya. Rupanya bunyi semak-semak dan pepohonan yang tersibak tangan Arya cukup keras. Terbukti wanita itu mendongakkan kepalanya, memandang ke arah suara itu berasal. Sesaat lamanya sepasang mata wanita itu terbelalak. Keterkejutan yang amat sangat nampak pada wajahnya.
"Manusia kurang ajar!" teriak wanita itu keras seraya lebih menyembunyikan tubuhnya ke dalam air.
Kontan wajah Arya kian memerah. "Celaka! Bisa-bisa aku dituduh sebagai lelaki hidung belang yang hendak mengintip wanita mandi!" ujar Dewa Arak dalam hati.
Pemuda berambut putih keperakan itu langsung membatalkan niatnya untuk mandi, dan buru-buru berlalu dari situ dengan wajah memerah. Jantung dalam dadanya berdetak keras. Ada perasaan aneh menyelinap ketika sekilas melihat wajah yang memandang kepadanya dengan terbelalak itu.
Wajah itu demikian cantik. Belum pernah Arya melihat wajah secantik itu. Ada sesuatu yang terselip dalam dadanya ketika melihat wajah itu. Sesuatu yang belum pernah dirasakan ketika melihat wanita-wanita cantik lainnya.
Pemuda berbaju ungu ini meninggalkan tempat itu dengan perasaan berat. Seketika ada sesuatu yang hilang dalam rongga dadanya. Hal ini membuat Arya merasa bingung sendiri. Apa yang terjadi pada dirinya?
Baru kali ini Arya mengalami hal seperti itu. Dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tanpa sadar Arya menghentikan larinya. Ditolehkan kepalanya ke arah tempat yang baru saja ditinggalkan. Ada dorongan kuat yang seolah-olah membetot kedua kakinya untuk kembali ke sana.
Selagi Dewa Arak ini dilanda perasaan bimbang, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat mendekatinya. Cepat sekali gerakan bayangan itu, sehingga dalam sekejap saja telah berdiri di depannya.
Arya menatap sosok bayangan putih di hadapannya, yang ternyata seorang wanita berwajah sangat cantik. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih keperak-perakan ini terkesima, tapi mendadak tersentak kaget. Memang! Wajah wanita di depannya adalah wanita yang tadi tengah mandi!
"Mau lari kemana kau, manusia kurang ajar?!" tanya gadis yang berpakaian serba putih itu sinis. Mulutnya menyunggingkan senyum mengejek. "Manusia semacam kau tidak pantas dibiarkan hidup!"
Kontan wajah Arya memerah. "Ini... , eh anu... Kau salah paham, Nini. Nggg... sungguh! Aku... aku tidak bermaksud begitu.... Sungguh!" dengan gugup pemuda ini mencoba menerangkan yang sebenarnya.
"Pengecut!" desis sosok serba putih itu.
Walaupun wanita itu mendamprat, namun tak urung memperhatikan Arya sekilas. Diam-diam dipuji kegagahan pemuda berambut putih keperakan yang ada di depannya ini. Dan memang ada perasaan aneh yang mencuat dari dalam dadanya ketika menatap wajah pemuda ini. Dan perasaannya ini pula yang telah mencegahnya untuk menurunkan tangan maut pada pemuda di hadapannya.
Gadis yang berpakaian serba putih ini ternyata Melati. Kalau saja tidak terpengaruh perasaan aneh yang menjalari hatinya, pasti ia akan tahu kalau pemuda berambut putih keperakan ini adalah orang yang dicari-carinya untuk diberikan hukuman! Arya Buana, si Dewa Arak yang juga keponakan ayahnya!
Merah padam wajah Arya dimaki seperti itu. Kalau saja bukan gadis ini yang mengatakan demikian, mungkin sudah turun tangan menghajarnya. Pantang baginya dimaki seperti itu.
Sementara itu, si gadis setelah memaki Arya segera melesat kabur dari situ. Tercekat hati Dewa Arak melihat kecepatan gerak gadis itu. Dan ini dipujinya dalam hati. Mata pemuda itu terus menatap punggung gadis yang habis memakinya hingga lenyap di kejauhan.
"Huh...!"
Arya mendesah pelan, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba menyerang. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dada, seiring dengan perginya gadis berpakaian putih itu.
Arya memasuki sebuah kedai dengan langkah lunglai. Memang, sejak pertemuannya dengan gadis yang ditemuinya di sungai, Arya jadi sering merasa lesu. Bahkan jadi sering melamun.
Kadang-kadang tersenyum sendiri, bila teringat pada raut wajah gadis itu sewaktu dipergoki tengah mandi di sungai. Tapi di lain saat, wajah pemuda berambut keperakan ini menjadi murung, mengingat betapa gadis itu seperti jadi membencinya karena persoalan itu.
"Hhh...!" desah Arya pelan.
Pemuda itu menghenyakkan tubuhnya di salah satu kursi dalam kedai. Sering dicobanya untuk mengusir bayangan gadis itu dari pelupuk matanya, tapi tidak mampu. Selalu terbayang kembali di benaknya, senyum sinis gadis itu. Juga, keterkejutannya sewaktu dipergokinya tengah mandi. Apalagi sikapnya yang begitu dingin. Dan anehnya, semua tingkah laku itu di matanya sangat menarik.
"Mau pesan apa, Tuan?" sebuah suara, pelan dan sopan menyadarkan Arya dari lamunan.
Dengan suara agak gagap, disebutkan pesanannya. Dan pemilik kedai itu pun bergegas masuk ke dalam untuk menyiapkan pesanan pemuda berbaju ungu itu.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar tawa terbahak-bahak dari meja yang terletak di sebelah kiri Arya.
Dengan sudut mata, Arya melirik ke arah asal suara itu. Dilihat-nya tiga orang laki-laki kasar tengah tertawa-tawa. Dengan lagak memuakkan, mereka memandang ke satu arah.
Sambil lalu Arya mengikuti arah pandangan ketiga orang kasar itu. Kontan sepasang matanya terbelalak. Jantung dalam dadanya berdebar kencang. Betapa tidak? Di sebuah meja di sudut sana duduk tenang sesosok tubuh yang selama ini mengganggu pikirannya.
Jadi, rupanya orang-orang kasar itu tengah mengganggu gadis itu. Perasaan tegang melanda hatinya. Dan ini disadari Arya. Diam-diam pemuda itu merasa heran, karena tidak pernah merasa tegang seperti ini walaupun keadaan yang dihadapi begitu gawat. Tapi sekarang?
Salah seorang dari tiga laki-laki kasar itu tiba-tiba bangkit dari kursinya. Sambil tertawa-tawa dihampirinya meja gadis berpakaian serba putih, yang ternyata Melati. Jantung dalam dada Arya kian keras berdetak. Perasaan pemuda ini tegang bukan main. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang, untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sungguh bertolak belakang keadaan pemuda ini dengan keadaan Melati. Gadis itu nampak tenang-tenang saja menikmati makanannya. Perasaan tegang yang melanda Dewa Arak memaksanya meraih guci arak yang sejak tadi sudah diletakkan di atas meja.
“Gluk... gluk... gluk....”
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki tenggorokan. Sesaat kemudian hawa arak yang hangat menyerbu, membuat perasaan tegangnya berkurang. Suara tegukan yang timbul sewaktu Arya meminum arak, rupanya terdengar tiga orang kasar itu.
Terbukti ketiganya menoleh ke arah asal suara itu. Dan ketika pandangan mereka tertumbuk pada sesosok tubuh yang mengeluarkan suara tegukan itu, kontan wajah mereka memucat.
"De... , Dewa Arak?!" desis mereka dengan suara bergetar.
Tentu saja mereka telah mendengar berita yang menggemparkan tentang tokoh aneh ini, yang dalam pemunculannya telah membuat dunia persilatan gempar.
Sebenarnya mereka tadi juga telah melihat Arya. Tapi karena tengah terpusat pada gadis berpakaian serba putih, mereka tidak teringat akan tokoh itu. Baru setelah pemuda berambut putih keperak-perakan itu mengeluarkan suara tegukan yang keluar dari mulutnya, mereka semua tersadar.
Ketiga pasang mata milik orang-orang kasar itu berputar liar, mencari jalan untuk kabur. Begitu ada kesempatan, bergegas mereka bergerak saling mendahului untuk melarikan diri. Sedangkan Arya sama sekali tidak mengejar, dan dibiarkan saja ketiga orang kasar itu melarikan diri.
Tetapi baru saja Dewa Arak hendak menikmati araknya kembali, terdengar bunyi kursi terseret. Sebentar kemudian disusul suara langkah kaki mendekati mejanya. Arya mengangkat kepalanya, dan tampaklah gadis berpakaian serba putih itu telah berdiri di hadapannya. Pandangan matanya begitu menusuk.
"Kau yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya Melati dengan suara merdu.
Dan sebenarnya diam-diam gadis ini merasa heran terhadap kelakuannya kali ini. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini jika berhadapan dengan orang yang diduga sebagai musuh. Biasanya, Melati selalu mengharapkan anggukan kepala dari orang yang ditanya. Namun kali ini, gadis itu berharap agar pemuda itu menggelengkan kepalanya. Betapa kecewanya hati gadis itu ketika dilihatnya Arya menganggukkan kepalanya.
"Namamu Arya Buana?" tanya Melati lagi.
Kembali Arya menganggukkan kepalanya. "Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Nini... "
"Kalau begitu, bersiaplah kau, Dewa Arak...!" teriak Melati dengan suara yang diusahakan keras.
Berat rasanya bersikap kasar terhadap pemuda di hadapannya ini. Tapi, hal itu mau tidak mau harus dilakukannya. Tidak mungkin sumpahnya sendiri dikhianati.
“Srattt!”
Dicabut pedangnya, dan ditodongkan ke dada Arya. "Keluarkan senjatamu, Dewa Arak! Atau kau lebih suka mati sia-sia di tanganku!" teriak Melati yang dijuluki Dewi Penyebar Maut itu.
Namun demikian, suaranya terdengar agak gemetar. Bukan karena perasaan marah, tapi karena harus berperang melawan perasaannya sendiri. Tak heran kalau dia mencabut pedang, karena untuk lebih menguatkan hatinya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment