Tampak di belakangnya telah berdiri sosok tubuh tua dari seorang kakek berusia enam puluh tahun. Sepasang matanya tampak tajam berkilat. Raut mukanya menampakkan kesabaran. Ningrum kenal betul siapa pemilik wajah ini.
"Ayah...," desah gadis itu dengan suara lemah.
Kakek penolong yang ternyata adalah Raja Pisau Terbang itu hanya tersenyum getir. Ditarik tubuh putrinya ke belakang, kemudian dilangkahkan kakinya beberapa tindak.
"Ada urusan apa dengan anakku, sehingga sedemikian tega hendak menurunkan tangan maut padanya, Nisanak?" tanya Raja Pisau Terbang, bernada sabar. Tidak tampak ada nada kemarahan, baik pada suara maupun wajahnya.
"Dia adalah putri Raja Racun, Ayah!" selak Ningrum cepat.
"Ahhh ... ! Benarkah demikian?" tanya Raja Pisau Terbang memastikan.
"Benar!" jawab Melati ketus.
Melati mengangkat dagunya, sepeti menantang. Memang, begitu geram hatinya melihat pada saat terakhir Ningrum berhasil lolos dari maut. Dan gadis ini tahu betul orang yang telah menyelamatkan gadis itu. Raja Pisau Terbang! Ini diketahui karena Ningrum memanggil orang itu dengan sebutan ayah.
"Dan aku datang untuk membalaskan kematian ayahku pada anakmu itu!" tegas Melati.
Raja Pisau Terbang mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun berkali-kali Melati bersikap kasar padanya, tetap saja ia tidak menampakkan kemarahan.
"Putri Raja Racun Pencabut Nyawa? Aneh! Tidak salahkah pendengaranku, Nisanak. Sepanjang pengetahuanku, almarhum Raja Racun tidak mempunyai anak seorang pun. Yang Justru kudengar adalah keponakannya, yang bernama Arya Buana aliah si Dewa Arak!” bantah Raja Pisau Terbang, seperti tidak mengerti
"Aku tidak butuh keterangan darimu, Orang Tua! Yang kuinginkan adalah melenyapkan anakmu untuk membalas kematian ayahku! Menyingkirlah dari situ! Aku tidak mau membunuh orang yang tidak punya urusan apa-apa denganku!" tandas Melati tegas.
"Bagus! Aku hargai pendirianmu. Berarti, kau bukanlah seorang gadis jahat. Marilah kita berbincang-bincang. Aku yakin ada kesalahpahaman dalam hal ini..."
"Jaga seranganku, Orang Tua!" teriak Melati tibatiba sambil menyerang bagian dada kakek itu dengan jari jari tangan berbentuk cakar naga. Jari jari tangan yang membentuk cakar itu nampak berwarna merah.
Raja Pisau Terbang hanya tersenyum. Ia tahu kalau serangan cakar itu tidak akan mencapai sasaran. Jarak antara dirinya dengan gadis itu sekitar satu setengah tombak. Jadi, mustahil dapat dijangkau tangan manusia.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kakek ini ketika melihat cengkeraman itu terus menjulur menyambar dadanya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang dapat memanjangkan tangan! Dan Raja Pisau Terbang ini tahu, siapa pemilik ilmu itu. Ki Gering Langit!
"Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'...!" teriak kakek itu dengan hati kaget bukan kepalang.
Jelaslah kalau ilmu yang digunakan gadis itu adalah ilmu 'Cakar Naga Merah'! Buru-buru kakek ini menangkis serangan maut itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.
Prattt ... !
Tubuh Raja Pisau Terbang terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara tubuh Melati hanya terhuyung satu langkah. Tangannya yang tadinya mulur, langsung memendek lagi sepeti sediakala.
Seketika pucat wajah Raja Pisau Terbang! Dari adu tenaga itu tadi sudah dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu, masih lebih tinggi darinya. Suatu hal yang nampaknya amat mustahil!
"Tahan ... !" teriak Raja Pisau Terbang untuk mencegah gadis itu menyerangnya lebih lanjut. "Ada hubungan apa kau dengan Ki Gering Langit?"
Seketika Melati pun menghentikan gerakannya. Sikap kakek itu membuat gadis itu jadi menghormatinya, sehingga tanpa sadar dihentikan gerakannya.
"Aku tidak mengenalnya!" tandas gadis itu, setelah mengerutkan alisnya sesaat. "Tidak mungkin! Bukankah jurus itu adalah 'Naga
Merah Mengulur Kuku'? Salah satu jurus dari ilmu 'Cakar Naga Merah'?" desak kakek berwajah sabar ini penasaran.
Melati menganggukkan kepalanya. "Memang betul apa yang kau katakan itu, Orang Tua. Tapi, aku sama sekali tidak kenal terhadap orang yang kau sebutkan tadi!"
"Aneh! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu itu? Apakah kau menemukan kitab-kitab peninggalannya?"
"Kau ini aneh, Orang Tua. Tentu saja ilmu itu kupelajari dari guruku. Beliaulah yang telah mengajarkan aku"
"Siapa nama gurumu?" selak Raja Pisau Terbang cepat.
Gadis berpakaian serba putih itu menggelengkan kepalanya. "Ia melarangku untuk menyebutkan namanya. Jadi, terpaksa tidak dapat kuberitahukan padamu."
Alis Raja Pisau Terbang nampak berkerut. Ia bingung memikirkan masalah ini. Tapi yang sudah jelas, gadis itu sama sekali tidak mengenal Ki Gering Langit!
"Jaga seranganku, Nisanak!" tiba-tiba Raja Pisau Terbang menyambitkan beberapa buah pisau terbangnya ke arah Melati.
Karuan saja serangan tiba-tiba itu membuat Melati terkejut bukan main. Apalagi yang melepaskan adalah seorang ahli pisau, sehingga berjuluk Raja Pisau Terbang. Sudah dapat diperkirakan kedahsyatan serangan pisau-pisau itu.
Dewi Penyebar Maut melempar tubuhnya ke belakang, kemudian bergulingan beberapa kali di tanah. Maka semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Dan cepat-cepat gadis itu bangkit berdiri, tapi menjadi terlongong. Kakek itu dan Ningrum telah lenyap dari tempatnya semula.
Melati menggetakkan giginya menahan rasa geram. Secara untung-untungan dia mengejar masuk ke dalam hutan itu. Cukup lama juga gadis itu berada di dalam hutan. Dan sewaktu kembali ke luar, wajah gadis itu merah padam.
"Kali ini kau boleh mujur, Ningrum! Tapi, kelak apabila kita berjumpa lagi, jangan harap akan semujur ini!" Dewi Penyebar Maut itu beteriak sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya bergema ke seluruh pelosok hutan.
Puas dengan ancamannya, Melati melesat meninggalkan tempat itu. Dari mulutnya yang mungil itu terdengar suara desahan.
"Dewa Arak, kau pun harus bertanggung jawab atas kematian ayahku. Meskipun bukan kau yang membunuhnya, tapi jika tidak kau biarkan, Ayah tidak mungkin mati. Ya, kau harus mendapat hukuman pula. Apalagi kau tidak berniat membalas dendam atas kematiannya. Padahal, ia pamanmu sendiri..."
Seorang pemuda yang berwajah tampan, berahang kokoh, berambut putih keperak-perakan, dan berpakaian berwarna ungu tengah melangkah memasuki pintu gerbang Desa Canting.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Di punggungnya tergantung sebuah guci arak yang terbuat dari perak. Dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, pemuda itu mengayun kakinya memasuki desa yang kelihatan sepi. Sepasang matanya bergerak liar memperhatikan setiap bangunan yang ditemukan.
Langkah pemuda yang tak lain adalah Dewa Arak atau Arya Buana ini baru terhenti ketika sepasang matanya tetumbuk pada sebuah papan tebal, dan lebar. Di situ tetulis huruf- huruf yang berbunyi 'Perguruan Mawar Merah'. Papan tebal itu bergantung pada pintu gerbang sebuah bangunan yang dikelilingi tembok cukup tinggi.
Arya mengerutkan alisnya yang tebal. Ada perasaan curiga yang timbul di hati ketika melihat keadaan papan nama perguruan yang begitu kumuh, dan tak terurus. Bahkan huruf-huruf yang membentuk nama Perguruan Mawar Merah itu pun sudah banyak yang terkelupas.
"Kalau tidak salah, inilah yang dimaksud Paman Lindu itu," gumam Arya pelan.
Sebelum tewas, Raja Racun Pencabut Nyawa memang sempat memberitahu Ular Hitam tentang keberadaan ibu kandung Arya Buana (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
Dan berdasarkan pesan itulah, pemuda berpakaian ungu ini memasuki Desa Canting dan mencari Perguruan Mawar Merah.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak termenung di depan pintu gerbang perguruan itu. Sedikit pun tidak ada suara yang terdengar dari dalam. Sepi sekali. Dari celah pintu gerbang yang tidak tertutup rapat itu, pemuda berambut putih keperakan ini mengintai ke dalam. Tetap sepi. Perasaan curiga dan penasaran memaksa Arya melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang itu.
Tapi, baru beberapa langkah kakinya melewati ambang pintu, terdengar sebuah teguran halus.
"Apa yang kau cari, Anak Muda?"
Arya menoleh ke arah asal suara itu. Tampak seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampirinya. Tubuhnya kecil dan kurus, sehingga membuatnya terlihat lebih tua.
"Betulkah ini Perguruan Mawah Merah, Nyi?" tanya Arya Buana sopan.
"Betul," wanita itu menganggukkan kepalanya. "Kau siapa, Anak Muda?"
"Aku Arya Buana, Nyi. Orang-orang biasa memanggil Arya. Lalu, kalau boleh tahu, siapa namamu, Nyi?"
"Aku? Panggil saja Nyi Pati," jawab nenek itu memperkenalkan diri. "Ada urusan apa kau ke sini, Nak Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan ini termenung sejenak.
"Betulkah ini Perguruan Mawar Merah, Nyi?" tanya Arya ingin memastikan.
"Betul," Nyi Pati menganggukkan kepalanya, tapi hatinya heran. Memang petanyaan itu sudah dijawabnya tadi.
Arya memperhatikan sekelilingnya sekilas. Keraguraguan nampak terbayang pada wajahnya.
"Mengapa begitu sepi, Nyi?"
Wanita yang bernama Nyi Pati itu menghela napas.
"Sudah betahun-tahun perguruan ini bubar, Anak Muda. Yahhh..., sejak pemimpin kami diculik orang."
"Diculik?!" Sepasang mata Arya terbelalak. Perasaan tidak enak seketika menjalari hatinya.
Pemimpin Perguruan Mawar Merah diculik! Bukankah menurut penururan Raja Racun Pencabut Nyawa sebelum meninggal, Ketua Perguruan Mawar Merah adalah ibunya? Jadi ibunya Tidak berani pemuda berpakaian ungu ini melanjutkan dugaannya.
"Ya, diculik. Oleh seorang datuk sesat...."
"Bukankah Ketua Perguruan Mawar Merah adalah Nyi Sani?" tanya Arya memastikan.
"Memang. Padahal Nyi Sani memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi tidak berdaya juga menghadapi lawannya "
Lemaslah tubuh Arya. Benar. Ibunya telah diculik orang yang disebut datuk kaum sesat oleh Nyi Pati. Datuk kaum sesat? Arya terlonjak bagai disengat kalajengking. Datuk kaum sesat hanya ada dua. Ular Hitam dan Bargola. Tidak mungkin kalau Ular Hitam yang melakukannya. Jadi, tinggal satu tetuduh lagi. Bargola!
"Tadi, Nyi Pati katakan I..., eh! Nyi Sani diculik datuk kaum sesat. Bagaimana ciri-cirinya, Nyi?" tanya Arya.
Beberapa saat lamanya, kening Nyi Pati berkerut. Tampaknya tengah berpikir keras.
"Penculik itu betubuh tinggi besar. Dan berkulit hitam legam. Di telinga kirinya terdapat sebuah anting, anting yang berukuran sebesar gelang dan berwarna putih."
"Bargola...," desis Arya Buana pelan.
Tiba-tiba Nyi Pati terlonjak. "Ya. Nama itu pula yang diucapkan Den Lindu. Beberapa waktu yang lalu, Den Lindu bersama temannya yang selalu berselubung putih itu juga mencari-cari ke mana Bargola membawa Nyi Sani."
"Ketemu?" Arya tiba-tiba merasa bodoh mengajukan petanyaan itu.
"Tidak!"
"Sudah lamakah kejadian itu, Nyi?" tanya Arya lagi.
Kembali Nyi Pati mengerutkan keningnya. Rupanya begitulah yang dilakukan kalau sedang mengingat-ingat.
"Kalau tidak salah..., sudah empat belas tahun!"
"Empat belas tahun!" pemuda berambut putih keperakan ini terpekik kaget.
Apakah dalam waktu yang selama itu ibunya masih hidup? Perasaan raguragu yang hebat melanda hari Arya Buana. Tetapi hidup atau mati, harus ditemuinya. Paling tidak, jika ibunya sudah meninggal, harus ditemukan kuburannya!
Setelah mengambil keputusan begitu, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dulu berpamit pada Nyi Pati.
Nyi Pati memandangi kepergian pemuda berambut putih keperakan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sampai bayangan tubuh pemuda itu lenyap ditelan jalan, dia masih terpaku di situ.
***
Arya bergerak cepat meninggalkan Perguruan Mawar Merah dengan perasaan resah. Ke mana harus mencari Bargola? Mencari seseorang di dunia yang luas ini laksana mencari sebuah jarum di tumpukan jerami! Apalagi, tokoh ini sudah terlalu lama tidak terdengar beritanya. Jelas kalau datuk itu telah mengasingkan diri.
Hanya ada satu patokan yang bisa dijadikan pegangan Dewa Arak ini. Bargola adalah datuk yang merajai daerah Timur. Jadi, kemungkinan besar tetap berada di wilayah kekqasaannya. Tapi wilayah Timur sangat luas. Apalagi, jangan jangan dia telah menyepi. Perasaan putus asa mulai merayapi hari Arya Buana. Ke mana ia harus mencari datuk itu?
Plakkk!
Arya menepak kepalanya sendiri. Betapa bodohnya ia! Mengapa bingung-bingung? Bukankah di antara dua datuk, hanya Bargola yang mempunyai perguruan? Mengapa harus pusing-pusing? Ya, datangi saja perguruan itu! Wajah pemuda berambut putih keperakan ini pun kembali cerah. Dengan langkah penuh semangat, kembali dilanjutkan pencariannya.
Beberapa hari kemudian, pemuda ini sudah sampai pada sebuah desa yang termasuk dalam wilayah Timur. Rasa lelah yang menyerang kedua kaki, membuatnya memutuskan untuk beristirahat. Pandangan mata Arya liar mengawasi sekelilingnya. Dan senyumnya pun melebar ketika menemukan apa yang dicari.
Dengan langkah lebar, dihampirinya sebuah pohon yang cukup besar. Dan...
" up ".
Sekali mengenjotkan kaki, tubuh Dewa Arak ini melayang ke atas dan hinggap ringan pada sebuah cabang besar. Diambilnya guci yang betengger di punggung, kemudian digantungkan pada sebuah ranting. Baru setelah itu dibaringkan tubuhnya.
Tanpa sengaja pandangan mata Arya menerawang jauh ke arah rumah-rumah penduduk yang berada di depannya. Dan seketika matanya yang sudah meremmelek itu membelalak lebar.
Dari ketinggian di atas cabang pohon itu, pemuda ini melihat asap tebal dan hitam yang membumbung tinggi. Sekali lihat saja Arya tahu kalau asap itu berasal dari rumah yang terbakar. Dan tidak hanya satu buah! Jelas, ada kejanggalan di sini!
Naluri Dewa Arak sebagai seorang pendekar langsung bangkit. Lenyap seketika rasa lelahnya. Segera disambarnya guci arak yang baru saja digantungkan di ranting pohon, lalu diikatkan lagi ke punggungnya. Bergegas pemuda itu melompat turun.
Ringan sekali kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, sehingga tak terdengar suara sedikit pun. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya melesat ke arah asap itu berasal.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Arya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk tiba di tempat asal api itu.
Sepeti yang diduga Arya, api itu memang tidak wajar. Di depan rumah yang terbakar itu, tampak tengah terjadi petempuran yang tidak seimbang.
Arya memperhatikan orang-orang yang betempur itu sejenak. Tampak seorang yang betubuh bagai raksasa, berwajah kasar, dan memakai kalung bermatakan tengkorak kepala bayi, tengah dikeroyok belasan orang bersenjata. Melihat senjata yang mereka gunakan, Dewa Arak itu dapat menduga kalau para pengeroyok itu adalah penduduk desa yang rata- rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan.
Si tinggi besar yang tidak lain dari Raksasa Kulit Baja ini tetawa-tawa. Dibiarkan saja hujan senjata menghantam tubuhnya. Dan setiap senjata yang mengenai tubuh raksasa ini, selalu terpental balik.
Sebaliknya, setiap Raksasa Kulit Baja ini melakukan serangan balasan, sudah dapat dipastikan ada satu tubuh yang tumbang. Beberapa di antaranya, dengan tulang tangan atau kaki patah. Malah ada pula yang menyemburkan darah dari mulut.
Sekali lihat saja Arya tahu, jika hal ini terus dibiarkan, tidak akan ada lagi penduduk yang berdiri tegak. Jiwa kependekaran pemuda berarnbut putih keperak-perakan ini bangkit. Apalagi si tinggi besar ini juga betangan telengas. Setiap kali melakukan serangan, selalu menimbulkan akibat yang parah bagi para pengeroyoknya.
"Manusia keji! Akulah lawanmu!" Sambil berkata demikian, Arya bergerak memasuki kancah petempuran. Langsung saja dikirimkan sebuah serangan berupa tepakan ke arah hahu Raksasa Kulit Baja ini. Dewa Arak yang memang tidak pernah menurunkan tangan maut kalau tidak terpaksa sekali, sengaja mengarahkan serangan ke arah bagian tubuh yang tidak berbahaya.
Pemuda ini memang tahu kalau lawannya memiliki ilmu kebal, sehingga tidak sungkan- sungkan lagi mengerahkan separuh dari tenaga dalamnya.
Plakkk!
Arya Buana terperanjat kaget. Tepakan tangannya seolah-olah bukan menghantam tubuh manusia, melainkan sepeti menghantam gumpalan karet keras yang membuat tenaganya berbalik!
"Hebat...," puji Dewa Arak dalam hati.
Sementara itu, Raksasa Kulit Baja juga dilanda kekagetan serupa. Walaupun tepakan tangan Arya tidak membuatnya kesakitan atau terluka dalam, tapi karena kuatnya tenaga dalam lawan, tubuhnya tak urung terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
"Menyingkirlah, Kisanak semua!" perintah Arya pada para penduduk yang masih berdiri di situ.
"Tapi Orang ini sangat berbahaya, Kisanak," bantah salah seorang penduduk, memberitahu pemuda berambut putih keperak-perakan di depannya.
"Ayah...," desah gadis itu dengan suara lemah.
Kakek penolong yang ternyata adalah Raja Pisau Terbang itu hanya tersenyum getir. Ditarik tubuh putrinya ke belakang, kemudian dilangkahkan kakinya beberapa tindak.
"Ada urusan apa dengan anakku, sehingga sedemikian tega hendak menurunkan tangan maut padanya, Nisanak?" tanya Raja Pisau Terbang, bernada sabar. Tidak tampak ada nada kemarahan, baik pada suara maupun wajahnya.
"Dia adalah putri Raja Racun, Ayah!" selak Ningrum cepat.
"Ahhh ... ! Benarkah demikian?" tanya Raja Pisau Terbang memastikan.
"Benar!" jawab Melati ketus.
Melati mengangkat dagunya, sepeti menantang. Memang, begitu geram hatinya melihat pada saat terakhir Ningrum berhasil lolos dari maut. Dan gadis ini tahu betul orang yang telah menyelamatkan gadis itu. Raja Pisau Terbang! Ini diketahui karena Ningrum memanggil orang itu dengan sebutan ayah.
"Dan aku datang untuk membalaskan kematian ayahku pada anakmu itu!" tegas Melati.
Raja Pisau Terbang mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun berkali-kali Melati bersikap kasar padanya, tetap saja ia tidak menampakkan kemarahan.
"Putri Raja Racun Pencabut Nyawa? Aneh! Tidak salahkah pendengaranku, Nisanak. Sepanjang pengetahuanku, almarhum Raja Racun tidak mempunyai anak seorang pun. Yang Justru kudengar adalah keponakannya, yang bernama Arya Buana aliah si Dewa Arak!” bantah Raja Pisau Terbang, seperti tidak mengerti
"Aku tidak butuh keterangan darimu, Orang Tua! Yang kuinginkan adalah melenyapkan anakmu untuk membalas kematian ayahku! Menyingkirlah dari situ! Aku tidak mau membunuh orang yang tidak punya urusan apa-apa denganku!" tandas Melati tegas.
"Bagus! Aku hargai pendirianmu. Berarti, kau bukanlah seorang gadis jahat. Marilah kita berbincang-bincang. Aku yakin ada kesalahpahaman dalam hal ini..."
"Jaga seranganku, Orang Tua!" teriak Melati tibatiba sambil menyerang bagian dada kakek itu dengan jari jari tangan berbentuk cakar naga. Jari jari tangan yang membentuk cakar itu nampak berwarna merah.
Raja Pisau Terbang hanya tersenyum. Ia tahu kalau serangan cakar itu tidak akan mencapai sasaran. Jarak antara dirinya dengan gadis itu sekitar satu setengah tombak. Jadi, mustahil dapat dijangkau tangan manusia.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya kakek ini ketika melihat cengkeraman itu terus menjulur menyambar dadanya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu yang dapat memanjangkan tangan! Dan Raja Pisau Terbang ini tahu, siapa pemilik ilmu itu. Ki Gering Langit!
"Jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'...!" teriak kakek itu dengan hati kaget bukan kepalang.
Jelaslah kalau ilmu yang digunakan gadis itu adalah ilmu 'Cakar Naga Merah'! Buru-buru kakek ini menangkis serangan maut itu dengan pengerahan seluruh tenaga dalam.
Prattt ... !
Tubuh Raja Pisau Terbang terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara tubuh Melati hanya terhuyung satu langkah. Tangannya yang tadinya mulur, langsung memendek lagi sepeti sediakala.
Seketika pucat wajah Raja Pisau Terbang! Dari adu tenaga itu tadi sudah dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis berpakaian serba putih itu, masih lebih tinggi darinya. Suatu hal yang nampaknya amat mustahil!
"Tahan ... !" teriak Raja Pisau Terbang untuk mencegah gadis itu menyerangnya lebih lanjut. "Ada hubungan apa kau dengan Ki Gering Langit?"
Seketika Melati pun menghentikan gerakannya. Sikap kakek itu membuat gadis itu jadi menghormatinya, sehingga tanpa sadar dihentikan gerakannya.
"Aku tidak mengenalnya!" tandas gadis itu, setelah mengerutkan alisnya sesaat. "Tidak mungkin! Bukankah jurus itu adalah 'Naga
Merah Mengulur Kuku'? Salah satu jurus dari ilmu 'Cakar Naga Merah'?" desak kakek berwajah sabar ini penasaran.
Melati menganggukkan kepalanya. "Memang betul apa yang kau katakan itu, Orang Tua. Tapi, aku sama sekali tidak kenal terhadap orang yang kau sebutkan tadi!"
"Aneh! Lalu dari mana kau mendapatkan ilmu itu? Apakah kau menemukan kitab-kitab peninggalannya?"
"Kau ini aneh, Orang Tua. Tentu saja ilmu itu kupelajari dari guruku. Beliaulah yang telah mengajarkan aku"
"Siapa nama gurumu?" selak Raja Pisau Terbang cepat.
Gadis berpakaian serba putih itu menggelengkan kepalanya. "Ia melarangku untuk menyebutkan namanya. Jadi, terpaksa tidak dapat kuberitahukan padamu."
Alis Raja Pisau Terbang nampak berkerut. Ia bingung memikirkan masalah ini. Tapi yang sudah jelas, gadis itu sama sekali tidak mengenal Ki Gering Langit!
"Jaga seranganku, Nisanak!" tiba-tiba Raja Pisau Terbang menyambitkan beberapa buah pisau terbangnya ke arah Melati.
Karuan saja serangan tiba-tiba itu membuat Melati terkejut bukan main. Apalagi yang melepaskan adalah seorang ahli pisau, sehingga berjuluk Raja Pisau Terbang. Sudah dapat diperkirakan kedahsyatan serangan pisau-pisau itu.
Dewi Penyebar Maut melempar tubuhnya ke belakang, kemudian bergulingan beberapa kali di tanah. Maka semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Dan cepat-cepat gadis itu bangkit berdiri, tapi menjadi terlongong. Kakek itu dan Ningrum telah lenyap dari tempatnya semula.
Melati menggetakkan giginya menahan rasa geram. Secara untung-untungan dia mengejar masuk ke dalam hutan itu. Cukup lama juga gadis itu berada di dalam hutan. Dan sewaktu kembali ke luar, wajah gadis itu merah padam.
"Kali ini kau boleh mujur, Ningrum! Tapi, kelak apabila kita berjumpa lagi, jangan harap akan semujur ini!" Dewi Penyebar Maut itu beteriak sambil mengerahkan tenaga dalamnya, sehingga suaranya bergema ke seluruh pelosok hutan.
Puas dengan ancamannya, Melati melesat meninggalkan tempat itu. Dari mulutnya yang mungil itu terdengar suara desahan.
"Dewa Arak, kau pun harus bertanggung jawab atas kematian ayahku. Meskipun bukan kau yang membunuhnya, tapi jika tidak kau biarkan, Ayah tidak mungkin mati. Ya, kau harus mendapat hukuman pula. Apalagi kau tidak berniat membalas dendam atas kematiannya. Padahal, ia pamanmu sendiri..."
Seorang pemuda yang berwajah tampan, berahang kokoh, berambut putih keperak-perakan, dan berpakaian berwarna ungu tengah melangkah memasuki pintu gerbang Desa Canting.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Di punggungnya tergantung sebuah guci arak yang terbuat dari perak. Dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, pemuda itu mengayun kakinya memasuki desa yang kelihatan sepi. Sepasang matanya bergerak liar memperhatikan setiap bangunan yang ditemukan.
Langkah pemuda yang tak lain adalah Dewa Arak atau Arya Buana ini baru terhenti ketika sepasang matanya tetumbuk pada sebuah papan tebal, dan lebar. Di situ tetulis huruf- huruf yang berbunyi 'Perguruan Mawar Merah'. Papan tebal itu bergantung pada pintu gerbang sebuah bangunan yang dikelilingi tembok cukup tinggi.
Arya mengerutkan alisnya yang tebal. Ada perasaan curiga yang timbul di hati ketika melihat keadaan papan nama perguruan yang begitu kumuh, dan tak terurus. Bahkan huruf-huruf yang membentuk nama Perguruan Mawar Merah itu pun sudah banyak yang terkelupas.
"Kalau tidak salah, inilah yang dimaksud Paman Lindu itu," gumam Arya pelan.
Sebelum tewas, Raja Racun Pencabut Nyawa memang sempat memberitahu Ular Hitam tentang keberadaan ibu kandung Arya Buana (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Pedang Bintang").
Dan berdasarkan pesan itulah, pemuda berpakaian ungu ini memasuki Desa Canting dan mencari Perguruan Mawar Merah.
Beberapa saat lamanya Dewa Arak termenung di depan pintu gerbang perguruan itu. Sedikit pun tidak ada suara yang terdengar dari dalam. Sepi sekali. Dari celah pintu gerbang yang tidak tertutup rapat itu, pemuda berambut putih keperakan ini mengintai ke dalam. Tetap sepi. Perasaan curiga dan penasaran memaksa Arya melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang itu.
Tapi, baru beberapa langkah kakinya melewati ambang pintu, terdengar sebuah teguran halus.
"Apa yang kau cari, Anak Muda?"
Arya menoleh ke arah asal suara itu. Tampak seorang wanita berusia sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampirinya. Tubuhnya kecil dan kurus, sehingga membuatnya terlihat lebih tua.
"Betulkah ini Perguruan Mawah Merah, Nyi?" tanya Arya Buana sopan.
"Betul," wanita itu menganggukkan kepalanya. "Kau siapa, Anak Muda?"
"Aku Arya Buana, Nyi. Orang-orang biasa memanggil Arya. Lalu, kalau boleh tahu, siapa namamu, Nyi?"
"Aku? Panggil saja Nyi Pati," jawab nenek itu memperkenalkan diri. "Ada urusan apa kau ke sini, Nak Arya?"
Pemuda berambut putih keperakan ini termenung sejenak.
"Betulkah ini Perguruan Mawar Merah, Nyi?" tanya Arya ingin memastikan.
"Betul," Nyi Pati menganggukkan kepalanya, tapi hatinya heran. Memang petanyaan itu sudah dijawabnya tadi.
Arya memperhatikan sekelilingnya sekilas. Keraguraguan nampak terbayang pada wajahnya.
"Mengapa begitu sepi, Nyi?"
Wanita yang bernama Nyi Pati itu menghela napas.
"Sudah betahun-tahun perguruan ini bubar, Anak Muda. Yahhh..., sejak pemimpin kami diculik orang."
"Diculik?!" Sepasang mata Arya terbelalak. Perasaan tidak enak seketika menjalari hatinya.
Pemimpin Perguruan Mawar Merah diculik! Bukankah menurut penururan Raja Racun Pencabut Nyawa sebelum meninggal, Ketua Perguruan Mawar Merah adalah ibunya? Jadi ibunya Tidak berani pemuda berpakaian ungu ini melanjutkan dugaannya.
"Ya, diculik. Oleh seorang datuk sesat...."
"Bukankah Ketua Perguruan Mawar Merah adalah Nyi Sani?" tanya Arya memastikan.
"Memang. Padahal Nyi Sani memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi tidak berdaya juga menghadapi lawannya "
Lemaslah tubuh Arya. Benar. Ibunya telah diculik orang yang disebut datuk kaum sesat oleh Nyi Pati. Datuk kaum sesat? Arya terlonjak bagai disengat kalajengking. Datuk kaum sesat hanya ada dua. Ular Hitam dan Bargola. Tidak mungkin kalau Ular Hitam yang melakukannya. Jadi, tinggal satu tetuduh lagi. Bargola!
"Tadi, Nyi Pati katakan I..., eh! Nyi Sani diculik datuk kaum sesat. Bagaimana ciri-cirinya, Nyi?" tanya Arya.
Beberapa saat lamanya, kening Nyi Pati berkerut. Tampaknya tengah berpikir keras.
"Penculik itu betubuh tinggi besar. Dan berkulit hitam legam. Di telinga kirinya terdapat sebuah anting, anting yang berukuran sebesar gelang dan berwarna putih."
"Bargola...," desis Arya Buana pelan.
Tiba-tiba Nyi Pati terlonjak. "Ya. Nama itu pula yang diucapkan Den Lindu. Beberapa waktu yang lalu, Den Lindu bersama temannya yang selalu berselubung putih itu juga mencari-cari ke mana Bargola membawa Nyi Sani."
"Ketemu?" Arya tiba-tiba merasa bodoh mengajukan petanyaan itu.
"Tidak!"
"Sudah lamakah kejadian itu, Nyi?" tanya Arya lagi.
Kembali Nyi Pati mengerutkan keningnya. Rupanya begitulah yang dilakukan kalau sedang mengingat-ingat.
"Kalau tidak salah..., sudah empat belas tahun!"
"Empat belas tahun!" pemuda berambut putih keperakan ini terpekik kaget.
Apakah dalam waktu yang selama itu ibunya masih hidup? Perasaan raguragu yang hebat melanda hari Arya Buana. Tetapi hidup atau mati, harus ditemuinya. Paling tidak, jika ibunya sudah meninggal, harus ditemukan kuburannya!
Setelah mengambil keputusan begitu, Arya segera melesat meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dulu berpamit pada Nyi Pati.
Nyi Pati memandangi kepergian pemuda berambut putih keperakan itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sampai bayangan tubuh pemuda itu lenyap ditelan jalan, dia masih terpaku di situ.
***
Arya bergerak cepat meninggalkan Perguruan Mawar Merah dengan perasaan resah. Ke mana harus mencari Bargola? Mencari seseorang di dunia yang luas ini laksana mencari sebuah jarum di tumpukan jerami! Apalagi, tokoh ini sudah terlalu lama tidak terdengar beritanya. Jelas kalau datuk itu telah mengasingkan diri.
Hanya ada satu patokan yang bisa dijadikan pegangan Dewa Arak ini. Bargola adalah datuk yang merajai daerah Timur. Jadi, kemungkinan besar tetap berada di wilayah kekqasaannya. Tapi wilayah Timur sangat luas. Apalagi, jangan jangan dia telah menyepi. Perasaan putus asa mulai merayapi hari Arya Buana. Ke mana ia harus mencari datuk itu?
Plakkk!
Arya menepak kepalanya sendiri. Betapa bodohnya ia! Mengapa bingung-bingung? Bukankah di antara dua datuk, hanya Bargola yang mempunyai perguruan? Mengapa harus pusing-pusing? Ya, datangi saja perguruan itu! Wajah pemuda berambut putih keperakan ini pun kembali cerah. Dengan langkah penuh semangat, kembali dilanjutkan pencariannya.
Beberapa hari kemudian, pemuda ini sudah sampai pada sebuah desa yang termasuk dalam wilayah Timur. Rasa lelah yang menyerang kedua kaki, membuatnya memutuskan untuk beristirahat. Pandangan mata Arya liar mengawasi sekelilingnya. Dan senyumnya pun melebar ketika menemukan apa yang dicari.
Dengan langkah lebar, dihampirinya sebuah pohon yang cukup besar. Dan...
" up ".
Sekali mengenjotkan kaki, tubuh Dewa Arak ini melayang ke atas dan hinggap ringan pada sebuah cabang besar. Diambilnya guci yang betengger di punggung, kemudian digantungkan pada sebuah ranting. Baru setelah itu dibaringkan tubuhnya.
Tanpa sengaja pandangan mata Arya menerawang jauh ke arah rumah-rumah penduduk yang berada di depannya. Dan seketika matanya yang sudah meremmelek itu membelalak lebar.
Dari ketinggian di atas cabang pohon itu, pemuda ini melihat asap tebal dan hitam yang membumbung tinggi. Sekali lihat saja Arya tahu kalau asap itu berasal dari rumah yang terbakar. Dan tidak hanya satu buah! Jelas, ada kejanggalan di sini!
Naluri Dewa Arak sebagai seorang pendekar langsung bangkit. Lenyap seketika rasa lelahnya. Segera disambarnya guci arak yang baru saja digantungkan di ranting pohon, lalu diikatkan lagi ke punggungnya. Bergegas pemuda itu melompat turun.
Ringan sekali kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, sehingga tak terdengar suara sedikit pun. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya melesat ke arah asap itu berasal.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, Arya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk tiba di tempat asal api itu.
Sepeti yang diduga Arya, api itu memang tidak wajar. Di depan rumah yang terbakar itu, tampak tengah terjadi petempuran yang tidak seimbang.
Arya memperhatikan orang-orang yang betempur itu sejenak. Tampak seorang yang betubuh bagai raksasa, berwajah kasar, dan memakai kalung bermatakan tengkorak kepala bayi, tengah dikeroyok belasan orang bersenjata. Melihat senjata yang mereka gunakan, Dewa Arak itu dapat menduga kalau para pengeroyok itu adalah penduduk desa yang rata- rata tidak memiliki ilmu olah kanuragan.
Si tinggi besar yang tidak lain dari Raksasa Kulit Baja ini tetawa-tawa. Dibiarkan saja hujan senjata menghantam tubuhnya. Dan setiap senjata yang mengenai tubuh raksasa ini, selalu terpental balik.
Sebaliknya, setiap Raksasa Kulit Baja ini melakukan serangan balasan, sudah dapat dipastikan ada satu tubuh yang tumbang. Beberapa di antaranya, dengan tulang tangan atau kaki patah. Malah ada pula yang menyemburkan darah dari mulut.
Sekali lihat saja Arya tahu, jika hal ini terus dibiarkan, tidak akan ada lagi penduduk yang berdiri tegak. Jiwa kependekaran pemuda berarnbut putih keperak-perakan ini bangkit. Apalagi si tinggi besar ini juga betangan telengas. Setiap kali melakukan serangan, selalu menimbulkan akibat yang parah bagi para pengeroyoknya.
"Manusia keji! Akulah lawanmu!" Sambil berkata demikian, Arya bergerak memasuki kancah petempuran. Langsung saja dikirimkan sebuah serangan berupa tepakan ke arah hahu Raksasa Kulit Baja ini. Dewa Arak yang memang tidak pernah menurunkan tangan maut kalau tidak terpaksa sekali, sengaja mengarahkan serangan ke arah bagian tubuh yang tidak berbahaya.
Pemuda ini memang tahu kalau lawannya memiliki ilmu kebal, sehingga tidak sungkan- sungkan lagi mengerahkan separuh dari tenaga dalamnya.
Plakkk!
Arya Buana terperanjat kaget. Tepakan tangannya seolah-olah bukan menghantam tubuh manusia, melainkan sepeti menghantam gumpalan karet keras yang membuat tenaganya berbalik!
"Hebat...," puji Dewa Arak dalam hati.
Sementara itu, Raksasa Kulit Baja juga dilanda kekagetan serupa. Walaupun tepakan tangan Arya tidak membuatnya kesakitan atau terluka dalam, tapi karena kuatnya tenaga dalam lawan, tubuhnya tak urung terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
"Menyingkirlah, Kisanak semua!" perintah Arya pada para penduduk yang masih berdiri di situ.
"Tapi Orang ini sangat berbahaya, Kisanak," bantah salah seorang penduduk, memberitahu pemuda berambut putih keperak-perakan di depannya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment